IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISIK RESPONDEN PENELITIAN 4.1
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
4.1.1 Kondisi Umum Kelurahan Sukajadi, Kota Dumai Kota Dumai dahulunya adalah sebuah kota nelayan kecil di pantai timur Sumatera. Saat ini, Kota Dumai berkembang menjadi kota jasa dan industri. Perkembangan Kota Dumai yang semakin pesat ini menyebabkan arus migrasi ke kota ini juga semakin meningkat. Secara geografis wilayah Kota Dumai terletak 100°51'30" - 10°59'8" Lintang Utara (LU) dan pada 114°24' - 114°34' Bujur Timur (BT) . Wilayah Kota Dumai beriklim tropis dengan curah hujan antara 100300 cm dan suhu udara 24-33 oC serta kondisi tanah rawa bergambut. Permukaan tanah datar dan sebagian sedikit bergelombang dengan ketinggian dari permukaan laut 0-30 m, kecuali daerah dekat pantai. Penggunan lahan adalah untuk perumahan 10%, fasilitas kota 2%, sawah/tegalan 12%, hutan 24% , lain-lain 52%. Kota Dumai memiliki luas wilayah 1.772,38 km2 dan merupakan kota terluas nomor dua di Indonesia setelah Manokwari. Batas wilayah Kota Dumai adalah sebagai berikut: 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis. 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis. 3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Mandau dan Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis. 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Bangko dan Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir. Kota Dumai terdiri atas lima kecamatan dan terbagi menjadi tiga puluh dua kelurahan yaitu : 1. Kecamatan Dumai Barat dengan kelurahan Bagan Keladi, Bukit Datuk, Bukit Timah, Laksamana, Mekar Sari, Pangkalan Sesai, Purnama, Ratu Sima, Rimba Sekampung dan Simpang Tetap Darul Ichsan.
2. Kecamatan Dumai Timur dengan kelurahan Bintan, Bukit Batrem, Buluh Kasap, Dumai Kota, Jaya Mukti, Sukajadi, Tanjung Palas, Teluk Binjai dan Bumi Ayu. 3. Kecamatan Bukit Kapur dengan kelurahan Bagan Besar, Bukit Kayu Kapur, Bukit Nenas dan Gurun Panjang. 4. Kecamatan Medang Kampai dengan kelurahan Guntung, Mundam, Teluk Makmur dan Pelintung. 5. Kecamatan Sungai Sembilan dengan kelurahan Bangsal Aceh, Basilam Baru, Batu Teritip, Lubuk Gaung dan Tanjung Penyembal. Tabel 1. Kecamatan di Kota Dumai dan Luas Wilayahnya Tahun 2002 No. 1. 2. 3. 4. 5.
Kecamatan Bukit Kapur Medang Kampai Sungai Sembilan Dumai Barat Dumai Timur Total
Luas (Km2) 250,00 373,00 970,38 120,00 59,00 1.772,38
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Dumai, 2003
Berdasarkan Tabel 1, terlihat bahwa kecamatan dengan luas wilayah terbesar adalah Kecamatan Sungai Sembilan (970,38 km²) sedangkan kecamatan dengan luas terkecil adalah Kecamatan Dumai Timur (59 km²). Penelitian ini berlokasi di Kelurahan Sukajadi, Kecamatan Dumai Timur yang terdiri dari 23 RT. Luas Kelurahan Sukajadi adalah ± 203,2 ha. Suhu rata-rata daerah ini adalah 34oC dengan ketinggian dari permukaan laut ± 5 meter. Batas wilayah Kelurahan Sukajadi adalah sebagai berikut : 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Jl. Sultan Syarif Qasim. 2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Sungai Dumai. 3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Bintan. 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Rimba Sekampung. Kelurahan Sukajadi termasuk daerah yang rawan banjir karena letaknya berbatasan langsung dengan Sungai Dumai. Mayoritas penduduk Kelurahan Sukajadi menggunakan air sumur sebagai sumber air minum, namun saat ini hal tersebut jarang ditemukan karena ketersediaan air yang minim dan kualitas air
yang kurang baik. Penduduk mayoritas membeli air yang dijual keliling untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari seperti untuk minum dan memasak.
4.1.2 Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana jalan di Kelurahan Sukajadi sudah baik yakni merupakan jalan aspal, namun terdapat beberapa jalan yang kondisinya rusak. Jembatan yang terdapat di Kelurahan Sukajadi juga tergolong baik dan terbuat dari beton. Sarana transportasi darat yang ada di Kelurahan Sukajadi antara lain adalah bus umum, angkutan kota (angkot), ojek, dan becak, sedangkan untuk sarana dan prasarana transportasi laut atau sungai tidak ditemukan di Kelurahan Sukajadi. Sarana penerangan di Kelurahan Sukajadi tergolong baik. Sarana hiburan atau wisata juga dapat digolongkan baik ditunjukkan dengan adanya beberapa hotel, restoran, penginapan dan tempat bilyar yang ramai dikunjungi. Sarana dan prasarana drainase atau saluran pembuangan air limbah di Kelurahan
Sukajadi
tergolong
kurang
memadai
kondisinya.
Prasarana
pemerintahan tergolong baik yang dapat dilihat dengan adanya Kantor Kelurahan dengan kondisi bangunan dan fasilitas yang baik. Sebagian besar penduduk Kelurahan Sukajadi menggunakan air sumur galian sebagai sumber air bersih dan sisanya menggunakan PAM. Prasarana perumahan di Kelurahan Sukajadi terdiri dari rumah permanen sebanyak ± 604 buah, rumah semi permanen sebanyak ± 241 buah dan rumah non permanen sebanyak ± 76 buah. Prasarana olahraga yang banyak ditemukan di Kelurahan Sukajadi adalah adanya lapangan bola voli yang sering digunakan penduduk untuk melakukan aktivitas olahraga. Sarana peribadatan di Kelurahan Sukajadi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Sarana Peribadatan di Kelurahan Sukajadi, Kecamatan Dumai Timur Tahun 2008 No 1. 2. 3. 4. 5.
Jenis Sarana Peribadatan Masjid Musholla Gereja Vihara Pura Jumlah
Jumlah (buah) 6 7 1 14
Sarana pendidikan baik formal maupun non formal di Kelurahan Sukajadi dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Sarana Pendidikan di Kelurahan Sukajadi, Kecamatan Dumai Timur Tahun 2008 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Jenis Sarana Pendidikan Kelompok Bermain (Play Group) Taman Kanak-Kanak (TK) Sekolah Dasar (SD) Sekolah Menengah Pertama (SMP) Sekolah Menengah Atas (SMA) Madrasah Perguruan Tinggi Kursus Komputer Kursus Menjahit Jumlah
Jumlah (buah) 1 2 3 1 1 7 1 2 1 19
4.1.3 Kependudukan dan Kondisi Sosial Ekonomi Jumlah penduduk terbanyak di Kota Dumai terdapat di Kecamatan Dumai Timur, yaitu sejumlah 67.909 jiwa, sedangkan penduduk terkecil terdapat di Kecamatan Medang Kampai, yaitu sebanyak 7.321 jiwa (Badan Pusat Statistik Kota Dumai, 2003). Kecamatan dengan tingkat kepadatan tertinggi yaitu Kecamatan Dumai Timur (1.151 jiwa/km²), sedangkan kecamatan dengan tingkat kepadatan terendah yaitu Kecamatan Sungai Sembilan (16 jiwa/km²). Jumlah penduduk di Kelurahan Sukajadi adalah 9.967 jiwa dengan 2.113 Kepala Keluarga (KK). Penduduk Kelurahan Sukajadi mayoritas adalah etnis Minang, diikuti dengan etnis Melayu, Batak dan Jawa. Mayoritas penduduknya beragama Islam dan pendidikan terakhirnya adalah tamat SLTA/sederajat. Penduduk Kelurahan Sukajadi mayoritas bekerja di sektor non pertanian seperti buruh, pedagang, wiraswasta, pengusaha, Pegawai Negeri Sipil (PNS), karyawan swasta, dan guru. Keluarga pra sejahtera di Kelurahan Sukajadi berjumlah 351 keluarga, keluarga sejahtera 1 berjumlah 556 keluarga, keluarga sejahtera 2 berjumlah 413 keluarga, keluarga sejahtera 3 berjumlah 231 keluarga dan keluarga sejahtera ketiga plus berjumlah 214 keluarga. Jumlah keluarga yang memiliki pesawat televisi adalah 1.911 keluarga, memiliki sepeda motor dan sejenisnya sebanyak 1.941 keluarga, memiliki mobil sebanyak 10 keluarga dan memiliki ternak kecil sebanyak 824 keluarga. Fasilitas hiburan seperti televisi dan parabola hampir
dimiliki oleh seluruh penduduk di Kelurahan Sukajadi. Hal ini menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan untuk hiburan adalah penting dan telah cukup terpenuhi. Lembaga
kemasyarakatan
yang
terdapat
di
Kelurahan
Sukajadi,
Kecamatan Dumai Timur tampak pada Tabel 4. Tabel 4. Jenis Lembaga Kemasyarakatan di Kelurahan Sukajadi, Kecamatan Dumai Timur Tahun 2008 No.
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis Lembaga Kemasyarakatan PKK Karang Taruna LPMK Sukajadi Organisasi Pemuda Majlis Ta’lim Kelompok Gotong Royong
Jumlah anggota (orang) 45 45 12 ± 100 ± 500 Semua warga di setiap RT
Kelompok gotong royong yang ada di setiap RT saat ini tidak berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan karena kesibukan penduduk yang berbeda-beda di masing-masing RT dan pergeseran nilai budaya di kalangan masyarakat di Kelurahan Sukajadi. Partisipasi penduduk dalam Pemilihan Umum juga tergolong baik. Kelurahan Sukajadi memiliki dua buah koperasi yang jumlah anggotanya adalah 216 orang. Jenis industri yang ada di Kelurahan Sukajadi antara lain adalah tampak pada Tabel 5. Tabel 5. Jenis Industri dan Jumlah Tenaga Kerja yang Dipekerjakan di Kelurahan Sukajadi, Kecamatan Dumai Timur Tahun 2008 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Jenis Industri Industri makanan Industri Kerajinan Industri Mebel Warung Makan Kios Kelontong Bengkel Toko/Swalayan Percetakan/Sablon
Jumlah Industri (buah) 3 3 3 7 46 4 39 4
Jumlah Tenaga Kerja (orang) 18 15 18 42 92 20 126 10
Berdasarkan Tabel 5, terlihat bahwa jenis industri yang paling banyak ditemukan di Kelurahan Sukajadi adalah kios kelontong dan toko stau swalayan. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk Kelurahan Sukajadi banyak yang mulai berwirausaha dengan membuka kios kelontong dan toko atau swalayan. Selain itu,
gaya hidup yang semakin modern juga memicu peluang untuk membuka swalayan sebab saat ini berbelanja kebutuhan hidup sehari-hari di swalayan sudah menjadi gaya hidup tersendiri.
4.2
Karakteristik Responden Penelitian
4.2.1 Usia Responden dalam penelitian ini adalah penduduk Kelurahan Sukajadi RT 21, RT 22 dan RT 23. Penduduk RT 21 mewakili keluarga etnis Minang, RT 22 mewakili keluarga etnis Jawa dan RT 23 mewakili keluarga etnis Batak. Sebaran responden etnis Minang, Jawa dan Batak berdasarkan usia adalah seperti tampak pada Tabel 6. Tabel 6. Sebaran Responden Etnis Minang, Jawa dan Batak berdasarkan Usia di Kelurahan Sukajadi Tahun 2009 Rentang Usia KK (tahun) 20-29 30-39 40-49 50-59 > 60 Total
Minang 5 20 24 4 0 52
% 8 38 46 0 0 100
Etnis Jawa % 0 0 9 64 2 14 3 22 0 0 14 100
Batak 0 23 11 0 0 34
% 0 68 32 0 0 100
Berdasarkan Tabel 6, terlihat bahwa sebaran terbesar untuk kepala keluarga dari keluarga etnis Minang berada pada rentang usia antara 40-49 tahun. Berbeda halnya dengan sebaran terbesar untuk kepala keluarga dari keluarga etnis Jawa dan Batak yang berada pada rentang usia antara 30-39 tahun.
5.2 Tingkat Pendidikan Pada penelitian ini, variabel pendidikan Kepala Keluarga (KK) dibedakan menjadi pendidikan formal dan non formal. Sebaran tingkat pendidikan formal Kepala Keluarga (KK) dari keluarga etnis Minang, Jawa dan Batak adalah seperti tampak pada Tabel 7. Berdasarkan Tabel 7, rata-rata tingkat pendidikan formal dari Kepala Keluarga pada keluarga etnis Minang, Jawa dan Batak adalah tamat SMA/sederajat. Kepala keluarga yang pendidikan formal terakhirnya adalah
Diploma 3 ditemukan pada etnis Minang sebanyak 2% dan Batak sebanyak 6%. Kepala keluarga dengan pendidikan formal terakhir S1 hanya ditemukan pada keluarga etnis Minang. Pada keluarga etnis Jawa, masih ditemukan 14% kepala keluarga yang pendidikan formal terakhirnya hanya tamat SD/sederajat. Menurut wawancara mendalam, mereka hanya menamatkan Sekolah Dasar karena kendala biaya dalam keluarga dan pola pikir orangtua mereka yang cenderung menganggap pendidikan tidak begitu penting. Tabel 7. Sebaran Tingkat Pendidikan Formal Kepala Keluarga (KK) dari Keluarga Etnis Minang, Jawa dan Batak di Kelurahan Sukajadi Tahun 2009 Tingkat Pendidikan Formal KK SD/sederajat-tamat SMP/sederajat-tamat SMA/sederajat-tamat D3 S1 Total
Minang 0 18 28 5 1 52
% 35 54 9 2 100 100
Etnis Jawa % 2 14 1 7 11 79 0 0 0 0 14 100
Batak
0 5 27 2 0 34
%
0 15 79 6 0 100
Pendidikan non formal seperti kursus ataupun pelatihan, tidak banyak diikuti oleh Kepala Keluarga (KK) dari keluarga yang menjadi responden dalam penelitian ini. Pendidikan non formal seperti itu cenderung diikuti oleh istri, namun tidak banyak yang menggunakan ketrampilan yang mereka peroleh melalui pendidikan non formal tersebut.
5.3 Pekerjaan Seluruh responden dalam penelitian ini bekerja di sektor non pertanian. Pekerjaan tersebut antara lain meliputi wiraswasta, karyawan swasta, pedagang, Pegawai Negeri Sipil (PNS), buruh pabrik, buruh bangunan, dan tukang becak. Mereka tidak menggeluti jenis pekerjaan di sektor pertanian mengingat bahwa di kawasan Kelurahan Sukajadi tidak banyak ditemukan lahan pertanian. Hampir seluruh lahan kosong yang ada di Kelurahan Sukajadi digunakan untuk membangun fasilitas pertokoan, pasar, klinik, dan kawasan perkantoran. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian di Kelurahan Sukajadi.
5.4 Pengeluaran Pangan dan Non Pangan Distribusi responden berdasarkan jumlah pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan pangan pada keluarga etnis Minang, Jawa dan Batak adalah tampak pada Tabel 8. Tabel 8. Distribusi Responden berdasarkan Jumlah Pengeluaran untuk Memenuhi Kebutuhan Pangan pada Keluarga Etnis Minang, Jawa dan Batak di Kelurahan Sukajadi Tahun 2009 Jumlah Pengeluaran Pangan/bulan (Rupiah) 500000-700000 700000-900000 900000-1100000 > 1100000 Total
Minang 5 29 16 2 52
% 10 56 31 3 100
Etnis Jawa % 2 14 6 43 6 43 0 0 14 100
Batak
1 16 16 1 34
%
3 47 47 3 100
Berdasarkan Tabel 8, pengeluaran keluarga etnis Minang untuk memenuhi kebutuhan pangan paling besar berada pada kisaran Rp 700.000,00 – Rp 900.000,00. Pada keluarga etnis Jawa dan Batak, pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan pangan berada pada kisaran Rp 700.000,00 – Rp 900.000,00 dan Rp 900.000,00 – Rp 1.100.000,00, dengan jumlah persentase yang sama yakni 43% untuk keluarga etnis Jawa dan 47% untuk keluarga etnis Batak. Pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan pangan ini sudah mencakup kebutuhan pangan pokok dan non pokok selama sebulan dalam keluarga tersebut. Pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan non pangan mencakup kebutuhan sandang, biaya pendidikan anak, biaya kesehatan, hiburan, tabungan dan membayar tagihan sewa rumah, listrik serta air. Distribusi responden berdasarkan jumlah pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan non pangan pada keluarga etnis Minang, Jawa dan Batak adalah tampak pada Tabel 9. Tabel 9. Distribusi Responden berdasarkan Jumlah Pengeluaran untuk Memenuhi Kebutuhan Non Pangan pada Keluarga Etnis Minang, Jawa dan Batak di Kelurahan Sukajadi tahun 2009 Jumlah Pengeluaran Non Pangan/bulan (Rupiah) 200000-400000 400000-600000 600000-800000 Total
Minang 14 34 4 52
% 27 65 8 100
Etnis Jawa % 10 71 4 29 0 0 14 100
Batak 13 20 1 34
% 38 59 3 100
Berdasarkan Tabel 9, persentase terbesar pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan non pangan pada keluarga etnis Minang dan Batak berada pada kisaran Rp 400.000,00 – Rp 600.000,00 per bulan. Pada keluarga etnis Jawa, persentase terbesar pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan non pangan berada pada kisaran Rp 200.000,00 – Rp 400.000,00. Bagi keluarga etnis Minang dan Jawa, pengeluaran non pangan paling banyak dialokasikan untuk biaya sekolah anak dan membayar tagihan sewa rumah, listik dan air. Berbeda dengan keluarga etnis Jawa yang masih mengalokasikan pendapatannya untuk ditabung meskipun tidak selalu sama jumlahnya setiap bulan. Hal ini berhubungan dengan responden dari keluarga etnis Jawa yang persentase kepemilikan rumahnya lebih besar dibanding keluarga etnis Minang dan Batak sehingga tidak perlu mengalokasikan pendapatan untuk membayar sewa rumah melainkan hanya membayar tagihan listrik dan air. Hiburan bukan merupakan suatu prioritas bagi keluarga etnis Minang, Jawa dan Batak. Menurut mereka, pemenuhan kebutuhan hiburan sudah cukup dengan menonton televisi di rumah. Hal ini juga didukung dengan kepemilikan parabola hampir di setiap rumah yang menjadi responden dalam penelitian ini.
5.5 Kepemilikan Aset dalam Keluarga Rasio kepemilikan aset berupa rumah, tanah, ternak, kendaraan bermotor dan perhiasan pada keluarga etnis Minang, Jawa dan Batak adalah tampak seperti pada Tabel 10. Berdasarkan Tabel 10, keluarga etnis Batak memiliki semua aset yang disebutkan. Hampir seluruh responden baik dari keluarga etnis Minang, Jawa maupun Batak memiliki kendaraan bermotor, bahkan terdapat beberapa keluarga yang memiliki kendaraan bermotor lebih dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa kendaraan bermotor merupakan aset yang penting bagi keluarga karena dibutuhkan untuk keperluan mobilitas. Berkaitan dengan rasio kepemilikan aset berupa rumah, keluarga etnis Jawa lebih banyak yang memiliki rumah sendiri dibanding keluarga etnis Minang dan Batak yang mayoritas masih menempati rumah sewa. Hal ini juga berkaitan dengan jumlah pengeluaran non pangan dari keluarga etnis Jawa yang tidak terlalu banyak dialokasikan untuk membayar sewa rumah. Jenis aset berupa tanah
dimiliki oleh keluarga etnis Minang dan Batak. Tanah yang dimiliki berupa kebun kelapa sawit yang letaknya jauh dari tempat tinggal mereka. Pemeliharaan aset tersebut biasanya tidak dilakukan langsung oleh pemilik, melainkan dengan menggaji orang lain untuk menjaga dan merawat kebun tersebut. Pemilik hanya datang untuk meninjau kira-kira dua kali sebulan. Tabel 10. Rasio Kepemilikan Aset pada Keluarga Etnis Minang, Jawa danBatak di Kelurahan Sukajadi tahun 2009 Jenis Aset Rumah Tanah Ternak Kendaraan Bermotor Perhiasan
Minang 26/52 1/52 0/52 49/52 16/52
% 50 2 0 94 31
Etnis Jawa % 8/14 57 0/14 0 0/14 0 14/14 100 2/14 14
Batak 16/34 8/34 5/34 34/34 20/34
% 47 24 14 100 59
Jenis aset berupa ternak hanya dimiliki oleh beberapa keluarga etnis Batak. Jenis ternak yang dipelihara adalah babi. Sama halnya dengan kebun kelapa sawit, pemeliharaan ternak juga tidak dilakukan langsung oleh pemilik. Pemilik biasanya memantau sekali dalam seminggu karena letak tampat pemeliharaan yang tidak begitu jauh dari tempat tinggal pemilik. Rasio kepemilikan aset berupa perhiasaan paling banyak dimiliki oleh keluarga etnis Batak. Menurut hasil wawancara, kepemilikan aset berupa kebun, ternak dan perhiasaan merupakan bentuk investasi jangka panjang dari keluarga migran ini.
5.6 Pola Konsumsi Pangan Makanan pokok dari seluruh responden adalah nasi. Pola makan yang diamati adalah mencakup frekuensi makan per hari, frekuensi konsumsi daging per minggu, frekuensi konsumsi ikan per minggu dan frekuensi konsumsi telur per minggu. Distribusi frekuensi makan/hari pada keluarga etnis Minang, Jawa dan Batak adalah tampak pada Tabel 11.
Tabel 11. Distribusi Frekuensi Makan/hari pada Keluarga Etnis Minang, Jawa dan Batak di Kelurahan Sukajadi tahun 2009 Frekuensi Makan/hari Kurang dari dua kali sehari Dua kali sehari Tiga kali sehari Lebih dari atau sama dengan tiga kali sehari Total
Minang 0 27 25
% 0 52 48
Etnis Jawa % 0 0 3 21 11 79
Batak
%
0 10 23
0 29 68
0
0
0
0
1
3
52
100
14
100
34
100
Berdasarkan Tabel 11, keluarga etnis Jawa dan Batak mayoritas makan tiga kali sehari. Keluarga etnis Minang lebih banyak yang makan dengan frekuensi dua kali sehari. Pada keluarga yang frekuensi makannya dua kali sehari, biasanya yang dilewatkan adalah sarapan pagi. Hal ini terjadi karena mereka tidak terbiasa sarapan pagi. Jika istri bekerja, maka pada pagi hari istri biasanya hanya menyiapkan bekal untuk dibawa anak ke sekolah. Jika tidak, maka anak terbiasa sarapan di sekolah. Tabel 12. Distribusi Frekuensi Makan Daging, Ikan dan Telur/minggu pada Keluarga Etnis Minang di Kelurahan Sukajadi tahun 2009 Frekuensi Makan/minggu Tidak pernah sama sekali Satu kali Dua kali Lebih dari atau sama dengan tiga kali Total
Daging 41 11 0
Jenis Bahan Makanan % Ikan % Telur 79 0 0 0 21 2 4 0 0 10 19 0
%
0 0 0
0
0
40
77
52
100
52
100
52
100
52
100
Berdasarkan Tabel 12, keluarga etnis Minang paling sering mengkonsumsi telur dan ikan dalam seminggu. Frekuensi konsumsi daging hanya satu kali seminggu dan lebih bersifat tidak menentu. Menurut wawancara, mereka hanya mengkonsumsi daging saat ada perayaan keagamaan seperti Lebaran dan Idul Adha serta jika ada acara keluarga di rumah. Mereka tidak menganggap daging sebagai pangan yang wajib dikonsumsi setiap minggunya. Ikan dan telur lebih sering dikonsumsi karena harganya yang lebih murah dibandingkan dengan daging.
Tabel 13. Distribusi Frekuensi Makan Daging, Ikan dan Telur/minggu pada Keluarga Etnis Jawa di Kelurahan Sukajadi tahun 2009 Frekuensi Makan/minggu Tidak pernah sama sekali Satu kali Dua kali Lebih dari atau sama dengan tiga kali Total
Jenis Bahan Makanan % Ikan % Telur 86 0 0 0 14 0 0 0 0 3 21 0 0 11 79 14 100 14 100 14
Daging 12 2 0 0 14
% 0 0 0 100 100
Berdasarkan Tabel 13, terlihat bahwa keluarga etnis Jawa juga lebih sering mengkonsumsi ikan dan telur dibandingkan daging dalam seminggu. Sama halnya dengan keluarga etnis Minang, menurut keluarga etnis Jawa, mereka hanya mengkonsumsi daging saat Lebaran, Idul Adha, ataupun saat ada acara keluarga di rumah. Harga daging yang mahal menjadi pertimbangan bagi mereka untuk tidak sering mengkonsumsi daging. Tabel 14. Distribusi Frekuensi Makan Daging, Ikan dan Telur/minggu pada Keluarga Etnis Batak di Kelurahan Sukajadi tahun 2009 Frekuensi Makan/minggu Tidak pernah sama sekali Satu kali Dua kali Lebih dari atau sama dengan tiga kali Total
Daging 15 19 0
Jenis Bahan Makanan % Ikan % Telur 44 0 0 0 56 0 0 0 0 0 0 0
% 0 0 0
0
0
34
100
34
100
34
100
34
100
34
100
Berdasarkan Tabel 14, lebih dari setengah dari jumlah responden keluarga etnis Batak mengkonsumsi daging satu kali seminggu. Seluruh responden keluarga etnis Batak juga mengkonsumsi ikan dan telur lebih dari atau sama dengan tiga kali seminggu. Hal ini berhubungan dengan jumlah pengeluaran keluarga etnis Batak untuk memenuhi kebutuhan pangan yaitu berkisar antara Rp 700.000,00 – Rp 900.000,00 dan Rp 900.000,00 – Rp 1.100.000,00.
V. PERSEPSI NILAI ANAK PADA KELUARGA ETNIS MINANG, JAWA DAN BATAK Persepsi nilai anak yang akan dilihat pada keluarga etnis Minang, Jawa dan Batak dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga persepsi nilai yaitu nilai psikologis, nilai sosial dan nilai ekonomi. Nilai psikologis, sosial dan ekonomi masing-masing terdiri dari 10 pertanyaan. Setiap pertanyaan tersebut ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat gender (membedakan antara anak laki-laki dan perempuan). Nilai anak yang membedakan gender menunjukkan orangtua lebih suka atau mengharapkan kehadiran anak laki-laki atau anak perempuan dalam keluarga tersebut. Pada nilai psikologis, terdapat tujuh pertanyaan yang bersifat umum yaitu keberadaan anak apakah dapat memperkuat kasih sayang suami istri, memberikan kebahagiaan, kepuasan, rasa aman di hari tua, dapat dijadikan teman, memperhatikan orangtua di masa yang akan datang atau malah anak dapat menyita waktu dan uang serta dapat menimbulkan stress bagi orangtua. Terdapat tiga pertanyaan umum pada nilai sosial yaitu apakah anak yang terdidik dapat menimbulkan penghargaan dari masyarakat, anak laki-laki/perempuan dapat meningkatkan status sosial keluarga dan meneruskan nilai-nilai yang dijunjung dalam keluarga. Pada nilai ekonomi, terdapat dua pertanyaan umum yaitu apakah mempunyai banyak anak akan menguntungkan orangtua atau malah menjadikan bertambahnya beban tanggungan keluarga. Masing-masing nilai anak mempunyai skor maksimal lima.
5.1
Nilai Psikologis Anak pada Keluarga Etnis Minang, Jawa dan Batak Koentjaraningrat (1957; 1985) dan Geertz (1961) sseperti yang dikutip
dalam
Zeitlin, Megawangi, Kramer, Colleta, Babatunde dan Garman (1995)
menggambarkan
anak
sebagai
sumber
kehangatan,
keberuntungan
dan
kebahagiaan dalam keluarga. Pada Tabel 15 disajikan rata-rata nilai anak dari masing-masing pernyataan pada nilai psikologi yang bersifat umum. Nilai yang tinggi pada pernyataan yang bernilai positif menunjukkan bahwa orangtua setuju terhadap pernyataan yang ada. Pada pernyataan yang bernilai negatif, tingginya
nilai menunjukkan bahwa orangtua cenderung tidak setuju terhadap pernyataan yang ada. Pada pernyataan nilai psikologi yang bersifat umum, keseluruhan orangtua dalam keluarga etnis Minang, Jawa maupun Batak mempunyai harapan yang tinggi terhadap anaknya. Orangtua mengharapkan anak dapat memperkuat kasih sayang antara suami dan istri, memberikan kebahagiaan pada orangtua, memberikan kepuasan pada orangtua, menganggap anak sebagai teman bermain bagi orangtua dan memberikan rasa aman di hari tua. Pada pernyataan yang bersifat negatif yaitu keberadaan anak dapat menimbulkan stres, menyita waktu dan uang, keseluruhan orangtua dari keluarga etnis Minang, Jawa dan Batak menyatakan tidak setuju kalau anak dianggap dapat menimbulkan stres, menyita waktu dan uang. Nilai rata-rata terendah untuk pernyataan anak dianggap dapat menimbulkan stres, menyita waktu dan uang ditemukan pada keluarga etnis Batak. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat beberapa keluarga etnis Batak yang menganggap anak dapat menimbulkan stres dan menyita waktu serta uang. Secara umum, persepsi orangtua terhadap nilai psikologi anak ialah anak dapat memberikan kepuasan bagi orangtua. Ada dua macam beban ekonomi anak menurut Robinson dan Horlacher dalam Lucas dkk (1990) seperti yang dikutip oleh Iwan (2005) yaitu : 1. Beban finansial atau biaya pemeliharaan langsung, yaitu jumlah biaya yang dikeluarkan oleh orang tua untuk makanan, pakaian, rumah, pendidikan dan perawatan kesehatan anak. 2. Biaya alternatif (opportunity cost) atau biaya tidak langsung yaitu biaya yang dikeluarkan atau penghasilan yang hilang karena mengasuh anak. Apabila seorang isteri melepaskan pekerjaannya ketika anak-anak masih kecil, maka orang tua akan kehilangan gaji yang seharusnya diterima jika istri bekerja. Bila seorang istri terus bekerja, ia harus membayar biaya pengasuhan anak dan ini juga merupakan biaya aternatif.
Tabel 15. Skor Rata-rata Nilai Psikologi Anak (Pernyataan yang Bersifat Umum) pada Keluarga Etnis Minang, Jawa dan Batak di Kelurahan Sukajadi tahun 2009 Pernyataan Nilai Anak + +
+ +
+ -
Memperkuat kasih sayang suami istri Memberikan kebahagiaan pada orangtua Teman bermain bagi orangtua Memberikan kepuasan pada orangtua Memberikan rasa aman di hari tua Anak dapat menyita waktu dan uang Anak dapat menimbulkan stress
Etnis Minang Mean SD
Etnis Jawa Mean SD
Etnis Batak Mean SD
Total Mean SD
4.79
0.41
4.79
0.41
4.93
0.26
4.83
0.36
4.94
0.23
4.94
0.23
4.93
0.26
4.93
0.24
4.38
0.49
4.38
0.49
4.93
0.26
4.56
0.41
4.29
0.49
4.29
0.49
4.86
0.53
4.48
0.50
3.90
0.60
3.90
0.60
4.79
0.57
4.19
0.59
3.17
0.83
3.17
0.83
2.68
0.47
3.00
0.71
2.90
0.79
2.90
0.79
2.74
0.44
2.84
0.67
Keterangan : Skor maksimal 5 (5=sangat setuju ; 4=setuju ; 3=ragu-ragu ; 2=tidak setuju ; 1=sangat tidak setuju) (+) pernyataan positif ; (-) pernyataan negatif
Pada Tabel 15, terlihat bahwa persepsi orangtua dari keluarga etnis Minang, Jawa dan Batak untuk pernyataan nilai psikologis anak yang bersifat umum rata-rata adalah sama. Nilai psikologis yang berhubungan dengan gender dapat dilihat pada Tabel 16. Orangtua cenderung lebih suka pada anak perempuan jika berkaitan dengan nilai-nilai yang bersifat psikologis. Orangtua mengharapkan kelak akan memperoleh keuntungan secara psikologis dari anak perempuan. Anak perempuan diharapkan untuk lebih dekat dan lebih memperhatikan orangtua di masa datang dibandingkan anak laki-laki. Orangtua merasa lebih nyaman jika anak perempuannya kelak di kemudian hari dapat tinggal bersamanya dan merawatnya karena adanya hubungan kedekatan emosi yang lebih kuat. Selain itu, orangtua juga menganggap anak laki-laki kelak akan lebih memiliki tanggung jawab pada keluarganya sehingga waktu untuk mengurus dan memperhatikan orangtua tidak akan sebanyak waktu yang dapat diluangkan anak perempuan kelak.
Tabel 16. Skor Rata-Rata Nilai Psikologi Anak (Pernyataan yang Bersifat Gender) pada Keluarga Etnis Minang, Jawa dan Batak di Kelurahan Sukajadi tahun 2009 Pernyataan Nilai Anak +
+
+
Anak perempuan lebih dekat pada orangtua Anak perempuan lebih memperhatikan orangtua di masa datang Anak laki-laki akan lebih memperhatikan orangtua di masa datang
Etnis Minang Mean SD
Etnis Jawa Mean SD
Etnis Batak Mean SD
Total Mean SD
3.63
0.48
3.29
0.46
3.71
0.46
3.54
0.46
3.75
0.43
3.43
0.64
3.71
0.46
3.63
0.51
3.77
0.42
3.64
0.63
3.41
0.50
3.60
0.51
Keterangan : Skor maksimal 5 (5=sangat setuju ; 4=setuju ; 3=ragu-ragu ; 2=tidak setuju ; 1=sangat tidak setuju) (+) pernyataan positif ; (-) pernyataan negatif
Uji ANOVA yang dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan rata-rata untuk pernyataan dalam persepsi nilai psikologis anak pada keluarga etnis Minang, Jawa dan Batak menunjukkan bahwa dari 10 pernyataan dalam persepsi nilai psikologis anak, tidak terdapat perbedaan rata-rata untuk tiga pernyataan (dimana F hitung < F tabel, dengan nilai F tabel sebesar 3,090). Pernyataan tersebut antara lain adalah pernyataan bahwa anak dapat memperkuat kasih sayang antara suami dan istri, anak perempuan akan lebih dekat pada orangtua dan anak dapat menimbulkan stres pada orangtua. Pernyataan anak perempuan akan lebih dekat pada orangtua di masa datang adalah termasuk pernyataan yang bersifat gender. Hal ini menunjukkan bahwa orangtua dari keluarga etnis Minang, Jawa dan Batak memiliki kesamaan persepsi tentang pernyataan tersebut yakni menganggap bahwa anak perempuan akan lebih dekat pada orangtua di kemudian hari. Pada tujuh pernyataan lain dalam persepsi nilai psikologis anak, ditemukan adanya perbedaan rata-rata antara keluarga etnis Minang, Jawa dan Batak dalam menanggapi pernyataan tersebut karena nilai F hitung > F tabel, dengan nilai F tabel sebesar 3,090.
5.2
Nilai Sosial Anak pada Keluarga Etnis Minang, Jawa dan Batak Skor rata-rata tertinggi untuk pernyataan mengenai nilai sosial anak adalah
pada pernyataan yang menyatakan bahwa keberadaan anak yang terdidik dengan baik akan mampu menimbulkan pernghargaan di dalam masyarakat, baik anak laki-laki maupun perempuan diharapkan dapat meningkatkan status sosial keluarga serta anak laki-laki maupun perempuan diharapkan dapat meneruskan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam keluarga. Orangtua pada umumnya mempunyai persepsi bahwa baik anak laki-laki maupun anak perempuan diharapkan dapat meningkatkan status sosial keluarga. Orangtua mengharapkan anak-anaknya memiliki pekerjaan dengan jabatan atau kedudukan yang lebih baik darinya. Orangtua juga berharap anak-anaknya bersikap serta berperilaku yang baik sesuai dengan aturan dalam masyarakat sehingga memiliki reputasi yang baik di masyarakat. Pada Tabel 17, dapat dilihat bahwa orangtua dari keluarga etnis Minang, Jawa maupun Batak menganggap tingkat pendidikan anak yang baik/tinggi dapat meningkatkan status sosial keluarga. Namun pada beberapa keluarga etnis Minang, Jawa maupun Batak masih ditemukan anak-anak yang hanya tamat SMA dan tidak melanjutkan ke perguruan tinggi dan bekerja setelah tamat SMA. Alasan utama adalah kendala ekonomi. Selain itu jumlah anggota keluarga yang banyak biasanya juga menjadi alasan mengapa anak-anak yang telah lulus SMA lebih memilih langsung bekerja, sebab dengan bekerja mereka dapat membantu memenuhi kebutuhan keluarga. Secara umum, untuk pernyataan nilai sosial anak yang bersifat umum, tidak terdapat perbedaan antara orangtua dari keluarga etnis Minang, Jawa, dan Batak. Uji ANOVA yang dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan rata-rata untuk pernyataan dalam persepsi nilai sosial anak pada keluarga etnis Minang, Jawa dan Batak menunjukkan bahwa dari 10 pernyataan dalam persepsi nilai sosial anak, tidak terdapat perbedaan rata-rata untuk tiga pernyataan (dimana F hitung < F tabel, dengan nilai F tabel sebesar 3,090). Pernyataan tersebut antara lain adalah bahwa anak yang terdidik dengan baik akan menimbulkan penghargaan dari masyarakat, baik anak laki-laki atau perempuan diharapkan
dapat meningkatkan status sosial keluarga dan anak laki-laki atau perempuan diharapkan dapat meneruskan nilai-nilai yang dijunjung tinggi di dalam keluarga. Tabel 17.
Skor Rata-Rata Nilai Sosial Anak (Pernyataan yang Bersifat Umum) pada Keluarga Etnis Minang, Jawa dan Batak di Kelurahan Sukajadi tahun 2009
Pernyataan Nilai Anak +
+
+
Anak yang terdidik baik akan menimbulkan penghargaan di masyarakat Baik anak lakilaki/perempuan diharapkan dapat meningkatkan status sosial keluarga Anak lakilaki/perempuan diharapkan dapat meneruskan nilai-nilai dalam keluarga
Etnis Minang Mean SD
Etnis Jawa Mean SD
Etnis Batak Mean SD
Total Mean SD
4.87
0.34
4.79
0.41
4.79
0.41
4.81
0.38
4.87
0.34
4.71
0.46
4.71
0.46
4.76
0.42
4.81
0.39
4.68
0.47
4.68
0.47
4.72
0.44
Keterangan : Skor maksimal 5 (5=sangat setuju ; 4=setuju ; 3=ragu-ragu ; 2=tidak setuju ; 1=sangat tidak setuju) (+) pernyataan positif ; (-) pernyataan negatif
Pada tujuh pernyataan lain dalam persepsi nilai sosial anak, ditemukan adanya perbedaan rata-rata antara keluarga etnis Minang, Jawa dan Batak dalam menanggapi pernyataan tersebut karena nilai F hitung > F tabel, dengan nilai F tabel sebesar 3,090. Pernyataan tersebut adalah pernyataan yang bersifat gender. Hal ini menunjukkan bahwa antara orangtua dari keluarga etnis Minang, Jawa dan Batak masih terdapat perbedaan persepsi dalam memandang nilai sosial anak dari segi gender. Orangtua dari keluarga etnis Batak masih cenderung menganggap anak laki-laki lebih bernilai sosial dibandingkan anak perempuan, akan tetapi pengasuhan yang diberikan tidak menjadi berbeda antara anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki menjadi lebih dominan karena merupakan penerus marga dalam keluarga etnis Batak. Anak laki-laki lebih diharapkan untuk tidak langsung menikah, melainkan bekerja terlebih dahulu. Hal ini disebabkan karena peran anak laki-laki yang nantinya akan menjadi kepala keluarga. Oleh karena itu, dibutuhkan kemapanan baik dalam hal finansial maupun mental sebelum
menikah. Sebaliknya, anak perempuan boleh bekerja namun tetap diharapkan untuk segera menikah. Jika setelah menikah anak perempuan ingin bekerja, hal itu merupakan kesepakatan antara anak perempuan dan suaminya. Meskipun demikian, kesempatan dalam hal pendidikan sama-sama diberikan pada anak lakilaki maupun anak perempuan. Tabel 18. Skor Rata-Rata Nilai Sosial Anak (Pernyataan yang Bersifat Gender) pada Keluarga Etnis Minang, Jawa dan Batak di Kelurahan Sukajadi tahun 2009 Pernyataan Nilai Anak -
-
+
+
-
+
+
Hanya anak laki-laki yang dapat membawa harum nama orangtua di masyarakat Anak laki-laki diharapkan mendapat pendidikan yang lebih tinggi Anak perempuan tidak diharapkan bekerja tetapi segera menikah Anak laki-laki diharapkan untuk bekerja dan tidak cepat menikah Anak laki-laki jauh lebih menguntungkan daripada memiliki anak perempuan Anak laki-laki diharapkan menjadi tulang punggung keluarga Anak laki-laki jauh lebih mahal karena harus menyekolahkan lebih tinggi dan harus mempersiapkan uang untuk melamar
Etnis Minang Mean SD
Etnis Jawa Mean SD
Etnis Batak Mean SD
Total Mean SD
2.29
0.49
2.68
0.47
2.68
0.47
2.55
0.47
2.23
0.46
3.41
0.78
3.41
0.78
3.01
0.67
3.12
0.32
2.68
0.47
2.68
0.47
2.82
0.42
4.21
0.45
3.91
0.28
3.91
0.28
4.01
0.33
2.63
0.48
2.91
0.57
2.91
0.57
2.81
0.54
4.38
0.49
4.79
4.79
0.41
4.65
0.43
3.25
0.48
3.82
3.82
0.38
3.63
0.41
0.41
0.38
Keterangan : Skor maksimal 5 (5=sangat setuju ; 4=setuju ; 3=ragu-ragu ; 2=tidak setuju ; 1=sangat tidak setuju) (+) pernyataan positif ; (-) pernyataan negatif
5.3
Nilai Ekonomi Anak pada Keluarga Etnis Minang, Jawa dan Batak Persepsi orangtua terhadap anaknya dalam hal nilai ekonomi menunjukkan
bahwa orangtua mengharapkan anak laki-laki maupun anak perempuan dapat membantu orangtua. Orangtua juga menganggap bahwa semakin banyak memiliki anak maka akan menambah beban tanggungan keluarga. Semakin besar keluarga
akan semakin besar pengeluaran keluarga tersebut dan pembagian perhatian kepada masing-masing anggota keluarga juga akan semakin kecil. Tabel 19. Skor Rata-Rata Nilai Ekonomi Anak (Pernyataan yang Bersifat Umum) pada Keluarga Etnis Minang, Jawa dan Batak di Kelurahan Sukajadi tahun 2009 Pernyataan Nilai Anak +
+
Mempunyai banyak anak akan menguntungkan orangtua Semakin banyak jumlah anak akan menyebabkan bertambahnyabeban tanggungan keluarga
Etnis Minang Mean SD
Etnis Jawa Mean SD
Etnis Batak Mean SD
Total Mean SD
2.27
0.44
2.71
0.46
2.88
0.32
2.62
0.40
3.75
0.43
4.21
0.42
4.09
0.51
4.01
0.45
Keterangan : Skor maksimal 5 (5=sangat setuju ; 4=setuju ; 3=ragu-ragu ; 2=tidak setuju ; 1=sangat tidak setuju) (+) pernyataan positif ; (-) pernyataan negatif
Berdasarkan Tabel 19, secara umum tidak terdapat perbedaan persepsi nilai ekonomi anak yang bersifat umum pada orangtua keluarga etnis Minang, Jawa dan Batak. Terlihat bahwa banyak orangtua dari keluarga ini yang menganggap bahwa semakin banyak anak akan menyebabkan bertambahnya beban tanggungan keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi pergeseran nilai dari tradisional ke modern dimana dahulu orangtua menganggap semakin banyak anak maka akan semakin banyak pula rejeki yang diterima keluarga tersebut. Keluarga muda yang menjadi responden dalam penelitian ini tergolong keluarga kecil, sedangkan keluarga yang tergolong keluarga besar adalah suami istri yang sudah lama berumahtangga dan memiliki banyak anak. Hal ini disebabkan karena saat itu mereka masih menganggap semakin banyak anak maka rejeki akan semakin banyak pula. Jika dilihat dari sisi gender, anak laki-laki jika telah dewasa lebih diharapkan membantu ekonomi orangtua. Anak laki-laki diharapkan dapat membantu biaya pendidikan adik-adiknya dan biaya hidup orangtua. Anak perempuan juga diharapkan demikian, namun tidak sebesar harapan orangtua terhadap anak laki-laki. Anak perempuan tetap diberi kebebasan ingin bekerja di luar rumah atau tidak. Anak laki-laki dan anak perempuan tetap dituntut untuk mampu melakukan pekerjaan rumah tangga, namun tanggung jawab utama tetap
ada pada anak perempuan karena kelak anak perempuan akan menjadi ibu rumah tangga. Oleh sebab itulah, anak laki-laki juga tetap diajarkan untuk membantu pekerjaan rumah tangga. Uji ANOVA yang dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan rata-rata untuk pernyataan dalam persepsi nilai ekonomi anak pada keluarga etnis Minang, Jawa dan Batak menunjukkan bahwa dari 10 pernyataan dalam persepsi nilai ekonomi anak, tidak terdapat perbedaan rata-rata untuk lima pernyataan (dimana F hitung < F tabel, dengan nilai F tabel sebesar 3,090). Pernyataan tersebut antara lain adalah bahwa anak perempuan tidak berkewajiban memberikan bantuan ekonomi di hari tua, hanya anak laki-laki yang diharapkan membantu menyekolahkan adik-adiknya, anak perempuan diajarkan untuk dapat membantu dalam pekerjaan rumah tangga sejak kecil sedangkan anak laki-laki tidak, anak laki-laki tidak perlu turut membantu dalam mengerjakan urusan rumah tangga dan anak laki-laki harus diasuh/diperhatikan lebih baik daripada anak perempuan. Pernyataan-pernyataan tersebut adalah pernyataan yang bersifat gender. Hal ini menunjukkan bahwa orangtua pada keluarga etnis Minang, Jawa dan Batak masih cenderung menganggap anak laki-laki lebih bernilai ekonomi dibanding anak perempuan. Pada lima pernyataan lain dalam persepsi nilai ekonomi anak, ditemukan adanya perbedaan rata-rata antara keluarga etnis Minang, Jawa dan Batak dalam menanggapi pernyataan tersebut karena nilai F hitung > F tabel, dengan nilai F tabel sebesar 3,090.
Tabel 20. Skor Rata-Rata Nilai Ekonomi Anak (Pernyataan yang Bersifat Gender) pada Keluarga Etnis Minang, Jawa dan Batak di Kelurahan Sukajadi tahun 2009 Pernyataan Nilai Anak +
+
+
+
+
+
+
+
Anak laki-laki lebih diharapkan dapat memberikan bantuan ekonomi di hari tua Anak perempuan tidak berkewajiban memberikan bantuan ekonomi di hari tua Hanya anak laki-laki yang diharapkan membantu menyekolahkan adik-adiknya Anak laki-laki jauh lebih besar sumbangannya saat ini maupun sesudah dewasa daripada anak perempuan Anak perempuan diajarkan untuk dapat membantu pekerjaan rumah tangga sejak kecil sedang anak laki-laki tidak Anak laki-laki tidak perlu turut membantu pekerjaan rumah tangga Anak laki-laki harus diasuh/diperhatikan lebih baik daripada anak perempuan Anak perempuan nantinya boleh bekerja di luar rumah seperti laki-laki
Etnis Minang Mean SD
Etnis Jawa Mean SD
Etnis Batak Mean SD
Total Mean SD
4.04
0.52
3.57
0.75
3.62
0.49
3.74
0.58
2.63
0.48
2.79
0.57
2.65
0.48
2.69
0.51
2.33
0.47
2.29
0.61
2.35
0.48
2.32
0.52
2.88
0.32
2.36
0.49
2.65
0.48
2.63
0.43
2.17
0.38
2.21
0.42
2.35
0.48
2.24
0.42
2.27
0.44
2.29
0.46
2.41
0.50
2.32
0.46
2.12
0.32
2.21
0.42
2.24
0.43
2.19
0.39
3.33
0.47
2.79
0.42
3.15
0.35
3.09
0.41
Keterangan : Skor maksimal 5 (5=sangat setuju ; 4=setuju ; 3=ragu-ragu ; 2=tidak setuju ; 1=sangat tidak setuju) (+) pernyataan positif ; (-) pernyataan negatif
VI. FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN POLA ASUH ANAK PADA KELUARGA ETNIS MINANG, JAWA DAN BATAK 6.1
Keluarga Etnis Minang Etnis Minang menganut sistem kekerabatan matrilineal dimana garis
keturunan mengikuti garis keturunan ibu. Pada responden keluarga migran etnis Minang, terlihat bahwa pola asuh anak yang diterapkan tidak berbeda antara anak laki-laki dan anak perempuan. Anak laki-laki dan anak perempuan menerima pengasuhan yang sama satu sama lain. Menurut hasil wawancara dengan responden, pembedaan hanya ditemukan dalam bentuk pemberian pakaian dan mainan. Selebihnya, responden mengaku tidak membedakan pengasuhan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Berdasarkan hasil uji korelasi menggunakan Rank Spearman, korelasi yang signifikan terlihat antara pola komunikasi dalam keluarga dengan penggunaan media massa dalam keluarga tersebut dengan koefisien korelasi sebesar 0,277 (Lampiran 4). Hal ini menunjukkan bahwa pola asuh anak dalam keluarga etnis Minang sedikit banyak berhubungan dengan pola komunikasi dan penggunaan media massa dalam keluarga tersebut. Keluarga etnis Minang menggunakan media massa untuk kepentingan hiburan dan pendidikan. Hampir setiap keluarga yang menjadi responden memiliki fasilitas hiburan yang memadai. Frekuensi menonton per hari rata-rata adalah 8,6 jam. Pola komunikasi dalam keluarga etnis Minang juga dipengaruhi oleh frekuensi penggunaan media massa khususnya televisi oleh anggota keluarga. Menurut wawancara mendalam dengan salah satu responden dari keluarga etnis Minang, terlihat bahwa penggunaan media massa dalam keluarga sangat berpengaruh terhadap pola komunikasi dalam keluarga khususnya antara anak dan orangtua. ”Anak-anak kalau nonton TV cepet banget nangkep, Mbak.. Apalagi niru gaya ngomongnya yang di TV itu.. Kalau saya ingetin udah pinter ngejawab..Film kartun jaman sekarang juga udah banyak adegan berantemnya segala.. Pusing juga ngadepinnya..” (Ibu Mariam, RT 21)
Hal ini menunjukkan bahwa kontrol orangtua dalam mengawasi tontonan anak masih kurang. Anak dengan mudah dapat membentuk sendiri persepsi
mengenai mana yang baik dan tidak baik melalui segala informasi yang didapat melalui televisi tanpa adanya filterisasi dari orangtua. Hal ini kemudian dapat berdampak pada perilaku anak di lingkungan sosialnya. Sa’adiyah (1998) dalam penelitiannya pada keluarga etnis Jawa dan Minang yang tinggal di desa dan kota menyatakan bahwa anak yang tinggal di kota lebih banyak menerima stimulasi dari orangtuanya dibandingkan dengan anak yang tinggal di desa. Hal tersebut dipengaruhi oleh nomor urut anak dalam keluarga, pendidikan orangtua dan pendapatan keluarga. Pada kasus ini, keluarga migran etnis Minang tinggal di kawasan perkotaan yang telah modern dan memiliki akses bebas terhadap teknologi. Hal ini seharusnya memberi pengaruh baik dalam hal pemberian stimulasi pada anak. Tingkat pendidikan orangtua yang rata-rata hanya tamat SMA/sederajat dapat mempengaruhi pola pikir mereka dalam hal pengasuhan anak. Mereka beranggapan bahwa pengasuhan hanya semata bersifat fisik dan kurang memperhatikan kebutuhan anak akan stimulasi positif yang dapat memaksimalkan pertumbuhan dan perkembangan mereka. Jumlah anak dan nomor urut anak dalam keluarga juga mempengaruhi pengasuhan yang diberikan orangtua pada anak. Pada responden keluarga etnis Minang yang tergolong keluarga kecil, anak masih memperoleh perhatian penuh dari kedua orangtuanya. Berbeda dengan keluarga etnis Minang yang tergolong keluarga besar dengan jumlah anak yang banyak. Perhatian orangtua tidak lagi sepenuhnya diterima oleh anak karena orangtua mempunyai tanggung jawab besar untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Usia anak juga mempengaruhi pengasuhan yang diberikan orangtua. Jika usia anak telah dirasa cukup dewasa maka orangtua tidak lagi mengawasi dan memperhatikan anak seperti saat anak masih kecil. Anak dibiarkan melakukan apa yang diinginkan dan hanya diawasi sesekali oleh orangtua. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara anak yang telah beranjak dewasa dengan orangtuanya tidak sedekat hubungan saat anak masih kecil dan berada dalam pengawasan orangtua sepenuhnya. ”Ya.. sekarang kan udah gede-gede anak saya, Mbak.. Gak perlulah diawasi terus, ditanyain mau kemana, ngapain.. Yang penting dia gak macem-macem di luar sana..(Ibu Saidah, RT 21)
Berdasarkan hasil korelasi Rank Spearman juga terlihat bahwa lingkungan fisik, lingkungan sosial, peran sekolah, peran keluarga besar dan peran media
massa tidak berhubungan positif dengan penanaman nilai Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) dan fungsi prokeasi dalam keluarga (Lampiran 4). Lingkungan fisik yang kurang memadai, lingkungan sosial atau pergaulan di kawasan pemukiman yang tidak kondusif, dan akses terhadap media massa khususnya televisi yang mudah, tidak mendukung terciptanya iklim pengasuhan yang baik bagi anak. Peran sekolah dirasa kurang mendukung terbentuknya karakter anak. Hal ini dapat dilihat melalui kutipan wawancara dengan salah satu responden dari keluarga etnis Minang. ”Sekolah ya gitu aja lah, Mbak.. Paling ngasih PR, itu juga jarang kayaknya.. Sekolahnya juga sekolah negeri, jadi guru-gurunya kayaknya juga kurang merhatiin anak muridnya.. Yang penting ngasih PR, ada ulangan, ada ujian..” (Bapak Rahmat, RT 21)
Kehadiran anggota keluarga besar dalam keluarga etnis Minang dirasa sangat membantu dalam hal meringankan pekerjaan rumah tangga. Hanya 4 responden keluarga dari total 52 responden keluarga etnis Minang yang menyatakan bahwa anggota keluarga besar yang ikut tinggal bersama mereka juga turut membantu dalam hal finansial. Adanya anggota keluarga besar yang ikut tinggal bersama juga tidak begitu membantu dalam hal pengasuhan anak secara psikis. ”Mertua saya kan tinggal sama kami, Mbak.. Ya, kalau saya lagi jualan anak saya Ibu yang jaga. Kadang Ibu sambil masak juga.. Daripada anak saya bawa jualan ke pasar kan ntar malah repot.. Jadi di rumah saja, ada yang jagain ini”(Ibu Rani, RT21)
6.2
Keluarga Etnis Jawa Etnis Jawa menganut sistem kekerabatan yang bersifat bilateral. Keluarga
cenderung menganggap anak laki-laki dan anak perempuan adalah sama. White (1975) seperti yang dikutip dalam Zeitlin, Megawangi, Kramer, Colleta, Babatunde dan Garman (1995) menyatakan bahwa pada keluarga petani Jawa dalam desa yang miskin, anak yang masih kecil juga terlibat secara aktif dalam pekerjaan rumah tangga, menjaga saudara kandungnya dan beberapa pekerjaan dalam hal pertanian. Koentjaraningrat (1985) dalam Zeitlin, Megawangi, Kramer, Colleta, Babatunde dan Garman (1995) juga menyatakan bahwa bagi keluarga
Jawa yang tergolong miskin, anak merupakan aset untuk memberikan kontribusi bagi pendapatan keluarga. Berbeda dengan keluarga Jawa yang tergolong ekonomi menengah ke atas yang menganggap anak sebagai prestise. Responden keluarga migran etnis Jawa pada penelitian ini rata-rata tergolong keluarga kecil.
Hanya 2 dari 14 responden yang tinggal bersama
dengan anggota keluarga besarnya. Hal ini juga terlihat dari korelasi Rank Spearman yang menunjukkan bahwa peran keluarga besar tidak berhubungan positif dengan penanaman nilai Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) dan fungsi prokreasi dalam keluarga migran etnis Jawa (Lampiran 5). Kehadiran anggota keluarga besar dalam keluarga responden hanya memberi pengaruh dalam meringankan pekerjaan rumah tangga dan membantu menjaga anak, tidak memberi pengaruh dalam hal finansial keluarga. Korelasi antara lingkungan fisik dan peran lembaga keagamaan adalah yang paling signifikan diantara faktor-faktor lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan kegiatan keagamaan yang aktif dilaksanakan dan diikuti oleh penduduk di lingkungan RT 22. Pengajian diadakan setiap hari Rabu dan anak-anak juga aktif mengikuti pelajaran mengaji. Menurut salah satu responden, kegiatan belajar mengaji bagi anak-anak cukup memberi pengaruh dalam hal sikap dan tingkah laku anak sehari-hari. Anak menjadi lebih rajin sholat, pintar mengaji dan menjadi lebih penurut pada orangtua. Hal ini juga mendukung pernyataan Koentjaraningrat yang menyatakan bahwa masyarakat Jawa adalah masyarakat yang sangat berpegang pada nilai agama (Zeitlin, Megawangi, Kramer, Colleta, Babatunde dan Garman, 1995). ”Kalau yang besar saya suruh ikut ngaji, Mbak.. Biasanya seminggu empat kalo dia belajar ngaji sama guru ngajinya. Biar ada bekal ilmu agamanya lah dari kecil..(Ibu Susi, RT 22)
Murder (1978) dalam Zeitlin, Megawangi, Kramer, Colleta, Babatunde dan Garman (1995) menyatakan bahwa budaya Jawa termasuk salah satu budaya kolektivisme yang salah satunya diwujudkan dalam bentuk gotong royong. Hal ini sudah tidak ditemukan lagi dalam kehidupan keluarga etnis Jawa di Kelurahan Sukajadi. Hal ini disebabkan karena semakin memudarnya nilai kebudayaan Jawa yang ada dan faktor pekerjaan yang menyita waktu masing-masing responden dari keluarga migran etnis Jawa.
Peran media massa terbukti signifikan tidak memiliki hubungan yang bersifat positif dengan fungsi prokreasi dalam keluarga etnis Jawa. Padahal terdapat 10 dari 14 orangtua yang mengaku sering menonton televisi bersama anak. Meskipun demikian, orangtua jarang menggunakan kesempatan menonton televisi bersama anak untuk menanamkan nilai moral pada anak. Menonton televisi hanya dianggap sebagai sarana hiburan bagi keluarga. Hal ini juga berhubungan dengan tingkat pendidikan formal Kepala Keluarga (KK) dari keluarga migran etnis Jawa yang rata-rata hanya tamat SMA/sederajat, bahkan ada yang hanya menamatkan SD/sederajat.
6.3
Keluarga Etnis Batak Etnis Batak menganut sistem kekerabatan yang bersifat patrilineal
(mengikuti garis keturunan ayah). Pada keluarga etnis Batak, anak laki-laki adalah penting karena merupakan penerus marga. Seorang anak laki-laki dalam keluarga Batak memiliki tanggung jawab untuk bisa meneruskan keturunan sehingga dituntut untuk hidup mandiri dan bertanggungjawab. Berdasarkan uji korelasi dengan menggunakan Rank Sperman, beberapa faktor yang memiliki hubungan yang sangat signifikan (pada level 0,01) adalah hubungan antara lingkungan fisik dengan lingkungan sosial, media massa dan pola komunikasi keluarga (Lampiran 6). Korelasi positif antara lingkungan fisik dengan lingkungan sosial dapat dilihat dari anak-anak dari keluarga etnis Batak yang lebih sering bermain di luar rumah dan berbaur dengan lingkungan sekitar tempat tinggal mereka. Orangtua dari keluarga etnis Batak juga sering berinteraksi dengan tetangga dan membicarakan topik yang berkaitan dengan kehidupan keluarga maupun topik lain yang bersifat umum. Korelasi positif antara lingkungan fisik dengan media massa terlihat dari keterdedahan keluarga etnis Batak terhadap teknologi. Semua keluarga etnis Batak yang menjadi responden memiliki televisi dan parabola di rumah masingmasing dengan rata-rata frekuensi menonton televisi sebanyak 8,6 jam per hari. Hal ini menunjukkan bahwa hiburan adalah kebutuhan mutlak bagi keluarga etnis Batak.
Lingkungan sosial berhubungan signifikan pada level 0,01 dengan peran keluarga besar dan pola komunikasi dalam keluarga. Keluarga etnis Batak dalam penelitian ini tergolong aktif dalam mengikuti kegiatan di lingkungan sosial baik di sekitar tempat tinggal maupun di lingkup gereja, mesjid atau tempat kerja. Mereka juga cenderung melibatkan sanak saudara dalam aktivitas kehidupan mereka. Hal ini membuat mereka memiliki
kemampuan bersosialisasi yang
cukup baik dengan lingkungan sekitar. Mayoritas responden dari keluarga etnis Batak adalah beragama Kristen Protestan. Mereka cenderung menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah swasta. Alasan mereka memilih sekolah swasta adalah agar anak-anak mereka dapat lebih diperhatikan perkembangan kognitif, afektif maupun motoriknya dibandingkan jika sekolah di sekolah negeri. Lembaga keagamaan dan keluarga besar tidak begitu berperan dalam penanaman nilai Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) pada keluarga migran etnis Batak (Lampiran 6). Hanya terdapat 5 keluarga dari 34 keluarga etnis Batak yang tinggal bersama dengan anggota keluarga besar. Kegiatan keagamaan yang diikuti oleh keluarga etnis Batak, khususnya yang beragama Kristen Protestan juga tidak terlalu menitikberatkan pada penanaman nilai keadilan dan kesetaraan gender, sehingga lembaga keagamaan tidak begitu berperan dalam penanaman nilai Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG). Sebaliknya, peran lembaga keagamaan terlihat berhubungan positif dengan fungsi prokreasi dalam keluarga etnis Batak. Hal ini disebabkan oleh ajaran agama masing-masing responden yang menitikberatkan pada penanaman nilai moral. Pola komunikasi dalam keluarga juga memiliki hubungan positif dengan fungsi prokreasi keluarga etnis Batak. Pola komunikasi yang terbentuk dalam responden keluarga etnis Batak cenderung bersifat komunikasi dua arah sehingga melalui pola komunikasi yang demikian orangtua dapat menanamkan nilai moral dan budaya kepada anak tanpa membuat anak merasa digurui.
VII. RELASI GENDER DAN POLA PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM PENGASUHAN ANAK PADA KELUARGA ETNIS JAWA, MINANG DAN BATAK 7.1
Keluarga Etnis Minang
7.1.1 Pembagian Kerja dan Curahan Waktu Garis keturunan dalam masyarakat Minang adalah menurut garis keturunan ibu (matrilineal). Peran seorang ibu dalam masyarakat Minang adalah melanjutkan keberadaan suku dalam garis matrilineal dan menjadi ibu rumah tangga dari keluarga, suami dan anak-anaknya. Seorang ayah dalam masyarakat Minang memiliki peran sebagai ayah biologis dari anak-anak yang dilahirkan. Ayah juga memiliki peran sebagai ayah sosial yang juga turut merawat dan mengasuh keponakannya. Perpindahan atau migrasi yang dilakukan oleh masyarakat Minang di lokasi penelitian sedikit banyak mulai mempengaruhi pola kehidupan mereka. Peran istri dalam sektor domestik juga mulai dibantu oleh anak, pembantu atau sanak keluarga yang lain yang ikut tinggal bersama. Peran suami dalam sektor produktif juga tidak lagi mutlak sebab istri juga membantu guna memenuhi kebutuhan keluarga yang semakin meningkat saat ini. Keikutsertaan istri dalam sektor produktif kemudian juga mempengaruhi pembagian kerja dan curahan waktu dalam keluarga. Tabel 21 menunjukkan profil aktivitas yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dalam keluarga etnis Minang yang mencakup aktivitas sosial ekonomi, aktivitas reproduktif dan pemeliharaan sumber daya manusia serta aktivitas sosial. Berdasarkan Tabel 21, terlihat bahwa sektor produktif tidak hanya milik laki-laki saja. Perempuan, dalam hal ini adalah istri juga terlibat dalam sektor produktif. Norma sosial dan nilai budaya yang dulunya menciptakan status dan peranan perempuan hanya sebatas sektor domestik saja mulai luntur karena perempuan juga terlibat dalam sektor produktif. Anak laki-laki maupun perempuan yang telah dewasa juga turut membantu memenuhi kebutuhan keluarga dengan bekerja.
Tabel 21. Aktivitas Produksi, Reproduksi dan Sosial pada Keluarga Etnis Minang di Kelurahan Sukajadi Tahun 2009 Aktivitas Sosial Ekonomi
LD
PD
Produksi Barang dan Jasa : Bekerja sebagai pedagang, buruh pabrik, buruh bangunan, karyawan V swasta, PNS, tukang becak dll Berjualan V Reproduktif dan Pemeliharaan SDM : Memasak V Menyapu dan mengepel V rumah Mengasuh anak V Mencuci baju dan piring V Membersihkan halaman V V Kegiatan Sosial Mengikuti organisasi V Bersosialisasi dengan V V lingkungan sekitar
LA
PA
V
V
V V
V V
V
LL
PL
Waktu M/H Jam
Lokasi
H
8
D
H
5-6
D
V V
H H
1 ½
A A
V
H H H
12 2 1/2
A A D
M H
2 2
D C, D
Keterangan : LD = Laki-laki Dewasa ; PD = Perempuan Dewasa ; LA =Laki-laki Anak ; PA = Perempuan Anak ; LL=Laki-laki Lanjut ; PL = Perempuan Lanjut H = Harian ; M = Mingguan
Menurut hasil wawancara mendalam dengan salah satu responden, anak laki-laki atau perempuan yang telah dewasa, belum menikah dan yang tidak lagi bersekolah juga diharapkan dapat membantu mencukupi kebutuhan keluarga dengan bekerja. ”Jaman sekarang kalau hanya mengandalkan suami yang kerja, gak bakalan cukup nutupin kebutuhan, Mbak.. Makanya saya juga ikut kerja, jualan di pasar. Lumayanlah buat nambah-nambah uang belanja sehar-hari.. (Ibu Eti, RT 21, 43 tahun) ”Suami saya kerjanya di Jakarta sama anak saya yang paling tua. Saya sekarang tinggalnya sama empat anak saya, laki-laki semua.. Saya ya jualan kue di pasar, Mbak.. Anak saya yang kedua juga ikut kerja jadi buruh. Kalo gak kerja mau makan apa? Suami juga belum tentu ngirim duit tiap bulannya..” (Ibu Ratna, RT 21, 39 tahun) Jam kerja laki-laki dalam sektor produktif rata-rata adalah 8 jam per hari yang biasanya dimulai pada pukul 8 pagi hingga pukul 4 sore. Responden yang bermatapencaharian sebagai pedagang atau buruh bangunan biasanya memiliki pola kerja semacam itu. Perbedaannya hanyalah responden yang bekerja sebagai
buruh bangunan cenderung tidak tetap pekerjaannya dibanding responden yang pekerjaannya adalah pedagang. Responden yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil atau karyawan swasta cenderung lebih teratur jam kerjanya karena sudah ada jadwal yang mengikat mereka. Responden yang bekerja sebagai buruh pabrik biasanya bekerja dengan sistem shift namun tetap memiliki jam kerja yang teratur kecuali jika perusahaan atau pabrik tempat mereka bekerja meminta perpanjangan waktu kerja (lembur). Perempuan yang ikut bekerja kebanyakan bermatapencaharian sebagai pedagang sayur, buah atau kue di pasar. Pekerjaan tersebut mereka pilih karena menurut mereka tidak terlalu menyita waktu sehingga mereka tetap dapat mengurus rumah sekaligus memperoleh pendapatan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Jam kerja mereka hanya berkisar antara 4-5 jam, yaitu dimulai dari pukul 6 pagi hingga pukul 10 atau 11 siang. Selain itu, mereka juga memperoleh pendapatan dengan membuka warung di rumah mereka sendiri. Menurut beberapa responden, dengan membuka warung di rumah mereka dapat tetap mengontrol anak-anak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. ”Ya lumayanlah, Mbak.. Buka warung gini bisa nambah uang belanja meskipun gak seberapa. Bisa buat jajan anak-anak juga.. Warung juga kan gak terus-terusan rame, pas lagi sepi saya sambil ngerjain kerjaan rumah.. nyapu, masak, nyetrika, jagain si kecil..”(Ibu Meda, RT 21, 32 tahun) Berkaitan dengan sektor reproduktif, perempuan masih tetap memegang peran yang dominan meskipun laki-laki juga turut terlibat dalam beberapa hal. Perempuan tetap mengurus pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci baju dan piring, menyapu dan mengepel, serta mengasuh anak. Perempuan yang ikut bekerja biasanya akan menyiapkan sarapan dan keperluan sekolah anak serta barang dagangan yang akan dijual sebelum mereka berangkat ke pasar untuk berjualan. Curahan waktu antara laki-laki dan perempuan dalam sektor reproduktif juga jelas berbeda dimana perempuan lebih banyak mencurahkan waktu dalam sektor reproduktif meskipun juga terlibat dalam sektor produksi. Keterlibatan laki-laki dalam sektor reproduktif juga bukan sebagai suatu kewajiban yang mutlak dilakukan. Hal ini jelas berbeda dengan perempuan yang memang memiliki tanggung jawab penuh terhadap sektor reproduktif. Tugas
pengasuhan yang bersifat fisik masih sering dilakukan oleh suami, khususnya pada keluarga muda yang baru memiliki satu atau dua orang anak. Pengasuhan yang bersifat psikis atau pemberian stimulasi positif pada anak lebih sering dilakukan oleh istri. Pada keluarga etnis Minang yang tergolong keluarga luas, tugas sektor reproduktif dapat menjadi lebih ringan dengan adanya anggota keluarga luas yang turut tinggal bersama mereka. Kehadiran anggota keluarga luas membantu dalam hal pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci piring dan pakaian, menyetrika bahkan dalam hal mengasuh anak. Bila tidak ada anggota keluarga luas yang ikut tinggal bersama, maka beban pekerjaan rumah tangga biasa dibagi dengan anak perempuan yang sudah dianggap mampu untuk membantu. ”Kalau saya jualan.. yang bantu-bantu di rumah ya Ibu saya.. Saya kan pulang jam 11an, habis jualan baru masak untuk makan siang. Kasian juga kalo Ibu semua yang ngerjain..”(Ibu Anisa, RT 21, 38 tahun) ”Paling sebelum berangkat jualan saya nyiapin makanan buat Bapak sebelum kerja.. Anak-anak udah gede sih, Mbak.. Udah bisa ngurus diri sendirilah.. Bisa bantu-bantu bersihin rumah juga, jadi kalo saya pulang jualan rumah udah rapi..” (Ibu Wati, RT 21, 38 tahun) Aktivitas sosial yang dijalani meliputi kegiatan berorganisasi dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar tempat tinggal responden. Bentuk organisasi atau perkumpulan yang ada di RT 21 adalah arisan ibu-ibu, pengajian ibu-ibu dan kegiatan PKK atau Posyandu. Menurut responden, mengikuti kegiatan semacam itu dapat memperluas wawasan, menghilangkan kebosanan dan berfungsi pula sebagai sarana sosialisasi, akan tetapi kegiatan atau organisasi yang melibatkan bapak-bapak tidak ditemui di RT 21. Interaksi sosial yang dilakukan oleh laki-laki sebatas interaksi dengan tetangga dan rekan sekerja. Anak-anak melakukan interaksi sosialnya dengan teman sebaya dan lingkungan pergaulan di sekolah maupun di tempat mereka bekerja. Jika dihubungkan dengan perspektif gender dalam pengasuhan anak, peran suami dalam mengasuh anak mulai terlihat pada keluarga etnis Minang. Suami mulai terlibat dalam kegiatan pengasuhan anak khususnya yang bersifat fisik seperti menggendong atau aktivitas bermain dengan anak. Hal tersebut banyak
ditemukan pada responden keluarga migran etnis Minang yang masih tergolong keluarga muda dengan jumlah anak yang tidak lebih dari 2. Suami dan istri masih sama-sama terlibat dalam mengasuh anak, terlebih jika tidak ada anggota keluarga luas yang ikut tinggal bersama mereka. Etnis Minang yang menganut sistem matrilineal tidak lantas membuat perbedaan yang jelas antara peran suami dan istri serta pengasuhan pada anak laki-laki dan perempuan. Meskipun perempuan memang memegang peran penting dalam masyarakat Minang, laki-laki juga diberi kesempatan yang sama dalam hal akses pendidikan. Pengasuhan juga tidak lantas dibedakan secara ekstrim antara anak laki-laki dan perempuan. Hal ini dipengaruhi oleh pandangan orangtua etnis Minang yang sudah tidak lagi bersifat tradisional dan mulai menganggap bahwa anak laki-laki dan anak perempuan adalah sama dan berhak mendapatkan pengasuhan yang sama pula.
7.1.2 Pola Pengambilan Keputusan dalam Keluarga Pola pengambilan keputusan dalam keluarga dibagi menjadi lima tipe yaitu (1) pengambilan keputusan oleh istri saja; (2) pengambilan keputusan oleh istri bersama dengan suami dimana istri lebih dominan; (3) pengambilan keputusan oleh istri bersama dengan suami yang bersifat setara; (4) pengambilan keputusan oleh istri bersama dengan suami dimana suami lebih dominan; dan (5) pengambilan keputusan oleh suami saja.
Pada keluarga etnis Minang,
pengambilan keputusan dalam hal konsumsi barang dan jasa seperti pangan, sandang, membeli kebutuhan rumah tangga dan kesehatan anggota keluarga dilakukan oleh istri saja. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa istri dianggap paling mengerti kondisi rumah tangga dibandingkan suami karena istri lebih lama berada di rumah dibanding suami yang bekerja di luar rumah. Pengambilan keputusan dalam hal pembentukan keluarga yang mencakup pembagian tugas anak, disiplin anak, sopan santun anak, sekolah anak, biaya sekolah anak, menentukan jumlah anak, ikut KB dan jenis KB yang digunakan dilakukan secara bersama-sama oleh suami dan istri secara seimbang. Pada aspek keuangan keluarga, pengeluaran dan alokasi diserahkan sepenuhnya kepada istri selaku ibu rumah tangga. Suami hanya bersifat mengontrol. Namun dalam hal
pemegang keuangan keluarga, suami tetap memiliki wewenang. Namun pada beberapa keluarga responden, ditemukan bahwa istri yang sepenuhnya memegang keuangan keluarga. Pada aspek partisipasi sosial, pengambilan keputusan dalam hal ikut kegiatan sosial di masyarakat sepenuhnya dilakukan oleh suami dan istri secara bersama-sama. Jika ingin mengikuti suatu organisasi atau kegiatan sosial di masyarakat, istri tetap meminta ijin kepada suami. Suami juga tidak bertindak mengekang atau melarang istri mengikuti kegiatan semacam itu selama tidak memberi dampak negatif.
7.2
Keluarga Etnis Jawa
7.2.1 Pembagian Kerja dan Curahan Waktu Hermawati (2007) menyatakan bahwa pada keluarga, terdapat dinamika pembagian kerja antara individu-individu di dalamnya untuk mempertahankan kelangsungan hidup keluarga. Pembagian kerja di dalam keluarga akan membawa konsekuensi berupa adanya pengalokasian anggota keluarga (suami, istri, anakanak, keluarga luas) untuk melakukan kegiatan produksi, reproduktif dan sosial. Keluarga dan masyarakat Jawa mempunyai pandangan dan harapan yang berbeda pada anak laki-laki dan perempuan. Pandangan ini mempengaruhi cara perlakuan masyarakat dan pengasuhan orangtua, yang telah mereka tanamkan sejak mereka bayi. Pembagian peran dalam masyarakat yang berhubungan dengan hal-hal ‘apa yang boleh dilakukan’ dan ‘siapa yang boleh melakukan’ mempengaruhi pemahaman mengenai partisipasi masing-masing jenis kelamin dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan hal ini menjadi sangat kuat di bidang pendidikan, biasanya anak laki-laki mendapat prioritas pendidikan yang lebih tinggi, dengan anggapan anak laki-laki kelak akan mendapat pekerjaan, peran dan kedudukan yang tinggi, sementara anak perempuan kelak akan mengasuh anak dan mengurus rumah tangga (Goode, 1997). Hal yang senada dikatakan juga oleh De Jong (1976) yang menuturkan bahwa seperti layaknya dalam keluarga Jawa, lingkungan keluarga dan masyarakat juga lebih memprioritaskan kesempatan dan fasilitas bagi anak laki-laki untuk mengembangkan kemampuannya daripada anak perempuannya .
Zeitlin, Megawangi, Kramer, Colleta, Babatunde dan Garman (1995) menyatakan bahwa dalam budaya Jawa menyatakan bahwa peran suami dan istri mempunyai batasan yang jelas. Peran suami tidak lepas dari perannya sebagai laki-laki. Peran produksi merupakan peran yang berhubungan dengan kegiatan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup, merupakan peran untuk mencari nafkah bagi keluarganya di luar rumah. Peran sosial adalah peran yang dibawa dan dimainkan oleh seseorang dalam masyarakat, peran tersebut berkaitan dengan hidup sosial pada umumnya, seperti peran-peran dalam hukum, pemerintahan, agama, kepemimpinan lain dalam masyarakat. Sedang peran reproduktif adalah peran yang dimainkan oleh kaum perempuan. Peran ini berhubungan dengan kegiatan untuk mempertahankan dan melangsungkan kehidupan, tetapi tidak berhubungan dengan menghasilkan uang, misalnya melahirkan dan mengurus anak, memasak, dan mengurus anggota keluarga, membersihkan rumah dan lainlain. Dengan adanya perbedaan peran tersebut, kaum istri atau perempuan menjadi lemah, bodoh, dan miskin. Kaum perempuan tidak mempunyai kekuasaan untuk ikut mengambil keputusan, karena posisinya secara sosial yang tidak menguntungkan tersebut, sehingga tidak jarang hal ini membuat mereka dalam posisi yang rapuh (Goode, 1997). Tabel berikut ini menunjukkan profil aktivitas yang dilakukan oleh lakilaki dan perempuan dalam keluarga etnis Jawa yang mencakup aktivitas sosial ekonomi, aktivitas reproduktif dan pemeliharaan sumber daya manusia serta aktivitas sosial. Berdasarkan Tabel 22, istri dalam keluarga etnis Jawa juga melibatkan diri dalam sektor produktif meskipun tidak banyak. Sama halnya dengan etnis Minang, istri dalam keluarga etnis Jawa juga terlibat dalam pemenuhan kebutuhan keluarga. Anak-anak yang telah dewasa dan belum menikah juga bekerja dan menyumbangkan pendapatan guna memenuhi kebutuhan keluarga. Pekerjaan yang digeluti oleh suami dalam keluarga etnis Jawa kebanyakan adalah buruh bangunan. Jam kerja yang tidak tetap menyebabkan mereka memiliki pekerjaan sampingan lain yang akan mereka lakukan jika sedang tidak bekerja sebagai buruh bangunan.
Tabel 22. Aktivitas Produksi, Reproduksi dan Sosial pada Keluarga Etnis Jawa di Kelurahan Sukajadi tahun 2009 Aktivitas Sosial Ekonomi Produksi Barang dan Jasa : Bekerja sebagai pedagang, buruh pabrik, buruh bangunan, karyawan toko, tukang becak dll Berjualan Reproduktif dan Pemeliharaan SDM : Memasak Menyapu dan mengepel rumah Mengasuh anak Mencuci pakaian dan piring Membersihkan halaman Kegiatan Sosial Mengikuti organisasi Bersosialisasi dengan lingkungan sekitar
LD
PD
LA
PA
V
V
V
V
LL
PL
V
V V
V V V V V
V V V V
V
V
V
V
V V V V
Waktu M/H Jam
Lokasi
H
8
D
H
5
D
H H H H H
1 ½ 12 2 1/2
A A A A D
M
2
D
Keterangan : LD = Laki-laki Dewasa ; PD = Perempuan Dewasa ; LA =Laki-laki Anak ; PA = Perempuan Anak ; LL=Laki-laki Lanjut ; PL = Perempuan Lanjut H = Harian ; M = Mingguan
Pada sektor reproduktif, istri memegang peranan dominan. Peran laki-laki juga terlihat dalam membantu pekerjaan rumah tangga walaupun tidak sering. Suami membantu dalam pekerjaan seperti membersihkan halaman dan mengasuh anak saat istri sedang mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Namun hal tersebut dilakukan saat suami sedang tidak bekerja atau sedang berada di rumah. Perempuan tetap mengurus pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci baju dan piring, menyapu dan mengepel, serta mengasuh anak. Jika dalam keluarga tersebut memiliki anggota keluarga luas yang ikut tinggal bersama, maka pekerjaan rumah tangga akan menjadi lebih ringan. Beberapa keluarga juga merasa terbantu dalam hal finansial dengan adanya anggota keluarga luas mereka yang ikut tinggal bersama. Tugas pengasuhan yang bersifat fisik masih sering dilakukan oleh suami, khususnya pada keluarga muda yang baru memiliki satu atau dua orang anak. Pengasuhan yang bersifat psikis atau pemberian stimulasi positif pada anak lebih sering dilakukan oleh istri ataupun anggota keluarga besar yang ikut tinggal bersama seperti nenek. ”Adik suami saya kan ikut tinggal sama kita, Mbak.. Dia juga kerja. Ya, kadang suka ngasih uang belanja juga buat sehari-hari. Lumayanlah, Mbak.. Namanya juga keluarga, harus saling tolong menolong..”(Ibu Endah, RT 22)
”Mertua saya kan tinggal di sini, Mbak.. Kalo masak ya dibantuin, tapi gak tega juga kalo liat Ibu ngerjain yang lain. Sudah tua, Mbak.. Tapi kadang suka ikutan ngebantuin kalo saya lagi nyuci baju atau nyetrika..” (Ibu Sriyati, RT 22) Aktivitas sosial yang dilakukan oleh keluarga etnis Jawa sama seperti yang dilakukan oleh keluarga etnis Minang. Kegiatan yang ditemukan di RT 22 hanya berkisar pada kegiatan yang melibatkan ibu-ibu seperti arisan, pengajian dan kegiatan Posyandu. Organisasi atau perkumpulan untuk laki-laki tidak ditemukan di RT 22. Aktivitas sosial yang dilakukan oleh suami hanya sebatas berinteraksi dengan tetangga dan rekan kerja. Aktivitas sosial yang dilakukan anak juga sebatas berinteraksi dengan teman sebaya dan lingkungan sekitar tempat tinggal. Relasi gender dalam pengasuhan anak di keluarga etnis Jawa juga tergolong seimbang antara suami dan istri. Suami ikut terlibat dalam kegiatan domestik, meskipun dalam penelitian ini frekuensinya tidak begitu sering. Hal ini disebabkan karena suami-suami telah menghabiskan banyak waktu dalam sektor produksi. Etnis Jawa menganut sistem bilateral yang memandang sistem kekerabatan berdasarkan garis keturunan ayah dan ibu sehingga pengasuhan antara anak laki-laki dan perempuan juga tidak berbeda.
7.2.2 Pola Pengambilan Keputusan dalam Keluarga Pola pengambilan keputusan dalam keluarga dibagi menjadi lima tipe yaitu (1) pengambilan keputusan oleh istri saja; (2) pengambilan keputusan oleh istri bersama dengan suami dimana istri lebih dominan; (3) pengambilan keputusan oleh istri bersama dengan suami yang bersifat setara; (4) pengambilan keputusan oleh istri bersama dengan suami dimana suami lebih dominan; dan (5) pengambilan keputusan oleh suami saja. Pada keluarga etnis Jawa, pengambilan keputusan dalam hal konsumsi barang dan jasa yang mencakup kebutuhan pangan, sandang, alat rumah tangga dan kesehatan anggota keluarga ada pada tangan istri. Namun dalam hal Waktu rembelian alat rumah tangga dan tempat berobat jika ada anggota keluarga yang sakit, suami ikut berperan dalam mengambil keputusan. Selebihnya, misalnya dalam hal konsumsi makanan termasuk belanja, variasi dan distribusi diserahkan kepada istri. Selain itu dalam
hal memnuhi kebutuhan sandang juga diserahkan kepada istri. Suami hanya bertindak mengambil keputusan dalam hal waktu membelinya saja. Pada aspek pembentukan keluarga, keputusan diambil secara bersamasama oleh suami dan istri dalam hal disiplin anak, sopan santun anak, sekolah dan biaya sekolah anak, menentukan jumlah anak, ikut KB dan jenis KB yang digunakan. Dalam hal pembagian tugas anak di rumah, keputusan diambil sepenuhnya oleh istri karena istri dianggap lebih mengerti kondisi rumah dibanding suami sehingga istri lebih mengetahui pembagian tugas yang bagaimana yang tepat bagi anak. Suami hanya bertindak mengawasi dan menegur jika anak lalai dalam melaksanakan tugas yang diberikan oleh istri. Suami tetap menganggap bahwa anak, baik laki-laki maupun perempuan, berkewajiban membant pekerjaan orangtua di rumah. Pada aspek keuangan, suami tetap memegang keuangan keluarga. Namun kadangkala suami juga memberi kewenangan kepada istri untuk mengatur sendiri keuangannya asal sepengetahuan suami. Segala hal yang berkaitan dengan pengeluaran dan pemasukan keluarga harus dibicarakan bersama agar tidak terjadi kesalahpahaman atau masalah intern dalam keluarga yang berkaitan dengan keuangan. Pada aspek partisipasi sosial anggota keluarga, keputusan untuk mengikuti suatu kegiatan atau organisasi sosial di masyarakat dan lingkungan pergaulan tidak dikekang. Setiap anggota keluarga memiliki hak yang sama untuk mengikuti kegiatan atau organisasi. Anak-anak juga diberi hak untuk berinteraksi dengan teman sebanyanya, mengikuti organisasi di sekolah atau di lingkungan pergaulannya, namun harus dengan sepengetahuan orangtua. Setiap anak dididik untuk bertanggungjawab pada apa yang mereka lakukan.
7.3
Keluarga Etnis Batak
7.3.1 Pembagian Kerja dan Curahan Waktu Sistem kekerabatan dalam etnis Batak adalah mengikuti garis keturunan ayah (patrilineal). Tabel berikut ini menunjukkan profil aktivitas yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dalam keluarga etnis Batak yang mencakup aktivitas
sosial ekonomi, aktivitas reproduktif dan pemeliharaan sumber daya manusia serta aktivitas sosial. Berdasarkan Tabel 23, terlihat bahwa sektor produksi tidak hanya milik laki-laki, namun perempuan juga terlibat di dalamnya. Istri yang ikut bekerja dalam keluarga migran etnis Batak biasanya bermatapencaharian sebagai pedagang pakaian bekas atau sayur mayur di pasar. Pekerjaan ini cukup mengurangi waktu istri berada di rumah karena curahan waktu kerjanya berkisar antara 5-6 jam seriap harinya. Pada umumnya, istri dalam keluarga migran etnis Batak yang bermatapencaharian sebagai penjual pakaian bekas akan mulai berjualan pada pukul 10 pagi. Sebelum berangkat kerja, istri terlebih dahulu menyiapkan keperluan untuk suami dan anak-anak, memasak dan membersihkan rumah. Jika dalam keluarga masih terdapat anak-anak yang membutuhkan pengawasan penuh dari ibunya, maka anak akan diajak ke tempat ibu berjualan atau dititipkan kepada anggota keluarga yang lain. Anak-anak yang telah dewasa dan belum menikah, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, juga ikut bekerja dan membantu pemenuhan kebutuhan hidup keluarga. Tabel 23. Aktivitas Produksi, Reproduksi dan Sosial pada Keluarga Etnis Batak di Kelurahan Sukajadi tahun 2009 Aktivitas Sosial Ekonomi
LD
Produksi Barang dan Jasa : Bekerja sebagai buruh pabrik, buruh bangunan, V karyawan toko, tukang becak dll. Berjualan V Reproduktif dan Pemeliharaan SDM : Memasak Menyapu dan mengepel rumah Mengasuh anak V Mencuci pakaian dan piring Membersihkan halaman V Kegiatan Sosial Mengikuti organisasi Bersosialisasi dengan lingkungan sekitar
PD
LA
PA
V
V
LL
PL
V V V
Waktu M/H Jam
Lokasi
H
8
D
H
5-6
D
V V
V V
H H
1 ½
A A
V V
H H H
12 2 1/2
A A D
M
2
D
V V V
V V
V
V
V
V
Keterangan : LD = Laki-laki Dewasa ; PD = Perempuan Dewasa ; LA =Laki-laki Anak ; PA = Perempuan Anak ; LL=Laki-laki Lanjut ; PL = Perempuan Lanjut H = Harian ; M = Mingguan
Curahan waktu suami bekerja di luar rumah lebih lama dibandingkan dengan curahan waktu istri bekerja di luar rumah. Hal ini juga yang menyebabkan peran suami dalam sektor reproduktif tidak begitu terlihat. Suami hanya membantu dalam pekerjaan seperti membersihkan halaman rumah dan mengurusi ternak, dan kedua pekerjaan tersebut juga tidak rutin dilakukan oleh suami. Tugas-tugas pengasuhan yang berkaitan dengan pengasuhan fisik jarang dilakukan oleh suami. Suami ikut berperan dalam hal pembentukan disiplin dan moral anak, khususnya anak laki-laki. Bagi keluarga etnis Batak, anak laki-laki sebagai penerus keturunan penting untuk dididik dengan baik namun anak perempuan juga tetap diberi perlakuan yang sama dengan anak laki-laki. Sektor reproduktif tetap menjadi tanggung jawab utama seorang istri dimana istri dapat membagi tanggung jawabnya tersebut kepada anak-anaknya. Pada aspek keikutsertaan dalam kegiatan sosial, keluarga migran etnis Batak tergolong aktif dalam mengikuti kegiatan sosial di lingkungan tempat tinggal maupun di lingkungan pergaulan mereka. Responden yang menganut agama Kristen Protestan aktif mengikuti kegiatan keagamaan di gereja. Anakanak dalam keluarga etnis Batak yang beragama Kristen Protestan juga ikut terlibat dalam kegiatan keagamaan di gereja, namun keterlibatan mereka tidak bersifat dipaksakan oleh orangtua. Responden yang beragama Islam juga aktif mengikuti kegiatan pengajian di lingkungan tempat tinggal. Suami juga sering berinteraksi dengan tetangga atau teman sekerja. ”Ya.. paling kalau pulang kerja gini, nongkrong sama temen-temen di warung. Maen domino atau maen kartu gitulah, Dek... Ngilangin capek karena kerja juga.. (Bapak Tombang, RT 23)
7.3.2 Pola Pengambilan Keputusan dalam Keluarga Pola pengambilan keputusan dalam keluarga dibagi menjadi lima tipe yaitu (1) pengambilan keputusan oleh istri saja; (2) pengambilan keputusan oleh istri bersama dengan suami dimana istri lebih dominan; (3) pengambilan keputusan oleh istri bersama dengan suami yang bersifat setara; (4) pengambilan keputusan oleh istri bersama dengan suami dimana suami lebih dominan; dan (5) pengambilan keputusan oleh suami saja. Pada keluarga etnis Batak, pengambilan
keputusan dalam hal konsumsi barang dan jasa secara umum diputuskan oleh istri saja. Istri berhak memutuskan tentang belanja, variasi dan distribusi makanan bagi seluruh anggota keluarga. Keputusan mengenai model dan tempat membeli pakaian juga diputuskan oleh istri, namun jika berkaitan dengan waktu pembelian istri tetap meminta pertimbangan suami. Jika anak-anak dalam keluarga tersebut sudah beranjak dewasa, hal semacam itu tidak lagi diputuskan sendiri oleh istri namun turut melibatkan anak. Pada aspek pembentukan keluarga, segala keputusan yang berkaitan dengan disiplin anak, sopan santun anak, sekolah dan biaya sekolah anak, menentukan jumlah anak, ikut KB dan jenis KB yang digunakan diputuskan secara bersama-sama oleh suami dan istri. Seorang suami akan terlibat lebih dominan dalam hal membentuk disiplin dan sopan santun anak, khususnya anak laki-laki. Berkaitan dengan pembagian tugas anak di rumah, keputusan diambil sepenuhnya oleh istri karena istri dianggap lebih mengerti kondisi rumah dibanding suami, sehingga istri lebih mengetahui pembagian tugas yang paling tepat bagi anak. Suami tetap berperan sebagai pemegang keuangan keluarga. Istri juga terlibat di dalamnya, terlebih dalam hal pengeluaran yang berkaitan dengan kebutuhan rumah tangga. Pendapatan keluarga, baik yang berasal dari suami maupun istri, harus diketahui oleh kedua belah pihak. Pada aspek partisipasi sosial anggota keluarga, istri dan suami mempunyai hal yang sama untuk mengikuti kegiatan atau organisasi sosial yang ada di lingkungan tempat tinggal maupun lingkungan pergaulan masing-masing. Kebebasan tersebut tetap harus diimbangi dengan tidak melupakan tanggung jawab di dalam keluarga. Terdapat kesepakatan dalam keluarga etnis Batak dimana istri boleh bersosialisasi di luar asal tidak melupakan tanggung jawabnya sebagai istri di dalam keluarga. Suami juga berhak bersosialisasi di luar asal tidak melupakan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga dan memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Sama halnya dengan anak-anak, yang dituntut untuk tidak melupakan tanggung jawab dan tugasnya sebagai anak. Perempuan juga memiliki andil dalam kegiatan sektor produksi dan sosial, sama halnya dengan laki-laki. Hal tersebut berbeda dengan penelitian Agustrisno, Simanjuntak, Rachman dan Siregar (1995)
pada kelompok keluarga dalam kehidupan bermasyarakat suku bangsa Melayu Asahan di Sumatera Utara, dimana perempuan hanya memiliki akses dan kontrol dalam peranan di sektor domestik seperti mengurus makanan dan minuman keluarga. Terlihat bahwa ada pergeseran nilai budaya pada aspek relasi gender dalam keluarga yang disebabkan karena perubahan pola pikir dan tuntutan lingkungan yang tidak laki memungkinkan jika hanya laki-laki saja yang terlibat dalam sektor produksi.