IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Perumusan Standar dan Peraturan oleh BSN, BPOM, dan CAC Setiap lembaga mempunyai cara yang berbeda dalam perumusan suatu peraturan dan standar.
Paling tidak di Indonesia lembaga pemerintah yang
berwenang dalam perumusan dan pemberlakuan suatu standar keamanan pangan ada 2 yaitu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI dan Badan Standardisasi Nasional (BSN).
Selain dilihat prosedur perumusan dan
pemberlakuan suatu standar pangan pada lembaga di tingkat nasional tersebut, di dalam pembahasan ini juga akan dilihat perumusan standar di tingkat internasional oleh Codex Alimentarius Commission (CAC). 4.1.1. Perumusan Standar oleh BSN Perumusan standar di BSN dimulai dengan penyusunan konsep oleh konseptor dari perorangan atau gugus kerja yang ditunjuk oleh panitia teknis (PT) atau subpanitia teknis (SPT). Konseptor dapat berasal dari dalam maupun luar anggota PT/SPT.
Panitia teknis terdiri atas beberapa orang yang merupakan
perwakilan dari lembaga pemerintah, industri (produsen), konsumen, dan akademisi (pakar).
Panitia teknis pada umumnya diketuai oleh seorang dari
perwakilan lembaga pemerintah yang terkait dengan standar yang akan dibahas. Misalnya untuk standar yang terkait dengan bahan tambahan pangan dan kontaminan, panitia teknis diketuai oleh pejabat atau staf dari direktorat standardisasi produk pangan BPOM RI dengan sekretariat bertempat di kantor BPOM RI. Hasil dari penyusunan konsep adalah Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) 1. RSNI 1 kemudian dibahas di dalam rapat teknis yang harus dihadiri oleh semua anggota panitia teknis atau dengan jumlah yang memenuhi kuorum dan adanya keterwakilan dari masing-masing lembaga pemerintah, industri, konsumen, dan akademisi.
Rapat teknis dihadiri oleh tenaga ahli
standardisasi (TAS) sebagai pengendali mutu yang ditugaskan oleh BSN untuk memantau pelaksanaannya. TAS harus memastikan bahwa pelaksanaan rapat
36
teknis dihadiri oleh seluruh perwakilan lembaga dan pengambilan keputusan di dalam rapat tersebut telah memenuhi prinsip konsensus. Hasil dari rapat teknis adalah RSNI 2. Jika di dalam rapat teknis telah terjadi konsensus dari semua perwakilan lembaga yang hadir, maka akan langsung diperoleh RSNI 3. RSNI 3 kemudian diajukan kepada BSN untuk dilakukan jajak pendapat.
Jajak pendapat dilakukan kepada anggota PT/SPT dan anggota
Masyarakat Standardisasi Indonesia (MASTAN) kelompok minat yang relevan. Hasil dari jajak pendapat adalah RSNI 4 atau Rancangan Akhir SNI (RASNI). Jika saat jajak pendapat tidak diperoleh suara yang seluruhnya menyetujui, maka dihasilkan RSNI 4 yang perlu diperbaiki dan dilakukan jajak pendapat kembali hingga diperoleh keputusan yang merupakan kesepakatan bersama dengan minimal 2/3 suara setuju dan maksimal ¼ suara tidak setuju dengan alasan yang jelas. RASNI kemudian diberikan kepada BSN untuk ditetapkan sebagai SNI. Mekanisme perumusan suatu standar yang saat ini berlaku di Badan Standardisasi Nasional (BSN, 2007a) dapat dilihat pada Gambar 5. 4.1.2. Perumusan Peraturan dan Pemberlakuan Wajib Standar oleh BPOM Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI yang merupakan salah satu instansi teknis menurut PP No. 102/2000 tentang Standardisasi Nasional, berwenang dalam memberlakukan wajib suatu SNI yang dituangkan dalam suatu peraturan melalui surat keputusan (SK) kepala BPOM RI. Saat ini, BPOM RI juga menetapkan suatu peraturan berupa ketentuan, pedoman, dan kode praktis yang terkait dengan keamanan pangan tanpa melalui prosedur yang ditetapkan oleh BSN. Penyusunan suatu peraturan, pedoman, dan kode praktis di BPOM RI dimulai dengan melakukan pengumpulan materi dan kajian pustaka. Kemudian dilakukan pemetaan dan kaji banding dengan peraturan yang berlaku baik di dalam maupun luar negeri. BPOM RI kemudian mengundang narasumber dan stakeholder untuk memberikan masukan dan dimintai pendapatnya. Pembahasan draf peraturan, pedoman, dan kode praktis dilakukan sebanyak 3 kali untuk meng-
37
Penyusunan Standar PROSES
HASIL
PELAKSANA & PESERTA
Penyusunan konsep
RSNI1
Konseptor dan PT/SPT
Rapat teknis
RSNI2
PT/SPT dan TAS
QC
Tidak
Rapat konsensus
PT/SPT dan TAS QC
Ya Perbaikan RSNI2
Tidak
Perbaikan RSNI3
PT/SPT
BSN, MASTAN, PT/ SPT
Jajak pendapat disetujui
Ya
Tidak
RSNI3
RASNI
BSN
RSNI4
PT/SPT
100% <100%
BSN, MASTAN, PT/ SPT
Pemungutan suara disetujui Ya RASNI
BSN BSN
Penetapan + penomoran SNI
BSN
DT
PT
Publikasi Rapat teknis
Keterangan: PT : Panitia Teknis SPT : Sub Panitia Teknis TAS :Tenaga Ahli Standardisasi sebagai pengendali mutu yang ditugaskan oleh BSN untuk memantau pelaksanaan rapat teknis BSN : Badan Standardisasi Nasional MASTAN : Masyarakat Standardisasi Indonesia RSNI : Rancangan Standar Nasional Indonesia DT : Dokumen Teknis
Gambar 5. Mekanisme Perumusan Suatu Standar di Indonesia (BSN, 2007a)
38
hasilkan rumusan yang baik (BPOM, 2010).
Mekanisme perumusan suatu
peraturan dan pemberlakuan wajib standar yang saat ini berlaku di BPOM RI dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Mekanisme Perumusan Suatu Peraturan dan Pemberlakuan Wajib Standar di BPOM RI (BPOM, 2010) Instansi teknis (misal BPOM RI, Kemenkes, Kementan, KKP, Kemenperin, Kemenhut) dapat memberlakukan wajib SNI yang terkait dengan kesehatan masyarakat, keamanan, keselamatan atau pelestarian lingkungan hidup dan/atau pertimbangan ekonomi. Intansi teknis dapat memberlakukan wajib keseluruhan atau sebagian dan/atau sebagian parameter di dalam suatu SNI. Jika instansi teknis, misalnya BPOM RI ingin memberlakukan wajib SNI, maka perlu mengajukan usulan kepada BSN terlebih dahulu. Usulan tersebut diberikan setahun sebelum rencana penetapan regulasi teknis yang akan
39
memberlakukan wajib SNI. BSN memasukkan usulan pemberlakuan regulasi teknis di dalam Program Nasional Regulasi Teknis.
Kemudian perumusan
regulasi teknis dilakukan oleh instansi teknis dengan memperhatikan berbagai faktor agar regulasi tersebut efektif dijalankan dan tidak memberikan hambatan yang berarti bagi perkembangan dunia usaha dan pertumbuhan ekonomi nasional. Draf regulasi teknis yang akan diberlakukan terlebih dahulu dilakukan notifikasi kepada World Trade Organization (WTO) untuk mendapatkan tanggapan dari anggota WTO.
Notifikasi dilakukan melalui BSN. Jika draf regulasi teknis
tersebut dianggap tidak memberatkan bagi negara anggota WTO, instansi teknis dapat menetapkan regulasi teknis tersebut. Regulasi teknis kemudian dapat diimplementasi dengan mempertimbangkan waktu bagi pelaku usaha untuk menyesuaikannya. Waktu implementasi regulasi tersebut minimal 6 bulan setelah ditetapkan. Setelah diimplementasikan, instansi teknis melakukan pengawasan pra pasar, pasar, dan didukung dengan pengawasan oleh masyarakat. Misalkan untuk BPOM RI, melakukan pengawasan pra pasar pada saat registrasi produk dari pelaku usaha.
Pengawasan pasar dilakukan
melalui surveilan. Pengawasan oleh masyarakat dapat dilakukan oleh lembaga konsumen.
Gambar 7. Skema Framework Regulasi Teknis (BSN, 2011b)
40
Setelah beberapa waktu pemberlakuan berjalan, regulasi teknis perlu dievaluasi dan dikaji ulang mengenai efektifitas pelaksanaannya. Evaluasi dan kaji ulang minimal dilakukan setelah 5 tahun regulasi teknis berjalan. Jika ada hal yang perlu diperbaiki, maka instansi teknis dapat menyusun kembali draf regulasi teknis yang baru atau perbaikan regulasi teknis yang lama agar dapat diimplementasi secara efektif. Tata cara pemberlakuan SNI secara wajib Proses
Pelaksana
Waktu
Rencana SNI yg akan diberlakukan secara wajib tahun X+1
Instansi Teknis
Selambatnya bulan April tahun X
Kompilasi rencana SNI yg akan diberlakukan secara wajib tahun X+1
BSN c.q. Pusat yang terkait dengan penerapan standar
Publikasi rencana SNI yg akan diberlakukan secara wajib tahun X+1
BSN
Rapat musyawarah penyelesaian duplikasi wewenang Masukan terkait duplikasi kewenangan
Masukan tdk terkait duplikasi kewenangan
Minggu kedua bulan Mei tahun X
Pejabat Es. I dari instansi terkait
Masukan thd rencana SNI yg akan diberlakukan secara wajib tahun X+1
Pihak yang berkepentingan
14 hari setelah publikasi
Tidak ada masukan
Program Nasional Regulasi Teknis tahun X+1
BSN
Penyampaian Program Nasional Regulasi Teknis tahun X+1 kpd Instansi Teknis
BSN
Publikasi Program Nasional Regulasi Teknis tahun X+1
BSN
Perumusan Rencana Regulasi Teknis dan persiapan infrastruktur pendukungnya
Instansi Teknis
Tergantung kesiapan Instansi Teknis
Notification body
Peling singkat 60 hari setelah disampaikan kepada sekretariat WTO
Ada tanggapan Pembahasan thd tanggapan Negara anggota WTO
Notifikasi Rancangan Regulasi Teknis ke WTO
Tidak ada tanggapan Penetapan Regulasi Teknis
Instansi Teknis
Pemberlakuan Regulasi
Instansi Teknis
Paling singkat 6 bulan setelah ditetapkan
Gambar 8. Tata Cara Pemberlakuan SNI Secara Wajib (BSN, 2011b)
41
Berdasarkan keputusan kepala Badan Standardisasi Nasional dalam Peraturan Kepala BSN Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pedoman Standardisasi Nasional Nomor 301 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Secara Wajib, setiap intansi teknis seperti BPOM yang akan memberlakukan standar secara wajib harus mengikuti prosedur seperti Gambar 7 dan Gambar 8. Beberapa contoh standar yang diberlakukan wajib di bidang pangan dan pertanian oleh instansi teknis dapat dilihat pada Tabel 6 dan Tabel 7. Di sektor industri makanan dan minuman terdapat 440 SNI, dan 428 SNI di antaranya memiliki relevansi dengan CAFTA (China-ASEAN Free Trade Agreement) sementara 12 SNI lainnya tidak terkorelasi (BSN, 2010). Dari 428 SNI makanan dan minuman tersebut, 9 SNI di antaranya telah ditetapkan sebagai SNI wajib melalui regulasi pemerintah, dengan perincian pada Tabel 6. Tabel 6. Regulasi Teknis Pemberlakuan Wajib SNI Bidang Pangan (BSN, 2010) No
SNI
Regulasi Pemerintah
1
SNI 01-3751-2006, Tepung Terigu SNI 01-3747-1995, Kakao Bubuk
Peraturan Menteri Perindustrian No. 49/M-IND/PER/7/2008 Peraturan Menteri Perindustrian No. 45/M-IND/PER/5/2009 diubah menjadi No. 157/M-IND/PER/11/2009 Peraturan Menteri Perindustrian No. 69/M-IND/PER/7/2009 Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 29/M/SK/2/1995 Peraturan Menteri Perindustrian No. 27/M-IND/PER/2/2010 Keputusan Bersama No. 03/Kpts/ KB.410/1/2003 Surat Keputusan Kepala BPOM No.00.05.5.1.4547
2 3 4 5 6 7
8 9
SNI 01-3553-2006, Air Minum dalam Kemasan SNI 01-3556-1994, Garam Konsumsi Beryodium SNI 01-3140.22006, Gula Kristal Rafinasi SNI 01-3140.12001, Gula Kristal Mentah (raw sugar) SNI 01-6993-2004, Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan - Persyaratan Penggunaan dalam Produk Pangan SNI 01-0222-1995, Bahan Tambahan Makanan SNI 01-0219 -1987, Kodeks Makanan Indonesia
Peraturan Menteri Kesehatan No.722/ Menkes/PER/XI/88 Surat Keputusan Kepala BPOM No.HK.00.05.5.00617 dan Keputusan Menteri Kesehatan No. 43/MENKES/SK/II/1979
42
Di sektor industri pertanian dan produk pertanian terdapat 121 SNI, dan 117 SNI di antaranya memiliki relevansi dengan CAFTA sementara 4 SNI lainnya tidak terkorelasi (BSN, 2010). Dari 121 SNI pertanian dan produk pertanian tersebut, 81 SNI di antaranya telah ditetapkan sebagai SNI wajib melalui 21 regulasi pemerintah seperti pada Tabel 7. Tabel 7. Regulasi Teknis Pemberlakuan Wajib SNI Bidang Pertanian (BSN, 2010) No 1 2 3 4 5 6 7 8
9 10 11
12 13
14 15 16 17
Nomor Regulasi UU No. 12 Tahun 1992 UU No. 16 Tahun 1992 UU No. 18 Tahun 2004 UU No. 18 Tahun 2009 UU No. 22 Tahun 1983 UU No. 82 Tahun 2000 UU No. 14 Tahun 2002 Keputusan Bersama No. 881/MENKES/ SKB/VIII/1996 dan Nomor 711/Kpts/ TP.270/8/1996 Peraturan Menteri No. 58/Permentan/ OT.140/8/2007 Keputusan Menteri No. 469/Kpts/ HK.310/8/2001
Tentang Sistem budidaya tanaman Karantina hewan, ikan dan tumbuhan Perkebunan Peternakan dan kesehatan hewan Kesehatan masyarakat veteriner Karantina hewan Karantina tumbuhan Batas maksimum residu pestisida pada hasil pertanian Pelaksanaan sistem standardisasi nasional di bidang pertanian
Tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran media pembawa organisme pengganggu tumbuhan karantina Keputusan Menteri No. Penunjukan direktorat jenderal pengolahan 380/Kpts/ OT.130/ 10/2005 dan pemasaran hasil pertanian sebagai otoritas kompeten (competent authority) pangan organik Keputusan Menteri No. Pedoman sertifikasi kontrol veteriner 381/ Kpts/OT.140/ 10/2005 unit usaha pangan asal hewan Keputusan Menteri No. 37/ Persyaratan teknis dan tindakan karantina Kpts/HK.060/ 1/2006 tumbuhan untuk pemasukan buah-buahan dan sayuran buah segar ke dalam wilayah negara RI Peraturan Menteri No. 18/ Persyaratan dan tindakan karantina Permentan/ OT.140/2/2008 tumbuhan untuk pemasukan hasil tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis segar Peraturan Menteri No. 22/ Organisasi dan tata kerja unit pelaksana Permentan/ OT.140/4/2008 teknis karantina pertanian Peraturan Menteri No. Persyaratan dan penerapan cara pengolahan 35/Permentan/ hasil pertanian asal tumbuhan yang baik OT.140/7/2008 (good manufacturing practices) Peraturan Menteri No. 51/ Syarat dan tata cara pendaftaran pangan
43
No Nomor Regulasi Permentan/ OT.140/ 10/2008 18 Peraturan Menteri No. 27/ Permentan/ PP.340/5/2009 19
Peraturan Menteri No. 38/Permentan/ PP.340/8/2009
20
Peraturan Menteri No. 20/Permentan/ OT.140/4/2009 Peraturan Menteri No. 09/Permentan/ OT.140/2/2009
21
Tentang segar asal tumbuhan Pengawasan keamanan pangan terhadap pemasukan dan pengeluaran pangan segar asal tumbuhan Perubahan peraturan menteri pertanian nomor: 27/ Permentan/PP.340/5/2009 tentang pengawasan keamanan pangan terhadap pemasukan dan pengeluaran pangan segar asal tumbuhan Pemasukan dan pengawasan peredaran karkas, daging, dan/atau jeroan dari luar negeri Persyaratan dan tatacara tindakan karantina tumbuhan terhadap pemasukan media pembawa organisme pengganggu tumbuhan karantina ke dalam wilayah negara RI
4.1.3. Perumusan Standar oleh CAC Peran Codex Alimentarius Commission (CAC) penting terutama setelah penandatanganan tentang perdagangan dan pengukuran sanitary pada General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) (Rees & Watson, 2000). Pada tahun 1994 Indonesia telah meratifikasi persetujuan pembentukan World Trade Organization (WTO) dan menjadi salah satu negara anggotanya.
Untuk itu,
produk Indonesia yang akan diekspor ke luar negeri, terutama ke negara anggota WTO, harus memenuhi standar Internasional. Standar internasional yang menjadi acuan adalah standar Codex dari CAC. Jika terjadi perselisihan perdagangan antar negara anggota WTO, maka standar yang menjadi acuan adalah standar Codex. Untuk itu, pengetahuan dan keterlibatan Indonesia di dalam perumusan standar Codex juga sangat diperlukan. Di dalam penelitian ini akan dibahas mengenai mekanisme penyusunan standar internasional yang ditetapkan oleh Codex Alimentarius Commission (CAC).
Prinsip-prinsip perumusan standar oleh CAC tersebut akan menjadi
acuan dalam membandingkan dengan perumusan dan pemberlakuan wajib standar oleh otoritas di Indonesia (BSN dan BPOM). Mekanisme perumusan standar di Codex Alimentarius Commission (CAC) adalah sebagai berikut (CAC, 2010):
44
1. CAC memutuskan untuk menyusun suatu standar dan memberikan tugas kepada suatu komite untuk membahas.
Keputusan untuk menyusun suatu
standar dapat berasal dari “codex committee” 2. Sekretariat melakukan persiapan untuk menyusun suatu usulan rancangan standar menggunakan bahan dari “codex committee” 3. Usulan rancangan standar dikirim ke pemerintah negara serta organisasi internasional untuk mendapatkan komentar seperlunya 4. Sekretariat menyampaikan usul-usul yang diterima kepada “codex committee” 5. Usulan rancangan standar disampaikan ke CAC, melalui sekretariat untuk disetujui sebagai rancangan standar yang resmi 6. Rancangan standar disampaikan ke berbagai pemerintah dan organisasi internasional 7. Sekretariat menyampaikan kembali ke “codex committee” 8. Rancangan standar disampaikan kembali ke CAC untuk diterima dan disahkan menjadi CODEX STANDARD Berdasarkan prosedur yang berlaku di CAC, beberapa bagian berperan dalam perumusan standar. Diagram perumusan standar di CAC dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Proses Perumusan Standar Codex (CAC, 2006)
45
Tabel 8. Analisis Gap Perumusan Standar BSN, BPOM, dan CAC Berdasarkan Teori dan Naskah Peraturan No
Kategori
Perumusan Standar Secara Teoritis yang Diterapkan CAC*
Perumusan, Penetapan, dan Pemberlakuan Wajib Standar Berdasarkan Naskah Peraturan BSN**
1
Transparan
Prosedur perumusan standar dapat diakses di website: http://www.codexalimentarius.net/
2
Terbuka
Adanya keterlibatan negara anggota, NGO internasional, pakar dari JECFA/JEMRA/JMPR Setiap delegasi negara anggota dapat mengirim delegasi yang merupakan perwakilan dari industri, organisasi konsumen, dan lembaga akademisi.
3
Konsensus dan Tidak Memihak
Persetujuan standar melalui konsensus Setiap tahapan draf standar harus dipastikan telah mencapai konsensus sebelum diajukan ke tahap selanjutnya
4
Efektif dan Relevan
Didukung oleh lembaga bersama FAO/WHO di bidang penelitian, yaitu JMPR (Joint FAO/WHO Meetings on Pesticide Residues), JECFA (Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives), dan JEMRA (Joint FAO/WHO Expert Meetings on Microbiological Risk Assessment) Lembaga penelitian internasional lain dapat berperan memberikan masukan dan saran dalam penyusunan standar
o Dukungan Ilmiah
BPOM***
Prosedur perumusan standar dapat diakses di website: http://bsn.or.id/ dan telah ditetapkan oleh kepala BSN
Prosedur perumusan peraturan (pemberlakuan standar) belum diketahui secara luas oleh pihak yang berkepentingan Mengakomodir Adanya keterlibatan kepentingan produsen, dari BPOM, perwakilan konsumen, pakar, dan industri, konsumen, dan regulator; serta MASTAN akademisi dalam (Masyarakat penyusunan peraturan Standardisasi Nasional) (standar) Rapat konsensus hanya Belum secara eksplisit dapat dilakukan apabila dijelaskan rapat mencapai kuorum
Dukungan ilmiah berasal dari individu/pakar perorangan, tanpa ada lembaga khusus yang diminta memberikan saran dan dukungan ilmiah dalam penyusunan standar.
Rekomendasi
Dukungan ilmiah berasal dari individu/pakar perorangan dan tim mitra bestari
Perumusan standar atau peraturan di BPOM perlu diketahui oleh semua pihak misalnya melalui publikasi di website -
BPOM perlu merumuskan prosedur konsensus dalam penetapan standar/peraturan dan prosedur tersebut didokumentasikan dengan baik dan disahkan melalui keputusan kepala BPOM Perlu dilakukan optimalisasi peran tim atau lembaga yang khusus mengkaji kriteria dalam standar secara ilmiah, terutama sebagai pengkaji risiko
46
Tabel 8. Analisis Gap Perumusan Standar BSN, BPOM, dan CAC Berdasarkan Teori dan Naskah Peraturan No
Kategori
Perumusan Standar Secara Teoritis yang Diterapkan CAC*
Perumusan, Penetapan, dan Pemberlakuan Wajib Standar Berdasarkan Naskah Peraturan BPOM***
BSN**
5
6
o Penggunaan ilmu pengetahuan dan faktorfaktor yang sah lainnya dalam penyusunan standar Koheren
Standar pangan, pedoman, dan rekomendasi lain dari CAC harus didasarkan pada prinsip analisis ilmiah yang kuat
Berdimensi Pengembangan
Mengoptimalkan peran negara berkembang dalam perumusan standar
Mempertimbangkan peraturan yang berlaku secara regional, seperti UE (Uni Eropa)
Keterangan: *Berdasarkan CAC (2006) dan CAC (2007)
Rekomendasi
Perlu dilakukan pernyataan resmi dalam dokumen BSN dan BPOM bahwa standar yang ditetapkan berdasarkan data ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan Sedapat mungkin harmonis dengan standar internasional yang telah ada (mengadopsi satu standar internasional yang relevan) Mempertimbangkan kepentingan UMKM dan daerah dengan memberikan peluang untuk dapat berpartisipasi dalam proses perumusan SNI.
**Berdasarkan BSN (2007a)
Melalui Pemetaan dan Kaji Banding (Nasional, Regional, Internasional)
-
Secara eksplisit belum dicantumkan mengenai faktor tertentu yang dijadikan sebagai dimensi pengembangan dalam pemberlakuan standar
BPOM perlu menetapkan faktor yang menjadi dimensi pengembangan Perumusan standar/peraturan di Indonesia perlu memperhatikan kepentingan dan usulan daerah Perwakilan industri berasal dari asosiasi yang juga merepresentasikan kepentingan UMKM
***Berdasarkan BPOM (2010)
47
4.1.4. Analisis Gap Perumusan Standar Secara Teoritis dan Berdasarkan Dokumen yang Berlaku Setelah dijelaskan mengenai perumusan standar dan peraturan yang berlaku di Indonesia oleh BSN dan BPOM RI, kemudian dibandingkan dengan perumusan standar secara teoritis (ideal) yang diberlakukan oleh CAC.
Perbandingan
tersebut dituangkan dalam analisis gap yang dapat dilihat pada Tabel 8.
4.2. Pelaksanaan Perumusan Standar Sebagai tahap awal, pada penelitian ini dilakukan cara untuk mengetahui gambaran tentang permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan standar keamanan pangan di Indonesia yang mengakibatkan rendahnya tingkat implementasi standar. Cara yang dilakukan adalah melaksanakan focus group discussion (FGD) dan penyebaran kuesioner.
4.2.1. Focus Group Discussion Focus Group Discussion (FGD) dilakukan untuk mengetahui gambaran tentang permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan standar keamanan pangan di Indonesia. FGD yang telah dilakukan pada tanggal 6 Desember 2010 di SEAFAST Center IPB Baranangsiang, Bogor dihadiri oleh perwakilan pemerintah, industri, lembaga konsumen, dan akademisi. Tujuan FGD adalah menjaring masukan dari pihak industri dan konsumen terhadap kebijakan pangan yang telah dikeluarkan oleh BPOM RI dan masukan untuk mekanisme penyusunan peraturan dan regulasi pangan yang mampu menghasilkan standar dan peraturan dengan tingkat keberterimaan yang tinggi serta dapat melindungi konsumen dan sekaligus mendorong pertumbuhan industri pangan.
Beberapa masukan dari perwakilan pemerintah (BPOM, BSN,
Kementan, KKP, Kemenperin), Industri (GAPMMI, PIPIMM, ASRIM), Lembaga Konsumen (YLKI), dan akademisi (SEAFAST Center – LPPM IPB) secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 9.
48
Tabel 9. Hasil Focus Group Discussion (FGD) tentang Kebijakan Pangan
Kelompok
Pengkategorian Berdasarkan Prinsip Perumusan dan Pengembangan Standar*
Tanggapan terhadap Kebijakan Pangan
(1) Pemerintah
(3)
(4)
(5)
Standar diperlukan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen dan menciptakan perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab
√
Standar pangan dituntut untuk science & risk based
√
Perumusan dan pemberlakuan standar pangan perlu cepat tanggap dan antisipasi terhadap inovasi
√
√
Standar pangan perlu pertimbangan antara harmonisasi peraturan dan kemampuan produsen
√
√
BPOM akan melakukan upaya peningkatan dalam hal tata laksana, sumber daya manusia, sarana prasarana, dan kebutuhan data mengenai keadaan dan masalah kesehatan masyarakat serta studi paparan untuk mendukung perumusan dan pemberlakuan standar dan peraturan pangan
√
Perumusan dan pemberlakuan standar pangan perlu kemitraan atau jejaring dengan pakar
Industri
(2)
Pemberlakuan standar dan peraturan yang belum disahkan secara resmi melalui keputusan kepala BPOM
√
√
Penyusunan standar dan peraturan pangan kurang melibatkan industri Kurangnya sosialisasi standar dan peraturan pangan
√
√ √
√
Ada standar dan peraturan pangan yang tidak memperhatikan kondisi Indonesia Pemahaman dan koordinasi SDM BPOM terhadap standar dan peraturan pangan masih lemah Tim mitra bestari dan pakar kurang menguasai persoalan saat perumusan standar dan peraturan pangan Adanya peraturan pangan yang tidak konsisten, misal antara SNI dan peraturan BPOM RI (Tanggapan dan masukan dari Industri secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5)
(6)
√ Tidak terkait perumusan √ √
49
Tabel 9. Hasil Focus Group Discussion (FGD) tentang Kebijakan Pangan (Lanjutan)
Kelompok
Tanggapan terhadap Kebijakan Pangan
Pengkategorian Berdasarkan Prinsip Perumusan dan Pengembangan Standar* (1)
Konsumen
(2)
(3)
Penerapan standar pangan oleh industri masih rendah Sosialisasi standar dan peraturan pangan oleh pemerintah kurang maksimal
(5)
√ √
Penerapan sanksi bagi yang melanggar peraturan pangan masih lemah (-)
Tidak terkait perumusan
Pemerintah lemah dalam pengawasan pangan (-)
Tidak terkait perumusan
Adanya standar dan peraturan pangan yang terlalu longgar
√
Adanya standar dan peraturan pangan yang terlalu ketat
√
Standar dan peraturan pangan belum menerapkan prinsip analisis risiko
√
Perumusan dan penetapan standar dan peraturan pangan perlu menerapkan prinsip RIA
√
Jumlah Persentase terhadap Total (%) *Keterangan: Prinsip Perumusan dan Pengembangan Standar (1) = Transparan (2) = Terbuka (3) = Konsensus dan Tidak Memihak (4) = Efektif dan Relevan (5) = Koheren (6) = Berdimensi Pengembangan
(6)
√
Perlu program untuk mempermudah produsen mensertifikasi produk yang comply dengan standar pangan
Akademisi
(4)
√
Total
3
2
1
12
3
3
24
12,5
8,3
4,2
50,0
12,5
12,5
100,0
50
Hasil Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan pada tanggal 6 Desember 2010 memperlihatkan bahwa permasalahan utama yang menjadi kendala dalam kebijakan pangan adalah pada saat perumusan peraturan dan standar. Masalah perumusan peraturan dan standar menjadi penyebab munculnya masalah-masalah lain, seperti rendahnya penerapan oleh pelaku usaha, sulitnya pengawasan dikarenakan keterbatasan infrastruktur (laboratorium uji), dan rendahnya
tingkat
sosialisasi
yang
hanya
mengandalkan
satu
institusi
(pemerintah). Jika dilihat berdasarkan prinsip perumusan dan pengembangan standar, hasil FGD dari keempat kelompok (pemerintah, industri, konsumen, dan akademisi) menunjukkan bahwa penerapan prinsip efektif dan relevan masih rendah. Perumusan kebijakan pangan yang menjadi masalah utama adalah mengenai standar yang diberlakukan wajib dan ditetapkan oleh BPOM RI. Banyak standar pangan SNI yang diberlakukan wajib dan peraturan yang dituangkan dalam surat keputusan (SK) kepala BPOM RI menjadi bermasalah dalam penerapannya oleh industri. Jika dilihat berdasarkan kategori prinsip dan pengembangan standar pada Tabel 9, terlihat bahwa penerapan prinsip yang paling bermasalah adalah prinsip efektif dan relevan (50%).
Hal ini perlu menjadi perhatian utama dalam
memperbaiki perumusan dan pengembangan standar dan peraturan pangan, agar standar dan peraturan yang dihasilkan dapat diterapkan oleh pelaku usaha secara efektif.
4.2.2. Survei Berdasarkan informasi dari hasil Focus Group Discussion (FGD), diperoleh kesimpulan bahwa permasalahan utama yang menjadi kendala kebijakan pangan adalah mengenai pengembangan standar keamanan pangan, khususnya terkait dengan perumusan standar dan peraturan. Untuk itu, perlu dilakukan penggalian informasi yang lebih mendalam mengenai permasalahan perumusan dan pengembangan standar dan peraturan tersebut.
Penggalian informasi tersebut
51
dilakukan melalui survei. Pada survei yang dilakukan, kata “Standar” termasuk (standar) SNI dan peraturan keamanan pangan. Survei dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada 4 kelompok besar responden, yaitu pemerintah, industri, akademisi, dan lembaga konsumen. Masing-masing responden diberikan pertanyaan yang sama mengenai penerapan prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar keamanan pangan di Indonesia, yaitu prinsip transparan, terbuka, konsensus dan tidak memihak, efektif dan relevan, koheren, dan prinsip berdimensi pengembangan. Penilaian umum masing-masing kelompok responden terhadap penerapan prinsip perumusan dan pengembangan standar keamanan pangan dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Penilaian Umum Kelompok Responden terhadap Penerapan PrinsipPrinsip Perumusan dan Pengembangan Standar Pada Gambar 10 terlihat bahwa nilai rata-rata penilaian seluruh responden untuk setiap prinsip perumusan dan pengembangan standar berada pada nilai sekitar 0,5 dari nilai minimal 0 (kurang) dan maksimal 1 (sangat baik). Artinya, rata-rata seluruh responden memberikan penilaian antara baik dan cukup untuk penerapan prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar (transparan, terbuka, konsensus dan tidak memihak, efektif dan relevan, koheren, dan berdimensi pengembangan). Hal ini menunjukkan bahwa penerapan dari prinsipprinsip perumusan dan pengembangan tersebut belum sepenuhnya dinilai baik
52
oleh rata-rata responden, karena posisi penilaiannya masih berada di tengahtengah skala. Gambar 10 juga memperlihatkan bahwa beberapa kelompok responden memberikan penilaian yang berbeda terhadap penerapan prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar keamanan pangan di Indonesia.
Pada
umumnya kelompok responden pemerintah memberikan penilaian yang baik terhadap penerapan seluruh prinsip perumusan dan pengembangan standar keamanan pangan (transparan, terbuka, konsensus dan tidak memihak, efektif dan relevan, koheren, serta berdimensi pengembangan). Nilai yang berbeda dengan pemerintah terlihat pada penilaian dari responden industri dan lembaga konsumen. Responden dari kelompok industri dan lembaga konsumen masing-masing memberikan penilaian yang hampir separuh lebih rendah dibandingkan dengan penilaian dari responden Pemerintah. Data-data di atas memberikan gambaran bahwa persepsi responden terhadap penerapan prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar saat ini berbeda antar kelompok responden. Pemerintah memberikan penilaian yang relatif baik terhadap penerapan prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar. Akan tetapi kelompok industri dan konsumen menilai penerapan prinsip-prinsip tersebut belum diterapkan secara optimal yang terlihat dari penilaiannya yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa pihak pemerintah sudah merasa benar dan sesuai dalam menyusun dan mengembangkan standar pangan di Indonesia, sedangkan pihak industri dan konsumen merasa prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar belum dilaksanakan dengan baik. Jika dilihat perbedaan penilaian antara kelompok responden pemerintah dan industri, penilaian terhadap prinsip Transparan dan Efektif dan Relevan memiliki perbedaan yang paling besar. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa penerapan dari prinsip Transparan dan Efektif dan Relevan belum dijalankan dengan baik saat perumusan dan pengembangan standar terutama bagi kelompok industri.
53
A. Prinsip Transparan Codex Alimentarius Commission memberikan rekomendasi bahwa kajian risiko harus dilakukan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan oleh semua pihak termasuk pemerintah, industri dan konsumen. Keseragaman kajian harus dilakukan dengan proses yang terbuka dan kemudahan untuk diakses oleh pemerintah dan semua organisasi yang berkepentingan dan tahapannya harus diketahui oleh masyarakat umum (Randel, 2000).
Gambar 11. Pengetahuan Responden tentang Tahapan Proses Pembuatan Standar Gambar 11 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden mengetahui tahapan proses pembuatan standar.
Beberapa responden (18,33% dari 60
responden) belum mengetahui tahapan proses pembuatan standar, termasuk beberapa lembaga pemerintah, industri, dan konsumen.
Jika dilihat masing-
masing kelompok responden, maka 13,04% pemerintah, 8,33% industri, 0% akademisi, dan 37,5% lembaga konsumen menyatakan belum mengetahui proses pembuatan standar. Kelompok responden pemerintah dan lembaga konsumen yang menyatakan belum mengetahui proses pembuatan standar adalah responden dari daerah (Tabel 10). Responden pemerintah dan lembaga konsumen yang menyatakan tidak mengetahui proses pembuatan standar 100% dari instansi daerah. Hal ini dapat menjadi perhatian untuk lebih meningkatkan sosialisasi mengenai proses perumusan standar keamanan pangan di Indonesia kepada semua stakeholder, termasuk instansi yang berada di daerah.
54
Tabel 10. Pengetahuan Responden Pemerintah dan Lembaga Konsumen Daerah tentang Tahapan Proses Pembuatan Standar Pertanyaan: Apakah Anda mengetahui proses pembuatan standar?
Jawaban Ya
% Jawaban "Tidak" terhadap Total
Total
Tidak
Responden Pemerintah 8
3
11
27,27
20
3
23
13,04
40,00
100,00
47,83
-
Daerah
0
3
3
100,00
Keseluruhan
5
3
8
37,50
0,00
100,00
37,50
-
Daerah Keseluruhan % Daerah terhadap Keseluruhan Responden Lembaga Konsumen
% Daerah terhadap Keseluruhan
Meskipun sebagian besar responden (81,67% dari 60 responden) menyatakan bahwa mereka mengetahui tahapan proses pembuatan standar, tetapi masih banyak responden yang menyatakan sulit untuk mendapatkan informasi prosedur perumusan standar tersebut. Tingkat kemudahan responden memperoleh informasi mengenai prosedur perumusan standar dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Tingkat Kemudahan Responden Memperoleh Informasi Prosedur Perumusan Standar Pertanyaan: Seberapa mudah Anda mendapatkan informasi prosedur penyusunan suatu standar? Kelompok Responden Jawaban
Pemerintah
Industri
Jumlah
Jumlah
1= Sangat mudah
%
Akademisi %
Jumlah
%
Lembaga Konsumen Jumlah %
Total Jumlah
%
5
21,74
0
0
2
28,57
2
25
9
14,75
14
60,87
9
39,13
2
28,57
4
50
29
47,54
3= Sulit
4
17,39
13
56,52
3
42,86
1
12,5
21
34,42
4= Sangat sulit
0
0
1
4,35
0
0
1
12,5
2
3,279
23
100
23
100
7
100
8
100
61
100
2= Mudah
Total
Tabel 11 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden (47,54% dari 61 responden) menyatakan bahwa untuk mendapatkan informasi prosedur perumusan suatu standar mudah. Akan tetapi dengan jumlah yang cukup besar juga (34,43% dari 61 responden) responden menyatakan bahwa untuk mendapatkan informasi tersebut sulit.
Sebagian besar yang menyatakan bahwa untuk memperoleh
informasi prosedur perumusan standar masih sulit adalah dari responden kelompok industri. Bahkan jumlah responden industri yang menyatakan bahwa
55
memperoleh informasi prosedur penyusunan standar masih sulit (56,52% dari 23 responden) lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan yang menyatakan mudah (39,13% dari 23 responden). Berbeda dengan kelompok responden industri, kelompok responden pemerintah yang menyatakan sangat mudah dan mudah memperoleh informasi prosedur penyusunan standar jumlahnya lebih besar (21,74% dan 60,87% dari 23 responden) dibandingkan dengan responden yang menyakatan sulit dan sangat sulit (17,39% dan 0% dari 23 responden).
Kondisi tersebut dapat dijadikan
indikator bahwa penyampaian informasi mengenai prosedur pembuatan standar belum berjalan secara optimal, khususnya kepada industri. Padahal informasi mengenai prosedur penyusunan standar sangat berguna bagi pelaku usaha (industri) yang akan menerapkan standar.
Jika informasi
prosedur penyusunan ini diketahui oleh semua pihak yang berkepentingan, terutama pelaku usaha, diharapkan keterlibatan mereka di dalam penyusunan standar menjadi besar.
Keterlibatan yang besar dari pelaku usaha dalam
penyusunan dan konsensus standar diharapkan dapat meningkatkan keberterimaan dan penerapan standar yang dihasilkan. Dari responden yang menyatakan bahwa mereka mengetahui tahapan proses pembuatan standar perlu diketahui juga cara dan media yang dimanfaatkan untuk memperoleh informasi tersebut. Gambar 12 memperlihatkan sumber informasi yang digunakan oleh responden untuk memperoleh inforasi mengenai prosedur penyusunan standar. Gambar 12 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden (40,91% dari 66 jawaban responden) menjawab bahwa sumber informasi perumusan standar diperoleh dari website/internet.
Hal ini dapat menjadi pertimbangan untuk
meningkatkan keterbukaan informasi perumusan standar akan lebih efektif jika dilakukan melalui website/internet.
56
Gambar 12. Sumber Informasi Perumusan Standar Urutan kedua responden menjawab bahwa informasi prosedur penyusunan standar diperoleh dari instansi tempat responden bekerja, dengan jumlah 30,30% dari 66 jawaban responden. Sebagian besar yang menjawab hal tersebut adalah responden kelompok pemerintah.
Hal ini dapat dipahami karena pemerintah
merupakan lembaga yang berwenang dalam mengkoordinasi perumusan standar dan sebagai regulator yang memberlakukan standar. Sebagian responden yang lain menjawab informasi prosedur penyusunan standar diperoleh melalui surat dari intansi terkait dan perorangan dengan masing-masing jumlah 21,21% dan 1,51% dari total 66 jawaban responden. B. Prinsip Terbuka Terbuka adalah salah satu prinsip yang harus dipenuhi di dalam perumusan dan pengembangan suatu standar.
Terbuka dapat diartikan bahwa di dalam
menyusun dan menetapkan suatu standar keamanan pangan, semua stakeholder harus dilibatkan. Pihak pemerintah, industri, akademisi, dan konsumen harus terlibat di dalam perumusan dan penetapan standar keamanan pangan. Semua stakeholder diberi kesempatan yang sama dalam menyampaikan aspirasi dan suara dalam pengambilan keputusan saat penetapan suatu standar.
57
Gambar 13. Keterlibatan Responden sebagai Panitia Teknis Perumusan Standar Gambar 13 di atas memperlihatkan bahwa sebagian besar responden yang berpartisipasi dalam survei ini pernah dilibatkan sebagai panitia teknis penyusunan suatu standar (60% dari 60 responden), meskipun masih banyak responden yang merasa belum dilibatkan sebagai panitia teknis perumusan standar (40% dari 60 responden). Hal ini dapat dijadikan dasar untuk mengetahui lebih jauh mengenai pelaksanaan perumusan dan penetapan standar di tingkat panitia teknis berdasarkan informasi dari responden yang berpartisipasi dalam survei ini.
Gambar 14. Partisipasi Responden dalam Memberikan Masukan terkait Pembuatan Suatu Standar Pangan
58
Gambar 14 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden (81,36% dari 59 responden) pernah dimintai/memberikan masukan terkait dengan pembuatan suatu standar.
Dalam jumlah yang lebih kecil (18,64% dari 59 responden)
menyatakan bahwa mereka tidak pernah dimintai masukan terkait dengan pembuatan suatu standar.
Jika dilihat per kelompok responden, 23,81%
pemerintah, 17,39% industri, 0% akademisi, 25% lembaga konsumen menyatakan tidak pernah dimintai masukan terkait pembuatan suatu standar. Sebagian besar kelompok responden pemerintah dan lembaga konsumen yang menyatakan tidak pernah dimintai masukan terkait pembuatan standar berasal dari daerah (Tabel 12). Responden pemerintah dan lembaga konsumen yang menyatakan tidak pernah dimintai masukan terkait pembuatan standar masing-masing sebesar 80% dan 100% berasal dari instansi di daerah Tabel 12. Partisipasi Responden Pemerintah dan Lembaga Konsumen Daerah dalam Memberikan Masukan terkait Pembuatan Standar Pangan Pertanyaan: Apakah Anda/instansi Anda pernah dimintai masukan terkait pembuatan suatu standar pangan yang terkait bidang Anda? Responden Pemerintah Daerah Keseluruhan % Daerah terhadap Keseluruhan Responden Lembaga Konsumen Daerah Keseluruhan % Daerah terhadap Keseluruhan
Jawaban Ya
Tidak
Total
% Jawaban "Tidak" terhadap Total
5 16 31,25
4 5 80,00
9 21 42,86
44,44 23,81 -
1 6 16,67
2 2 100,00
3 8 37,50
66,67 25,00 -
Gambar 15 memperlihatkan jumlah responden yang pernah dan tidak pernah mengusulkan pembuatan standar pangan jumlahnya hampir berimbang. Setiap kelompok responden ada yang pernah mengusulkan pembuatan standar pangan. Akan tetapi jumlah responden yang pernah mengusulkan pembuatan suatu standar pangan jumlahnya lebih kecil (45,61% dari 57 responden) dibandingkan dengan jumlah responden yang tidak pernah mengusulkan pembuatan suatu standar pangan (54,39% dari 57 responden). Sebagian besar kelompok responden industri (65,22% dari 23 responden) menyatakan tidak pernah mengusulkan pembuatan suatu standar pangan.
59
Gambar 15. Peran Responden dalam Mengusulkan Pembuatan Standar Pangan Tingkat partisipasi dari semua stakeholder di dalam mengusulkan pembuatan suatu standar pangan sangat penting, terlebih untuk para pelaku usaha (industri) di bidang pangan yang nantinya akan menerapkan standar tersebut. Jika melihat Gambar 15 terlihat bahwa kelompok responden industri sebagian besar tidak pernah mengusulkan pembuatan suatu standar. Hal ini akan menjadi salah satu indikator penyebab rendahnya tingkat penerapan suatu standar.
Kondisi
tersebut dikhawatirkan membuat para pelaku usaha merasa bahwa standar yang dibuat adalah tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Tabel 13. Peran Responden Pemerintah dan Lembaga Konsumen Daerah dalam Mengusulkan Pembuatan Standar Pangan Pertanyaan: Apakah Anda/instansi Anda pernah mengusulkan pembuatan suatu standar pangan? Responden Pemerintah Daerah Keseluruhan % Daerah terhadap Keseluruhan Responden Lembaga Konsumen Daerah Keseluruhan % Daerah terhadap Keseluruhan
Jawaban Ya
Tidak
Total
% Jawaban "Tidak" terhadap Total
5 12 41,67
4 7 57,14
9 19 47,37
44,44 36,84 -
0 3 0,00
3 5 60,00
3 8 37,50
100,00 62,50 -
Selain itu, kelompok responden pemerintah juga masih banyak yang tidak pernah mengusulkan pembuatan suatu standar. Kelompok responden pemerintah
60
ini pada umumnya berada di daerah yaitu sebesar 57,14% (Tabel 13). Hal ini menjadi tantangan dalam pengembangan standar keamanan pangan di Indonesia. Keterlibatan dan usulan dari daerah sangat diperlukan dalam mempertimbangkan suatu standar, sehingga dapat diaplikasikan dengan mudah oleh semua pihak termasuk bagi instansi pemerintah yang ada di daerah. C. Prinsip Konsensus dan Tidak Memihak Prinsip konsensus dan tidak memihak dapat diartikan bahwa standar yang ditetapkan merupakan hasil kesepakatan di antara semua stakeholder dan mempertimbangkan asas keadilan dalam penetapannya. Gambar 16 dan Tabel 14 menunjukkan pendapat responden dari kelompok pemerintah, industri, akademisi, dan lembaga konsumen tentang pelaksanaan prinsip konsensus dan tidak memihak di dalam penetapan suatu standar pangan.
Gambar 16. Keterlibatan Responden dalam Pengambilan Keputusan Saat Penetapan Standar Gambar 16 memperlihatkan bahwa dengan jumlah yang hampir sama responden yang menyatakan bahwa mereka pernah dan tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan dalam penetapan suatu standar pangan dengan jumlah masing-masing 56,67% dan 43,33% dari 60 total responden. Responden kelompok pemerintah (sebagian besar berada di daerah, Tabel 14) yang merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan tersebut juga jumlahnya masih
61
relatif besar. Responden pemerintah dan lembaga konsumen yang merasa belum dilibatkan dalam pengambilan keputusan suatu standar pangan masing-masing sebesar 81,82% dan 100% dari instansi di daerah. Ke depan efektifitas peran semua stakeholder dalam pengambilan keputusan dalam penetapan suatu standar sangat diperlukan untuk menghasilkan standar yang baik dan dapat diterapkan dengan efektif. Tabel 14. Keterlibatan Responden Pemerintah dan Lembaga Konsumen Daerah dalam Pengambilan Keputusan Saat Penetapan Standar Pertanyaan: Apakah Anda/instansi Anda pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan suatu standar pangan? Responden Pemerintah Daerah Keseluruhan % Daerah terhadap Keseluruhan
Jawaban Ya
Responden Lembaga Konsumen Daerah Keseluruhan % Daerah terhadap Keseluruhan
Tidak
Total
% Jawaban "Tidak" terhadap Total
1 11 9,09
9 11 81,82
10 22 45,45
90,00 50,00 -
0 5 0,00
3 3 100,00
3 8 37,50
100,00 37,50 -
Jumlah responden yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan suatu standar dan jumlah responden yang terlibat sebagai panitia teknis perumusan standar hampir sama. Total responden yang menyatakan pernah terlibat dalam pengambilan keputusan saat penetapan standar sebanyak 56,67% dari 60 responden (Gambar 16), sedangkan total responden yang menyatakan pernah terlibat sebagai panitia teknis perumusan standar sebesar 60% dari 60 responden (Gambar 13). Hal ini menunjukkan konsistensi dari data yang diperoleh, yaitu responden yang tidak terlibat sebagai panitia teknis juga tidak akan terlibat dalam pengambilan keputusan saat penetapan standar. Sekitar 60% responden dari total 60 responden yang menyatakan pernah terlibat dalam pengambilan keputusan saat penetapan suatu standar pangan, kemudian diberikan pertanyaan lanjutan.
Pertanyaan tersebut terkait dengan
pelaksanaan proses pengambilan keputusan. Tabel 15 menunjukkan pendapat responden terhadap pelaksanaan pengambilan keputusan saat penetapan suatu standar.
62
Tabel 15. Pendapat Responden terhadap Pelaksanaan Pengambilan Keputusan Saat Penetapan Standar Pertanyaan 1 : Apakah aspirasi Anda diterima/diakomodasi dalam pengambilan keputusan? Industri Akademisi Lembaga Total Kelompok Pemerintah Responden Konsumen Jawaban Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah 1= Ya
9
75
1
7,69
2= Sebagian
3
25
12
3= Tidak
0
0
0
12
100
13
Total
3
60
2
92,31
2
40
0
0
0
100
5
100
%
33,33
15
41,67
3
50
20
55,55
1
16,67
1
2,78
6
100
36
100
Pertanyaan 2 : Seberapa besar pengaruh Anda/Instansi Anda dalam pengambilan keputusan? Industri Akademisi Lembaga Total Kelompok Pemerintah Responden Konsumen Jawaban Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah
%
1= Sangat besar
5
41,67
0
0
0
0
2
33,33
7
19,44
2= Besar
4
33,33
1
7,69
1
20
2
33,33
8
22,22
3= Cukup besar
2
16,67
8
61,54
3
60
1
16,67
14
38,90
4= Kecil
1
8,33
4
30,77
1
20
1
16,67
7
19,44
12
100
13
100
5
100
6
100
36
100
Total
Pertanyaan 3 : Menurut Anda bagaimana proporsi setiap instansi dalam pengambilan keputusan? Kelompok Pemerintah Industri Akademisi Lembaga Total Responden Konsumen Jawaban Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah 1= Berimbang 2= Tidak berimbang Total
%
10
90,91
6
46,15
2
40
3
60
21
61,76
1
9,09
7
53,85
3
60
2
40
13
38,24
11
100
13
100
5
100
5
100
34
100
Tabel 15 pada Pertanyaan 1 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden (55,56% dari 36 responden) menyatakan bahwa hanya sebagian aspirasi mereka diterima atau diakomodasi dalam pengambilan keputusan saat penetapan suatu standar. Responden yang menyatakan hal tersebut sebagian besar dari kelompok industri (92,31% dari 13 responden kelompok industri). Hal ini berbeda dengan kelompok pemerintah yang menyatakan bahwa aspirasi mereka diterima (sepenuhnya) di dalam pengambilan keputusan dalam penetapan suatu standar (75% dari 12 responden kelompok pemerintah). Perbedaan persepsi ini akan menjadi penghambat dalam penerapan standar.
Kelompok industri
menganggap bahwa standar yang dibuat adalah bukan hasil kesepakatan yang adil dikarenakan tidak semua aspirasinya diterima di dalam pengambilan keputusan
63
dalam penetapan standar tersebut. Untuk itu, mekanisme dan pelaksanaan dalam pengambilan keputusan perlu diperbaiki agar semua stakeholder yang terlibat tidak ada yang merasa tidak atau kurang diperhatikan dalam menyampaikan aspirasinya. Tabel 15 pada Pertanyaan 2 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden (38,89% dari 36 responden) menyatakan bahwa pengaruh mereka di dalam pengambilan keputusan saat penetapan standar cukup besar. Responden yang menyatakan bahwa pengaruhnya kecil dan cukup besar dalam pengambilan keputusan penetapan standar sebagian besar dari responden kelompok industri (30,77% dan 61,54% dari 13 responden kelompok industri).
Sebagian besar
responden kelompok pemerintah menyatakan bahwa pengaruhnya sangat besar dan besar di dalam pengambilan keputusan saat penetapan suatu standar (41,67% dan 33,33% dari 12 responden kelompok pemerintah).
Perbedaan penilaian
tersebut juga dapat memperlihatkan persepsi ketidakadilan di dalam pengambilan keputusan saat penetapan suatu standar, terutama bagi kalangan industri/pelaku usaha. Tabel 15 pada Pertanyaan 3 memperlihatkan pendapat responden terhadap proporsi setiap instansi dalam pengambilan keputusan saat penetapan standar. Meskipun secara total sebagian besar responden (61,76% dari 34 responden) menyatakan bahwa proporsi setiap instansi sudah seimbang, tetapi jika dilihat per kelompok responden akan terlihat penilaian yang berbeda.
Sebagian besar
kelompok responden industri menyatakan bahwa saat ini proporsi setiap instansi dalam pengambilan keputusan penetapan suatu standar tidak berimbang. Dari total 13 responden kelompok industri, 53,85% menyatakan tidak berimbang, sedangkan 46,15% yang menyatakan berimbang. Hal sebaliknya dinyatakan oleh responden kelompok pemerintah yang hampir seluruhnya menyatakan bahwa proporsi pengambilan keputusan sudah berimbang. Dari total 11 responden, 90,91% kelompok responden pemerintah menyatakan berimbang, sedangkan hanya 9,09% yang menyatakan tidak berimbang. Hal tersebut menunjukkan perbedaan persepsi lagi antara responden kelompok pemerintah dan kelompok industri.
64
D. Prinsip Efektif dan Relevan Prinsip efektif dan relevan dapat diartikan bahwa standar yang dibuat harus dapat digunakan dan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan para pelaku usaha. Kesiapan pelaku usaha di dalam menerapkan standar yang dibuat harus diperhatikan agar standar dapat digunakan secara efektif.
Gambar 17. Pengetahuan Responden terhadap SNI produknya Gambar 17 memperlihatkan bahwa hampir semua responden (92,73% dari 55 responden) mengetahui standar SNI untuk produk yang dihasilkannya. Sebanyak 100% dari 23 responden kelompok industri mengetahui SNI produknya. Hal ini menjadi indikator awal kemungkinan semua responden, terutama pelaku usaha (industri) untuk menerapkan standar pangan yang telah ditetapkan. Akan tetapi, pengetahuan responden (industri) akan SNI produknya belum tentu akan berimplikasi pada penerapan SNI tersebut pada produk yang dihasilkan responden (industri). Tingkat penerapan standar oleh responden (industri) dapat dilihat pada Gambar 18, Gambar 19, dan Gambar 20.
65
Gambar 18. Pendapat Responden Mengenai Penerapan Standar Gambar 18 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden (65,38% dari 52 responden), termasuk pelaku usaha (industri) telah menerapkan standar yang dikeluarkan oleh BSN/BPOM. Akan tetapi jika dilihat per kelompok responden, terlihat masih banyak pelaku industri (30,43% dari 23 responden) menyatakan hanya sebagian standar yang dikeluarkan/ditetapkan BPOM dan BSN diterapkan di instansinya.
Hal ini mengindikasikan bahwa penerapan standar yang
dikeluarkan BPOM dan BSN belum sepenuhnya efektif diterapkan oleh pelaku usaha.
Kondisi rendahnya penerapan standar pangan terutama yang telah
dikeluarkan oleh BSN dapat dilihat kajian BSN (2009).
Gambar 19. Pendapat Responden Mengenai Manfaat Penerapan Standar
66
Gambar 19 memperlihatkan bahwa hampir semua responden (90,38% dari 52 responden) menyatakan bahwa penerapan standar memberikan manfaat bagi diri atau instansinya. Hanya sebagian kecil (9,62% dari 52 responden) terutama dari responden kelompok industri dan akademisi yang menyatakan bahwa penerapan standar memberikan manfaat sebagian (tidak sepenuhnya). Sebanyak 17,39% dari 23 responden kelompok industri menyatakan bahwa penerapan standar hanya sebagian memberikan manfaat.
Gambar 20. Pendapat Responden Mengenai Hambatan dalam Penerapan Standar Kajian BSN (2009) menunjukkan bahwa penerapan penerapan standar pangan SNI yang bersifat sukarela masih rendah, untuk itu perlu dicari faktorfaktor yang menjadi penghambat di dalam penerapan standar pangan SNI tersebut. Gambar 20 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (53,33% dari 60 responden) menyatakan bahwa kesiapan lab uji adalah faktor penghambat utama di dalam penerapan standar (keamanan) pangan. Selain itu, faktor biaya dan teknologi juga menjadi penghambat dalam penerapan suatu standar (keamanan) pangan dengan jumlah responden masing-masing 33,33% dan 13,33% dari total 60 responden. Jika dilihat secara khusus pada jawaban kelompok responden industri sebagai kelompok yang akan menerapkan standar, terlihat bahwa sebanyak 58,62%, 31,03%, 10,35% dari 29 jawaban responden kelompok industri berturutturut memberikan jawaban faktor kesiapan lab uji, biaya, dan teknologi yang
67
menjadi penghambat di dalam penerapan standar. Untuk itu, di dalam menyusun dan menetapkan suatu standar (keamanan) pangan faktor tersebut (kesiapan lab uji, biaya, dan teknologi) dan terutama faktor kesiapan lab uji harus diperhatikan agar standar yang dibuat efektif diterapkan oleh pelaku usaha. Menurut Othman (2006) infrastruktur labororatorium yang memadai sangat dibutuhkan untuk mendukung kegiatan monitoring, surveilan, dan penegakan peraturan dalam meningkatkan sistem keamanan pangan. Kesiapan laboratorium meliputi peralatan pada laboratorium pengawasan pangan, analis yang terlatih, dan implementasi Sistem Jaminan Mutu yang sesuai dengan standar internasional. Tantangan terbesar bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara dalam meningkatkan kemampuan laboratorium pengawasan pangan adalah dengan memperkecil nilai limit of detection (LOD) pada alat laboratorium yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan zat yang dilarang menurut peraturan.
Gambar 21. Pendapat Responden Mengenai Faktor yang Perlu Dipertimbangkan dalam Perumusan Standar Gambar 21 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa faktor perdagangan, kesehatan, kesiapan teknologi, gizi, dan lingkungan
68
sangat penting dan penting diperhatikan dalam perumusan standar. Lebih dari 50% pada setiap faktor, responden menyatakan bahwa faktor-faktor tersebut sangat penting dipertimbangkan dalam perumusan standar. Responden sepakat bahwa faktor utama yang perlu diperhatikan adalah kesehatan (98,28% dari 58 responden). E. Prinsip Koheren Prinsip koheren dapat diartikan bahwa standar yang disusun harus memperhatikan standar atau peraturan lain baik yang berlaku di dalam maupun luar negeri. Hal ini untuk menjamin bahwa tidak terjadi tumpang-tindih (overlap) standar atau peraturan di dalam negeri. Selain itu, diharapkan adanya harmonisasi standar yang dibuat dengan standar di luar negeri dan standar yang berlaku secara internasional seperti standar Codex.
Gambar 22. Pendapat Responden Mengenai Penerapan Prinsip Koheren dengan Standar di Dalam Negeri Gambar 22 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden (41,38% dari 58 responden) menyatakan bahwa otoritas pembuat standar sudah baik di dalam memperhatikan standar lain di dalam negeri saat perumusan suatu standar. Akan tetapi, responden yang menyatakan cukup dan kurang juga jumlahnya cukup besar masing-masing 32,76% dan 18,96% dari 58 responden.
69
Masih banyak responden kelompok industri yang menyatakan bahwa otoritas pembuat standar kurang memperhatikan standar lain di dalam negeri dalam perumusan standar.
Sebanyak 50% dan 31,82% dari 22 responden
kelompok industri berturut-turut memberikan jawaban “cukup” dan “kurang” dalam menilai pertimbangan regulasi atau standar lain yang berlaku di dalam negeri saat perumusan standar. Penilaian sebaliknya diberikan oleh kelompok responden pemerintah, sebanyak 13,64% dan 63,64% dari 22 responden kelompok pemerintah berturut-turut memberikan jawaban “sangat baik” dan “baik” dalam menilai pertimbangan regulasi atau standar lain yang berlaku di dalam negeri saat perumusan standar. Penilaian responden dari kelompok industri pada survei di atas sesuai dengan hasil FGD yang mengungkapkan bahwa beberapa standar keamanan pangan di dalam negeri memiliki kesamaan dan tumpang-tindih seperti SK BPOM tentang Cemaran Kimia dan Mikrobiologi dan SNI produk pangan yang dikeluarkan BSN. Selain itu, permasalahan standar Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.722/Menkes/PER/XI/88 tentang Bahan Tambahan Makanan dan SK BPOM yang akan merevisi Permenkes tersebut juga masih memiliki ketidakharmonisan standar.
Gambar 23. Pendapat Responden terhadap Aturan Internasional/Regional yang Sering Menjadi Rujukan dalam Penetapan Standar
70
Gambar 23 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden (74,65% dari 71 jawaban responden) menyatakan bahwa Codex merupakan aturan internasional utama yang menjadi rujukan di dalam pembuatan standar keamanan pangan di Indonesia.
Standar Codex Alimentarius Committee (CAC) adalah standar
internasional yang perlu menjadi acuan dalam menetapkan standar di tingkat nasional. Jika ada perselisihan perdagangan antar negara, terutama anggota WTO (World Trade Organization) karena terkait dengan standar keamanan pangan, maka standar CAC yang akan menjadi acuan dalam penyelesaian perselisihan tersebut. Hal ini telah menjadi kesepakatan bersama antara negara-negara anggota WTO (Randel, 2000).
Gambar 24. Pendapat Responden terhadap Aturan Negara Lain yang Sering Menjadi Rujukan dalam Penetapan Standar Gambar 24 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden (52,05% dari 60 responden) menyatakan bahwa peraturan negara Amerika Serikat merupakan peraturan yang sering menjadi rujukan di dalam pembuatan standar keamanan pangan. Peraturan atau standar dari Amerika Serikat ini selain merupakan negara tujuan ekspor produk pangan dari Indonesia, Amerika Serikat juga merupakan negara yang memiliki andil besar dalam menetapkan standar keamanan pangan di CAC. Selain itu, peraturan atau standar dari negara tujuan ekspor juga perlu dipertimbangkan dalam perumusan suatu standar di Indonesia (28,77% dari 60 responden menyatakan demikian).
71
Menurut Randel (2000) setiap negara memiliki standar yang berbeda, hal ini tidak dapat dihindari.
Untuk itu, diperlukan harmonisasi dan adanya saling
pengakuan oleh setiap negara pada standar yang dibuat negara lain. Masalah harmonisasi standar ini juga dialami oleh Indonesia. Standar yang ditetapkan di Indonesia diharapkan dapat memperlancar perdagangan internasional, produk dalam negeri dapat diekspor ke negara lain, sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat.
Standar yang ditetapkan di
Indonesia diharapkan dapat diterima oleh negara lain, terutama di negara tujuan ekspor produk dari Indonesia dan negara asal impor produk pangan ke Indonesia. F. Prinsip Berdimensi Pengembangan Indonesia masih dianggap sebagai negara yang masih berkembang.
Di
dalam mengembangkan standar keamanan pangan, kondisi potensi dan kemampuan negara Indonesia perlu dipertimbangkan.
Untuk itu, dimensi
pengembangan dalam perumusan standar di Indonesia perlu diperhatikan dengan melihat faktor-faktor yang ada di dalam negeri. Menurut Marovatsanga (2000) beberapa permasalahan yang dihadapi oleh negara berkembang termasuk Indonesia di dalam pengembangan peraturan atau standar di bidang pangan adalah: Ketidakcukupan dan ketidaksesuaian peraturan dengan kebutuhan Tidak cukupnya sumber daya dan/atau ketidakmampuan memaksimalkan sumber daya yang tersedia Kegagalan mengembangkan strategi pengawasan pangan nasional dan rendahnya penerapan serta manajemen program dan aksi Ketidakcukupan laboratorium dan lembaga inspeksi Ketidakcukupan jumlah personal teknis yang terlatih Rendahnya koordinasi antara badan pengawas, pemerintah, akademisi, industri, dan konsumen di dalam menyesuaikan dengan standar internasional Lemahnya kemauan politik dan komitmen terhadap keamanan pangan dan standar
72
Kondisi tersebut menjadi perhatian di dalam mengembangkan standar keamanan pangan di Indonesia. Pada Gambar 25 dan Gambar 26 diperlihatkan pendapat responden dari pemerintah, industri, akademisi, dan konsumen mengenai faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan di dalam perumusan standar. Faktor-faktor tersebut meliputi pengembangan pangan berbasis bahan baku lokal, pengembangan UMKM, dan peningkatan daya saing produk Indonesia.
Gambar 25. Pendapat Responden Mengenai Pentingnya Faktor-Faktor Tertentu sebagai Penerapan Prinsip Berdimensi Pengembangan di dalam Perumusan Standar Gambar 25 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden setuju bahwa pengembangan pangan berbasis bahan baku lokal, pengembangan UMKM, dan peningkatan daya saing produk Indonesisa adalah hal yang sangat penting untuk dipertimbangkan dalam perumusan suatu standar keamanan pangan. Sebagian responden menyatakan bahwa pengembangan pangan berbasis sumber daya lokal pengembangan UMKM, dan peningkatan daya saing produk Indonesia sangat penting diperhatikan dengan masing-masing jumlah 85,25% dari 61 responden, 75% dari 60 responden, dan 98,35% dari 61 responden. Pengembangan pangan berbasis bahan baku lokal perlu diperhatikan dalam perumusan dan penetapan standar di bidang pangan.
Hal ini sejalan dengan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal.
73
Pemberdayaan kelompok Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) perlu diperhatikan dalam pengembangan suatu standar. Mengingat sebagian besar pelaku usaha yang memproduksi pangan termasuk kelompok UMKM ini. Berdasarkan data dari BPS (2009) menunjukkan bahwa lebih dari 99% jenis usaha pangan yang diusahakan masyarakat Indonesia memiliki skala usaha kecil dan rumah tangga. Kondisi tersebut menjadi tantangan bagi pengambil kebijakan terutama perumus standar untuk memperhatikan kepentingan UMKM yang jumlahnya sangat besar. Di sisi lain, hasil kajian Othman (2006) yang meneliti kondisi keamanan pangan di wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia, menyatakan bahwa UMKM di Asia Tenggara memiliki tingkat apresiasi yang rendah terhadap penerapan good hygienic practices (GHP), good agricultural practices (GAP), dan good manufacturing practices (GMP). Hal ini menjadi tantangan bagi para perumus kebijakan (standar) pangan di Indonesia untuk lebih memperhatikan kepentingan UMKM dan terus membina mereka agar dapat menerapkan standar keamanan pangan.
Gambar 26. Perankingan Beberapa Faktor yang Perlu Dipertimbangkan dalam Perumusan Standar
74
Berdasarkan Gambar 26 di atas terlihat bahwa urutan total ranking dari yang paling
kecil
berturut-turut
adalah
faktor
perlindungan
kesehatan
konsumen/masyarakat, perlindungan produk dalam negeri, kesiapan laboratorium uji, dan kesiapan adopsi teknologi. kelompok
responden
setuju
bahwa
Hal ini memperlihatkan bahwa setiap faktor
yang
utama
dan
pertama
dipertimbangakan di dalam perumusan standar adalah perlindungan kesehatan masyarakat.
4.2.3. Analisis Gap Perumusan Standar dan Peraturan Berdasarkan Dokumen yang Berlaku dan Pelaksanaannya Hasil Focus Group Discussion (FGD) dan survei merupakan gambaran dari pelaksanaan prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar dan peraturan. Gambaran dari pelaksanaan perumusan dan pengembangan standar dan perturan tersebut dibandingan dengan dokumen yang telah ditetapkan oleh BSN dan BPOM RI.
Hasil analisis gap antara perumusan standar dan peraturan
berdasarkan dokumen yang berlaku dan pelaksanaannya dapat dilihat pada Tabel 16.
75
Tabel 16. Analisis Gap Perumusan Standar dan Peraturan Berdasarkan Dokumen yang Berlaku di BSN dan BPOM dibandingkan dengan Pelaksanaannya No
1
Kategori
Transparan
Perumusan, Penetapan, dan Pemberlakuan Wajib Standar Berdasarkan Naskah Peraturan BSN
BPOM
Prosedur perumusan standar dapat diakses di website: http://bsn.or.id/ dan telah ditetapkan oleh kepala BSN
Prosedur perumusan peraturan (pemberlakuan standar) belum diketahui secara luas oleh pihak yang berkepentingan
Pelaksanaan Prosedur Perumusan Standar Berdasarkan Hasil FGD dan Survei
FGD: pihak industri menyatakan masih banyak kebijakan yang dikeluarkan BPOM tidak melalui prosedur yang baku dan tidak diketahui oleh pengguna (industri) 18,33% total responden (13,04% pemerintah(i), 8,33% industri, 0% akademisi, 37,5% lembaga konsumen(i)) menyatakan tidak mengetahui prosedur perumusan standar Terjadi perbedaan persepsi antara kelompok responden pemerintah dan industri mengenai kemudahan dalam memperoleh informasi perumusan standar: 3,28% total responden (0% pemerintah, 4,35% industri, 0% akademisi, 12,5% lembaga konsumen) menyatakan sangat sulit untuk mendapatkan informasi perumusan standar 34,43% total responden (17,39% pemerintah, 56,52% industri, 42,86% akademisi, 12,5% lembaga konsumen) menyatakan sulit untuk mendapatkan informasi perumusan standar 47,54% total responden (60,87% pemerintah, 39,13% industri, 28,57% akademisi, 50% lembaga konsumen) menyatakan mudah untuk mendapatkan informasi perumusan standar 14,75% total responden (21,74% pemerintah, 0% industri, 28,57% akademisi, 25% lembaga konsumen) menyatakan sangat mudah untuk mendapatkan informasi perumusan standar 40,91% total responden (40,74% pemerintah, 36,84% industri, 62,5% akademisi, 33,33% lembaga konsumen) menyatakan bahwa mengetahui prosedur penyusunan standar dari informasi website.
Rekomendasi
Otoritas pembuat standar dapat memberikan informasi prosedur perumusan standar dan kebijakan lainnya, sehingga semua pihak dapat mengikuti perkembangan dan terlibat di dalamnya Media yang dapat digunakan untuk penyebaran informasi perumusan standar adalah melalui internet/website
76
Tabel 16. Analisis Gap Perumusan Standar dan Peraturan Berdasarkan Dokumen yang Berlaku di BSN dan BPOM dibandingkan dengan Pelaksanaannya (Lanjutan) No
Kategori
Perumusan, Penetapan, dan Pemberlakuan Wajib Standar Berdasarkan Naskah Peraturan
Pelaksanaan Prosedur Perumusan Standar Berdasarkan Hasil FGD dan Survei
BSN
BPOM Adanya FGD: pihak industri menginginkan agar pakar mereka yang berasal keterlibatan dari dari R&D misalnya dapat berperan aktif dalam membuat konsep BPOM, standar perwakilan Sebagian besar responden dalam survei pernah terlibat sebagai panitia industri, teknis perumusan standar, yaitu sebesar 60% total responden (63,64% konsumen, dan pemerintah, 43,48% industri, 85,71% akademisi, 75% lembaga akademisi dalam konsumen) penyusunan 18,64% total responden (23,81% pemerintah(i), 17,39% industri, 0% peraturan akademisi, 25% lembaga konsumen(i)) menyatakan tidak pernah (standar) dimintakan masukan terkait pembuatan suatu standar Keaktifan responden, terutama kelompok responden industri, dalam mengusulkan standar masih rendah, yaitu sebesar 54,39% total responden (36,84% pemerintah(i), 65,22% industri, 57,14% akademisi, 62,5% lembaga konsumen(i)) menyatakan belum aktif dalam mengusulkan pembuatan standar. Belum secara Jumlah responden yang tidak terlibat sebagai panitia teknis dan tidak eksplisit terlibat dalam pengambilan keputusan saat penetapan standar dijelaskan jumlahnya hampir sama, yaitu sebesar 43,33% total responden (50% pemerintah(i), 43,48% industri, 28,57% akademisi, 37,5% lembaga konsumen) menyatakan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan saat penetapan suatu standar. Terjadi perbedaan persepsi antara kelompok responden pemerintah dan industri mengenai pelaksanaan pengambilan keputusan saat penetapan standar: 55,56% dari total responden yang terlibat dalam pengambilan keputusan saat penetapan standar (25% pemerintah(i), 92,31% industri, 40% akademisi, 50% lembaga konsumen) menyatakan hanya sebagian aspirasinya diterima atau diakomodasi.
2
Terbuka
Mengakomodir kepentingan Produsen, Konsumen, Pakar, dan Regulator; serta MASTAN (Masyarakat Standardisasi Nasional)
3
Konsensus dan Tidak Memihak
Rapat konsensus hanya dapat dilakukan apabila rapat mencapai kuorum.
Rekomendasi
Perlu diperkuat posisi pakar/ahli yang merumuskan kajian risiko dengan dukungan data yang valid dan ahli yang kredibel, sehingga hasil kajiannya dapat dipercaya oleh semua pihak Perlu mengoptimalkan peran semua stakeholder melalui penguatan peran asosiasi
Penetapan standar harus memastikan bahwa semua stakeholder terlibat dan berdasarkan keputusan bersama dari semua stakeholder. Masukan dari berbagai pihak harus dipertimbangkan Pedoman perumusan standar yang telah ditetapkan BSN perlu dilaksanakan dengan lebih efektif dengan menjamin terjadinya konsensus saat penetapan standar
77
Tabel 16. Analisis Gap Perumusan Standar dan Peraturan Berdasarkan Dokumen yang Berlaku di BSN dan BPOM dibandingkan dengan Pelaksanaannya (Lanjutan) No
Kategori
Perumusan, Penetapan, dan Pemberlakuan Wajib Standar Berdasarkan Naskah Peraturan BSN
4
Efektif dan Relevan
Pelaksanaan Prosedur Perumusan Standar Berdasarkan Hasil FGD dan Survei
Rekomendasi
BPOM
61,76% dari total responden yang terlibat dalam pengambilan keputusan saat penetapan standar (90,91% pemerintah, 46,15% industri, 40% akademisi, 60% lembaga konsumen) menyatakan bahwa proporsi setiap instansi dalam pengambilan keputusan sudah berimbang. 38,24% dari total responden yang terlibat dalam pengambilan keputusan saat penetapan standar (9,09% pemerintah, 53,85% industri, 60% akademisi, 40% lembaga konsumen) menyatakan bahwa proporsi setiap instansi dalam pengambilan keputusan tidak berimbang Dukungan Ketentuan dalam Selaras dengan kajian BSN (2009) yang menunjukkan rendahnya Perlu dilakukan analisis risiko, ilmiah dari perumusan SNI: penerapan SNI oleh pelaku usaha (terutama UMKM), berdasarkan terutama kajian risiko dalam Tidak dimaksudkan individu/pakar hasil survei penelitian ini juga menunjukkan bahwa responden perumusan standar perorangan dan atau berpotensi kelompok industri (hampir semuanya kelompok skala usaha menengah Sebelum standar diberlakukan, tim mitra bestari menimbulkan ke atas) menunjukkan masih rendahnya penerapan SNI/standar BPOM perlu dilakukan analisis kajian hambatan di instansinya. Sebesar 30,43% responden kelompok industri dampak dan kesiapan perdagangan yang menyatakan hanya sebagian standar yang dikeluarkan/ditetapkan infrastruktur. Kajian yang dapat berlebihan atau BPOM dan BSN diterapkan di instansinya. dilakukan adalah RIA yang tidak 58,62%, 31,03%, dan 10,35% industri responden kelompok industri (Regulatory Impact Analysis) diperlukan menyatakan bahwa kendala utama yang dihadapi dalam penerapan Kesepakatan responden terhadap Dukungan ilmiah standar berturut-turut adalah kesiapan lab uji, biaya dan teknologi pentingnya mempertimbangkan dari individu/pakar Seluruh kelompok responden sepakat menyatakan bahwa faktor faktor perdagangan, kesiapan perorangan teknologi, gizi, lingkungan dan perdagangan, kesehatan, kesiapan teknologi, gizi, dan lingkungan penting dipertimbangkan dalam penyusunan standar pangan masingterutama kesehatan dapat masing berjumlah lebih dari 50%. Seluruh kelompok responden dijadikan titik tolak untuk (98,28% dari 58 responden) juga sepakat bahwa kesehatan adalah mencari kesamaan persepsi saat faktor utama yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan standar. penetapan kriteria/ketentuan di dalam standar
78
Tabel 16. Analisis Gap Perumusan Standar dan Peraturan Berdasarkan Dokumen yang Berlaku di BSN dan BPOM dibandingkan dengan Pelaksanaannya (Lanjutan) No
5
Kategori
Koheren
Perumusan, Penetapan, dan Pemberlakuan Wajib Standar Berdasarkan Naskah Peraturan BSN
BPOM
Sedapat mungkin harmonis dengan standar internasional yang telah ada (mengadopsi satu standar internasional yang relevan)
Melalui Pemetaan dan Kaji Banding (Nasional, Regional, Internasional)
Pelaksanaan Prosedur Perumusan Standar Berdasarkan Hasil FGD dan Survei
Rekomendasi
Terjadi perbedaan persepsi antara kelompok responden pemerintah Jika data di Indonesia belum dan industri dalam menilai kajian terhadap peraturan/standar yang tersedia, rujukan utama yang berlaku di dalam negeri dalam perumusan suatu standar, yaitu sebesar dapat digunakan adalah standar 6,90% total responden (13,64% pemerintah, 0% industri, 16,67% Codex akademisi, 0% lembaga konsumen), 41,38% total responden (63,64% Peraturan/standar negara pemerintah, 18,18% industri, 50% akademisi, 37,5% lembaga tujuan/target ekspor komoditas konsumen), 32,76% total responden (13,64% pemerintah, 50% pangan perlu dipertimbangakan industri, 16,67% akademisi, 50% lembaga konsumen), dan 18,96% dalam perumusan suatu standar total responden (9,09% pemerintah, 31,82% industri, 16,67% komoditas pangan tersebut. akademisi, 12,5% lembaga konsumen) menyatakan bahwa kajian terhadap regulasi/standar lain yang belaku di dalam negeri berturut-turut ”sangat baik”, ”baik”, ”cukup”, dan ”kurang” diperhatikan dalam perumusan standar. 74,65% total responden (76% pemerintah, 84,62% industri, 85,71% akademisi, 46,15% lembaga konsumen) menyatakan bahwa standar Codex adalah rujukan utama dalam penetapan standar Peraturan/standar negara tujuan ekspor juga perlu menjadipertimbangan dalam perumusan standar, yaitu sebesar 28,77% total responden (33,33% pemerintah, 32% industri, 30% akademisi, 9,09% lembaga konsumen) menyatakan peraturan/standar negara tujuan ekspor perlu dipertimbangkan dalam perumusan standar.
79
Tabel 16. Analisis Gap Perumusan Standar dan Peraturan Berdasarkan Dokumen yang Berlaku di BSN dan BPOM dibandingkan dengan Pelaksanaannya (Lanjutan) No
6
Kategori
Berdimensi Pengembangan
Perumusan, Penetapan, dan Pemberlakuan Wajib Standar Berdasarkan Naskah Peraturan
Pelaksanaan Prosedur Perumusan Standar Berdasarkan Hasil FGD dan Survei
Rekomendasi
BSN
BPOM
Mempertimbangkan kepentingan UMKM dan daerah dengan memberikan peluang untuk dapat berpartisipasi dalam proses perumusan SNI.
Secara eksplisit Seluruh kelompok responden menyatakan bahwa faktor Perlu penetapan di dalam belum prosedur perumusan standar pengembangan bahan baku lokal, pengembangan UMKM, dan dicantumkan peningkatan daya saing produk Indonesia adalah sangat penting bahwa faktor-faktor tertentu perlu mengenai faktor diperhatikan sebagai dimensi pengembangan dengan jumlah berturutdiperhatikan sebagai dimensi sebagai dimensi turut 85,25%, 75%, dan 98,36%; sisanya menyatakan “agak penting” pengembangan dalam perumusan pengembangan dan “cukup penting”. standar agar standar yang dalam ditetapkan dapat berfungsi Akumulasi ranking yang diberikan oleh seluruh responden dan perumusan masing-masing kelompok responden dari ranking terkecil berurut-turut melindungi kesehatan konsumen standar dan sekaligus meningkatkan adalah perlindungan kesehatan konsumen, perlindungan produk pertumbuhan ekonomi nasional dalam negeri, kesiapan lab uji, dan kesiapan adopsi teknologi. Kesepakatan semua kelompok responden dapat menjadi titik tolak untuk mempertimbangkan faktor pengembangan bahan baku lokal, pengembangan UMKM, peningkatan daya saing produk Indonesia, dan terutama perlindungan kesehatan konsumen dalam perumusan suatu standar (keamanan) pangan
Keterangan: (i) sebagian besar responden pemerintah/lembaga konsumen yang menyatakan hal tersebut berasal dari daerah
80
4.3. Penerapan Prinsip-Prinsip Perumusan dan Pengembangan Standar dan Peraturan Keamanan Pangan di Indonesia Prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar dan peraturan secara umum dapat dibagi menjadi 2, yaitu prinsip yang berkaitan dengan proses perumusan dan prinsip yang terkait dengan tujuan aplikasi atau penerapan. Prinsip yang terkait dengan proses perumusan adalah prinsip transparan, terbuka, dan konsensus dan tidak memihak. Prinsip yang terkait dengan tujuan aplikasi atau penerapan adalah prinsip efektif dan relevan, koheren, dan berdimensi pengembangan. 4.3.1. Pelaksanaan Prinsip-Prinsip Perumusan dan Pengembangan Standar dan Peraturan Keamanan Pangan Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil focus group discussion (Tabel 9) dan hasil survei (Gambar 10), terlihat bahwa terdapat perbedaan persepsi antara kelompok pemerintah dan industri. Perbedaan persepsi tersebut terlihat dalam memberikan penilaian terhadap penerapan prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar (transparan, terbuka, konsensus dan tidak memihak, efektif dan relevan, koheren, dan berdimensi pengembangan). Perbedaan yang besar terlihat pada penilaian terhadap prinsip transparan dan efektif dan relevan. Selain dari hasil survei, pelaksanaan prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar akan dilihat dari beberapa data sekunder yang menunjukkan pelaksanaan prinsip-prinsip tersebut. Pelaksanaan prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar yang terkait dengan perumusan (transparan, terbuka, dan konsensus dan tidak memihak) telah dijelaskan secara rinci pada Bagian 4.1 mengenai perumusan standar dan peraturan di BSN, BPOM, dan CAC. Untuk itu, pada bagian ini secara khusus hanya akan dibahas mengenai pelaksanaan prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar yang terkait dengan tujuan aplikasi atau penerapan, yaitu prinsip efektif dan relevan, koheren, dan berdimensi pengembangan.
81
A. Pelaksanaan Prinsip Efektif dan Relevan Sejak pertama kali diterbitkan hingga tahun 2006 jumlah SNI yang disusun sekitar 6633 judul ditambah dengan penyelesaian standar baru berjumlah sekitar 200 judul per tahun. Data hasil survei BSN (2006) terhadap kelompok standar menunjukkan profil perkembangan standar yang dapat dilihat pada Gambar 27.
Gambar 27. Jumlah Penggunaan SNI (diolah dari BSN, 2009) Dari total jumlah standar SNI, standar sektor pertanian dan pangan merupakan sektor dengan jumlah SNI terbanyak, yaitu 952 SNI pada tahun 2006. Hasil penelitian mengenai penerapan SNI oleh BSN (2006) menunjukkan bahwa belum seluruh SNI diterapkan dengan baik oleh para pelaku usaha dan pemangku kepentingan di masyarakat Indonesia.
Gambar 27 menunjukkan proporsi
penerapan standar dalam berbagai bidang. Untuk bidang pertanian dan pangan misalnya hanya 12% SNI yang diterapkan (dari total 952 SNI bidang pertanian dan pangan hanya 118 SNI yang diterapkan), yang menunjukkan bahwa penerapan standar belum dilakukan secara optimal. Hal ini dapat disebabkan karena belum disadari sepenuhnya manfaat penerapan standar oleh masyarakat
82
(pelaku usaha), khususnya sebagai panduan dalam produksi dan acuan dalam transaksi perdagangan, terutama oleh industri kecil.
Penyebab lain adalah
ketentuan dan persyaratan di dalam standar masih sulit dipenuhi oleh para pelaku usaha. Untuk itu, keterlibatan pemangku kepentingan dalam perumusan standar masih perlu ditingkatkan, agar betul-betul dihasilkan SNI yang relevan dengan kondisi nyata dan sesuai dengan kebutuhan peningkatan daya saing produk. Berdasarkan pada hasil FGD dan survei yang menunjukkan bahwa tingkat relevansi yang masih rendah, maka penelitian ini lebih lanjut menggali aspek relevansi ini, dengan melihat beberapa data hasil kajian dan penelitian yang terkait. Adapun contoh kasus yang terkait dengan tingkat relevansi standar dan peraturan yang masih rendah dapat dilihat pada data berikut ini: 1). Standar tentang Susu Segar Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh PT Indolakto dari beberapa peternak susu di Boyolali, Bandung, Jakarta, Bogor, Sumedang, Garut, dan Cikajang dari tanggal 20 Juni–3 Juli 2011 diperoleh data bahwa sebagian besar peternak memproduksi susu dengan nilai Total Plate Count (TPC) atau Angka Lempeng Total (ALT) di atas standar SNI. Berdasarkan standar SNI 01-31411998 (revisi SNI 3141.1:2011) batas TPC pada susu segar adalah 1 x 106 CFU/ml (BSN, 1998; BSN, 2011a). Berdasarkan data sebaran, diperoleh angka bahwa rata-rata susu yang dihasilkan peternak di daerah sampling supplier PT Indolakto adalah 4,62 x 106 CFU/ml.
Bahkan masih banyak susu dari peternak yang
7
memiliki nilai TPC di atas 10 CFU/ml. Berdasarkan sumber data lain yang dikumpulkan dari penelitian berbagai badan/lembaga penelitian dan pengembangan (litbang), dinas peternakan daerah, dan beberapa perguruan tinggi (Usmiati dan Widaningrum, 2005; Usmiati dan Nurdjannah, 2007; Budiyanto dan Usmiati, 2009; Disnak Jateng, 2010; Marlina, et al., 2007; Balia, et al., 2008) diperoleh data bahwa sebagian besar peternak memproduksi susu dengan nilai TPC/ALT juga di atas standar SNI. Berdasarkan data tersebut, diperoleh angka bahwa rata-rata susu yang dihasilkan peternak di daerah penelitian (Bandung, Semarang, dan Bogor) adalah 2,38 x 107 CFU/ml. Bahkan masih banyak susu dari peternak yang memiliki nilai TPC di atas 107
83
CFU/ml. Secara kolektif data hasil sampling PT Indolakto dan data kolektif dari beberapa karya ilmiah dan pemerintah daerah tersebut dapat dilihat pada Gambar 28.
Gambar 28. Hasil Pengujian TPC Susu Segar di Beberapa Daerah di Indonesia (Diolah dari data PT Indolakto dan beberapa karya ilmiah*) Keterangan: * Usmiati dan Widaningrum (2005), Usmiati dan Nurdjannah (2007), Budiyanto dan Usmiati (2009), Disnak Jateng (2010), Marlina, et al. (2007) Balia, et al.( 2008)
Hal ini menggambarkan bahwa standar yang saat ini diberlakukan masih terlalu tinggi, dan sangat berat jika diterapkan bagi peternak kecil. Akibatnya banyak peternak yang tidak dapat memenuhi standar tersebut. Kondisi tersebut menyalahi prinsip penerapan standar yang seharusnya memiliki dimensi pengembangan dengan memperhatikan kepentingan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). 2). Standar/Peraturan tentang Sari Buah Data dari Asosiasi Industri Minuman Ringan (ASRIM) dalam Poeradisastra (2011) menggambarkan beberapa produk sari buah dari produsen yang ada di Indonesia menghasilkan kualitas total padatan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh BPOM RI. Menurut Poeradisastra (2011) produk sari buah sirsak dan lemon yang dihasilkan produsen di Indonesia menghasilkan nilai total padatan (Brix) 12,0-14,0% dan 4,2%; sedangkan menurut peraturan BPOM (2006) sari buah sirsak dan lemon berturut-turut harus memiliki nilai padatan minimal 14,5% dan 6%.
84
3). Standar/Peraturan tentang Penggunaan Pemanis Siklamat Data lain dari BPOM RI dalam Suratmono (2009) menyebutkan ketidaksesuaian penggunaan siklamat pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) yang beredar di Indonesia dengan standar. Data tersebut menyebutkan bahwa pada tahun 2006 dan 2007 ditemukan 42,28% dan 42,88% dari seluruh PJAS yang disampling di seluruh Indonesia tidak memenuhi syarat penggunakan pemanis siklamat berdasarkan HK.00.05.5.1.4547 tahun 2004 tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan. 4). Standar tentang Makanan Pendamping Air Susu Ibu Dari parameter gizi, Herlina (2008) telah melakukan kajian kesesuaian produk makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) dengan SNI.
Hasilnya
menunjukkan bahwa 61% dari 100 produk MP-ASI bubuk lokal yang beredar memiliki kandungan vitamin B6 di bawah standar yang ditetapkan dalam SNI 017111.1-2005 yaitu minimal 0,7mg/100g. Hasil kajian terhadap produk MP-ASI bubuk instan lokal dapat dilihat pada Gambar 29.
Gambar 29. Kandungan Gizi MP-ASI Bubuk Instan Lokal (Diolah dari Herlina, 2008) Selain itu, berturut-turut sebanyak 74%, 74%, 87%, dan 74% dari 23 produk MP-ASI bubuk instan impor yang beredar di Indonesia memiliki kandungan vitamin E, vitamin B6, asam folat, dan iodium di bawah standar yang ditetapkan dalam SNI 01-7111.1-2005 yaitu masing-masing minimal 4mg/100g, 0,7mg/100g,
85
27mg/100g, dan 45mcg/100g.
Hasil kajian terhadap produk MP-ASI bubuk
instan impor dapat dilihat pada Gambar 30a, 30b, 30c, 30d.
Gambar 30a. Kandungan Vitamin E pada MP-ASI Bubuk Instan Impor (Diolah dari Herlina, 2008)
Gambar 30b. Kandungan Vitamin B6 pada MP-ASI Bubuk Instan Impor
86
Gambar 30c. Kandungan Asam Folat pada MP-ASI Bubuk Instan Impor (Diolah dari Herlina, 2008)
Gambar 30d. Kandungan Iodium pada MP-ASI Bubuk Instan Impor (Diolah dari Herlina, 2008) Sebanyak 55% dan 50% dari 33 produk MP-ASI biskuit yang beredar memiliki kandungan Zink (Zn) dan Selenium (Se) di bawah standar yang ditetapkan dalam SNI 01-7111.2-2005 yaitu masing-masing minimal 2,5mg/100g dan 10mcg/100g. Hasil kajian terhadap produk MP-ASI biskuit dapat dilihat pada Gambar 31.
87
Gambar 31. Kandungan Zink MP-ASI Biskuit (Diolah dari Herlina, 2008) Sebanyak 75%, 100%, 100%, 100%, 100%, 100%, 100%, 63%, dan 88% dari 8 produk MP-ASI siap masak yang beredar memiliki kandungan serat pangan, vitamin E, vitamin B1, vitamin B2, niasin, vitamin B6, vitamin C, natrium, dan iodium di luar batas standar yang ditetapkan dalam SNI 01-7111.32005 yaitu masing-masing maksimal 5g/100g, minimal 5mg/100g, 0,7mg/100g, 0,7mg/100g, 0,5mg/100g, 1,2mg/100g, dan 80mg/100g, maksimal 100 mg/100 kkal, dan minimal 55 mcg/100 g. Hasil kajian terhadap produk MP-ASI siap masak dapat dilihat pada Gambar 32a, 32b, 32c, 32d, 32e, 32f. 32g, dan 32h.
Gambar 32a. Kandungan Serat MP-ASI Siap Masak (Diolah dari Herlina, 2008)
88
Gambar 32b. Kandungan Vitamin E MP-ASI Siap Masak (Diolah dari Herlina, 2008)
Gambar 32c. Kandungan Vitamin B1 MP-ASI Siap Masak (Diolah dari Herlina, 2008)
Gambar 32d. Kandungan Vitamin B2 MP-ASI Siap Masak (Diolah dari Herlina, 2008)
89
Gambar 32e. Kandungan Niasin MP-ASI Siap Masak (Diolah dari Herlina, 2008)
Gambar 32f. Kandungan Vitamin B6 MP-ASI Siap Masak (Diolah dari Herlina, 2008)
Gambar 32g. Kandungan Vitamin C MP-ASI Siap Masak (Diolah dari Herlina, 2008)
90
Gambar 32h. Kandungan Iodium MP-ASI Siap Masak (Diolah dari Herlina, 2008) 5). Standar/Peraturan tentang Makanan yang Dikalengkan Berdasarkan peraturan BPOM RI Nomor HK.00.06.1.52.4011 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan, produk-produk pangan yang dikalengkan memiliki persyaratan batas maksimal cemaran mikrobiologi. Produk buah, sayuran, corned dan sosis dalam kaleng memiliki batas maksimal ALT (Angka Lempeng Total)/TPC (Total Plate Count) sebesar 1 x 102 koloni/g; sedangkan untuk ikan dan produk ikan, serta sup dan kaldu dalam kaleng memiliki batas maksimal ALT sebesar 1 x 101 koloni/g (BPOM, 2009).
Padahal produk-produk pangan berasam rendah yang
dikalengkan (low acid canned foods) tersebut harus melalui pengolahan dan pengawetan untuk mencapai kondisi steril komersial. Kondisi steril komersial dapat diperoleh dari pengolahan pangan dengan menggunakan suhu tinggi dalam periode waktu yang cukup lama sehingga tidak ada lagi mikroorganisme patogen dan pembusuk yang hidup. Kondisi steril komersial umumnya dicapai melalui proses sterilisasi dengan menerapkan konsep 12D. Konsep 12D merupakan konsep yang umum digunakan dalam sterilisasi komersial untuk menginaktifkan spora mikroorganisme yang berbahaya, yaitu Clostridium botulinum.
Arti 12D di sini adalah bahwa proses termal yang
dilakukan dapat mengurangi jumlah spora C. botulinum sebesar 12 siklus logaritma atau F=12D, yaitu mengurangi jumlah spora C. botulinum menjadi 10-9
91
dengan asumsi jumlah spora awal sebesar 103 dalam satu kaleng. Nilai 10-9 diartikan bahwa dari 109 (satu miliar) kaleng, hanya 1 kaleng yang berpeluang mengandung spora C. botulinum.
Bila spora C. botulinum memiliki nilai
D121=0.21 menit, maka dosis sterilisasi (Fo) dengan menerapkan konsep 12D harus ekuivalen dengan pemanasan pada 121oC selama 2,52 menit. (Hariyadi, 2008). Berdasarkan hasil penelitian dan kajian yang dilakukan oleh Hariyadi (2008 dan 2011a) terhadap 131 produk pangan yang dikalengkan di Indonesia, diperoleh angka kecukupan panas (nilai Fo) antara 1,9 hingga 149 menit (Gambar 33). Pengujian dengan parameter nilai Fo tersebut lebih efektif dilakukan untuk menjamin keamanan pangan produk yang dikalengkan, dibandingkan dengan pengujian dengan parameter mikrobiologi dengan menghitung ALT dan menguji 1 miliar kaleng untuk menemukan 1 kaleng yang mengandung spora C. botulinum. Pengujian yang terdapat di dalam standar/peraturan BPOM RI (2009) tidak relevan dengan tujuan proses sterilisasi dan tidak dapat mendorong produsen untuk meningkatkan keamanan pangan produknya.
Gambar 33. Hasil Pengujian Kecukupan Panas pada Beberapa Produk Pangan yang Dikalengkan (Hariyadi, 2011a) 6) Standar Wajib Air Minum dalam Kemasan dan Garam Beryodium Permasalahan lain yang terjadi adalah rendahnya penegakkan hukum (law enforcement) pada peraturan yang telah mewajibkan standar. Jika dilihat dari
92
beberapa data penerapan standar (SNI) wajib terlihat bahwa masih terdapat produk Air Minum dalam Kemasan (AMDK) dan garam beryodium yang tidak memenuhi standar. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) melakukan pengujian pada produk Air Minum dalam Kemasan (AMDK) gelas tahun 2010. Dari 21 merek yang diuji ditemukan 2 merek yang melewati batas maksimum total koloni bakteri berdasarkan standar SNI 3553-2006, yaitu angka lempeng total akhir maksimal 1 x 105 koloni/ml. Penelitian lain yang dilakukan Saputra (2011) terhadap 13 garam yodium bermerek yang beredar di Denpasar, Bali, dengan jumlah 60 sampel, terdapat 2 merek garam beryodium yang mengandung iodium kurang dari standar SNI 3556:2010 yaitu minimal 30 ppm. B. Pelaksanaan Prinsip Koheren Saat ini masih terjadi kendala harmonisasi dalam penerapan standar dan peraturan di tingkat internasional. Dapat diambil contoh adalah standar/peraturan penggunaan bahan tambahan pangan (pewarna dan pengawet) di negara-negara anggota ASEAN. Perbedaan standar tersebut dapat dilihat pada Tabel 17 dan Tabel 18. Tabel 17. Standar Penggunaan Pewarna Pangan di Negara-Negara ASEAN (Fardiaz, 2009)
93
Tabel 17 menunjukkan contoh kasus ke(tidak)harmonisan standar/peraturan di beberapa negara-negara ASEAN yang memiliki aturan yang berbeda dalam mengatur atau melarang penggunaan pewarna sintetis. Tabel 18 menunjukkan contoh kasus ke(tidak)harmonisan standar di beberapa negara-negara ASEAN yang memiliki aturan yang berbeda dalam mengatur atau melarang penggunaan pengawet pangan. Tabel 18. Standar Penggunaan Pengawet Pangan di Negara-Negara ASEAN (Fardiaz, 2009)
Kasus lain terkait dengan harmonisasi standar/peraturan di tingkat internasional adalah kasus mi instan.
Kasus mi instan dari Indonesia yang
diekspor ke Taiwan akhir-akhir ini mendapatkan perhatian yang cukup serius. Dimana terjadi perbedaan standar mengenai penggunaan Methyl-p-hydroxy Benzoate pada produk mi instan dari Indonesia di Taiwan. C. Pelaksanaan Prinsip Berdimensi Pengembangan Berdasarkan hasil survei, terlihat bahwa hampir seluruh responden sepakat bahwa faktor pengembangan bahan baku lokal, pengembangan UMKM, dan
94
peningkatan daya saing produk Indonesia adalah faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam perumusan dan pengembangan standar keamanan pangan di Indonesia.
Selain itu, pihak-pihak yang memiliki keterbatasan akses dan
kemampuan untuk terlibat dalam perumusan dan pengembangan standar perlu mendapatkan perhatian yang lebih. Kelompok yang perlu mendapatkan perhatian tersebut adalah kelompok industri UMKM dan kelompok instansi yang berada di daerah. Dengan peningkatan partisipasi, peran serta, dan keterlibatan kelompok ini dalam usulan, perumusan dan pengembangan standar diharapkan proses pembahasan standar menjadi efektif dan standar yang dihasilkan relevan untuk diaplikasikan oleh semua pihak yang berkepentingan. Untuk meningkatkan partisipasi UMKM dalam penerapan standar keamanan pangan, sedapat mungkin saat perumusan standar disediakan data yang valid mengenai kondisi penggunaan suatu bahan pangan yang akan dibuatkan standarnya, terutama penggunaannya oleh UMKM.
Jika jumlah penggunaan
suatu bahan pangan tertentu masih besar oleh UMKM yang juga jumlahnya banyak, maka perlu dipertimbangkan kesiapan UMKM dalam menyesuaikan standar yang akan diterapkan dan kesiapan lembaga pengawas yang akan menegakan peraturan pemberlaku wajib standar. Sebagai contoh, saat ini kondisi peternak kecil masih banyak yang menghasilkan susu sapi segar dengan nilai TPC di atas 1 x 106 cfu/g, sehingga peternak tersebut kesulitan dalam menerapkan standar yang ada. Agar penerapan standar oleh pelaku usaha (peternak) tersebut efektif dan fungsi pengawasan juga mudah dilakukan, seharusnya standar dibuat dengan cara bertahap.
Standar
seharusnya ditetapkan secara gradual dengan tujuan membina dan meningkatkan kualitas produk para pelaku usaha agar sesuai dengan standar. Jika, kualitas produk para pelaku usaha sudah meningkat, kemudian standar dapat digeser lagi sampai batas yang diinginkan.
Ilustrasi penetapan secara bertahap (gradual)
sebagai salah satu penerapan prinsip berdimensi pengembangan dapat dilihat pada Gambar 34.
95
Gambar 34. Dimensi Pengembangan Standar (Hariyadi, 2011b) Setiap
lima
tahun
sekali
suatu
standar
seharusnya
dievaluasi
pelaksanaannya. Jika ada hambatan di dalam penerapannya, standar tersebut perlu direvisi.
Evaluasi yang menghasilkan revisi harus berdasarkan pada
pertimbangan tertentu yang memperhatikan dimensi pengembangan agar penerapan standar tersebut menjadi lebih efektif. Standar seharusnya mampu mendorong pelaku usaha untuk memperbaiki kualitas produknya. Jika dilihat dari data BSN (2011c) masih banyak SNI pangan yang berumur lama (lebih dari 5 tahun) dan belum dilakukan kaji ulang (revisi, amandemen, atau abolisi). Untuk itu, otoritas pembuat standar (BSN) perlu melakukan kaji ulang terhadap SNI yang telah ditetapkan terutama untuk SNI yang telah berumur paling lama. Kaji ulang tersebut juga berfungsi untuk mengevaluasi tingkat penerapan SNI oleh pelaku usaha. Kaji ulang akan semakin mendesak diperlukan sebagai upaya persiapan menghadapi perdagangan bebas (misal CAFTA dan APEC) dimana standar (SNI) berfungsi untuk menjamin produk pangan yang dihasilkan produsen Indonesia memiliki kualitas dan daya saing dalam menghadapi era perdagangan bebas tersebut. Kondisi banyaknya umur SNI bidang Pangan yang sudah lama dapat dilihat pada Gambar 35.
96
Gambar 35. Umur SNI Pangan Hingga November 2011 (diolah dari BSN, 2011d)
4.3.2. Rekomendasi
Prinsip-Prinsip
Perumusan
dan
Pengembangan
Standar dan Peraturan Keamanan Pangan Berdasarkan hasil analisis gap 1 dan gap 2, maka perumusan dan pengembangan standar dan peraturan keamanan pangan perlu dilakukan dengan menerapkan dan memperkuat prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar, yaitu: 1. Transparan Perlu diberikan akses informasi seluas-luasnya mengenai prosedur penyusunan dan
perkembangan
perumusan
standar
pangan
kepada
pihak
yang
berkepentingan. Media informasi yang dapat dimanfaatkan adalah melalui internet dengan menyampaikan prosedur perumusan standar dan peraturan pangan pada situs website lembaga pemerintah yang berwenang dalam pengembangan standardisasi nasional (BSN dan instansi teknis). 2. Terbuka Prinsip terbuka dalam perumusan dan pengembangan standar pangan dapat diwujudkan dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada semua pihak yang berkepentingan (pemerintah, industri, akademisi, dan konsumen) untuk berpartisipasi aktif dalam memberikan usulan dan masukan serta keterlibatan dalam pembahasan standar dan peraturan pangan. Usulan dan
97
masukan masing-masing pihak dapat disampaikan melalui asosiasi agar berjalan secara tertib dan efektif. Keterlibatan semua pihak harus didorong agar tingkat penerimaan standar pangan dan peraturan yang akan ditetapkan menjadi tinggi, termasuk mendorong usulan, masukan, dan pertimbangan dari lembaga yang ada di daerah. Diperlukan tim atau lembaga independen sebagai pengkaji risiko dengan anggota terdiri atas para pakar dan ahli yang kredibel dan mempunyai kapabilitas sesuai dengan bidang pembahasan standar dan peraturan pangan. 3. Konsensus dan tidak memihak Di dalam penetapan standar dan peraturan pangan harus diterapkan prinsip konsensus dengan mempertimbangkan semua masukan dari pihak yang terlibat (pemerintah, industri, akademisi, dan konsumen).
Prosedur yang telah
ditetapkan oleh BSN mengenai konsensus dalam pengambilan keputusan saat penetapan standar perlu diterapkan dengan lebih efektif, sehingga semua perwakilan yang hadir merasa dihargai pendapatnya dan diperoleh keputusan standar dan peraturan yang merupakan hasil kesepakatan bersama. 4. Efektif dan relevan Diperlukan data yang valid mengenai kondisi Indonesia sebagai bahan pertimbangan dan dasar dalam penetapan suatu standar dan peraturan pangan, misalkan data tentang paparan (jumlah bahan pangan yang dikonsumsi setiap individu). Di dalam perumusan standar pangan perlu diterapkan analisis risiko, khususnya kajian risiko. Kajian risiko diperlukan dalam penetapan kriteria di dalam standar dan peraturan pangan. Di dalam pemberlakuan standar pangan perlu diperhatikan kesiapan pelaku usaha (industri) yang akan menerapkannya. Salah satu hal yang penting diperhatikan adalah kesiapan infrastruktur (laboratorium pengujian) yang mampu menguji parameter yang ditetapkan dalam standar. Sebelum standar (SNI) pangan diberlakukan secara wajib oleh instansi teknis dalam bentuk peraturan, diperlukan kajian mengenai dampak regulasi melalui Regulatory Impact Analysis (RIA).
98
5. Koheren Kajian terhadap standar atau peraturan lain di dalam negeri saat merumuskan suatu standar pangan perlu dilaksanakan dengan lebih efektif. Di dalam merumuskan suatu standar dan peraturan pangan juga diperlukan harmonisasi terhadap standar dan peraturan
yang berlaku secara
internasional dan berlaku di negara lain terutama negara tujuan ekspor produk pangan Indonesia. Standar Codex yang telah ditetapkan oleh CAC dapat dijadikan rujukan utama dalam menetapkan ketentuan dan kriteria di dalam standar dan peraturan pangan Indonesia, terlebih jika data tentang profil kualitas produk pangan di Indonesia belum tersedia atau masih terbatas. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi jika terjadi perselisihan perdagangan antar negara anggota WTO yang menjadikan standar Codex sebagai acuan. 6. Berdimensi pengembangan Kepentingan UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah), pengembangan bahan baku lokal, dan peningkatan daya saing produk Indonesia perlu menjadi pertimbangan dalam merumuskan standar pangan, sehingga standar yang dihasilkan berguna bagi kepentingan nasional dan dapat diterima secara luas khususnya oleh pelaku usaha pangan di dalam negeri. Faktor pertama dan utama yang perlu diperhatikan dalam perumusan standar dan peraturan keamanan pangan adalah faktor kesehatan masyarakat. Jika prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar dan peraturan tersebut diterapkan dengan baik, diharapkan dapat meminimalisir bahkan menghilangkan perbedaan persepsi antar lembaga (terutama pemerintah dan industri) dalam perumusan dan pengembangan standar dan peraturan pangan. Semua pihak akan merasa memiliki, bertanggung jawab, dan beritikad baik untuk menerapkan standar yang telah ditetapkan sebagai keputusan bersama melalui konsensus.