6
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Iklim dan Cuaca Pesisir Selatan Pantai Batu Kalang terletak di pinggir pantai selatan Sumatera Barat tepatnya di Kabupaten Pesisir Selatan. Daerah Sumatera Barat dilewati oleh garis khatulistiwa selain Pontianak, dengan iklim tropis basah. Curah hujan tinggi setiap tahun. Berdasarkan pola curah hujan, Sumatera Barat mempunyai pola ekuatorial dengan dua puncak curah hujan. Di lokasi penelitian, hampir terjadi hujan setiap malam hari sehingga suhu udara di malam dan pagi hari sangat dingin, hingga mencapai 21°C dan siang hari cukup panas mencapai 33°C. Kelembaban udara (RH) sangat tinggi di malam hari hampir mencapai 100% dan siang hari agak rendah mencapi 61 %. Intensitas radiasi yang terukur di siang hari paling tinggi sebesar 247 j/m²/s. Penelitian ini dilakukan dari tanggal 21 Maret sampai 21 Juni 2011. 4.2 Identifikasi Tempat Perindukan Malaria Berdasarkan Faktor-Faktor Lingkungan Yang Telah Diamati Hasil survei tempat perindukan (TP) yang dilakukan di sepanjang pantai Batu Kalang yang terdapat di Desa Ampang Pulai, diperoleh empat titik pengukuran, dimana dua tempat perindukan sama sekali tidak ada akses untuk mengalirnya air kecuali terjadinya pasang naik air laut disertai hujan dengan intensitas yang tinggi, sedangkan pada dua tempat perindukan lagi air dapat mengalir jika terjadi pasang naik air laut walaupun tidak disertai hujan. Pengambilan empat titik ini setelah melakukan survei selama dua minggu dari tanggal 7 Maret-19 Maret 2011. Survei yang dilakukan dengan mencari genangan air payau kemudian melihat jumlah penderita yang positif malaria di desa ini. Selain itu dilihat juga keberadaan ganggang di setiap lokasi, ada tidaknya larva Anopheles sundaicus, serta salinitasnya.
Gambar 4 TP1 TP1 adalah lagun dimana akses untuk air mengalir tertutup. Air di genangan ini dapat mengalir jika terjadi pasang naik air laut disertai dengan hujan dengan intensitas yang cukup tinggi. Pasang air laut inilah yang akan menentukan adanya kadar garam (salinitas) di dalam genangan air, pertemuan antara air laut dengan air hujan (dalam genangan) menjadikan air digenangan air payau (Gambar 5). TP2 yang digunakan untuk penelitian, juga tidak terdapat akses untuk mengalirnya air, hampir sama dengan TP1 (Gambar 6). Luasan kedua TP ini juga sama.
Gambar 5 TP2 TP3 dan TP4 berbeda dengan TP1 dan TP2, karena terdapat akses untuk air mengalir (Gambar 7 & 8). Lokasi ini berupa parit yang terdapat di pinggir jalan. Jalan tersebut dibuat oleh PEMDA setempat sebagai jalan alternatif dari Pantai batu kalang ke Pantai Cerocok. TP3 terletak di sebelah kiri jalan sedangkan TP4 terdapat disebelah kanan jalan. TP3 terdapat akses untuk air di genangan dapat mengalir, apalagi jika disertai hujan dan pasang naik air laut. TP4 pada Gambar 8 karakteristiknya hampir sama dengan TP3. Di genangan-genangan air pada semua TP terdapat berbagai macam larva nyamuk, selain larva nyamuk Anopheles sp
7
terdapat juga larva nyamuk Aedes aegypty, Culex, dll.
bakau inilah yang akan berpengaruh besar terhadap kasus malaria. Pengukuran dan penelitian larva nyamuk dilakukan pada saat matahari terbit (pagi) atau pada saat sore hari, karena pada saat itu kondisi genangan hangat dan banyak ditemukan larva. 4.3 Hubungan Faktor Lingkungan dengan Kerapatan Larva
Gambar 6 TP3
Data yang diperoleh pada saat pengukuran dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu secara harian, moving average interval tujuh harian, dan mingguan (Lampiran 12-22). Hasil yang paling baik diperoleh hanya pada data moving average interval tujuh harian, sehingga pada pembahasan ini yang digunakan hanya data moving average dengan interval tujuh harian. 4.3.1 Hubungan Curah Kerapatan Larva
Gambar 7 TP4 Lokasi ini masih sangat jarang dilewati oleh warga sekitar, karena jalan penghubung antara Pantai Batu kalang dengan pantai Cerocok baru selesai dibuat sekitar bulan Januari dan masih berbentuk tanah. Jadi masih tergolong kurang aman untuk dilewati, masih terdapat binatang-binatang yang sering berkeliaran di jalan. Adanya binatang pengganggu ini memberi pengaruh terhadap genangan, jika mereka melewati/menyeberangi genangan maka akan menyebabkan ekosistem di dalam genangan terganggu, dan hal tersebut dapat mengakibatkan perkembangbiakan larva menjadi terganggu. Selain binatang, genangan juga dapat terganggu karena adanya penduduk sekitar yang melewati genangan untuk mencari kayu. Pembuatan jalan ini dengan menebang pohon bakau dan pohon nipah yang ada di pinggir pantai. Penebangan pohon
Hujan
dengan
Curah hujan merupakan unsur iklim yang sangat penting di bumi. Indonesia memiliki iklim tropis yang curah hujannya lebih lebat dibandingkan curah hujan yang terdapat di lintang tinggi. Sumatera Barat dilewati oleh garis khatulistiwa sehingga tipe curah hujannya berbentuk ekuatorial dengan dua buah puncak curah hujan, rata-rata curah hujan di Sumatera Barat memiliki intensitas hujan yang tinggi. Adanya pengaruh bukit barisan disekitar Sumatera Barat menyebabkan hujan yang terjadi adalah hujan orografik. Hujan orografik terjadi jika gerakan udara melewati pegunungan atau bukit yang tinggi, maka udara akan dipaksa naik, setelah terjadi kondensasi akan tumbuh awan pada lereng di atas angin dan kemudian akan turun hujan. Saat penelitian bulan Maret-Juni hujan yang terjadi di lokasi penelitian hampir setiap malam hari, dengan intensitas sedang, disertai angin kencang. Hal ini sangat berpengaruh terhadap tempat perindukan (TP) Anopheles sundaicus. Terdapat perbedaan yang sangat nyata antara kerapatan larva pada masing-masing TP. Larva yang ditemukan di TP1 dan TP2 jumlahnya lebih banyak daripada larva yang ditemukan TP3 dan TP4.
8
25,00
4,00 3,50 3,00 2,50
15,00
2,00 10,00
1,50 1,00
5,00
0,50 0,00
KERAPATAN LARVA
CH (mm)
20,00
0,00 1
11
21
31
41
KERAPATAN LARVA
51
61
71
CH
TP1 25,00
4,00 3,50
20,00
2,50
15,00
2,00 10,00
1,50 1,00
5,00
KERAPATAN LARVA
CH (mm)
3,00
0,50 0,00
0,00 1
11
21
31
41
KERAPATAN LARVA
51
61
71
CH
TP2 25,00
4,00
CH (mm)
3,00 2,50
15,00
2,00 10,00
1,50 1,00
5,00
KERAPATAN LARVA
3,50 20,00
0,50 0,00
0,00 1
11
21
31 41 KERAPATAN LARVA
51
61
71
CH
TP3 25,00
4,00 3,50
20,00 2,50 2,00 10,00
1,50 1,00
5,00 0,50 0,00
KERAPATAN LARVA
CH (mm)
3,00 15,00
0,00 1
11
21
31 41 KERAPATAN LARVA
51
61
71
CH
TP4 Gambar 8 Hubungan curah hujan dengan kerapatan larva yang terciduk Genangan pada TP1 memiliki akses yang agak tertutup untuk dapat mengalir. Sehingga di saat hujan turun masih terdapat larva yang tidak hanyut terbawa arus. Dari Gambar 9 pada TP1 dapat dilihat pengaruh nyata antara curah hujan dengan kerapatan larva, di saat
curah hujannya tinggi kerapatan larva berkurang, sedangkan di saat curah hujan rendah kerapatan larva bertambah. Genangan pada TP2 juga memiliki karakteristik genangan yang hampir sama dengan genangan pada TP1. Kerapatan larva
9
juga terlihat berkurang di saat terjadi curah hujan yang tinggi, dan disaat curah hujan rendah menyebabkan kerapatan larva bertambah. Genangan pada TP3 dan TP4 mempunyai karakteristik genangan yang berbeda dengan TP1 dan TP2. Pada TP3 dan TP4 terdapat akses untuk air dapat mengalir, jadi ada kemungkinan larva hanyut jika terjadi hujan dan pasang naik air laut. Demikian juga pola di TP3 dan TP4, meskipun larva tidak sebanyak pada TP1 dan TP2 tapi masih dapat dilihat, pada saat curah hujan tinggi menyebabkan larva sedikit/hilang dan sebaliknya pada saat curah hujan rendah larva bertambah. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan, bahwa curah hujan yang intensitasnya sedang dengan durasi yang lama dapat menambah jumlah tempat perindukan dan mengurangi kerapatan larva nyamuk, sedangkan curah hujan yang rendah dapat meningkatkan kerapatan larva karena larva menyukai kondisi lembab yang tidak terlalu kering (Suroso 2001). Perbedaan antara masing-masing TP terlihat pada kerapatan larva. Kerapatan larva yang ditemukan pada TP1 dan TP2 lebih besar daripada kerapatan larva yang ditemukan pada TP3 dan TP4, diduga dipengaruhi oleh karakteristik masingmasing genangan. Secara umum berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat, pada saat terjadi hujan dengan intensitas 15-20 mm, larva langsung berkurang hal ini disebabkan tempat perindukan terganggu dan larva hanyut oleh air kemudian dibutuhkan waktu dari nyamuk bertelur hingga menjadi larva, pertumbuhan larva/jentik sekitar 8-10 hari. Larva juga akan berkurang jika tidak terjadi hujan sama sekali secara terus menerus beberapa hari, namun di saat terjadi hujan kemudian langsung diselingi dengan panas dan kemudian hujan lagi akan ditemukan banyak larva karena larva menyukai pola yang seperti ini. Berdasarkan Tabel 1, pada periode yang sama curah hujan mempunyai korelasi yang kecil terhadap kerapatan larva pada masingmasing TP dan dari hasil analisis keragaman, hanya TP2 yang memberi pengaruh nyata terhadap kerapatan larva. Sedangkan curah hujan 14 hari sebelumnya memberi pengaruh nyata terhadap kerapatan larva dengan korelasi yang besar pada semua TP.
4.3.2 Hubungan Radiasi dengan Kerapatan Larva Radiasi merupakan unsur iklim yang sangat mempengaruhi kondisi unsur iklim yang lainnya. Radiasi matahari sangat tergantung dengan kondisi keawanan di langit, pancaran radiasi matahari akan terhalang jika terjadi penutupan awan di langit. Radiasi maksimum biasanya terjadi pada siang hari sekitar pukul 12.00-14.00 WIB. Pada pagi hari dan menjelang sore hari radiasi lebih rendah dibandingkan radiasi pada tengah hari. Saat pengukuran, radiasi yang terukur pada siang hari mencapai 247 j/m²/s, hal ini diduga disebabkan karena adanya pengaruh awan. Hampir setiap hari langit tertutup awan rendah yang berpotensi untuk hujan pada malam harinya. TP1 memperlihatkan dengan jelas pengaruh antara radiasi terhadap kerapatan larva (Gambar 10). Adanya pola di saat intensitas radiasi besar menyebabkan kerapatan larva berkurang sedangkan di saat intensitas radiasi kecil kerapatan larva yang ditemukan bertambah. Hal ini juga berlaku pada TP2, terdapat hubungan yang berbanding terbalik antara radiasi dengan kerapatan larva. Di saat intensitas radiasi besar, kerapatan larva berkurang sedangkan di saat intensitas radiasi kecil, kerapatan larva bertambah dan ini berlaku pada TP2 dan TP1. Larva yang ditemukan pada TP3 dan TP4 lebih sedikit dibandingkan larva yang ditemukan pada TP1 dan TP2, meskipun kerapatan larva yang ditemukan sedikit tapi hubungan pengaruh radiasi juga memperlihatkan pola yang sama. Di saat intensitas radiasi besar, kerapatan larva yang ditemukan berkurang dibandingkan kerapatan larva yang ditemukan pada saat intensitas radiasi kecil. Terlihat adanya hubungan yang berbanding terbalik antara radiasi matahari dengan kerapatan larva pada keempat TP (Gambar 10). Kerapatan larva bertambah di saat intensitas radiasi kecil sedangkan di saat intensitas radiasi besar kerapatan larva yang ditemukan berkurang. Hal ini disebabkan kemungkinan karena larva tidak menyukai tempat yang terang yaitu dengan intensitas radiasi yang besar. Namun kerapatan larva bisa tetap jika di dalam genangan terdapat ganggang sehingga ganggang dapat menutupi pancaran sinar radiasi yang langsung ke genangan dan suhu air yang nyaman dan hangat di dalam genangan tetap terjaga. Larva
10
kerapatan larva berkurang kemudian dibutuhkan waktu beberapa hari sehingga kerapatan larva bertambah. Nilai korelasi yang diperoleh antara radiasi dengan kerapatan larva pada periode yang sama hampir mencapai 0,5 % pada masing-masing TP dan mempunyai nilai analisis keragaman yang berpengaruh nyata kecuali pada TP4. Radiasi 14 hari sebelumnya juga mempunyai korelasi yang besar dan nyata terhadap kerapatan larva (Tabel 1), hampir sama dengan pengaruh curah hujan.
Anopheles sundaicus lebih menyukai tempat yang teduh (Departeman Kesehatan 2001 dalam Lindsai et al. 2004). Secara umum, radiasi mempengaruhi aktivitas mencari makan dan istirahat bagi nyamuk. Terhadap larva, pengaruh radiasi terlihat langsung pada siang hari dan dipengaruhi juga oleh keberadaan ganggang sebagai tempat berteduh. Berdasarkan Gambar 2, di saat radiasi tinggi tanpa ganggang menyebabkan larva sedikit, dan sebaliknya. Pola yang ditemukan hampir sama dengan pola curah hujan (Gambar 9) diperlukan juga waktu di saat intensitas radiasi besar
7,00
4,00
6,00
3,50 3,00
5,00
2,50 4,00 2,00 3,00 1,50 2,00
1,00
1,00
0,50
0,00
0,00 1
11
21
31
41
KERAPATAN LARVA
TP1
51 RADIASI
61
71
KERAPATAN LARVA
RADIASI (Mj/m2/Hari)
Tabel 1 Analisis keragaman faktor lingkungan terhadap kerapatan larva FAKTOR BP1 BP2 BP3 BP4 LINGKUNGAN r=-0,40(TL)* r=-0,22(TL) r=-0,42(TL)* r=-0,31(TL) T (°C) r=0,45(L21)* r=0,47(L23)* r=0,51(L30)* r=0,04(L27)* r=-0,55(TL) * r=-0,45(TL)* r=-0,26(TL)* r=-0,00(TL) Radiasi r=0,23(L16)* r=0,39(L14) r=0,08(L14)* r=0,35(L12)* (MJ/m2/hari) r=0,69(L43)* r=0,48(L40)* r=0,74(L41)* r=0,54(L52)* r=-0,20(TL) r=-0,25(TL)* r=-0,04(TL) r=-0,14(TL) CH (mm) r=0,71(L13)* r=0,65(L13)* r=0,44(L15)* r=0,71(L35)* r=0,66(L42)* r=0,48(L40)* r=0,56(L36)* r=0,21(TL) r=0,48(TL)* r=-0,29(TL)* r=-0,32(TL)* Suhu Air (°C) r=0,35(L5)* r=0,41(L5)* r=0,13(L9)* r=0,09(L9)* r=0,59(L29)* r=0,52(L28)* r=0,29(L33)* r=0,38(L28)* r=0,27(TL)* r=0,28(TL)* r=0,32(TL)* r=0,34(TL)* Salinitas (ppt) r=0,69(L9)* r=0,83(L9)* r=0,41(L9)* r=0,61(L(9)* r=0,21(TL) r=0,32(TL)* r=0,21(TL) r=0,02(TL) Ganggang r=0,25(L2)* r=0,31(L1) r=0,82(L49)* r=0,65(L48)* Keterangan : TL : Tanpa Lag L- : Lag ke* : nyata pada p<0,05
7,00
4,00
6,00
3,50 3,00
5,00
2,50 4,00 2,00 3,00
1,50
2,00
1,00
1,00
KERAPATAN LARVA
RADIASI (Mj/m2/Hari)
11
0,50
0,00
0,00 1
11
21
31
41
KERAPATAN LARVA
51
61
71
RADIASI
TP2 6,00
4,00 3,50 3,00
4,00
2,50
3,00
2,00 1,50
2,00
1,00 1,00
0,50
0,00
KERAPATAN LARVA
RADIASI (Mj/m2/Hari)
5,00
0,00 1
11
21
31 41 KERAPATAN LARVA
51 RADIASI
61
71
TP3 4,00 3,50
5,00
3,00 4,00
2,50
3,00
2,00 1,50
2,00
1,00 1,00
KERAPATAN LARVA
RADIASI (Mj/m2/Hari)
6,00
0,50
0,00
0,00 1
11
21
31 41 KERAPATAN LARVA
51 RADIASI
61
71
TP4 Gambar 9 Hubungan radiasi dengan kerapatan larva yang terciduk 4.3.3 Hubungan Suhu Udara dengan Kerapatan Larva Suhu udara juga merupakan unsur iklim yang memiliki peranan yang sangat penting terhadap aktivitas makhluk hidup di muka bumi. Setiap makhluk hidup memiiliki tingkat kenyamanan yang berbeda-beda untuk dapat survive di lingkungan yang ditempatinya. Satuan yang digunakan untuk menyatakan besarnya suhu adalah °C. Larva pada umumnya sangat menyukai suhu yang hangat untuk perkembangbiakannya. Suhu yang terlalu tinggi dan terlalu rendah menyebabkan larva tidak bisa bertahan hidup lebih lama, umurnya akan lebih pendek. TP1 dan TP2 mempelihatkan bahwa pada saat suhu udara tinggi, kerapatan larva
berkurang sedangkan di saat suhu udara rendah, kerapatan larva ditemukan bertambah. Namun, dari grafik juga terlihat kerapatan larva bertambah pada saat suhu tinggi hal ini kemungkinan disebabkan adanya terdapat ganggang di genangan. Ganggang dapat melindungi larva dan dapat menetralisir suhu air sampai suhu air menjadi hangat sehingga larva masih bisa bertahan hidup dengan kondisi suhu yang tinggi. Gambar 11 yang menunjukkan hubungan antara suhu udara dengan kerapatan larva pada TP3 dan TP4 sangat jelas polanya dibandingkan TP1 dan TP2. Hal ini karena pada TP3 dan TP4 terdapat akses air di genangan untuk dapat mengalir, sehingga kemungkinan ganggang untuk hanyut juga besar. Karena tidak ditemukan ganggang yang banyak menutupi genangan, maka pengaruh
12
SUHU UDARA (C)
31,00
4,00
30,00
3,50 3,00
29,00
2,50 28,00 2,00 27,00 1,50 26,00
1,00
25,00
KERAPATAN LARVA
terlalu tinggi dan terlalu rendah secara terus menerus tidak ditemukan adanya larva, namun di saat suhu udara tinggi kemudian diselingi dengan suhu udara rendah ditemukan banyak larva, dan kerapatan larva berkurang lagi di saat suhu udaranya mencapai konstan rendah/tinggi. Nilai korelasi yang diperoleh dari suhu udara terhadap kerapatan larva paling tinggi hanya mencapai 0,4 dan hampir nyata pada semua TP melalui uji analisis keragaman, kecuali pada TP2 (Tabel 1). Nilai korelasi yang diperoleh sangat kecil dan tidak nyata memiliki hubungan terhadap kerapatan larva (tanpa jeda). Nilai korelasi yang besar dan nyata, rata-rata ditemukan pada jeda tiga minggu, itu terlihat pada semua TP.
suhu udara terhadap kerapatan larva sangat nyata terlihat. Suhu udara yang tinggi menyebabkan kerapatan larva berkurang sedangkan suhu udara yang rendah menyebabkan kerapatan larva bertambah. Larva Anopheles sp meyukai tempat perindukan yang hangat untuk dapat berkembangbiak. Jadi di saat suhu tinggi dan ditemukan ganggang di genangan, dapat menyebabkan suhu air menjadi hangat. Sesuai dengan penemuan Harijanto (2000) suhu dan kelembaban mempengaruhi perkembangbiakan parasit nyamuk. Secara keseluruhan pada masing-masing TP hampir mempunyai pola yang sama antara pengaruh suhu udara terhadap kerapatan larva (Gambar 11), larva berada pada suhu yang nyaman di 27-29 °C. Di saat suhu udara
0,50
24,00
0,00 1
11
21
31
41
KERAPATAN LARVA
51
61
71
SUHU UDARA
31,00
4,00
30,00
3,50 3,00
29,00
2,50 28,00 2,00 27,00 1,50 26,00
1,00
25,00
KERAPATAN LARVA
SUHU UDARA (C)
TP1
0,50
24,00
0,00 1
11
21
31 KERAPATAN LARVA
41
51 SUHU UDARA
61
71
31,00
4,00
30,00
3,50 3,00
29,00
2,50 28,00 2,00 27,00 1,50 26,00
1,00
25,00
0,50
24,00
0,00 1
11
21
31 41 KERAPATAN LARVA
TP3
51 SUHU UDARA
61
71
KERAPATAN LARVA
SUHU UDARA (C)
TP2
31,00
4,00
30,00
3,50 3,00
29,00
2,50
28,00
2,00 27,00
1,50
26,00
1,00
25,00
KERAPATAN LARVA
SUHU UDARA (C)
13
0,50
24,00
0,00 1
11
21
31
41
KERAPATAN LARVA
51
61
71
SUHU UDARA
TP4 Gambar 10 Hubungan suhu udara dengan kerapatan larva yang terciduk 4.3.4 Hubungan Suhu Kerapatan Larva
Air
karakteristik air yang membutuhkan waktu yang lama untuk menyerap panas dan membutuhkan waktu yang lama juga untuk melepas panas dibandingkan dengan daratan. Jadi, secara umum (Gambar 12) untuk TP1 dan TP2 terdapat hubungan yang berbanding lurus antara suhu air terhadap kerapatan larva pada waktu beberapa hari setelahnya, larva nyaman bertahan hidup pada saat suhu air mencapai 35°C, di saat suhu air terlalu rendah dibutuhkan waktu beberapa hari sampai suhu air kembali hangat agar larva kembali ditemukan banyak, begitupun sebaliknya.
dengan
Suhu air sangat dipengaruhi oleh radiasi matahari dan suhu udara. Tingginya radiasi dan suhu udara menyebabkan suhu air ikut meningkat, begitupun sebaliknya. Larva tidak dapat bertahan hidup pada suhu air yang terlalu panas, larva hanya dapat bertahan hidup dan berkembang biak pada suhu yang hangat. Suhu air yang terukur tidak mempunyai perbedaan yang terlalu besar setiap harinya, ini disebabkan karena derajat panas air hampir selalu konstan setiap waktu dengan
4,00 3,50
36,00 SUHU AIR (C)
3,00 35,00
2,50
34,00
2,00 1,50
33,00
1,00 32,00
KERAPATAN LARVA
37,00
0,50
31,00
0,00 1
11
21
31
41
KERAPATAN LARVA
51
61
71
SUHU AIR
36,50 36,00 35,50 35,00 34,50 34,00 33,50 33,00 32,50 32,00 31,50 31,00
4,00 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 1
11
21
31
41
KERAPATAN LARVA
TP2
51 SUHU AIR
61
71
KERAPATAN LARVA
SUHU AIR (C)
TP1
34,50
4,00
34,00
3,50
33,50
3,00
33,00
2,50
32,50
2,00
32,00
1,50
31,50
1,00
31,00
0,50
30,50
KERAPATAN LARVA
SUHU AIR (C)
14
0,00 1
11
21
31 41 KERAPATAN LARVA
51 SUHU AIR
61
71
34,50
4,00
34,00
3,50
33,50
3,00
33,00
2,50
32,50 2,00 32,00 1,50
31,50 31,00
1,00
30,50
0,50
30,00
KERAPATAN LARVA
SUHU AIR (C)
TP3
0,00 1
11
21
31 41 KERAPATAN LARVA
51 SUHU AIR
61
71
TP4 Gambar 11 Hubungan suhu air dengan kerapatan larva yang terciduk Hubungan antara suhu air dengan kerapatan larva pada TP3 dan TP4 cenderung berbanding terbalik, di saat suhu air rendah (tidak setinggi pada TP1 dan TP2) yaitu sekitar 32-33°C ditemukan banyak larva dan sedikit di saat suhu air tinggi. Dibutuhkan waktu beberapa hari untuk larva dapat hidup lagi pada saat suhu air berubah dari tinggi hingga suhu air menjadi hangat untuk perkembangbiakan larva sehingga kerapatan larva kembali bertambah. Korelasi antara suhu air terhadap kerapatan larva dapat dilihat pada Tabel 1, korelasinya cukup besar dan nyata, kecuali pada TP1 korelasinya sangat kecil dan tidak mempunyai pengaruh yang nyata terhadap kerapatan larva. Pada TP1 dan TP2 suhu air 5 hari sebelumnya mempunyai korelasi yang besar dan nyata terhadap kerapatan larva saat ini, sedangkan pada TP3 dan TP4 nilai korelasi yang besar dan nyata terdapat pada 9 hari sebelumnya. Ini disebabkan juga oleh adanya perbedaan karakteristik genangan. 4.3.5 Hubungan Salinitas dengan Kerapatan Larva Salinitas menyatakan besarnya kadar garam, satuannya ‰ atau ppt (part per thousand). Percampuran antara air laut dan hujan menyebabkan air di dalam genangan
menjadi payau. Pada air payau banyak ditemukan larva nyamuk Anopheles sundaicus. Biasanya larva nyamuk Anopheles sp bisa ditemukan pada salinitas 12-18 ‰. Di Sumatera Utara ditemukan larva yang hidup pada air tawar (Departemen Kesehatan RI 1990), sedangkan pada lokasi penelitian sendiri nilai salinitas yang terukur sangat beragam dan salinitasnya lebih kecil. Semua larva yang ditemukan pada masing-masing TP dapat bertahan hidup pada salinitas yang relatif kecil daripada referensi. Berdasarkan pengamatan, larva banyak ditemukan pada saat salinitas rendah, yaitu pada salinitas 2-6 ‰. Salinitas yang terlalu tinggi menyebabkan larva tidak bisa bertahan hidup. Adanya pasang naik air laut menyebabkan salinitas air tinggi di genangan, akibat curah hujan salinitas yang awalnya tinggi menjadi rendah. Di saat terjadi pasang naik air laut, salinitas di genangan menjadi tinggi, sehingga larva yang ditemukan sedikit. Apabila beberapa hari kemudian turun hujan menyebabkan salinitas menjadi rendah lagi sehingga kerapatan larva yang ditemukan bertambah setelah hujan terjadi. Untuk itu terlihat adanya jeda waktu yang dibutuhkan oleh larva dapat menyesuaikan diri dari salinitas tinggi menjadi salinitas rendah.
15
SALINITAS (‰)
14,00
4,00
12,00
3,50 3,00
10,00
2,50 8,00 2,00 6,00 1,50 4,00
KERAPATAN LARVA
ditemukan pada masing-masing TP tanpa jeda (Tabel 1), selain itu salinitas pada 9 hari sebelumnya juga mempengaruhi kerapatan larva saat ini yang ditunjukkan dengan diperoleh nilai korelasi yang besar dan nyata.
Besarnya salinitas yang terukur tidak sesuai dengan referensi yang ada. Akan tetapi, setelah dilakukan uji korelasi dan uji analisis keragaman didapatkan korelasi yang cukup besar dan berpengaruh nyata antara salinitas yang terukur dengan kerapatan larva yang
1,00
2,00
0,50
0,00
0,00 1
11
21
31 KERAPATAN LARVA
41
51 SALINITAS
61
71
16,00
4,00
14,00
3,50
12,00
3,00
10,00
2,50
8,00
2,00
6,00
1,50
4,00
1,00
2,00
0,50
0,00
KERAPATAN LARVA
SALINITAS (‰)
TP1
0,00 1
11
21
31 KERAPATAN LARVA
41
51 SALINITAS
61
71
9,00
4,00
8,00
3,50
7,00
3,00
6,00
2,50
5,00 2,00 4,00 1,50
3,00 2,00
1,00
1,00
0,50
0,00
KERAPATAN LARVA
SALINITAS (‰)
TP2
0,00 1
11
21
31 41 KERAPATAN LARVA
51 SALINITAS
61
71
4,00
8,00
3,50
7,00
3,00
6,00
2,50
5,00 2,00 4,00 1,50
3,00 2,00
1,00
1,00
0,50
0,00
0,00 1
11
21
31 KERAPATAN LARVA
41
51 SALINITAS
61
TP4 Gambar 12 Hubungan salinitas dengan kerapatan larva yang terciduk
71
KERAPATAN LARVA
SALINITAS (‰)
TP3 9,00
16
4.3.6 Hubungan Keberadaan dengan Kerapatan Larva
larva yang merupakan fase life cycle nyamuk yang paling rakus makan (Hakim 2007). Sehingga hubungan antara ganggang dan kerapatan larva nyamuk berbanding lurus. Hal ini terlihat pada Gambar 7. Semakin banyak ganggang yang ditemukan maka larva yang ditemukan juga banyak, begitupun sebaliknya semakin sedikit jumlah ganggang yang ditemukan maka larva yang ditemukan juga sedikit. Dalam proses terbentuknya ganggang dibutuhkan waktu beberapa hari setelah hujan agar ganggang hidup dan terdapat lagi larva yang berlindung di bawah ganggang. Berdasarkan hasil pengamatan pada TP1 dan TP2, di saat terbentuk ganggang ditemukan juga larva nyamuk. Jika terjadi hujan keberadaan ganggang terganggu (hilang) namun tidak disertai dengan hilangnya larva. Larva membutuhkan waktu seiring hilangnya ganggang. Setelah ganggang menghilang, mula-mula larva berkurang sampai akhirnya tidak ditemukan lagi larva. Sedangkan untuk TP3 dan TP4, menghilangnya ganggang seiring dengan terjadinya hujan dan pasang naik air laut. Hal ini disebabkan karena ganggang langsung akan terbawa arus aliran air parit.
Ganggang
Ganggang merupakan faktor biologi yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan larva. Ganggang biasanya terbentuk jika tidak terjadi hujan yang intensitasnya tinggi dalam beberapa hari. Curah hujan tinggi menyebabkan keberadaan ganggang musnah dan bisa hanyut terbawa arus, selain curah hujan yang tinggi, ganggang juga bisa mati (menghitam) karena salinitas yang turun semakin rendah akibat curah hujan. Ganggang mati karena salinitas naik dan turun melebihi ambangnya ganggang berkisar antara 4,87 14,67 ‰ (Hakim 2007). Adanya sinar matahari dapat mempengaruhi pertumbuhan ganggang. Sinar matahari membantu ganggang dalam proses fotosintesis. Ganggang merupakan tempat berlindungnya larva dari sinar matahari langsung dan berlindungnya dari ikan pemakan larva (Rozendaal 2003). Adanya hewan pemakan larva dapat menyebabkan perkembangbiakan larva terganggu. Keberadaan ganggang juga menjadi faktor penentu adanya keberadaan larva nyamuk, banyaknya plankton yang berada disekitar ganggang, berarti menyediakan makanan bagi
1,20
4,00
GANGGANG
3,00 0,80
2,50
0,60
2,00 1,50
0,40
1,00 0,20
KERAPATAN LARVA
3,50
1,00
0,50
0,00
0,00 1
11
21
31 41 KERAPATAN LARVA
51 GANGGANG
61
71
TP1 1,20
4,00
GANGGANG
3,00 0,80
2,50
0,60
2,00 1,50
0,40
1,00 0,20
0,50
0,00
0,00 1
11
21
31
41
KERAPATAN LARVA
TP2
51 GANGGANG
61
71
KERAPATAN LARVA
3,50
1,00
0,80
4,00
0,70
3,50
0,60
3,00
0,50
2,50
0,40
2,00
0,30
1,50
0,20
1,00
0,10
0,50
0,00
KERAPATAN LARVA
GANGGANG
17
0,00 1
11
21
31 41 KERAPATAN LARVA
51 GANGGANG
61
71
1,00
4,00
0,90
3,50
GANGGANG
0,80
3,00
0,70 0,60
2,50
0,50
2,00
0,40
1,50
0,30
1,00
0,20
KERAPATAN LARVA
TP3
0,50
0,10 0,00
0,00 1
11
21
31
41
KERAPATAN LARVA
51
61
71
GANGGANG
TP4 Gambar 13 Hubungan keberadaan ganggang dengan kerapatan larva yang terciduk Pengaruh ganggang terhadap kerapatan larva jika dilihat dari hasil korelasi dan hasil analisis keragaman, hampir tidak terdapat hubungan yang nyata antara keduanya (Tabel 1), hal ini juga dibuktikan dengan nilai korelasi yang diperoleh sangat kecil kecuali pada TP2 diperoleh hubungan yang nyata dengan korelasi yang cukup besar (tanpa jeda). Akan tetapi pengaruh keberadaan ganggang pada hari sebelumnya terhadap keberadaan larva hari ini sangat nyata dan korelasinya cukup besar pada semua genangan kecuali TP4. 4.3.7 Hubungan pH dengan Kerapatan Larva Menurut Takken dan Knols (1990) lingkungan kimia seperti pH juga sangat besar pengaruhnya pada populasi vektor malaria. pH menyatakan derajat keasaman atau kebasaan yang dimiliki suatu larutan. Derajat keasaman (pH) mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan organisme yang berkembang biak di akuatik seperti lumut sutera dan lumut perut ayam. pH air tergantung kepada temperatur air, oksigen terlarut dan adanya berbagai anion dan kation serta jenis stadium organisme.
Selama penelitian, pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan kertas lakmus. pH yang terukur pada masing-masing TP sama yaitu 5 yang berarti larva Anopheles sundaicus yang terdapat di genangan ini mampu bertahan hidup pada pH 5, hampir mendekati normal. 4.4 Hubungan Faktor Lingkungan Dengan Kerapatan Larva yang terciduk Menggunakan Regresi Linear Berganda Uji nyata antara faktor lingkungan terhadap kerapatan larva yang terciduk dilakukan dengan menggunakan regresi linear berganda yang terdapat pada software MINITAB melalui uji t. Regresi linear berganda dicari dengan menggabungkan TP1 dan TP2 dengan TP2 dan menggabungkan TP3 dan TP4 karena TP1 dan TP2 memilki karakteristik genangan yang sama, begitupun dengan TP3 dan TP4 karakteristiknya juga sama.
18
4.4.1 Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Kerapatan Larva pada Tempat Perindukan Nyamuk Berbentuk Lagun (TP1 & TP2) TP1 dan TP2 mempunyai karakteristik yang hampir sama sehingga kerapatan larva yang terdapat di dalam kedua genangan ini pun hampir sama banyaknya, hal inilah yang mendasari untuk menggabungkan kedua lokasi ini. Hasil regresi linear berganda gabungan TP1 dan TP2 adalah : Larvan= 44,9 - 0,300 TAn - 0,267 TAn14 0,602 Radn14 - 0,938 Radn - 0,260 TAn7 + 0,104 Saln14 + 1,53 Gn + 0,108 Saln7 - 0,320 Tn14 + 0,0371 CHn14. Berdasarkan hasil regresi pada saat yang sama (Radn) dan 14 hari sebelumnya (Radn14), radiasi memiliki hubungan berbanding terbalik terhadap kerapatan larva, hal ini ditunjukan oleh notasi koefisien regresi dan nilai t yang negatif. Ini berarti bahwa larva banyak ditemukan di saat nilai radiasi yang kecil dan sedikit ditemukan di saat nilai radiasi besar. Besarnya nilai radiasi pada periode (Radn) dan besarnya radiasi pada dua minggu sebelumnya (Radn14) mempengaruhi kerapatan larva saat ini. Didapatkan pengaruh radiasi terhadap kerapatan larva nyata pada jeda waktu dua minggu, diduga pola jeda waktu ini akan berlanjut secara kontinu (terlihat juga korelasi pada Tabel 1), oleh karena keterbatasan data yang hanya ada 74 hari maka pola jeda waktu ini belum tentu bisa dilihat untuk data dengan jangka waktu yang lebih panjang. Besar suhu pada 2 minggu sebelumnya akan berpengaruh terhadap kerapatan larva saat ini. Suhu udara juga memiliki hubungan terbalik terhadap kerapatan larva (nilai t negatif), di saat suhu udara terlalu tinggi maka larva yang ditemukan sedikit begitupun sebaliknya karena larva menyukai suhu yang hangat (tidak terlalu tinggi) untuk dapat bertahan hidup. Curah hujan lebih mempengaruhi keberadaan tempat perindukan larva. Dengan karakteristik genangan yang sama, pada TP1 dan TP2 curah hujan berpengaruh pada tempat perindukan. Curah hujan yang terjadi pada dua minggu sebelumnya (CHn14) berpengaruh nyata terhadap kerapatan larva di genangan (Tabel 2), hal ini disebabkan karena di saat terjadi hujan ada kemungkinan larva hanyut terbawa arus, kemudian butuh waktu dari telur
menjadi larva sekitar 8-10 hari dan setelah itu baru ditemukan lagi adanya larva di genangan. Suhu air relatif konstan setiap hari. Dari hasil regresi dan hasil analisis keragaman, suhu air saat ini (TAn), suhu air 7 hari sebelumnya (TAn7) dan suhu air 14 hari sebelumnya (TAn14) akan mempengaruhi kenyamanan larva di dalam genangan. Regresi yang diperoleh menunjukkan nilai negatif yang berarti ada hubungan yang berbanding terbalik antara suhu air terhadap kerapatan larva (Tabel 2). Hal ini disebabkan karena larva hanya nyaman pada kondisi suhu yang hangat yang suhu airnya tidak terlalu tinggi. Larva lebih menyukai salinitas yang rendah untuk tempat perkembangbiakannya. Hal ini juga diperjelas dengan hasil regresi dan hasil analisis keragaman yang menunjukkan nyata dengan nilai t yang positif yang berarti di saat salinitas rendah, larva yang ada pada genangan bertambah, begitupun sebaliknya. Salinitas yang rendah 7 hari sebelumnya (Saln7) atau 14 hari sebelumnya (Saln14) sangat diperlukan sehingga dapat mendukung pertumbuhan larva (Tabel 2). Hal ini dilihat pengaruhnya nyata dari hasil regresi pada Saln7 dan Saln14. Ganggang merupakan faktor penentu ada tidaknya larva yang hidup pada genangan karena larva merupakan tempat berteduh oleh larva dan juga tempat bersembunyi dari ikan pemakan larva. sehingga dari hasil regresi dan hasil analisis keragaman (Tabel 2) juga diperoleh pengaruh ganggang saat ini (Gn) nyata terhadap kerapatan larva saat ini. Hasil analisis keragaman pada tabel 2 yang rata-rata P<0,05 (nyata) dengan R-Sq = 82,7% R-Sq(adj) = 81,1%, yang berarti faktor lingkungan berpengaruh nyata terhadap kerapatan larva. Tabel 2 Analisis keragaman TP1 & TP2 antara faktor lingkungan dengan kerapatan larva predictor T P Radn -4,070 0,000 Radn14 -4,050 0,000 Tn14 -3,320 0,001 CHn14 3,470 0,001 TAn -4,550 0,000 TAn7 -4,130 0,000 TAn14 -3,690 0,000 Saln7 1,980 0,051 Saln14 3,450 0,001 Gn 6,160 0,000
19
4.4.2 Hubungan Faktor Lingkungan Terhadap Kerapatan Larva pada Tempat Perindukan Berbentuk Saluran (TP3 & TP4) Sama halnya dengan TP1 dan TP2, TP3 dan TP4 juga mempunyai karakteristik genangan yang hampir sama sehingga kerapatan larva yang terdapat di dalam kedua genangan ini pun hampir sama jumlahnya. Hasil regresi linear berganda pada gabungan TP3 dan TP4 adalah : Larvan= 26,3 - 0,758 Radn - 0,343 Radn14 0,276 Tn7 – 0,120 Tn14 – 0,0181 CHn -0,0167 CHn14 - 0,143 TAn - 0,141 TAn7 + 0,164 Saln7 + 0,452 Gn – 0,635 Gn7. Berdasarkan hasil regresi, hubungan antara radiasi terhadap kerapatan larva juga berbanding terbalik, hal ini ditunjukan oleh nilai t yang negatif, berarti larva banyak ditemukan di saat nilai radiasi yang kecil dan sedikit ditemukan di saat nilai radiasi besar. Pada gabungan TP3 dan TP4 ini jeda waktu juga sama dengan TP1 dan TP2. Besarnya nilai radiasi saat ini (Radn) akan mempengaruhi kerapatan larva saat ini juga dan besarnya radiasi pada dua minggu sebelumnya (Radn14) juga akan mempengaruhi kerapatan larva saat ini. Berbeda sedikit dengan TP1 dan TP2, pada gabungan TP3 dan TP4 adanya hubungan yang nyata antara suhu udara 7 hari sebelumnya (Tn7) dan suhu udara 14 hari sebelumnya (Tn14) terhadap kerapatan larva saat ini. Suhu udara juga memiliki hubungan yang berbanding terbalik terhadap kerapatan larva (nilai t negatif), di saat suhu udara tinggi maka larva yang ditemukan sedikit begitupun sebaliknya karena larva menyukai suhu yang hangat (tidak terlalu tinggi) untuk dapat bertahan hidup. Curah hujan lebih mempengaruhi keberadaan tempat perindukan larva. Dengan karakteristik genangan yang sama, pada TP3 dan TP4 saat terjadi hujan langsung berpengaruh terhadap tempat perindukan sehingga larvanya langsung hanyut. Jadi di saat hujan turun kemungkinan masih terdapat larva sangat kecil karena larva hanyut oleh arus, begitupun dengan curah hujan yang terjadi pada dua minggu sebelumnya (CHn14) juga berpengaruh nyata terhadap kerapatan larva di genangan (Tabel 3). Curah hujan berpengaruh nyata dengan hubungan yang berbanding terbalik (ditandai nilai t yang negatif), berbeda dengan TP1 dan TP2 (nilai t
positif), yang berarti larva akan banyak ditemukan di saat tidak terjadi hujan. Dari hasil regresi dan hasil analisis keragaman, hanya suhu air saat ini (TAn) dan suhu air 7 hari sebelumnya (TAn7) yang mempengaruhi kenyamanan larva di dalam genangan TP3 dan TP4. Regresi yang diperoleh menunjukkan nilai t negatif yang berarti ada hubungan yang berbanding terbalik antara suhu air terhadap kerapatan larva (Tabel 3). Hal ini disebabkan karena larva hanya nyaman pada kondisi suhu yang hangat yang suhu airnya tidak terlalu tinggi. Salinitas yang rendah 7 hari sebelumnya (Saln7) sangat diperlukan oleh genangan sehingga dengan rendahnya salinitas menyebabkan salinitas di dalam genangan menjadi tepat dan mendukung pertumbuhan larva. Pengaruh nyata salinitas dapat dilihat dari hasil regresi pada Saln7 yang hubungannya berbanding lurus dengan nilai t positif (Tabel 3). Salinitas yang terlalu tinggi membuat ganggang mati (menghitam) sehingga larva tidak ditemukan. Perbedaan karakteristik genangan antara genangan TP1 dan TP2 dengan TP3 dan TP4, juga menyebabkan perbedaan terhadap keberadaan ganggang. Hubungan ganggang dengan kerapatan larva berbanding lurus dengan nilai t yang positif. Hal ini berbeda dengan keberadaan ganggang 7 hari sebelumnya (Gn7), yang pengaruh nyata dengan t negatif (Tabel 3). Berarti ganggang 7 hari sebelumnya mempunyai hubungan yang berbebanding terbalik dengan kerapatan larva. Kerapatan larva yang terdapat pada TP3 dan TP4 juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, hal ini dapat terlihat dari hasil analisis keragaman pada tabel 3 yang rata-rata P<0,05 (nyata) R-Sq = 75,1% R-Sq(adj) = 72,5%, nilai R square lebih dari 50% dan berpengaruh nyata. Tabel 3 Analisis keragaman TP3 dan TP4 antara faktor lingkungan dengan kerapatan larva predictor T P Radn -7,560 0,000 Radn14 -3,330 0,001 Tn7 -3,900 0,000 Tn14 -3,050 0,003 CHn -2,900 0,004 CHn14 -2,910 0,004 TAn -3,250 0,002 TAn7 -3,050 0,003 Saln7 4,320 0,000 Gn 3,490 0,001 Gn7 -4,760 0,000
20
4.5 Pengaruh Kerapatan Larva Terhadap Penderita Malaria Penyakit malaria ditularkan oleh nyamuk Anopheles sp. Proses nyamuk mengigit manusia sangat ditentukan oleh faktor iklim daerah setempat. Sebelum menjadi nyamuk dewasa terlebih dahulu mengalami metamorfosa dari telur- larva-kepompongnyamuk. Jadi larva yang terciduk sangat menentukan banyaknya jumlah nyamuk dewasa yang aktif menggigit dan seterusnya berpengaruh terhadap banyaknya penderita positif malaria. Tabel 4 Larva yang terciduk dan penderita malaria ∑larva ∑Penderita
Maret 55,5 2
April 137,1 4
Mei 73,6 3
Juni 79,6 7
Jumlah penderita positif malaria di desa Ampang Pulai yang tercatat di Puskesmas Koto XI Tarusan dari bulan Maret-Juni sebanyak 16 orang. Pada bulan Maret terdapat 2 orang yang positif malaria, di bulan April terdapat 4 orang yang positif malaria, bulan Mei terdapat 3 orang yang positif malaria dan di bulan Juni terdapat 7 orang yang positif malaria. Berdasarkan tabel 4 dapat dilihat trend pengaruh jumlah larva yang berbanding lurus dengan penderita malaria (Maret, Mei, Juni) sedangkan pada bulan April meskipun jumlah larva yang ditemukan saat diciduk paling banyak namun jumlah yang positif malaria hanya empat orang, lebih sedikit dari bulan Juni. Jumlah penderita sebenarnya tidak langsung berbanding lurus dengan jumlah larva karena umur nyamuk dewasa relatif panjang sehingga populasi nyamuk akan besar jika bulan-bulan berikutnya masih ada larva. selain itu, jumlah penderita tidak selalu oleh gigitan nyamuk tapi sebagian karena kambuhan penyakit malaria.
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Faktor lingkungan seperti curah hujan, radiasi matahari, suhu udara, suhu air, salinitas dan ganggang mempunyai pengaruh yang nyata terhadap kerapatan larva. Pada tempat perindukan tertutup seperti lagun, curah hujan dua minggu sebelumnya, salinitas satuminggu sebelumnya dan
ganggang pada periode yang sama menunjukkan hubungan yang berbanding lurus terhadap kerapatan larva sedangkan radiasi, suhu udara dan suhu air menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik dengan kerapatan larva. Curah hujan 2 minggu sebelumnya dapat menjadi peringatan dini bagi keberadaan larva, disarankan untuk: 1. Mengalirkan air laut ke lagun, 2. Mengangkat larva dari lagun, atau 3. Membiarkan radiasi matahari menyinari langsung tempat perindukan. Pada tempat perindukan berbentuk saluran, seluruh faktor lingkungan yang dianalisis mempunyai pengaruh negatif terhadap kerapatan larva kecuali keberadaan ganggang pada periode yang bersamaan dan salinitas seminggu sebelumnya. Keberadaan ganggang harus diminimalkan untuk menekan kerapatan larva. Dari hasil survei ditemukan adanya 4 lokasi tempat perindukan dan 16 orang penderita yang positif malaria, sehingga dapat dinyatakan bahwa Desa Ampang Pulai merupakan daerah receptive malaria bahkan bisa dianggap sebagai endemis malaria. Keberadaan larva sangat berpengaruh terhadap kejadian kasus malaria. Banyak larva yang ditemukan akan menyebabkan banyak nyamuk malaria yang akan berpeluang menularkan penyakit malaria pada masyarakat. 5.2 Saran Penelitian ini perlu dilanjutkan lagi dengan pengukuran minimal selama satu tahun, dilakukan juga penelitian terhadap jumlah nyamuk yang aktif menggigit, diharapkan juga pada penelitian selanjutnya dapat ditemukan tempat perindukan yang lain. Hal ini bertujuan, untuk pemberantasan dan pembersihan genangan-genangan yang berpotensi sebagai tempat perindukan. Dengan ditemukan adanya jeda waktu, diharapkan dapat membuat masyarakat lebih waspada dan bisa mengantisipasi terjadinya perindukan dan perkembangbiakan larva lebih dini.