ISSN 2527-9645
Gizi Untuk Atlet Remaja Oleh: Dr. Ir. Mansur Jauhari, M.Si.
Dampak Penerapan “Complex Training” Terhadap Peningkatan Kemampuan Dinamis Anaerobik Oleh: Dikdik Zafar Sidik, dkk.
Pelaksanaan Program Indonesia Emas: Studi Evaluatif pada Paralympian Indonesia tahun 2013-2015 Dr. R. Isnanta, M.Pd., Dr. Sapta Kunta Purnama, M.Pd. Prevalensi Cidera Olahraga Pada Atlet Badminton Usia Anak dan Remaja, Sebagai Bentuk Evaluasi Program Latihan Oleh: Kusuma, MNH., Skujat, K, Wurstof,M, Dreissigler, T, Kopmann, P
Pengaruh Metode Latihan dan Kemampuan Motorik Terhadap Daya Ledak Tendangan Dollyo Teakwondo Oleh: Jonas Solissa, S.Pd. Vol. 1 No. 1 Juli 2016
Dampak Pelatihan “Tabata” Terhadap Peningkatan Kemampuan Dinamis Anaerobik Laktasid Pada Pemain Futsal Putri Upi Oleh: DR. Dikdik Zafar Sidik, M.Pd, dkk.
Bidang Sport Science & Penerapan Iptek Olahraga KONI Pusat
Efektivitas Pelatihan Proprioseptif Gedung Direksi Gelora Bung Karno Jl. Pintu I Senayan, Jakarta 10270 Dalam Mencegah Pergelangan Telp. (62-21) 5737494 Kaki Terkilir`/Ankle SpintPada Fax. : (62-21) 5732516 Populasi Olahraga: Sebuah Email:
[email protected] Tinjauan Sistematis dan MetaHomepage: http://www.koni.or.id Analisis Gabriella Sophie Schiftan, Lauren Ashleigh Ross, Andrew John Hahne Oleh: dr. Eka Poedjihartanto P.,Sp. KFR.
Diterbitkan oleh: KONI Pusat Bidang Sport Science & Penerapan Iptek Olahraga Gedung Direksi Gelora Bung Karno, Jl. Pintu I Senayan, Jakarta 10270 Telp. (62-21) 5737494 Fax. : (62-21) 5732516 Email:
[email protected]; Homepage: http://www.koni.or.id
Pendidikan Jasmani dan Media Olahraga Oleh: Dr. Neneng Nurosi Nurasjati, M.Pd. Menumbuhkembangkan Jiwa Patriot Atlet Oleh: Drs. T. Irwan Amrun, M.Psi.
ISSN 2527-9645
9
7 7 2 5 27
964004
JUARA
Vol. 1
No. 1
Hal. 1-64
Jakarta, Juli 2016
ISSN 2527-9645
ISSN 2527-9645
JURNAL IPTEK OLAHRAGA KONI PUSAT Volume 1 Nomor 1, Juni 2016
Diterbitkan oleh: KONI Pusat Bidang Sport Science & Penerapan Iptek Olahraga Gedung Direksi Gelora Bung Karno, Jl. Pintu I Senayan, Jakarta 10270 Telp. (62-21) 5737494 Fax. : (62-21) 5732516 Email:
[email protected] Homepage: http://www.koni.or.id
JURNAL IPTEK OLAHRAGA KONI PUSAT Volume 1 Nomor 1, Juli 2016 ISSN 2527-9645
Pelindung: Ketua Umum KONI Pusat Penasehat: Wakil Ketua Umum I, II, III, IV dan V KONI Pusat Sekretaris Jenderal KONI Pusat Penanggung Jawab: Ketua Bidang Sport Science dan Penerapan Iptek Olahraga Pemimpin Redaksi: Lilik Sudarwati A., S.Psi, MH. Tim Editor: Lilik Sudarwati A., S.Psi, MH. Drs. T. Irwan Amrun, M.Psi. Dr. dr. Leane Suniar, Sp. GK. Dr. Ir. Mansur Jauhari, M.Si. Moh. Nanang Kusuma, S.Pd., M.Sc. Letkol Kes dr. Eka Poedjihartanto P., Sp.KFR. dr. Rizki Edmi Edison, Ph.D. Penyunting: Dody Handoko, S.Pd. Fajar Hardi Yudha Bagus Cahyo Pratomo Marcel Sugiharyanto Fotografer & Design Grafis: Fajar Hadi Yudha & Marcel Sugiharyanto, ST Sekretariat: Dody Handoko, S.Pd. & Bagus Cahyo Pratomo Mitra Bestari: Dr. R. Isnanta M.Pd, Dr. Sapta Kunta Purnama, M.Pd. DR. Dikdik Zafar Sidik, M.Pd, dkk. Dr. Ir. Mansur Jauhari, M.Si. Dr. Neneng Nurosi Nurasjati, M.Pd. Letkol Kes dr. Eka Poedjihartanto P., Sp.KFR.
Kusuma, MNH Skujat, K. Wurtsof, M. Dreissigler, T. Kopmann, P. Jonas Solissa, S.Pd.
Alamat Redaksi: KONI Pusat Bidang Sport Science & Penerapan Iptek Olahraga Jl. Pintu I Senayan Jakarta 10270 Telp: (021) 5712594 (Direct), (021) 5737494 (hunting), ext. 64 Email:
[email protected] Homepage: http://www.koni.or.id
ii | Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
PENGANTAR REDAKSI
Salam Olahraga,
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan Rakhmat dan BerkahNya sehingga Jurnal Iptek Olahraga KONI Pusat dapat kembali diluncurkan. Bidang Sport Science dan Penerapan Iptek Olahraga KONI Pusat mencoba untuk meluncurkan kembali Jurnal Iptek Olahraga yang sempat tersendat. Adapun judul Jurnal Iptek Olahraga KONI Pusat yang diluncurkan kembali adalah “Juara” yang di dalamnya terdapat 9 (sembilan) artikel dari berbagai disiplin ilmu. Kiranya Jurnal “Juara” ini dapat memberikan manfaat bagi para Atlet, Pelatih, dan Pembina Olahraga untuk menunjang peningkatan prestasi Atlet di masa-masa yang akan datang. Kami, menyadari Jurnal ini masih jauh dari sempurna untuk itu kami mohon kritik dan saran dari pembaca untuk meningkatkan kualitas baik secara materi maupun secara tampilan.
Terimakasih dan selamat membaca. PATRIOT!
Salam, REDAKSI
Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
| iii
iv | Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
DAFTAR ISI
Pengantar Redaksi.............................................................................................................................................
iii
Gizi Untuk Atlet Remaja Oleh: Dr. Ir. Mansur Jauhari, M.Si...................................................................................................................
1-4
Pelaksanaan Program Indonesia Emas: Studi Evaluatif pada Paralympian Indonesia tahun 2013-2015 Oleh: Dr. R. Isnanta, M.Pd., Dr. Sapta Kunta Purnama, M.Pd........................................................................
5-13
Prevalensi Cidera Olahraga Pada Atlet Badminton Usia Anak dan Remaja, Sebagai Bentuk Evaluasi Program Latihan Oleh: Kusuma, MNH., Skujat, K, Wurstof,M, Dreissigler, T, Kopmann, P.......................................................
14-16
Efektivitas Pelatihan Proprioseptif Dalam Mencegah Pergelangan Kaki Terkilir`/Ankle SpintPada Populasi Olahraga: Sebuah Tinjauan Sistematis dan Meta-Analisis Gabriella Sophie Schiftan, Lauren Ashleigh Ross, Andrew John Hahne Oleh: dr. Eka Poedjihartanto P.,Sp.KFR..........................................................................................................
17-21
Dampak Penerapan "Complex Training" Terhadap Peningkatan Kemampuan Dinamis Anaerobik Oleh: DR. Dikdik Zafar Sidik, M.Pd, dkk.........................................................................................................
22-32
Pengaruh Metode Latihan dan Kemampuan Motorik Terhadap Daya Ledak Tendangan Dollyo Teakwondo Oleh: Jonas Solissa, S.Pd.................................................................................................................................
33-38
Dampak Pelatihan "Tabata" Terhadap Peningkatan Kemampuan Dinamis Anaerobik Laktasid Pada Pemain Futsal Putri Upi Oleh: DR. Dikdik Zafar Sidik, M.Pd, dkk.........................................................................................................
39-51
Pendidikan Jasmani dan Media Olahraga Oleh: Dr. Neneng Nurosi Nurasjati, M.Pd........................................................................................................
52-57
Menumbuhkembangkan Jiwa Patriot Atlet Oleh: Drs. T. Irwan Amrun, M.Psi....................................................................................................................
58-61
Pedoman Penulisan Naskah..............................................................................................................................
62-64
Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
|v
vi | Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
GIZI UNTUK ATLET REMAJA Oleh: Dr. Ir. Mansur Jauhari, M.Si. Dosen FIK Universitas Negeri Jakarta dan Wakil Ketua Sport Science Bidang Nutrisi KONI Pusat
ABSTRAK Gizi seimbang pada masa remaja akan sangat menentukan kematangannya di masa depan. Sebagai seorang atlet remaja perlu memperhatikan asupan gizi untuk pertumbuhan dan perkembangan. Kebutuhan gizi remaja relatif besar karena remaja mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan yang cepat dan pesat. Selain itu remaja pada umumnya melakukan aktifitas fisik yang lebih tinggi dibandingkan dengan usia lainya, ditambah lagi remaja sebagai atlet, sehingga diperlukan zat gizi yang lebih banyak. Stamina atlet yang baik hanya dapat diperoleh apabila mengkonsumsi gizi sesuai dengan kebutuhan baik pada waktu latihan maupun pada waktu pertandingan. Sehingga gizi bagi atlet merupakan komponen yang penting dalam menjaga kesehatan dan merupakan salah satu faktor dalam mencapai suatu prestasi. Semua zat gizi harus dapat dipenuhi atlet remaja seperti karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan air.
PENDAHULUAN
Karbohidrat
Seperti pada atlet dewasa, atlet remaja perlu mengkonsumsi gizi seimbang untuk menjaga kesehatan yang baik dan mencapai puncak pretasi. Masa remaja merupakan masa pertumbuhan yang cepat, pada masa ini terjadi serangkaian perubahan menuju kematangan fisik dan seksual. Pertumbuhan pesat ditandai dengan pertambahan pesat berat badan dan tinggi badan. Gizi seimbang pada masa ini akan sangat menentukan kematangannya di masa depan. Sebagai seorang atlet, seorang pelajar selain perlu memperhatikan asupan gizi untuk pertumbahan dan perkembangan tetapi perlu memperhatikan asupan gizinya untuk menunjang aktivitas fisiknya pada saat latihan dan bertanding. Asupan gizi pada atlet remaja harus diperhatikan benar agar dapat tumbuh optimal.
Karbohidrat memegang peranan penting karena merupakan energi utama, Penyediaan energi untuk kerja otot yang tercepat berasal dari karbohidrat. Cadangan karbohidrat ini disebut Glikogen. Glikogen disimpan di otot & hati. Sumber karbohidrat berasal dari nasi, roti, kentang, ubi, buah buahan dan bahan bahan makanan sehari hari lainnya. Kekurangan karbohidrat mengakibatkan penurunan cadangan glikogen otot, hal ini akan menurunkan kinerja dan mempercepat timbulnya kelelahan. Sangat diperlukan cadangan glikogen dalam otot dan hati yang optimal. Jumlah karbohidrat yang disarankan untuk atlet remaja setidaknya adalah 50% untuk energi dari karbohidrat (National Heart Forum; Caroline Walker Trust, 2005). Sebagai contoh, seorang anak berusia 13 tahun yang mengkonsumsi 2220 kalori per hari akan perlu makan karbohidrat minimal 296 g. Selain dari karbohidrat kebutuhan energi dapat dipenuhi dari lemak dan protein. Angka kecukupan energi untuk remaja pria usia 10-12 tahun adalah 2050 Kalori, untuk usia 13-15 tahun 2400 Kalori, dan untuk usia 16-18 tahun sebanyak 2600 Kalori. Sedangkan untuk remaja wanita pada kelompok usia yang sama, angka kecukupan energinya secara berturut-turut adalah 2050 Kalori, 2350 Kalori, dan 2200 Kalori. Untuk atlet remaja kebutuhan energinya akan lebih besar dari itu dan tergantung pada jenis cabang olahraganya dan lamanya berlatih.
Stamina merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam menunjang prestasi atlet. Stamina atlet yang baik hanya dapat diperoleh apabila mengkonsumsi gizi sesuai dengan kebutuhan baik pada waktu latihan maupun pada waktu pertandingan. Sehingga gizi bagi atlet merupakan komponen yang penting dalam menjaga kesehatan dan merupakan salah satu faktor dalam mencapai suatu prestasi. Kebutuhan gizi bagi para atlet mempunyai kekhususan karena tergantung cabang olahraga yang dilakukan. Oleh karena itu untuk mendapatkan atlet yang berprestasi, faktor gizi sangat perlu diperhatikan sejak saat pembinaan di tempat latihan sampai pada saat pertandingan.
Protein Protein terdiri atas asam amino yang terikat satu sama lain dalam ikatan peptida. Protein membentuk bagian dari struktur dari setiap sel dan jaringan dalam tubuh, termasuk jaringan otot, organ-organ internal, tendon, kulit, rambut dan kuku. Rata-rata, sekitar 20%
Untuk atlet remaja perlunya memperhatikan pola makannya, pola makan yang seimbang, diharapkan semua kebutuhan zat gizinya terpenuhi baik itu karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan air. 1
Gizi Untuk Atlet Remaja
dari total berat badan adalah protein. Protein diperlukan untuk pertumbuhan dan pembentukan jaringan baru, untuk memperbaiki jaringan dan untuk mengatur saluran metabolik, dan juga dapat dibutuhkan untuk membuat hampir semua enzim serta berbagai hormon (seperti adrenalin dan insulin) dan neurotransmitter.
karena itu sebaiknya membatasi makanan yang digoreng atau menggunakan santan. Konsumsi lemak sebaiknya dibatasi tidak melebihi dari 25% dari total energi per hari.
Selama masa remaja, kebutuhan protein meningkat karena proses tumbuh kembang berlangsung cepat. Apabila asupan energi terbatas, protein akan digunakan sebagai energi. Kebutuhan protein untuk atlet remaja adalah sekitar sekitar 1,1-1,2 g/kg/hari. Konsumsi protein tidak perlu berlebihan, konsumsi protein sesuai kebutuhannya. Untuk atlet remaja tidak membutuhkan tambahan suplemen, kebutuhan protein dapat dipenuhi dari makanan sehari-hari. Karena pada masa remaja merupakan masa yang sedang mengalami proses pertumbuhan yang pesat sehingga asupan protein sangat perlu diperhatikan kebutuhannya. Kandungan protein dalam berbagai bahan pangan dapat dilihat di Tabel 1.
Vitamin dan mineral diperlukan untuk menjaga kesehatan; mereka membantu menghasilkan energi, membantu dalam memproduksi sel darah merah dan sangat penting untuk perbaikan jaringan. Kekurangan vitamin dan mineral mengakibatkan kelelahan lebih cepat, meningkatkan kerentanan terhadap penyakit dan infeksi, dan membantu dalam mempercepat proses pemulihan dari luka dan cedera.
Tabel 1. Kandungan Protein Berbagai makanan (gram/100gr) Bahan Makanan
Nilai Protein
Bahan Makanan
Nilai Protein
Kacang merah
29.1
Keju
22.8
Kacang tanah
25.3
Kerupuk udang
17.2
Kacang hijau
22.2
Jagung kuning pipil
9.2
Mente
21.2
Roti putih
8.0
Tempe
18.3
Mie kering
7.9
Tahu
7.8
Beras ½ giling
7.6
Daging sapi
18.8
Kentang
2.0
Ayam
18.2
Gaplek
1.5
Telur bebek
13.1
Singkong
1.2
Telur ayam
12.0
Daun singkong
6.8
Udang segar
21.0
Bayam
3.5
Ikan segar
16.0
Kangkung
3.0
Tepung susu skim
35.6
Wortel
1.2
Tepung susu
24.6
Tomat masak
1.0
Mangga harumanis
0.4
Sumber: Daftar Analisis Bahan Makanan. FK UI 1992
Lemak Komponen dasar lemak adalah trigliserida (tersusun dari gliserol + asam lemak). Asam lemak terdiri atas asam lemak tak jenuh dan asam lemak jenuh. Asam lemak tak jenuh tunggal (misalnya: omega 9). Contoh: alpukat. Asam lemak tak jenuh ganda (misalnya: omega 3 dan omega 6). Omega 3, contohnya: salmon, tuna, makarel. Omega 6, contohnya: minyak kedelai, wijen, kacang tanah, biji bunga matahari. Fungsi lemak antara lain; sebagai sumber energi, (1 gr lemak = 9 Kalori) pelarut vitamin A, D, E, K, memberi rasa lezat. Konsumsi makanan yang mengandung lemak berlebih kurang menguntungkan karena mengakibatkan timbunan lemak dan orang tersebut menjadi gemuk selain itu konsumsi asam lemak jenuh secara berlebihan, dihubungkan dengan resiko penyakit jantung koroner dan kanker. Oleh
2 | Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
Vitamin dan Mineral
Olahraga berat meningkatkan kebutuhan sejumlah vitamin dan mineral, terutama vitamin dan mineral yang terlibat dalam metabolisme energi, pertumbuhan jaringan dan perbaikan, pembuatan sel darah merah dan penangkal radikal bebas. Kebutuhan remaja akan vitamin dan mineral meningkat karena pertumbuhan yang terjadi dengan cepat. Vitamin E adalah antioksidan kuat, yang mencegah oksidasi asam lemak dalam membran sel dan melindungi sel dari kerusakan. Vitamin C mempunyai fungsi yang terkait dengan latihan. Vitamin C diperlukan untuk pembentukan jaringan ikat dan hormon tertentu (misalnya adrenalin), yang dihasilkan selama latihan, vitamin C terlibat dalam pembentukan sel darah merah, meningkatkan penyerapan zat besi, vitamin C juga yang merupakan antioksidan kuat, seperti vitamin E, juga dapat melindungi terhadap kerusakan sel terkait latihan. Atlet juga memerlukan vitamin Vitamin A (betakaroten) sebagai vitamin antioksidan dan olahraga berat dan berlangsung lama membutuhkan oksigen dan jumlah banyak, sehingga diikuti produksi zat radikal bebas. Radikal bebas yang berlebihan dalam tubuh dapat merusak sel-sel tubuh. Vitamin antioksidan akan menghambat terbentuknya zat radikal bebas tersebut. Atlet memerlukan konsumsi vitamin terutama vitamin B kompleks yang membantu proses metabolisme zat gizi penghasil energi (koenzim). Untuk memaksimalkan asupan vitamin dari makanan sehari-hari, perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini yaitu: • Makanlah berbagai jenis buah-buahan berwarna dan sayuran. • Bila mungkin makan buah-buahan dan sayuran segar, terutama pada musimnya. • Jangan terlalu lama waktu memasak sayuran, semakin lama memasak akan mengurangi kandungan gizinya • Sayuran dimasak dengan cara dikukus atau direbus.
Dr. Ir. Mansur Jauhari, M.Si.
Masyarakat Indonesia masih sangat rendah dalam mengonsumsi sayuran dan buah-buahan, sebanyak 63,3% anak usia > 10 tahun tidak mengonsumsi sayuran dan 62,1% tidak mengonsumsi buah-buahan. Padahal sayuran di Indonesia bayak sakali jenis dan jumlahnya. Sayuran hijau maupun berwarna selain sebagai sumber vitamin, mineral juga sebagai sumber serat dan senyawa bioaktif yang tergolong sebagai antioksidan. Buah selain sebagai sumber vitamin, mineral, serat juga antioksidan terutama buah yang berwarna hitam, ungu dan merah. Mengonsumsi sayuran dan buah-buahan sebaiknya bervariasi sehingga diperoleh beragam sumber vitamin ataupun mineral serta serat. Mineral yang sangat dibutuhkan untuk atlet remaja antara lain adalah zat besi dan kalsium. Zat besi berguna untuk pembentuk hemoglobin yang penting untuk pengangkut oksigen dan pembentukan mioglobin otot, zat besi juga berfungsi untuk meningkatkan kekebalan tubuh. Sumber zat besi adalah daging, ayam, ikan, kacang-kacangan, sayuran hijau. Kandungan zat besi berbagai makanan disajikan di Tabel 2. Kebutuhan zat besi untuk remaja adalah sekitar 10 mg untuk usia 7-9 tahun, untuk remaja pria usia 10-12 tahun sekitar 13 mg, usia 13-15 tahun sekitar 19 mg, sedang untuk remaja wanita adalah 20 mg usia 10-12 tahun dan usia 13-15 tahun adalah 26 mg. kekurangan zat besi dapat mengakibatkan anemia yang ditandai dengan kadar hemoglobin yang rendah yang dapat mempengaruhi kemampuan kinerja atlet, menurunkan kekebalan tubuh dalam menangkal penyakit dan menurunkan konsentrasi. Remaja putri menjadi lebih rawan terhadap anemia dibandingkan dengan laki-laki, karena remaja putri mengalami menstruasi/haid berkala yang mengeluarkan sejumlah zat besi setiap bulan. Oleh karena itu, remaja wanita lebih banyak membutuhkan zat besi daripada remaja putra. Tabel 2. Kandunganzat Besi Berbagai makanan (gram/100gr) Bahan Makanan
Zat Besi (mg)
Bahan Makanan
Zat Besi (mg)
Tempe
10
Jagung kuning
2,4
Kacang kedelai (kering)
8,0
Roti
1,5
Kacang hijau
6,7
Bayam
3,9
Kacang merah
5,0
Sawi
2,9
Udang
8,0
Daun katuk
2,7
Daging sapi
2,8
Kangkung
2,5
Telur ayam
2,7
Daun singkong
2,0
Telur bebek
2,8
Pisang ambon
0,5
Ikan segar
2,0
Keju
1,5
Ayam
1,5 Sumber: Daftar Analisis Bahan Makanan. FK UI 1992
Mineral Kalsium sangat penting untuk pem bentukan tulang, aktivasi enzim, aktivasi saraf, dan kontraksi otot. Kebutuhan kalsium pada remaja relative tinggi karena akselerasi muskulat, skeletal/kerangka
dan perkembangan endokrin lebih besar dibandingkan masa anak dan dewasa. Alasan asupan kalsium perlu ditekankan pada remaja, adalah hampir separuh kerangka manusia dibentuk pada periode remaja, absorbsi kalsium sangat efisien pada masa remaja dan kalsiumyang cukup pada saat remaja akan membantu pencapaian peak bone mass. Kebutuhan kalsium untuk remaja usia 7-9 tahun sekitar 600 mg, 10-18 tahun sekitar 1000 mg/hari, usia. 1 gelas susu skim yang mengandung 300 mg Ca akan menyumbang kebutuhan Ca orang dewasa. Sumber kalsium yang lain selain susu adalah keju, es krim, yogurt, kuning telur, kacang-kacangan, sayuran. Kandungan kalsium berbagai makanan (gram/100gr) disajikan di Tabel 3. Kekurangan kalsium dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, tulang kurang kuat, mudah bengkok dan rapuh. Tabel 3. Kandungan Kalsium Berbagai makanan (gram/100gr) Bahan Makanan
Kalsium (mg)
Bahan Makanan
Kalsium (mg)
Susu sapi segar
143
Kacang merah
80
Keju
777
Ayam
14
Susu bubuk
904
Kacang tanah
58
Yogurt
120
Bayam
265
Udang kering
1209
Sawi
220
Teri kering
1200
Daun melinjo
219
Telur bebek
56
Katuk
204
Telur ayam
54
Selada air
182
Daging sapi
11
Daun singkong
165
Tempe
129
Kentang
11
Tahu
124
Jaging kuning
10
Sumber: Daftar Analisis Bahan Makanan. FK UI 1992
Air dan Elektrolit Kandungan air dalam tubuh sebanyak 40-60% berat badan. Cairan tubuh terdapat dalam sel (62% dari total cairan tubuh) dan di luar sel (38% dari total cairan tubuh). Selama melakukan olahraga berat dalam cuaca panas, seseorang dapat kehilangan cairan tubuh. Kehilangan cairan tersebut, melalui mekanisme penguapan (melalui keringat) sebagai upaya untuk mendinginkan tubuh. Penggantian cairan (dengan cara minum) selama melakukan olahraga sangat diperlukan agar keseimbangan cairan tubuh terjaga. Apabila kehilangan cairan tidak segera diganti akan berisiko mengalami dehidrasi. Dampak dehidrasi pada atlet adalah: • Latihan terasa jauh lebih sulit • Denyut jantung meningkat lebih dari biasanya • Kram, sakit kepala dan mual • Konsentrasi berkurang • Kemampuan untuk melakukan keterampilan olahraga menurun • Kelelahan yang cepat dan kehilangan stamina. Elektrolit merupakan zat dalam bentuk larutan dalam Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
|3
Gizi Untuk Atlet Remaja
tubuh, sebagai penghantar rangsang saraf. Elektrolit umumnya berupa larutan asam, basa dan garam yang berdissosiasi menjadi ion-ion. Elektrolit tubuh yang utama adalah Natrium, kalium chlorida, bicarbonate, sulfate, magnesium dan kalsium. Untuk mencegah terjadinya dehidrasi perlu mem perhatikan asupan cairan yang harus diminum yaitu: • Untuk setiap kehilangan 1 kg berat badan harus diganti dengan minum 1 1/2 liter cairan. • Minum 1-1,5 liter cairan pada siang hari, 150-200 ml air (satu gelas besar) 45 menit sebelum latihan. • Selama latihan minum 75-100 ml setiap 15-20 menit. • Setelah latihan, mereka harus minum sampai tidak lagi haus, ditambah satu gelas ekstra, atau minum 300 ml untuk setiap penurunan berat badan 0,2 kg.
KESIMPULAN Remaja merupakan masa pertumbuhan cepat, kebutuhan zat gizinya harus diperhatikan karena kebutuhannya akan meningkat. Atlet pada usia remaja membutuhkan semua zat gizi yaitu karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan air. Asupan gizi perlu diperhatikan baik pada masa latihan maupun masa pertandingan. Asupan gizi yang memadai dapat mendukung tercapainya prestasi terbaik. Asupan gizi seimbang pada masa remaja akan sangat menentukan kematangannya di masa depan.
4 | Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
DAFTAR PUSTAKA Anita Bean. 2007. Sports Nutrition. Published by A & C Black Publishers Ltd Dan Benardot. 2007. Advanced Sports Nutrition. Human Kinetic. Davin Jenkins and Peter Reaburn. 2000. Guiding The Young Athlete. Allen & Unwin 9 Atchison Street St Leonards NSW 1590 Australia Kemenkes. 2014. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. Kemenkes. 2014. Pedoman gizi Seimbang. Merryana Adriani dan Bambang Wirjatmadi. 2012. Peran Gizi Dalam Siklus Kehidupan. Kencana Prenada Media Grup. Jakarta. Oey Kam Nio. 1992. Daftar Analisis Bahan Makanan. FK UI. Jakarta Sunita Almatsier. 2006. Prinsip dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia. Jakarta. Sunita Almatsier, Susiarah Soetardjo, Moesijanti Soekatri. 2011. Gizi Seimbang Dalam Daur Kehidupan PT Gramedia. Jakarta
PELAKSANAAN PROGRAM INDONESIA EMAS STUDI EVALUATIF PADA PARALYMPIAN INDONESIA TAHUN 2013-2015 Oleh: Dr. R. Isnanta, M.Pd., Dr. Sapta Kunta Purnama, M.Pd.
ABSTRAK Evaluasi dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi penyelenggaraan pembinaan paralympian (atlet penyandang cacat). Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian evaluasi melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Teknik pengumpulan data melalui metode survey dan telaah dokumen. Instrumen penelitian terdiri dari angket, daftar cek, dan pedoman wawancara. Desain penelitian evaluasi program menggunakan model Contex, Input, Process, Product (CIPP). Kesimpulan penelitia adalah: 1) Evaluasi Konteks; a) PRIMA mempunyai kekuatan hukum yang kuat, b) PRIMA memiliki konsistensi antara visi, misi dan tujuan PRIMA; 2) Evaluasi Input; a) Persentase indikator karakteristik atlet PRIMA sebesar 81%, adalah kategori sangat baik, b)Persentase ketercapaian untuk aspek karakteristik pelatih sebesar 83%, adalah kategori balk sekali. C) Persentase ketercapaian untuk aspek karakteristik organisasi penyelenggara adalah 86%, adalah kategori baik sekali. D) Persentase ketercapaian untuk aspek karakteristik dukungan sarana dan prasarana terhadap Program Indonesia Emas di paralympian Indonesia sebesar 80%, adalah kategori baik.e) Persentase ketercapaian untuk aspek karakteristik pendanaan sebesar75%, adalah kategori baik.; 3) Evaluasi Proses; a) Persentase ketercapaian untuk aspek penyeleksian atlet dan pelatih sebesar 79% adalah kategori baik. b) Persentase ketercapaian untuk aspek evaluasi latihan sebesar 78%, adalah kategori baik. c) Persentase ketercapaian untuk aspek dukungan perlengkapan latihan dan pertandingan sebesar 81%, adalah kategori baik. d) Persentase ketercapaian untuk aspek dukungan board and loading sebesar 80%, adalah kategori baik.; 4) Evaluasi Produk; a) PRIMA mampu mencapai prestasi yang ditunjukkan melalui peningkatan perolehan medali di even Asean Paragames, Asian Games, dan Paralympic, b) Kesejahteraan Paralympian meningkat dan terwujud kesetaraan pada paralympian dengan atlet non difabel. Kata Kunci: Paralympian, Evaluasi, Program Indonesia Emas (PRIMA)
PENDAHULUAN
melalui Corporate Social Responsibility (CSR) dari industri nasional dan BUMN/BUMD dalam mendukung pengembangan kegiatan olahraga di masyarakat, fasilitasi bapak angkat bagi pembinaan cabang olahraga prestasi. Namun demikian dari sekian banyak cabang olahraga yang dibina di Indonesia, hanya beberapa cabang olahraga yang dapat menyumbangkan prestasi. Hal ini dikarenakan persaingan potensi antar bangsa yang makin berat dengan standart pencapaian prestasi yang makin tinggi di tingkat internasional.
Olahraga merupakan bagian integral dalam proses pembangunan Bangsa dan Negara. Proses pembinaan olahraga yang baik pada akhirnya akan bermuara pada lahirnya prestasi olahraga nasional yang dapat dibanggakan di forum internasional sekaligus mencerminkan prestise bangsa. Olahraga merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam proses pembangunan Bangsa dan Negara. Kesadaran bahwa olahraga dapat meningkatkan harkat dan martabat bangsa membuat para pemangku pemerintah mengambil kebijakan dalam upaya pengembangan dan peningkatan prestasi bidang olahraga, khususnya olahraga prestasi. Kebijakan pemerintah Indonesia tidak hanya mengakomodasi para pelaku olahraga atlet normal, tetapi juga pada olahraga pecandang cacat (difabel).
Menyadari hal tersebut, sebagai upaya untuk membangkitkan kejayaan olahraga di tingkat inter nasional, saat ini pemerintah telah melakukan satu terobosan untuk mendorong peningkatan prestasi olahraga nasional, yaitu dengan diluncurkannya Program Indonesia Emas (PRIMA) melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia No 22 tahun 2010. PRIMA adalah program untuk penjaringan atlet-atlet elite Indonesia untuk menjuarai atau memenangkan pertandingan internasional. Program tersebut tidak terfokus pada satu cabang olahraga, melainkan untuk seluruh cabang olah raga. Begitu juga dengan paralimpian (atlet difabel),
Potensi utama yang menonjol adalah komitmen penuh pemerintah dan legislatif dalam mendukung program keolahragaan terutama dalam segi pendanaan yang diaplikasikan dengan meningkatnya alokasi anggaran keolahragaan dari tahun ke tahun, termasuk juga memotivasi dunia usaha untuk memberikan dana 5
Pelaksanaan Program Indonesia Emas: Studi Evaluatif pada Paralympian Indonesia tahun 2013-2015
yang pada saat ini memiliki peluang prestasi melalui berbagai kejuaraan yang telah dibentuk di nasional maupun internasional. Pelaksanaan PRIMA tersebut telah berjalan 5 tahun namun belum dilaporkan tentang kajian evaluatif terhadap pelaksanaannya, terutama pada pembinaan paralympian. Kajian evaluatif adalah suatu upaya untuk mengukur hasil atau dampak suatu aktivitas, program, dengan cara membandingkan tujuan yang telah ditetapkan, dan bagaimana pencapaiannya untuk mengetahui apakah program tersebut berjalan efektif dan efisien. Berkaitan dengan kajian evaluatif terhadap program pembinaan prestasi olahraga jangka panjang yang dilaksanakan di Indonesia saat ini yaitu PRIMA, dipandang perlu untuk melakukan penelitian evaluatif terhadap kebijakan program olahraga prestasi ini pada pembinaan dan peningkatan prestasi paralympian di Indonesia. Tujuan penelitian evaluasi untuk menilai keberhasilan atau kegagalan sebuah program. Indikator keberhasilan sebuah program dilihat dari indikatorindikator sebagai berikut: (1) Perubahan-perubahan apakah yang telah terjadi sebagai akibat penerapan sebuah kebijakan dan sejauh mana perubahan-perubahan tadi sejalan dengan tujuan program, (2) bagaimanakah pencapaian hasil akhir suatu program secara meyakinkan terkait langsung dengan berbagai sumberdaya yang telah dicurahkan pada program tersebut? Fokus dan perumusan masalah dalam penelitian ini dibatasi dalam hal faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pada pembinaan dan peningkatan prestasi paralympian di Indonesia sejak tahun 2013 sampai 2015, dilihat dari context, input, proses, dan product (CIPP). Pada aspek konteks, pelaksanaan evaluasi difokuskan pada harapan bangsa dan negara terhadap prestasi olahraga nasional di tingkat Internasional yang terimplementasi pada 1) Landasan hukum; dan 2) Tujuan PRIMA; Pada aspek input, pelaksanaan evaluasi difokuskan pada: 1) Perencanaan program; 2) Dukungan sumber daya manusia; 3) Organisasi pelaksana; 4) Dukungan sarana dan prasarana; serta, 5) Dukungan dana. Pada aspek proses, pelaksanaan evaluasi difokuskan pada: 1) Pelaksanaan program; 2) Pembinaan kehidupan sosial atlet; dan 3) Pengorganisasian. Pada aspek produk, pelaksanaan evaluasi difokuskan pada prestasi Asean Para Games (APG)
KAJIAN TEORETIK 1. Evaluasi Program Evaluasi dilaksanakan untuk menyediakan informasi tentang baik atau buruknya proses dan hasil kegiatan. Menurut Suharsimi Arikunto evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang
6 | Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan. Fungsi utama evaluasi dalam hal ini adalah menyediakan informasi-informasi yang berguna bagi pihak pengambil keputusan untuk menentukan kebijakan yang akan diambil berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan. Menurut Stufflebeam (2014) evaluasi adalah berguna memberikan informasi berkualitas untuk membuat dan menilai keputusan, serta memiliki elemen kredibilitas, sering tergantung pada jenis studi evaluasi yang dilakukan dan terutama kebutuhan pengguna evaluasi. Menurut Sanjaya evaluasi adalah proses menempatkan nilai pada pengukuran tersebut. Hal ini melibatkan atau membandingkan skor dengan dengan skala dan nilai yang ditanamkan. Evaluasi dapat juga diartikan sebagai proses menilai sesuatu berdasarkan kriteria atau tujuan yang telah ditetapkan, yang selanjutnya diikuti dengan pengambilan keputusan atas obyek yang dievaluasi. Dalam evaluasi ada beberapa unsur yang terdapat dalam evaluasi yaitu: adanya sebuah proses (process) perolehan (obtaining), penggambaran (delineating), penyediaan (providing) informasi yang berguna (useful information) dan alternatif keputusan (decision alternatives). Pengertian di atas dapat diartikan bahwa kegiatan evaluasi atau penilaian merupakan suatu proses yang sengaja direncanakan untuk memperoleh informasi atau data. Semua data ataupun informasi dapat dijadikan suatu bahan pertimbangan dalam membuat suatu keputusan yang sesuai dan mendukung tujuan evaluasi yang direncanakan. Evaluasi program merupakan suatu proses menyediakan informasi yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk menentukan tujuan yang hendak dicapai, desain, implementasi dan dampak untuk membantu membuat keputusan dalam rangka memperbaiki pelaksanaan program. Evaluasi program merupakan proses yang sistematis untuk mengumpulkan, mendeskripsikan, menginterpretasikan dan menyajikan informasi sebagai dasar membuat keputusan dalam rangka menyusun kebijakan maupun program. Dalam evaluasi program tujuan evaluasi adalah untuk memperoleh informasi yang akurat dan objektif tentang pelaksanaan suatu program. Informasi berupa proses, hasil yang dicapai, efesiensi serta pemanfaatan hasil evaluasi yang difokuskan untuk memutuskan keberlanjutan program tersebut, yaitu dilanjutkan, diperbaiki atau dihentikan. Evaluasi program merupakan langkah awal dalam supervisi untuk melakukan pembenahan-pembenahan suatu program ke arah yang lebih baik. Menurut Jhon M Owen, mendifinisikan “program as a set of planned activities directed toward bringing about specified
Dr. R. Isnanta, M.Pd., Dr. Sapta Kunta Purnama, M.Pd.
change’s in an identified and identifiable audience”. Program sebagai sebuah rangkaian rencana aktivitas ke depan dengan membawa perubahan spesifik dan dikenalkan kepada peserta. Sedangkan McDavid and Hawthorn menyatakan “a program can be thought of as a group of related activities that is intended to achieve one or several related objectives”. Program adalah sejumlah aktivitas yang dilakukan untuk mencapai beberapa tujuan. Di sisi lain Suharsimi Arikunto menyatakan bahwa “secara umum program dapat diartikan sebagai rencana atau rancangan kegiatan yang akan dilakukan oleh seseorang di kemudian hari dan secara khusus program biasanya dikaitkan dengan evaluasi yang bermakna dari suatu unit atau kesatuan kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi dari suatu kebijakan, berlangsung dalam proses berkesinambungan dan terjadi dalam satu organisasi yang melibatkan sekelompok orang”. Dari beberapa pengertian tentang evaluasi program di atas, maka dapat didifinisikan bahwa evaluasi program merupakan suatu proses yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk melihat sejauh mana keberhasilan sebuah program secara sistematis untuk menilai dan meningkatkan perencanaan, implementasi serta efektifitas suatu program untuk tujuan pengambilan keputusan. Ada banyak model yang bisa digunakan dalam melakukan evaluasi program khususnya program pendidikan. Meskipun terdapat beberapa perbedaan antara model-model tersebut, tetapi secara umum modelmodel tersebut memiliki persamaan yaitu mengumpulkan data atau informasi obyek yang dievaluasi sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan. Adapun modelmodel evaluasi antara lain, yaitu: a. Model UCLA Alkin menulis tentang kerangka kerja evaluasi sebagai suatu proses meyakinkan keputusan, memilih informasi yang tepat, mengumpulkan, dan menganalisis informasi sehingga dapat melaporkan ringkasan data yang berguna bagi pembuat keputusan dalam memilih beberapa alternatif. Ia mengemukakan lima macam evaluasi, yakni: 1) Sistem assessment, yang memberikan informasi tentang keadaan atau posisi sistem, 2) Program planning, membantu pemilihan program tertentu yang mungkin akan berhasil memenuhi kebutuhan program, 3) Program implementation, yang menyiapkan apakah program sudah diperkenalkan kepada kelompok tertentu yang tepat seperti yang direncanakan? 4) Program improvement, yang memberikan informasi tentang bagaimana program berfungsi, bagaimana program bekerja, atau berjalan? Apakah menuju pencapaian tujuan, adakah
hal-hal atau masalah-masalah baru yang muncul tak terduga? 5) Program certification, yang memberi informasi tentang nilai atau guna program b. Model Brinkerhoff Setiap desain evaluasi umumnya terdiri atas elemen-elemen yang sama, ada banyak cara untuk menggabungkan elemen tersebut, masing-masing ahli atau evaluator mempunyai konsep yang berbeda dalam hal ini. Brinkerhoff & Cs. (1983) mengemukakan evaluasi yang disusun berdasarkan penggabungan elemen-elemen yang sama, seperti: 1) Fixed vs Emergent Evaluation Design Desain evaluasi yang tetap (fixed) ditentukan dan direncanakan secara sistematik sebelum implementasi dikerjakan. Desain dikembangkan berdasarkan tujuan program disertai seperangkat pertanyaan yang akan dijawab oleh informasi yang akan diperoleh dari sumber-sumber tertentu. Desain fixed ini relatif memakan biaya banyak. Kegiatan’kegiatan berkisar antara membuat pertanyaan-pertanyaan, menyiapkan dan membuat instrumen, menganalisis hasil evaluasi, dan melaporkan secara formal hasil evaluasi kepada pemakai. 2) Formative vs Summative Evaluation Evaluasi formatif digunakan untuk memperoleh informasi yang dapat membantu memperbaiki proyek, kurikulum, atau lokakarya. Dibuat untuk digunakan karyawan, dapat juga mengorbankan kepentingan orang luar untuk lebih bermanfaat bagi program., variabel dipengaruhi dan sebagainya, atau hanya diamati, atau keduanya? c. Evaluasi Model Kirkpatrick Model evaluasi yang dikembangkan oleh Kirkpatrick merupakan evaluasi pada program training mencakup empat level evaluasi yaitu: reaction, learning, behavior, dan result. 1) Evaluasi reaksi Evaluasi terhadap reaksi peserta training artinya untuk mengukur mengukur keputusan peserta. Program training dianggap efektif apabila proses training dirasa menyenangkan dan memuaskan bagi peserta training sehingga mereka tertarik dan termotivasi untuk belajar dan berlatih. 2) Evaluasi Belajar Menurut Kirkpatrick belajar dapat didefinisikan sebagai perubahan sikap, perbaikan pengetahuan, dan atau kenaikan keterampilan peserta setelah selesai mengikuti program. Peserta training dikatakan telah belajar apabila Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
|7
Pelaksanaan Program Indonesia Emas: Studi Evaluatif pada Paralympian Indonesia tahun 2013-2015
dirinya telah mengalami perubahan sikap, perbaikan pengetahuan maupun peningkatan keterampilan. Oleh karena itu, untuk mengukur efektivitas program training maka ketiga aspek tersebut perlu diukur. Tanpa adanya perubahan sikap, peningkatan pengetahuan maupun perbaikan keterampilan pada peserta training maka program dapat dikatakan gagal. 3) Evaluasi Perilaku Evaluasi perilaku ini berbeda dengan evaluasi terhadap sikap. Penilaian sikap pada evaluasi level 2 difokuskan pada perubahan sikap yang terjadi pada saat kegiatan training dilakukan sehingga lebih bersifat internal, sedangkan penilaian tingkah laku difokuskan pada perubahan tingkah laku setelah peserta kembali dari tempat kerja. 4) Evaluasi Hasil Evaluasi hasil dalam level ke-4 ini difokuskan dapa hasil akhir yang terjadi karena peserta telah mengikuti suatu program. Evaluasi program model Kirkpatrick dapat digunakan untuk mengevaluasi program pembelajaran, namun perlu adanya modifikasi. d. Model Wheel Beebe menyajikan model evaluasi atas pelatihan yang dilakukan dalam suatu program dengan menggunakan model roda. Model evaluasi ini ber bentuk roda karena menggambarkan usaha evaluasi yang berkaitan dan berkelanjutan dan satu proses ke proses selanjutnya. Model ini digunakan untuk mengetahui apakah pelatihan yang dilakukan suatu instansi telah berhasil; untuk itu diperlukan suatu alat untuk mengevaluasinya. e. Model Provus (Discrepancy Model) Kata discrepancy adalah istilah bahasa Inggris, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “kesenjangan”. Model ini yang dikembangkan oleh Malcolm Provus ini merupakan model evaluasi yang berangkat dari asumsi bahwa untuk mengetahui kelayakan suatu program, evaluator dapat membandingkan antara apa yang seharusnya dan diharapkan terjadi (standard) dengan apa yang se-benamya terjadi (performance) sehingga dapat diketahui ada tidaknya kesenjangan (discrepancy) antara keduanya yaitu standar yang ditetapkan dengan kinerja sesungguhnya. Model evaluasi Provus yang bertujuan untuk menganalisis suatu program sehingga dapat ditentukan apakah suatu program layak diteruskan, ditingkatkan atau sebaiknya dihentikan mementingkan terdefinisikannya standard, performance, dan discrepancy secara rinci
8 | Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
dan terukur. Evaluasi program yang dilaksanakan oleh evaluator mengukur besarnya kesenjangan yang ada di setiap komponen program. Dengan terjabarkannya kesenjangan di setiap komponen program maka langkah-langkah perbaikan dapat dilakukan. f. Model Stake (Countenance Model) Stake menekankan adanya dua dasar kegiatan dalam evaluasi, yaitu description dan judgement dan membedakan adanya tiga tahap dalam program pendidikan, yaitu antecedent (context), transaction (process) dan outcomes. Penekanan yang umum atau hal yang penting dalam model ini adalah bahwa evaluator yang membuat penilaian tentang program yang dievaluasi. Stake mengatakan bahwa description di satu pihak berbeda dengan judgement di lain pihak. Dalam model ini antecendent (masukan) transaction (proses) dan outcomes (hasil) data di bandingkan tidak hanya untuk menentukan apakah ada perbedaan antara tujuan dengan keadaan yang sebenarnya, tetapi juga dibandingkan dengan standar yang absolut untuk menilai manfaat program. g. Model Context, Input, Process, Product (CIPP) Model Context, Input, Process, Product adalah model evaluasi untuk kepentingan evaluasi suatu program melalui informasi yang diperoleh dari keempat komponen yang terlibat di dalamnya. Dalam kegiatan evaluasi dengan menggunakan model CIPP terlibat tiga langkah utama, yaitu: (1) penggambaran/penguraian (delineating) yang fokus pada persyaratan-persyaratan informasi yang dibutuhkan oleh pengambil keputusan melalui tindakan-tindakan seperti penspesifikasian, pendefinisian, dan penjelasan; (2) pemerolehan (obtaining), yang merujuk pada pengumpulan, pengorganisasian, dan penganalisisan informasi dengan menggunakan informasi dengan meng gunakan prosedur teknis seperti pengukuran dan statistik; dan (3) penyediaan (providing), yang merujuk pada pemanduan informasi sehingga dapat secara optimal digunakan untuk tujuan evaluasi. Pendekatan CIPP ini didasarkan pada pandangan bahwa tujuan paling penting dalam evaluasi adalah bukan membuktikan tapi meningkatkan. Karena itu evaluasi CIPP menyediakan pelayanan “sambil jalan” untuk para pengambil keputusan dalam suatu lembaga sehingga dapat membantu dalam meningkatkan operasionalisasi lembaga yang bersangkutan. Evaluasi CIPP ini memiliki dua orientasi kegunaan, yaitu: untuk kepentingan (1) pengambilan keputusan, atau berorientasi formatif; dan (2) akuntabilitas, atau berorientasi sumatif. Orientasi formatif dapat diartikan untuk
Dr. R. Isnanta, M.Pd., Dr. Sapta Kunta Purnama, M.Pd.
mendapatkan umpan balik bagi usaha perbaikan kualitas program yang dilaksanakan, dalam hal ini yang dievaluasi adalah kesesuaian antara strategi dan metode dengan konsep yang dipakai. Menurut Djaali orientasi sumatif adalah evaluasi dari hasil yang dicapai setelah dilaksanakannya suatu program. Keempat komponen evaluasi yang terdapat di dalam model CIPP, masing-masing memiliki karakteristik kegunaannya berdasarkan dua jenis orientasi yang ada. Orientasi formatif pada keempat komponen evaluasi, masing-masing memiliki kegunaannya sendiri-sendiri, yaitu: (1) evaluasi konteks adalah membimbing ke arah pemeliharaan tujuan dan penetapan proses, (2) evaluasi input adalah membimbing pemilihan strategi program atau masukan dalam menspesifikasikan rancangan prosedural, (3) evaluasi proses adalah membimbing dalam implementasi kegiatan, dan (4) evaluasi hasil adalah membimbing dalam memutuskan apakah kegiatan perlu diakhiri, dilanjutkan, dimodifikasi atau ditetapkan. 2. Pembinaan Atlet Jangka Panjang Pembinaan prestasi jangka panjang dapat dilakukan dengan penerapan IPTEK. Secara umum biasanya direncanakan selama 10 tahun atau pembinaan 10.000 jam, hal ini disesuaikan dengan kebutuhan cabang olahraganya. Secara umum sesuai kebutuhan cabang olahraganya, dapat diklasifikasikan sebagai spesialisasi dini dan spesialisasi akhir. Model ini bersifat umum, untuk cabang olahraga yang khusus akan memerlukan penyesuaian tertentu. Banyak ahli yang telah melakukan penelitian tentang model pembinaan atlet jangka panjang tersebut. Model pembinaan jangka panjang dari Balyi yang banyak dipakai sebagai rujukan dari berbagai Negara maju dalam olahraga dapat dilihat pada gambar, sebagai berikut:
Gambar 1. LTAD Atlet dengan Cacat Bawaan dan Non Bawaan
Pada paralympian karena cacat bawaan, seperti cerebral palsy, sering disebut dengan istilah kongenital. Penyandang cacat kongenital melewati tahap LTAD
sama dengan mereka yang berbadan sehat (gambar 1), meskipun sifat kecacatan dapat mengubah periode usia dalam melewati satu tahap ke tahap berikutnya. Misalnya, orang-orang dengan gangguan intelektual mungkin mulai percepatan pertumbuhan remaja mereka lebih awal dari yang lain, tetapi mungkin memakan waktu lebih lama, sehingga keberadaan mereka di tahap train to train lebih lama dari rekan-rekan mereka. Situasi ini sedikit lebih kompleks bagi penyandang cacat yang non bawaan; bagi mereka, usia di mana mereka memperoleh kecacatan merupakan faktor yang penting untuk diperhatikan. Seseorang yang menjadi cacat sangat awal dalam hidup akan melewati sebagian tahapan LTAD sama dengan yang berbadan sehat. Seseorang yang memperoleh kecacatan di kemudian hari perlu mengulangi tahap awal LTAD menggunakan kemampuan tubuh baru berubah. Orang dalam kategori ini juga harus melewati dua sub tahap LTAD tambahan yaitu active start dan Fundamental. Tahap-tahap dalam LTAD dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Active Start, (Usia 0-6 tahun) Untuk mereka yang cacat bawaan, tahap active start adalah sama seperti pada atlet berbadan sehat. Tahap ini adalah waktu untuk belajar gerakan dasar manusia (dimodifikasi seperlunya untuk mengakomodasi kemampuan yang berbeda), untuk mengembangkan sikap positif terhadap aktivitas fisik, untuk membangun jaringan luas koneksi otak yang mengontrol gerakan, dan untuk mengembangkan kebiasaan aktif secara fisik. Ini juga merupakan waktu untuk mendukung anak-anak mandiri. Terlalu sering, orang tua melindungi anakanak cacat melalui kasih sayang berlebihan. Tanpa disadari sikap mereka sebetulnya juga mencegah anak mengembangkan keterampilan fisiknya. Untuk orang dengan kecacatan trauma non bawaan, tahap active start adalah tentang tindakan masa transisi dari perawatan medis untuk kembali menjadi aktif secara fisik. Ini adalah tentang belajar gerak dasar manusia dengan kapasitas fungsional dalam kondisi trauma, dan mengembangkan atau membangun kembali sikap positif terhadap aktivitas fisik b. Fundamental Stage, (Usia: Laki-laki 6-9/Perempuan 6-8 tahun) Mempelajari semua ketrampilan gerak dasar (lokomotor, manipulatif dan stabilitas); membangun keterampilan motorik keseluruhan. Ada tiga tahapan keterampilan Pengembangan gerak dasar: initial (2-3 tahun), elementary (4-5 tahun) dan mature (6-7 tahun). Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
|9
Pelaksanaan Program Indonesia Emas: Studi Evaluatif pada Paralympian Indonesia tahun 2013-2015
Pada fase “Fundamental” aktivitas latihan harus terstruktur dengan baik dan menyenangkan! Penekanannya adalah pada pengembangan keseluruhan kemampuan fisik pemain/atlet dan keterampilan gerakan dasar (model latihan “ABC” seperti teknik berlari, melompat dan melempar dalam atletik, kelincahan, keseimbangan, koordinasi dan kecepatan). Kecepatan, kekuatan dan daya tahan yang dikembangkan menggunakan permainan menyenangkan. Partisipasi dalam cabang olahraga dianjurkan sebanyak mungkin. Selama fase ini ‘periode kritis perkembangan kecepatan’ akan terjadi, yaitu: usia 6-8 untuk anak perempuan dan 7-9 untuk anak laki-laki. Aktivitas kecepatan arah yang lurus kedepan, menyamping dan bermacam arah harus dikembangkan dengan durasi harus kurang dari 5 detik. Aktivitas ini sering disebut ‘kelincahan, kecepatan, perubahan arah’. Yang perlu diperhatikan adalah “aktivitas menyenangkan” dan permainan harus digunakan untuk melatih kecepatan dan volume latihan harus rendah. Latihan kekuatan selama fase ini harus mencakup latihan menggunakan tubuh (berat badan) sendiri, bola medicine dan latihan bola Swiss. Anak-anak harus diperkenalkan dengan aturan sederhana dan etika olahraga. Periodisasi tidak ada, tapi semua program terstruktur dan dipantau. Jika anak-anak dan orang tua memiliki hobi olahraga, dianjurkan berpartisipasi sekali atau dua kali per minggu, namun partisipasi dalam olahraga lain tiga atau empat kali per minggu sangat penting untuk kebaikan di masa datang. Jika anak-anak kemudian memutuskan untuk meninggalkan dunia olahraga prestasi, keterampilan yang telah diperoleh selama fase Fundamental masih akan menguntungkan dalam kegiatan rekreasi, dan akan meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan mereka. c. Learning to Train, (Usia: 9-12 Laki-laki/8-11 tahun Perempuan) Mempelajari semua ketrampilan dasar olahraga (membangun keseluruhan keterampilan olahraga). Salah satu periode yang paling penting dari perkembangan motorik anak adalah antara usia sembilan sampai 12. Selama fase ini anak-anak siap untuk memperoleh keseluruhan landasan keterampilan olahraga secara umum (yang ada di atletik). Semua keterampilan gerakan dasar harus lebih dikembangkan dan keseluruhan keterampilan olahraga umum harus dipelajari selama fase ini. Jika keterampilan gerak dasar tidak dikembangkan antara 9-12 (laki-laki) dan usia 8-11 (perempuan), berarti
10 | Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
telah mengorbankan kemampuan pemain/atlet untuk mencapai potensinya atau telah menghilangkan kesempatan berprestasinya. Kekuatan dikembangkan dengan latihan bola medicine, bola Swiss dan berat badan sendiri serta latihan hopping-bounding (melompat, meloncat). Daya tahan dikembangkan dengan permainan dan relay. Dasar latihan fleksibilitas diperkenalkan selama fase ini, sementara kecepatan dapat dikembangkan lebih lanjut dengan kegiatan khusus (contoh: pemanasan, kecepatan, kelincahan, dan aktivitas multi arah). Kompetisi harus terstruktur dengan baik. Periodisasi tunggal adalah yang paling cocok untuk fase ini, namun untuk beberapa olahraga-kebutuhan khusus dapat dengan periodisasi ganda (misalnya: renang, tenis). Rasio 70:30 (latihan: kompetisi). d. Training to Train (Usia: Laki-laki 12-16/Perempuan 11-15) Membangun dasar aerobik, menjelang akhir fase membangun kekuatan dan mengembangkan keterampilan khusus dalam olahraga. Fase ini adalah ‘adaptasi untuk latihan aerobik dan kekuatan. Latihan aerobik harus diprioritaskan setelah puncak kecepatan tercapai, kemudian keterampilan, kecepatan dan kekuatan harus dipertahankan atau dikembangkan lebih lanjut. Penekanan khusus juga diperlukan untuk latihan fleksibilitas karena merupakan masa kritis pertumbuhan pada tulang, tendon, ligamen dan otot. Perlu dicatat bahwa dimulainya latihan aerobik dan kekuatan tergantung pada tingkat kematangan, sehingga penekanan latihan membutuhkan waktu yang berbeda. Sebaiknya dibuat berdasar pada usia kronologis (kelompok umur) dan bukan pada individu. Selama mengikuti pertandingan/lomba atlet berusaha menang dan melakukan yang terbaik, tetapi fokus utama adalah belajar dasar-dasar bersaing mengatasi lawan (melatih atlet dalam situasi mengikuti suatu pertandingan/lomba; hariannya). Selama fase “Learning to Train &Training to Train” merupakan tahap sangat penting dapat diartikan “kita menciptakan atau menghancurkan atlet” e. Training to Compete (Usia: Laki-laki 16-18/ Perempuan 15-17) Mengoptimalkan kebugaran dan keterampilan individu dalam persiapan optimalisasi penampilan bertanding/lomba. Lima puluh persen dari waktu yang tersedia dikhususkan untuk pengembangan keterampilan teknis dan taktis dan perbaikan kebugaran, dan lima puluh persen dikhususkan untuk berkompetisi.
Dr. R. Isnanta, M.Pd., Dr. Sapta Kunta Purnama, M.Pd.
f. Training to Win (Usia: Laki-laki +18/Perempuan +17) Memaksiimalkan kebugaran dan keterampilan individu yang spesifik untuk maksimal performance (prestasi). Ini adalah tahap akhir persiapan atlet. Semua kapasitas fisik, teknis, taktis, mental, bergeser ke arah kinerja maksimal. Atlet dilatih untuk mencapai puncak kompetisi utama. Pelatihan ditandai dengan intensitas tinggi dan volume relatif tinggi. g. Active for Live Mempertahankan atlet untuk menjadi pelatih, manajer, administrator atau official. Sebuah strategi yang baik diprerlukan agar peralihan pada karir yang baru setelah tidak menjadi atlet dan dapat terus berkarya di bidang olahraga.Fasilitasi bagi pengembangan karir diberikan sejalan juga dengan aktivitas fisik atlet yang ditujukan untuk rekreasi dan menjaga kebugaran serta kesehatan.
METODE DAN DESAIN PENELITIAN 1. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian evaluasi melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Penelitian evaluasi tidak dimaksudkan untuk membuktikan hipotesa tetapi dimaksudkan untuk memperbaiki program atau kebijakan yang dilakukan. Penelitian ini adalah penelitian evaluatif dengan menggunakan strategi penelitian deskriptif evaluatif. Pelaksanaan evaluasi dilaksanakan melalui pengumpulan data, analisis data dan interprestasi data. Teknik pengumpulan data melalui metode survey dan telaah dokumen. Instrumen penelitian terdiri dari angket, daftar cek, dan pedoman wawancara. Angket digunakan untuk mengumpulkan data dimensi input dan proses, daftar cek digunakan untuk mengumpulkan data dimensi produk dan semua variable yang fungsinya sebagai pelengkap untuk merekam data. Pedoman wawancara digunakan untuk mengumpulkan data dimensi produk Kontek, dan semua variable yang fungsinya sebagai pelengkap data penelitian. 2. Desain Penelitian Desain penelitian evaluasi program menggunakan model CIPP. Adapun alur dari model CIPP tersebut dapat di lihat pada gambar 2, di bawah ini:
Komponen
Tujuan
Analisis
Hasil Kesimpulan
Konteks
Evaluasi Jenis Program
Rekaman Kondisi Objektif
Input
Evaluasi Sumber daya Penunjang
Rekaman Dukungan Sumber Daya
Kesimpulan
Evaluasi Implementasi Program
Rekaman Implementasi Program
Kesimpulan
Evaluasi Implementasi Program
Rekaman Pencapaian Prestasi
Kesimpulan
Proses
Produk
Saran/ Rekomendasi
Gambar 2, Desain Evaluasi Model CIPP
HASIL PENELITIAN 1. Evaluasi Konteks a. PRIMA dipandang sebagai suatu kebijakan yang sangat tepat. Kebijakan yang memberi solusi untuk mengatasi rendahnya prastasi olahraga. b. Terdapat kesesuaian antara Visi, Misi, tujuan, dan Sasaran PRIMA. 2. Evaluasi Input Hasil pada dimensi input dapat dilihat pada tabel 1, berikut ini: Tabel 1. Hasil Analisis Data Setiap Aspek Pada Dimensi Input No
Aspek
Persentase
Kategori
1
Karakteristik Atlet
81%
Baik Sekali
2
Karakteristik Pelatih
80%
Baik
3
Pengorganisasian
86%
Baik Sekali
4
Dukungan Sarana dan Prasarana
80%
Baik
5
Dukungan Dana
75%
Baik
3. Evaluasi Proses Hasil pada dimensi proses dapat dilihat pada tabel 2, berikut ini: Tabel 2. Hasil Analisis Data Setiap Aspek Pada Dimensi Proses No
Aspek
Persentase
Kategori
1
Seleksi Paralympian dan Pelatih
80%
Baik
2
Program Latihan
87%
Baik Sekali
3
Dukungan Board and Loading
80%
Baik
4
Pembinaan Kehidupan Sosial
67%
Baik
4. Evaluasi Produk Evaluasi produk pertama. dijelaskan melalui Pencapaian Prestasi paralympian Indonesia pada Asean Paragames. Adapun hasil Asean Paragmes yang diikuti kontingen Indonesia adalah sebagai berikut:
Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
| 11
Pelaksanaan Program Indonesia Emas: Studi Evaluatif pada Paralympian Indonesia tahun 2013-2015
Evaluasi produk yang kedua, didapat melalui informasi dari hasil wawancara dengan pengurus, tim teknis, dan pelatih. Adapun pernyataan yang dikemukakan adalah sebagai berikut: “Ada program peningkatan kemampuan akademik atlet yang tetap berjalan” Pemberian penghargaan atlet dan pelatih sudah berjalan baik, saya rasakan lumayan” Ketercapaian indikator Kesejahteraan Paralympian dikuatkan dengan pernyataan dari para informan bahwa “Besarnya gaji dan bonus yang semakin tahun meningkat dan di APG Singapura kesetaraan terwujud dengan penerimaan bonus disamakan dengan Atlet Asean Games”
KESIMPULAN Berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan dengan menggunakan model konteks, input, proses dan produk terhadap PRIMA pada Paralympian Indonesia dapat ditarik kesimpulan, sebagai berikut: 1. Evaluasi Konteks a. PRIMA mempunyai kekuatan hukum yang kuat dan sah sesuai ketentuan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia; PRIMA meningkatkan prestasi Paralympian di tingkat Internasional, PRIMA menjadi tumpuan percepatan pencapaian prestasi olahraga pada Paralympian Indonesia. b. PRIMA memiliki konsistensi antara visi, misi dan tujuan PRIMA, selain itu selaras dengan visi pada pembinaan paralympian: terwujudnya kesetaraan dan keseimbangan pada pola pembinaan paralympian, yaitu berprestasi di tingkat Internasional. 2. Evaluasi Input a. Persentase indikator karakteristik atlet PRIMA sebesar 81%, adalah kategori sangat baik. Namun masih ada kekurangan yang belum terpenuhi pada karakteristik atlet PRIMA.
12 | Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
b. Persentase ketercapaian untuk aspek karakteristik pelatih sebesar 83%, adalah kategori balk sekali. Namun masih ada kekurangan yang belum terpenuhi pada karakteristik pelatih PRIMA pada paralympian Indonesia. c. Persentase ketercapaian untuk aspek karakteristik organisasi penyelenggara adalah 86%, adalah kategori baik sekali. Namun masih ada kekurangan dalam sistem pengorganisasian pada PRIMA yang harus diperbaiki. d. Persentase ketercapaian untuk aspek karakteristik dukungan sarana dan prasarana terhadap Program Indonesia Emas di paralympian Indonesia sebesar 80%, adalah kategori baik. Namun faktor tempat latihan, ketersediaan, jumlah, keterpakaian, dan pembangunan sarana dan prasarana belum sepenuhnya sesuai dengan tuntutan PRIMA, e. Persentase ketercapaian untuk aspek karakteristik pendanaan sebesar75%, adalah kategori baik. Namun masih ada sebagian dukungan dana yang belum terlaksana secara baik pada PRIMA paralympian Indonesia. 3. Evaluasi Proses a. Persentase ketercapaian untuk aspek penyeleksian atlet dan pelatih sebesar 79% adalah kategori baik. Namun faktor model seleksi, prosedur penseleksian, dan penyelenggara penseleksian belum sepenuhnya sesuai dengan tuntutan PRIMA. b. Persentase ketercapaian untuk aspek evaluasi latihan sebesar 78%, adalah kategori baik. Namun faktor model evaluasi, waktu pelaksanaan evaluasi, administrasi hasil evaluasi latihan, dan tindak lanjut hasil evaluasi belum sepenuhnya sesuai dengan tuntutan PRIMA. c. Persentase ketercapaian untuk aspek dukungan perlengkapan latihan dan pertandingan sebesar 81%, adalah kategori baik. Namun dukungan perlengkapan latihan dan pertandingan pada Program Indonesia Emas di paralympian indonesia belum terlaksana sebagaimana yang ditentukan dalam PRIMA. d. Persentase ketercapaian untuk aspek dukungan board and loading sebesar 80%, adalah kategori baik. Namun ketercapaian untuk aspek konsumsi, penginapan, penerangan kamar belum sepenuhnya terpenuhi sesuai PRIMA
Dr. R. Isnanta, M.Pd., Dr. Sapta Kunta Purnama, M.Pd.
4. Evaluasi Produk a. PRIMA mampu mencapai prestasi yang ditunjukkan melalui peningkatan perolehan medali di even Asean Paragames, Asian Games, dan Paralympic. b. Kesejahteraan Paralympian meningkat dan terwujud kesetaraan pada paralympian dengan atlet non difabel.
SARAN Berdasarkan kesimpulan penelitian yang telah dikemukakan diatas, disarankan sebagai berikut: 1. Menyempurnakan kekurangan yang belum terpenuhi pada karakteristik paralympian. 2. Menyempurnakan kekurangan yang belum terpenuhi pada karakteristik pelatih paralympian. 3. Menyempurnakan sistem pengorganisasian pada PRIMA. 4. Meningkatkan dukungan sarana dan prasarana PRIMA, 5. Meningkatkan percepatan proses pencairan dukungan dana pada PRIMA. 6. Menyempurnakan model seleksi, prosedur penseleksian, dan penyelenggara penseleksian sesuai dengan tuntutan PRIMA. 7. Melaksanakan evaluasi, mengadministrasikan hasil evaluasi latihan, dan tindak lanjut hasil evaluasi sesuai dengan tuntutan PRIMA. 8. Meningkatkan fasilitasi dukungan perlengkapan latihan dan pertandingan. 9. Meningkatkan pelayanan dukungan board and loading
DAFTAR PUSTAKA Balyi, Istvan, Richard Way and Collin Higgs. Long-Term Athlete Development (Champaign, United States: Human Kinetics Publishers, 2013). Brinkerhoff dan Rober O, Program Evaluation A Source Book. (Boston: Kluwin-Nyo Publi 1983). Djaali dan Pudji Muljono. Pengukuran dalam Bidang Pendidikan. (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. 2008). Farida Yusuf Tayibnapis. Evaluasi Program dan Instrument Evaluasi untuk Program Pendidikan dan Penelitian. (Jakarta: Rineka Cipta 2002). Farida Yusuf Tayibnapis.. Evaluasi Program. (Jakarta: PT Rineka Cipta. 2000). James C. McDavid and Laura R.L. Hawthorn, Program Evaluation and Performance Measurement: An Introduction to Practice, (London: Sage Publication,Ltd,2006). Jhon M. Owen, Program Evaluation Forms and Approache, (Crows Nets NSW: Allen and UNwin,2006). Kaufman R. and S Thomas.. Evaluation Without Fear. A Division of Franklin Watts (New York: London: New Wiewpoints. 1980). Kirkpatrick, Donald L. Evaluating Training Programs: The Four Levels, London: Berrett-Koehler Publishers, 1998). Madaus George F, Michael S. Scriven and Daniel L. Stufflebeam Evaluation Model Viewpoint on Educational and Human Service Evaluation. (Boston: Kluwer-Nijhoff Publishing. 1993). Sanjaya, Wina. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. (Jakarta: Prenada media Group. 2008). Stufflebeam, Daniel L., Chris L. S. Coryn.. Evaluation, Theory, Models, & Application. (San Francisco: Jossey-Bass A Wiley Brand 2014). Suharsimi Arikunto, Cepi Safruddin Abdul Jabbar, Evaluasi Program Pendidikan (Jakarta, Bumi Aksara, 2009).
Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
| 13
PREVALENSI CIDERA OLAHRAGA PADA ATLET BADMINTON USIA ANAK DAN REMAJA, SEBAGAI BENTUK EVALUASI PROGRAM LATIHAN 1Kusuma,
MNH., 2Skujat, K, 3Wurstof,M, 3Dreissigler, T, 3Kopmann, P
1Department
of Medicine, Faculty of Medicine and Health Sciences, University of Jenderal Soedirman, Indonesia of Sports Biomechanics, Faculty of Sports Science, University of Leipzig, Germany 3Department of Sports Orthopedic, Faculty of Sports Medicine, University of Leipzig, Germany
2Department
ABSTRAK Bulutangkis merupakan salah satu cabang olahraga permainan yang memiliki karakteristik gerakan yang bersifat explosiv, cepat dan menuntut terjadinya kontraksi terus menerus khususnya pada otot di persendian bahu, pinggang, lutut sampai dengan persendian ankle dan kaki (Jorgensen et al, 2010). Karaktersiktik gerakan seperti itu yang menjadikan badminton merupakan salah satu cabang olahraga yang memiliki jumlah insedensi cedera yang cukup tinggi. Meningkatnya jumlah atlet badminton yang mengalami permasalahan dengan cedera/drop-out pada usia anak-anak dan remaja, ditambah dengan minimnya pengetahuan tentang pola penatalaksanaan pencegahan dan perawatan cedera yang dimiliki pelatih, menjadikan faktor ini tergolong sebagai salah satu penyebab ketidakberhasilan program pembinaan jangka panjang bagi para atlet pemula (Kusuma et al, 2012). 186 atlet di University Sport-Club usia 10-17 tahun diperiksa dan diukur tingkat ruang gerak persendian (ROM) menggunakan metode visual analog scale (VAS), identifikasi sifat dan tingkat cedera dengan menggunakan Badminton Injury Questionnaire (BIQ), serta dicatat juga tinggi dan berat badan, usia latihan, frekuensi latihan, jenis cedera, lokasi terjadi, penyebab, frekuensi kejadian, keparahan cedera, jenis pengobatan, biaya pengobatan, dan lama pemulihan cedera. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui insidensi jenis cedera olahraga pada pemain bulutangkis usia anak-anak dan remaja, penyebab serta memberikan evaluasi beban latihan sekaligus rekomendasi kepada pelatih tentang pola penatalaksanaan cedera olaharga yang benar. Kata Kunci: Cedera, Olahraga, Bulutangkis, Anak, Remaja, Atlet
LATAR BELAKANG
pada saat masuk ke fase usia senior nanti bisa didapatkan prestasi yang optimal. Pemberian program latihan pada fase usia dini tentu tidak mudah. Selain harus memahami proses perkembangan dan pertumbuhan anak, program latihan yang diberikan juga harus berdasarkan prinsip multilateral training, dimana anak-anak dianjurkan untuk melakukan seluruh aktivitas gerakan mulai dari lari, lompat, lempar dsb dan tidak boleh diberikan program latihan yang sudah bersifat khusus atau spesifik terlalu dini. Semakin banyak gerakan yang dilakukan, semakin banyak pula organ tubuh, otot dan kinerja fungsi fisiologi yang terlibat, sehingga akan membuat tubuh semakin kuat dan memiliki kemampuan adapatasi lebih baik (Fröhner et al, 1999). Selain itu, pemberian latihan yang bersifat spesifik dan monoton saja, justru akan menghambat perkembangan dan pertumbuhan bakat anak (Bompa et al, 1994). Hal ini disebabkan karena gerak yang mononton tidak mampu memberikan rangsangan kepada anak untuk belajar dan tidak pula mendapatkan bermacam-macam pengalaman gerak baru, sehingga ketrampilan dalam melakuka gerakan akan terbatas. Oleh sebab itu, program pembinaan untuk anak usia dini inilah yang perlu mendapatkan perhatian yang intensif agar angka residensi cedera pada anakanak bisa dikurangi.
Bulutangkis merupakan salah satu cabang olaharga yang banyak dimainkan oleh hampir sekitar 150 juta orang diseluruh dunia dari segala usia dan tingkatan. Bulutangkis dianggap sebagai cabang olahraga yang aman karena tidak terjadi kontak fisik (body contact), dibandingkan dengan cabang olahraga lainnya (Jørgensen et al, 1996). Selain itu bulutungkis juga bisa bersifat rekreatif, dimana masyarakat luas bisa melakukan olahraga ini tanpa harus terbebani target apapun selain hanya untuk bersenang-senang baik dengan keluarga ataupun kawan sebagai salah satu cara untuk berekreasi (Kusuma et al, 2012). Beberapa studi di eropa telah menunjukkan bahwa bulutangkis merupakan salah satu cabang olahraga pilihan favorit kedua setelah sepak bola, begitu juga di kawasan Asia, dimana bulutangkis bahkan merupakan cabang olahraga terpopular, sehingga tidak mengherankan banyak pemain-pemain tingkat dunia yang berasal dari benua Asia (Richardson, 2001). Untuk mencapai prestasi yang maksimal dalam bulutangkis, pembinaan harus dimulai sejak usia dini, dimana atlet yang memiliki bakat mulai diperkenalkan dengan bulutangkis serta terus menerus dilakukan pembinaan secara berkelanjutan, sehingga harapannya 14
Kusuma, MNH., Skujat, K, Wurstof,M, Dreissigler, T, Kopmann, P
Dalam permainan bulutangkis, sangat diperlukan kondisi fisik yang baik agar mampu melakukan gerakangerakan seperti melompat, bergerak serta melakukan perubahan arah gerakan dengan cepat, memukul dengan kuat dan cepat secara terus menerus serta kelincahan dan kelentukan yang prima. Beberapa tuntutan gerakan tersebut tentunya juga beresiko mengakibatkan cedera olahraga apabila pada pelaksanaannya tidak memahami prinsip gerakan dasar dengan baik dan tidak memiliki kondisi fisik yang cukup. Cedera olahraga bisa terjadi karena kurangnya persiapan pada fase persiapan (warmup), kontrol program latihan (volume, intensitas, frekuensi, istirahat) yang diberikan, serta tidak adanya analisa teknik gerakan yang aman dan benar dari cabang olahraga tersebut (Fahlström et al, 2002). Dalam proses pembinaan atlet jangka panjang, ketidakberhasilan dalam pencapaian prestasi ditentukan dari beberapa faktor salah satunya adalah terjadinya cedera olahraga pada atlet tersebut (Ticker et al, 1995). Jumlah atlet junior yang mengalami drop-out dikarenakan mengalami cedera selama pembinaan sebelum mencapai prestasi maksimal di usia senior sebesar 71% dan hanya sekitar 10% dari jumlah keseluruhan atlet remaja yang meraih prestasi maksimal di usia senior (Fröhner, 1996). Prevalensi cedera olahraga pada atlet usia remaja dari tahun ke tahun pun terus mengalami peningkatan dan jenis cedera olahraganya pun semakin beragam. Hal ini yang dimungkinkan menjadi salah satu faktor penyebab ketidakberhasilan atlet dalam meraih prestasi. Informasi mengenai cedera olahraga yang sering terjadi pada cabang bulutangkis sampai dengan saat ini masih jarang dilakukan sehingga informasi lengkap mengenai macammacam cedera dan penyebanya masih minim. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa cedera yang terjadi pada bulutangkis dari tahun ke tahun, sebesar 19-32% dominan terletak pada persendian ekstrimitas atas khususnya pada persendian bahu dan 72% dari cedera tersebut dikategorikan sebagai cedera akut dan rata-rata memerlukan waktu yang lama untuk proses penyembuhannya sehingga juga akan menganggu aktivitas sehari-hari (Hensley et al, 1999). Hal ini dimungkinkan karena dominasi gerakan pada bulutangkis terletak di persendian bahu serta penggunaan tenaga yang berlebihan yang tidak diimbangi dengan kondisi fisik dan teknik yang bagus sehingga mengalami over-shoulder-movement (Peers et al, 2005).
METODE PENELITIAN Pemeriksaan dilakukan di Klinik Sportmedizinische leistungsdiagnostik, University of Leipzig diawali dengan pemeriksaan status kesehatan orthopedic di persendian dimulai dengan mengukur tingkat ruang
gerak persendian (ROM) pada 186 pemain bulutangkis laki-laki dan perempuan yang terdaftar sebagai atlet pada University Sport-Club yang memiliki usia antara 10 sampai 17 tahun dengan frekuensi latihan 3 kali per minggu. Selain itu, pemeriksaan lain yang dilakukan adalah terkait dengan stabilitas kekuatan otot (muscular balances) yang didasarkan pada skala ketimpangan/ defisit dari kekuatan otot (lack of muscle strength). 30 pemain di drop-out karena memenuhi kriteria eksklusi. Klasifikasi ruang gerak persendian menggunakan metode visual analog scale (VAS) dengan skala nyeri 100mm. Klasifikasi sifat dan tingkat cedera diukur menggunakan Badminton Injury Questionnaire (BIQ) yang kemudian diisi sekaligus dilakukan pencatatan terkait dengan jenis cedera seperti blisters, cramps, bruises, sprains and ligament injuries, muscle strains, tendonitis and tendon injuries, bursitis, cartilage injuries, fractures, pinched nerve, lacerations. Selain jenis dan tingkat cedera BIQ juga dicatat tinggi dan berat badan, lama tahun bermain bulu tangkis, frekuensi latihan, serta jenis cedera, lokasi terjadi, penyebab, frekuensi kejadian, dan keparahan cedera, jenis pengobatan, biaya pengobatan, dan lama pemulihan cedera.
HASIL DAN DISKUSI Pada atlet putra, rata-rata prosentase insedensi nyeri pada persendian lutut sebesar 34% (p=0.0001), pinggang dan tulang belakang 19% (p=0.0001), bahu dan pergelangan tangan 14% (p=0.0001) dan sisanya pada ankle kaki, tendon Achilles, serta siku. Sedangkan untuk atlet putri 31% (p=0.0001) pada pinggang dan tulang belakang, 22% (p=0.0001) pada persendian lutut, 13% (p=0.0001) pada ankle kaki dan sisanya pada siku, bahu, tendon Achilles. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam prevalensi cedera antara atlet pria dan wanita. Sebagian besar cedera dimulai dari rasa nyeri pada persendian bahu atau pinggang, selanjutnya terjadi perubahan kebiasaan pada proses latihan dan kompetisi, serta pada akhirnya berdampak pada penurunan ruang gerak persendian yang mengganggu aktivitas seharihari bahkan berpengaruh pada kualitas tidur dan kualitas hidup sehari-hari termasuk kualitas belajar. Hasil evaluasi program dan volume beban latihan didapatkan bahwa 64% program yang diberikan menekankan pada program latihan teknik spesifik, dan hanya 21% dari total volume latihan adalah latihan conditioning, sedangkan sisanya adalah bentuk latihan kompetisi. Hal ini tentu sangat beresiko karena pada atlet usia remaja kondisi fisik dan komponen biomotorik lainnya belum cukup kuat untuk diberikan bentuk latihan spesifik, sehingga kemungkinan terjadinya cidera akan besar karena beban latihan yang tidak seimbang. Hal ini juga tidak sesuai dengan prinsip multilateral training Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
| 15
Prevalensi Cidera Olahraga Pada Atlet Badminton Usia Anak dan Remaja, Sebagai Bentuk Evaluasi Program Latihan
yang menekankan bahwa pada pembinaan atlet remaja harus lebih mengutamakan pembentukan kemampuan umum komponen biomotorik dasar seperti kekuatan, kecepatan, daya tahan, flexibilitas dan koordinasi dengan pemberian beban dan intensitas latihan ringan dengan menggunakan metode intermuskular exercises dan menghindari bentuk latihan yang bersifat spesifik (Peers et al, 2005). Selain itu, pemberian latihan fleksibilitas dengan metode Proprioceptife Neuromuscular Fasilitation (PNF) juga terbukti lebih efektif dalam meningkatkan kekuatan, stabilitas, fleksibiltas serta mengurangi ketidakseimbangan kekuatan pada otot dan sendi (defisit of strength) dibandingkan dengan bentuk latihan kekuatan dan fleksibiltas secara terpisah (Pieper et al, 2000). Pemberian latihan PNF ini bisa diberikan dalam satu sesi latihan dengan latihan yang lain atau diberikan secara terpisah. Meskipun pemberian program latihan pada atlet remaja sangat perlu diperhatikan agar insedensi cidera olahraga bisa dikurangi, pengetahuan terkait dengan penatalaksanaan cidera olahraga juga diperlukan agar dalam menangani cidera bisa dilakukan dengan standar yang benar sehingga atlet bisa segera pulih dari cidera dengan kondisi yang bugar dan tidak mengalami penurunan kualitas gerakan karena proses penanganan cidera yang tidak benar dan proses penyembuhan yang tidak sempurna.
KESIMPULAN Bentuk latihan untuk anak dan remaja sangat direkomendasikan tidak bersifat spesifik dan terpisahpisah, melainkan bisa dengan menggunakan metode circuit training, dimana dalam sekali sesi latihan bisa terdiri dari beberapa bentuk latihan serta berpedoman pada prinsip multilateral. Selain itu fase persiapan latihan (warm-up) dan pendinginan (cooling-down) juga sangat perlu untuk diperhatikan. Persiapan latihan yang biasanya terdiri dari peregangan (stretching) bertujuan untuk meningkatkan suhu tubuh, memperlancar aliran darah melalui otot-otot aktif, meningkatkan detak jantung sehingga dapat mempersiapkan kerja sistem jantung dan pembuluh darah (cardiovaskular), meningkatkan efisiensi dalam proses reciprocal innervation, sehingga memudahkan otot-otot berkontraksi dan rileks secara lebih cepat dan efisien serta mengurangi adanya ketegangan pada otot (Fröhner et al, 1999). Selain itu pendinginan (cooling-down) setelah berolahraga juga memiliki fungsi membantu denyut jantung dan pernapasan secara bertahap kembali normal, membuang produk sisa seperti asam laktat yang dapat menumpuk di otot saat melakukan aktivitas berat serta menyiapkan otot untuk sesi latihan berikutnya (Bompa et al, 1994).
16 | Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
DAFTAR PUSTAKA
Bompa, Tudor. (1994). Theory and Metodology of Training. Iowa: Kendall Hunt Publishing Company. Fahlström M, Lorentzon R, Alfredson H. Painful conditions in the Achilles tendon region-a common problem in middle-aged competitive badminton players. Knee Surg Sports Traumatol Arthrosc 2002a: 10(1): 57-60. Fahlström M, Lorentzon R, Alfredson H. Painful conditions in the Achilles tendon region in elite badminton players. Am J Sports Med 2002b: 30(1):51-54 Fröhner, B., Zimmermann, B. & Kügler, B. (1999). Untersuchungen zum Ausbildungsstand allgemeiner und spezieller Leistungsvoraussetzungen im Nachwuchstraining. Ergebnisbericht. Leipzig: IAT. Fröhner, G. & Wagner, K. (1996). Anwendungsorientierungen der Anthropometrie in der Betreuung von Sportlern. Leistungssport, 26(2), 12-16. Fröhner, G., Mainka, E., Simon, C. & Wagner, K. (1999). Zustand der Belastbarkeit von Nachwuchssportlern der Spielsportarten und Schlussfolgerungen für die Prävention. Z. Angewandte Trainingswissenschaft, 6(2), 44-68 Hensley LD, Paup DC. A survey of badminton injuries. Br J Sports Med 1999: 13(4): 156-160. Jorgensen, U. & Winge, S. (2010). Epidemiology of badminton injuries. Int. J. Sports Med. 8(6), 379382 Jorgensen, U., Richards, D. P., Ajemian, S. V., Wiley, J. P. & Zernicke, R. F. (1996). Knee joint dynamics predict patellar tendinitis in elite badminton players. Am. J. Sports Med., 24(5), 676-683. Kusuma, MNH., Skujat, K., Bauer, S. (2012). Sportmedizinische Ratschläge für die Belastbarkeitssicherung im Nachwuchsleistungssport. J. Sports Med. 12(7), 231-249 Peers KH, Lysens RJ. Patellar tendinopathy in athletes: current diagnostic and therapeutic recommendations. Sports Med 2005; 35:71-87 Pieper HG, Quack G, Krahl H. Impingement of the rotator cuff in athletes caused by instability of the shoulder joint. Knee Surg Sports Traumatol Arthrosc 2000: 1(2): 97-99 Richardson, U., Fahlström M, Björnstig U, Lorentzon R. Acute Achilles tendon rupture in badminton players. Am J Sports Med 2001; 26:467-70 Ticker JB, Fealy S, Fu FH. Instability and impingement in the athlete’s shoulder. Sports Med 1995: 19(6): 418-426.
EFEKTIVITAS PELATIHAN PROPRIOSEPTIF DALAM MENCEGAH PERGELANGAN KAKI TERKILIR`/ANKLE SPINTPADA POPULASI OLAHRAGA: SEBUAH TINJAUAN SISTEMATIS DAN META-ANALISIS GABRIELLA SOPHIE SCHIFTAN, LAUREN ASHLEIGH ROSS, ANDREW JOHN HAHNE Oleh: dr. Eka Poedjihartanto P.,Sp.KFR. Wakil Ketua Sport Science Bidang Kesehatan KONI Pusat
ABSTRAK Tujuan: Untuk merangkum secara sistematis mengenai bukti tentang efektivitas pelatihan proprioseptif danmengurangi tingkat kejadian dan kekambuhan dari keseleo pergelangan kaki pada populasi olahraga. Desain: Sebuah tinjauan sistematis dan meta-analisis dari uji coba terkontrol secara acak. Metode: Sebuah pencarian literatur berbasis komputer dari MEDLINE, EMBASE, CINAHL, SPORTDiscus dan PEDro (untuk Oktober 2013) dilakukan. kualitas metodologi studi individu dinilai menggunakan Pedro skala. Metaanalisis dilakukan pada studi yang memenuhi syarat untuk menghasilkan perkiraan yang dikumpulkan dari intervensi efektivitas. Hasil: Uji coba tujuh percobaan mulai dari”moderate “ hingga “good”quality terkontrol secara acak yang melibatkan 3726 peserta. Hasil meta-analisis menggabungkan semua peserta, terlepas dari status sejarah cedera pergelangan kaki, mengungkapkan penurunan yang signifikan dari kejadian keseleo pergelangan kaki saat pelatihan proprioseptif dilakukan dibandingkan dengan berbagai intervensi kontrol (risiko relatif = 0,65, 95% CI 0,55-0,77). Hasil mendukung intervensi tetap signifikan bagi peserta dengan riwayat keseleo pergelangan kaki (relatif risiko = 0,64,95% CI 0,51-0,81). Hasil mencari secara eksklusif di pencegahan primer pada mereka tanpa sejarah juga signifikan secara statistik (risiko relatif = 0,57, 95% CI 0,34-0,97), Meskipun mendapatkan efek itu diperoleh dari dua percobaan non-signifikan. Kesimpulan: program pelatihan proprioseptif yang efektif dapat mengurangi tingkat keseleo pergelangan kaki peserta saat melakukan olahraga, terutama mereka yang memiliki riwayat dari keseleo pergelangan kaki. Bukti saat ini tetap belum meyakinkandapat memberikan manfaat untuk pencegahan primer dari keseleo pergelangan kaki.
PENDAHULUAN
atletik, Sementara tap-ing perlu kerampilan untuk menerapkannya, sesuai dengan aktivitas, dan dapat menimbulkan iritasi kulit. Latihan mungkin menghindari Kerugian, meskipun kepatuhan adalahpembatas melakukannya. Atlet juga mungkin memilih untuk memanfaatkan beberapa langkah-langkah pencegahan diskonjungsi, seperti merekam dan program latihan.
Keseleo pergelangan kakiyang berhubungan dengan olahraga paling sering terjadi. Mereka yang berolahraga banyak melakukan kegiatan melompat, perubahan arah dan berputar seperti basket, sepak bola, sepak bola, bola tangan, netball, dan bola voli. Keseleo pergelangan kaki sering mengakibatkan rasa sakit, cacat, disfungsi, menimbulkan kehilangan waktu kegiatan,harus berobat, dan beban ekonomi. Selanjutnya, atlet yang keseleo pergelangan kaki juga rentan terhadap reinjure pergelangan kaki yang sama, keseleo pergelangan kaki yang terus-menerus terjadi umumnya mengarah kepada kelemahan dan ketidakstabilan yang berkelanjutan.
Latihan Proprioseptif adalah proses neuromuskuler kompleks yang dilakukan pada kesadaran kinestetik posisi internal tubuh dan gerakan. Itu sangat bergantung pada ketepatan sinyalaferen dan efferent dan memainkan peran penting dalam stabilitas sendi dan pelatihan pencegahan cedera. Proprioseptifmelibatkan latihan untuk menantang kemampuan sendi yang ditargetkan untuk mendeteksi dan bereaksi padamasukan afferent sesuai posisi. Contoh latihan proprioseptif bersama meliputibalancing pada papan goyangan atau ankledisc, melempar dan menangkap atau dribbling bola sementara di posisi singleleg, atau menyeimbangkan dengan mata tertutup. Ada bukti yang menunjukkan bahwa risiko
Intervensi kronis populeruntuk mencegah keseleo pergelangan kaki termasuk tape, kawat pergelangan kaki, penguatan otot evertor dan latihan proprioseptif. Kawat dan tape telah terbukti metode pencegahan yang efektif terhadap keseleo pergelangan kaki. Namun, mereka memiliki kerugian. Sebagai contoh, ada beberapa kawat yang terbukti dapat menghalangi unsur kinerja 17
Efektivitas Pelatihan Proprioseptif Dalam Mencegah Pergelangan Kaki Terkilir`/Ankle SpintPada Populasi Olahraga: Sebuah Tinjauan...
seseorang menderita keseleo pergelangan kaki adalah dua kali lipat pada tahun berikutnya awal cedera. Hal ini berteori bahwa gangguanproprioseptif pada terluka yang sama memicu itu untuk kembali mengalami cedera. Pelatihan proprioseptif bertujuan untuk meningkatkan kemampuan inisistem neuromuskuler untuk mencegah cedera pergelangan kaki primer dan sekunder. Beberapa tinjauan sistematis telah meng eksplorasi efektivitasprogram latihan untuk pencegahan dan manajemen komponen keseleo padapergelangan kaki. Program latihan inimeliputi pelatihan pro prioseptif, penguatan,kelincahan, plyometrics, latihan olahraga yang spesifik atau kombinasibeberapa komponen (dengan kemudian sering disebut pelatihan neuromuskuler). Sementara kebanyakan ulasan yang ada telah menyimpulkan bahwaprogram latihan mengurangi cedera keseleo pergelangan kaki,tidak ada ulasan yang secara eksklusif mengenai efek proprioseptifpelatihan sendiri tanpa penambahan co-intervensi seperti dengan penguatan, plyometrics atau pelatihan kelincahan. Ada hipotesisbahwa latihan proprioseptif mungkin menjadi komponen yang paling penting dalam program rehabilitasi pergelangan kaki, tetapi sampai saat iniefek terisolasi dari pelatihan proprioseptif belum dievaluasi dan ditinjau secara sistematis. Tujuan dari tinjauan sistematis ini adalah untuk mengetahuiapakah pelatihan proprioseptif adalah satu-satunya intervensi yang efektifuntuk mengurangi kejadian atau kekambuhan tingkat keseleo pergelangan kakipada populasi olahraga.
METODE Tinjauan sistematis dilakukan dengan menggunakan guideline dari laporan yang dinginkan untuk membuat ulasan yang sistematik dan Meta-Analisis (PRISMA) Dan Cochrane handbook. Persetujuan Etika tidak diperlukan untuk pencarian tinjauan. Pencarian secara literatur dengan komputer dilakukan pada oktober 2013 menggunakan MEDLINE, EMBASE, CINAHL ini SPORTDiscus dan Bukti Fisioterapi Database (Pedro).Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi pelatihan proprioseptif program untuk sendi pergelangan kaki pada populasi olahraga. Penelitian untuk MEDLINE disajikan di Berkas Tambahan. Filter dilakukan untuk membatasi hasil kepada peserta manusia dan studi pub-diterbitkan dalam bahasa Inggris. Tidak ada batasan yang dikenakan pada tanggal publikasi. Selain itu, daftar referensi dari semua pub-lications yang dipilih dan ulasan relevan sistematis disaring untuk mendapatkan kembali studi tambahan. Sebagai terminologi untuk keseimbangan,
18 | Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
proprioseptif dan pelatihan neuromuskuler sering digunakan bergantian. Kami mencari semua kata tetapi hanya yang meliputi studi yang difokuskan untuk pelatihan proprioseptif (latihan untuk menantang deteksi dan pemeliharaan posisi sendi pergelangan kaki) tanpa penambahan intervensi seperti latihan penguatan otot. Studi dimasukkan jika mereka memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) desain penelitian adalah moderatke-tinggi berkualitas acak con-dikendalikan percobaan dengan skor Pedro minimal 4/10. (2) peserta terlibat dalam rekreasi atau olahraga profesional, dengan atau tanpariwayat keseleo pergelangan kaki, (3) kelompok intervensi menerima program pelatihan proprioseptif eksklusif tanpa tambahan intervensi lain dan dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak melakukan pelatihan proprioseptif dan (4) menilai kejadian atau kekambuhan keseleo pergelangan kaki nantinya dilaporkan sebagai hasil pengukuran. Pencarian disimpan dan diatur dengan menggunakan perangkat lunak EndNote X6computer (Thomson Reuters). Duplikat dihilangkan dan dua penulis (GSS & AJH) secara independen membuat ulasan untuk kelayakan berdasarkan judul dan abstrak. Studi dianggap memenuhi syarat oleh setidaknya satu resensi kemudian dinilai secara dependen oleh kedua pengulas untuk kelayakan berdasarkan fulltext tersebut. Apa saja perbedaan pendapat itu harus diselesaikan melalui konsensus oleh penulis ketiga (LAR), namun, ini tidak dibutuhkan. Metodologi dari studi termasuk yang dinilai menggunakan Fisioterapi Bukti Database (Pedro). Skala ini digunakan untuk studi tingkat 0-10 sesuai dengan 10 kriteria methodologi-cal (Supplemental Berkas 2). Alat penilaian ini dipilih karena telah terbukti memberikan kehandalan yang cukup dan validitas untuk digunakan dalam tinjauan sistematis fisioterapi terkait skala RCTs.Skala ini diterapkan secara independen oleh dua ulasan (GSS & AJH), Dengan perbedaan dalam sebuah artikel yang ditugaskandan nilainya terselesaikan oleh konsensus. Untuk ulasan ini, tidak seperti peseta, terapis atau penilai tidak boleh intervensi; Oleh karena itu, skor diperkirakan maksimal 7. Dengan cara ini, studi yang mencetak 6 atau 7 dianggap dari ‘excellent’quality, mereka mencetak 5 dianggap’ good’quality dan nilai of4 dirasakan menjadi’ moderate ‘quality. Studi mencetak kurang dari itu dianggap dari ‘poor’ quality dan dikeluarkan dari penelitian. Dua ulasan (GSS & LAR) data yang diambil secara independen dari setiap studi. Data yang diambil termasuk jumlah peserta, sifat, frekuensi dan durasi intervensi yang diterima, rincian dari kelompok kontrol, periode
dr. Eka Poedjihartanto P.,Sp.KFR.
tindak lanjut dan tingkat kejadian dari cedera keseleo pergelangan kaki, risiko relatif (RR) dan jumlah yang diperlukan untuk mengobati (NNT) dihitung dengan menggunakan Pedro confidence interval kalkulator (www.pedro.org.au). Data dinilai heterogenitas untuk, yang dianggap mungkin jika p-valuesof <0,1 diperoleh pada X2test, atau jika I2statistic adalah> 25%. Percobaan yang dianggap statistik homogen apabila mengalami meta-analisis. Meta-analisis yang dilakukan RevMan 5.2 menggunakan model random-efek. Juga direncanakan untuk melakukan analisis pra-subkelompok yang ditentukandan dibagi berdasarkan efek, menjadi peserta dengan riwayat keseleo pergelangan kaki and mereka tanpa sejarah. Data tambahan dicari oleh penulis studi yang memenuhi syarat untuk tujuan ini jika itu tidak tersedia dalam artikel ini.
HASIL Pencarian elektronik basis data menghasilkan 345 studi setelah dihapus dari duplikat (Gambar. 1). Delapan belas artikel menjalani full-textreview. Sebelas dari studi ini dikeluarkan untuk alasan tindakan: mereka tidak selesai melakukan kontrol acak, pelatihan proprioseptif diberikan terdapat intervensi tambahan (misalnya penguatan) tetapi kelompok kontrol juga menerima latihan proprioseptif, atau studi yang nilainya kurang dari 4/10 dari Skala Pedro.Tujuh studi sisanya(melibatkan total 3726 peserta) untuk dimasukkan penulis dalam finalanalisis.Satu memberikan data tambahan untuk tujuan dari analisis. Karateristik subkelompok dari studi yang direncanakan termasuk skornya disajikan dalam Tabel 1. Nilai Pedro dari studiberkisar dari 4 sampai 7, Dengan skor rata-rata 5,4/10 (lihat Tambahan Berkas 2 untuk skor individual). Menggunakan Pedro sistem skor gradasi kami, tiga artikel dipertimbangkan untuk menjadi “excellent” quality (mencetak 6 atau 7). 2 dianggap “good‘quality(mencetak 5) dan dua yang dinilai dengan ”moderate“quality (skor 4). Pada tujuhpercobaan ditemukan secara statistik homogen, memungkinkan untuk meta-analisis yang akan dilakukan. Hasil meta-analisis menunjukkan penurunan signifikan secara statistik pada keselo pergelangan kaki yang mendukung kelompok pelatihan proprioseptif (7 percobaan, RR = 0,65, 95% CI 0,55-0,77) (Gambar 2-. atas). Hal ini merupakan angka diperlukan untuk mengobati (NNT) dari 17 (95% CI 33-11), menunjukkan that17 atlet perlu melakukan pelatihan proprioseptif inorder untuk satu keseleo pergelangan kaki harus dicegah. Perbandingan Intervens termasuk perawatan/pemanasan Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
| 19
Efektivitas Pelatihan Proprioseptif Dalam Mencegah Pergelangan Kaki Terkilir`/Ankle SpintPada Populasi Olahraga: Sebuah Tinjauan...
rutin, latihan kekuatan dan orthosis. Ketika hasilnya dibagi untuk melihat efek pencegahan sekunderpelatihan proprioseptif pada mereka yang secara ekslusif memiliki riwayat keseleo pergelangan kaki, hasilnya sama-sama mendukung intervensi (4 percobaan, RR = 0,64, 95% CI 0,51-0,81;NNT = 13,95% CI100-7).
HASIL DISKUSI Seluruh dari ulasan sistematis dan meta-analisis ini mengindikasikanbahwa ketika mempertimbangkan semua peserta olahraga, terlepas dari status sejarah cedera pergelangan kaki, ada efek pencegahan dari pelatihan proprioseptif pada keseleo pergelangan kaki (Gambar 2-. atas). Nilai-nilai NNT dari 17 (95% CI 33-11) untuk semua peserta dan 13 (95% CI 100-7). Bagi mereka dengan riwayat keseleo pergelangan kaki muncul CliniCally yang relevan, yang bersamaan dengan sekitar satu keseleo pada pergelangan dapat dicegah tiap tim olahraga dengan pelatihan proprioseptif.Analisis sub-kelompok mengungkapkan bahwa pelatihan proprioseptif program itu efektif sebagai bentuk pencegahan sekunder untuk mengurangi tingkat kejadian dari keseleo pergelangan kaki pada atlet dengan riwayat cedera (Gambar 2-. tengah). Efektivitas pelatihan proprioseptif sebagai bentuk dari pencegahan primer antara atlet yang tidak memiliki riwayat keseleo tetap tidak meyakinkan, sebagai titik estimasi itu signifikan tetapi harus ditafsirkan dengan hati-hati karena dihasilkan dari hanya dua uji coba non-signifikan. (Gambar 2-. Bawah). Suatu efektivitas pelatihan proprioseptif untuk atlet dengan sejarah cedera pergelangan kaki menunjukkan bahwa efek rehabilitatif mungkin adalah mekanisme yang utama. Telah diusulkan bahwa pelatihan proprioseptif mungkin mengatasi gangguan pokok yang mempengaruhi atlet untuk keseleo pergelangan kaki berulang menyusul cedera awal, denganmemulihkan gangguan jalur aferen dan reflek di sekitar pelindung pergelangan kaki. Melakukan pelatihan proprioseptif dalam konteks klinis merupakan intervensipenting dan ini harus ditekankanpara peserta olahraga dengan sejarah keseleo pergelangankaki. Tidak ada dari dua uji coba dengan data yang berhubungan dengan peserta yang tidak memiliki sejarah keseleo pergelangan kaki yang menunjukkan efek pencegahan utama pada pelatihan proprioseptif. Namun, ada efek dikumpulkan statistik signifikan yang tidak bisa diperoleh melalui meta-analisis untuk perbandingan ini dengan pelatihan proprioseptif. (Gambar 2-. Bawah). Hal ini penting untuk dicatat bahwa hanya ada dua penelitian yang termasuk dalam estimasi ini yang menyelidiki pencegahan utama. Studi lain yang tidak membedakan antara keseleo pergelangan kaki primer dan sekunder pada hasilnyamenunjukkan efek keseluruhan signifikan dalam
20 | Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
mendukung pelatihan proprioseptif meskipun 47% dari sampel mereka melaporkan tidak ada sejarah dari cedera pergelangan kaki (RR = 0,50, 95% CI 0,26-0,96).Jika studi mendatang melaporkan hasil yang berkaitan secara khusus untuk peserta dengan non-history dari keseleo pergelangan kaki maka perkiraan efek pencegahanutama pelatihan proprioseptif harus menjadi lebih akurat. Keterbatasan penelitian yang termasuk dalam ulasan ini adalah variabilitas substan-esensial dan kurangnya detail yang dilaporkan dalam parameter pelatihan studi tersebut. Misalnya, frekuensi program pelatihan berkisar dari 20 menit/minggu sampai 30 menit/hari. Sementaradurasi program berkisar dari 8 minggu sampai 36 minggu. Selanjutnya, tiga dari program penelitian gagal menghasilkan durasi secara spesifik, Di samping mengenai parameter variabel pelatihan, efek keseluruhan masih terdeteksi di ulasan ini. Sementara rasio dosis-respons optimal untuk mencapai efek prophy-laktat pelatihan proprioseptif tidak diketahui, efek kumulatifmungkin ada dimana program yang memiliki durasi lebih lama memiliki efek pencegahan yang lebih besar. Dengan kurangnya detail dalam banyak studi yang berkaitan dengan dosis intervensi dan durasi, sulit untuk menentukan manakah program pelatihan yang dapat dimplementasikan dengan parameter pelatihan yang cukup untuk memungkinkan potensi intervensi “sprophylactic“dapat benar-benar berlaku.Studi parameter pelatihan masa depan harus dilaporkan secara lengkap untuk dapat membuatpertimbangan lebih lanjut. Pemenuhan harus diperhitungkan mengingat dampak dari program pelatihan proprioseptif, karena hal ini jelas akanmengubah efek intervensi. Ada variabel substansial baik dalam tingkat pembahasan kepatuhan dalam studi, serta di tingkat kepatuhan dilaporkan dalam studi mereka yang memonitor. Satu studi gagal untuk menyebutkan tingkat kepatuhan, tiga studi mengakui kurangnya pemantauan kepatuhansebagai keterbatasan dalam desain studi mereka, sementara tiga studi lainnya dilaporkan memiliki kualitas metodologi yang sangat baik dengan non-kepatuhan level masing-masing 10%, 35% 47 dan 40%. Oleh karena itu mungkin, Jika tingkat kepatuhan lebih besar, maka efek pencegahan dari program pelatihan proprioseptif akan lebih besar. Oleh karena itu, masalah kepatuhan adalah realitas klinis dengan intervensi latihan, sehingga studi dapat benarbenar diulas secara realitas klinis.Ada keterbatasan studi yang melekat berkaitan dengan daerah penelitan ini yang mempengaruhi kualitas metodologi. Berhubung intervensi natural, subjek, terapis dan penilai tidak turut campur adalahtidak mungkin dalam studi ini.Kurangnya hal itu dapat memperkenalkan unsur kinerja dan deteksi
dr. Eka Poedjihartanto P.,Sp.KFR.
bias yang berpotensi menyebabka efek intervensi yang terlalu tinggi. Sementara itu, sebagai kontrol rutin aktif atau biasa digunakan pada semua studi dampak ini pada hasil menjadi minimal. Kekuatan umum yang digunakan dalam studi telah meminimalisasi bias gesekan. Ini disebabkanminimal tingkat drop-out dan/atau intentionto-treat telah digunakan, sehingga menjaga kelompok pengacakan dan menjaga validitas hasil. Karena sejumlah kesamaan antara konteks klinis dan penelitian yang dilakukan, hasil dalam penelitian ini dapat diaplikasikan secara klinis. Subyek termasuk dalam studi yang merupakan representatif dari populasi cenderung dipakaidalam praktek, mewakili berbagai kelompok usia (12-70 tahun), termasuk representasi relatif dari kedua jenis kelamin, dan juga berkisar dari masyarakat biasa sampaiuntuk atlet profesional yang berpartisipasi dalam olahraga yang beresiko tinggi menimbulkan keseleo pergelangan kaki. Intervensi dan ukuran hasil sangat mudah diterapkankarena sudah banyak digunakan, murah, aman, dan dapat dimengerti dengan cepat dalam satu kali pembelajaran. Penelitian ini memiliki beberapa kekuatan yang membedakannya dari penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan topik. Pertama, penelitian kami fokus khusus kepada setiap pada efektivitas proprioseptif programlatihan sebagai satu-satunya intervensi. Tidak seperti penelitian lainnya bidang inipenelitian kamimengecualikan studi yang memiliki co-intervensi (seperti penguatan, pelatihan kelincahan atau plyometrics) yang dapat mengacaukanefek dari elemen latihan proprioseptif. Hasil penelitian lainnya mungkin juga dikacaukan oleh masuknya studi”poor”quality, dimana penelitian kami difokuskan secara eksklusif untuk studi“moderate”qualitysampai “good”, sehingga meningkatkan validitas hasil dan kesimpulan yang ditarik. Kekuatan lain dari penelitian ini adalah bahwa dapat membedakan antara efektivitas intervensi pada mereka dengan dan tanpa riwayat keseleo pergelangan kaki. Ini memberikan kesimpulan yang lebih spesifik yang berkaitan dengan hasil fungsional dalampopulasi yang berbeda. Sebuah kekuatan lebih lanjut dari penelitian kami yang berbeda dari kebanyakan orang lain adalah bahwa kita menggunakan meta-analisis untuk menghasilkan perkiraan yang dikumpulkan dari pengaruh intervensi. Dua ulasan sebelumnya telah memanfaatkan meta-analysis. tetapi mereka hanya mempunyai dua sampai tiga studi yang sesuai (dengan satu studi yang tidak lolos penelitian kami), sedangkan kami memiliki tujuh studi. Keterbatasan dari penelitian kami meliputi potensi publikasi bias karena kita tidak mencaripercobaan yang
tidak dipublikasikan. Selanjutnya, penelitian tidak diterbitkan dalam bahasa lain selain bahasa Inggris. Sementara itu, ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa yang membuat artikel selain Inggris biasanya tidak memiliki dampak besar pada hasil sistematis penelitian. Lebih lanjut penelitian kemungkinan akan membuat kontribusi tambahan untuk pengetahuan di bidang ini.Secara khusus, dibutuhkank percobaan dengan kualitas lebih tinggi berkaitan dengan efek pencegahan dari pelatihan proprioseptif bagi mereka yang tanpa riwayat cedera, mengingat bahwa hanya duastudi yang dimasukkan dalam penelitian kami. Bahkan dalam peserta dengan sejarah keseleo pergelangan kaki, pelatihan proprioseptif belum sepenuhnya dianalisis ke berbagai perbandingan, memberikan ruang untuk penelitian masa depan untuk menambah pengetahuan yang ada. Sebagai contoh, sebuah RCT baru yang yang dipublikasikan setelah selesainya kajian kami melaporkan bahwa program proprioseptif kurang efektif daripada menguatkan, bagaimanapun, latihan iniakan menguatkan tetapi memiliki kaitan yang buruk dalam kenyamanan. Evaluasi lebih lanjut dari efek relatif program pelatiha proprioseptifdibandingkan dengan alternatif yang biasa digunakan (seperti menguatkan dan taping) yang muncul dibenarkan, seperti halnya evaluasi metode untuk meningkatkan kepatuhan untuk intervensi.
KESIMPULAN Penelitian ini menemukan bahwa pelatihan proprioseptif mengurangi resiko munculnya keseleo pergelangan kaki di antara populasi olahraga,efek preventiftelah dibentuk dalam populasi campuran dan pada mereka yang memiliki riwayat cedera pergelangan kaki. Efektivitas intervensi ini untuk peserta tanpa riwayat keseleo pergelangan kakikurang efektif.
APLIKASI DALAM PRAKTEK • Pelatihan proprioseptif adalah efektif dalam mengurangi tingkat cedera pergelangan kaki peserta olahraga. • Sekitar 17 peserta olahraga, atau 13 peserta dengan riwayat keseleo pergelangan kaki, butuh menjalani pelatihan propripseptif untuk mencegah satu keseleo pergelangan kaki berikutnya. • Manfaat pencegahan pelatihan proprioseptif telah berhasil ditemukan pada peserta olahraga dengan riwayat keseleo pergelangan kaki (pencegahan kekambuhan), Namun masih kurang cukup buktiuntuk memastikan bahwa mencegah cedera awal dalam mereka tanpa riwayat keseleopergelangan kaki.
Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
| 21
DAMPAK PENERAPAN “COMPLEX TRAINING” TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN DINAMIS ANAEROBIK Oleh: DR. Dikdik Zafar Sidik, M.Pd, dkk.
ABSTRAK Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh pelatihan “complex training” terhadap peningkatan kemampuan anaerobik yang dalam penelitian ini terdiri dari speed, agility, power, maximum strength, speed endurance, agility endurance, power endurance, dan strength endurance. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan desain One group pretest and posttest dengan memberikan perlakuan kepada para pemain futsal puteri yang tergabung dalam unit kegiatan olahraga prestasi futsal mahasiswa puteri yang berjumlah 12 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa “Complex Training” memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan dinamis Anaerobik, yang terdiri dari: (a) “Complex Training” memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan Speed, (b)“Complex Training” memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan Agility, (c) “Complex Training” memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan Power, (d) “Complex Training” memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan Maximum Strength, (e) “Complex Training” memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan Speed Endurance, (f) “Complex Training” memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan Agility Endurance, (g) “Complex Training” memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan Power Endurance, dan (h) “Complex Training” memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan Strength Endurance. Dan, penerapan “Complex Training” memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan Anaerobik Alaktasid. Namun, penerapan “Complex Training”tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan Anaerobik Laktasid, serta secara keseluruhan setelah digabungkan kemampuan-kemampua tersebut maka penerapan “Complex Training”tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan dinamis Anaerobik. Kata kunci: Kemampuan Anaerobik, Anaerobik Alaktasid, Anaerobik Laktasid, speed, agility, power, maximum strength, speed endurance, agility endurance, power endurance, strength endurance, dan”complex training”
PENDAHULUAN
Gejala kemunduran pretasi olahraga nasional sekarang ini salah satunya disebabkan oleh kurangnya pemahaman para pelatih akan upaya bagaimana meningkatkan dan mengembangkan kemampuan fisik di tingkat atlet elit secara lebih komprehensif dan juga spesifik.
Latar belakang penelitian ini adalah bahwa kondisi olahraga prestasi nasional saat ini masih sangat memprihatinkan jika dibandingkan dengan kondisi prestasi masa lalu. Berdasarkan identifikasi masalah prestasi ini muncul lebih diakibatkan oleh faktor internal dan juga eksternal, baik secara teknis maupun non teknis. Hal inilah yang kemudian berdampak pada kualitas prestasi bangsa ini seperti dialami oleh perkembangan prestasi cabang olahraga beladiri pada multi event Sea Games yang tergambar pada Tabel 1.
Pelatihan fisik merupakan bagian yang sangat penting ketika pelatihan ini berlangsung di level elit, karena masa ini saatnya peningkatan kualitas fisik yang sangat prima. Banyaknya komponen fisik yang menjadi kebutuhan prestasi atlet menuntut pelatih untuk berusaha
Tabel 1. Perolehan medali Cabor Beladiri Indonesia pada 3 SEA Games Cabor Beladiri
SG 2005 Philipina Emas (T)/(Ra)
Perak
Judo
3 (16)/(4)
Karate
3 (16)/(4)
Pencak Silat
SG 2007 Thailand Prg.
Emas (T)/(Ra)
Perak
4
4
1 (16)/(5)
6
4
2 (18)/(3)
3 (16)/(4)
4
2
Teakwondo
3 (16)/(4)
4
Gulat
3 (16)/(4)
Wushu Tinju
SG 2009 Laos Catatan
Prg.
Emas (T)/(Ra)
Perak
Prg.
3
5
1 (18)/(6)
1
6
Menurun signifikan
4
8
3 (17)/(3)
3
6
Meningkat tidak signifikan
5 (13)/(1)
3
4
2 (17)/(4)
3
3
Menurun signifikan
6
1 (16)/(6)
1
1
1 (21)/(5)
3
6
Menurun signifikan
2
3
1 (9)/(2)
2
2
2 (18)/(4)
4
6
Meningkat tidak signifikan
3 (16)/(4)
2
1
1 (15)/(7)
0
5
2 (21)/(4)
6
3
Meningkat tidak signifikan
3 (16)/(4)
1
10
0 (17)/(6)
0
6
0 (15)/(6)
3
6
Meningkat tidak signifikan
22
DR. Dikdik Zafar Sidik, M.Pd, dkk.
keras memahami dengan baik tentang pelatihan-pelatihan komponen fisik, seperti: kemampuan kelenturan, kecepatan gerak (dalam bentuk speed, agility, maupun quickness), kekuatan maksimal, kekuatan yang cepat (power), daya tahan kekuatan, daya tahan anaerob, dan juga daya tahan aerob. Semua komponen fisik tersebut pada prinsipnya merupakan kemampuan dinamis anaerobik dan aerobik. Banyak metode dan bentuk latihan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kondisi fisik para atlet, seperti “Complex Training”. Brad Mc Gregormengatakan bahwa: The ever-increasing emphasis that is placed on athleticism and sporting success has led scientists to investigate numerous training methods that can have a positive effect on performance. One such method that has received significant attention is complex training (CT). (http://www.pponline.co.uk/encyc/complextraining.html) Metode ini jarang atau bahkan belum pernah dilakukan dalam pelatihan fisik di beberapa provinsi Indonesia yang disebabkan oleh beberapa hal, seperti beberapa pelatih yang belum memahami manfaat dari “Complex Training”, peralatan yang dirasakan sulit untuk menerapkan metode latihan ini karena membutuhkan peralatan beban. Hal lain yang menjadi permasalahan dalam praktik latihan adalah penerapan metode latihan yang masih belum jelas karakter dari setiap metode tersebut. Keterbatasan metode yang dipahami merupakan bagian dari keterbatasan pelatih dalam menerapkan cara pelatihan. Isu-isu tersebut yang menggugah untuk kemudian dijadikan sebagai langkah-langkah strategis dalam upaya penelitian lebih lanjut. Oleh karena itu, peneliti merasa terpanggil untuk mengkaji lebih dalam tentang Penerapan pola pelatihan “Complex Training” yang diterapkan oleh para talet elit internasional untuk diterapkan pada para atlet Indonesia sebagai penambahan wawasan pelatihan bagi para pelatih di Indonesia. Rumusan Masalah dalam penelitian ini adalah berupa pertanyaan tentang Apakah penerapan “Complex Training” memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan dinamis Anaerob?
KAJIAN TEORITIK Kemampuan anaerobik adalah kemampuan tubuh dimana mekanisme penyediaan energi untuk mewujudkan gerak yang bergantung pada kebutuhan O2 tidak dapat terpenuhi seluruhnya oleh tubuh, ketika terjadi pertukaran energi dalam jaringan tubuh atau dengan kata lain “capable of living without oxygen”
(Tattam,www.slideshare.net/jorrflv/effect of training on the energi-sistem) Kemampuan anaerobik mendorong tubuh melakukan gerak maksimal sampai waktu tertentu, sehingga paruparu tidak mampu memasukkan O2 ke otot-otot yang dibutuhkan. Jadi, tubuh melakukan gerak tanpa O2 dan dilakukan dalam waktu yang singkat. Selama waktu ini, tubuh akan menghasilkan asam laktat yang merupakan alasan mengapa tubuh merasa lelah. Besarnya kapasitas anaerobik dapat menunjukkan besarnya tuntutan/keperluan O2 yang akan terwujud sebagai beratnya beban atau intensitas kerja yang dilakukan (Giriwijoyo,2010:131). Kemampuan anaerobik ini sering dimanfaatkan oleh atlet dalam mempromosikan kecepatan, kekuatan, dan untuk membangun massa otot. Secara fisiologi, ada 2 jenis sistem energi anaerobik yaitu: 1. ATP (Adenosin Tri Posfat) dan CP (PospatCreatin), dimanakuranglebihdalam 10 detikpertamadarigerak (sistemanaerobik), tubuhakanmembakar ATP yang tersimpansebagaisumberenergi 2. Glikolisisanaerobik. Setelah ATP-CP yang tersimpan di dalamototterbakarhabis, tubuhakanmembuat ATP yang lebihdenganmendongkrakkarbohidrat yang hadirmelalui proses glycolysis Untuk lebih jelasnya mekanisme proses system energy anaerobic ini dapat dilihat pada gambar berikut. CP
ADP
Creatine
ATP
Glucose (from glycogen breakdown or delivered from blood)
Glycolysis in cylosol 2
O2
ATP net gain
Pyruvic acid
Released to blood
Lactic acid
O2
a) Direct photosphorylation [couple reaction of creatine phosphare (SP) and ADP]
b) Anaerobic mechanism (glycolysis and lactic acid formation)
Energy source: CP
Energy source: glucose
Oxygen use: None Products: 1 ATP per CP, creatine Duration of energy provision: 15s.
Oxygen use: None Products: 2 ATP per glucose, lactic acid Duration of energy provision: 30-60s.
Gambar 1. Metabolisme Otot: Energi untuk kontraksi (Sumber: www.slideshare.net/jorrflv/human anatomy & physiology/muscleenergi-sistem)
Kemampuan fisik yang termasuk dalam system kerja anaerobik yang pertama atau disebut dengan kemampuan anaerobik alaktasid adalah kemampuan kecepatan gerak, baik dalam bentuk Speed, Agility, maupun Quickness. Banyak cabang olahraga yang membutuhkan komponenJurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
| 23
Dampak Penerapan "Complex Training" Terhadap Peningkatan Kemampuan Dinamis Anaerobik
komponen tersebut baik secara tersendiri yaitu: hanya membutuhkan kemampuan Speed saja, atau Agility saja, namun banyak cabang olahraga yang membutuhkan gabungan dari kemampuan-kemampuan tersebut. Selain kemampuan kecepatan gerak, kemampuan lain yang system kerjanya berdasarkan sumber energi anaerob adalah kemampuan kekuatan yang cepat (power). Kemampuan anaerobik alaktasid adalah kemampuan tubuh dimana mekanisme penyediaan energi untuk mewujudkan gerak eksplosif yang tidak bergantung pada kebutuhan O2 dan geraknya hanya dapat berlangsung dalam beberapa detik saja, serta hasil pembakaran energinya tidak menghasilkan asam laktat. Sistem energi anaerobik alaktasid menggunakan sistem energi ATP-PC, artinya Adenosin Triphospate bekerja bersama-sama dengan creatine postat dalam meningkatkan kinerja sistem energinya. Sistem ATPPC ini hanya bisa berlangsung dalam kurun waktu yang singkat, tidak lebih dari 10 detik. Sistem kerjanya tidak menggunakan O2 dan pembakarannya tidak menghasilkan asam laktat (Tattam (www.slideshare.net/ jorrflv/effect of training on the energi-sistem); Matthew & Fox, 1971).
Gambar 2.2 ATP Energi Cycle Sumber: http://www.flammerouge.je/content/3_factsheets/constant/anaerobik. htm
Kemampuan fisik yang termasuk dalam system kerja anaerobik yang kedua atau disebut juga kemamapuan anaerobik laktasid adalah kemampuan kecepatan gerak yang dapat dipertahankan dalam waktu yang lebih lamaatau kecepatan maksimal yang konsisten dalam jumlah pengulangan yang cukup banyak, seperti kemampuan Speed yang dipertahankan dalam durasi yang relative panjang atau Speed Endurance, kemampuan Agility yang dapat bekerja dalam waktu yang lama atau Agility Endurance, kemampuan power yang dipertahankan dalam durasi atau pengulangan yang lama yang juga disebut dengan istilah Power Endurance, dan kemampuan kekuatan otot yang dipertahankan dalam waktu yang cukup lama atau Strength Endurance. Sistem ini yang beroperasi tanpa menggunakan O2 untuk membantu memulihkan pasokan ATP dalam otot adalah sistem asam laktat. Sistem ini melibatkan pemecahan parsial glukosa untuk membentuk asam
24 | Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
laktat. Sistem ini yang dilibatkan oleh tubuh manusia sebagai kemampuan anaerobik laktasid. Energi yang disediakan oleh sistem ini untuk tubuh adalah penting karena menyediakan pasokan cepat ATP untuk tubuh yang membantu dalam ledakan singkat intens kegiatan yang biasanya berlangsung dari sekitar 30-60 detik dan dapat bertahan hingga 2 menit. Jika intensitas dari kegiatan ini dapat dipertahankan maka asam laktat kemudian akan terakumulasi dalam otot. Glycogen
Glucose
Pyrucic Acid
Insufficient Oxygen
Lactic Acid
ADP +P
ATP
Gambar 2.3 Sistem Glikolisis Sumber: http://www.flammerouge.je/content/3_factsheets/constant/anaerobik. htm
Hakikat Complex Training adalah metode latihan yang menggabungkan pelatihan kekuatan yang bersifat maksimal melalui koordinasi intramuscular (Neural Activation) dengan latihan kekuatan yang eksplosif, sehingga diharapkan hasil pelatihannya adalah mampu meningkatkan komponen strength dan power (Ward,2009). Complex training adalah suatu metode latihan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kondisi fisik seorang atlet dimana atlet melakukan latihan kekuatan dengan intensitas tinggi yang ditransfer ke dalam latihan pliometrik dengan tuntutan biomekanika yang sama (kelompok otot yang sama atau persendian yang sama) dari latihan kekuatan tersebut (Docherty et al, 2004; Shepperd, 2008; MacKenzie, 2007). Sebagai contoh: 1a) Squat:2-4 repetisi (80-90%) 1b) Jump Squat: 10 repetisi Atau 1a) Bench Press: 2-4 repetisi (80-90%) 1b) Clap Push up: 10repetisi Teori dasar dari complex training ini adalah dengan mengambil keuntungan dari potential post-activation. Potential post-activation adalah suatu fenomena, yang terjadi ketika kekuatan otot meningkat yang didapat dari proses kontraksi selama latihan. Jadi, dalam contoh di atas, melakukan bentuk Squat dengan beban berat akan menyebabkan peningkatan dalam hal kekuatan otot, yang secara teoritis meningkatkan kekuatan output jump squat. Mengenai kombinasi antara latihan kekuatan dengan intensitas yang tinggi kemudian ditransferkan ke latihan pliometrik itu sendiri mempunyai hubungan antara satu dengan yang lainnya. Metode latihan ini bekerja berdasarkan sistem syaraf serta pada saat yang bersamaan mengaktifkan serat otot kedut cepat. Latihan kekuatan dengan intensitas yang tinggi mengaktifkan serat otot kedut cepat (serat otot kedut cepat ini bertanggung jawab terhadap aktifitas
DR. Dikdik Zafar Sidik, M.Pd, dkk.
power yang eksplosif). Pada latihan yang berikutnya yaitu latihan pliometrik serat-serat otot yang tadinya diaktifkan pada latihan kekuatan tadi, kali ini digunakan atau dipakai. Selama aktifitas ini berlangsung otototot mempunyai kemampuan yang luar biasa untuk beradaptasi. Bentuk latihan complex training yang intensif dapat melatih serat otot kedut lambat untuk bekerja layaknya serat otot kedut cepat. Apabila hal tersebut terjadi, maka bisa dibayangkan bagaimana hasilnya terhadap kemampuan fisik seorang atlet, sudah dapat dipastikan luar biasa dampaknya. Penerapan complex training merupakan metode yang diharapkan dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan yang bersifat anaerob, seperti kemampuan kecepatan geraknya dalam bentuk speed, agility, atau powernya, maupun kemampuan yang bersifat daya tahan kecepatan seperti daya tahan kecepatan dalam bentuk speed (speed endurance), agility (agility endurance), dan juga power otot yang bisa dipertahankan dalam waktu yang lama atau dalam jumlah pengulangan yang banyak (power endurance).
METODOLOGI PENELITIAN Metode penelitian yang diterapkan dalam penelitian ini adalah eksperimen dengan disain “one group pretest and posttest”. Adapun rancangan penelitian ini adalah: O1 x O2 O1
: Nilai pretest sebelum diberikan perlakukan
O2
: Nilai posttest sebelum diberikan perlakukan
prestasi futsal mahasiswa puteri sejumlah 12 orang. Instrumen Penelitian yang digunakan untuk melaksanakan proses dan mengumpulkan data berupa program latihan untuk “Complex Training” dan beberapa item tes untuk mengetahui kemampuan Anaerob, seperti: 1. Tes Kecepatan Gerak dalam bentuk a. Speed: Sprint 20 meter b. Agility: Shuttle run 4m x 5 shuttle 2. Tes Kekuatan yang Cepat: a. Power: St, Broad Jump 3. Tes Daya Tahan Kecepatan: a. Speed Endurance: Tes Sprint 150 meter b. Agility Endurance: 10 m x 10 rep 4. Tes Power Endurance (Stamina Otot): a. Power Endurance: Tes Lompat 10 Hop 5. Tes Maximum Strength: 1 RM Leg Press 6. Tes Strength Endurance: 60% RM Pengumpulan Data. Langkah-langkah yang diambil untuk pengumpulan data adalah menyiapkan instrument tes, melaksanakan pengetesan dan pengukuran sesuai prosedur tes oleh sejumlah personil tester (5 orang yang ahli dalam pengambilan data). Data yang terkumpul adalah jenis data kuantitaif. Jadwal pengambilan data terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pertama merupakan tes awal untuk mengetahui kondisi awal para sampel. Dan, tahap kedua adalah tes akhir untuk melihat perkembangan dari hasil perlakuan pelatihan. Teknik Analisis dari data yang terkumpul dari hasil pengukuran berdasarkan tes kemampuan dinamis anaerobic dianalisis untuk menguji hipotesis dengan menggunakan teknik analisis statistik uji t-test yang berkorelasi (Sugiyono, 2006:119) yang terlebih dahulu melalui uji normalitas dengan Lillifors. Adapun rumus uji t-test adalah:
Gambar 2. Desain penelitian
Tempat dan waktu Penelitian dilaksanakan di Fitness Center mulai bulan Juli sampai dengan November 2011. Pelaksanaan latihan dilakukan 3 kali dalam satu minggu tergantung pada tujuan latihannya sesuai dengan ketentuan prinsip dan norma pembebanan latihan dalam mencapai tujuan latihan fisik. Subjek Penelitian yang diambil adalah para mahasiswi yang tergabung dalam unit kegiatan olahraga
Harga t kemudian dibandingkan dengan harga t dengan dk = n1 + n2 – 2 pada taraf kesalahan α 0,05 (5%) tabel, dengan kriteria, jika t hitung < t tabel maka Ho diterima sebaliknya Ha ditolak. Ho: Penerapan Complex Training tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan dinamis Anaerob. Ha: Penerapan Complex Training memberikan dampak Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
| 25
Dampak Penerapan "Complex Training" Terhadap Peningkatan Kemampuan Dinamis Anaerobik
yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan dinamis Anaerob.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini disajikan gambaran data hasil pengetesan dan pengukuran yang telah diolah sehingga memperoleh Nilai rata-rata, Simpangan baku (standar deviasi), dan Simpangan baku Gabungan (Varian) pada masing-masing komponen kemampuan anaerob pada tes awal dan tes akhir seperti tertuang pada tabel-tabel berikut di bawah.
a. Uji t pada peningkatan kemampuan: 1. Speed: Dari hasil pengolahan data diperoleh nilai: t hitung (5,58) > dari t tabel (1,72), maka Ho ditolak dan Ha (hipotesis penelitian/hipotesis kerja) diterima yang berarti bahwa Complex Training memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan kecepatan gerak “Speed”. Hasil tersebut dapat dilihat pada gambar 3. Wilayah Penolakan HO
Nilai-nilai tersebut selanjutnya akan dipergunakan untuk melakukan pengujian agar dapat ditemukan kebermaknaan (signifikansi) dari masing-masing per lakuan yang diberikan melalui uji t.
Wilayah Penerimaan HO 5,58
Tabel 2. Mean, Simpangan Baku, dan Varians dari tes awal & tes akhir Nilai Ratarata
Simpangan baku
Simp. Baku Gabungan
1. Speed
3,60
0,09
0,009
2. Agility
7,91
0,68
0,467
3. Power
1,90
0,21
0,042
4. Maximum Strength
50,00
10,00
100
Anaerobik Alaktasid
50,00
7,92
6,280
Nilai Ratarata
Simpangan baku
Simp. Baku Gabungan
1. Speed Endurance
25,94
1,36
1,84
2. Agility Endurance
30,93
1,80
3,24
3. Power Endurance
17,48
1,78
3,16
4. Strength Endurance
50,00
10,00
100
Anaerobik Alaktasid
50,00
6,18
38,23
Nilai Ratarata
Simpangan baku
Simp. Baku Gabungan
1. Speed
3,49
0,12
0,014
2. Agility
7,41
0,39
0,153
3. Power
2,09
0,11
0,012
4. Maximum Strength
50,00
10,00
100
Anaerobik Alaktasid
53,05
9,31
86,66
Nilai Ratarata2567
Simpangan baku
Simp. Baku Gabungan
1. Speed Endurance
25,67
1,13
1,28
2. Agility Endurance
29,65
1,14
1,31
3. Power Endurance
18,85
1,35
1,82
4. Strength Endurance
50,00
10,00
100
Anaerobik Alaktasid
50,00
5,80
33,6
Kemampuan Anaerobik Alaktasid
Kemampuan Anaerobik Alaktasid
Kemampuan Anaerobik Alaktasid
Kemampuan Anaerobik Alaktasid
Pengujian Hipotesis dan Pembahasan
Wilayah Penolakan HO
-1,72
1,72
Gambar 3. Kurva kemampuan & Grafik Peningkatan Speed
2.
Agility:
Dari hasilpengolahan data diperolehnilai: t hitung (3,14) > dari t tabel (1,72), maka Ho ditolak dan Ha (hipotesis penelitian/hipotesis kerja) diterima yang berarti bahwa Complex Training memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan “Agility”.Hasil tersebut dapat dilihat pada gambar 4. Wilayah Penolakan HO
Wilayah Penolakan HO
Wilayah Penerimaan HO 3,14 -1,72
1,72
Untuk melihat hasil peningkatan kemampuan kelompok sampel maka perlu dilakukan pengujian statistik dengan Uji t-test melalui pendekatan distribusi sampling t, dengan rumus.
Gambar 4. Kurva kemampuan & Grafik Peningkatan Agility
26 | Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
DR. Dikdik Zafar Sidik, M.Pd, dkk.
3. Power:
5. Speed Endurance:
Dari hasil pengolahan data diperoleh nilai: t hitung (5,05) > dari t tabel (1,72), maka Ho ditolak dan Ha (hipotesis penelitian/hipotesis kerja) diterima yang berarti bahwa Complex Training memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan “Power”.Hasilt ersebut dapat dilihat pada gambar5.
Dari hasil pengolahan data diperoleh nilai: t hitung (1,97) > dari t tabel (1,72), maka Ho ditolak dan Ha (hipotesis penelitian/hipotesis kerja) diterima yang berarti bahwa Complex Training memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan “Speed Endurance”. Hasil tersebut dapat dilihat pada gambar 7.
Wilayah Penolakan HO
Wilayah Penolakan HO
Wilayah Penolakan HO
Wilayah Penolakan HO
Wilayah Penerimaan HO Wilayah Penerimaan HO
5,05 -1,72
1,97
1,72 -1,72
1,72
Gambar 7. Kurva kemampuan & Grafik Peningkatan Speed Endurance Gambar 5. Kurva kemampuan & Grafik Peningkatan Power
4. Maximum Strength Dari hasilpengolahan data diperolehnilai: t hitung (20,96) > dari t tabel (1,72), maka Ho ditolak dan Ha (hipotesis penelitian/hipotesis kerja) diterima yang berarti bahwa Complex Training memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan “Maximum Strength”. Hasil tersebut dapat dilihat pada gambar 6. Wilayah Penolakan HO
6. Agility Endurance: Dari hasil pengolahan data diperoleh nilai: t hitung (4,02) > dari t tabel (1,72), maka Ho ditolak dan Ha (hipotesis penelitian/hipotesis kerja) diterima yang berarti bahwa Complex Training memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan “Agility Endurance”. Hasil tersebut dapat dilihat pada gambar 8. Wilayah Penolakan HO
Wilayah Penolakan HO
Wilayah Penolakan HO Wilayah Penerimaan HO 4,02
Wilayah Penerimaan HO 20,96 -1,72
-1,72
1,72
1,72
Gambar 8. Kurva kemampuan & Grafik Peningkatan Agility Endurance
Gambar 6. Kurva kemampuan & Grafik Peningkatan Maximum Strength
Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
| 27
Dampak Penerapan "Complex Training" Terhadap Peningkatan Kemampuan Dinamis Anaerobik
7. Power Endurance:
9. Anaerobik Alaktasid:
Dari hasil pengolahan data diperoleh nilai: t hitung (4,46) > dari t tabel (1,72), maka Ho ditolak dan Ha (hipotesis penelitian/hipotesis kerja) diterima yang berarti bahwa Complex Training memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan “Power Endurance”. Hasil tersebut dapat dilihat pada gambar 9.
Dari hasil pengolahan data diperoleh nilai: t hitung (1,92) > dari t tabel (1,72), maka Ho ditolak dan Ha (hipotesis penelitian/hipotesis kerja) diterima yang berarti bahwa Complex Training memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan Anaerobik Alaktasid. Hasil tersebut dapat dilihat pada gambar 11.
Wilayah Penolakan HO
Wilayah Penolakan HO
Wilayah Penolakan HO
Wilayah Penerimaan HO
Wilayah Penolakan HO
Wilayah Penerimaan HO 1,92
-2,074
2,074
-1,72
1,72
Gambar 9. Kurva kemampuan & Grafik Peningkatan Power Endurance
8. Strength Endurance: Dari hasil pengolahan data diperoleh nilai: t hitung (4,11) > dari t tabel (1,72), maka Ho ditolak dan Ha (hipotesis penelitian/hipotesis kerja) diterima yang berarti bahwa Complex Training memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan “Strength Endurance”. Hasil tersebut dapat dilihat pada gambar 10. Wilayah Penolakan HO
Wilayah Penolakan HO
Gambar 11. Kurva kemampuan & Grafik Peningkatan Anaerobik Alaktasid
10. Anaerobik Laktasid: Dari hasil pengolahan data diperoleh nilai: t hitung (0,002) < dari t tabel (1,72), maka Ho diterima dan Ha (hipotesis penelitian/hipotesis kerja) ditolak yang berarti bahwa Complex Trainingtidak memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan Anaerobik Laktasid. Hasil tersebut dapat dilihat pada gambar 12. Wilayah Penolakan HO
Wilayah Penerimaan HO
Wilayah Penolakan HO
4,11 -1,72
1,72
Wilayah Penerimaan HO 0,002 -1,72
1,72
Gambar 10. Kurva kemampuan & Grafik Peningkatan Strength Endurance
Gambar 12. Kurva kemampuan & Grafik Anaerobik Laktasid
28 | Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
DR. Dikdik Zafar Sidik, M.Pd, dkk.
11. Anaerobik: Dari hasil pengolahan data diperoleh nilai: t hitung (1,69) < dari t tabel (1,72), maka Ho diterima dan Ha (hipotesis penelitian/hipotesis kerja) ditolak yang berarti bahwa Complex Trainingtidak memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan Anaerobik. Hasil tersebut dapat dilihat pada gambar 13. Wilayah Penolakan HO
Wilayah Penolakan HO
Wilayah Penerimaan HO 1,69 -1,72
1,72
Gambar 13. Kurva kemampuan & Grafik Anaerobik
DISKUSI PENEMUAN Pelatihan “complex” ini sangat efektif untuk membantu meningkatkan kemampuan kecepatan “speed”. Hal ini diperlihatkan dengan meningkatkannya kemampuan ini sebesar rata-rata 0,11 detik (rata-rata kemampuan awal 3,60 menjadi rata-rata kemampuan akhir 3,49 detik). Catatan waktu ini sangat bermakna jika terjadi pada suatu perlombaan seperti nomor sprint 100 meter, yang perbedaan antara atlet satu dengan yang lainnya hanya terpaut 0,01 detik. Peningkatan ini merupakan indikasi kebermaknaan dari pelatihan kekuatan dengan memanfaatkan metode latihan kompleks yang menggabungkan pelatihan kekuatan maksimal dengan pelatihan kekuatan yang ekplosif cepat. Sehingga pelatihan ini cukup penting jika diterapkan untuk cabang olahraga yang membutuhkan “speed”. Untuk kemampuan kelincahan (agility) peningkatan yang terjadi juga signifikan dari rata-rata 7,91 detik menjadi 7,41 detik, terpaut lebih singkat 0,50 detik. Hal ini menunjukkan hasil yang sangat baik peningkatnnya untuk cabang olahraga yang membutuhkan kemampuan agility. Pelatihan kekuatan maksimal yang adekuat ternyata memberikan dampak yang siginifikan peningkatnnya terhadap kemampuan agility, hal ini ditunjukkan dengan kemampuan “break” saat harus
merubah arah akselerasi. Gerakan ketika merubah arah ini benar-benar membutuhkan kemampuan kekuatan maksimal karena harus melakukan pengereman dan dengan segera membalikkan badan untuk segera melakukan perubahan arah. Jika kemampuan kekuatan maksimal otot tungkainya tidak/kurang baik maka kecil kemungkinan untuk bisa melakukan gerakan ini lebih cepat/lebih lincah Untuk kemampuan lainnya seperti power dan kekuatan maksimal sudah bisa diyakinkan akan terjadi peningkatan yang signifikan karena pelatihan “complex training” bericirikan penggabungan dua komponen kemampuan tersebut, sehingga peningkatan yang terjadi sangat siginifikan. Hasil temuan data berdasarkan penggabungan kemampuan anaerobik bersifat alaktasid, yang terdiri dari kemampuan speed, agility, power, dan kemampuan kekuatan maksimal menunjukkan peningkatan yang signifikan. dari hasil perlakuan “complex training”. Rata-rata peningkatannya sebesar 3.05, yaitu dari ratarata 50.00 menjadi 53.05. Hal ini mengisyaratkan bahwa jika hendak meningkatkan kemampuan yang bersifat anaerobik yang alaktasid tersebut sebaiknya memanfaatkan pelatihan kekuatan yang intensif dan eksklusif, karena pelatihan complex training menunjukkan kekhasan dalam pelatihan yang bersifat anaerobik alaktasid yang memfasilitasi kemampuan akselerasi gerakan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan kemampuan ini. Temuan lain dari kemampuan ini adalah adanya peningkatan yang konsisten dari masing-masing anggota sampel setelah perlakuan complex training pada keempat kemampuan anaerobik alaktasid tersebut. Temuan pada kemampuan speed endurance yang juga mengalami peningkatan yang signifikan ditandai dengan peningkatan rata-rata kecepatan lari per 50 meternya untuk menempuh jarak 150 meter sprint. Perubahan difisit waktu antar jarak tersebut sebesar rata-rata kurang dari 0.50 detik. Dan, peningkatan rata-rata sebesar 0.27 detik merupakatan catatan waktu yang signifikan. Hal ini seperti yang sering terjadi pada perlombaan dalam nomor sprint di atletik. Waktu tersebut sangat bermakna untuk menentukan siapa yang menjadi terbaik walaupun berbeda 0,01 detik. Ini merupakan kemampuan mempertahankan percepatan langkah secara maksimal. Pada kemampuan daya tahan kelincahan (agility endurance) ditemukan peningkatan rata-rata sebesar 1,28 detik. Suatu perubahan peningkatan yang sangat signifikan karena meningkatnya lebih dari 1 detik. Hal ini tentu disebabkan oleh kemampuan menahan berat badan saat berhenti medadak yang kemudian melakukan Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
| 29
Dampak Penerapan "Complex Training" Terhadap Peningkatan Kemampuan Dinamis Anaerobik
gerakan merubah arah secara cepat, kemampuan ini pasti disebabkan oleh peningkatan kemampuan kekuatan maksimal otot tungkai yang menjadi lebih baik. Sehingga mampu kemudian melakukan akselerasi dan mempertahankannya untuk jumlah pengulangan yang cukup banyak. Power endurance yang merupakan kemampuan gabungan dari kemampuan kecepatan, kekuatan, dan daya tahan menunjukkan kualitas yang sangat kompleks. Peningkatan rata-rata dari kemampuan power endurance otot tungkai sebesar 107 m untuk tungkai kanan dan 1,15 m untuk tungkai kiri merupakan angka peningkatan yang signifikan. Jika diimplementasikan dalam kebutuhan kemampuan power endurance ini untuk perlombaan nomor lompat dalam atletik sudah bisa dipastikan sangat signifikan. Temuan pada kemampuan daya tahan kekuatan otot tungkai yang mengalami peningkatan sangat signifikan rata-rata 38,17 kali pengulangan merupakan modal dasar untuk mampu mempertahankan performa baik dalam bentuk speed, agility, power, maximum strength, speed endurance, agility endurance, maupun power endurance. Dengan peningkatan kemampuan daya tahan kekuatan otot maka peluang untuk bertahan dalam setiap melakukan gerak menjadi lebih besar. Untuk kemampuan yang bersifat anaerob laktasid seperti: “speed endurance, agility endurance, power endurance, dan strength endurance”, pelatihan inipun memberikan dampak yang siginifikan. Temuan dari hasil perlakuan yang secara penghitungan volume latihan memenuhi syarat pelatihan daya tahan, yaitu jumlah pengulangan yang cukup banyak total repetisinya yaitu mencapai jumlah 12 – 24 untuk beban maksimal dan 180 kali lompatan. Untuk kemampuan anaerobik bersifat laktasid yang menggabungkan kemampuan speed endurance, agility endurance, power endurance, dan strength endurance nampak pada perubahan peningkatan masing-masing anggota sampel yang memiliki kelebihan pada satu komponen namun masih lemah pada komponen lain sehingga akumulasi kemampuan menjadi berubah. Hal ini sejalan dengan prinsip individualisasi yang menyatakan bahwa setiap individu mempunyai kemampuan yang berbeda dan kemampuan anaerobik yang laktasid sangat dipengaruhi oleh kemampuan aerobik terutama manfaat pemulihan dan ketikan menghindari cepat datangnya kelelahan. Seperti terlihat pada grafik 13 bahwa terdapat 6 sampel yang mengalami penurunan kemampuan setelah dijadikan skor gabungan. Hal ini yang luput dari pemantauan adalah variabel lain seperti dasar kemampuan aerobiknya. Hal ini menunjukkan bahwa
30 | Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
kemampuan anaerobik yang hendak ditingkatkan secara eksklusif harus memenuhi syarat kemampuan aerobik yang sudah cukup baik. Begitu juga dengan skor gabungan yang diperoleh dari hasil kemampuan anaerobik yang alaktasid dengan anaerobik yang laktasid menunjukkan perubahan peningkatan yang belum signifikan. Hal ini disebabkan karena nilai gabungan anaerobik laktasid yang tidak signifikan sehingga berpengaruhi terhadap kemampuan anaerobik secara keseluruhan. Temuan lain dari kemampuan ini adalah meyakinkan bahwa kemampuan anaerobik dipengaruhi oleh kemampuan yang bersifat daya tahan (aerob). Hal lain yang menjadi temuan penelitian adalah tentang aspek psikologis yaitu adanya kepercayaan diri yang cukup tinggi dari setiap atlet/pemain ketika melakukan pergerakan dalam kecabangan olahraga (dalam hal ini permainan futsal), seperti ketika mereka melakukan sikap tumpuan untuk melakukan gerakan “shooting” bola ke gawang. Nilai positif lain yang dirasakan adalah kemampuan kualitas otot menjadi lebih padat (muscle density) sehingga menjadi lebih kokoh saat melakukan pergerakan. Namun perubahan kemampuan aerob perlu dicermati untuk ditindaklanjuti melalui kajian penelitian berikutnya.
KESIMPULAN Hasil penelitian ini menemukan kesimpulan bahwa: 1. Penerapan “Complex Training” memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan Speed 2. Penerapan “Complex Training” memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan Agility 3. Penerapan “Complex Training” memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan Power 4. Penerapan “Complex Training” memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan Maximum Strength 5. Penerapan “Complex Training” memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan Speed Endurance 6. Penerapan “Complex Training” memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan Agility Enduranc 7. Penerapan “Complex Training” memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan Power Endurance 8. Penerapan “Complex Training” memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan
DR. Dikdik Zafar Sidik, M.Pd, dkk.
kemampuan Strength Endurance 9. Penerapan pelatihan “Complex Training” memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan dinamis Anaerobik Alaktasid. 10. Penerapan pelatihan “Complex Training” tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan dinamis Anaerobik Laktasid 11. Penerapan pelatihan “Complex Training” tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan dinamis Anaerobik
SARAN DAN REKOMENDASI Oleh karena penerapan pola latihan “Complex Training” memberikan dampak terhadap peningkatan rata-rata kemampuan anaerobyang bersiafat alaktasid maupun laktasid maka disarankan kepada para pelatih untuk memberikan pelatihan ini secara bertahap, sistematis sesuai dengan kebutuhan periodisasi dan tuntutan tujuan latihan yang terkait pelatihan kekuatan maksimal yang ditransfer dalam bentuk-bentuk latihan pliometrik untuk meningkatkan kemampuan kecepatan gerak dalam bentuk speed maupun agility, power yang dinamis dalam bentuk gerakan lompat, kekutan maksimal yang skplosuf, juga daya tahan power (power endurance), daya tahan kecepatan (speed endurance), serta kemampuan daya tahan kelincahan (agility endurance). Karena hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terjadi peningkatan yang signifikan setelah kemampuan secara keseluruhan digabungkan maka disarankan kepada para pelatih untuk juga memperhatikan kemampuan aerobik sebagai dasar bangunan kemampuan fisik agar hasil latihan yang bersifat anaerobik dapat lebih berkualitas. Karena upaya untuk meningkatkan kemampuan anaerobik yang bersifat laktasid maka konsekuensi pemulihan harus baik (cepat) sehingga dibutuhkan kemampuan kapasitas aerobik yang sangat baik sesuai dengan manfaat dari kemampuan aerobik bahwa dengan aerobik yang baik maka rasa lelah akan lama datang/muncul dan masa pemulihan akan cepat/ singkat. Diharapkan setiap pelatih mampu menerapkan program latihan “Complex Training” sesuai dengan tahapan yang dibutuhkan pada periodisasi latihan kekuatan yaitu: mulai dari tahapan Adaptasi Anatomik, Hipertropi, Koordinasi Intramuskular yang bisa memanfaatkan metode “complex training”, dilanjutkan dengan konversi ke daya tahan power (power endurance), dan diakhiri menjelang kompetisi dengan tahapan power yang bersifat anaerobik alaktasid agar tingkat kelelehan
tidak terjadi menjelang kompetisi. Hal ini penting agar kebutuhan latihan menjadi lebih terjamin dan sasaran latihan menjadi terarah. Penerapan latihan secara adekuat dengan memperhatikan metode latihan, pola latihan, prinsipprinsip, dan norma-norma latihan dengan tepat merupakan kunci penting untuk mendapatkan overkompensasi (Efek Latihan). Guna menghasilkan pengembangan keilmuan dalam kepelatihan yang lebih efektif dan efesien maka dalam penelitian ini dapat dikembangkan melalui kajian lain atau penerapan pelatihan yang lebih istimewa dengan menggabungkan beberapa pola latihan secara periodik dan sistematik. Dan juga lebih memperhatikan kebutuhan pada cabang olahraga yang lebih spesifik dominan kemampuan fisik, seperti cabang olahraga yang dominan kecepatan (sport speed), dominan power endurance (sport strength), atau dominan daya tahan (sport endurance) ketika memanfaatkan pola pelatihan. Karena pelatihan ini efektif untuk kelompok atlet elit seperti dideskripsikan dalam latar belakang maka sebaiknya para pelatih lebih mempertimbangkan kembali untuk memanfaatkan pelatihan ini secara lebih adekuat.
DAFTAR PUSTAKA Bompa, Tudor O. (1999). Theory and Methodology of Training; the Key to Athletic Performance. Dubuque, Iowa: Kendall/Hunt Publishing Company. Duthie. “complex, contrast and ‘traditional’ training” (http://www.pponline.co.uk/encyc/complextraining.html) Gamble, Paul. (2010). STRENGTH & CONDITIONING FOR TEAMS SPORTS: Sports-Specific Physical Preparation for High Performance. Routledge, Taylor & Francis Group. London & New York. Giriwijoyo, Santosa. (2007). Ilmu Faal Olahraga; Fungsi Tubuh Manusia pada Olahraga, edisi 7. Bandung: Buku Ajar FPOK UPI. Gordon, Dan. (2009). Coaching Science. Learning Matters. British Library. Grego. Brad Mc. Complex Training. (http://www. pponline.co.uk/encyc/complex-training.html) Pesurnay, P. Levinus, danSidik, D. Zafar.(2007). MateriPenataranPelatihFisik Tingkat Nasional SeIndonesia.KoniPusat. Janssen, Peter, 2001. Lactate Threshold Training. Canada: Human Kinetics Publisher Sudjana, 1990. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito. Sidik. Dikdik Zafar. Periodisasi Latihan Kekuatan. www.koni.or.id
Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
| 31
Dampak Penerapan "Complex Training" Terhadap Peningkatan Kemampuan Dinamis Anaerobik
Fitnessvenues.(2009). Strength training and complex training methods.http://www.fitnessvenues.com/uk/ complex-strength-training. [27 September 2011]. Spellwin.G.(2009). Complex Training New Method for Amazing Muscle Building Results.[Online]. Tersedia: http://bodybuilding.elitefitness.com/ complex-training. [27 September 2011]. Shepherd.J. (2008). Complex training: The potentiation effect - can one training mode really enhance another?:http://www.pponline.co.uk/encyc/ complex-training.html. [29September 2011]. Mackenzie, B. (2002). Leg Pliometriks.http://www. brianmac.co.uk/legplymo.htm
32 | Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
Mackenzie. Brian.2000. ”Complex Training”. http:// www.brianmac.co.uk/complex.htm Tattam, Amy. The Effects of Training on the Anaerobik Energi Sistem. www.slideshare.net. ___. Anaerobik Capacity. www.flammerouge.jet. Wises. 2008. Speed, Power, Power Endurancehttp:// wise-coach.com/speed-power-power-endurance. html Ward, P. (2009). Complex Training – Are Specific Rest Intervals Important?.[Online].http:// optimumsportsperformance.com/blog.
PENGARUH METODE LATIHAN DAN KEMAMPUAN MOTORIK TERHADAP DAYA LEDAK TENDANGAN DOLLYO TAEKWONDO Oleh: Jonas Solissa, S.Pd. Dosen Program Studi Penjaskesrek Universitas Pattimura Ambon
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh metode latihan pliometrik dan metode latihan beban terhadap daya ledak tendangan dollyo Taekwondo. Penelitian dilaksanakan pada mahasiswa Penjaskesrek FKIP Universitas Pattimura Ambon, menggunakan metode eksperimen dengan disain faktorial 2 x 2. Data dianalisis menggunakan Analisis Varian (ANOVA). Hasil penelitian menunjukan, bahwa: (1) Secara keseluruhan terdapat perbedaan daya ledak tendangan dollyo Taekwondo antara metode latihan pliometrik dengan metode latihan beban, (2) Terdapat interaksi antara metode latihan dengan kemampuan motorik terhadap daya ledak tendangan dolyo Taekwondo, (3) Bagi taekwondoin yang memiliki kemampuan motorik tinggi, metode latihan pliometrik lebih baik dibanding metode latihan beban terhadap daya ledak tendangan dollyo Taekwondo, (4) Bagi taekwondoin yang memilki kemampuan motorik rendah, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara metode latihan pliometrik dengan metode latihan beban terhadap daya ledak tendangan dollyo Taekwondo. Kata kunci: Efek, Metode Latihan, daya ledak tendangan, kemampuan motorik.
PENDAHULUAN
kompleks dari sebuah proses pembinaan. Pembinaan dan pelatihan Taekwondo, selain pengusaan teknik dasar semakin disesuaikan dengan ilmu dan prinsip-prinsip olahraga prestasi, yang secara umum menitikberatkan kepada kemampuan maksimal tubuh. Kemampuan tersebut adalah kekuatan (strength), daya tahan (endurance), kecepatan (speed), daya ledak (power), kelentukan (flesibility), kelincahan (agility), reaksi (reaction), dan kesegaran jasmani (fitness).
Pembinaan dan pengembangan dalam suatu cabang olahraga merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan prestasi olahraga, namun untuk mencapai hal tersebut perlu suatu perencanaan yang matang melalui sistem pembinaan yang terpadu, sistematis dan berkesinambungan. Fokus pada daerah Maluku, kualitas pembinaan prestasi cabang olahraga Taekwondo yang dilakukan selama ini masih tertinggal bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan prestasi selama empat kali kegiatan PON mengalami penurunan yang sangat drastis. Pada PON XV Taekwando memperoleh medali 1 emas, 2 perak 2 perunggu, PON XVI Taekwando memperoleh 5 perunggu, PON XVII Taekwando memperoleh 1 perunggu, dan PON XVIII Taekwondo memperoleh 1 perunggu.
Daya ledak (power) adalah salah satu unsur kondisi fisik yang memiliki peranan penting dalam kegiatan olahraga, baik sebagai unsur pendukung dalam suatu gerak tertentu maupun unsur utama dalam upaya pencapaian teknik gerak yang sempurna. Daya ledak adalah produk dari hasil kekuatan yang diterapkan oleh suatu otot yang cepat dengan kontraksi yang kuat menjadi lebih bertenaga (powerfull) dibandingkan dengan kekuatan otot yang penerapannya secara pelan. Daya ledak dalam Taekwondo adalah salah satu komponen penentu kemenangan dalam pertandingan Taekwondo.
Penurunan prestasi ini bila di kaji dari segi teknis memiliki kelemahan dalam proses pembinaan. Kelemahan yang dimaksudkan adalah terkait dengan proses pembinaan kondisi fisik yang dilakukan oleh para pelatih secara tidak sistematis. Hal ini dapat dilihat saat mengikuti pertandingan, taekwondoin (atlet taekwondo) tidak dapat bertahan sampai dengan babak final.
Dalam sistem pertandingan Taekwondo saat ini, telah diberlakukan sistem penilain elektronik atau teknologi PSS (Protector Scoring System) untuk memberikan rasa keadilan dan menghindari Taekwondo dari permainan kotor akibat dari kelemahan penilaian dengan sistem manual. Pada kenyataannya, untuk mendapatkan nilai dari sebuah tendangan tidaklah mudah, nilai akan muncul atau didapat hanya dengan tendangan yang berdaya ledak tinggi (powerfull). Tendangan yang tidak berdaya ledak tinggi tidak akan menghasilkan nilai. Saat
Pembinaan kondisi fisik tidak terlepas dari suatu analisa struktural prestasi cabang olahraga Taekwondo, tuntutan pertandingan dan kebutuhan latihan harus dilihat sebagai suatu kombinasi yang 33
Pengaruh Metode Latihan dan Kemampuan Motorik Terhadap Daya Ledak Tendangan Dollyo Teakwondo
ini, hal tersebut juga menjadi tantangan bagi para pelatih dalam mencari dan menemukan metode pelatihan yang tepat, dalam rangka meningkatkan daya ledak tendangan Taekwondo. Untuk mengoptimalkan kondisi fisik taekwondoin berdasarkan uraian di atas, maka dibutuhkan solusi secara ilmiah dalam mencari dan menemukan metode pelatihan yang tepat untuk memecahkan permasalahan tersebut. Pembinaan kondisi fisik dalam rangka peningkatan daya ledak tendangan Taekwondo dapat dilakukan dengan menggunakan metode latihan pliometrik dan metode latihan beban. Latihan pliometrik, yaitu suatu metode latihan yang menitikberatkan gerakan-gerakan dengan kecepatan tinggi, serta melatih mengaplikasikan kekuatan dan kecepatan untuk menghasilkan daya ledak (power). Sebagian besar latihan adalah khusus gerakan tungkai dan pinggul, karena kelompok otot ini merupakan pusat power gerakan olahraga dan memiliki keterlibatan utama dengan semua cabang olahraga. Sedangkan latihan beban atau disebut juga “weight training” atau “resistance training” merupakan latihan dengan menggunakan beban yang berupa berat badan sendiri, atau beban dengan alat yang terbuat dari besi berupa dumbel, barbel dan mesin beban. Latihan beban merupakan metode latihan untuk peningkatan kualitas fungsi kerja otot, karena latihan ini menekankan pada kerja otot untuk menahan beban atau melawan beban dengan intensitas tertentu sesuai dengan tujuan latihan. Melatih meningkatkan daya ledak tendangan Takwondo melalui pendekatan kedua metode latihan di atas harus ditunjang oleh kemampuan motorik tingggi. Semakin baik tingkat kemampuan motorik, pada umumnya semakin baik pula peluang untuk menghasilkan kerja maksimal, demikian sebaliknya. Kemampuan motorik adalah kapasitas penampilan gerak seseorang untuk melakukan bermacam-macam aktifitas fisik secara keseluruhan. Taekwondoin yang memiliki kemampuan motorik tinggi, lebih besar peluang mencapai peningkatan daya ledak dalam jangka waktu yang lebih pendek. Merujuk pada uraian di atas, maka kajian yang terkait dengan pembinaan kondisi fisik di Taekwondo layak untuk diteliti. Karena itu, dirasa perlu adanya suatu metode latihan yang tepat dalam meningkatkan daya ledak tendangan guna pengembangan prestasi Taekwondo pada umumnya dan terlebih khusus di Maluku.
PERUMUSAN MASALAH Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
34 | Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
1. Apakah ada perbedaan secara keseluruhan antara metode latihan pliometrik dengan metode latihan beban terhadap daya ledak tendangan dollyo Taekwondo? 2. Apakah terjadi pengaruh interaksi antara metode latihan dan kemampuan motorik terhadap daya ledak tendangan dollyo Taekwondo? 3. Apakah ada perbedaan daya ledak tendangan dollyo Taekwondo antara taekwondoin yang dilatih dengan metode latihan pliometrik dan metode latihan beban pada kelompok kemampuan motorik tinggi? 4. Apakah ada perbedaan daya ledak tendangan dollyo Taekwondo antara taekwondoin yang dilatih dengan metode latihan pliometrik dan metode latihan beban pada kelompok kemampuan motorik rendah?
TINJAUAN PUSTAKA 1. Daya Ledak Tendangan Taekwondo Bompa (1994:76) mendefinisikan daya ledak (power) sebagai hasil kali dari kekuatan maksimum dan kecepatan maksimum. Menurut Ginnis (2005:122), bahwa daya ledak adalah produk dari hasil kekuatan yang diterapkan oleh suatu otot yang cepat dengan kontraksi yang kuat menjadi lebih bertenaga (powerfull) dibandingkan dengan kekuatan otot yang penerapannya secara pelan. Selanjutnya menurut Kirkendall (1997:240) daya ledak adalah hasil usaha dalam satuan unit waktu yang disebabkan ketika kontraksi otot memindahkan benda pada ruang atau jarak tertentu. Pendapat ini didasarkan pada kajian ilmu biomekanika, bahwa kemampuan dari seorang atlet untuk meningkatkan jarak dari suatu objek akan mempengaruhi pencapaian beberapa keterampilan. Keberhasilan di dalam keterampilan olahraga, masih memerlukan penggunaan sejumlah besar pekerjaan pada suatu objek. Di dalam beberapa cabang olahraga, tidak hanya kemampuan maksimal untuk melakukan sejumlah besar pekerjaan, tetapi juga kemampuan untuk melakukan sejumlah pekerjaan dalam waktu yang singkat. Tenaga (force) adalah istilah mekanis yang menguraikan tentang kemampuan. Di dalam mekanika, kuasa/tenaga adalah tingkat melakukan pekerjaan, atau beberapa banyak pekerjaan dilakukan dalam sejumlah waktu yang spesifik. Dari uraian di atas dapat disimpulkan batasan daya ledak adalah kemampuan seseorang untuk mengerahkan kekuatan dan kecepatan maksimalnya untuk memberikan momentum yang paling baik pada tubuh atau objek dalam suatu gerakan untuk mencapai suatu jarak atau sasaran. Daya ledak dalam Taekwondo berada antara kekuatan maksimal dan kecepatan tinggi gerak persiapan untuk melawan hambatan mendapatkan momentum tendangan
Jonas Solissa, S.Pd.
maupun kecepatan tinggi melepaskan tendangan. Taekwondoin yang memiliki daya ledak tungkai yang baik serta didukung oleh kelentukan dan teknik yang baik, dapat memperluas ruang geraknya dalam melakukan tendangan dollyo yang cepat dan bertenaga. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap pengumpulan nilai atau poin yang harus diperoleh untuk memenangkan pertandingan 2. Metode Latihan Pliometrik Metode latihan pliometrik adalah salah satu latihan favorit yang dilakukan oleh pelatih saat ini, terutama kepada cabang olahraga yang membutuhkan kemampuan power otot tungkai atau otot lengan. Istilah pliometrik adalah sebuah kombinasi kata yang berasal dari bahasa Latin, yaitu plyo dan metrics yang memiliki arti peningkatan yang dapat diukur Menurut Barnes (2003:3) pliometrik adalah suatu bentuk latihan eksplosive secara alami yang bertujuan untuk merangsang sistem syaraf tubuh sehingga penampilan menjadi lebih efektif. Donald Chu (1992:1) mengemukakan, bahwa metode latihan pliometrik adalah cara latihan yang dapat menghasilkan kontraksi otot menjadi kuat dengan gerakan-gerakan yang eksploslve, sebagai kunci utama keberhasilan dalam seluruh aktifitas Track and field. Istilah ini sering digunakan dalam menghubungkan gerakan lompat yang berulang-ulang atau latihan reflek regang untuk menghasilkan reaksi yang eksplosive. Metode latihan pliometrik memiliki ciri khusus, yaitu kontraksi otot yang sangat kuat dan merupakan respon pembebanan yang cepat dari otot yang terlibat untuk meningkatkan daya ledak. 3. Metode Latihan Beban Latihan beban (weight training) merupakan salah atau metode latihan yang paling banyak digunakan oleh pelatih-pelatih olahraga untuk membina dan meningkatkan kondisi fisik atlet. Dalam cabang olahraga weight training digunakan untuk membangun kondisi fisik umum atau kondisi fisik khusus Dreger (2006:78) menyatakan bahwa latihan beban (weight training) adalah aktivitas fisik yang dilakukan secara sistematis dengan menggunakan beban sebagai alat untuk memperbaiki kondisi fisik atlet. O’Shea (1976:25) mengemukakan, bahwa tujuan dari prinsip latihan beban untuk atlet adalah untuk mengembangkan kekuatan otot, power otot dan daya tahan otot. Dari beberapa pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa latihan beban adalah suatu bentuk latihan tahanan yang memanfaatkan suatu beban sebagai alat bantu untuk meningkatkan kondisi fisik pada
umunya dan kondisi fisik khusus pada cabang olahraga. 4. Kemampuan Motorik Menurut Kirkendal (1980:213) kemampuan motorik adalah kualitas umum seseorang yang dapat mempermudah dalam melakukan keterampilan gerak. Wall dan Murry (1994:20) mendefinisikan kemampuan motorik adalah kapasitas penampilan seseorang dalam melakukan berbagai tugas gerak. Oxendine (1968:303) mendefinisikan kemampuan motorik sebagai gambaran dari salah satu kecakapan dalam melakukan bermacammacam keterampilan dasar dan aktifitas fisik secara keseluruhan. Fungsi utama kemampuan motorik adalah untuk mengembangkan kesanggupan dan kemampuan setiap individu yang berguna untuk mempertinggi daya kerja. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa seorang individu mempunyai kemampuan motorik yang baik, tentu menjadi landasan untuk menguasai tugas keterampilan gerak yang lebih tinggi atau motorik khusus. Untuk itu, dalam meningkatkatkan daya ledak tendangan Taekwondo seorang taekwondoin sudah harus memilki kemampuan motorikt (motor ability) yang baik.
HIPOTESIS PENELITIAN 1.
2.
3.
4.
Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah: Secara keseluruhan metode latihan pliometrik lebih unggul dari pada metode latihan beban terhadap daya ledak tendangan dollyo Taekwondo. Ada pengaruh interaksi antara metode latihan dan kemampuan motorik terhadap daya ledak tendangan dollyo Taekwondo. Metode latihan pliometrik lebih unggul dari metode latihan beban terhadap daya ledak tendangan dollyo Taekwondo pada kelompok kemampuan motorik tinggi. Metode latihan beban lebih unggul dari metode latihan pliometrik terhadap daya ledak tendangan dollyo pada kelompok kemampuan motorik rendah.
METODOLOGI PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan disain Treatmen by Level 2 x 2. Populasi terjangkau berjumlah 90 orang, diambil dengan pertimbangan tertentu (purposive sampling). Penentuan sampel menggunakan teknik persentase 27% untuk batas atas yang mewakili kelompok kemampuan motorik tinggi dan 27% batas bawah yang mewakili kelompok kemampuan motorik rendah dan pembagian kelompok sel dengan cara diundi. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 40 orang, terbagi ke dalam 4 sel, Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
| 35
Pengaruh Metode Latihan dan Kemampuan Motorik Terhadap Daya Ledak Tendangan Dollyo Teakwondo
masing-masing sel 12 orang.
perlu dilakukan uji lanjut. Uji lanjut dimaksudkan untuk mengetahui tentang: a) Perbedaan pengaruh metode latihan pliometrik dengan metode latihan beban terhadap daya ledak tendangan dollyo bagi kelompok kemampuan motorik tinggi; b) Perbedaan pengaruh metode latihan pliometrik dengan metode latihan beban terhadap daya ledak tendangan dollyo bagi kelompok kemampuan motorik rendah. Rangkuman hasil uji lanjut dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini.
Instrumen penelitian yang digunakan untuk pengumpulan data, yaitu: (1) Instrumen daya ledak tendangan, dikembangkan untuk mengukur daya ledak tendangan dollyo, dan (2) Instrumen kemampuan motorik, diukur dengan tes kemampuan motorik dari Barrow. Data yang diperoleh dalam penelitian ini diolah dan dianalisis menggunakan teknik analisis varians (ANOVA) dua jalur dengan taraf signifikan α0,05 dan dilanjutkan dengan uji tuckey. Untuk menguji normalitas data digunakan uji Liliefors dan untuk menguji homogenitas data digunakan uji Barlet.
HASIL PENELITIAN Proses pembahasan hasil penelitian secara rinci dari setiap variabel berdasarkan hasil temuan penelitian dan berdasarkan pengujian hipotesis, sebagai berikut: 1. Terdapat Perbedaan Daya Ledak Tendangan Dollyo antara Metode Latihan Pliometrik dengan Metode Latihan Beban Berdasarkan hasil analisis varian (ANOVA) pada taraf signifikan α = 0,05 di dapat Fhitung = 10,667 dan Ftabel = 4,043 atau Fhitung > Ftabel dengan signifikansi 0,002. Dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan, terdapat perbedaan yang signifikan antara metode latihan pliometrik dengan metode latihan beban terhadap daya ledak tendangan dollyo Taekwondo. Dengan kata lain bahwa daya ledak tendangan menggunakan metode latihan pliometrik = 43.03 lebih besar dari pada metode latihan beban = 37.35. Hal ini berarti, bahwa hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa secara keseluruhan terdapat perbedaan daya ledak tendangan antara metode latihan pliometrik dengan metode beban terbukti. Dari hasil uji ANOVA, ditemukan perbedaan yang signifikan antara metode latihan pliometrik dengan metode latihan beban terhadap daya ledak tendangan dollyo Taekwondo. 2. Terdapat Interaksi antara Metode Latihan dengan Kemampuan Motorik terhadap Peningkatan Daya Ledak Tendangan Dollyo Taekwondo Hasil analisis varian tentang interaksi antara metode latihan dan kemampuan motorik terhadap daya ledak tendangan, bahwa harga Fo interaksi (FAB) = F-hitung = 32,016 > Ftabel = 4,043 pada α = 0,05 (signifikansi 0,000) Tampak bahwa Fhitung > Ftabel, sehingga Ho ditolak. Kesimpulannya bahwa terdapat interaksi antara metode latihan dengan kemampuan motorik terhadap daya ledak tendangan dollyo Taekwondo. Dengan terujinya interaksi tersebut, maka selanjutnya
36 | Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
Tabel 1. Rangkuman Hasil Perhitungan Uji Tuckey No
Kelompok
1
A1 dan A2
Qhitung 2,862
Qtabel (α =0,05) 2,069
Keterangan Signifikan
2
A1B1 dan A2B1
4,256
2,201
Signifikan
3
A2B2 dan A1B2
0,208
2,201
Tidak Signifikan
3. Terdapat Perbedaan Pengaruh Metode Latihan Pliometrik dengan Metode Latihan Beban Terhadap Daya Ledak Tendangan Dollyo Bagi Kelompok Kemampuan motorik Tinggi Metode latihan pliometrik memberikan pengaruh terhadap daya ledak tendangan dollyo pada kelompok yang memiliki kemampuan motorik tinggi. Hal ini terbukti berdasarkan hasil uji lanjut dalam analisis varian (ANOVA) dengan menggunakan uji Tuckey, kelompok perlakuan kemampuan motorik tinggi dengan metode latihan pliometrik (A1B1) dibanding dengan kelompok perlakuan kemampuan motorik tinggi dengan metode latihan beban (A2B1), diperoleh Qhitung = 4,256 dan Qtabel = 2,201. Dengan demikian Qhitung lebih besar dari pada Qtabel, sehingga Ho ditolak. Dapat ditafsirkan bahwa terdapat perbedaan peningkatan daya ledak tendangan dollyo secara nyata antara metode latihan pliometrik dengan metode latihan beban pada kemampuan motorik tinggi. Dengan perkataan lain, bahwa taekwondoin yang mempunyai kemampuan motorik tinggi dengan menggunakan metode latihan pliometrik = 54.04 lebih besar dari pada metode latihan beban = 38.52 dalam daya ledak tendangan dollyo chagi Taekwondo. Dengan demikian, hipotesis penelitian dinyatakan terbukti bahwa kemampuan motorik tinggi dengan metode latihan pliometrik lebih baik dibanding dengan metode latihan beban dalam peningkatan daya ledak tendangan chagi Taekwondo. 4. Terdapat Perbedaan Pengaruh Metode Latihan Pliometrik dengan Metode Latihan Beban terhadap Peningkatan Daya Ledak Tendangan Dollyo Bagi Kelompok Kemampuan Motorik Rendah Metode latihan pliometrik memberikan pengaruh terhadap peningkatan daya ledak tendangan pada
Jonas Solissa, S.Pd.
kelompok yang memiliki kemampuan motorik rendah. Hal ini tidak terbukti berdasarkan hasil uji lanjut dalam analisis varian (ANOVA) dengan menggunakan uji Tuckey, kelompok perlakuan kemampuan motorik tinggi dengan metode latihan pliometrik (A1B1) dibanding dengan kelompok perlakuan kemampuan motorik tinggi dengan metode latihan beban (A2B1), diperoleh Qhitung = 4,256 dan Qtabel = 2,201. Dengan demikian Qhitung lebih besar dari pada Qtabel, sehingga Ho ditolak. Dapat ditafsirkan bahwa terdapat perbedaan peningkatan daya ledak tendangan dollyo secara nyata antara metode latihan pliometrik dengan metode latihan beban pada kemampuan motorik tinggi. Dengan perkataan lain, bahwa taekwondoin yang mempunyai kemampuan motorik tinggi dengan menggunakan metode latihan pliometrik = 54.04 lebih besar dari pada metode latihan beban = 38.52 dalam daya ledak tendangan dollyo Taekwondo. Dengan demikian, hipotesis penelitian dinyatakan terbukti bahwa kemampuan motorik tinggi dengan metode latihan pliometrik lebih baik dibanding dengan metode latihan beban dalam peningkatan daya ledak tendangan dollyo Taekwondo.
PEMBAHASAN Berdasarka hasil pengujian hipotesis secara statistik sebagaimana dikemukakan di atas, maka pembahasan hasil penelitian ini berisi empat hal pokok, yaitu sebagai berikut: 1. Hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa taekwondoin yang dilatih dengan metode latihan pliometrik (A1) akan memberikan daya ledak tendangan dollyo Taekwondo lebih tinggi dari taekwondoin dilatih dengan metode latihan beban (A2), diterima kebenarannya. Efektivitas metode latihan pliometrik terhadap peningkatan daya ledak tendangan dollyo Taekwondo, secara teoritis metode latihan pliometrik lebih baik dari metode latihan beban, karena metode pliometrik merupakan suatu bentuk latihan yang memiliki ciri khusus, yaitu kontraksi otot yang sangat kuat dan merupakan respon pembebanan yang cepat dari otot-otot yang terlibat untuk meningkatkan kekuatan dan kecepatan disertai daya ledak. 2. Hipotesis penelitian kedua yang menyatakan bahwa ada interaksi antara metode loatihan dan kemampuan motorik terhadap daya ledak tendangan dollyo Taekwondo, diterima kebenarannya. Pengujian hipotesis yang dilakukan membuktikan bahwa ada interaksi antara metode latihan dan kemampuan motorik terhadap daya ledak tendangan
dollyo Taekwondo. Kelompok taekwondoin yang memiliki kemampuan motorik tinggi dilatih dengan metode latihan pliometrik mencapai daya ledak tendangan dollyo Taekwondo lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok taekwondoin yang memiliki kemampuan motorik tinggi yang dilatih dengan menggunakan metode latihan beban. Sebaliknya, pada kelompok mahasiswa yang memiliki kemampuan motorik rendah dilatih dengan metode latihan pliometrik mencapai daya ledak yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok mahasiswa yang memiliki kemampuan motorik rendah dilatih dengan metode latihan beban. 3. Hipotesis penelitian ketiga yang menyatakan bahwa kelompok taekwondoin yang memiliki kemampuan motorik tinggi dilatih dengan metode latihan pliometrik (A1B1) lebih tinggi daya ledak tendangan dollyo Taekwondo dari kelompok taekwondoin yang memiliki kemampuan motorik tinggi dilatih dengan metode beban (A2B1), diterima kebenarannya. Kemampuan motorik adalah kapasitas umum dalam melakukan keterampilan teknik (motorik khusus) pada suatu cabang olahraga. Seseorang yang mempunyai kemampuan motorik yang tinggi tentu memiliki keuntungan dalam melakukan gerakangerakan secara cepat dan sempurna dalam proses latihan. Metode latihan pliometrik merupakan bentuk latihan yang memiliki ciri khusus, yaitu konstraksi otot yang sangat kuat dan merupakan respon pembebanan yang cepat dari otot-otot yang terlibat, sehingga meningkatkan daya ledak. 4. Hipotesis penelitian keempat yang menyatakan bahwa taekwondoin yang memiliki kemampuan motorik rendah dilatih dengan metode latihan pliometrik (A1B2) lebih rendah daya ledak tendangan dollyo dari taekwondoin yang memiliki kemampuan motorik rendah dilatih dengan metode latihan beban (A2B2), tidak diterima kebenarannya. Kemampuan motorik yang rendah menunjukkan bahwa tingkat kesiapan dalam mempelajari atau mendapatkan daya ledak tendangan juga rendah. Ini terbukti dalam proses latihan pliometrik bagi kelompok kemampuan motorik rendah mengalami kendala dalam mempraktekan gerakan-gerakan yang tingkat kesulitannya tinggi, secara cepat dan eksplosif sesuai dengan tuntutan metode latihan pliometrik Untuk metode latihan beban, kelompok kemampuan motorik rendah tidak menemui kendala yang berarti, karena latihan beban dengan gerakan mengangkat atau melawan beban secara teratur serta beban Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
| 37
Pengaruh Metode Latihan dan Kemampuan Motorik Terhadap Daya Ledak Tendangan Dollyo Teakwondo
latihannya ditambah sedikit demi sedikit secara progresif akan merangsang otot tungkai berkontraksi secara cepat, sehingga menimbulkan kekuatan dan kecepatan yang besar disertai daya ledak. Jika di lihat dari perbedaan rata-rata metode latihan beban lebih baik dibandingkan dengan metode latihan pliometrik, tetapi secara empirik perbedaan tersebut tidak bermakna (tidak signifikan). Meskipun demikian, rekomendasi bagi taekwondoin yang memiliki kemampuan motorik rendah boleh memilih latihan pliometrik dan beban bila ingin meningkatkan daya ledak tendangannya. Dari hasil Kesimpulan dalam penelitian ini sebagai berikut: (1) secara keseluruhan, hasil daya ledak tendangan dollyo Taekwono melalu penerapan metode latihan pliometrik lebih baik dari pada latihan beban, (2) terdapat interaksi antara metode latihan dengan kemampuan motorik terhadap daya ledak tendangan dolyo Taekwondo, (3) bagi taekwondoin yang memiliki kemampuan motorik tinggi, metode latihan pliometrik lebih baik dibanding dengan metode latihan beban terhadap daya ledak tendangan dollyo Taekwondo, (4) bagi taekwondoin yang memilki kemampuan motorik rendah, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara metode latihan pliometrik dengan metode latihan beban terhadap daya ledak tendangan dollyo Taekwondo.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitan dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) secara keseluruhan, hasil daya ledak tendangan dollyo Taekwono melalu penerapan metode latihan pliometrik lebih baik dari pada latihan beban, (2) terdapat interaksi antara metode latihan dengan kemampuan motorik terhadap daya ledak tendangan dolyo Taekwondo, (3) bagi taekwondoin yang memiliki kemampuan motorik tinggi, metode latihan pliometrik lebih baik dibanding dengan metode latihan beban terhadap daya ledak tendangan dollyo Taekwondo, (4) bagi taekwondoin yang memilki kemampuan motorik rendah, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara metode latihan pliometrik dengan metode latihan beban terhadap daya ledak tendangan dollyo Taekwondo.
38 | Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
Implikasi dari temuan ini membuktikan: (1) Kemampuan motorik perlu dipertimbangkan dalam pengembangan daya ledak tendangan Taekwondo, berlatih meningkatkatkan daya ledak tendangan, terlebih dahulu berlatih meningkatkan kemampuan motorik (motor ability), (2) Terbukti metode latihan pliometrik lebih efektif untuk meningkatkan daya ledak tendangan dollyo Taekwondo,
DAFTAR PUSTAKA Bompa, Tuodor O. Theory and Methodology of training dubugue: IOWA Kendal/hunt, pub Camp, 1994 Barnes, Michel. Infroduction to Plyometrics. 2003. Journat SCA’’: Performance Training, Vol.2, Number 2 (www-nsca = lift.orq/perform). Bismar, Rum Pengaruh Latihan Pliometrik dan Latihan Beban Terhadap Hasil Belajar Forehand Drive Tenis Lapangan, (Jakarta: Disertasi Pps UNJ Jakarta, 2004 Chu, Donald. Jumping lnto Plyometrics, California: Leisure Press.lllinois, 1992 Ginnis, Mc.Peter Merton, Biomechanics of Spot and Exercise Seven Edition United States of America: Human Kineticcs, 2005. Kirkendall, Don R. Measurement and Evaluation for Physical Education, diterjemahkan oleh M E. Winarno, dkk. Jakarta: ASWIN, 1997. Laporan Kerja KONI Provinsi Maluku, 2012. O’Shea J.P. Scientefic Principles and Methodology Strength Fitness. California: Addision Westley Publishing Company, 1976. Oxidine, Josep B Psycology of Motor Leaming New York: Appleton-Century-Crofts, 1968 Suryadi, Yoyok Taekwondo Poomse Taegeuk. Jakarta: PT Gramedia, 2002. Sudjana, Disain dan Analisis Eksperimen, Bandung: Tarsito: 2002. Undang-undang RI, Tentang Sistem Keolahragaan Nasional, Jakarta: Menegpora, 2005 Verducci, Frank M. Measurement Concept in Physical Education. St.Louis: Mosby Company,1980. Wall Jenifer dan Murray Nancy, Children & Movement, Physical Education in The Elementary School, Lowa: ECB Brown & Benchmark, 1994.
DAMPAK PELATIHAN “TABATA” TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN DINAMIS ANAEROBIK LAKTASID PADA PEMAIN FUTSAL PUTERI UPI Oleh: DR. Dikdik Zafar Sidik, M.Pd, dkk.
ABSTRAK Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh pelatihan TABATA terhadap peningkatan kemampuan dinamis anaerobik laktasid yang dalam penelitian ini terdiri dari “speed endurance”, “agility endurance”, dan “power endurance”. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan disain One group pretest and posttest dengan memberikan perlakuan kepada para pemain futsal puteri yang tergabung dalam unit kegiatan olahraga prestasi futsal mahasiswa puteri yang berjumlah 18 orang. Eksperimen ini menerapkan pelatihan metode TABATA dengan intensitas 75%. Data yang diperoleh merupakakn hasil tes dan pengukuran pada komponen fisik daya tahan speed dengan tes lari sprint 150 m, daya tahan agility denga tes kelincahan bolak balik jarak 10 m untuk 10 pembalikan, dan daya tahan power dengan tes lompat gawang yang tingginya 20 cm selama 30 detik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelatihan TABATA memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan dinamis Anaerobik Laktasid yang terdiri dari peningkatan yang signifikan pada kemampuan daya tahan speed, daya tahan agility, dan daya tahan power. Implikasi dari penelitian ini adalah bahwa peningkatan kemampuan fisik merupakan hasil dari penerapan metode latihan yang adekuat. Kata Kunci: Kemampuan Anaerobik, anaerobik laktasid, speed endurance, agility endurance, power endurance, dan Pelatihan “TABATA”.
PENDAHULUAN
cabang olahraga tersebut diselenggarakan pada single event. Sehingga masalah ini tentunya akan berdampak pada kesiapan setiap atlit sesuai dengan regulasi yang diberlakukan untuk kemudian dilaksanakan dalam proses pelatihan.
A. Latar Belakang Penelitian Prestasi olahraga modern saat ini sangatlah pesat dan menunjukkan adanya kontribusi dari banyak faktor yang senantiasa mengalami perubahan signifikan secara inovatif. Hal ini terlihat dari munculnya prestasi yang sangat mengagumkan baik pada multi event maupun ketika berlangsungnya single event.
Pada momen single event dalam suatu cabang olahraga baik cabang olahraga terukur (seperti: Atletik, Renang, Balap Sepeda, Dayung, Sepatu Roda, dan lain-lain yang gerakan prestasinya sangat dominan menampilkan keterampilan sejenis/siklis), cabang olahraga akurasi (seperti: Panahan, Menembak, Billiard, Golf, Woodball, Ten Pin, Pétanque dan lain-lain) yang dominan ketepatan mengarahkan alat ke sasaran), cabang olahraga beladiri (seperti: pencak silat, tinju, karate, taekwondo, judo, gulat, wushu, anggar, tarung drajat, muay thai, dan vo vienam yang seluruhnya menampilkan dominasi gerak cepat dan kuat dalam ilim yang keras), serta cabang olahraga permainan (seperti: sepak bola, futsal, voli, basket, bulutangkis, tenis, tenis meja, softball, baseball, squash, dan bola tangan yang selalu menampilkan keterampilan tinggi dengan kualitas fisik yang prima) tentunya membutuhkan analisa yang cukup jeli untuk mencermati kebutuhan dan tuntutan apa yang sebenarnya harus dimilik oleh setiap atlit. Hal inilah yang tentunya menjadi bagian dari kajian-kajian yang berlandaskan pada sport sciences.
Pada setiap momen multi event baik tingkat daerah (seperti: PORDA/PORPROV, POPDA, POMDA, POPWIL, dan lain-lain), tingkat nasional (seperti: POPNAS, PON, POMNAS, dan lain-lain), tingkat regional Asia Tenggara (seperti: ASEAN SCHOOL Games, SEA Games, POMASEAN, dan lan-lain), tingkat Asia (seperti: ASIAN Youth Games, ASIAN Games, ASIAN BEACH Games, dan lain-lain), dan di tingkat dunia (seperti: Olympic Youth Games, Olympics Games, Islamic Solidarity Games, dan lainlain) setiap pelatih harus memahami karakateristik dari setiap kompetisi dalam raihan prestasi maksimal dengan tentunya juga memahami karakteristik atlit dalam mencapai prestasi maksimal pada multievent yang diikuti cabang olahraganya. Hal ini dimaksudkan agar pelatih memahami ciri cabang olahraga dalam kompetisi pada multievent yang tentunya berbeda ketika 39
Dampak Pelatihan "Tabata" Terhadap Peningkatan Kemampuan Dinamis Anaerobik Laktasid Pada Pemain Futsal Putri UPI
Perkembangan ilmu pengetahuan keolahragaan terkini yang dideskripsikan dalam kajian ilmu kepelatihan olahraga atau sering disebut dengan training science merupakan bagian yang tidak boleh diabaikan oleh setaip pelatih. Perkembangan ini ditandai dengan banyak kajian penelitian dalam ilmu keolahragaan khususnya dalam ilmu kepelatihan olahraga yang mengungkapkan tentang aspek-aspek latihan seperti aspek peningkatan kemampuan teknik mulai dari kajian pembelajaran gerak teknik dasar sampai dengan pelatihan teknik tingkat lanjutan agar mendapatkan kemampuan keterampilan (skill) yang sempurna. Kajian-kajian ini seperti yang diterapkan di Universitas Negeri Michigan (Michigan State University melalui program ATRL (Athletic Training Research Laboratory, www.education.msu.edu/ kin/research/atrl.asp. 2014). Pelatihan olahraga khususnya tentang pelatihan fisik yang fisiologik membahas tentang kemampuan aerobik dan anaerobik yang benar-benar dibutuhkan oleh setiap cabang olahraga dan atlitnya. Hal ini mempertimbangkan bagaimana upaya pencapaian prerstasi maksimal harus dicapai. Oleh karena itu, perkembangan prestasi ini harus diikuti dengan peningkatan kompetensi para pelatih dalam melakukan pembinaan dan pelatihan kepada atlitnya. Kompetensi pelatih dalam memahami metodologi pelatihan (Training methodology) merupakan syarat mutlak untuk membantu atlit dalam meraih prestasi secara maksimal. Pelatih harus mampu mempersiapkan rencana latihan secara cermat berdasarkan teori latihan yang berpedoman pada prinsip-prinsip dan norma-norma latihan sehingga pelatihan dapat dilaksanakan secara adekuat (Dikdik, 2010). Peran dan manfaat metodologi pelatihan fisik dalam olahraga prestasi sebagai wujud implementasi yang berujung pada sebuah prestasi bukanlah sesuatu hal yang dengan mudah dirasakan. Hal ini membutuhkan proses yang berlangsung bukan dalam waktu yang singkat, akan tetapi proses ini harus berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang. Oleh karena itu, dalam dunia kepelatihan mengenal istilah periodisasi yang berarti bahwa setiap kegiatan latihan harus direncanakan secara bertahap, sistematis, progresif, dan kontinyu (Frank Dick Freemann, 1998). Kebutuhan fisik setiap cabang olahraga dalam mencapai puncak prestasi sangat beragam. Hal ini ditentukan oleh karakateristik cabang olahraga. Namun pada dasarnya kebutuhan fisik cabang olahraga terbagi dalam dua bagian kebutuhan dominan, yaitu dominan kemampuan dinamis Aerobik atau dominan kebutuhan dinamis anaerobik (Santosa G., 2012). Kebutuhan fisik cabang olahraga merupakan implementasi dari
40 | Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
kebermaknaan fisiologik yang terjadi dalam setiap aktivitas atlit. Hal ini terbagi dalam penggunaan sistem energi pada aktivitas fisik atlit (Jansen, 2001). Kebutuhan dan tuntutan fisik atlit dalam meraih prestasi puncak juga tidak terlepas dari karakteristik setiap cabang olahraga. Oleh karena itu, setiap pelatih mengawali pemahamnnya terhadap karakteristik cabang olahraga dan bahkan nomor (event) dalam cabang olahraga masing-masing, setelah itu baru memahami karakteristik atlit dari berbagai aspek secara komprehensif agar ketika membantu meningkatkan potensinya berbuah hasil maksimal. Dalam banyak referensi mengemukakan bahwa atlit yang menekuni prestasi dalam cabang olahraga tentunya akan sampai pada nomor yang akan digeluti secara maksimal, seperti misal dalam cabang olahraga permainan futsal maka setiap pemain mempunyai karakter yang berbeda dalam berbagai posisi. Kebutuhan fisik penjaga gawang tentunya akan berbeda jika dibandingkan dengan pemain lapangan karena tugas penampilan yang berbeda. Namun demikian seluruh pemian membutuhkan kualitas fisik yang prima. Sehingga anatara cabang olahraga dan atlit dalam proses pelatihan tidak dapat dipisahkan kebutuhan, tuntutan, dan kebermaknaannya. Guna meningkatkan kualitas fisik setiap atlit (pemain) maka dibutuhkan pelatih yang kompeten bagaimana meningkatkan kualitas potensi pemain. Pada masa modern sekarang ini telah banyak penerapan metode pelatihan fisik yang sudah dimanfaatkan oleh para pelatih kelas dunia di seluruh cabang olahraga. Hal ini terbukti dengan semakiin banyaknya kajian penelitian tentang pelatihan fisik yang berbasis didaktik dan metodik. Salah satu yang saat ini sedang semarak dikaji dan diterapkan hasil penelitiannya adalah tentang pelatihan interval (Interval training method). Istilah Interval training sudah digunakan sejak tahun 1912 ketika Hannes Kolehmainen peraih medali emas olimpiade tahun itu merancang program latihan interval saat itu dengan konsisten 1000 meter dengan jumlah pengulangan 5 – 10 repetisi, kecepatan 74 detik per 400 m-nya. Catatan waktu yang diminta untuk setiap 1000 meternya adalah 3 menit 5 detik. Contoh lain yang dilakukan oleh Gosse Holmer “father” latihan Fartlek ketika melatih Gunder Hagg dalam latihan fartlek 10 km tahun 1942. Dan yang paling fenomenal adalah munculnya pola latihan yang membuat orang ragu akan hasil pelatihan interval, seperti yang dilakukan oleh Emil Zatopek persiapan Olimpiade 1952 Helsinki. Kajian penelitian terdahulu yang relevan dengan penerapan Interval adalah tentang HIIT (High Intensity Interval Training), yaitu bentuk latihan kekuatan dipopulerkan pada 1970-an oleh Arthur
DR. Dikdik Zafar Sidik, M.Pd, dkk.
Jones latihan ini berfokus pada melakukan pengulangan latihan beban kualitas ke titik sesaat terjadinya kegagalan otot. Pelatihan memperhitungkan jumlah pengulangan, jumlah berat, dan jumlah ketika otot tegang untuk memaksimalkan jumlah serat otot perekrutan. Penelitian tentang metode TABATA, seperti yang dikemukan oleh pencetusnya yaitu Dr. Izumi Tabata pada tahun 1996 melalui penelitian pada para atlit cabang olahraga ski es (ice skating) tentang bagaimana penerapan pelatihan Interval secara intensif yang memberikan inspirasi untuk ditindaklanjuti ke berbagai nomor dan cabang olahraga. Sehingga hal ini perlu adanya kajian penelitian yang lebih terarah dan tepat sasaran.
B. Identifikasi Masalah Penelitian Permasalahan-permasalahan yang muncul dalam pelatihan fisik pada olahraga prestasi diantaranya: 1. Apakah metode-metode latihan memberikan dampak yang sama terhadap peningkatan kemampuan atlit secara keseluruhan? 2. Apakah metode-metode latihan mempunyai kesamaan dalam penerapannya pada setiap periode? 3. Apakah setiap komponen fisik dapat meng gunakan metode-metode latihan yang sama? 4. Apakah setiap metode latihan akan memberikan dampak fisiologik yang sama ? 5. Bagaimanakah metode dan bentuk latihan yang tepat dan sesuai untuk masing-masing komponen? 6. Bagaimanakah metode dan bentuk latihan yang tepat dan sesuai untuk masing-masing periode dalam program latihan?
C. Rumusan Masalah Penelitian Apakah pelatihan Metode TABATA memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan dinamis Anerobik Laktasid?
D. Tujuan Penelitian Peneltian ini bertujuan untuk mengetahui: Dampak pelatihan Metode TABATA terhadap peningkatan kemampuan dinamis Anerobik Laktasid
E. Manfaat Penelitian Secara Teoretik Penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap perkembangan ilmu dan wawasan konseptual bagi para pelaku dan akademisi yang perhatian terhadap olahraga prestasi khususnya bagi
pengayaan ilmu kepelatihan bagi para pelatih di lapangan. Secara Praktik Penelitian ini akan memberikan manfaat praktis bagi para pelatih dalam mengembangkan potensi atlit secara maksimal.
KAJIAN TEORETIK, KERANGKA BERFIKIR, DAN HIPOTESIS KAJIAN TEORETIK A. Hakikat Kemampuan Dinamis Anaerobik Kemampuan anaerobik adalah kemampuan tubuh langsung mewujudkan gerak dan juga merupakan kemampuan dari sistem kerja primer yang dalam hal ini terwujud dengan gerak otot dimana mekanisme penyediaan energi untuk mewujudkan gerak yang bergantung pada kebutuhan O2 tidak dapat terpenuhi seluruhnya oleh tubuh, ketika terjadi pertukaran energi dalam jaringan tubuh. Dengan kata lain, Tattam (www. slideshare.net/jorrflv/effect of training on the energisistem) mendefinisikan bahwa kemampuan anerobik adalah “capable of living without oxygen.” Kemampuan anaerobik mendorong tubuh melakukan gerak maksimal sampai waktu tertentu, sehingga paruparu tidak mampu memasukkan O2 ke otot-otot yang dibutuhkan. Jadi, tubuh melakukan gerak tanpa O2 dan dilakukan dalam waktu yang singkat. Selama waktu ini, tubuh akan menghasilkan asam laktat yang merupakan alasan mengapa tubuh merasa lelah. Besarnya kapasitas anaerobik dapat menunjukkan besarnya tuntutan/keperluan O2 yang akan terwujud sebagai beratnya beban atau intensitas kerja yang dilakukan (Giriwijoyo,2010:131). Kemampuan anaerobik ini sering dimanfaatkan oleh atlet dalam mempromosikan kecepatan, kekuatan, dan untuk membangun massa otot. Secara fisiologi, ada 2 jenis sistem energi anaerobik yaitu: 1. ATP (Adenosin Tri Posfat) dan CP (Pospat Creatin), dimana kurang lebih dalam 10 detik pertama dari gerak (sistem anaerobik), tubuh akan membakar ATP yang tersimpan sebagai sumber energi. 2. Glikolisis anaerobik. Setelah ATP-CP yang tersimpan di dalam otot terbakar habis, tubuh akan membuat ATP yang lebih dengan mendongkrak karbohidrat yang hadir melalui proses glycolysis. Untuk lebih jelasnya mekanisme proses sistem energi anaerobik ini dapat dilihat pada gambar 2.1.
Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
| 41
Dampak Pelatihan "Tabata" Terhadap Peningkatan Kemampuan Dinamis Anaerobik Laktasid Pada Pemain Futsal Putri UPI ADP
Creatine
ATP
Glucose (from glycogen breakdown or delivered from blood)
Glycolysis in cylosol 2
O2
ATP net gain
Pyruvic acid O2
Released to blood
Lactic acid
a) Direct photosphorylation [couple reaction of creatine phosphare (SP) and ADP]
b) Anaerobic mechanism (glycolysis and lactic acid formation)
Energy source: CP
Energy source: glucose
Oxygen use: None Products: 1 ATP per CP, creatine Duration of energy provision: 15s.
Oxygen use: None Products: 2 ATP per glucose, lactic acid Duration of energy provision: 30-60s.
Gambar 2.1. Metabolisme Otot: Energi untuk kontraksi (Sumber: www.slideshare.net/jorrflv/human anatomy & physiology/muscleenergi-sistem)
Berdasarkan mekanisme kerjanya anaerobik ini terbagi menjadi dua bagian yaitu anaerobik alaktasid dan anaerobik laktasid. Dalam penelitian ini lebih diperjelas hanya dalam pemahaman tentang kemampuan dinamis anaerobik laktasid sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian.
B. Hakikat Kemampuan Anaerobik Laktasid Sistem lain yang beroperasi tanpa menggunakan O2 untuk membantu memulihkan pasokan ATP dalam otot adalah sistem asam laktat. Sistem ini melibatkan pemecahan parsial glukosa untuk membentuk asam laktat. Sistem ini yang dilibatkan oleh tubuh manusia sebagai kemampuan anaerobik laktasid. Energi yang disediakan oleh sistem ini untuk tubuh adalah penting karena menyediakan pasokan cepat ATP untuk tubuh yang membantu dalam ledakan singkat intens kegiatan yang biasanya berlangsung dari sekitar 30-60 detik dan dapat bertahan hingga 2 menit. Jika intensitas dari kegiatan ini dapat dipertahankan maka asam laktat kemudian akan terakumulasi dalam otot. Glycogen
Glucose
Pyrucic Acid
Insufficient Oxygen
Lactic Acid
ADP +P
ATP
Gambar 2.3 Sistem Glikolisis Sumber: http://www.flammerouge.je/content/3_factsheets/constant/anaerobik. htm
Adapun komponen kondisi fisik yang memanfaatkan sistem energi anaerobik laktasid seperti speed endurance, agility endurance, dan power endurance. i. Hakikat Kemampuan Daya Tahan Kecepatan (Speed Endurance) Speed endurance atau daya tahan kecepatan adalah kemampuan tubuh manusia untuk bergerak dengan cepat
42 | Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
dalam jangka waktu yang lama, tanpa menunjukkan kelelahan yang berarti. Daya tahan kecepatan sering dikenal juga dengan “stamina”. Bila dilihat dari sistem kerja pemanfaatan energi, daya tahan kecepatan memanfaatkan sistem ATP-PC dan cadangan sistem anaerobik glikoolisis. Daya tahan kecepatan adalah tingkatan kondisi fisik yang lebih tinggi dari daya tahan, atlet yang sudah memiliki daya tahan yang bagus maka harus dilatih untuk membentuk daya tahan kecepatan atau speed endurance atau stamina. Dalam daya tahan atlet bekerja dengan klasifikasi kerja aerobik, sedangkan dalam speed endurance atlet bekerja dengan klasifikasi anaerobik laktasid, dengan lamanya waktu kerja antara 60 – 90 detik dengan usaha submaksimal, dan sumber energi ATP + PC + Glikogen. Dalam kondisi kerja atau latihan seperti ini tubuh dipaksa untuk tetap bekerja dan bertahan terhadap kelelahan yang ditimbulkan oleh munculnya asam laktat di dalam darah yang tidak bisa tercover oleh kemampuan aerobic pada saat sedang bekerja. Seperti yang dijelaskan oleh Janssen (2001: 4) bahwa: “This phase of the oxygen sistem is unable to neutralize the lactate acid formed in the first phase, and the accumulation of lactic acid increases in the working muscles, which is condition known as acidosis. Muscle soreness is characteristic of increasing acidosis.” Kondisi latihan ini sangat berat, karena pada saat atlet berlatih dengan kondisi ini maka atlet akan merasakan pegal dan sakit pada otot sehingga atlet merasa tidak mampu lagi untuk melanjutkannnya, kondisi dimana atlet untuk tetap berlatih atau bekerja dengan munculnya asam laktat dalam darah ini yang disebut kondisi kemampuan speed endurance. Fat
Glycogen CP ATP 4 sec 8 sec
ATP : 5 kilojoule/1.2 Kcal CP : 15 kilojoule/3.6 Kcal Glycogen : 5,000 kilojoule/1,200 Kcal Fat : 20,000 kilojoule/24,000 Kcal
60-90 min
To 120 h
Gambar 2.9 Sumber energi untuk unjuk kerja (Sumber: P. Jansen, Lactate Threshold Training) 25
Graph 4
20 L (mmol/l)
CP
15 10 5 0
100 200 300 400 500 m
800
1500
5000
10,000
Gambar 2.10 Hubungan antara kerja maksimal dengan munculnya asam laktat (Sumber: P. Jansen, Lactate Threshold Training)
DR. Dikdik Zafar Sidik, M.Pd, dkk.
ii. Hakikat Kemampuan Daya Tahan Kelincahan (Agility Endurance) Pendapat para ahli di atas mengenai kelincahan atau agility adalah kemampuan seseorang untuk mengubah arah dan posisi tubuh dengan cepat dan tepat pada waktu bergerak, tanpa kehilangan keseimbangan dan kesadaran akan posisi tubuhnya, serta gerakan tersebut terkoordinasi dengan baik (dijelaskan pada kemampuan kelincahan). Dalam agility endurance, kemampuan kelincahan tersebut dilakukan berulang-ulang dengan penekanan pada banyaknya melakukan pembelokan dengan waktu relatip cukup lama, klasifikiasi kerjanya anaerobik laktasid dengan lama waktu kerja antara 30– 60 detik dan sumber energi dari ATP + PC dan Glikogen. Kemampuan fisik ini menuntut banyak kondisi fisik yang lain di antaranya kekuatan maksimal, kelincahan, kecepatan akselerasi, daya tahan, dan koordinasi. Pada kondisi agility endurance, atlet mampu berlari dengan kecepatan tinggi, dan berubah arah secara cepat dalam waktu yang relative lama dan dalam jumlah pengulangan yang cukup banyak. Relative lama disini dimaksudkan bahwa dengan banyaknya belok dan lamanya berlari diharapkan tidak terjadi penurunan kecepatan gerak, oleh karena itu supaya tidak terjadi penurunan kecepatan gerak dalam usaha yang maksimal maka dalam bekerjanya itu jangan sampai muncul asam laktat, sebagai factor penurunnya penampilan. Asam laktat muncul antara waktu 20 – 120 detik, tergantung pada tingkat kebugaran yang dimiliki. Oleh karena itu agility endurance di batasi oleh makna kecepatan gerak dalam bentuk agility, dan lamanya bekerja sampai dengan munculnya asam laktat dalam darah. Oleh karena itu, hal yang perlu diperhatikan ketika melakukan daya tahan kelincahan adalah memperhatikan jarak tempuh akselerasi yang tidak terlalu panjang (sesuai dengan jarak kemampuan kelincahan), mempertahankan jumlah pengulangan yang cukup banyak sesuai dengan durasi anaerobik laktasid. iii. Hakikat Kemampuan Daya Tahan Power (Power Endurance), Dari penjelasan tentang power, maka mengenai unsurunsur pembentuk power endurance (PE) menyimpulkan bahwa daya tahan power adalah kemampuan otot untuk berkontraksi secara berulang-ulang dengan cepat dan kuat dalam waktu yang relatif cukup lama. Dengan klasifikasi kerja maksimal anaerobik laktasid, durasi maksimal waktu yang dilakukan antara 30 – 120 detik, dan sumber energi ATP + PC dan Glikogen. Kondisi fisik ini sangat dibutuhkan oleh berbagai cabang olahraga yang menuntut gerak yang eksplosive dan cukup lama.
Seperti yang dijelaskan oleh Wises dalam http:// wise-coach.com/speed-power-power-endurance.html © 2008-2010 Wise Technologies Ltd. Bahwa: “Sports that are more complex in their nature, often require also the ability to sustain the high level of such quickness over a longer time period. For this purpose endurance in power”. Power yang dipengaruhi oleh dua unsur komponen fisik yaitu kecepatan dan kekuatan otot amat berpengaruh dalam futsal. Kecepatan yang dilakukan dalam futsal digunakan untuk melakukan sprint dalam akselerasi, dalam merebut bola ataupun saat transisi dari keadaan menyerang (attack) ke keadaan bertahan (defend). Seagrave (1992, hlm. 3, dalam Mulyawan 2014, hlm. 13) menegaskan dalam sub-bab Neuro-Biomechanics Applied to Sprinting bahwa, “When the individuals think of sprinting speed, they are thinking of mean horizontal velocity.” Mengandung pengertian bahwa kecepatan yang dipakai dalam cabang olahraga futsal termasuk ke dalam kecepatan yang horizontal. F
Landing/reaction power
Power-endurance
Throwing power
M-E short
Takeoff power Starting power
M-E medium
Deceleration power Acceleration power
S
M-E long
S-E
Anaerobic threshold velocity
Aerobic threshold velocity
E
Gambar 2.3. Sport-specific combinations among the dominant biomotor abilities Periodization Training for Sports
Dari gambar tersebut, Bompa menjelaskan mengenai kombinasi spesifikasi olahraga diantara kemampuan biomotor yang dominan. Terlihat bahwa komponen power endurance berada di bagian paling atas dalam garis F-E, dimana F (Force) similar dengan strength (kekuatan) sedangkan E adalah endurance (daya tahan). Sebagaimana dijelaskan oleh Bompa (1999, hlm. 9): Power-endurance is on top of the F-E axis because of the importance of strength for activities such as rebounding in basketball, spiking in volleyball, jumping to catch the ball in Australian football and rugby, or jumping to head the ball in soccer. All these actions are power-dominant movements. The same is true for some skills in tennis, boxing, wrestling, and martial arts. More than power has to be trained to performsuch actions successfully throughout a game or match since these actions are performed 100 to 200 or more time per game Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
| 43
Dampak Pelatihan "Tabata" Terhadap Peningkatan Kemampuan Dinamis Anaerobik Laktasid Pada Pemain Futsal Putri UPI
or match. Although it is important to jump high to rebound a ball, it is equally important to duplicate such a jump 200 times per game. Consequently, both power and power endurance have to be trained. Artinya, power endurance berada di bagian paling atas pada garis F-E karena pentingnya kekuatan untuk aktivitas seperti rebound dalam basket, spike dalam voli, atau loncat untuk heading bola dalam sepakbola. Semua kegiatan tersebut merupakan gerakan yang dominan power. Sama halnya dengan beberapa skill dalam tenis, tinju, gulat, dan seni beladiri lainnya. Lebih banyak power yang harus dilatih untuk menampilkan gerakan yang menyeluruh dengan baik dalam satu permainan atau pertandingan sejak gerakan ini ditampilkan 100 sampai 200 kali atau berulang-ulang dalam setiap pertandingan atau permainan. Meskipun penting untuk melompat tinggi dalam me-rebound bola, sama pentingnya untuk menggandakan lompatan 200 kali dalam satu permainan. Konsekuensinya, keduanya yaitu power dan power endurance harus dilatih. Menurut Volker (2005, hlm 98, dalam mulyawan 2014, hlm. 15) “Power endurance is the ability to continue to work at a high power output and depends not only on strength but also on anaerobic fitness and aerobic base”. Yang maksudnyapower endurance adalah kemampuan untuk melanjutkan pekerjaan pada kekuatan luar tertinggi dan tidak hanya tergantung pada kekuatan saja tapi juga pada anaerobic fitness dan aerobic base. Begitu pula dengan yang dikemukakan oleh Nick (2014:http://livestrong.com/article/111393power-endurance-exercise) yang dikutip dari Santana menjelaskan bahwa: “power endurance is your ability to perform consecutive power (strength and speed) exercises with the least amount of recovery time. It helps build stamina (ability to resist fatigue), muscle mass, and increase reflexes necessary in many sports, particularly combat sports like mixed-martial arts and boxing”. Artinya bahwa gerakan power yang dilakukan secara berturut-turut dengan waktu pemulihan yang singkat dinamakan power endurance. Kemampuan ini akan membantu membangun stamina (kemampuan melawan kelelahan), massa otot, dan juga meningkatkan reflex yang diperlukan dalam cabang olahraga beladiri. Ciri dari gerakan power endurance adalah gerakan yang eksplosif tanpa berhenti dalam jumlah pengulangan yang banyak. Sehingga tuntutan fisiologis sangat berperan terutama pemahaman tentang sumber energy yang bersifat anaerobik lakatasid, karena gerakan power endurance akan membangun tingkat asam laktat yang tinggi. Hal ini diungkapkan oleh Bompa (1993, hlm.
44 | Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
178) bahwa “During this type of work the athlete will experience a high level of lactic acid build up, which will impair his/her ability to repeat quality work before itwill be disposed of”. Ketika power endurance dilakukan maka iramanya harus cepat dan dinamis seperti yang diungkapkan bahwa “the rhytm/speed of performance has to be very dynamic and explosive”. Oleh karena itu, ketika power endurance ini dilakukan maka membutuhkan kemampuan kekuatan pada bagian gerak utama (core), mobilitas yang optimal, teknik gerakan yang memadai dan ketika gerakan ini dilakukan harus selalu berada dalam pengawasan dan pengendalian pelatih yang memahami pelatihan ini dengan baik. Power endurance juga penting peranannya dalam meningkatkan kemampuan eksplosif dalam cabang olahraga futsal yang harus dilatih dua kali lebih banyak dari karakteristik cabang olahraga dalam satu pertandingan agar terdapat peningkatan kemampuan yang signifikan. Dari pendapat tersebut jelas bahwa banyak olahraga yang menuntut penampilan suatu komponen kondisi fisik yang cepat kuat dan tahan lama ini berarti komponen kondisi fisik yang dibutuhkan adalah power endurance. Penampilan komponen kondisi fisik ini hanya dapat ditampilkan oleh atlet yang memiliki tingkatan “high level performance”. Dalam cabang olahraga futsal yang pergerakannya sangat cepat dan berlangsung cukup lama, yaitu 2 x 20 menit (bersih) mengerahkan kemampuan kecepatan gerak dan daya eksplosif yang harus dilakukan dalam jumlah pengulangan yang banyak. Hal ini tentunya membutuhkan kemampuan daya tahan kecepatan gerak yang bersifat laktasid sehingga kebutuhan dan tuntutan akan kemampuan ini harus benar-benar mendapatkan porsi latihan yang adekuat pada masa yang tepat.
C. HAKIKAT METODE LATIHAN TABATA Pelatihan Tabata merupakan pelatihan yang secara referensi secara spesifik masih sangat sedikit. Latihan Tabata merupakan suatu program latihan yang disebut juga HIIT (High Intensity Interval Training). Teknik latihan tersebut dipopulerkan oleh seorang ahli pelatih fisik berkebangsaan jepang yaitu Profesor Izumi Tabata dengan tujuan untuk meningkatkan cardiovaskular dan kekuatan otot. Bahwa istilah tabata itu digunakan oleh Izumi Tabata melalui penelitian pada cabang olahraga sepeda dalam upaya meningkatkan prestasi kondisi fisik atletnya terutama meningkatkan sistem aerobik dan anaerobik atlet. Latihan tabata merupakan latihan pengembangan dari metode interval training, hanya metode atau latihan tabata ini merupakan metode yang ditinggikan intensitasnya. Dalam metode interval training ada tiga yaitu,
DR. Dikdik Zafar Sidik, M.Pd, dkk.
intensitas rendah, sedang dan tinggi. Namun, merujuk pada sejarah metode interval hanya ada dua yaitu intensif interval dan ekstensif interval. Low interval muncul ketika ada daya tahan seorang atlet lemah maka muncul low interval. Yang mengemukakan hal tersebut salah satunya Frank Fight, Fight mengatakan ada low interval training, intermediet interval training, dan high interval training. Untuk high interval training penekanannya intensitas bukan istirahat, istirahat intervalnya tetap, tetapnya itu bisa sedang, bisa lama tergantung intensitas latihannya. Itu yang melatarbelakangi munculnya tabata. Latihan tabata dilakukan dengan cara cukup sederhana dan mudah dipahami. Pelaksanaan latihan tabata yang dikutip dari (2009:http://www. tabataprotocol.com/) menjelaskan bahwa“The original Tabata Protocol requires the following five minutes of warm-up, 8 intervals of 20 second all-out intensity exercise followed by 10 seconds of rest, 2 minutes cooldown.” Yang berarti pelatihan tabata membutuhkan 5 menit untuk pemanasan, 8 interval dari 20 detik latihan dengan intensitas tinggi diikuti 10 detik istirahat, 2 menit pendinginan. Sama halnya dengan yang diungkapkan oleh Tabata (1996, hlm. 3) bahwa: “Dr Tabata examined several different protocols but settled on eight sets of twenty-second work intervals alternating with ten-second rest intervals as the most effective interval times for improving VO2max. the intervals were performed at a quantiable 170 percent of VO2max.(just think max effort)”. Pernyataan di atas mengandung makna bahwa Dr Tabata memeriksa beberapa protokol yang berbeda tetapi tetap menentukan di 8 set terdiri 20 detik kerja bergantian dengan 10 detik waktu istirahat sebagai waktu selang yang paling efektif untuk meningkatkan VO2max. Interval yang dilakukan pada kualitas latihan 170% dari kapasitas VO2max. (selalu berpikir usaha yang maksimal) Ciri dari latihan tabata ini yaitu: 1. Volume diperbanyak, 2. Intensitas ditinggikan, 3. Istirahat disingkatkan. Tabata ada dua cara yaitu pertama, intensitas pembebanan ringan tetapi dengan intensitas eksekusi tinggi dengan tujuan indikator denyut nadi naik, karena dengan DN 170x/menit itu termasuk dalam kategori tinggi, kedua, intensitas pembebanan berat dengan usaha maksimal. Bentuk latihan tabata disesuaikan dengan kebutuhan spesifik cabang olahraga/ nomor event yang akan dilatihkan. Dan bentuk latihan tabata untuk power endurance hanya meliputi satu kelompok otot dominan pada suatu cabang olahraga/ nomor event (Paulus Pesurney: 2010). Untuk bisa mengikuti metode latihan Tabata, pastikan harus memiliki kondisi fisik yang kuat. Tabata
sebaiknya jangan dilakukan setiap hari. Beberapa orang melakukan Tabata seminggu dua kali. Sesuai dengan yang diungkapkan Wayne shirey (2013: http://www. tabatatraining.com/) bahwa “The Tabata method is very demanding and should not be done too frequently. The typical recommendation is for one or two Tabata workouts per week”. Manfaat latihan tabata yang dikemukakan oleh Rich (2014:http://www.tabatatraining.com/benefits-of-tabatatraining) diantaranya, “the Tabata Method burns fat, increases your metabolism during training, increases your metabolism after training, the session is quick and great for those of you short of time, improve your aerobic system, improve your anaerobic system, the method has research from olympic athlete coaches, improves mental toughness and will power, the method is versatile – you can pick from a range of activities”. Artinya bahwa metode tabata membakar lemak, meningkatkan metabolisme selama latihan, meningkatkan metabolisme setelah latihan, latihannya cepat dan waktunya singkat, meningkatkan sistem aerobik, metode ini merupakan penelitian dari pelatih atlet olimpic, meningkatkan ketangguhan mental dan kekuatan, metode ini serbaguna, dapat memilih dari berbagai aktivitas. Selain itu selaras dengan penelitian yang dilakukan Tabata dengan judul “Effect of moderate intensity endurance and high intensity intermittent training on aerobic capacity and VO2max“ kesimpulannya bahwa efek daya tahan dengan intensitas sedang (effect of moderate intensity endurance) hanya meningkatkan VO2max saja kapasitas anaerobic tidak meningkat secara signifikan, namun efek intensitas tinggi, VO2max atau kapasitas aerobik lebih meningkat dan kapasitas anaerobik meningkat secara signifikan
Kerangka Berfikir Pelatihan Metode TABATA memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan dinamis Anerobik Laktasid Semakin berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) di bidang keolahragaan khususnya olahraga prestasi menuntun dan menuntut pelaku olahraga khususnya pelatih dan atlit untuk senantiasa mampu menyesuaikan dengan keadaan ketika proses pelatihan berangsung. Hal ini disebabkan kebutuhan latihan akan prestasi sudah semakin ketat dan tinggi. Pelatihan olahraga dengan cara lama sudah semakin tertinggal jika dibandingkan dengan pelatihan olahraga Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
| 45
Dampak Pelatihan "Tabata" Terhadap Peningkatan Kemampuan Dinamis Anaerobik Laktasid Pada Pemain Futsal Putri UPI
prestasi di jaman modern seperti sekarang ini, artinya jika masih tetap bahwa pelatihan lama seperti ketika masanya seorang pelatih yang saat ini menjadi pelatih dan selalu menjadi andalan latihan karena beranggapan bahwa dengan cara seperti itu sudah dapat menjadi juara, maka cara-cara tersebut akan semakin tertinggal dalam berkompetisi. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang senantiasa mengiringi dan mendamping perjalanan sebuah prestasi maka sudah selayaknya saat ini terutama pelatih untuk mau meningkatkan kualitas pengetahuan dalam melatih agar kompetensi kepelatihannya menjadi dapat diandalkan dan dipertanggungjawabkan konsekuensinya. Tanda-tanda berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam keolahragaan yaitu dicirikan salah satunya dengan semakin banyaknya temuan-temuan prestasi berbasis kajian peneltian yang dilaksanakan oleh para ahli, seperti penelitiannya Lindsay FH, Hawley JA, Myburgh KH, Schomer HH, Noakes TD, Dennis SC (http://europepmc.org/ abstract/MED/8933495) yang berjudul “Improved athletic performance in highly trained cyclists after interval training”. Yang menyimpulkan bahwa “These results indicate that a 4-wk program of HIT increased the PPO and fatigue resistance of competitive cyclists and improved their 40-km time trial performances”. Pelatihan fisik merupakan pelatihan yang sarat dengan kajian penelitian sebagai bagian dari aspek penentu pencapaian prestasi disamping aspek teknik, taktik, dan juga mental psikologis. Hal ini tentu memerlukan pengetahuan dan pemahaman tentang kebutuhan dan tuntutan akan cabang olahraga oleh setiap pelatih. Seiring dengan perkembangan terkini dalam dunia kepelatihan khususnya perkembangan dan pengembangan metodologi maka kajian penelitianpun semakin meningkat. Banyak temuan dalam upaya meningkatkan prestasi, salah satunya adlah bagaiman upaya yang harus dilakukan oleh pelatih dalam meningkatkan kemampuan dinamis anaerobik karena pada hakekatnya bahwa olahraga prestasi terkait dengan kemampuan fisik pasti berbasis pada unsur fisiologik atlit. Upaya untuk meningkatkan intensitas dalam metode latihan tentunya merupakan bagian dari manipulasi norma pembebanan latihan yang akan memberikan dampak pada kualitas atlit dengan tidak mengabaikan prinsip-prinsip latihan terutama prinsip overload yang berdasar pada penerapan prinsip individualisasi. Dan, pelatihan metode TABATA yang merupakan salah satu metode dengan menerapkan pola penekanan pada kualitas intensitas dan interval atau istirahat yang secara konsisten dipertahankan adalah bagian dari startegi bagaimama meningkatkan kualitas fisik atlit.
46 | Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
Konsistensi masa istirahat setelah melakukan latihan yang konsisten dalam usaha selama waktu yang ditentukan juga secara tetap akan memaksa atlit untuk berlatih selalu beada pada ambang yang bersifat anaerob. Hal inilah yang tentunya menjadikan peningkatan yang lebih baik pada kemampuan anaerob. TABATA yang punya ciri kerja dalam durasi yang berlangsung singkat, hanya 20 detik dengan pola istirahat (aktif) konsisten 10 detik untuk setiap gerakan dengan densitas 8 set maka memaksa atlit berlatih dalam volume 160 detik + 70 detik istirahat sehingga total latihan berlangsung 230 detik atau berlangsung dalam waktu 3 menit 50 detik. Sehingga jika dalam satu unit latihan menggunakan 6 – 8 bentuk latihan maka atlit berlatih secara intensif dengan durasi total sebagai volume latiha selama 20 – 30’:40”. Durasi latihan dengan pola seperti ini memaksa atlit untuk berlatih yang bertujuan meningkatkan VO2max. Semakin meningkat VO2max dalam melalu durasi latihan yang singkat dalam setiap bentuk latihan maka termasuk dalam kategori latihan yang bersifat anaerobik endurance. Jika latihan daya tahan anaerobik ini dilakukan dalam bentuk gerakan yang siklis (speed) maka akan terjadi peningkatan pada kemampuan speed endurance. Sedangkan jika dilakukan dalam bentuk gerakan yang asiklis seperti kelincahan (agility), maka peningkatan hasil latihan akan terjadi pada kemampuan daya tahan kelincahan (agility endurance). Begitu pula jika bentuk latihan yang dilaukan adalah bentukbentuk latihan penguatan yang bersifat eksplosif maka peningkatan akan terjadi pada kemampuan daya tahan kekuatan yang cepat (power endurance). Hipotesis Berdasarkan anggapan dasar sebagai alur berfikir dalam memahami pelatihan yang bersifat fisiologi maka dapat diabil kesimpulan sementara bahwa diduga “Pelatihan Metode TABATA memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan dinamis Anerobik Laktasid”
METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode adalah suatu cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai sesuatu tujuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan, menggambarkan dan menyimpulkan data guna memecahkan suatu masalah melalui cara-cara tertentu yang sesuai dengan prosedur penelitian. Metode eksperimen yang diterapkan dalam penelitian ini merupakan rangkaian kegiatan percobaan dengan tujuan untuk menyelidiki sesuatu hal atau masalah
DR. Dikdik Zafar Sidik, M.Pd, dkk.
sehingga diperoleh suatu hasil. Adapun variabel-variabel yang menjadi pokok dalam penelitian ini adalah : 1. Variabel bebas (X) Pelatihan “Tabata” 2. Variable terikat (Y1) Kemampuan Anaerobik Laktasid Metode eksperimen dipergunakan dengan per timbangan atas dasar sifat penelitian yaitu melihat hasil dampak penerapan “Tabata” terhadap peningkatan kemampuan Anaerobik Laktasid Kelompok sampel yang ditentukan denga teknik sampling purposif, menjalani proses latihan sesuai dengan program latihan yang telah disusun oleh peneliti. Sebelum dan sesudah proses perlakuan latihan dilakukan pengetesan untuk membandingkan hasil peningkatan kemampuan Anaerobik yang bersifat Laktat. a. Rancangan Penelitian Disain penelitian yang akan diterapkan oleh peneliti adalah disain One Group Pretest and Posttest Design (Sugiyono, 2006;110-111) seperti berikut. O1 x O2 O1
: Nilai pretest sebelum diberikan perlakukan
O2
: Nilai posttest sebelum diberikan perlakukan Gambar 3.1. Desain penelitian
B. Tempat dan Waktu Penelitian: Penelitian ini dilaksanakan di stadion UPI dan Sport Hall bulan September sampai dengan Nopember 2014. Pelaksanaan latihan dilakukan 2 kali dalam satu minggu sesuai dengan ketentuan metode latihan TABATA yang direkomendasi dalam proses pelatihan bahwa latihan laktat direkomndasikan untuk terjadinya proses pemulihan yang adekuat. Sehingga pelaksanaan penelitian berlangsu setiap hari Selasa dan Kamis pukul 15.00 s.d. selesai.
C. Sampel Penelitian: Sampel penelitiain yang diambil adalah para atlet/ pemian futsal puteri yang tergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiwa (UKM) cabang olahraga futsal sejumlah 18 pemain pilihan.
D. Instrumen Penelitian: Untuk melaksanakan proses dan mengumpulkan data maka instrumen yang digunakan berupa program latihan untuk “Tabata” dan beberapa item tes untuk mengetahui kemampuan dinamis Anaerobik Laktasid, seperti:
1. Tes Daya Tahan Kecepatan: - Speed Endurance: Tes Sprint 150 meter - Agility Endurance: 10 m x 10 rep 2. Tes Power Endurance (Stamina Otot): - Power Endurance: Tes Lompat 10 Hop/Low Hurdle jump
E. Validita Rancangan Agar rancangan penelitian yang dilaksanakan cukup memadai untuk pengujian hipotesis dan sekaligus hasil penelitian dapat mencerminkan hasil dari perilaku yang diberikan serta dapat digeneralisasikan ke dalam populasi yang ada, maka dilakukan pengontrolan terhadap berbagai kemungkinan yang dapat mempengaruhi hasil penelitian, yaitu validitas internal dan validitas eksternal. Validitas internal instrumen dikembangkan menurut teori yang relevan, sedangkan validitas eksternal instrumen dikembangkan dari fakta empirik. Sehingga dalam penyusunan instrumen yang baik harus memperhatikan teori dan fakta di lapangan. Donald et. al. (1982: 339) yang mengutip dari Campbell dan Stanley mengungkapkan bahwa validitas internal adalah pengendalian terhadap variabel-variabel luar yang dapat menimbulkan interpretasi lain. Adapun variabel-variabel yang mempengaruhi validitas internal adalah sebagai berikut. Pertama, pengaruh tingkat pertumbuhan, per kembangan dan kematangan kemampuan, dan statistik. Hal ini dikontrol dengan desain penelitian dan pemilihan sampel yang sesuai. Kedua, pengaruh instrumen yang sebelum digunakan, terlebih dahulu diadakan uji coba untuk menentukan tingkat validitas dan reliabilitas dari alat ukur yang akan dipergunakan. Ketiga, pengaruh kehilangan peserta eksperimen. Hal ini dapat diupayakan dengan cara dikontrol terus menerus dengan memotivasi dan memonitor kehadiran sampel melalui daftar hadir yang ketat sejak dari awal sampai akhir eksperimen, sehingga diharapkan tidak terjadi sampel yang mortal. Keempat, pengaruh tes. Dikontrol dengan memberi kan selang waktu yang cukup untuk mengembalikan kondisi tubuh subyek kepada keadaan pulih melalui istirahat yang cukup. Sebagai contoh, pada tes awal yang telah dilakukan, tidak secara langsung diberikan perlakukan sesuai dengan program yang telah dipersiapkan, akan tetapi program diberikan setelah berselang beberapa hari istirahat. Demikian pula pada saat diberikan tes akhir, subyek diberikan waktu istirahat selama satu hari untuk mengembalikan kondisi ke pulih Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
| 47
Dampak Pelatihan "Tabata" Terhadap Peningkatan Kemampuan Dinamis Anaerobik Laktasid Pada Pemain Futsal Putri UPI
asal. Selain itu, jumalh item tes yang cukup banyak ini mengahruskan kita untuk membagi dalam beberapa waktu pengetesan supaya validitas dan relaibilitas dapat tetap dipertahankan
Dengan rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
Validitas eksternal. Donald et.al. (1982: 343) menyatakan bahwa validitas eksternal adalah tingkat representatif dari hasil penyelidikan atau dapatnya hasil penyelidikan itu digeneralisasikan. Menurut Donald et. al. (1982: 33) yang dikutip dari Bracht dan Glass dinyatakan bahwa, terdapat dua macam validitas eksternal, yaitu (a) validitas populasi dan (b) validitas ekologi. Validitas populasi menyangkut identifikasi populasi yang akan digeneralisasikan berdasarkan eksperimen. Kemudian pengaruh interaksi antar efek perlakuan dan variabel personal dikontrol dengan cara memberikan batasan yang jelas terhadap kriteria karakteristik subyek eksperimen (sampel) maupun populasi. Dalam hal ini, batasan yang diberikan terhadap sampel maupun populasi adalah adanya kelompok mahasiswa yang tergabung dalam unit kegiatan olahraga mahasiswa. Sedangkan validitas ekologi menyangkut masalah identifikasi populasi yang akan digeneralisasikan berdasarkan hasil eksperimen kepada kondisi lingkungan yang lain. Validitas ini dikontrol dengan cara (1) seluruh program latihan disusun dan terjadwal secara jelas; (2) tempat latihan dan alat latihan yang digunakan dalam kondisi yang sama; (3) instruktur yang ditunjuk berjumlah 3 orang adalah 1 (tiga) orang staf pengajar mata kuliah kondisi fisik di Jurusan Pendidikan Kepelatihan Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan Universitas Pendidikan dan 2 (dua) orang Pelatih futsal puteri yang kompeten. Selain itu, untuk menjaga tingkat keamanan dan kenyamanan dalam pelatihan maka pelatihan ini dibantu oleh 5 mahasiswa yang juga turut dalam penelitian sebagai bagian dari tugas akhir studi (skripsi) dalam bentuk anak penelitian.
Arti dari unsur-unsur diatas adalah: t = nilai t hitung yang dicari B = rata-rata nilai beda SB = simpangan baku n = jumlah sampel
F. Teknik Analisi Data dalam Pengujian Data diperoleh pada awal eksperimen sebagai data awal dan pada akhir eksperimen sebagai data akhir. Analisis data digunakan untuk melihat pengaruh latihan tabata terhadap peningkatan kemampuan dinamis anaerobik laktasid. Adapun langkah-langkah dalam pengolahan data penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Uji prasyarat: Normalitas dan Homogenitias 2. Uji kesamaan dua rata-rata (skor berpasangan) Menurut Nurhasan (2013, hlm. 154) uji ini digunakan apabila skor yang kita bandingkan berpasangan (sampel yang digunakan sama dan menggunakan tes yang sama) seperti contoh digunakannya tes awal dan tes akhir pada sebuah eksperimen atau sering juga dikatakan uji beda.
48 | Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
t=
B SB/√r
PENGOLAHAN DATA DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data Hasil dari pengetesan dan pengukuran yang selanjutnya dilakukan pengolahan data tertuang pada bagian berikut yang terdiri dari: Nilai rata-rata, Simpangan baku (standar deviasi), dan Simpangan baku Gabungan (Varian) pada masing-masing komponen kemampuan anaerob pada tes awal seperti tertuang pada tabel-tabel berikut di bawah. Nilai-nilai tersebut selanjutnya akan dipergunakan untuk melakukan pengujian agar dapat ditemukan kebermaknaan (signifikansi) dari masing-masing perlakuan yang diberikan melalui uji perbedaan. Tabel 4.1. Nilai Rata-rata, Simpangan Baku, dan Varians dari TES AWAL Tes Awal Kemampuan Anaerob Laktasid:
Rata-rata
Simpangan Baku
Varians
Power Endurance
17,61
2,31
5,34
Speed Endurance
25,82
2,76
7,62
Agility Endurance
29,46
2,29
5,24
Tabel 4.2 Nilai Rata-rata, Simpangan Baku, dan Varians dari TES AKHIR Tes Akhir Kemampuan Anaerob Laktasid:
Rata-rata
Simpangan Baku
Varians
Power Endurance
18,43
2,06
4,24
Speed Endurance
24,34
2,72
7,40
Agility Endurance
28,74
2,33
5,43
a.
Pengujian Persyaratan Analisa
Sebelum dilakukan analisis uji perbedaan distribusi t maka terlebih dahulu dilakukan beberapa pengujian sebagai persyaratan untuk mengadakan analisis, yaitu pengujian normalitas dan homogenitas variansi dari sampel penelitian. Adapun deskripsi pengujian itu adalah sebagai berikut.
Uji Normalitas Pengujian normalitas yang diterapkan dalam penelitian ini adalah uji Lilliefors dengan taraf siginifikansi a 0.05. Adapun rangkuman pengujian normalitas ini dapat dilihat pada tabel berikut.
DR. Dikdik Zafar Sidik, M.Pd, dkk. Tabel 4.3. Rangkuman Hasil Uji Normalitas Kemampuan Anaerob Laktasid:
Lo (Tes Awal)
Lo (Tes Akhir)
Lt
Kesimpulan
Power Endurance
0,1323
0,0953
0,2000
Normal
Speed Endurance
0,0959
0,0599
Normal
Agility Endurance
0,1031
0,0810
Normal
Hasil pengolahan data menunjukan bahwa Lo hitung lebih kecil dari pada Lo tabel sehingga Ho diterima yang berarti bahwa kelompok sampel secara keseluruhan data berdistribusi normal. b. Pengujian Hipotesis dan Pembahasan Untuk melihat hasil peningkatan kemampuan kelompok sampel dari data yang diperoleh setelah dikonversi dengan t-skor maka diperoleh hasil seperti dalam tabel berikut: Kemampuan Dinamis Anaerobik Laktasid No. Nama
Tes Awal (Nilai t-skir)
Tes Awal (Akhir t-skir)
Sp. End.
Ag. End.
Pwr. End.
Ratarata
Sp. End.
Ag. End.
Pwr. End.
Ratarata
1
FR
56,71
60,03
61,27
59,34
54,81
61,28
64,92
60,34
2
TDS
60,07
57,02
61,32
59,47
58,78
58,71
62,60
60,03
3
DH
52,22
54,31
56,58
54,37
41,70
53,74
54,96
50,13
4
MN
53,6
57,67
51,92
54,40
56,10
57,64
49,56
54,43
5
SN
51.36
50,39
56,96
52,81
52,10
48,38
54,65
51,71
6
FW
53,85
58,06
59,95
57,29
54,56
53,69
56,51
54,92
7
DA
59,96
56,19
57,79
57,98
64,66
57,12
53,03
58,27
8
RM
45,75
40,62
38,48
41,62
42,03
50,39
42,29
44,91
9
MA
51,03
53,53
48,54
51,03
52,28
47,26
54,03
51,19
10
A
57
54,66
53,36
55,01
59,48
56,14
58,86
38,16
11
V
46,55
52,7
40,4
46,55
50,41
49,24
42,00
47,21
12
SM
42,61
47,12
45,18
44,97
46,07
45,55
46,92
46,18
13
R
53,24
51,65
40,71
48,53
52,17
34,49
43,59
43,41
14
U
29,59
32,07
28,71
31,12
36,45
50,69
29,86
38,00
15
P
23,04
20,96
32,63
25,54
22,02
18,67
30,56
23,75
16
AN
18,35
45,24
55,01
49,63
44,82
46,54
51,61
47,66
17
YS
60,29
56,23
55,79
57,34
58,49
56,39
55,89
56,92
18
D
54,79
51,52
55,97
54,09
53,90
54,08
51,16
52,78
Jumlah
900,01 899,97 900,00 899,993 900,00 900,00 900,00 90,00
Rata-rata
50,00
50,00
50,00
50,00
50,00
50,00
50,00
50,00
Simpangan 10,00 Baku
10,00
10,00
9,517
10,00
10,00
10,00
10,00
Dari data tersebut kemudian diolah dengan meng gunakan pengujian statistik Uji t melalui pendekatan Uji Beda, dengan rumus. t=
B SB/√r
B = Rata-rata Beda (Tes Awal dan Tes Akhir) SB = Simpangan Baku Beda (Tes Awal dan Tes Akhir) n = jumlah sampel Uji t pada peningkatan kemampuan Dinamis Anaerobik Laktasid: Dari hasil pengolahan data diperoleh nilai: B = 50.00
SB = 8,998 n = 18 √n = 4,24 Hasil pengolahan adalah: 50,00 = 23.58 9/4,24 Setelah diolah dengan memasukkan dalam rumus di atas maka hasil yang diperoleh adalah t hitung sebesar 23,58 Nilai ini menunjukkan bahwa t hitung lebih besar dari pada t tabel (2,11) dan nilai ini berada di luar daerah penerimaan. Maka Ho ditolak dan Ha diterima, yang berarti bahwa terdapat perbedaan hasil yang signifikan antar sebelum dan sesudah diberikan perlakukan latihan TABATA, sehingga hasil pelatihan tersebut memberikan peningkatan yang signifikan terhadap kemampuan ANAEROBIK LAKTASID.
Gambar 4.1. Kurva kemampuan ANAEROBIK LAKTASID dalam batas penolakan dan penerimaan
Diskusi Temuan Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan selama lebih kurang dua bulan banyak temuan yang perlu didiskusikan agar hasil penelitian menjadi lebih bermakna dan bermanfaat. Beberapa temuan yang diperoleh diantaranya adalah bahwa secara perbagian dalam kemampuan dinamis anaerobik laktasid yang teridiri dari kemampuan Daya Tahan “speed” atau lebih dikenal secara internasional dengan istilah speed endurance, agility endurance, dan juga power endurance menunjukkan peningkatan yang cukup baik dan signifikan seperti terlihat dalam tabel dan grafik berikut. KEMAMPUAN ANAEROB ANAEROB LAKTASID POWER ENDURANCE 150 M No.
Nama
Tes Awal
Tes Akhir
Gain
1
FR
23,96
24,03
-0,07
2
TDS
23,03
22,95
0,08
3
DH
25,20
27,60
-1,40
4
MN
24,82
23,68
1,14
5
SN
25,44
24,77
0,67
Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
| 49
Dampak Pelatihan "Tabata" Terhadap Peningkatan Kemampuan Dinamis Anaerobik Laktasid Pada Pemain Futsal Putri UPI 6
FW
24,75
24,10
7
DA
23,06
21,35
0,65 1,71
8
RM
26,99
27,51
-0,52
9
MA
25,53
24,72
0,81
10
A
23,88
22,76
1,12
11
V
26,77
25,23
1,54
12
SM
27,86
26,41
1,45
13
R
27,86
24,75
0,17
14
U
24,92
29,03
2,43
15
P
31,46
32,96
0,31
16
AN
33,27
26,75
-0,48
17
YS
26,27
23,03
-0,06
18
D
22,97
24,50
-0,01
Jumlah
464,67
456,13
8,54
Rata-rata
25,82
25,34
0,47
KEMAMPUAN ANAEROB ANAEROB LAKTASID POWER ENDURANCE (10 HOP)
No.
Nama
1
FR
No.
Nama
Tes Awal
Tes Akhir
Gain
1
FR
20,57
21,80
1,23
2
TDS
20,38
21,12
0,74
3
DH
19,28
19,50
0,22
4
MN
17,95
18,24
0,29
5
SN
18,87
19,10
0,23
6
FW
19,75
19,75
0,00
7
DA
19,62
19,06
-0,56
8
RM
14,99
16,95
1,96
9
MA
17,11
19,25
2,14
10
A
18,15
20,02
1,87
KEMAMPUAN ANAEROB
11
V
15,28
16,86
1,58
ANAEROB LAKTASID
12
SM
16,64
17,77
1,13
AGILITY ENDURANCE
13
R
15,92
17,32
1,40
Gain
14
U
12,82
13,92
1,10
1,05
15
P
13,40
14,16
0,76
AN
18,78
18,63
-0,15
Tes Awal 27,16
Tes Akhir 26,11
2
TDS
27,85
26,71
1,14
16
3
DH
28,47
27,87
0,60
17
YS
18,75
19,60
0,85
18
D
18,80
18,73
-0,07
4
MN
27,70
26,96
0,74
5
SN
29,37
29,12
0,25
Jumlah
317,06
331,78
17,72
Rata-rata
17,61
18,43
0,82
6
FW
27,61
27,88
-0,27
7
DA
28,04
27,08
0,96
8
RM
31,61
28,65
0,96
9
MA
28,65
29,38
-0,73
10
A
29,39
27,31
1,08
11
V
28,84
28,92
-0,08
12
SM
30,12
29,78
0,34
13
R
29,08
32,36
-3,28
14
U
33,57
28,58
4,99
15
P
36,12
36,05
0,07
16
AN
30,55
29,55
1,00
17
YS
28,03
27,25
0,78
18
D
29,11
27,79
1,32
Jumlah
530,27
517,35
12,92
Rata-rata
29,46
28,74
0,72
50 | Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
DR. Dikdik Zafar Sidik, M.Pd, dkk.
Dari data yang dideskripsikan melalu tabel dan grafik tersebut di atas menunjukkan bahwa kebermaknaan hasil latihan yang direncanakan dan diprogram dengan baik akan memberikan dampak yang siginifikan. Oleh karena itu, akan lebih baik lagi jika penelitian yang terkait dengan metode latihan seperti ini dapat dikembangkan lebih maksimal dan terarah pada omponen fisik yang lainnya secara fisiologik.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil pengolahan dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa penerapan pelatihan TABATA memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan dinamis anaerobik laktasid. Kesimpulan lain adalah bahwa kemampuan speed endurance, agility endurance, dan power endurance sebagai bagian dari kemampuan dinamis anaerobik laktasid mengalami peningkatan yang signifikan setelah mendapatkan perlakuan pelatihan metode TABATA. Saran 1.
2.
3.
4.
5.
Dari hasil penelitian ini maka disarankan: Untuk meningkatkan hasil yang signifikan maka terapkanlah metode latihan yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan kemampuan fisik yang diharapkan, Memilih bentuk latihan yang tepat terkait dengan tujuan latihan dari setiap metode latihan yang khas dalam setiap cabang olahraga, seperti untuk futsal yang membutuhkan speed, agility, dan power. Perencanaan program latihan yang tepat dalam takaran/porsi merupakan bagian yang sangat penting untuk diperhatikan oleh setiap pelatih sesuai dengan prinsip-prinsip latihan dan norma pembebanan latihan. Kesadaran atlit untuk melakukan setiap bentuk gerakan dalam penerapan metode latihan merupakan bagian dari keberhasilan proses latihan yang tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, setiap atlit harus memiliki kesungguuhan dalam melakukan setiap kali latihan. Untuk pengembangan penelitian lebih lanjut, maka disarankan agar mengidentifikasi kebutuhan dan tuntutan latihan dalam setiap bentuk dan metode latihan supaya dapat mengembangkan penelitian yang lebih supaya dapat mengembangkan penelitian yang lebih bermakna lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Bompa, Tudor O. (1999). Theory and Methodology of Training; the Key to Athletic Performance. Dubuque, Iowa: Kendall/Hunt Publishing Company. Gamble, Paul. (2010). STRENGTH & CONDITIONING FOR TEAMS SPORTS: Sports-Specific Physical Preparation for High Performance. Routledge, Taylor & Francis Group. London & New York. Giriwijoyo, Santosa. (2007). Ilmu Faal Olahraga; Fungsi Tubuh Manusia pada Olahraga, edisi 7. Bandung: Buku Ajar FPOK UPI. Gordon, Dan. (2009). Coaching Science. Learning Matters. British Library. Grego. Brad Mc. Tabata. (http://www.pponline.co.uk/ encyc/complex-training.html) Grosser, Starischka, Zimmermann, 1989. Konditionstraining; Theorie und Praxis aller Sportarten. Munchen: BLV Sportwissen Harsono, (1988). Coaching dan Aspek-aspek Psikologis dalam Coaching. Bandung: Tambak Kusuma CV. Hidayat, Imam.(1996), Biomekanika, FPOK-IKIP Bandung. Pesurnay, P. Levinus, dan Sidik, D. Zafar. (2007). Materi Penataran Pelatih Fisik Tingkat Nasional SeIndonesia. Koni Pusat. Janssen, Peter, 2001. Lactate Threshold Training. Canada: Human Kinetics Publisher Sugiyono, 2006. Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta Sudjana, 1990. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito. Sidik. Dikdik Zafar. Periodisasi Latihan Kekuatan. www. koni.or.id Fitnessvenues. (2009). Strength training and Tabata methods.http://www.fitnessvenues.com/uk/ complex-strength-training. [27 September 2011]. Shepherd. J. (2008). Tabata: The potentiation effect - can one training mode really enhance another?: http:// www.pponline.co.uk/encyc/complex-training.html. [29 September 2011]. Mackenzie, B. (2002). Leg Pliometriks. http://www. brianmac.co.uk/legplymo.htm Mackenzie. Brian.2000. ”Tabata”. http://www.brianmac. co.uk/complex.htm Tattam, Amy. The Effects of Training on the Anaerobik Energi Sistem. www.slideshare.net. ___. Anaerobik Capacity. www.flammerouge.jet. Wises. 2008. Speed, Power, Power Endurance http:// wise-coach.com/speed-power-power-endurance. html Ward, P. (2009). Tabata – Are Specific Rest Intervals Important? [Online]. http:// optimumsportsperformance.com/blog. Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
| 51
PENDIDIKAN JASMANI DAN MEDIA OLAHRAGA1 Oleh: Dr. Neneng Nurosi Nurasjati, M.Pd.2
PENDAHULUAN Pendidikan jasmani (physical education) telah dipahami dengan berbagai pengertian sejak dulu. Tiga aktivitas yang dikaitkan dengan pendidikan jasmani adalah gymnastic, hygiene, dan physical culture.3 Senam (gymnastic) adalah aktivitas fisik utama pada era 1800-an. Sedangkan higienis (hygiene) adalah usaha secara ilmiah memelihara (preserving) kesehatan manusia. Terminologi ini dikeluarkan pada era 1800-an juga. Terminologi yang mengaitkan pendidikan jasmani dengan budaya fisik (physical culture) keluar di akhir era 1800-an. Physical culture juga dikaitkan dengan latihan fisik (physical training). Bertahun-tahun para physical educator (guru pendidikan jasmani) mengklaim dirinya masuk dalam satu komunitas yakni guru. Namun Abraham Flexner (1915) mengatakan bahwa physical educator tidak semata-mata guru. Menurut Flexner, physical educator adalah sebuah profesi sangat luas yang mencakup enam karakteristik yakni: (1) aktivitas intelektual (intelectual activity/a body of knowledge); (2) kegunaan praktis (practical use); (3) hasil penelitian untuk ide dan pengetahuan baru (research resulting in new knowledge); (4) organisasi yang berdiri sendiri (self organization); (5) memiliki kapasitas berkomunikasi internal/eksternal (capacity for communication); (6) dedikasi untuk menolong sesama (dedication to helping others)4.
PEMBAHASAN
internet, meliputi budaya. Meskipun masing-masing Menggabungkan media ke dalam hidup kita dengan cara yang berbeda, hal-hal yang kita baca, dengar, dan lihat di media merupakan bagian penting dari pengalaman. Yang merupakan frame/kerangka, dan mempengaruhi bagaimana orang berpikir tentang dunia.5
Informasi olahraga adalah wilayah bisnis sangat luas lebih dari yang diperkirakan orang dan berkaitan dengan aktivitas intelektual dan memiliki kapasitas untuk berkomunikasi baik internal maupun eksternal seperti yang didefinisikan Flexner. Sama juga dengan apa yang digambarkan Allen Guttman (1978) dalam buku From Ritual to Record: The Nature of Modern Sports bahwa salah satu aktivitas dalam hubungan bermain (play) dengan olahraga adalah adanya aktivitas intelektual.
Dengan menggunakan media foto dan pesan seperti yang dilihat pada evaluasi kegiatan sosial dan membayangkan masa depan. Mereka juga menggunakan sebagai membentuk ide-ide tentang segala sesuatu dari hubungan pribadi dan produk konsumen untuk calon politik dan hubungan internasional. Ini tidak berarti bahwa manusia budak dari media. Media tidak memberi tahu apa yang harus dipikir, tapi mereka sangat mempengaruhi apa yang kita pikirkan. Hidup kita dan dunia sosial kita secara jelas diinformasikan oleh konten media, dan, jika media tidak ada, hidup kita akan berbeda.
PLAY SPONTANEOUS
ORGANIZED (GAMES)
NON COMPETITIVE
Olahraga dan media saling berhubungan bagian dan bagian dari kehidupan kita. Program Olahraga merupakan segmen penting dari isi media, dan banyak olahraga tergantung pada media untuk publisitas dan pendapatan Dalam sebuah seminar internasional yang dilakukan UNESCO di Paris pada tahun 1971, diungkap peran penting media massa. “Mass media are now important in the lives of all people whether in industrial urban communities or in rural areas, whether in high developed countries or in developing countries. Mass media a part to play in promoting international understanding
COMPETITIVE (CONTEST) INTELECTUAL
PHYSICAL (SPORTS)
Bagan Hubungan antara Play dan Sports (Allen Guttman, 1978)
Peran media massa (media cetak dan elektronik. Media online) sangat besar dalam sebuah kegiatan pendidikan jasmani dan olahraga. Media, termasuk koran, majalah, film, radio, televisi, video game, dan 52
Dr. Neneng Nurosi Nurasjati, M.Pd.
which, off course, extends far beyond the realm of sport; but because sport is too worldwide, the mass media have a special responsibility here".6 Dalam resolusi yang dikeluarkan UNESCO tersebut, peran media massa dalam menyebarkan informasi mengenai pendidikan jasmani dan olahraga tidak boleh dipandang sebelah mata. Luasnya lingkup pendidikan jasmani dan olahraga membuat media massa ikut memiliki tanggung jawab. Pekerjaan yang ditawarkan dalam area informasi olahraga antara lain direktur informasi olahraga (sports information director/SID), jurnalistik olahraga media cetak, jurnalistik olahraga media elektronik, dan berbagai pekerjaan di bidang penerbitan olahraga. Pekerjaan di bidang informasi olahraga memerlukan pengetahuan mendalam di bidang olahraga, keingintahuan yang besar terhadap aktivitas pendidikan jasmaniolahraga, kemampuan cemerlang mengorganisasi segala ide, serta memiliki kemampuan menuliskan segala ide secara tertulis maupun bisa menyampaikannya secara lisan. Kursus jurnalistik dan penguasaan teknik-teknik komunikasi sangat diperlukan agar bisa eksis di bidang informasi olahraga. Semakin berkembangnya pendidikan jasmani dan olahraga membuat penerbit-penerbit buku dan majalah berlomba-lomba menerbitkan buku-buku olahraga. Penerbit pun berlomba-lomba mencari editor yang sangat memahami dunia pendidikan jasmani dan olahraga. Selain editor, para penjual buku (sales) juga wajib memiliki pengetahuan mendalam mengenai pendidikan jasmani dan olahraga. Majalah olahraga juga menjadi lahan pekerjaan menarik bagi mereka yang menguasai dengan baik jurnalistik olahraga. Majalah olahraga berkarakteristik mengupas secara mendalam kejadian tunggal olahraga (single sporting activity). Majalah Runner’s World yang terbit sejak 1970 memiliki market besar sebab penerbitnya tahu apa yang diinginkan pasar. Olahraga adalah satu dari dua industri yang berkembang pesat dalam 25 tahun terakhir di Amerika Serikat. Satu lagi yang terus berkembang sampai saat ini adalah komputer. Industri Amerika mendapat dukungan kuat dari komputer, sedangkan aktivitas rekreasi dari sumberdaya manusia yang mengoperasikan komputer dilakukan lewat olahraga7. Ada banyak lagi dengan proteksi media olahraga. Hal ini terutama berlaku untuk majalah, buku, radio, film, dan internet, meskipun kurang benar untuk surat kabar dan televisi. Internet tidak tergantung pada olahraga, tetapi layanan online tertentu dapat membuat uang di penggemar olahraga yang menggunakan Internet untuk
mendapatkan sampai dengan skor, untuk memperoleh informasi tentang peristiwa tertentu, ke tempat taruhan dengan bandar judi, dan untuk masuk diskusi online tentang atlet, tim, dan peristiwa keolahragaan. Baik penerbitan buku maupun industri televisi tergantung pada olahraga. Sampai baru-baru ini sangat sedikit ada buku dan film tentang olahraga. Urgensi dan ketidakpastian yang begitu menarik dalam olahraga sulit untuk menangkap dalam media. Namun, sejak akhir 1980-an, baik penerbit dan studio film telah menghasilkan proyek dengan cerita tragis, inspirasi, tentang tokoh olahraga. Sebagian besar stasiun radio memberikan cakupan untuk olahraga hanya dalam segmen berita mereka, meskipun sepak bola setempat, bisbol, dan permainan bola basket pria sering disiarkan langsung di stasiun radio lokal. Beberapa komunitas memiliki stasiun radio bicara yang menampilkan olahraga bicara program yang menarik penonton besar. Penonton ini juga memiliki demografi jelas: sebagian besar pendengar adalah laki-laki muda dengan pendapatan rata-rata lebih tinggi. Ini, tentu saja, membantu stasiun radio menjual iklan Kebanyakan majalah mencurahkan perhatian sedikit atau banyak ada untuk liputan olahraga, meskipun jumlah majalah umum dan khusus olahraga dan fanzines di Amerika Serikat dan negara-negara lain semakin meningkat. Sebuah studi cepat dari setiap rak majalah lokal menunjukkan bahwa orang yang tertarik pada ski, skateboarding, snowboarding, bersepeda, balap mobil moto-cross,, dan puluhan olahraga lainnya sekarang memiliki majalah yang ditujukan untuk kepentingan mereka. Media yang paling tergantung pada olahraga beberapa surat kabar dan televisi. Perusahaan-perusahaan yang mengontrol media ini setidaknya sebagian tergantung pada olahraga untuk keberhasilan komersial mereka. Hal ini terutama berlaku di Amerika Serikat. Surat kabar Surat kabar pada awal abad kedua puluh, memiliki halaman olahraga, yang terdiri dari beberapa pemberitahuan tentang kegiatan yang akan datang, sebuah cerita pendek atau dua tentang ras atau permainan kuliah, dan mungkin beberapa skor game lokal. Pada akhir 1920-an, halaman olahraga telah tumbuh menjadi bagian olahraga, yang menyerupai bagian olahraga surat kabar hari ini. Seperti olahraga telah menjadi sangat terlihat aktivitas kehidupan seharihari dalam masyarakat pascaindustri banyak, khusus olahraga surat kabar harian dan mingguan telah muncul, yang sepenuhnya tergantung pada olahraga. Selanjutnya, liputan olahraga secara bertahap berkembang untuk Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
| 53
Pendidikan Jasmani dan Media Olahraga
memperhitungkan 25 persen atau lebih dari isi surat kabar utama di sebagian besar kota. Pada kebanyakan surat kabar utama Amerika Utara, cakupan lebih harian diberikan untuk olahraga daripada topik tunggal lain yang menarik, termasuk bisnis atau politik. Bagian olahraga adalah bagian yang paling banyak dibaca. Ini setidaknya satu sepertiga dari total sirkulasi dan jumlah yang signifikan dari pendapatan iklan untuk koran kota besar. Hal menarik pengiklan yang mungkin tidak menempatkan iklan di bagian lain. Pengiklan tahu bahwa, jika mereka ingin mencapai untuk laki-laki muda setengah baya dengan rata-rata atau di atas pendapatan rata-rata, mereka harus menempatkan iklan di, bagian olahraga. Ini adalah prospek yang menarik untuk bisnis yang menjual ban, perlengkapan mobil, mobil baru, sewa mobil, tiket pesawat untuk perjalanan bisnis, minuman beralkohol, alat-alat listrik, pemasok bahan bangunan, perlengkapan olahraga, produk pertumbuhan rambut, dan bahkan steroid. pengiklan lainnya adalah klinik dan dokter yang mengkhususkan diri dalam mengobati impotensi, Viagra menjual, atau menyediakan terapi hormon testosteron dan lainnya. Selain itu, ada bar atau klub yang menyediakan tarian telanjang atau dekat model wanita telanjang dan penari dan organisasi menawarkan nasihat perjudian dan peluang (lihat contoh surat kabar kota besar untuk mengkonfirmasi ini). Iklan untuk semua produk dan layanan menghasilkan pendapatan yang cukup untuk surat kabar. Masa depan koran ketergantungan terhadap olahraga sulit diprediksi. Jika internet menjadi sumber utama informasi tentang olahraga waktu besar secara nasional dan di seluruh dunia, maka surat kabar dapat kembali ke informasi menekankan dan interpretasi olahraga lokal, termasuk tim universitas sekolah tinggi, tim perguruan tinggi kecil, dan bahkan olah raga pemuda. Ini sudah dapat dilihat sebagai koran kota yang lebih besar menerbitkan bagian persiapan secara mingguan dan sorot atlet lokal. Mereka tahu bahwa, jika orang di Seattle menggunakan internet untuk membaca tentang Seahawks, mereka masih harus membeli koran lokal untuk membaca tentang sepak bola Newport High School dan tim voli. Beberapa perusahaan televisi televisi di Amerika Utara juga telah mengembangkan ketergantungan pada olahraga untuk konten pemrograman dan pendapatan iklan. Misalnya, kegiatan olahraga merupakan bagian utama dari jadwal pemrograman stasiun jaringan nasional di Amerika Serikat dan banyak stasiun kabel dan berbasis satelit. Perusahaan telah menggunakan program olahraga untuk menarik pelanggan dari segmen tertentu dengan melihat masyarakat, dan kemudian mereka telah menjual
54 | Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
iklan. Pada tahun 2003, ESPN saluran cakupan olahraga ke lebih dari 150 negara di lebih dari selusin bahasa. Fox Sports saluran juga televis berbagai cakupan olahraga di seluruh dunia. Orang-orang di Amerika Serikat dan beberapa bagian lain dari dunia dapat menonton program olahraga hampir 24 jam sehari, jika mereka memiliki waktu dan bunga dan membayar koneksi kabel atau satelit dan acara olahraga paket saluran. Bahkan, selama beberapa tahun ke depan, kita dapat berharap untuk melihat saluran kabel didedikasikan khusus untuk olahraga tertentu, seperti National College Sports Network, Channel Tenis, Blackbelt TV, NBA TV, Jaringan Sepakbola, dan lain-lain. Fitur menarik dari program olahraga bagi media perusahaan-perusahaan besar AS adalah bahwa peristiwa sering dijadwalkan pada hari Sabtu dan Minggu sore jangka waktu paling lambat dalam seminggu untuk menonton televisi umum. peristiwa Sport adalah program akhir pekan yang paling populer, terutama di kalangan pemirsa laki-laki yang mungkin tidak banyak menonton televisi pada waktu lain selama seminggu. Ini berarti jaringan dapat menjual waktu iklan pada tingkat yang relatif tinggi selama untuk pemrograman. Perusahaan Media juga menggunakan program olahraga untuk menarik sponsor komersial yang mungkin mengambil dolar iklan mereka di tempat lain jika stasiun televisi tidak mencakup olahraga tertentu. Sebagai contoh, game di tim olahraga utama pria busur untuk mempromosikan penjualan bir, asuransi jiwa, truk dan mobil, komputer, jasa investasi, kartu kredit, dan perjalanan udara. Orang-orang di departemen iklan dari perusahaan besar menyadari bahwa olahraga menarik pemirsa laki-laki. Mereka juga menyadari bahwa pelancong bisnis sebagian besar adalah laki-laki dan bahwa banyak orang membuat keluarga pada pembelian bir, mobil, komputer, investasi asuransi, dan kehidupan. Akhirnya, pengiklan juga mungkin tertarik dalam produk atau layanan dengan citra budaya positif. Dengan demikian jelas bahwa antara madia dan kegiatan olahraga sangatlah saling ketergantungan satu sama lain dimana kegiatan olahraga banyak diminati oleh pemirsa, pemirsa yang dominan begitu banyak mengakibatkan berebutnya pengusaha mengiklankan produk-produk mereka untuk dijual kepada pemirsa dan pecandu olahraga.Dan infor mengenai kegiatan olahraga juga memerlukan media untuk pemberitahuan bahwa ada kegiatan keolahragaan. Olahraga masuk 20 besar industri terbesar di AS. Peringkat olahraga dalam urutan industri di AS lebih tinggi dari otomotif, kayu, dan transportasi udara. Pada tahun 1995, perputaran uang di industri olahraga di AS lebih dari 100 miliar dolar (lebih dari Rp 920 triliun)8. Salah satu kunci sukses berkembangnya industri olahraga di AS adalah kontribusi besar dari media
Dr. Neneng Nurosi Nurasjati, M.Pd.
massa, baik cetak maupun elektronik, dan bahkan saat ini didukung dengan media online yang begitu mudah diakses keseluruh penjuru dunia. Tabel 1. Peringkat industri olahraga di AS berdasarkan Testimasi Gross Domestic Bruto 1995 PERINGKAT INDUSTRI
KATEGORI INDUSTRI
SIZE (dalam miliar dolar AS)
1
Real Estate
850.0
2
Perdagangan retail
639.9
4
Health service
443.4
5
Konstruksi
277.6
8
Utilities (peralatan listrik, air, plumbing, dll)
205.3
11
OLAHRAGA
152.0
15
Asuransi
115.4
18
Legal services
100.5
25
Bengkel mobil, servis, parkir
60.5
Sumber: Alfie Meek, Sports Marketing Quarterly, Desember 1997
Menurut Shelly Field (2004), jurnalistik olahraga adalah bagian dari 75 pekerjaan dalam industri olahraga. Pekerjaan yang dikupas Field antara lain sports journalism. Kategori sports journalism menurut Field adalah sportswriter, sports columnist, television sportscarter, radio sportscarter, dan sports photografer9. Di AS, pengajaran pendidikan jasmani juga ditujukan kepada kegiatan olahraga yang dilakukan sepanjang hayat (lifetime sports) selain materi tenis, racquetball, berenang, golf, conditioning dan latihan beban dalam kurikulum. Fokus pembinaan pada olahraga individual terasa mendominasi pada saat sekarang. Segala aktivitas mereka memerlukan campur tangan media massa agar informasi juga bisa diketahui dan dilaksanakan di tempat lain. Tantangan Pendidikan Jasmani dan olahraga masa depan di masing-masing negara sangat besar dan hebat dimana masing-masing akan saling terkait antara pendidikan jasmani dan olahraga dengan proses sosiokultural di masing-masing negara. Salah satu jalan untuk meraih masa depan gemilang adalah mereview masa lalu, melihat masa kini, berdiskusi, menguji, dan menganalisis kebaikan maupun gangguan yang akan muncul. Di situlah peran media massa bisa dimaksimalkan.
KARAKTERISTIK MEDIA Perubahan revolusioner yang terjadi di Media seperti Komputer pribadi dan munculnya Internet telah mendorong kita ke dalam transisi dari jaman sponsor dan program untuk mengkonsumsi media massa menjadi jaman konten media pribadi. Implikasi kecepatan dan spesifik transisi ini tidak diketahui, tetapi mahasiswa di antara mereka yang pengalaman berada di ujung tombak dari revolusi media. Meskipun penting untuk membahas tren baru yang
berhubungan dengan transisi ini, dan mengembangkan kerangka kerja untuk mendeskripsikan dan menjelaskan apa yang sekarang dan akan datang, juga penting untuk memahami media tradisional dan hubungan media dengan olahraga. Ada 2 media yang masing-masing memiliki karakteristik baik kelebihan maupun kekurangannya, media tersebut adalah media cetak dan media elektronik. Media cetak meliputi surat kabar, majalah dan fanzines, buku-buku, katalog, program acara, dan bahkan kartu perdagangan: kata dan gambar yang dicetak di atas kertas dan tersedia untuk banyak pembaca. Media elektronik meliputi radio, televisi, film, video game, Internet, dan publikasi online dari berbagai jenis: kata-kata, komentar, dan gambar yang kita terima dalam bentuk audio dan video. Komputer dan Internet telah mengaburkan media tradisional dari media elektronik, karena mereka menyajikan kombinasi online hampir tak terbatas dari kata cetak dan audio/konten video. Secara bersama-sama, media memberikan informasi, interpretasi, dan hiburan. Kadang-kadang mereka menyediakan dua atau tiga hal ini secara bersamaan. Namun, tujuan hiburan kemungkinan akan diberikan prioritas lebih tinggi daripada informasi dan interpretasi dalam media komersial. Media menghubungkan kita dengan bagian dunia dan memungkinkan media untuk membangun sebuah versi dari dunia itu. Mereka memberikan kami informasi, pengalaman, orang, gambar, dan ide-ide yang bijak menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kita. Namun, media menghubungkan kita dengan pengalaman informasi yang terpilih, orang-orang, gambar, dan ideide, dan kami membangun rasa tentang realitas dalam proses. Konten Media yang belum dibaca,didengar, dan dilihat adalah diedit dan “disajikan kembali” oleh media lain: para produser, editor, direktur program, teknisi, programer, cameramen, penulis, komentator, sponsor, situs dan penyedia layanan Internet. Orang-orang ini memberikan informasi, interpretasi, dan hiburan berdasarkan kepentingan media dalam satu atau lebih dari lima tujuan. 1) membuat keuntungan, 2) membentuk nilai, 3) menyediakan pelayanan publik, 4) membangun reputasi mereka sendiri, dan 5) mengekspresikan diri dalam cara-cara teknis, artistik, atau pribadi. Di negara-negara dimana sebagian besar media swasta dimiliki dan dioperasikan, kepentingan dominan adalah keuntungan. Sebagai contoh, ahli media Michael Real menjelaskan bahwa tidak ada kekuatan yang lebih Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
| 55
Pendidikan Jasmani dan Media Olahraga
besar dalam konstruksi realitas media olahraga di seluruh dunia dari televisi komersial dan sistem nilai yang dilembagakan [menekankan] membuat laba, sponsor, pasar diperluas, komodifikasi, dan persaingan “( 1998, hal 17). Internet akan menjadi kekuatan utama media mempengaruhi realitas di masa depan, dan kepentingan komersial sedang menggunakan sumber daya mereka untuk mempengaruhi sistem nilai yang mendasari isi materi online. Di negara-negara di mana media populer dikendalikan dan dioperasikan oleh negara, kepentingan dominan adalah membentuk nilai-nilai dan menyediakan layanan publik. Namun, negara mengontrol media terus menurun seperti televisi dan surat kabar telah menjadi privatisasi dan karenanya lebih banyak orang mencari akses online untuk informasi, interpretasi, dan hiburan. Hubungan kekuatan dalam masyarakat juga mempengaruhi prioritas yang diberikan kepada lima tujuan bahwa konten media dikendalikan. Mereka yang membuat keputusan tentang konten dan pemrograman bertindak sebagai penyaring saat mereka memilih dan membuat gambar dan pesan diwakili di media. Dengan demikian, media akan sering mati melayani kepentingan dari mereka yang memiliki kekuasaan dan kekayaan di masyarakat. Sebagai kontrol perusahaan media telah meningkat dan media telah menjadi komersial yang berlebihan, konten media telah menekankan konsumerisme, individualisme, persaingan, dan kesenjangan kelas alamiah dan diperlukan dalam masyarakat, sementara meminggirkan setiap penekanan pada nilai-nilai sipil, kegiatan anticommercial, dan aktivitas politik (McChesney, 1999). Tentu saja, ada pengecualian untuk pola ini mempromosikan kepentingan perusahaan, tapi, setiap kali orang menggunakan media untuk menantang ideologi dominan, mereka menanggung resiko reputasi dan karir mereka. Hal ini menghambat jenis pemrograman tertentu mengarah pada sensor diri yang ditunda untuk kepentingan mereka yang memiliki kekuasaan dan uang. Bahkan ketika ada perlindungan hukum bagi kebebasan berbicara, seperti di Amerika Serikat, mereka yang bekerja di media sering berpikir dengan seksama sebelum menyajikan gambar dan pesan yang menantang kepentingan mereka yang memiliki kekuasaan dan pengaruh di masyarakat, terutama ketika orang-orang kuat memiliki media dan menandatangani cek membayar mereka yang bekerja untuk mereka.Ini tidak berarti bahwa mereka yang mengontrol media mengabaikan apa yang kita pikirkan atau di media umum dipaksa untuk membaca, mendengar, dan melihat hal-hal yang tidak terkait dengan kepentingan kita. Tetapi ini berarti bahwa, selain dari e-mail dan situs web, membuat kita
56 | Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
jarang memiliki kontrol langsung atas isi dari apa yang kita baca, dengarkan, dan melihat di media. Dalam hal olahraga, mereka yang mengontrol media tidak hanya memilih olahraga dan kegiatan akan dibahas, tetapi juga memutuskan apa jenis gambar dan komentar akan ditekankan dalam jangkauan (Kinkema dan Harris, 1998; Rowe, 1999). Editor majalah Candi Kerry menjelaskan: Ini bukan hanya game yang Anda sedang menonton. Ini opera sabun, lengkap dengan alur cerita dan plot dan plot twists. Dan orang-orang baik dan penjahat, pahlawan dan underdog. Dan semua ini akan ditulis ke dalam memainkan moralitas Cliffhanger Dan Anda mendapatkan semua terperangkap dalam sampai Anda mulai percaya itu benar-benar penting. Meskipun liputan media olahraga adalah diedit dengan cermat dan mewakili dalam paket hiburan total, sebagian besar dari kita percaya bahwa, ketika kita melihat acara olahraga di televisi, kita melihat hal itu “seperti ini.” Kami juga berpikir bahwa, ketika kita mendengar komentar atau membaca laporan acara, para komentator dan wartawan adalah “mengatakan seperti itu.” Kami tidak biasanya berpikir bahwa apa yang kita lihat, dengar, dan DIbaca adalah sesuka dapat dari komentar dan gambar yang dipilih untuk alasan tertentu dan didasarkan pada dunia sosial dan kepentingan mereka yang menghasilkan produksi acara, mengendalikan gambar, dan menyampaikan komentar. Menurut New York Times penulis Robert Lipsyte (1996), olahraga televisi telah menjadi suatu bentuk “sportainment,” yang setara dengan film TV yang dimaksudkan untuk didasarkan pada kisah nyata. Dengan kata lain, televisi membangun olahraga dan pengalaman pemirsa dengan cara-cara penting. Dan itu terjadi begitu lancar bahwa kebanyakan orang berpikir bahwa ketika mereka menonton pertandingan di televisi mereka mengalami olahraga dalam bentuk alami. Kita tahu bahwa lebih dari 99 persen dari semua program olahraga di media yang disponsori oleh perusahaan kapitalis, yang berhasil atau gagal tergantung pada kemampuan mereka untuk menghasilkan keuntungan, jadi mengapa kita tidak mengajukan pertanyaan lebih lanjut tentang apa artinya ini? Mengapa kita menghabiskan waktu begitu sedikit berpikir tentang mengapa kita melihat apa yang kita lihat dalam cakupan olahraga, mengapa kita mendengar halhal yang komentator katakan selama liputan, dan apa yang kita tidak baca, lihat, dan kita dengar seperti yang kita konsumsi media olahraga? Apakah kita sadar atau tidak, pengalaman kita sebagai penonton sangat dipengaruhi oleh keputusan
Dr. Neneng Nurosi Nurasjati, M.Pd.
dari mereka yang mengontrol media, Para XGames diciptakan oleh ESPN. ESPN dimiliki oleh ABC. ABC dimiliki oleh Walt Disney Company. Disney memiliki Anaheim Angels, sebuah tim Major League Baseball, dan Mighty Ducks, tim dalam National Hockey League. Koneksi ini pengaruh pada apa yang kita lihat, dengar, dan kita baca sehubungan dengan olahraga media. Tidak heran atlet yang juara bermain di game televisi oleh ABC sering mengatakan mereka akan ke Disneyland. (Beal Becky) dan keputusan mereka dipengaruhi oleh faktorfaktor sosial, politik, dan ekonomi termasuk ideologi dominan yang berhubungan dengan jenis kelamin, ras, dan kelas. Dengan demikian antara media dengan aktivitas keolahragaan saling tergantungan satu sama lain, baik aktifitas yang bersifat profesional maupun non profesional, dan bahkan media-media yang berhubungan dengan pendidikan akan mengeksplor kegiatan-kegiatan yang bersifat pendidikan yang berhubungan dengan aktifitas fisik.
DAFTAR PUSTAKA
CATATAN KAKI 1.Judul Makalah 2.Kandidat Doktor Program Studi POR/UNJ.Reg.72171100711. NOA Member/KOCE-KOI 3.William H. Freeman, “Physical Education and Sport: In a Changing Society 6th Edition”, Massachusets: Allyn & Bacon A Pearson Educarion Company, 2001: p. 7 4.Michael G. Wade dan John A.W. Baker, “Introduction to Kinesiology: The Science and Practice of Physical Acitivity”, Madison, WI: Brown & Benchmark, 1995: p. 123-125 5.Jay Coackly, Sport Controversies.2003.p.406
in
Society
–
Issues
&
6.Mass media, Sport, International Understanding, Report of an International Seminar Organized by ICSPE under UNESCO Auspices (Paris: UNESCO, June, 1971): p.5 7.Melvin Helitzer, “The Dream Job: Sports Publicity, Promotion, and Marketing 3rd Edition” Ohio: University Sport Press, 1999: p.7-9 8.Bernard J, Mullin, Stephen Hardy, dan William A. Sutton,”Sport Marketing 2nd Edition”, Illinois: Human Kinetics, 2000: p.4 9.Shelly Field,”Career Opportunities in the Sports Industry 3rd Edition”, New York: Chekmark Books, 2004: p.126-140.
Bernard J, Mullin, Stephen Hardy, dan William A. Sutton,”Sport Marketing 2nd Edition”, Illinois: Human Kinetics, 2000: p.4 Jay Coackly, Sport in Society – Issues & Controversies.2003.p.406 Mass media, Sport, International Understanding, Report of an International Seminar Organized by ICSPE under UNESCO Auspices (Paris: UNESCO, June, 1971): p.5 Melvin Helitzer, “The Dream Job: Sports Publicity, Promotion, and Marketing 3rd Edition” Ohio: University Sport Press, 1999: p.7-9 Michael G. Wade dan John A.W. Baker, “Introduction to Kinesiology: The Science and Practice of Physical Acitivity”, Madison, WI: Brown & Benchmark, 1995: p. 123-125 Shelly Field,”Career Opportunities in the Sports Industry 3rd Edition”, New York: Chekmark Books, 2004: p.126-140. William H. Freeman, “Physical Education and Sport: In a Changing Society 6th Edition”, Massachusets: Allyn & Bacon A Pearson Educarion Company, 2001: p. 7
Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
| 57
MENUMBUH KEMBANGKAN JIWA PATRIOT ATLET Oleh: Drs. T. Irwan Amrun, M.Psi. Wakil Ketua Bidang Sport Science & IPTEK Bidang Psikologi KONI Pusat
PENDAHULUAN Pada hakikatnya setiap manusia terlahir melalui skenario besar dari Allah SWT untuk menjadi khalifah. Sebagai Patriot pembawa amanah, mereka tentunya harus berjuang untuk membela tanah kelahirannya. Patriot adalah pencinta atau pembela tanah air yang harus muncul sebagai sang pemenang. Sang Patriot inipun akan mengalami seleksi dan berkompetisi kembali secara ketat untuk dibentuk menjadi pemenang berikutnya. Seorang patriot harus senantiasa terus belajar dan berlatih untuk mandiri sehingga dapat survive dan berkembang, serta keluar sebagai pemenang dalam kehidupannnya sebagai seorang atlet. Proses seleksi pemenang ini berlangsung melalui mekanisme seleksi alam dalam bentuk yang lebih kompleks daripada seleksi alam yang berlangsung pada binatang, tumbuhan, atau makhluk lainnya. Seleksi alam pada manusia meliputi aspek-aspek sosial, mental, dan moralitas selain juga seleksi berupa fisik. Keberhasilan kehidupan manusia di dunia ditentukan oleh parameter fisik dan mental. Parameter fisik dilihat dari karya nyatanya, sedangkan parameter mental dilihat dari kualitas mental yang berhasil dibangun pada diri setiap individu dan pengaruhnya terhadap lingkungan di sekitarnya. Keutamaan keberhasilan bagi seorang atlet sangatlah penting. Ia harus mampu mengukir nama yang indah melalui perjuangan yang keras. Nama yang ditinggalkan bukanlah sekedar nama panggilan bagi dirinya saja, namun nama yang lebih bermakna yang melekat pada dirinya seperti Sang Maestro. Ketika seorang atlet mampu mengenal jati dirinya secara lebih baik, maka dapat diprediksi ia akan berupaya untuk berperan optimal di dalam hidupnya. Kehidupan di dunia olah raga memang merupakan tempat untuk menyeleksi sang juara, dimana setiap atlet dihadapkan pada berbagai permasalahan demi permasalahan sebagai jalan untuk peningkatan kualitas dirinya. Kebugaran mental dari seorang atlet yang memiliki jiwa patriot sangat dibutuhkan. Setiap ajang pertandingan baginya merupakan suatu mekanisme seleksi untuk dapat lulus dan lolos pada tingkat berikutnya. Naik turunnya prestasi sebagai suatu kenyataan yang tidak bisa dihindari dan harus dihadapi oleh setiap atlet. Hal ini membawa akan membawa konsekuensi logis, apakah atlet tersebut akan bertahan dan mengembangkan dirinya untuk meraih prestasi optimalnya atau stagnasi dan menyerah sebagai pecundang.
SURVIVE DAN BERKEMBANG
ketahanan (resilience) seseorang memegang peranan lebih besar, sedangkan pada dimensi perkembangan, ketangguhan (toughness) seseorang memegang peran yang lebih besar. Dan dalam kedua dimensi survival dan berkembang tersebut, berperan pula unsur fleksibilitas yang turut mempengaruhi kualitas potensinya.Kebugaran mental ini akan mendukung upaya mewujudkan jiwa pariot atlet yang sangat diperlukannya untuk meraih prestasi secara optimal dan membanggakan.
Ungkapan Prof. Leon C. Megginson: “Bukanlah yang paling kuat atau yang paling cerdas yang akan bertahan hidup tetapi mereka yang terbaik dapat mengelola perubahan.”Kehidupan atlet sarat dengan “pertempuran” yang harus dimenangkan, baik dengan dirinya sendiri maupun di lapangan. Boleh jadi ia mengalami kekalahan dalam pertempuran, namun tidak boleh kalah dalam perang sesungguhnya. Tantang pertempuran itu juga senantiasa yang menuntut juga kemampuan beradaptasi yang baik.
PENGARUH LINGKUNGAN Perkembangan ilpengtek yang terjadi di lingkungan tentunya berpengaruh pada jiwa atlet, baik yang bersifat positif maupun negatif. Kecenderungan yang bersifat positifnya antara lain kemudahan komunikasi, referensi dan alat peralatan serta suplemen untuk mendukung kebugaran fisik. Sementara kencenderungan negatifnya antara lain berkembangnya budaya hedonisme, perilaku serba instans dan menurunnya jiwa patriotisme. Pengaruh lingkungan ini juga tentunya berdampak pada diri atlet.
Seiring dengan perjalan waktu, tantangan per tempuran yang dihadapi oleh seorang atlet akan semakin kompleks dan sulit. Hal ini menuntut dirinya untuk terus mampu beradaptasi (survive) dan berkembang, sehingga mampu meliwati dengan kemenangan. Survival dan perkembangan merupakan satu kesatuan yang harus dimiliki oleh setiap atlet. Untuk berkembang, mereka harus mampu beradapatasi terhadap setiap perubahan sekaligus mengembangkan potensi dirinya.Mekanisme ini akan membawa siklus kausalitas yang saling menguatkan satu sama lain. Dalam dimensi survival,
Setiap negara tentunya menyadari akan hal ini dan berupaya untuk mencari solusinya, namun dengan 58
Drs. T. Irwan Amrun, M.Psi.
cara dan prioritas yang berbeda-beda. Katakanlah di negara Amerika, semangat patriotisme senantiasa di kembangakannya pada setiap situasi bahkan di industri film. Kita akan senantiasa melihat bendera Amerika disetiap Filmnya merupakan salah satu cara mereka menanamkan jiwa patriotisnya. Di Singapura, setiap warga negara yang sehat diwajibkan untuk mengikuti wajib militer. Sedangkan di Indonesia dicanangkan program Bela Negara. Pertanyaannya, bagaimana dengan atlet-atlet nasional kita? Apakah pada diri mereka telah tumbuh dan berkembangan jiwa patriotisme? Apakah nilai-nilai luhur negara belum tergerus dalam diri mereka? Upaya menyeleksi (filtering) pengaruh negatif dari lingkungan perlu dilakukan secara bersama dan demikian juga upaya untuk menumbuhkan jiwa patriotisme atlet. Permasalahannya jika selama ini secara sadar maupun tidak sadar telah terhanyut tanpa disertai filter yang memadai, maka perlu dilakukan “pembersihan” antara lain dengan cara mental detox.
MEMBUAT TARGET PENGEMBANGAN DIRI Bukankah Einstein pernah mengatakan: ”Gila kalau kita melakukan hal yang sama terus menerus dan mengahrapkan hasil yang berbeda”. Ungkapan ini merupakan motivasi untuk berubah, berinovasi dan berkreasi untuk membuat suatu perubahan dalam pengembangan diri. Target pengembangan diri yang dimaksudkan disini adalah target menumbuhkembangkan jiwa patriot pada diri atlet.Lizzie West, 1973, American singer-song writer and social campaigner), mengingatkan:“If you don’t createyour reality,Your reality will create you.” Di Negeri ini sangatlah tepat jika kita belajar dari kehidupan prajurit. Mengapa? Karena dalam kehidupan prajurit juga sarat dengan kegiatan fisik, namun tetap dipelihara keseimbangan dari aspek-aspek lainnya. Bagaimana mereka direkrut dan diseleksi; bagaimana mereka disiapkan dan dikembangkan; bagaimana mereka dipelihara dan dirawat. Di Lingkungan Prajurit/TNI hal tersebut dikenal dengan istilah SIAPBANGHARWAT (Penyiapan, Pengembangan, Pemeliharaan dan Perawatan). Pada prinsipnya pendekatan yang dilakukan di lingkungan prajurit adalah pendekatan holistik, yaitu pendekatan dari berbagai disiplin ilmu seperti kesehatan, fisik dan jasmani, psikologi serta mental ideologi. Hal lain yang juga dipelajari adalah bahwa mereka dididik secara keras dengan penuh kedisiplin dalam setiap nafas kehidupannya. Jadi sangatlah tepat jika Jenderal Douglas MacArthur menyampaikan do’anya sebagai berikut:
Tuhanku… Bentuklah puteraku menjadi manusia yang cukup kuat untuk mengetahui kelemahannya. Dan, berani menghadapi dirinya sendiri saat dalam ketakutan. Manusia yang sabar dan tabah dalam kekalahan. Tetap jujur dan rendah hati dalam kemenangan. Bentuklah puteraku menjadi manusia yang berhasrat mewujudkan cita-citanya dan tidak hanya tenggelam dalam angan-angannya saja. Seorang Putera yang sadar bahwamengenal Engkau dan dirinya sendiri adalah landasan segala ilmu pengetahuan. Tuhanku… Aku mohon, janganlah pimpin puteraku di jalan yang mudah dan lunak. Namun, tuntunlah dia di jalan yang penuh hambatan dan godaan, kesulitan dan tantangan. Biarkan puteraku belajar untuk tetap berdiri di tengah badaidan senantiasa belajar untuk mengasihi mereka yang tidak berdaya. Ajarilah dia berhati tulus dan bercita-cita tinggi, sanggup memimpin dirinya sendiri,sebelum mempunyai kesempatan untuk memimpin orang lain. Berikanlah hamba seorang putra yang mengerti makna tawa ceri, tanpa melupakan makna tangis duka. Putera yang berhasratuntuk menggapai masa depan yang cera, namun tak pernah melupakan masa lampau. Dan, setelah semua menjadi miliknya… Berikan dia cukup rasa humor, sehingga ia dapat bersikap sungguh-sungguh, namun tetap mampu menikmati hidupnya. Tuhanku… Berilah ia kerendahan hati… Agar ia ingat akan kesederhanaan dan keagungan yang hakiki… Pada sumber kearifan, kelemahlembutan, dan kekuatan yang sempurna Dan, pada akhirnya bila semua itu terwujud, hamba, ayahnya, dengan berani berkata “hidupku tidaklah sia-sia” Dalam do’anya ini jelas sekali bahwa MacArthur sangat sadar untuk mencapai suatu keberhasilan paling tidak diperlukan nilai-nilai luhur, seperti kesadaran diri, keberanian, kesungguhan, ketulusan, kerja keras, ketabahan, keceriaan, kerendahan hati dan kelembutan. Selanjutnya aspek mental apa yang perlu dikembangkan untuk dapat menampilkan kebugaran Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
| 59
Menumbuhkembangkan Jiwa Patriot Atlet
mental yang prima. Dari beberapa referensi, paling tidak ada 10 aspek mental yang perlu dikembangkan sebagai berikut: a. Commitment merupakan keteguhan seseorang terhadap tujuan atau tugas kerja. b. People Skill merupakan kemampuan dalam bersosialisasi dengan orang lain dan memelihara relasi. c. Nyali adalah keberanian disertai dengan kepercayaan diri untuk menghadapi tantangan, hambatan, dan resiko yang diperhitungkan. Nyali meliputi: 1) Keberanian; tingkat keyakinan untuk melakukan sesuatu 2) Challenge; perbedaan individu dalam pendekatannya terhadap tantangan. 3) Perseverance; ketekunan untuk berjuang dalam kesulitan. 4) Kepercayaan diri; tingkat keyakinan atas kemampuan diri sendiri d. Regulasi Diri merupakan kemampuan untuk mengendalikan dan mengarahkan dorongan serta kebutuhan, mengatur emosi dan pengungkapannya, memusatkan energi dan perhatian, dan mengarahkan tindakan yang dilakukan secara voluntary. Kemampuan ini dapat dilatih dan dikembangkan. Regulasi diri meliputi: 1) Motivation; kemampuan memelihara dan mempertahankan tingkat motivasi diri. 2) Managing Emotion; Kemampuan mengelola emosi menjadi kekuatan. 3) Managing anxiety; Kemampuan mengelola kecemasan menjadi kekuatan. 4) Concentration; Kemampuan mencapai dan menjaga fokus pikiran 5) Control; ukuran sejauh mana seseorang merasakan dirinya berada dalam kendali kehidupan mereka e. Equanimity adalah ketenangan jiwa dalam menghadapi tekanan atau stress. f. Kerjasama Diri merupakan kemampuan untuk menjalin kerjasama dengan diri sendiri dan lingkungan sehingga mampu dicapai keselarasan antara keadaan diri dan keadaan lingkungan. Kerjasama diri meliputi: 1) Values; kemampuan dalam menghargai sesuatu. 2) Acceptance; Kemampuan untuk menerima pengalaman yang ingin dihindari. 3) Defusion; Kemampuan menjinakkan pikiran sehingga tidak terlalu kuat mempengaruhi suatu persepsi. 4) Self-reliance; kemampuan mempercayai diri sendiri dan orang lain.
60 | Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
g. Kesadaran Diri merupakan kemampuan diri dalam menyadari kondisi mental, perilaku, dan pengalaman yang sedang dilalui diri sendiri atau orang lain sebagai bentuk kenyataan hidup. Kesadaran diri meliputi: 1) Meaningfulness; kesadaran akan makna hidup diri sendiri dan orang lain. 2) Existential Aloneness; kesadaran bahwa kehidupan setiap orang tidak ada yang sama. 3) Present Moment; Kemampuan menyadari keadaan saat ini sehingga terjadi kontak psikis yang lebih kuat dan lebih nyata. 4) Self as context; Kemampuan berpikir transenden yang menjadikan menyadari semua keadaan. h. Attitude; Kemampuan memilih dan mempertahankan sikap positif. i. Self Talk merupakan ungkapan kalimat positif yang mampu membangun semangat pada individu. j. Mental Imagerymerupakan kemampuan mem bayangkan (visualisasi) suatu keadaan yang diharapkan terjadi Setiap atlet bersama pelatihnya harus membuat kontrak target pengembangan (SMART TARGET) diri yang memiliki nilai-nilai luhur terkandung dalam do’a Mac Arthur tersebut dan juga 10 aspek mental dalam rangka mewujudkan kebugaran mental prima yang memiliki jiwa patriot.
MENGEMBANGKAN RASA KEBANGSAAN “Bangunlah jiwanya…. Bangunlah Badannya”. Amanah yang ada dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya sudahkah kita laksanakan ? Sering didengungkan bahwa hanya pada kunjungan resmi Presiden dan kemenangan atlet sebagai juara 1 pada pertandingan internasional yang mampu mengibarkan Sang Merah Putih dan mengumandangkan lagu Indonesia Raya di negeri orang. Sungguh ini suatu kebanggaan yang sulit untuk dilukiskan. Rasa haru dan Bangga terhadap Tanah Air akan menggugah sanubari. Begitu berartinya kemenangan ini untuk menumbuhkan Rasa Kebangsaan sekaligus cikal dari jiwa patriot. “Lebih baik pulang nama daripada gagal dalam tugas”adalah slogan untuk menyemangati jiwa patriot yang harus terus menerus menggelora dalam setiap diri atlet. Menjadi atlet adalah suatu pilihan dan meraih kemenangan menjadi tujuan. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas dan kerja ikhlas dalam menghadapi segala bentuk tantangan, cobaan, dan ujian merupakan bagian dari kehidupan seorang atlet. Untuk itu diperlukan berbagai pengetahuan, kemampuan, sikap, dan berbagai aspek mental yang mendukung untuk menggerakkan dan
Drs. T. Irwan Amrun, M.Psi.
mengendalikan individu dalam melakukan aktivitas di dalam hidupnya. Mental sebagai software dari individu memegang peranan penting dalam menentukan kemampuan, sehingga harus dikembangkan dan selalu menjadi prioritas perhatian. Setiap individu memiliki kebugaran mental yang berbeda-beda bergantung pada anugerah talenta yang dimiliki, upayanya dalam menjalani kehidupan, serta perbedaan ujian hidup yang dihadapinya. Keberbedaan ini akan membentuk profil kebugaran mentalnya, dan yang paling dalam jika ada rasa kebangsaan di dalam sanubarinya. Jika ini sudah terjadi dan senantiasa dipeliharan, maka potensi seseorang untuk mencapai kesuksesan dalam hidupnya juga semakin besar. Unsur ketangguhan, ketahanan, dan fleksibilitas menjadi faktor penentu bagi terbentuknya kebugaran mental atlet. Dengan ketangguhan mentalnya tersebut, seorang atlet akan membangun daya juang untuk mengupayakan berbagai hal dalam mengatasi permasalahannya. Sementara dengan ketahanan mentalnya, ia akan mampu bertahan dari setiap ancaman maupun gangguan yang dapat menggoyah kestabilan. Sedangkan melalui fleksibilitas mental, menentukan kemampuannya dalam menyesuaikan dirinya terhadap berbagai perubahan situasi, sehingga tetap dapat melakukan fungsi ketangguhannya maupun ketahanannya.Kebugaran mental yang disertai rasa kebangsaan selalu bekerja dalam berbagai situasi kehidupan.
JATI DIRI Seringkali kali mendengar nasehat untuk menjadi diri sendiri. “Jadilah dirimu sendiri!”. Namun kata-kata itu ibarat ungkapan atau pepatah saja tanpa banyak orang yang mengerti maknanya. Kata “menjadi diri sendiri” memang perlu direnungkan maknanya dan dipahami maksudnya karena setiap orang pada dasarnya berpikir, berkata, dan berperilaku sesuai dengan kehendak dirinya. Apa yang dilakukan oleh setiap orang pada dasarnya adalah berasal dari dirinya sendiri, kecuali orang-orang yang berada dalam tekanan atau ancaman orang lain. Namun yang dimaksud dengan menjadi diri sendiri di sini tentu bukanlah kebebasan dalam berpikir, berkatakata, dan bertindak tersebut. Menjadi diri sendiri yang dimaksud di sini adalah hidup sesuai dengan kapasitas diri masing-masing berdasarkan pemahaman atas jati dirinya sebagai seorang atlet. Pemahaman jati diri sebagai seorang atlet, tidak lepas dari pengetahuan dan kesadaran atas bagaimana spesifikasi diri yang sesungguhnya. Spesifikasi diri ini sering pula disebut dengan kapasitas diri, yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan kemampuan, kekuatan, dan keterbatasan diri. Pengetahuan ter hadap 10 kemampuan mental juga termasuk salah
satu dalam pengetahuan akan jati diri. Begitu pula dengan pemahaman atas kompetensi diri yang meliputi pengetahuan, keahlian, dan sikap juga turut mempengaruhi jati diri atlet. Tak hanya itu, pengetahuan jati diri juga ditentukan oleh keharmonisan atau soliditas antar bagian-bagian yang ada di dalam dirinya. Semakin solid dan harmonis tiap-tiap bagian diri, maka dikatakan bahwa seseorang itu telah mengetahui jati dirinya. Dan ketika segala tindakan seseorang berdasarkan dari keharmonisan dan pada kapasitas efektif dirinya, maka ia disebut telah mampu menjadi dirinya sendiri. Pemahaman jati diri terkait dengan keadaan yang ditampilkan (front state) dan juga keadaan yang tidak ditampakkan (back state). Seorang atlet yang memiliki jiwa patriot akan selalu menyelaraskan antara front state dan back state nya. Ia akan senantiasa konsisten dengan pemahaman jati dirinya yang baik akan mampu menyesuaikan pemahaman akan jati dirinya dengan posisi yang disandangnya sebagai duta olah raga.
PENUTUP Tulisan singkat ini hanya sebagai stimulasi awal dari bidang psikologi untuk memberikan wawasan tentang pentingnya peran psikologi dalam mendukung terwujudnya jiwa patriot dalam diri setiap diri atlet. Jiwa Patriot itu harus dilatih dengan kepedihan, diasuh dengan kerendahan hati, dituntun oleh kesantunan, diasah oleh rasa cinta kasih, dipelihara oleh harapan, dan dijaga oleh do’a. “Ketika engkau puas dengan hanya menjadi dirimu sendiri dan tidak membandingkan atau menandingi, setiap orang akan menghormatimu.” ~ Lao Tzu, Pembawa ajaran Tao
REFERENSI
Ahmed Elemiri, Ahmed Aly, “Mental toughness and its relationship to the achievement level of the weightlifters in Egypt”, Turkish Journal of Sport and Exercise, http://selcukbesyod.selcuk.edu.tr/sumbtd/ index, Year: 2014-Volume: 16-Issue: 2-Pages: 63-69 Aisha Visram, “Impact Of Mental Toughness Training On Psychological And Physical Predictors Of Illness And Injury”, Department of Kinesiology, University of Massachusetts, Amherst, 2012 Claire M. Skehill, “Resilience, Coping with an Extended Stay Outdoor Education Program, and Adolescent Mental Health”, Applied Psychology of University of Canberra, 2001 Henry Cloud, “Integritas-Keberanian Memenuhi Tuntutan Kenyataan”, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2007 Karen MacNeill, et al., “Mental Fitness for Long-Term Athlete Development”, Canadian Sport for Life Lynne Friedli, “Mental health, resilience and inequalities”, World Health Organization 2009. Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
| 61
PEDOMAN PENULISAN NASKAH 1. Jenis Naskah: Naskah dikirim berbentuk Karya Tulis Ilmiah Bidang Sport Science & Penerapan Iptek Olahraga KONI Pusat dapat berupa: Ringkasan Hasil Penelitian, Tinjauan Teori, Artikel Ilmiah yang dikemas secara sistematis dan kritis. Tulisan harus memenuhi kaidah penulisan KTI dengan penggunaan bahasa yang baik dan benar, dan baku (bukan bahasa populer). Naskah yang dikirim ke redaksi bersifat orisinil (karya sendiri) dan belum pernah dipublikasikan dan tidak akan dipublikasikan di media lain. Penulis membuat surat pernyataan orisinalitas dan ditandatangani di atas meterai. 2. Sistematika Penulisan: Sistematika penulisan harus memenuhi dan secara berurutan mencakup: - Penulisan judul: Judul naskah harus singkat. Tidak terlalu panjang (10-15 kata dalam Bahasa Idonesia, atau 10-18 kata dalam Bahasa Inggris); tidak ada kata klise (misalnya: studi tentang, kajian tentang, penelitian pendahuluan, pengaruh pemberian, dan sebagainya). Judul mencerminkan isi tulisan, bersifat spesifik, efektif, serta tidak memberikan peluang penafsiran yang beraneka ragam, ditulis dengan huruf kapital dengan posisi tengah (centre) dan huruf tebal (bold). Judul ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Apabila naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia maka judul Bahasa Indonesia ditulis di atas Bahasa Inggris, begitu juga sebaliknya. Judul kedua ditulis miring (Italic). - Nama Penulis (diketik di bawah judul ditulis lengkap dengan tanpa menyebutkan gelar. Jika penulis terdiri lebih dari satu orang maka harus ditambahkan kata penghubung ‘dan’ (bukan lambang ‘&’). Nama Instansi/lembaga tempat penulis bekerja; ditulis lengkap beserta pos-el (e-mail) penulis. Contoh:
Nur Indrawati1, Candra Triawati 2, Widyanto Adi Saputro3 , dan Moch. Arif Bijaksana4 1,2,3,4
Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Teknik Informatika, Universitas Telkom Jl. Telekomunikasi Terusan Buah Batu, Bandung, Jawa Barat 40257- Indonesia, Telp: 022- 7564108 e-mail:
[email protected], e-mail:
[email protected]
Abstrak dan Kata Kunci; Abstrak terdiri atas satu paragraf dan menggambarkan keseluruhan isi naskah. Naskah memuat latar belakang, permasalahan, metode penelitian, kesimpulan, dan saran. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia (maksimal 250 kata) dan Bahasa Inggris (maksimal 280 kata). Di bawah abstrak dicantumkan minimal 3 (tiga) dan maksimal 5 (lima) kata kunci. Abstract dalam Bahasa Inggris maka diikuti kata kunci (keywords) dalam Bahasa Inggris. Abstrak dalam Bahasa Indonesia maka diikuti kata kunci dalam Bahasa Indonesia. 3. Struktur Naskah: -
PENDAHULUAN
(berisi latar belakang, masalah, tujuan, manfaat, teori yang digunakan, dan hipotesis (kalau ada)), dan Metode Penelitian (berisi jenis penelitian, subjek dan atau objek penelitian, teknik pengumpulan data, analisis data, dan keabsahan data) HASIL DAN PEMBAHASAN (mendeskripsikan temuan penelitian dan pembahasan) PENUTUP (berisi secara singkat dan jelas tentang simpulan/esensi hasil penelitian dan rekomendasi) DAFTAR PUSTAKA (berisi daftar referensi buku mutakhir dan jurnal ilmiah) 4. Format Penulisan: a. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris, dengan menggunakan MS Office Word pada kertas ukuran A4 (210x297 mm), dengan margin atas 2,5 cm, margin bawah 3 cm, margin kiri dan kanan 2 cm. Font Times New Roman ukuran 12, spasi 1, tabel (spasi 1,0). b. Setiap naskah diserahkan dalam bentuk file elektronik (soft copy) dalam program MS Office Word serta 2 (dua) rangkap dalam bentuk cetakan (print out). c. Jumlah halaman naskah 15 s.d. 25 halaman, termasuk abstrak, gambar, tabel dan daftar pustaka. Bila lebih dari 25 halaman, redaksi berhak untuk menyunting ulang, dan apabila dianggap perlu akan berkonsultasi dengan penulis. d. Penyebutan istilah di luar Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris harus ditulis dengan huruf cetak miring (italic).
62 | Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
e. Penyajian Tabel: • Judul tabel ditampilkan di bagian atas tabel, posisi di tengah (center), ditulis menggunakan font Times New Roman ukuran 11; • Tulisan ‘Tabel’ dan ‘Nomor’ ditulis tebal (bold), sedangkan judul tabel ditulis normal; • Gunakan angka Arab (1,2,3, dan seterusnya.) untuk penomoran judul tabel; • Jenis dan ukuran font untuk isi tabel menggunakan Arial Narrow ukuran 8-11 dengan jarak spasi tunggal; • Pencantuman sumber atau keterangan diletakkan di bawah tabel, rata kiri, menggunakan font Times New Roman 10. f. Penyajian gambar: Nomor dan judul gambar diletakkan di bawah gambar, diikuti sumber. g. Penulisan kutipan menggunakan model bodynote, contoh: (Mulyana, 2010). h. Penulisan Daftar Pustaka mengikuti A.P.A Style dengan tata cara penulisan sebagai berikut dan diurutkan secara alfabetis dan kronologis. (Sumber: Microsoft ® Encarta ® 2008. © 1993-2007 Microsoft Corporation. All rights reserved) • Penulisan Daftar Pustaka dibuat spasi 1,5, dan masing-masing item diformat dengan hanging indent, yaitu baris kedua dan berikutnya lebih menjorok ke dalam daripada baris pertama. Contoh: H.J. de Graaf dan Th.G.Th.Pigeaud (1985). Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa; Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Jakarta: Grafiti Pers. • Buku (1 orang penulis): Scott, J.C. (1993). Perlawanan kaum tani (pp. 90-91). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Atau Scott, J.C. (1993). Perlawanan kaum tani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. • Buku (2 orang penulis): Abdullah, T., & Surjomohardjo, A. (1985). Ilmu sejarah dan historiografi; arah dan perspektif (pp. 21-22) Jakarta: Gramedia. Atau Abdullah, T., & Surjomohardjo, A. (1985). Ilmu sejarah dan historiografi; arah dan perspektif .Jakarta: Gramedia. • Buku (3 orang atau lebih penulis): Ekadjati, E.S., Hardjasaputra, S., & Marlina, I. (1985). Sejarah kota Bandung 1945 – 1979 (p.63). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Keudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. Atau Ekadjati, E.S., Hardjasaputra, S., & Marlina, I. (1985). Sejarah kota Bandung 1945 – 1979. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Keudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. • Buku Edisi Kedua atau Lainnya: Latif, Y., & Ibrahim, I.S. (1996). Bahasa dan kekuasaan; politik wacana di panggung Orde Baru (cet. ke-2) (121). Bandung: Mizan. Atau Latif, Y., & Ibrahim, I.S. (1996). Bahasa dan kekuasaan; politik wacana di panggung Orde Baru (cet. ke-2). Jakarta: Gramedia. • Artikel dalam Jurnal: O’Connell, J. F., & Perkins, G. M. (2003). The economics of private liberal arts colleges. Journal of Business, 76(3), 501. Atau O’Connell, J. F., & Perkins, G. M. (2003). The economics of private liberal arts colleges. Journal of Business, 76(3), 499-514. Dalam teks: (O’Connell & Perkins, 2003). • Artikel Majalah: Serrill, M. S. (1990, April 2). Soviet Union war of nerves. Time, 135, 29. atau Serrill, M. S. (1990, April 2). Soviet Union war of nerves. Time, 135, 26-30. Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016
| 63
Artikel-artikel Surat Kabar: Rood, L. (2005, December 31). The steep costs of driving drunk. Des Moines Register, p. A12. Atau Rood, L. (2005, December 31). The steep costs of driving drunk. Des Moines Register, p. A12-A13.Dalam teks: (Rood, 2005). • Artikel Surat Kabar, Tidak Ada Pengarang.: Gas prices: Pollution rules may be eased. (2006, April 26). The Seattle Times, p.A5. atau Gas prices: Pollution rules may be eased. (2006, April 26). The Seattle Times, pp. A1+.Dalam teks: (“Gas Prices,” 2006). Sumber-sumber Elektronik 1. Artikel Encyclopedi Online (Contoh satu pengarang) Hart, J. (2006). Water pollution. Microsoft Encarta Online Encyclopedia 2006. Diperoleh tanggal 19 April 2006, dari http://encarta.msn.com/encyclopedia_761572857/Water_Pollution.html Dalam teks: (Hart, 2006). 2. Artikel Ensiklopedi Online, Tidak ada nama pengarang Common cold. (2006). Microsoft Encarta Online Encyclopedia 2006. Diambil tanggal 10 November 2006, dari http://encarta.msn.com/encyclopedia_761578766/Common_Cold.html Dalam teks: (“Common Cold,” 2006). 3. Artikel dalam DVD atau Ensiklopedi CD ROM (Contoh seorang pengarang) Hart, J. (2006). Water pollution. Microsoft Student 2007 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation. Dalam teks: (Hart, 2006). 4. Artikel dalam DVD atau Ensiklopedi CD-ROM, Tidak ada penulis Common cold. (2006). Microsoft Student 2007 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation. Dalam teks: (“Common Cold,” 2006). 5. Artikel Jurnal Online (Contoh lima pengarang) Muntner, P., He, J., Cutler, J. A., Wildman, R. P., & Whelton, P. K. (2004). Trends in blood pressure among children and adolescents. Journal of the American Medical Association (JAMA), 291(17), 2110-2111. Retrieved May 22, 2007, from http://jama.ama-assn.org/cgi/content/abstract/291/17/2107 atau Muntner, P., He, J., Cutler, J. A., Wildman, R. P., & Whelton, P. K. (2004). Trends in blood pressure among children and adolescents. Journal of the American Medical Association (JAMA), 291(17), 2107-2113. Retrieved May 22, 2007, From http://jama.ama-assn.org/cgi/content/abstract/291/17/2107 Dalam teks: (Muntner, He, Cutler, Wildman, & Whelton, 2004). 6. Artikel Majalah Online (Contoh seorang pengarang) Nash, J. M. (2006, February 20). Where the waters are rising. Time, 165. Diperoleh tanggal 25 April 2006, from http://www.time.com/time/magazine/0,9263,7601050425,00.html Dalam teks: (Nash, 2005). 7. Artikel Surat Kabar Online (Contoh seorang pengarang) Waxman, S. (2005, April 19). Hollywood welcomes new crop of moguls. The New York Times. Diperoleh tanggal 2 Januari 2007, dari http://select.nytimes.com/gst/abstract.html?res=F70F16FC345A0C7A8 DDDAD0894DD404482 Dalam teks: (Waxman, 2005). 8. Dokumen Pemerintah Online, Tidak Ada Pengarang U.S. Department of Education, Office of Innovation and Improvement. (2004). Innovations in Education: Alternative Routes to Teacher Certification (pp. 2-3). Washington, D.C.: Education Publications Center. Retrieved April 20, 2006, from http://www.ed.gov/admins/tchrqual/recruit/altroutes/report. html Atau U.S. Department of Education, Office of Innovation and Improvement. (2004). Innovations in Education: Alternative Routes to Teacher Certification. Washington, D.C.: Education Publications Center. Retrieved April 20, 2006, dari http://www.ed.gov/admins/tchrqual/recruit/altroutes/report.html Dalam teks: (U.S. Department of Education, Office of Innovation and Improvement, 2004). •
64 | Jurnal Juara Volume 1 Nomor 1, Juli 2016