III. KERANGKA TEORI DAN PEMIKIRAN KONSEPTUAL 3.1. Kerangka Teori 3.1.1. Kaitan Desentralisasi Fiskal dengan Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Dari penelusuran tinjauan pustaka didapatkan pemahaman tentang konsep desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal memberi eksensi kebebasan berinovasi dan berkreasi kepada pemerintah daerah dalam mengoptimalkan perannya sebagai pelaksana fungsi-fungsi inisiator, fasilitator dan regulator dalam mengelola anggaran pendapatan belanja daerah baik dari sisi peneriman maupun pengeluaran untuk meningkatkan ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan di daerahnya. Kaitan desentralisasi fiskal dengan ketahanan pangan dan kemiskinan dapat dijelaskan dari beberapa teori sebagaimana yang dikatakan oleh (Pogue and Squant, 1976; Lin and Liu, 2000; Roy, 1999 ; Rao, 2000; Smoke, 2001; Ebel and Yilmaz, 2002) bahwa desentralisasi fiskal membuat pemerintah lebih responsif
terhadap
aspirasi dan preferensi kebutuhan masyarakat dibanding dengan pemerintah yang terpusat. Hipotesis serupa juga disampaikan oleh Tiebout, yang dikenal dengan Tiebout Hypotesis
yaitu untuk barang publik yang memungkinkan perbedaan
permintaan antar daerah maka efisiensi alokasi sumber daya akan lebih baik jika produksi barang tersebut dilakukan secara terdesentralistik (Stiglitz, 2000). Selanjutnya dikatakan desentralisasi fiskal berhubungan dengan perumusan kewenangan atas sumber- sumber dana yang ada atau akses terhadap dana transfer dan pembuatan berbagai keputusan baik yang menyangkut pengeluaran rutin maupun pengeluaran investasi/ pembangunan (Braun and Grote, 2002). Transfer fiskal merupakan inti dari suatu hubungan fiskal antar pemerintahan dan memiliki peranan penting dan menentukan dalam mendukung program desentralisasi fiskal, karena pengeluaran pemerintah daerah dua per tiganya
merupakan dana transfer dari
76
pemerintah pusat. Dana transfer berupa dana block grant akan memberikan pengaruh yang lebih efisien terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dibanding dengan dana transfer berupa spesific grant (Stiglitz, 2000; Simanjuntak, 2001). Pada masa sebelum desentralisasi program bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sebagian besar dilakukan dalam bentuk spesific grant, dimana penentuan alokasi anggaran sudah ditentukan dari pemerintah pusat dengan format yang sangat rigid. Dengan desentralisasi pola penyaluran bantuan pemerintah pusat berubah menjadi bentuk block grant, bentuk block grant dalam kerangka desentralisasi fiskal berupa Dana Alokasi Umum (DAU)(Departemen Dalam Negeri, 2002b; Simanjuntak, 2001). Dampak desentralisasi fiskal terhadap kesejahteraan dieksensikan pada dampak pola penyaluran dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk pembelanjaan barang publik dalam upaya peningkatan kesejahteraan, karena dua per tiga dari sumber dana daerah adalah dana transfer dari pemerintah pusat yang pola penyalurannya mengalami perubahan dari pola spesific grant menjadi block grant pada masa desentralisasi fiskal (Simanjuntak, 2001). Diasumsikan ada dua pola penyaluran dana bantuan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
yaitu : (1) dalam bentuk spesific grant yang
mempresentasikan kondisi sebelum desentralisasi fiskal, dan (2) dalam bentuk block grant yang mempresentasikan kondisi masa desentralisasi fiskal. Dari dua pola penyaluran dana transfer ini akan dianalisis pola penyaluran mana yang paling efisien dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pola penyaluran spesific grant menggeser garis anggaran melalui proses efek substitusi karena bentuk bantuan sudah rigid, sedang pola block grant menggeser garis anggaran melalui proses efek pendapatan.
77
Gambar 5. Dampak Pola Penyaluran Dana Bantuan terhadap Tingkat Kesejahteraan Sumber : Stiglitz, 2000.
Bagaimana dan berapa besar pengaruh desentralisasi fiskal terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat diilustrasikan pada Gambar 5.Garis BB menunjukkan garis anggaran masyarakat sebelum adanya bantuan dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah lokal dan keseimbangan terjadi pada titik E dan anggaran pengeluaran kesejahteraan untuk belanja barang publik sebesar W. Adanya penyaluran dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah lokal dengan pola bantuan spesific grant untuk pembelanjaan barang publik, maka akan menggeser garis anggaran masyarakat menjadi BB’. Garis anggaran menjadi lebih landai karena harga barang publik menjadi
relatif lebih murah daripada barang privat.
Keseimbangan terjadi pada titik E* dan pengeluaran anggaran kesejahteraan untuk belanja barang publik pada titik W*. Tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat yang ditunjukkan oleh pergeseran kurva indiferent dari titik E ke titik E* yang lebih
78
tinggi. Pola bantuan spesific grant memberikan pengaruh pada harga barang publik yang relatif lebih murah dan menggeser garis anggaran melalui proses efek substitusi. Apabila pola bantuan dari pemerintah pusat berupa block grant maka
akan
menggeser garis anggaran melalui proses efek pendapatan, yaitu garis anggaran slopenya bergeser sejajar dengan garis anggaran awal dan bergeser kekanan sampai menyinggung kurva indiferent yang sama dengan kurva indiferen setelah subsidi atau pada tingkat kesejahteraan yang sama. Keseimbangan tercapai pada titik E** dan pengeluaran anggaran kesejahteraan untuk belanja barang publik sebesar W**. Hal ini menunjukkan pada pola bantuan block grant untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang sama dibutuhkan pengeluaran anggaran yang lebih rendah dibandingkan dengan pola bantuan spesific grant. Hal ini menunjukkan bahwa desentralisasi
fiskal
memberi dampak yang relatif lebih efisien dalam mencapi kesejahteraan masyarakat yaitu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan ketahanan pangan
3.1.2.Teori Pertumbuhan Ekonomi Daerah Pertumbuhan ekonomi daerah pada dasarnya menggunakan konsep-konsep pertumbuhan ekonomi secara agregat. Perbedaan pokok antara analisis pertumbuhan ekonomi nasional dengan pertumbuhan ekonomi daerah menurut Ricardson (2001) adalah titik berat dalam analisis perpindahan faktor. Analisis untuk suatu negara dapat diasumsikan dengan perekonomian tertutup, namun untuk daerah asumsi tersebut tidak berlaku. Daerah bersifat terbuka, karena kemungkinan masuk dan keluarnya arus perpindahan tenaga kerja dan modal sangat besar. Hal ini memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi nasional dan sebaliknya.
79
Konsep yang paling sering digunakan untuk menggambarkan pendapatan daerah adalah produk domestik regional bruto (PDRB) yaitu nilai tambah bruto atau gross value added ( output dikurangi intermediate cost) dari seluruh sektor perekonomian di suatu daerah. Pada tingkat nasional pertumbuhan ekonomi diukur dari laju nilai produk domestik bruto (PDB) dan pada daerah merupakan laju dari nilai produk domestik regional bruto (PDRB) yang merupakan ukuran dasar dari penampilan performansi perekonomian dalam memproduksi barang dan jasa. Nilai PDRB suatu daerah merupakan penjumlahan dari
PDRB beberapa sektor
perekonomian yang ada pada daerah tersebut. Sektor perekonomian tersebut diantaranya adalah sektor pertanian, pertambangan dan penggalian,
industri
pengolahan, listrik gas dan air bersih, kontruksi dan bangunan, perdagangan hotel dan restoran, pengangkutan dan telekomunikasi, bank dan jasa dan keuangan lainnya, jasa-jasa dan lainnya. Dari sisi penawaran agregat pertumbuhan ekonomi daerah didasarkan pada pendekatan fungsi produksi agregat yang merupakan fungsi dari teknologi, kapital (modal fisik dan finansial) dan tenaga kerja (Dornbusch and Fischer,1989). Berdasarkan teori pertumbuhan baru/ endogenous (Todaro, 2000),
pertumbuhan
output dipengaruhi oleh teknologi, kapital dan modal manusia yang menyatu dengan ilmu pengetahuannya. Secara matematis dapat dirumuskan yaitu : Y(t)
= T(t) K(t) L(t).................................................................................(3.1)
dimana : Y = tingkat output daerah (PDRB) T = tingkat teknologi K = kapital/ modal fisik dan finansial L = modal manusia beserta ilmu pengetahuan yang dikuasai
80
3.1.3. Teori Distribusi Pendapatan Para ekonom pada umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan yang keduanya digunakan untuk berbagai keperluan kajian kuantitatif dan analisis kualitatif. Kedua ukuran tersebut adalah : (1) ukuran distribusi, yaitu besar atau kecilnya bagian pendapatan yang diterima masing-masing orang, distribusi
dan (2)
fungsional atau distribusi kepemilikan faktor-faktor produksi (Todaro,
2000). Bagian pendapatan masing-masing orang (personal distribution of income) atau distribusi ukuran pendapatan merupakan indikator yang paling sering digunakan oleh para ekonom. Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah penghasilan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga tanpa mempersoalkan cara mendapatkan penghasilan tersebut apakah yang satu dengan cara membanting tulang dan yang lain hanya dengan bersantai tidak dipersoalkan. Para ekonom mengelompokkan masing-masing individu tersebut semata berdasarkan pendapatan yang diterima, kemudian membagi total populasi menjadi sejumlah kelompok atau ukuran berdasarkan besaran nominal. Biasanya populasi dibagi lima kelompok yang biasa disebut kuintil atau sepuluh kelompok atau desil sesuai dengan tingkat pendapatan mereka, kemudian menetapkan proporsi yang diterima masing-masing kelompok. Kemudian menghitung berapa persen dari pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing kelompok. Dari perhitungan tersebut langsung dapat memperkirakan tingkat pemerataan atau tingkat ketimpangan distribusi pendapatan di masyarakat atau negara. Indikator yang memperlihatkan tingkat ketimpangan atau pemerataan distribusi pendapatan diperoleh dari perbandingan antara pendapatan yang diterima oleh 40 persen anggota kelompok bawah yang mewakili lapisan penduduk
81
termiskin dan 20 persen anggota kelompok teratas yaitu yang mewakili lapisan penduduk terkaya. Metoda lain yang dipakai menganalisis pendapatan perorangan adalah dengan menggunakan kurva Lorenz. Jumlah penerimaan pendapatan dinyatakan pada sumbu vertikal, tidak dalam arti yang absolut (satuan numerik), melainkan dalam persentase kumulatif. Sumbu horisontal menyatakan bagian dari total pendapatan yang diterima oleh masing-masing persentase jumlah (kelompok) penduduk. Kedua sumbu yaitu vertikal dan horisontal
sama panjangnya dan secara keseluruhan berbentuk segi
empat yang dibelah oleh sebuah diagonal lurus yang ditarik dari titik nol pada sudut kiri bawah menuju ke sudut kanan atas. Setiap titik yang terdapat pada garis diagonal melambangkan persentase jumlah penerimanya (persentase penduduk yang menerima pendapatan terhadap total penduduk atau populasi). Persentase pendapatan yang ditunjukkan oleh titik-titik di sepanjang garis diagonal tersebut persis sama dengan persentase penduduk penerimanya terhadap total penduduk. Kurva Lorenz memperlihatkan hubungan kuantitatif aktual antara persentase jumlah penduduk penerima pendapatan tertentu dari total penduduk dengan persentase pendapatan yang benar-benar mereka peroleh dari total pendapatan selama waktu tertentu. Semakin jauh jarak kurva Lorenz dari garis diagonal yang merupakan garis pemerataan sempurna, maka semakin timpang distribusi pendapatan yang ada. Kasus ekstrem dari ketidakmerataan yang sempurna yaitu apabila hanya seorang saja yang menerima seluruh pendapatan nasional, sementara orang-orang lain sama sekali tidak menerima yang dalam hal ini diperlihatkan oleh kurva Lorenz yang berimpit dengan sumbu horisontal sebelah bawah dan sumbu vertikal di sebelah kanan. Semua kurva Lorenz dari setiap negara akan berada di sebelah kanan garis diagonal. Semakin melengkung kurva Lorenz semakin tidak merata distribusi pendapatannya.
82
Pengukuran tingkat ketimpangan atau ketidakmerataan pendapatan yang relatif sangat sederhana pada suatu negara dapat diperoleh dengan menghitung rasio bidang yang terletak antara garis diagonal pada korva Lorenz dibagi dengan luas separuh bidang dimana kurva Lorenz itu berada. Rasio inilah yang dikenal sebagai Rasio Kosentrasi Gini (gini cocentration ratio) yang sering disingkat dengan koefisien Gini. Koefisien gini adalah ukuran ketidakmerataan pendapatan agregat yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna). Secara matematika rasio Gini dapat dihitung dengan rumus : n
G = 1 - ∑ (X i + 1 – Xi) ( Yi + Y i+l ) 1 n
G = 1 - ∑ fi ( Yi + Y i+l ) ;
0 < G <1
1
dimana : G = Rasio Gini fi = Proporsi jumlah rumah tangga dalam kelas – i Xi = Proporsi jumlah kumulatip rumah tangga dalam kelas – i Yi = Proporsi jumlah kumulatip pendapatan dalam kelas - i
Indikator distribusi pendapatan kedua adalah distribusi fungsional atau distribusi pangsa pendapatan per faktor. Indikator ini berfokus pada bagian dari pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing faktor produksi (tanah, tenaga kerja dan modal). Teori distribusi fungsionil ini pada dasarnya mempersoalkan persentase penghasilan tenaga kerja secara keseluruhan, bukan sebagai unit-unit usaha atau faktor produksi yang terpisah secara individual. Dengan membandingkannya dengan persentase total pendapatan yang dibagikan dalam bentuk sewa, bunga dan laba masing-masing merupakan perolehan dari tanah, uang simpanan dan modal fisik.
83
3.1.4. Teori Permintaan Faktor Produksi dan Penawaran Pangan Teori produksi bertumpu pada fungsi produksi, yaitu suatu fungsi yang menggambarkan hubungan teknis antara faktor-faktor produksi (input) dan hasil produksinya (output). Fungsi produksi dapat menggambarkan teknologi yang digunakan oleh suatu perusahaan, suatu industri, atau suatu perekonomian secara keseluruhan. Pada pasar produk dan pasar faktor produksi yang bersaing sempurna, fungsi penawaran merupakan kuantitas produk yang ditawarkan sebagai fungsi dari harga produk dan harga faktor. Suatu fungsi penawaran dapat diturunkan dari fungsi keuntungan yang dimaksimumkan. Fungsi keuntungan akan maksimum jika memenuhi dua syarat yaitu syarat orde satu (first order condition) dan syarat orde dua (second order condition). Menurut syarat orde satu, fungsi keuntungan akan maksimum jika turunan pertama (first partial derivative) dari fungsi tersebut sama dengan nol, berarti nilai produk marjinal masing-masing faktor harus sama dengan harga masing-masing faktor yang digunakan. Sedangkan syarat orde dua terpenuhi jika turunan kedua dari fungsi tersebut lebih kecil dari nol, atau untuk kasus n-faktor adalah matrik Hessian-nya harus bernilai negative semidefinite atau principal minor determinan matrik Hessian-nya mempunyai tanda yang bergantian atau naturally ordered principal minor determinant berganti tanda (Hartono, 1999). Untuk menyederhanakan persoalan, dimisalkan bahwa pada tingkat teknologi tertentu, fungsi produksi pangan (beras) dapat dirumuskan sebagai berikut : Q = q (L,F, Z) …......…………………………………………………….(3.2) dimana : Q = jumlah produksi pangan L = jumlah tenaga kerja F = jumlah pupuk yang digunakan Z = jumlah pemakaian faktor-faktor produksi lainnya
84
Jika diketahui bahwa harga faktor produksi tenaga kerja, pupuk dan faktorfaktor produksi lainnya masing-masing adalah PL, PF, PZ, maka persamaan biaya total dapat dirumuskan sebagai berikut : C = PL*L + PF*F + PZ*Z + C0 …………………………………….........(3.3) dimana C adalah biaya total dan C0 adalah biaya tetap. Keuntungan adalah merupakan selisih antara penerimaan dan biaya-biaya. Dengan denikian fungsi keuntungan produksi pangan dapat dirumuskan sebagai berikut (Herderson dan Quandt, 1980) : π = PQ*Q – C atau
π = PQ*Q (L,F,Z) – (PL*L + PF*F + PZ*Z + C0) ……………………….(3.4)
dimana π adalah keuntungan dan PQ adalah harga pangan. Jika produsen pangan diasumsikan rasional, maka dia akan berproduksi pada tingkat yang memberikan keuntungan maksimum. Fungsi keuntungan (3.4) akan maksimum jika turunan pertama dari fungsi tersebut sama dengan nol dan turunan kedua lebih kecil dari nol. Turunan parsial pertama dari fungsi (3.4) terhadap variabel L, F, dan Z adalah : ∂π / ∂L = PQ*L’ – PL = 0 atau PQ*L’ = PL ...…..……………………..(3.5) ∂π / ∂F = PQ*F’ – PF = 0 atau PQ*F’ = PF .........……………………..(3.6) ∂π / ∂Z = PQ*Z’ – PZ = 0 atau PQ*F’ = PZ ..........…………………….(3.7) dimana L’, F’, Z’ masing-masing adalah produk marjinal dari faktor-faktor tenaga kerja (L), pupuk (F), dan faktor-faktor lainnya (Z). Jadi dapat dilihat bahwa menurut syarat orde satu, keuntungan akan maksimum jika pada setiap tingkat produksi pangan, nilai produk marjinal masing-masing faktor sama dengan harga yang harus dibayar untuk memperoleh faktor-faktor tersebut.
85
Dari fungsi (3.5), (3.6), dan (3.7) diketahui bahwa faktor-faktor produksi (L,F,Z) merupakan peubah endogen, sedangkan harga pangan (PQ) dan harga faktorfaktor (PL, PF,PZ) merupakan peubah eksogen. Oleh karena itu, fungsi permintaan faktor dapat dirumuskan sebagai berikut : LD = L (PQ, PL, PF, PZ) …………………………………………….........(3.8) FD = F (PQ, PF, PL, PZ) ……………………………………………..........(3.9) ZD = L (PQ, PZ, PL, PF) ……………………………………………......(3.10) dimana LD, FD, dan ZD masing-masing merupakan permintaan akan faktor tenaga kerja, pupuk dan faktor-faktor lainnya. Dengan mensubstitusikan fungsi permintaan faktor (3.8), (3.9), dan (3.10) ke fungsi produksi (3.2), maka fungsi penawaran pangan dapat dirumuskan sebagai berikut : QS = f (PQ, PL, PF, PZ) …………………………………………….........(3.11) Jadi penawaran pangan merupakan fungsi dari harga pangan (PQ) dan harga faktorfaktor produksi (PL, PF, PZ). Akan tetapi penawaran suatu komoditi bukan hanya ditentukan oleh harga komoditi tersebut dan harga-harga faktor produksi. Beberapa peubah penting lain yang mempengaruhi penawaran komoditi adalah harga komoditi lain, kebijakan pemerintah, tingkat teknologi, pajak, subsidi, dan keadaan alam. Teori
penawaran
bertujuan
untuk
menentukan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi penawaran. Penawaran suatu komoditi baik barang maupun jasa adalah jumlah komoditi yang ditawarkan kepada konsumen pada suatu pasar dan pada tingkat harga serta waktu tertentu. Jumlah yang ditawarkan tidak selalu sama dengan jumlah komoditi yang benar-benar dijual oleh produsen. Jumlah yang ditawarkan menunjuk pada penjualan
86
yang terus-menerus yang disebut konsep flow. Jumlah barang yang ditawarkan pada suatu tahun tertentu tidak sama dengan jumlah barang yang diproduksi pada tahun tersebut. Sumber penawaran suatu komoditi terdiri dari stok barang yang disimpan pada waktu sebelumnya dan produksi pada waktu tertentu, yang keduanya mempengaruhi penawaran. Sehingga jumlah produk yang ditawarkan pada tahun tertentu sama dengan jumlah produksi pada tahun tersebut ditambah dengan jumlah stok produk tersebut pada tahun sebelumnya ( Handerson and Quandt, 1980).
3.1.5. Teori Permintaan Pangan Permintaan suatu komoditi adalah jumlah komoditi yang dibeli konsumen dengan harga, tempat dan waktu tertentu. Permintaan akan komoditi tertentu dipengaruhi oleh banyak faktor secara simultan (Koutsoyiannis, 1977). Antara harga dan jumlah komoditi yang diminta atau yang ingin dibeli oleh konsumen, terdapat hubungan yang negatif, dalam arti jika harganya semakin tinggi maka jumlah komoditi yang diminta atau yang ingin dibeli akan semakin sedikit, dan demikian pula pada keadaan sebaliknya. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap permintaan suatu komoditi antara lain adalah : harga komoditi tersebut, harga komoditi substitusi, pendapatan konsumen, selera, distribusi pendapatan, jumlah penduduk, kesejahteraan konsumen, kredit, dan kebijaksanaan pemerintah. Dalam pasar persaingan sempurna, perubahan harga komoditi ceteris paribus akan menyebabkan perubahan jumlah komoditi yang diminta atau terjadinya pergerakan (movement) sepanjang kurva permintaan. Sedangkan perubahan harga yang disebabkan faktor-faktor (selain harga komoditi tersebut) akan mengakibatkan kurva permintaan mengalami pergeseran (shift).
87
Pada hakekatnya permintaan konsumen terhadap suatu jenis barang mencerminkan posisi keseimbangan konsumsi yang telah mempertimbangkan berbagai tujuan untuk mencapai utilitas maksimum dengan jumlah anggaran belanja (pendapatan) yang tertentu.
Seorang konsumen dikatakan berada dalam posisi
keseimbangan apabila pendapatannya telah dialokasikan pada pembelian barangbarang yang memberikan utilitas maksimum.
Dengan demikian titik tolak teori
permintaan adalah fungsi utilitas dimana fungsi permintaan dapat diturunkan dari fungsi utilitas. Untuk menyederhanakan persoalan, dimisalkan fungsi utilitas seorang konsumen pangan (beras) adalah : U = U ( Q, Qs )
..………………………………………………......(3.12)
dimana : U
= total utilitas dari mengkonsumsi pangan (beras)
Q
= jumlah konsumsi pangan
Qs
= jumlah konsumsi barang lain
Bila harga beras adalah PQ dan harga barang lainnya adalah PS maka alokasi pendapatan tertentu (I0) dari konsumen untuk kedua jenis barang tersebut adalah : I0 = PQ * Q + PS * QS Berdasarkan
aksioma
……………………………………………(3.13) rasionalitas,
konsumen
akan
berusaha
untuk
memaksimumkan Q dan Qs sedemikian rupa sehingga dengan pendapatan sebesar Io dia memperoleh utilitas maksimum. Dengan demikian pokok persoalannya adalah memaksimumkan fungsi Utilitas (3.12 dengan kendala pada persamaan (3.13). Jadi fungsi yang akan dimaksimumkan adalah : L = U (Q, Qs) + λ (I0 – PQ*Q – PS*Qs) Dimana λ adalah Lagrange Multiplier.
……………………………(3.14)
88
Fungsi (3.14) maksimum jika telah memenuhi kondisi syarat pertama untuk maksimum (first order condition for a maximum) yaitu dengan mencari turunan (derivative) pertama dengan menurunkan L terhadap variabel Q, Qs,
dan λ.
∂L/∂Q = Q’ - λP*QQ = 0 atau λPQ = Q’
……………………………(3.15)
∂L/∂Qs= Qs’ - λPS = 0 atau λPS = Qs’
……………………………(3.16)
P
P
P
∂L/∂λ = I0 – PQ*Q – PS*Qs = 0
……………………………………(3.17)
Dengan menyelesaikan persamaan (3.15 dan (3.16) secara serentak diperoleh : λ = Q’/PQ = Qs’/ PS ……………………………………………………(3.18) dimana Q’ dan Qs’ masing-masing adalah utilitas marjinal dari barang Q dan Qs. Persamaan (3.18) dikenal sebagai Equimarginal Principle dari teori pemaksimuman utilitas yang berarti konsumen akan berada pada posisi keseimbangan jika rasio antara utilitas marjinal dan harga masing-masing barang yang dikonsumsi adalah sama dan harus sama dengan utilitas marjinal pendapatan. Jadi fungsi permintaan terhadap suatu barang konsumsi, dalam hal ini adalah pangan (beras) dapat dirumuskan sebagai berikut : Q = f ( PQ, PS, I ) dimana
.……………………………………………….......(3.19)
PQ, PS, I masing-masing adalah harga barang tersebut, harga barang
substitusi, dan pendapatan konsumen ( Handerson and Quandt, 1980).
3.1.6. Indikator Kemiskinan Kriteria kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kriteria kemiskinan menurut BPS yang menggunakan standar kebutuhan dasar, batas kemiskinan adalah besarnya pengeluaran dalam rupiah yang dapat memenuhi kebutuhan dasar berupa kebutuhan makanan sebesar 2100 kkal/ kapita/ hari dan kebutuhan non makanan lainnya.
Indikator yang digunakan dalam mengukur
89
kemiskinan adalah jumlah penduduk atau proporsi penduduk yang pengeluaran atau pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan.
3.1.7. Indikator Ketahanan Pangan Ketahanan pangan dalam penelitian ini direfleksikan pada kondisi tercapainya ketahanan pangan sampai tingkat individu yang tercermin dari status gizi masyarakat yang diukur dengan prevalensi gizi buruk, angka kematian bayi dan umur harapan hidup. Untuk tercapainya ketahanan pangan pada tingkat mikro/ individu tersebut yang merupakan syarat kecukupan dari indikator ketahanan pangan maka perlu diketahui syarat keharusan dari kondisi ketahanan pangan yaitu ketersediaan pangan secara agregat daerah yang diukur dengan produksi gabah dan beras daerah, rata-rata tingkat konsumsi beras, energi, protein daerah, juga perlu diketahui faktor daya beli yang dilihat dari pendapatan per kapita daerah, dan pendapatan sektor pertanian yang merupakan daya beli dari kelompok penduduk dengan jumlah penduduk miskin besar yang juga bertindak sebagai kelompok penduduk produsen bahan pangan.
3.2. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian Desentralisasi fiskal memberi implikasi pada pemerintah daerah berupa keleluasaan untuk mengatur penerimaan dan pengeluarannya sesuai dengan prioritas pembangunan yang telah ditetapkan. Dalam hal ini pemerintah daerah diasumsikan lebih
tahu
dalam
menggali
potensi-potensi
daerah
untuk
meningkatkan
penerimaannya. Selain itu pemerintah daerah juga diasumsikan lebih bisa secara efisien dan efektif
dalam membiayai pengeluarannya sesuai dengan prioritas
pembangunan daerah yang telah ditetapkan untuk tercapainya kesejahteraan masyarakatnya karena pemerintah daerah lebih dekat dengan rakyat.
90
Dampak desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan dan ketahanan pangan terjadi melalui perubahan penerimaan daerah dan perubahan alokasi anggaran yang berpengaruh pada
kinerja fiskal dan kinerja perekonomian daerah yang arahnya
dipengaruhi oleh prioritas pembangunan daerah melalui alokasi dana pembangunan daerah. Dana alokasi umum yang bersifat block grant akan memberi keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk mengalokasikan pengeluaran pembangunan pada sektor- sektor yang menjadi prioritas pembangunan daerah. Desentralisasi fiskal dalam penelitian ini diterjemahkan sebagai kebebasan berinovasi dan berkreasi dari pemerintah daerah sebagai pelaksana fungsi inisiator, fasilitator dan regulator dalam mengoptimalkan perannya pada lingkup payung UU No 22 dan UU No 25 Tahun 1999 serta UU No 32 dan UU No 33 Tahun 2004 serta UU No 7 Tahun 1976 dalam mengelola anggaran belanja daerah untuk meningkatkan ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan di daerahnya. Ketahanan pangan yang merupakan suatu sistem dari beberapa subsistem, maka optimalisasi peran pemerintah sebagai pelaksana fungsi inisiator, fasilitator dan regulator dalam implementasi desentralisasi fiskal dilakukan pada semua subsistem dari sistem ketahanan pangan. Sehingga indikator ketahanan pangan pada penelitian ini diukur dari semua subsistem dari ketahanan pangan, yaitu mulai dari peningkatan produksi gabah dan beras yang memproksi ketersediaan pangan, pendapatan sektor pertanian dan pendapatan per kapita yang memproksi daya beli, rata-rata tingkat konsumsi beras, energi, dan protein yang memproksi tingkat akses pada pangan secara agregat sampai pada indikator akses pangan secara individu dengan melihat status gizi masyarakat yang diukur dengan prevalensi gizi kurang dan buruk, angka kematian bayi dan umur harapan hidup. Kerangka pemikiran konseptual penelitian secara rinci tersaji pada Gambar 6.
91
UU No.22Thn 1999 UU No.25Thn 1999 dan UU No 32Th 2004 UU No 33 Th 2004
Fiskal Daerah : -Penerimaan : - PAD - DAU - Lainnya
Pengeluaran Daerah: -Rutin -Pembangunan -.Pertanian - Infrastruktur - Pendidikan - Kesehatan - Lainnya
PDRB : -Pertanian -NonPertanian PDRB/KAPIT A TENAGA KERJA -Pertanian -NonPertanian
Produksi Pangan
PENDAPATAN PERTANIAN
Harga Pangan
Konsumsi Pangan
Ketahanan Pangan
Kemiskinan
Gambar 6. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian
3.3. Hipotesis Hipotesis mayor dalam penelitian ini adalah desentralisasi fiskal berpengaruh pada kemiskinan dan ketahanan pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat. Dalam membangun model keterkaitan antar blok di dalam satu sistem persamaan simultan harus didasarkan pada hubungan sebab akibat yang didasarkan pada pemikiran logika dari fenomena yang terjadi dan teori ekonomi. Hipotesis minor yang menghubungkan keterkaitan antar blok dalam sistem persamaan penelitian adalah :
92
1. Pajak daerah dipengaruhi oleh kinerja perekonomian daerah dan kondisi kemiskinan daerah, akan berpengaruh pada kinerja fiskal daerah melalui PAD dan penerimaan daerah 2. Kinerja fiskal daerah berpengaruh pada kinerja perekonomian daerah melalui pembiayaan pada pengeluaran pembangunan. Pengeluaran pembangunan ke sektor pertanian berpengaruh pada PDRB sektor pertanian, produksi pangan (beras) dan pendapatan sektor pertanian 3. Kinerja perekonomian daerah berpengaruh pada ketahanan pangan dan kondisi kemiskinan daerah melalui penyerapan tenaga kerja, peningkatan PDRB, produksi pangan (beras) 4. Kemiskinan daerah berpengaruh pada ketahanan pangan melalui daya beli, penduduk miskin adalah penduduk yang mempunyai daya beli rendah sehingga merupakan penduduk mempunyai resiko rawan pangan tinggi. 5. Kondisi kemiskinan dan ketahanan pangan daerah berpengaruh pada kinerja fiskal daerah melalui penerimaan pajak daerah Hipotesis secara keseluruhan dari model sistem persamaan dalam penelitian tercermin dari tanda parameter pada setiap persamaan struktural pada model penelitian.