III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Konseptual Bab ini akan
menguraikan kerangka konseptual bagaimana perumusan,
pelaksanaan dan pengawasan regulasi dapat memicu terjadinya korupsi. Kerangka analisis akan diawali dengan membahas konsep bagaimana regulasi dirumuskan. Pembahasan selanjutnya difokuskan pada bagaimana perusahaan dan masyarakat bersikap dan bereaksi menghadapi regulasi yang tidak sesuai dengan kepentingan mereka, instrumen apa yang dapat dipilih oleh masing-masing pihak untuk memperbaiki (redress) situasi
koersif tersebut, serta faktor-faktor apa yang
mempengaruhinya. Sejalan dengan teori New Institutional Economics (NIE) dan Growth Machine Theory (GMT) yang mengatakan bahwa kelembagaan yang merupakan hasil dari proses tata pengaturan administrasi politik lokal akan memastikan bekerjanya sistem organisasi lebih kokoh sekaligus menghindarkan beban biaya tinggi yang diperlukan untuk memonitor ketidakpastian dalam proses transaksi yang harus ditanggung oleh pihak-pihak yang berinteraksi. Munculnya peraturan daerah dan regulasi-regulasi
yang “bermasalah” sehingga menimbulkan korupsi
menandakan bahwa ruang kelembagaan suatu kawasan terdistorsi, sehingga keputusan-keputusan dan aturan-aturan yang dihasilkan dari proses administrasipolitik lokal malahan memicu munculnya dilema biaya transaksi yang selalu hadir pada suatu sistem sosial ekonomi yang berkembang makin kompleks sebagai akibat pertukaran-pertukaran ekonomi.
Peraturan Daerah yang “bermasalah” tersebut
menunjukkan bahwa perkembangan perekonomian dan transaksi ekonomi di suatu wilayah yang makin kompleks dan meninggi tidak diimbangi oleh pengembangan sistem tata pengaturan kelembagaan yang sesuai. Hal demikian akan menyebabkan munculnya bentuk pemerintahan informal (informal forms of governance) yang hadir untuk memfasilitasi kebutuhan dan pemanfaatan kesempatan untuk menangguk keuntungan jangka pendek (short-term profits) yang muncul dalam bentuk perilaku pencarian rente dan korupsi.
44
3.1.1. Proses Perumusan Regulasi : Tinjauan Ekonomi Politik Secara konseptual proses perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi/kebijakan dapat dianalisis dengan menggunakan teori yang dikembangkan oleh Breton (1974) dan Stevens (1993) serta diaplikasikan oleh Gonarsyah (1997) dalam memodelkan perumusan kebijakan investasi luar negeri di negara berkembang. Menurut Breton (1974) dan Stevens (1993), proses munculnya regulasi yang merupakan bukan barang privat (non-private good) ditentukan oleh aktor-aktor yang berperan dalam “pasar regulasi” (Lihat Gambar 2). Menurut teori ini,
permintaan terhadap regulasi/kebijakan berasal dari masyarakat (citizen,
yang oleh Stevens disebut sebagai
konsumen)
kelompok-kelompok kepentingan (interest groups).
dan
dari perusahaan serta
Sedangkan penawarannya
dilakukan oleh pemerintah yang terdiri dari legislatif, yang oleh Stevens disebut sebagai pemasok politik yang terpilih (elected political suppliers) dan oleh Breton disebut sebagai partai yang memerintah (governing Party) dan eksekutif, yang oleh Stevens disebut sebagai administrator atau pemasok politik yang ditunjuk (appointed political suppliers) dan oleh Breton disebut sebagai biro (bureaus).
Legislatif (DPRD)
Eksekutif
Kelompok Kepentingan
Perusahaan
Konsumen
(Pasar) Gambar 2. Aktor-Aktor Utama dalam Pemerintahan Representatif
45
Teori ini juga mengasumsikan setiap aktor melakukan pilihan rasional (rational choice) yakni setiap aktor memaksimumkan utilitas masing-masing. Masyarakat (citizen atau konsumen), perusahaan dan kelompok kepentingan diasumsikan memaksimumkan fungsi utilitasnya terhadap regulasi dan barang lainnya dengan kendala anggaran pada tingkat pajak (tax-price) tertentu dan harga barang lain yang juga sudah ditentukan.
Anggota legislatif diasumsikan
memaksimumkan utilitasnya yang dicerminkan oleh maksimisasi probabilitasnya untuk terpilih kembali dalam pemilihan umum, sementara eksekutif diasumsikan maksimumkan ukuran bironya (size of their bureaus) atau memaksimumkan anggaran yang bisa dikelola. Misalkan regulasi yang menjadi perhatian adalah regulasi perizinan, pemberlakuan halangan-halangan (restriksi) dalam hal tarif dan tata niaga dalam perdagangan komoditas A. Interaksi antara permintaan dan penawaran dalam pasar regulasi digambarkan oleh Gambar 3 (a) dimana pergerakan regulasi ke sebelah kanan mencerminkan kenaikan restriksi perdagangan atau tata niaga komoditas A. Dalam persoalan ini, permintaan terhadap regulasi (pengaturan) perdagangan (tata niaga) komoditas A dapat dikelompokkan menjadi tiga permintaan yang berbeda. Pertama adalah permintaan regulasi dari perusahaan (atau kelompok kepentingan) yang saat ini telah menggeluti usaha perdagangan komoditas A. Agar keuntungan bisnis perusahaan ini tetap tinggi, maka mereka meminta regulasi agar restriksi perdagangan
dibuat
lebih
tinggi.
Permintaan
regulasi
kelompok
ini
digambarkan oleh kurva D1. Sementara itu perusahaan atau kelompok kepentingan yang berada diluar bisnis komoditas A ada yang meminta regulasi dengan restriksi yang lebih rendah yakni D2 dan ada perusahaan atau kelompok kepentingan tertentu yang minta agar tidak ada restriksi perdagangan bahkan kalau perlu mereka meminta insentif (restriksi negatif/subsidi ) dalam melakukan tata niaga komoditas A sehingga kurva permintaannya digambarkan oleh D3. Bagi masyarakat umum (citizen) yang berada pada posisi konsumen, tentu saja agar mereka memperoleh harga komoditas A yang lebih rendah dan kualitas barang yang lebih bagus, maka mereka meminta agar restriksi dihilangkan bahkan kalau perlu diberikan insentif
46
(restriksi negatif/subsidi) dalam tata niaga atau perdagangan komoditas A. Dalam hal ini, permintaan regulasi konsumen bisa digambarkan oleh kurva D2 atau D3. Misalkan tingkat kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah adalah S0 dan pajak (tax-price) ditentukan sebesar Q0, maka
terdapat dua kelompok yakni
kelompok yang kekurangan penawaran (under supply) terhadap restriksi yang dicerminkan oleh permintaan D1 dan kelompok yang penawarannya berlebih (over supply) terhadap restriksi yang dicerminkan oleh permintaan D2 dan D3. Kelompok dengan kurva permintaan D1, dipaksakan menerima regulasi S0 yang berada di bawah regulasi yang diminta yaitu sebesar S1.
Sementara kelompok dengan
permintaan D2 dan D3 juga dipaksakan menerima regulasi yang melebihi permintaan yang diinginkan yakni masing-masing hanya sebesar S2 dan S3 yang lebih rendah dari S0. yang diarsir.
Besarnya paksaan (coercion) dicerminkan oleh luas daerah
Sementara itu, pada tingkat pajak Q0,
jarak antara –S3 – S1
merupakan wilayah kebijakan yang relevan untuk dipertimbangkan. Menghadapi paksaan (coercion) karena regulasi yang akan ditetapkan atau telah ditetapkan
tidak sesuai dengan kepentingannya,
mempunyai permintaan
maka kelompok yang
kebijakan yang digambarkan oleh kurva D1 (yaitu
kelompok yang menghadapi situasi kekurangan penawaran (under supply) biasanya pengusaha atau kelompok pengusaha yang punya kepentingan untuk mendapat perlindungan dalam usahanya, bisa pengusaha besar, pengusaha kerabat pejabat dan lain-lain) akan meminta untuk menaikkan kebijakan yang lebih restriktif menjadi sebesar S1 atau meminta pajak sebesar Q1. Jika alternatif pertama yang diambil,
yakni meningkatkan kebijakan yang lebih restriktif, maka pengusaha
tersebut akan memperoleh surplus konsumen
sebesar luas daerah gQ0f dan
menyebabkan mereka meningkat kepuasannya sebagaimana ditunjukkan oleh pergerakan kurva indefference dari I0 ke I2 (Gambar 3 (a) dan Gambar 3 (c)). Dengan demikian eliminasi terhadap koersi secara langsung berhubungan dengan maksimisasi utilitas. Di sisi lain, pilihan kedua yakni meminta kenaikan pajak dari sudut pandang ekonomi tidak masuk akal, karena dengan cara itu kelompok ini
47
akan mendapatkan surplus konsumen yang lebih kecil (gQ1e) dan menyebabkan utilitasnya menurun ke kurva indefference I1.
(a) Q g
S0
Q1
Q0
e a
b
f D1
c
Q2
S3
S1
S
S2
h -S
D2
d
Q3
D3
(b)
(c) X
X
I2 I2
I1 I0
I1 I0 S2 S0
Gambar 3.
Q0
Q2
I0 S
S0
S1
Q1
Skema Representasi Permintaan dan Penawaran Kebijakan Sumber : Gonarsyah (1997)
Q0 S
48
Sementara itu, kelompok yang menghadapi situasi penawaran berlebih (over supply) yang mempunyai permintaan kebijakan D2 dan D3 (biasanya terdiri dari masyarakat umum (citizen) atau pengusaha (kelompok pengusaha) yang ingin masuk dalam bisnis komoditas A, pengusaha kecil atau menengah (UKM) ) akan meminta untuk menurunkan kebijakan yang restriktif. Untuk memudahkan penjelasan dan ilustrasi, kita perhatikan saja kelompok yang mempunyai permintaan D2 (misalkan saja masyarakat umum). Sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 3 (a) dan Gambar 3 (b), jika masyarakat umum bisa mempengaruhi pengurangan kebijakan yang restriktif menjadi hanya pada tingkat S2, maka mereka akan memperoleh kenaikkan surplus konsumen sebesar aQ0b dan meningkatkan utilitas mereka
dari I0 ke I1.
Jika kemudian mereka dapat
mempengaruhi pengurangan tax-price (mungkin dengan subsidi) sehingga dicapai keseimbangan pada harga Q2, maka surplus konsumen yang bisa dinikmati oleh masyarakat umum akan meningkat menjadi luas daerah aQ2c, dan kepuasan (utilitasnya) meningkat dari I0 ke I2 yang lebih besar dari pada I1. Jadi, eliminasi terhadap koersi secara langsung berhubungan dengan maksimisasi kepuasaan. Namun demikian patut untuk di catat, bahwa Breton (1974) cenderung mengadopsi bahwa eliminasi terhadap koersi tersebut tidak serta merta disebabkan oleh alasan maksimisasi kepuasan semata. Dalam konteks ini, Rubens (1950) dalam Gonarsyah (1997) menemukan bahwa faktor politik dan sosial yang lebih menjadi alasan
terhadap eliminasi koersi tersebut dibandingkan alasan-alasan
kalkulasi ekonomi. 3.1.2. Instrumen-Instrumen yang Dapat Dipilih Masyarakat dan Perusahaan Menghadapi Paksaan (Coercion) Serta Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya : Model Matematis Dari
penjelasan sebelumnya, persoalan yang muncul kemudian adalah
bagaimana cara mereka mengeliminasi koersi tersebut, instrumen apa yang akan dipilih? Menurut Breton (1974) dan Stevens (1993), dalam menghadapi situasi koersif tersebut, masing-masing kelompok dapat
mempengaruhi perumusan,
pelaksanan dan pengawasan regulasi agar regulasi yang ditetapkan sesuai dengan
49
kepentingannya atau meminta tingkat pajak (tax-price) sesuai dengan kemampuan membayar (willingness to pay) yang dimilikinya. Dengan kata lain, jika suatu perusahaan menghadapi regulasi
S, maka perusahaan tersebut akan berusaha
melakukan berbagai tindakan dengan menggunakan instrumen-instrumen politik dan ekonomi yang dikuasainya, sehingga koersi yang dihadapi menjadi lebih kecil (Breton, 1974). Sebagaimana telah dibahas pada sub bab 2.6, instrumen yang digunakan dapat legal atau illegal. Misalkan biaya yang harus dikeluarkan jika menggunakan instrumen legal yang bisa dipilih dinotasikan sebagai l, dan biaya menggunakan instrumen illegal dalam bentuk lobi dengan penyuapan dinotasikan sebagai b, serta penggunaan instrumen tersebut memerlukan waktu t, maka menghadapi regulasi S, perusahaan akan melakukan usaha sebesar f(l,b,t) agar regulasi S menjadi lebih ~ dekat dengan S (regulasi yang diinginkan). Misalkan setelah melakukan usaha sebesar f(l,b,t), perusahaan berhasil mencapai jarak sebesar ΔS yakni jarak antara ~ regulasi S dengan regulasi yang diinginkannya yakni S . Secara matematis hal ini dapat dinyatakan sebagai: ~ ΔS = S − S = f (l , b, t ) Persamaan (3.1) di atas dapat dituliskan sebagai : ~ S = S − f (l , b, t )
(3.1)
(3.2)
Usaha mengatasi koersi dengan f(l,b, t) ini sangat tergantung dengan biaya ~ masing-masing instrumen untuk mencapai S , waktu yang diperlukan untuk ~ mencapai S , situasi yang dihadapi dan kondisi yang dimilikinya. Bagi masyarakat umum,
cenderung akan menggunakan pergerakan sosial (social
movement) atau aksi lain yang membutuhkan sedikit biaya tetapi memerlukan waktu yang sangat intensif
seperti melakukan demonstrasi, memboikot, atau
mengeluarkan sikap pro atau kontra terhadap suatu kebijakan tertentu. Sementara, bagi perusahaan yang telah ada dalam bisnis komoditas A atau punya kepentingan dengan bisnis tersebut kemungkinan akan memilih lobi
dengan cara menyuap
50
(menyogok), berkontribusi dalam bentuk uang dan sejenisnya terhadap partai politik, atau memberi hadiah (gratifikasi) kepada politisi atau pejabat agar regulasi dibuat sesuai dengan kepentingan dan diinterpretasikan sesuai dengan keinginan pengusaha tersebut (Gonarsyah, 1997). Dalam konteks kondisi di berbagai daerah di Indonesia, lemahnya tata aturan kelembagaan ekonomi dan politik, pengaruh budaya masyarakat dan budaya birokrasi yang ada,
serta
melakukan
penyuapan dan memberi hadiah kepada politisi atau pejabat pemerintah adalah pilihan yang biayanya relatif kecil dibandingkan keuntungan yang bisa diperoleh jika regulasi tersebut sesuai dengan keinginannya.
Jalur formal melalui proses
politik yang “benar”, di samping memakan waktu relatif lama juga tidak bisa menjamin peluang bahwa regulasi
yang akan dirumuskan sesuai dengan
keinginannya. Dengan demikian dalam konteks di Indonesia, dapat diasumsikan bahwa biaya mereduksi koersi melalui instrumen legal akan sangat mahal, sehingga perusahaan cenderung memilih instrumen illegal melalui lobi dengan penyuapan, memberi hadiah dan sejenisnya. Hal inilah yang kemudian mendorong terjadinya korupsi yang melibatkan pejabat eksekutif, legislatif dan pengusaha. Dengan mengadopsi model yang digunakan
oleh
Henderson
dan
Kuncoro (2004) serta diasumsikan perusahaan memilih menyuap, maka besarnya penyuapan dalam perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi dapat ~ dirumuskan sebagai berikut: Misalkan biaya untuk mencapai S (regulasi yang ~ diinginkan) adalah c(S ) , dimana c’,c’’ >0, maka perusahaan akan meminimumkan ~ c(S ) ditambah biaya memilih jalur legal (l) , biaya penyuapan (b) dan biaya waktu
untuk mereduksi koersi (w(t)). Secara matematis dapat dituliskan sebagai : Min c( S − f (l , b, t )) + l + b + w(t )
(3.3)
di mana w’>0 ; w’’≥0. Perusahaan atau masyarakat, akan menyuap sebesar b dan menggunakan waktu t untuk mereduksi koersi sedemikian sehingga : c' ( S − f (.)) f l (.) = 1
;
c' ( S − f (.)) f b (.) = 1 ; c' ( S − f (.)) f t (.) = w'
(3.4)
51
Dengan asumsi bahwa persamaan (3.4) adalah well behaved function, maka dapat ditunjukkan bahwa besarnya korupsi atau penyuapan ditentukan oleh besarnya koersi akibat regulasi S atau secara matematis dapat dituliskan sebagai :
l = f (S ) ;
b = f (S )
;
t = f (S )
(3.5)
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa penggunaan instrumen legal formal dalam menghadapi regulasi S dalam konteks di Indonesia menjadi sangat mahal, maka perusahaan atau masyarakat umum cenderung akan menggunakan instrumen lobi dengan penyuapan, pemberian hadiah atau gratifikasi dan sejenisnya. Hal inilah yang mendorong maraknya korupsi dalam perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi. Berdasarkan model matematis yang dikembangkan tersebut, dapat diketahui bahwa besarnya korupsi yang dicerminkan oleh besarnya penyuapan (b=uang suap) dan waktu untuk berurusan dengan regulasi (t) dipengaruhi oleh tingkat regulasi S. Dengan
demikian analisis
bagaimana korupsi terjadi, meluas dan marak di
berbagai daerah sangat ditentukan oleh banyaknya Perda dan regulasi yang kemudian
menimbulkan
berbagai
masalah
dalam
pelaksanaannya.
Makin
banyaknya Perda yang bermasalah, maka makin banyak situasi koersif yang dihadapi pengusaha dan masyarakat umum.
Dan semakin banyak koersi yang
tercipta, maka semakin banyak pula terjadi korupsi. Oleh karena itu analisis terhadap terjadinya korupsi dalam proses perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi akan diawali dengan mengaitkan korupsi dengan banyaknya perda yang bermasalah di berbagai daerah dan berbagai faktor ekonomi politik dan budaya yang ada dalam suatu daerah. Penjelasan dan analisis yang lebih dalam bagaimana mekanisme banyaknya regulasi “bermasalah” sehingga menimbulkan korupsi
dapat dijelaskan melalui
analisis terhadap bagaimana mekanisme terbentuknya regulasi/Perda, siapa yang mengambil inisiatif awal munculnya suatu regulasi, bagaimana peranan akademisi didalam menyusun kajian sebelum suatu regulasi ditetapkan, faktor-faktor apa yang mempengaruhi masyarakat dan pengusaha (kelompok pengusaha) sehingga mereka cenderung memilih menyuap, memberi hadiah ke pejabat dan sejenisnya sebagai
52
instrumen untuk memperbaiki situasi koersi yang dihadapi karena adanya regulasi tertentu. Sebagaimana dijelaskan oleh Breton (1974) dan Stevens (1993) bahwa kecenderungan pilihan pengusaha dalam memperbaiki koersi dengan instrumen suap dan lobi-lobi juga sangat ditentukan oleh kondisi sosial ekonomi, politik yang dihadapi serta
faktor budaya yang menyertai kehidupan dirinya dan
masyarakat umum di mana mereka tinggal (misal budaya Jawa, Batak , Dayak, atau Minang), terutama budaya birokrasi. Secara matematis
kecenderungan pengusaha untuk memilih lobi dengan
menyuap, memberi hadiah dan sejenisnya dapat di dekati dengan konsep peluang. Misalkan peluang melakukan penyuapan adalah Pi, maka Pi =1 artinya perusahaan akan menggunakan lobi dan suap sebagai satu-satunya cara untuk mereduksi koersi, sementara jika Pi =0, berarti perusahaan akan memilih cara legal formal dalam mengatasi koersi. Jadi peluang melakukan penyuapan menunjukkan kecenderungan perusahaan atau masyarakat memilih suap sebagai instrumen untuk mengatasi koersi yang dihadapinya.
Dengan demikian, jika
Pi mendekati 1 dan semua
perusahaan memilih lobi dan suap sebagai sasaran untuk mengatasi koersi dalam perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi, maka tingkat korupsi cenderung akan menjadi lebih besar. Penggunaan tingkat korupsi individu dengan menggunakan konsep peluang melakukan penyuapan ini sejalan dengan rumusan yang digunakan oleh Chakrabarti (2000), di mana tingkat korupsi seseorang diukur sebagai tingkat peluang seseorang tersebut melakukan ketidakjujuran atau dishonesty Index, sebagaimana diuraikan pada Bab II dan persamaan (2.1).
Dengan mengawinkan rumusan Chakrabarti
(2000) dan penjelasan yang disampaikan oleh Breton (1974) dan Stevens (1993) di mana
kecenderungan pilihan pengusaha dalam memperbaiki (redress)
dengan instrumen suap dan lobi-lobi
sangat ditentukan oleh
kondisi
koersi sosial
ekonomi, politik yang dihadapi serta faktor budaya yang menyertai kehidupan dirinya dan masyarakat umum serta pengusaha di mana mereka tinggal, maka secara matematis dapat diformulasikan bahwa : Pi = f ( faktor ekonomi, faktor politik, faktor budaya)
(3.6)
53
Dari sisi individu-individu pengusaha, faktor sosial ekonomi yang diduga mempengaruhinya melakukan penyuapan terhadap pejabat pemerintah atau legislatif dalam menghadapi koersi yang muncul akibat regulasi tertentu adalah tingkat pendidikan, umur pengusaha.
Diduga makin tinggi tingkat pendidikan,
umur seseorang yeng lebih tua, maka diduga cenderung akan memiliki peluang menyuap lebih kecil, karena pendidikan, umur mencerminkan sumber daya manusia (yang mencerminkan kemampuan dalam akses yang lebik baik dalam informasi perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi), di mana dalam model Chakrabarti pengaruh sumber daya manusia terhadap tingkat korupsi adalah negatif. Sementara itu, dari sisi politik faktor-faktor yang mempengaruhi individu melakukan penyuapan
adalah
keterlibatan pengusaha dalam perumusan
regulasi/kebijakan, pilihan partai politik pada pemilu 2004. Lebih lanjut, faktor sosial budaya yang diduga mempengaruhi pengusaha melakukan penyuapan adalah tempat lahir dan tempat tinggal didekati dengan asal suku pengusaha tersebut. Variabel tempat lahir, tempat tinggal dan suku bangsa mencerminkan tingkat budaya paternalistik dan feodalistik seseorang, dan budaya lokal lain yang jauh dari prinsip penadbiran baik (good governance). Dalam model Chakrabarti, variabel-variabel budaya ini diduga mempengaruhi sifat pengambilan resiko (risk taking) individu.
Diduga sesorang yang dilahirkan dan hidup dalam
lingkungan budaya feodalistik cenderung mempunyai peluang menyuap lebih tinggi dibandingkan orang yang hidup dalam budaya egaliter. Beberapa budaya lokal yang tercermin dalam nilai dan pandangan hidup beberapa suku (daerah) di Indonesia seperti Jawa, Batak, Minang dan mungkin suku lain, yang berdampak buruk pada prinsip penadbiran baik. Prinsip “ mikul dhuwur mendhem jero” pada kultur Jawa yang diterapkan dalam tubuh birokrasi sehingga membuat atasan dianggap selalu benar atau dibenarkan, atasan harus dipuja-puja keberhasilannya dan disembunyikan kelemahannya, atasan tidak boleh dikritik, bawahan menjadi ewuh pakewuh. Kemudian prinsip “anak dipangku kemenakan dibimbing”
yang
mewarnai
relasi
sosial
suku
Minang
yang
kemudian
mempengaruhi pola rekrutmen pejabat maupun pengadaan barang dan jasa
54
pemerintah daerah. Termasuk juga pandangan hidup suku Batak yang melihat kesuksesan
seseorang dilihat dari
Hagabeon (mempunyai banyak anak),
Hamoraon (kekayaan) dan Hasangapon (kehormatan/pangkat). Sebenarnya dalam kondisi masyarakat yang harmoni, prinsip-prinsip budaya tersebut tidak menjadi masalah, tetapi dalam
kondisi lingkungan masyarakat dan birokrasi yang
disharmoni oleh kekuasaan, prinsip-prinsip budaya-budaya tersebut disalahgunakan dan “dimanfaatkan”, sehingga memberikan pengaruh terhadap terjadinya korupsi. Penentuan daerah yang dikategorikan sebagai daerah yang lingkungan budayanya cenderung
feodalistik didasarkan atas kajian-kajian budaya
yang
dilakukan oleh Koentjaraningrat (1984, 1993, 2000) dan Mulder (2005). Koentjaraningrat dan Mulder mengidentifikasi bahwa budaya Jawa cenderung feodalistik dibandingkan dengan budaya-budaya lainnya.
Adanya kelas priyayi
dalam struktur penduduk di kebudayaan Jawa menunjukkan
ciri feodalisme
tersebut. Menurut Koentjaraningrat (1984) daerah-daerah yang termasuk dalam kebudayaan Jawa adalah seluruh bagian tengah dan timur Pulau Jawa. Dalam konteks wilayah saat ini bagian wilayah budaya Jawa adalah Propinsi Jawa Tengah, D.I.Yogyakarta
dan
Jawa
Timur.
Jika
dilihat
dari
pembagian
wilayah
kebudayaannya, Pusat kebudayaan Jawa adalah di Kota Yogyakarta dan Kota Surakarta (Solo) dan sekitarnya yang dalam istilah kerajaan disebut sebagai sebagai Negarigung, dimana istana-istana kerajaan Jawa berada. Wilayah budaya Jawa lainnya adalah Pesisir Kulon (wilayahnya meliputi Indramayu-Cirebon, Brebes, Tegal dan Pekalongan), Banyumas dan Bagelan (wilayahnya meliputi Banyumas, Purwokerto, Wonosobo), Pesisir Wetan (Demak, Kudus, dan sekitarnya serta wilayah Gresik dan sekitarnya),
Surabaya (wilayahnya meliputi Surabaya dan
sekitarnya), Mancanegari (wilayahnya meliputi Madiun, Kediri, Malang dan daerah delta sungai Brantas dan sekitarnya), Tanah Sabrang Wetan (wilayahnya meliputi Banyuwangi dan sekitarnya ). Faktor budaya suku Batak yang memegang prinsip kesuksesan yang dinilai dari Hamoraon (banyak harta) dan Hasangapon ikut memberi tekanan kepada masyarakat dan birokrat Batak untuk mencari keduanya dengan jalan korupsi.
55
Dalam hal ini sesuai dengan analisis Koentjaraningrat (2002) daerah Suku Batak adalah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara yang meliputi daerah Dataran Tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, Simalungun, Dairi, Toba , Humbang, Silindung, Angkola, Mandailing dan Kabupaten Tapanuli Tengah. Faktor budaya yang juga diidentifikasi terkait dengan penyuapan adalah kecenderungan pengusaha atau masyarakat tersebut untuk selalu memberi hadiah. Sebagaimana dikemukakan oleh Mauss (1896) bahwa hadiah yang diberikan oleh sesorang kepada orang lain tidak pernah gratis (The gift is never free). Jadi perilaku seseorang yang cenderung untuk selalu memberi hadiah dalam berbagai urusan, cenderung akan memberikan beban hutang budi bagi orang yang diberi. Akhirnya pemberian hadiah ini akan cenderung menjadi penyuapan, terutama jika hadiah ini diberikan oleh pengusaha kepada birokrat agar pengusaha mendapat kemudahan dalam urusan bisnisnya. Sementara itu, dari sisi perusahaan, faktor-faktor yang mempengaruhinya melakukan penyuapan dalam menghadapi koersi akibat suatu regulasi adalah ukuran perusahaan, jenis usaha,
umur perusahaan.
Faktor sosial budaya yang
mempengaruhi perusahaan melakukan penyuapan adalah lokasi usaha (di daerah mana usaha tersebut berdiri) hal ini mencerminkan tingkat budaya paternalistik dan feodalistik yang
hidup dalam budaya birokrasi di daerah di mana perusahaan
tersebut beroperasi. Faktor sosial budaya lainnya yang terkait dengan kecenderungan terjadinya penyuapan adalah sikap (attitude) birokrasi.
Sikap birokrasi terlihat dari apakah
pengusaha atau masyarakat merasa seorang birokrat itu memiliki sifat suka membantu (helpful) atau tidak, ketika pengusaha atau masyarakat berurusan dalam mengurus perijinan, pajak atau lainnya.
Secara intuitif diduga bahwa sifat suka
membantu tidaknya seseorang ini mencerminkan kecenderungan mereka terlibat dalam penyuapan. Mereka yang kurang helpful cenderung mengharapkan suap, sehingga pada awalnya pengusaha dipersulit atau diperlambat dalam mengurus administrasi yang terkait dengan regulasi. Tetapi, jika kemudian pengusaha memberi uang pelicin (uang suap), birokrat tersebut berubah menjadi lebih helpful.
56
Sikap birokrasi juga tercermin dalam apakah seorang birokrat mempunyai sifat kecenderungan menggunakan kesempatan berbuat tidak jujur atau menabrak aturan yang ditentukan jika ada kesempatan.
Baik buruknya sikap seorang birokrat ditentukan oleh banyak faktor antara lain struktur insentif yang ia terima, tingkat pendidikan birokrat, agama dan suku. Diduga, birokrat yang digaji besar dalam pelaksanaan dan pengawasan regulasi, cenderung lebih helpful dibandingkan birokrat yang gajinya lebih rendah.
Di duga
juga birokrat yang latar belakang budayanya feodalistik (Jawa) dan budaya Hamoraon-Hasangapon (Batak), memiliki attitude yang kurang baik dalam pelayanan agar ada peluang untuk
memperoleh rente demi kekayaan dan
kehormatan/pangkat. Oleh karena budaya birokrasi
yang feodalistik paternalistik, maka
kepemimpinan (leadership) Kepala Daerah diduga sangat menentukan besaran korupsi. Beberapa daerah seperti Kabupaten Solok (Sumatera Barat), Kabupaten Jembrana (Bali),
dan Kabupaten Sragen (Jawa Tengah) mempunyai kualitas
kelembagaan yang sangat baik sebagai hasil dari kualitas kepemimpinan Kepala Daerahnya. Tingkat korupsi di daerah-daerah tersebut
sangat rendah (KPPOD,
2005). Dalam menganalisis kaitan antara korupsi dengan banyaknya regulasi yang bermasalah dan faktor-faktor ekonomi politik serta budaya, akan digunakan analisis ketergantungan (dependency) dengan menggunakan tabel kontingensi dua arah (Chi-Square) serta menggunakan analisis regresi. Pendekatan secara mikro dalam menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi individu dalam masyarakat dan perusahaan yang terlibat suap menyuap dengan birokrasi dalam proses perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi,
akan
menggunakan analisis
tabel
kontingensi dua arah (Chi-Square) dan dilanjutkan dengan menggunakan model regressi logistik (Logistic Regression). Uraian lebih rinci tentang metode analisis akan diuraikan pada BAB IV.
57
Selanjutnya, untuk menganalisis secara lebih dalam bagaimana mekanisme korupsi terjadi melalui perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi, studi ini akan melakukan kajian secara kualitatif dan mendalam terhadap dua regulasi yang telah diimplementasikan di daerah penelitian terpilih yaitu Perda tentang APBD dan Perda yang terkait dengan Perizinan Usaha. Dalam konteks pembangunan wilayah dua regulasi tersebut sangat penting. APBD merupakan regulasi untuk mengalokasikan sumber daya keuangan publik
dalam proses pembangunan.
Sementara Perda yang terkait dengan perizinan berfungsi sebagai pengatur aktivitas ekonomi wilayah. Regulasi-regulasi tersebut berpotensi menimbulkan persaingan tidak sehat, menghalangi akses masyarakat terhadap sumber daya, menghalangi lalu lintas barang antar daerah, jika dirumuskan dengan kualitas yang buruk. Kajian terhadap dua kelompok regulasi tersebut dilakukan secara kualitatif dan dimulai dengan menganalisis siapa yang mengambil inisiasi awal suatu regulasi, bagimana peranan akademisi dalam perumusan naskah akademik tentang suatu regulasi, sejauh mana naskah akademik tersebut diadopsi oleh birokrasi dalam memutuskan suatu regulasi. Untuk menganalisis apakah korupsi sudah membudaya, maka akan dilakukan analisis secara kualitatif
baik lewat studi literatur maupun dengan
menggali nilai-nilai dan pandangan hidup yang dipahami oleh seseorang (pengusaha) terhadap korupsi. Analisis dilakukan dengan menggunakan konsep yang dirumuskan oleh Koentjaraningrat (2007) dan
Bourdieu dalam Sutrisno dan
Putranto (2007). Koentjaraningrat memberikan kriteria bahwa sesuatu dikatakan telah menjadi pikiran
nilai budaya
(cultural value) jika sesuatu tersebut dalam alam
sebagian besar dari warga masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang
penting dan berharga dalam hidupnya. Sementara menurut Bourdieu
kebiasaan
memang sebagai sesuatu yang penting untuk mengkaji kebudayaan.
Menurut
Bourdieu kebiasaan merupakan kecenderungan-kecenderungan empiris untuk bertindak dalam cara-cara yang khusus (gaya hidup), sebagai motivasi preferensi, cita rasa dan perasaan (emosi)
dan sebagai
perilaku yang mendarah daging.
Mengikuti pendapat Freud (1961) tentang super ego yang merupakan wadah suara
58
hati dan moralitas yang keduanya diturunkan dari masyarakat, khususnya dari sosialisasi dan ajaran atau didikan orang tua, maka kita bisa menganalisis apakah hati nurani dan moralitas masyarakat menganggap korupsi sebagai sesuatu yang tidak memalukan dan menilai sebagai sesuatu yang wajar.
3.2. Hipotesis Penelitian
Sejalan dengan permasalahan, tujuan dan kerangka konseptual yang digunakan dalam penelitian ini, maka disusun beberapa hipotesis (dugaan) sebagai berikut : 1.
Pada level makro, faktor-faktor ekonomi politik yang diduga mempengaruhi terjadinya korupsi
adalah
rendahnya kualitas peraturan daerah (perda),
rendahnya kualitas kepemimpinan kepala daerah, rendahnya transparansi pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat dalam perumusan perda, rendahnya kualitas sumber daya manusia.
Faktor budaya yang diduga
mempengaruhi terjadinya korupsi adalah budaya feodalistik dan paternalistik yang membentuk hubungan antara “bawahan” dan “atasan” dan pola hubungan patron klien dalam tubuh birokrasi dan partai politik. Bakumain (interplay) faktor ekonomi politik dan budaya tersebut diduga memberikan tekanantekanan dalam proses perumusan kebijakan (perda) sehingga terbentuk perda yang melegalkan suatu perilaku korup (legalized corruptive behavior) atau perda bermasalah. 2.
Pada level mikro yakni pada tingkatan perusahaan, faktor-faktor ekonomi yang diduga mempengaruhi pengusaha melakukan penyuapan adalah tingkat pendidikan, ukuran dan jenis usaha serta umur perusahaan. ekonomi politiknya adalah
Faktor-faktor
keterlibatan masyarakat atau pengusaha dalam
perumusan regulasi/kebijakan, pilihan partai politik pada pemilu 2004, hubungan antara eksekutif (Kepala Daerah) dengan legislatif (DPRD), kepemimpinan (leadership) Kepala Daerah. Sementara faktor sosial budaya yang diduga mempengaruhi pengusaha memilih lobi dengan penyuapan dalam memperbaiki koersi yang dihadapi adalah tempat lahir dan tempat tinggal,
59
suku, serta nilai-nilai dan pandangan hidup serta cita-cita (ideologi) yang dipahami oleh seseorang tentang korupsi (penyuapan). Faktor budaya lain yang diduga berpengaruh adalah sikap yang cenderung untuk memberi hadiah serta sikap birokrasi
yang tercermin apakah birokrat cenderung suka
membantu atau tidak. 3.
Korupsi diduga belum atau tidak membudaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia, tetapi budaya yang dimanfaatkan sebagai alasan (rasionalisasi) tindakan melakukan korupsi .