KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Konseptual
Kemiskinan, Ketahanan Pangan, Pengasuhan, dan Status Gizi Kemiskinan menyebabkan masyarakat mempunyai keterbatasan akses secara ekonomi untuk mendapatkan pangan secara cukup, baik jumlah maupun mutunya. Dengan pendapatan yang rendah, sulit kiranya bagi rumah tangga untuk mendapatkan pangan yang cukup dan berkualitas, meskipun mereka tinggal di daerah yang surplus pangan. Hal ini tentu saja akan mengancam terjadinya kerawanan pangan pada rumah tangga. Warren et al. (2001) menyebutkan bahwa kondisi ekonomi yang rendah cenderung akan menyebabkan rendahnya tanggung jawab terhadap anak. Hal ini mengindikasikan bahwa kemiskinan telah menyebabkan rendahnya tanggung jawab terhadap anak sehingga kualitas pengasuhan pun cenderung rendah. Padahal, ketahanan pangan rumah tangga, pengasuhan ibu dan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan merupakan
penyebab
tidak
langsung
(underlying
determinants)
yang
mempengaruhi status gizi pada anak (Lampiran 1). Ketiga faktor tersebut menentukan tercukupinya kebutuhan pangan anak dan status kesehatannya, yang pada akhirnya akan menentukan pertumbuhan, perkembangan, dan kemampuan anak untuk bertahan hidup (Engle et al. 1997). Setiap manusia mempunyai hak untuk memperoleh pangan dan gizi yang cukup. Gizi merupakan syarat mutlak untuk perkembangan manusia secara optimal sehingga hal-hal yang menyebabkan terjadinya kekurangan gizi hendaknya dapat dicegah sejak dini. Di Indonesia, jumlah balita yang mengalami gizi kurang maupun gizi buruk cenderung meningkat. Pada tahun 2003, tercatat prevalensi gizi kurang dan gizi buruk balita mencapai 27.5% (Azwar 2004). Angka tersebut terus meningkat hingga tahun 2005 yang mana prevalensi gizi kurang dan gizi buruk mencapai 28.0% (Martianto et al. 2006a). Di Provinsi Jawa Barat, prevalensi gizi kurang dan gizi buruk masing-masing adalah 15.70% dan 4.80% pada tahun 2002, 17.74% dan 5.46% pada tahun 2003, dan 16.20% dan 5.80% pada tahun 2005 (Atmarita 2006). Sementara itu, jumlah balita yang
31
mengalami gizi kurang dan gizi buruk yang tercatat di Dinas Kesehatan Kota Bogor masing-masing adalah 10.9% dan 0.5% pada tahun 2002, 10.0% dan 0.5% pada tahun 2003, 8.9% dan 0.4% pada tahun 2004, dan 8.7% dan 0.6% pada tahun 2005. Kondisi tersebut, baik gambaran di tingkat nasional, provinsi Jawa Barat, maupun Kota Bogor sendiri menunjukkan bahwa kekurangan gizi pada balita masih merupakan ancaman bagi pembentukan sumberdaya manusia berkualitas di masa yang akan datang. Balita merupakan salah satu kelompok rawan, yang mana keadaan status gizinya sangat dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas konsumsi pangan serta status kesehatannya. Keadaan status gizi balita dapat menjadi salah satu indikator baik buruknya kondisi ketahanan pangan rumah tangga. Rumah tangga miskin yang tinggal di daerah perkotaan menghadapi permasalahan yang sangat kompleks dan sulit untuk dikarakteristikkan (Maxwell et al. 2000). Penelitian yang dilakukan pada masyarakat miskin perkotaan di kota Accra, sebuah kota di negara Ghana, Afrika menunjukkan bahwa 90% pangan dalam rumah tangga adalah hasil pembelian. Angka ini menunjukkan bahwa pendapatan yang dimiliki rumah tangga di daerah perkotaan merupakan unsur penting untuk mencukupi kebutuhan pangan anggota rumah tangganya. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa pada rumah tangga miskin di daerah perkotaan menghabiskan lebih dari setengah anggaran rumah tangganya untuk pangan. Bahkan terdapat 15% rumah tangga miskin yang menghabiskan 70% anggaran rumah tangganya untuk pangan (Maxwell et al. 2000). Ketahanan pangan sebagai kondisi tercukupinya pangan di tingkat rumah tangga baik jumlah maupun mutunya secara aman dan terjangkau, merujuk pada suatu sistem yang merupakan rangkaian dari tiga sub sistem terkait, yaitu (i) ketersediaan dan stabilitas pangan (food availibility and stability), (ii) kemudahan memperoleh pangan (food accesbility), dan (iii) pemanfaatan pangan (food utilization). Pada masyarakat miskin, khususnya yang tinggal di daerah perkotaan, keterbatasan akses untuk memperoleh pangan karena rendahnya pendapatan rumah tangga dapat menjadi penyebab terjadinya kerawanan pangan. Di masyarakat yang masih mempunyai modal alam (natural capital), baik berupa lahan maupun laut, sebagian kebutuhan pangan masih dapat dicukupi dari dukungan sumber daya alam yang ada.
32
World Bank (2000) menyebutkan bahwa kemiskinan mempunyai empat dimensi, yaitu kurangnya kesempatan (lack of opportunity), rendahnya kemampuan (low capabilities), rendahnya tingkat ketahanan (low level of security), dan rendahnya pemberdayaan (empowerment). Ciri utama yang terlihat dari keempat dimensi kemiskinan tersebut adalah rendahnya pendapatan dan rendahnya kualitas sumberdaya manusia akibat ketidakmampuan orang miskin untuk mengakses kesempatan ekonomi dan pendidikan yang tersedia. Terkait dengan upaya-upaya penguatan ketahanan pangan rumah tangga miskin, hal mendasar yang menentukan tercukupinya pangan di tingkat rumah tangga baik jumlah maupun mutunya secara aman dan terjangkau adalah bagaimana mengubah sumberdaya-sumberdaya yang pada rumah tangga miskin dan lingkungannya menjadi modal-modal ekonomi yang dapat dimanfaatkan untuk mengakses pangan sesuai norma gizi yang berlaku. Modal ekonomi di sini tentu saja tidak hanya dalam bentuk uang yang kasat mata namun juga mencakup modal-modal lain yang ada di dalam masyarakat yang dalam kondisi tertentu dapat dikonversi dalam bentuk uang (Bourdieu dalam Winter 2000). Keterbatasan modal berupa uang, modal alam, modal fisik, dan juga modal manusia yang dimiliki rumah tangga miskin khususnya dalam pemenuhan pangan rumah tangga dan pengoptimalan kualitas pengasuhan balita kiranya membutuhkan pendorong berupa sumberdaya yang dimiliki dari hubungan-hubungan sosial yang dimiliki anggota masyarakat, yang dikenal sebagai modal sosial.
Modal Sosial dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Tipe Modal Sosial berdasarkan Pendekatan Teori-teori Sosiologi. Portes dan Sensenbrenner dalam Woolcock (1998) mendefinisikan modal sosial sebagai sekumpulan harapan terhadap aksi kolektivitas yang berdampak terhadap tujuan-tujuan ekonomi dan perilaku anggotanya dalam mencapai tujuan, bahkan jika harapan-harapan tersebut tidak berorientasi dalam lingkup ekonomi. Berdasarkan
definisi
tersebut,
selanjutnya
Portes
dan
Sensenbrenner
mengkategorikan empat tipe modal sosial berdasarkan pendekatan teori-teori sosiologi (Woolcock 1998).
33
Pertama, menggunakan pendekatan teori Marx dan Engels yang menghasilkan ”perspektif komunitarian”, yang mana asumsi dasar yang digunakan dalam perspektif ini adalah bahwa sistem sosial terikat dalam etika bounded solidarity yang merujuk pada adanya kondisi yang tidak memuaskan yang kemudian dapat berperan sebagai sumber keterikatan kelompok sosial, misalnya keterikatan solidaritas antara orang-orang yang terasing. Ideologi dasar yang mendasari pengertian modal sosial dengan ”perspektif komunitarian” adalah kolektivitas dengan basis modal sosial berupa aksi kolektivitas di dalam komunitas. Bentuk riil modal sosial dalam perspektif ini adalah kolektivitas yang terbangun dalam kegiatan gotong-royong, kolektivitas dalam lingkungan RT dan RW (Woolcock 1998; Dharmawan 2007 1 ). Kedua, modal sosial didekati dengan teori pertukaran (exchange theory) yang dikembangkan oleh Georg Simmel yang menghasilkan ”perspektif jejaring dan pertukaran”. Dalam pendekatan ini, modal sosial mencakup adanya transaksi timbal balik (reciprocity transactions), norma-norma, dan kewajiban-kewajiban yang dipertukarkan dalam jaringan antar individu. Asumsi dasar yang digunakan dalam perspektif ini adalah bahwa sistem sosial terbentuk karena adanya perbedaan basis materiil, sehingga untuk mencapai kesejahteraan memerlukan adanya hubungan sosial yang melakukan pertukaran materiil yang berbeda tersebut. Sesuai dengan pendekatan teori ini, maka ideologi dasar pengertian modal sosial dalam kerangka ”perspektif jejaring dan pertukaran” adalah incentive behaviorisme yang dapat diartikan bahwa pertukaran yang terjadi dalam hubungan sosial didasari oleh perilaku untuk memperoleh sesuatu dengan basis modal sosialnya berupa material atau barang dan jasa yang dimiliki. Bentuk modal sosial menurut perspektif ini misalnya barang dan jasa yang dipertukarkan dalam hubungan saling membantu antar tetangga, termasuk juga kemitraan, Perkebunan Inti Rakyat (PIR), bapak angkat, dan kontrak dagang (Woolcock 1998; Dharmawan 20071). Ketiga, Portes dan Sensenbrenner mendefinisikan modal sosial dengan menggunakan pendekatan teori Emile Durkheim dan Talcott Parsons yang
1
Hasil konseptualisasi Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc.Agr yang didiskusikan dengan penulis pada tanggal 15 Januari 2007
34
melahirkan ”perspektif kelembagaan” dalam mendekati konsep modal sosial. Ide dasar dari perspektif ini adalah tentang pentingnya nilai, moral, dan komitmen dibandingkan hubungan yang berdasarkan kontrak dan lebih menginformasikan tujuan yang harus dicapai oleh individu daripada hal-hal yang memaksa dalam suatu hubungan sosial. Asumsi dasar yang digunakan dalam perspektif ini adalah bahwa sistem sosial dibangun dan dipelihara oleh pranata sosial sehingga membentuk struktur sosial yang mantap dengan ideologi dasar adalah institusionalisme. Basis modal sosial menurut perspektif ini adalah nilai dan norma dengan bentuk riil modal sosial misalnya pada institusionalisasi nilai dan norma oleh orang tua pada anaknya, sistem subak di Bali, dan sistem nagari di Minangkabau (Woolcock 1998; Dharmawan 2007 2 ). Keempat, modal sosial didekati dengan ”perspektif sinergisme” yang lahir dari teori Max Weber dengan ide dalam teori tersebut tentang kepercayaan yang mampu membuat seseorang mau mematuhi hukum dan peraturan yang ada dan adanya kelembagaan-kelembagaan formal yang mampu meyakinkan kelompokkelompok sosial sebagai bagian dari kelembagaan tersebut mematuhi hukum dan peraturan yang ada dengan mekanisme legal/rasional. Dalam perspektif ini, asumsi dasar yang digunakan adalah bahwa sistem sosial dibangun oleh kerjasama dan pertukaran kekhasan yang memberikan manfaat bersama. Berdasarkan pendekatan Weber maka ”perspektif sinergisme” mendasarkan ideologinya pada utilitarianisme dengan basis modal sosial berupa norma, nilai, dan sebagian properti. Bentuk riil modal sosial menurut perspektif ini adalah norma, nilai, dan properti yang terbangun dalam hubungan asosiasi usaha, koperasi, dan Kelompok Usaha Bersama/KUBE (Woolcok 1998; Dharmawan 2007 3 ). Keempat perspektif tentang modal sosial tersebut menunjukkan bahwa dalam menentukan keberadaan modal sosial di dalam suatu masyarakat dapat memunculkan hasil yang berbeda, tergantung perspektif apa yang digunakan. Keempat perspektif tersebut merupakan pendekatan teoritis yang dapat digunakan sebagai alat analisis tentang keberadaan modal sosial.
2 3
ibid ibid
35
Framework Keterkaitan Modal Sosial dengan Kemiskinan. Dalam pembahasan keterkaitan modal sosial dengan kemiskinan dalam pembangunan ekonomi, modal sosial mempunyai dua aspek penting yaitu ikatan sosial yang saling terkait (cross-cutting ties) dan interaksi antara institusi formal dan informal (Narayan 1998). Narayan (1998) menyusun sebuah framework yang menganalisis keterkaitan antara dua dimensi kunci yaitu ikatan sosial yang saling terkait (crosscutting ties) dengan fungsi pemerintahan yang dijalankan suatu negara, yang mana interaksi antara kedua dimensi tersebut akan mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi di suatu negara atau wilayah atau di dalam komunitas di negara tersebut. Fungsi pemerintahan suatu negara yang dimaksud Narayan (1998) dalam framework tersebut mencakup dua aspek, yaitu : (1) peraturan hukum, hak warga negara, dan kebebasan warga negara untuk berserikat yang dilaksanakan oleh pemerintah; dan (2) kompetensi, kewenangan, sumberdaya, dan akuntabilitas pemerintah dalam menjalankan semua pekerjaannya. Framework yang disusun oleh Narayan (1998) tersebut terbagi dalam 4 (empat) kuadran seperti yang tersaji pada Gambar 3. Pada Gambar 3, disajikan hubungan antara ikatan sosial yang saling terkait (cross-cutting ties), sebagai salah satu komponen dasar modal sosial, dengan sistem suatu pemerintahan. Pada Kuadran 1, yaitu pada kondisi masyarakat mempunyai ikatan sosial tinggi dan negara dapat menjalankan fungsinya dengan baik maka akan tercapai kondisi sosial ekonomi masyarakat yang sejahtera (social and economic well-being). Beberapa bukti penelitian terdahulu diangkat Narayan untuk menguatkan analisisnya tersebut, salah satunya adalah penelitian yang dilakukan Stephen Knack dan Philip Keefer yang menyimpulkan bahwa kepercayaan (trust) dan kerjasama dalam masyarakat berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang lebih kuat. Penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa kepercayaan (trust) dan kerjasama dalam masyarakat akan lebih kuat pada negara yang mempunyai institusi formal yang efektif melindungi kepemilikan dan hak warga negaranya, serta pada negara yang peng-kutub-an kelas dan etniknya rendah (Narayan 1998). Sementara itu, pada Kuadran 2 yang mana negara menjalankan fungsi pemerintahannya dengan baik namun masyarakatnya mempunyai ikatan sosial
36
yang rendah maka akan menimbulkan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang laten terjadinya konflik. Salah satu hasil penelitian yang diangkat Narayan untuk menjelaskan kondisi pada Kuadran 2 ini adalah hasil penelitian Sidney Verba, Kay Lehman, dan Henry Brady di Amerika Serikat. Amerika Serikat yang dinilai sebagai sebuah negara yang menjalankan fungsi pemerintahannya dengan baik, mempunyai potensi terjadinya konflik yang salah satunya ditunjukkan dari penurunan keterlibatan warga negara di Amerika Serikat dalam tiga dekade terakhir dalam kehidupan politik negara tersebut. Kondisi ini disebabkan karena para politisi lebih mengutamakan mendengarkan orang-orang yang mempunyai pendidikan tinggi dan berkontribusi besar terhadap kampanyenya daripada orangorang yang pendidikannya rendah. Apabila suara dari masyarakat kelas rendah tersebut tidak didengarkan dan tidak disalurkan melalui penciptaan organisasiorganisasi yang dapat menampung aspirasi mereka maka masyarakat Amerika Serikat akan menjadi laten konflik yang dapat muncul sewaktu-waktu. Begitu pula dengan kesenjangan antara etnis hitam dan putih yang masih terjadi pada masyarakat Amerika Serikat, khususnya pada masyarakat yang tinggal di kantong-kantong kemiskinan. Kesenjangan tersebut bukan lagi permasalahan diskriminasi antar etnik namun lebih karena tidak adanya kesalinghubungan antara masyarakat kulit putih dengan kulit hitam pada kehidupan sosial dan kemasyarakatan (Narayan 1998). Negara berfungsi baik 2. Konflik Laten
1. Kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat Ikatan sosial tinggi (high cross-cutting ties)
Ikatan sosial rendah (low cross-cutting ties) 3. Konflik
4. Coping
Negara tidak berfungsi Gambar 3
Hubungan antara ikatan sosial (cross-cutting ties) dengan pemerintahan (Sumber : Narayan 1998).
37
Kuadran 3 dalam framework tersebut dicirikan oleh tidak berfungsinya pemerintahan dan rendahnya ikatan sosial dalam kehidupan masyarakat. Kesenjangan pendapatan, terisolasinya kelompok-kelompok sosial tertentu, dan pemerintah yang korupsi dapat menyebabkan terjadinya tindak kekerasan, konflik, dan peningkatan tindak kriminalitas. Dalam kondisi pada Kuadran 3 ini, keefektifan kekuatan pemerintahan akan digantikan oleh kekuatan yang mampu menekan dan lebih berpengalaman sehingga akan menggantikan struktur pemerintahan dan ekonomi. Pemerintahan akan kehilangan kewenangan, hukum, dan kekuatan sehingga hanya meninggalkan pemerintahan tanpa otonomi. Salah satu contoh yang diangkat oleh Narayan adalah Kolombia yang selama beberapa tahun dikuasai oleh organisasi ilegal yang sangat kuat yang pada akhirnya menyebabkan terinternalisasinya perilaku-perilaku kriminal dan oportunis. Konflik, kriminalitas yang tinggi, perdagangan obat terlarang, penculikan anak, kehidupan “gangs”, dan prostitusi selama beberapa tahun menjadi wajah negara tersebut akibat tidak berfungsinya pemerintahan dan rendahnya ikatan sosial dalam kehidupan masyarakat (Narayan 1998). Apabila suatu negara tidak mampu menjalankan fungsi pemerintahannya dengan baik namun masyarakatnya mempunyai ikatan sosial yang tinggi maka kondisi sosial ekonomi masyarakat yang akan muncul adalah seperti kondisi pada Kuadran 4 yang mana masyarakat mempunyai berbagai strategi coping untuk tetap bertahan hidup. Masyarakat dengan ikatan sosial yang tinggi namun fungsi pemerintahan yang tidak efektif (pemerintahan yang korupsi) dikarakteristikkan oleh tergantikannya sistem-sistem formal oleh sistem-sistem informal. Dalam sistem-sistem informal tersebut, masyarakat akan mencari strategi coping terbaik yang bisa mereka lakukan agar mereka mampu bertahan hidup dan meningkatkan kesejahteraannya. Kondisi ini biasanya terjadi pada negara-negara berkembang, seperti yang dilaporkan dari hasil penelitian di Tanzania, Indonesia, dan di Burkina Faso yang meneliti tentang pentingnya keragaman keanggotaan organisasi kemasyarakatan, sebagai dimensi modal sosial, dalam meningkatkan kesejahteraan (Narayan 1998). Penelitian yang dilakukan di Indonesia melaporkan bahwa rumah tangga miskin yang mempunyai keanggotaan organisasi kemasyarakatan yang tinggi dan keaktifan dalam pengambilan keputusan
38
menyebabkan rumah tangga tersebut lebih mudah dalam mengakses kredit maupun memanfaatkan aset yang dimilikinya sebagai strategi coping untuk mengatasi kemiskinannya (Grootaert 1998). Berdasarkan framework tersebut, maka asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahwa penduduk miskin, khususnya di negara-negara berkembang, mempunyai ikatan sosial tinggi namun fungsi negara dalam menjalankan kewajiban dan wewenangnya dalam mensejahterakan mereka tidak berfungsi dengan baik (Kuadran 4). Kondisi ini menyebabkan upaya-upaya yang dilakukan oleh penduduk miskin, khususnya di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, adalah coping mechanism yang merujuk pada penyesuaian diri yang dilakukan penduduk miskin atas beragam keterbatasan yang mereka miliki agar dapat bertahan hidup dan berupaya meningkatkan kesejahteraannya. Modal Sosial dan Penguatan Ketahanan Pangan dan Kualitas Pengasuhan Balita. Seiring dengan pemikiran Bourdieu akan modal sosial, yang mana modal sosial dapat dijadikan sumberdaya untuk menciptakan modal ekonomi, maka penelitian ini secara teoritis menggunakan kerangka pemikiran Bourdieu untuk menelaah kemungkinan modal sosial dalam menguatkan ketahanan pangan rumah tangga miskin di lokasi penelitian yang dalam kondisi tertentu dapat diubah menjadi modal ekonomi. Selain itu, berdasarkan pada pendapat Warren et al. (2001) yang menyebutkan bahwa kondisi ekonomi yang rendah cenderung akan menyebabkan rendahnya tanggung jawab terhadap anak, maka penelitian ini juga menggunakan kerangka konseptual pemikiran Coleman tentang modal sosial, bahwa modal sosial dalam jaringan keluarga dan komunitas merupakan sumberdaya bagi modal manusia (human capital). Dalam konteks penelitian ini adalah potensi modal sosial dalam peningkatan kualitas pengasuhan balita rumah tangga miskin di kedua lokasi penelitian, yang berada di wilayah perkotaan. Di Indonesia, tradisi-tradisi yang bersifat lokalitas seperti gotong royong merupakan sebuah stok modal sosial yang dapat dijadikan aset menguntungkan dalam mengatasi krisis ekonomi yang terjadi akibat kemiskinan. Salah satu contohnya adalah tradisi “rereongan sarupi” yang terdapat di Propinsi Jawa Barat (Hikmat 2001). “Rereongan sarupi” yang dimanifestasikan dalam bentuk kerja
39
sama dan gotong royong dalam pembangunan sosial, musyawarah dalam memecahkan masalah-masalah kemasyarakatan, saling menolong antar tetangga, dan saling mengingatkan apabila ada tetangga yang berbuat hal-hal yang merugikan masyarakat merupakan contoh modal sosial di dalam masyarakat. Contoh lain adalah tradisi “beas parelek” di Jawa Barat yang melibatkan aktivitas berupa pengumpulan beras sekitar satu sendok (satu “canting”) setiap bulan. Hasil pengumpulan tersebut akan digunakan untuk menghadapi musim paceklik, menolong anggota masyarakat lainnya termasuk fakir miskin, mengatasi kelaparan, dan permasalahan sosial lainnya yang membutuhkan dana dan sarana yang siap pakai (Hikmat 2001). Tradisi-tradisi tersebut tentu saja sarat dengan nilai-nilai kepercayaan (trust), norma sosial (social norms), dan bahkan juga jaringan sosial (social networks) yang dapat dimanfaatkan dalam menghadapi krisis ekonomi akibat kemiskinan, khususnya dalam mengatasi kerawanan pangan yang dialami masyarakat sebagai akibat keterbatasan akses secara ekonomi.
Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran yang disusun dalam penelitian ini didasarkan pada kerangka model World Bank mengenai keterkaitan kemiskinan dan status gizi serta didasarkan pada kerangka model UNICEF tentang faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi pada balita. Variabel awal yang diteliti adalah kerakteristik sosio demografi dan karakteristik ekonomi rumah tangga miskin di kedua lokasi penelitian. Kedua karakteristik tersebut diduga berhubungan dengan variabel ketahanan pangan rumah tangga, yang diukur melalui Tingkat Kecukupan Energi (TKE) rumah tangga miskin responden, yang dinilai melalui konsumsi pangan rumah tangga. Konsumsi pangan diukur pada tingkat rumah tangga melalui metode food list-record selama 7 (tujuh) hari berturut-turut. Sesuai dengan kerangka model UNICEF, ketahanan pangan rumah tangga, kualitas pengasuhan, dan status kesehatan merupakan faktor tidak langsung (underlying determinants) yang menentukan status gizi balita. Kualitas pengasuhan balita diukur melalui tiga aspek yaitu pola asuh makan, pola asuh kesehatan, dan lingkungan pengasuhan anak. Hanya saja variabel status kesehatan tidak diukur
40
dalam penelitian ini. Variabel status gizi balita dinilai dengan menggunakan indeks gabungan BB/U, BB/TB, dan TB/U. Sementara itu, penelitian ini juga mendasarkan pada konsep bahwa modal sosial dapat dijadikan sumberdaya untuk menciptakan modal ekonomi (financial capital) dalam menguatkan ketahanan pangan rumah tangga miskin dan juga dapat menjadi sumberdaya untuk mengoptimalkan pembentukan modal manusia (human capital) melalui kualitas pengasuhan balita yang sarat dengan nilai-nilai modal sosial. Rumah tangga miskin, khususnya yang tinggal di daerah perkotaan, menghadapi dua keterbatasan modal utama, yaitu modal alam (natural capital) dan modal keuangan (financial capital). Modal alam menjadi terbatas bagi rumah tangga miskin perkotaan karena wilayah perkotaan hampir tidak mempunyai lahan yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan produk-produk pertanian guna memenuhi kebutuhan pangannya. Sementara itu, keterbatasan modal keuangan terkait erat dengan tingkat pendapatan rumah tangga miskin perkotaan yang rendah. Keterbatasan modal tersebut tentu saja menyebabkan rumah tangga miskin perkotaan mempunyai keterbatasan akses, khususnya akses ekonomi, dalam upayanya memenuhi kebutuhan pangan mereka. Berdasarkan
landasan
pemikiran
tersebut,
penelitian
ini
ingin
membuktikan secara ilmiah apakah modal sosial mempunyai potensi dalam penguatan ketahanan pangan rumah tangga miskin. Selain itu, dengan menyandarkan pada asumsi bahwa kondisi ekonomi yang rendah cenderung akan menyebabkan rendahnya tanggung jawab terhadap anak (Warren et al. 2001), maka penelitian ini juga ingin membuktikan secara ilmiah apakah modal sosial juga mempunyai potensi untuk meningkatkan kualitas pengasuhan balita pada rumah tangga miskin. Modal sosial dalam penelitian ini diperoleh dari melihat hubungan antar rumah tangga yang dibangun di dalam komunitas dengan menyandarkan pada ketiga pilar modal sosial, yaitu kepercayaan (trust), jaringan sosial (social networks), dan norma sosial (social norms). Modal sosial menunjukkan adanya keterkaitan ketiga pilar utama tersebut. Kepercayaan (trust) terkait dengan sikap kepercayaan yang dimiliki rumah tangga, sebagai anggota komunitas, maupun yang dimiliki anggota rumah tangga yang menjadi dasar hubungan sosial yang
41
dibangun. Sementara itu, norma sosial terkait dengan bentuk kelembagaan yang ada di dalam masyarakat yang berperan dalam meningkatkan kemampuan ketahanan pangan rumah tangga dan juga pola pengasuhan balitanya. Kelembagaan sosial ini dapat berupa kelembagaan yang dibentuk oleh pemerintah maupun kelembagaan sosial yang merupakan hasil swadaya masyarakat. Jaringan sosial (social networks) ditunjukkan dengan hubungan-hubungan yang dimiliki rumah tangga maupun individu rumah tangga, seperti pertetanggaan, gotong royong, ataupun jaringan lainnya. Kerangka pemikiran penelitian yang dilaksanakan disajikan pada Gambar 4.
Karakteristik modal sosial rumah tangga miskin - Kepercayaan - Jaringan sosial - Norma sosial Karakteristik sosio demografi rumah tangga miskin - Jumlah anggota rumah tangga - Jumlah keluarga inti - Pendidikan kepala rumah tangga - Pendidikan anggota rumah tangga - Umur kepala rumah tangga - Umur anggota rumah tangga
Ketahanan pangan rumah tangga - Tingkat kecukupan energi rumah tangga
Karakteristik ekonomi rumah tangga miskin - Rata-rata pengeluaran per kapita per bulan - Rata-rata pengeluaran untuk pangan per kapita per bulan - Jumlah anggota rumah tangga yang berkontribusi terhadap pendapatan rumah tangga - Jenis pekerjaan kepala rumah tangga
: variabel yang diteliti : variabel yang tidak diteliti Gambar 4
Kerangka pemikiran penelitian.
Kualitas pengasuhan balita - Pola asuh makan - Pola asuh kesehatan - Lingkungan pengasuhan
Status kesehatan balita
Status gizi balita - BB/U - BB/TB - TB/U
42
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran yang dibangun, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah : 1. Tingkat sosial ekonomi rumah tangga miskin di lokasi penelitian rendah. 2. Ketahanan pangan rumah tangga miskin di lokasi penelitian rendah. 3. Ketahanan pangan rumah tangga dan kualitas pengasuhan berhubungan dengan status gizi balita. 4. Keberadaan modal sosial berhubungan dengan ketahanan pangan dan kualitas pengasuhan rumah tangga miskin di lokasi penelitian.