III 3.1.
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Konsep Tataniaga Tataniaga atau pemasaran memiliki banyak definisi. Menurut Hanafiah dan Saefuddin (2006) istilah tataniaga dan pemasaran berasal dari kata “marketing”. Tataniaga adalah kegiatan yang bertalian dengan penciptaan atau penambahan kegunaan barang dan jasa sehingga termasuk usaha yang produktif. Tataniaga menunjukkan semua aktivitas bisnis yang mempengaruhi arus atau aliran produk dan jasa dari titik produksi pertanian hingga ke tangan konsumen akhir (Kohl dan Uhl 2002). Menurut Dahl dan Hammond (1977), tataniaga produk-produk pertanian dapat dilihat sebagai serangkaian langkah-langkah, tahapan, atau fungsi-fungsi yang dibutuhkan untuk mengubah atau memindahan input atau produk dari titik produksi primer untuk konsumsi akhir. Serangkaian fungsi tersebut yaitu; pembelian, penjualan, penyimpanan, pengangkutan, pengolahan, standardisasi, pembiayaan, penanggungan risiko, dan informasi pasar. Dalam tataniaga, barang mengalir dari produsen sampai kepada konsumen akhir yang disertai penambahan guna bentuk melalui proses pengolahan, guna tempat melalui proses pengangkutan dan guna waktu melalui proses tataniaga (Sudiyono 2002). Menurut Limbong dan Sitorus (1985) tataniaga pertanian mencakup segala kegiatan dan usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barang-barang hasil pertanian dan barang-barang kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke tangan konsumen, termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan perubahan bentuk dari barang yang ditujukan untuk lebih mempermudah penyalurannya dan memberikan kepuasan yang lebih tinggi kepada konsumennya. Menurut Limbong dan Sitorus (1985), tataniaga dapat dipelajari melalui empat pendekatan yaitu pendekatan serba fungsi, pendekatan serba lembaga, pendekatan serba barang, dan pendekatan teori ekonomi. Pendekatan serba fungsi mempelajari masalah-masalah tataniaga atau pemasaran dari segi kegiatan atau fungsi-fungsi yang dilakukan dalam penyaluran barang dan jasa mulai dari
15
konsumen hingga produsen. Pendekatan serba lembaga mempelajari masalahmasalah tataniaga atau pemasaran melalui lembaga-lembaga tataniaga yang turut serta dalam penyaluran barang dari produsen ke konsumen. Pendekatan serba barang melibatkan studi tentang bagaimana barang-barang tertentu berpindah dari produsen ke konsumen. Pendekatan teori ekonomi lebih menitik beratkan kepada masalah-masalah penawaran, permintaan, harga, bentuk bentuk pasar dan lain lain. 3.1.2. Lembaga dan Saluran Tataniaga Lembaga tataniaga adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tataniaga dimana barang-barang bergerak dari pihak produsen sampai pihak konsumen (Hanafiah dan Saefuddin 2006). Lembaga tataniaga timbul karena adanya keinginan konsumen untuk memperoleh komoditi yang sesuai dengan waktu, tempat dan bentuk yang diinginkan konsumen (Sudiyono 2002). Sudiyono (2002) juga menjelaskan bahwa lembaga tataniaga berdasarkan penguasaanya terhadap komoditi yang diperjualbelikan dapat dibedakan menjadi tiga yaitu: a.
Lembaga yang tidak memiliki tapi menguasai benda, seperti agen perantara, makelar (broker, selling broker dan buying broker).
b.
Lembaga yang memiliki dan menguasai komoditi-komoditi pertanian yang diperjualbelikan, seperti pedagang pengumpul, tengkulak, eksportir dan importir.
c.
Lembaga yang tidak memiliki dan menguasai komoditi-komoditi pertanian yang diperjualbelikan, seperti perusahaan-perusahaan penyediaan fasilitasfasilitas transportasi, asuransi pemasaran dan perusahaan penentu kualitas produk pertanian (surveyor). Hanafiah dan Saefuddin (2006) memberikan gambaran bahwa panjang
pendeknya saluran tataniaga yang dilalui suatu komoditi tergantung pada beberapa faktor, antara lain: a.
Jarak antara produsen dan konsumen. Makin jauh jarak antara produsen dan konsumen biasanya makin panjang saluran yang ditempuh oleh produk.
16
b.
Cepat tidaknya produk rusak. Sifat produk yang cepat rusak menuntut penerimaan yang cepat pula ditangan konsumen, sehingga menghendaki saluran yang pendek dan cepat.
c.
Skala produksi. Bila produksi berlangsung dalam ukuran-ukuran kecil maka jumlah produk yang dihasilkan berukuran kecil pula. Hal ini tidak menguntungkan bila produsen langsung menjualnya ke pasar. Dengan demikian dibutuhkan pedagang perantara dan saluran yang akan dilalui produk cenderung panjang.
d.
Posisi keuangan pengusaha. Produsen yang posisi keuangannya kuat cenderung memperpendek saluran tataniaga.
3.1.3 Fungsi-fungsi Tataniaga Peningkatan nilai guna suatu komoditi dipengaruhi oleh fungsi-fungsi tataniaga yang dijalankan oleh lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat. Fungsi tataniaga dikategorikan menjadi tiga yaitu fungsi pertukaran (exchange functions), fungsi fisik (physical functions), dan fungsi penyediaan sarana atau fasilitas (facilitating functions) (Kohl and Uhl 2002). a.
Fungsi Pertukaran (exchange function) Fungsi pertukaran melibatkan kegiatan yang menyangkut pengalihan atau transfer hak kepemilikan dari satu pihak ke pihak lainnya dalam sistem tataniaga. Fungsi pertukaran terdiri dari fungsi penjualan dan fungsi pembelian. Fungsi penjualan antara lain mencari sumber pasokan, perakitan produk, dan aktivitas yang berhubungan dengan pembelian. Fungsi ini melibatkan baik perakitan produk mentah dari daerah produksi atau perakitan produk jadi ke tangan tengkulak lain untuk memenuhi tuntutan konsumen akhir. Fungsi pembelian harus ditafsirkan secara luas dan memiliki beberapa bagian. Iklan, dan perangkat promosi lainnya untuk mempengaruhi dan membuat permintaan juga bagian dari fungsi pembelian. Keputusan yang tepat dalam mempengaruhi unit penjualan, paket-paket yang tepat, saluran tataniaga yang terbaik, dan waktu serta tempat yang tepat untuk mendekati pembeli potensial adalah semua keputusan yang termasuk dalam fungsi pembelian. 17
b.
Fungsi Fisik ( function of physical supply) Fungsi fisik meliputi penanganan, perpindahan, dan perubahan fisik komoditi itu sendiri. Fungsi fisik meliputi hal-hal berikut. 1.
Pengangkutan. Fokus utama fungsi pengangkutan yaitu membuat barang-barang dapat tersedia pada tempat yang tepat. Alternatif rute yang ditempuh dan jenis transportasi yang digunakan akan mempengaruhi biaya yang dikeluarkan.
2.
Penyimpanan/pergudangan. Penyimpanan berarti menyimpan barang dari saat produksi mereka selesai dilakukan sampai dengan waktu mereka akan dikonsumsi. Fokus utama fungsi ini yaitu membuat barang-barang dapat tersedia pada waktu yang diinginkan.
3.
Pemrosesan. Fungsi ini mencakup semua aktivitas yang mengubah bentuk dasar suatu produk. Misalnya: hewan hidup yang diproses menjadi daging ataupun tepung gandum yang diubah menjadi roti.
c.
Fungsi Penyediaan Sarana / fasilitas Fungsi penyediaan fasilitas adalah kegiatan-kegiatan yang dapat membantu kelancaran kinerja pertukaran dan fungsi fisik. Fungsi ini meliputi hal-hal berikut. 1.
Informasi pasar. Fungsi ini memiliki pengertian yaitu sebagai kegiatan mengumpulkan, menafsirkan, dan menyebarluaskan berbagai macam data yang diperlukan untuk menjalankan proses tataniaga.
2.
Penanggungan
risiko.
Penanggungan
risiko
adalah
menerima
kemungkinan kerugian dalam tataniaga suatu produk. Risiko ekonomi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu risiko fisik dan risiko pasar. Risiko fisik adalah risiko yang terjadi akibat kerusakan produk itu sendiri, oleh karena kebakaran, kecelakaan, angin, gempa bumi, atau lainnya. Sedangkan risiko pasar adalah risiko yang terjadi karena perubahan nilai suatu produk yang dipasarkan. 3.
Standardisasi dan grading. Standardisasi yaitu menetapkan grade (tingkatan) kriteria kualitas komoditi tertentu. Grading adalah klasifikasi hasil pertanian ke dalam beberapa golongan mutu yang berbeda-beda, masing-masing dengan nama dan label tertentu.
18
4.
Pembiayaan.
Fungsi ini melibatkan penggunaan uang untuk
menjalankan kegiatan tataniaga. Bentuk pembiayaan yang mudah dikenal yaitu kredit yang diberikan suatu lembaga atau sumber modal lainnya. Aktivitas ini dibutukan dalam pemasaran modern. 3.1.4. Struktur Pasar Dahl dan Hammond (1977) mengemukakan bahwa terdapat empat karakteristik pasar yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan struktur pasar yaitu: 1.
Jumlah dan ukuran perusahaan (pangsa pasar yang dimiliki).
2.
Keadaan produk yang diperjualbelikan (dilihat oleh pembeli). Produk yang diperjualbelikan dapat bersifat standardisasi (homogen) dan berbeda (diferensiasi), sehingga harga yang dibayarkan oleh konsumen untuk kedua jenis produk tersebut juga berbeda.
3.
Mudah atau sulit untuk keluar-masuk pasar. Kondisi ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk masuk atau keluar pasar karena adanya suatu hambatan.
4.
Tingkat pengetahuan (informasi) yang dimiliki oleh partisipan dalam tataniaga mengenai biaya, harga, dan kondisi pasar. Dahl dan Hammond (1977) juga mengemukakan bahwa terdapat lima jenis
struktur pasar yaitu: (1) Pasar persaingan sempurna (Pure competition), (2) Pasar Persaingan Monopolistik (Monopolistic Competition), (3) Pasar Oligopoli atau Oligopsoni Murni (Pure Oligopoly/Oligopsony), (4) Pasar Oligopoli atau Oligopsoni
diferensiasi
(Differentiated
Oligopoly/Oligopsony),
(5)
Pasar
Monopoli atau Monopsoni (Monopoly/Monopsony). Kelima jenis pasar tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 5. Kohl dan Uhl (2002) menjelaskan perbedaan antara masing-masing struktur pasar dan ciri-cirinya. Struktur pasar persaingan sempurna memiliki ciriciri yaitu: 1) banyak pembeli dan penjual, tidak satupun dari keduanya dapat memberikan pengaruh yang besar dalam penentuan harga, 2) tidak terdapat diferensiasi produk, 3) pembeli dan penjual dapat dengan mudah untuk keluar dan masuk pasar, 4) pengetahuan atau informasi yang dimiliki oleh pembeli dan
19
penjual mengenai kondisi pasar relatif sempurna, dan mobilitas faktor-faktor produksi juga berjalan secara sempurna. Pasar persaingan monopolistik memiliki tiga karakteristik utama yaitu produk yang dihasilkan berbeda corak, jumlah penjual relatif banyak dan adanya persaingan nonharga. Pada pasar ini penjual dan pembeli relatif bebas untuk keluar masuk pasar. Monopoli atau Monopsoni adalah struktur pasar dimana hanya ada satu penjual di pasar yang bersangkutan, sehingga tidak ada pihak lain yang menyainginya. Asumsi-asumsi yang mendasari monopoli yaitu: (1) Di pasar hanya satu penjual produk tertentu, (2) Produk yang dijual tidak ada barang substitusinya, (3) Adanya barier to entry ke pasar (baik legal atau natural). Karakteristik utama oligopoli atau oligopsoni adalah adanya beberapa perusahaan yang menghasilkan produk homogen maupun berbeda corak, sehingga perilaku perusahaan satu mempengaruhi dan mendapat reaksi dari perusahaan lain. Akses keluar masuk pasar dalam pasar oligopoli atau oligopsoni sulit dan terdapat beberapa hambatan. Oligopoli yang menghasilkan produk homogen terstandardisasi disebut oligopoli murni (pure oligopoly), sedangkan oligopoli yang menghasilkan barang berbeda corak disebut differentiated oligopoly2. Tabel 5. Struktur Pasar dalam Sistem Pangan dan Serat Karakteristik Struktural Struktur Pasar dari Sisi Jumlah Sifat Produk Penjual Pembeli Perusahaan Banyak Standardisasi Persaingan Persaingan Sempurna Sempurna Banyak Diferensiasi Persaingan Persaingan Monopolistik Monopsonistik Sedikit Standardisasi Oligopoli Murni Oligopsoni Murni Sedikit Diferensiasi Oligopoli Oligopsoni Diferensiasi diferensiasi Satu Unik Monopoli Monopsoni Sumber: Dahl dan Hammond (1977)
2
Hidayat. http://www.slideshare.net/f4uzi3zi3/pasar-oligopoli/.Pasar Oligopoli. Diakses pada tanggal 22 Januari 2012.
20
3.1.5. Perilaku Pasar Perilaku pasar adalah pola kebiasaan pasar meliputi proses (mental) pengambilan keputusan serta kegiatan fisik individual atau organisasional terhadap produk tertentu, konsisten selama periode waktu tertentu. Kegiatankegitan perilaku meliputi tindakan penilaian, keyakinan, usaha memperoleh, pola penggunaan, maupun penolakan suatu produk (Budiarto 1993). Ada tiga cara mengenal perilaku (Asmarantaka 2009), yakni: 1.
Penentuan harga dan setting level of output; penentuan harga adalah menetapkan harga dimana harga tersebut tidak berpengaruh terhadap perusahaan lain, ditetapkan secara bersama-sama penjual atau penetapan harga berdasarkan pemimpin harga (price leadership).
2.
Product Promotion Policy; melalui pameran dan iklan atas nama perusahaan.
3.
Predatory and Exclusivenary tactics; strategi ini bersifat illegal karena bertujuan mendorong perusahaan pesaing untuk keluar dari pasar. Strategi ini antara lain menetapkan harga di bawah biaya marginal sehingga perusahaan lain tidak dapat bersaing secara sehat. Cara lain adalah berusaha menguasai bahan baku (integrasi vertikal ke belakang) sehingga perusahaan pesaing tidak dapat berproduksi dengan menggunakan bahan baku yang sama secara persaingan yang sehat.
3.1.6. Efisiensi Tataniaga Kepuasan konsumen, produsen, maupun lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam aliran barang dan jasa merupakan ukuran efisiensi (Limbong dan Sitorus 1985). Menurut Hanafiah dan Saefuddin (2006) pengertian efisiensi tataniaga yang dimaksud oleh pengusaha swasta berbeda dengan yang dimaksud oleh konsumen. Perbedaan tersebut muncul karena adanya perbedaan kepentingan antara pengusaha dan konsumen. Tataniaga yang efisien dari sisi pengusaha yaitu apabila penjualan produknya dapat mendatangkan keuntungan yang tinggi. Sebaliknya konsumen menganggap bahwa tataniaga yang efisien yaitu apabila konsumen mudah mendapatkan barang yang diinginkan dengan harga rendah. Efisiensi tataniaga dapat ditingkatkan melalui dua cara yaitu; pengurangan biaya tanpa mengurangi manfaat tataniaga dan peningkatan manfaat produk tanpa 21
meningkatkan biaya tataniaga (Kohl dan Uhl 2002). Efisiensi tataniaga dapat dibedakan menjadi efisiensi operasional (teknik) dan efisiensi harga. Efisiensi operasional (teknik) menurut Kohl dan Uhl 2002 diukur sebagai rasio output terhadap input. Peningkatan efisiensi operasional ditunjukkan pada situasi dimana biaya tataniaga dikurangi tanpa mempengaruhi sisi output dari rasio efisiensi. Efisiensi harga merupakan bentuk kedua dari efisiensi tataniaga. Efisiensi harga berkaitan dengan kemampuan sistem pasar mengalokasikan sumberdaya secara efisien dan mengkoordinasikan produksi dan seluruh proses tataniaga menurut arahan konsumen. Efisiensi harga dapat tercapai apabila masing-masing pihak yang terlibat dengan pemasaran “puas” atau responsif terhadap harga yang berlaku dalam Asmarantaka (2002). Efisiensi tidaknya
keterpaduan
harga dianalisis melalui ada
pasar (integrasi) antara pasar acuan dengan pasar
pengikutnya. 3.1.7. Margin Tataniaga Margin adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan perbedaan harga yang dibayar kepada penjual pertama dan harga yang dibayar oleh pembeli terakhir (Hanafiah dan Saefuddin 2006). Komponen margin tataniaga terdiri dari: (1) biaya-biaya yang diperlukan lembaga-lembaga tataniaga untuk melakukan fungsi-fungsi tataniaga yang disebut biaya tataniaga atau biaya fungsional (functional cost); dan (2) keuntungan (profit) lembaga tataniaga. Dahl dan Hammond (1977) mengemukakan bahwa margin tataniaga merupakan perbedaan antara harga pada level yang berbeda dalam sistem tataniaga. Margin tataniaga merupakan perbedaan antara harga yang dibayarkan oleh konsumen dan harga yang diterima petani (Tomex dan Robinson 1990; Kohl dan Uhl 2002; Hudson 2007). Margin tataniaga merupakan harga dari semua aktivitas penambahan kepuasan dan fungsi-fungsi yang dibentuk oleh perusahaan dalam tataniaga makanan (Kohl dan Uhl 2002). Harga tersebut termasuk pengeluaran dalam melakukan fungsi tataniaga dan juga keuntungan perusahaan. Tomex dan Robinson (1990) memberikan dua altenatif definisi dari margin tataniaga yaitu: (1) perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima produsen (petani); (2) harga dari kumpulan jasa-jasa pemasaran sebagai hasil dari permintaan dan penyediaan jasa tersebut. Definisi 22
pertama menjelaskan bahwa margin tataniaga secara sederhana adalah suatu perbedaan harga di tingkat konsumen (Pr) dengan harga yang diterima petani (Pf). Definisi kedua lebih bersifat ekonomi dan lebih tepat karena memberikan pengertian adanya nilai tambah dari kegiatan tataniaga.
Dari pengertian-
pengertian yang telah disebutkan sebelumnya, dapat diketahui bahwa margin tataniaga merupakan M = Pr – Pf atau margin tataniaga terdiri dari biaya-biaya yang dikeluarkan dan keuntungan yang diperoleh oleh lembaga-lembaga tataniaga. Margin tataniaga tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
Harga Nilai Margin Tataniaga (PrPf) Qr,f
Margin tataniaga
{
(Pr-Pf)
Sr Sf
Pr Pf
Dr Biaya Tataniaga
0
Df
Jumlah
Qr,f
Keterangan: Pr : Harga di tingkat pengecer Pf : Harga di tingkat petani Sr : Penawaran di tingkat pengecer (derived supply) Sf : Penawaran di tingkat petani (primary supply) Dr : Permintaan di tingkat pengecer (derived demand) Df : Permintaan di tingkat petani (primary demand) Qr,f : Jumlah produk di tingkat petani dan pengecer Gambar 2. Margin Tataniaga Sumber: Dahl dan Hammond 1977
Permintaan di tingkat petani (primary demand) ditentukan oleh respon dari konsumen akhir. Perkiraan empiris dari fungsi permintaan di tingkat petani selalu didasarkan pada harga di tingkat pedagang pengecer dan data jumlah produk. Permintaan di tingkat pengecer (derived demand) didasarkan pada hubungan harga dan jumlah yang ada, baik pada titik dimana produk-produk meninggalkan pertanian atau titik menegah dimana produk-produk tersebut dibeli oleh pedagang
23
besar atau pengolah. Penawaran di tingkat pengecer (derived supply) adalah penawaran turunan dari penawaran di tingkat petani (primary supply) dengan menambahkan margin yang sesuai. 3.1.8. Farmer’s Share Hudson (2007) mengemukakan bahwa secara sederhana farmer’s share adalah rasio harga ditingkat petani atas harga di tingkat pengecer. Pendapatan yang diterima oleh petani (farmer’s share) merupakan persentase perbandingan harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir (Asmarantaka 2009). Secara sistematis farmer’s share dapat dirumuskan sebagai berikut. Pf X 100% Fsi = Pr Dimana:
Fsi Pf Pr
: Persentase pendapatan yang diterima petani : Harga di tingkat atau yang diterima petani : Harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir
Sumber: Asmarantaka (2009)
Nilai farmer’s share yang rendah memperlihatkan harga yang rendah diterima oleh petani sedangkan konsumen akhir membayar dengan harga yang tinggi. Nilai farmer’s share berbanding terbalik dengan margin tataniaga yaitu jika farmer’s share tinggi maka margin tataniaga rendah dan sebaliknya jika farmer’s share rendah maka margin tataniaga tinggi. 3.1.9. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Analisis rasio keuntungan terhadap biaya (π/c) adalah persentase keuntungan tataniaga terhadap biaya tataniaga yang secara teknis (operasional) untuk mengetahui efisiensinya (Asmarantaka 2009). Penyebaran rasio keuntungan dan biaya pada masing-masing lembaga pemasaran dapat diketahui melalui rumusan berikut: Rasio keuntungan terhadap biaya (π/c) =
Keuntungan lembaga pemasaran ke-i Biaya Pemasaran ke-i
Keterangan: Keuntungan lembaga pemasaran ke-i = keuntungan lembaga tataniaga (Rp/Kg) Biaya pemasaran ke-i = Biaya lembaga tataniaga (Rp) 24
3.2.
Kerangka Pemikiran Operasional Kelurahan Agung Lawangan merupakan sentra pengembangan kubis di
Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam. Kubis tersebut dijual ke pasar lokal (Kota Pagar Alam) dan luar kota (Kota Prabumulih dan Kabupaten Lahat). Tataniaga kubis baik melalui pasar lokal maupun luar kota melibatkan lembagalembaga tataniaga seperti pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul pasar lokal, pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) dan pedagang pengecer baik lokal maupun non-lokal. Lembaga-lembaga tataniaga tersebut masing-masing menjalankan fungsi-fungsi tataniaga yang berbeda-beda dan mengeluarkan biaya tataniaga serta menginginkan keuntungan atas fungsi yang dijalankannya. Biaya yang dikeluarkan dan keuntungan yang diperoleh tersebut menggambarkan margin tataniaga. Margin tataniaga tertinggi yang terbentuk cukup besar mencapai Rp 4.500,00. Margin tataniaga tersebut berbanding terbalik dengan farmer’s share, dimana farmer’s share yang diperoleh hanya 10,00 persen. Artinya, petani hanya memperoleh 10,00 persen atas harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Harga rata-rata kubis yang diterima petani dan konsumen akhir cenderung fluktuatif. Fluktuasi harga tersebut dapat memberikan pengaruh terhadap pendapatan petani kubis. Permasalahan lain yaitu posisi tawar menawar sering tidak seimbang dimana petani dikalahkan dengan kepentingan lembaga tataniaga lain yang lebih dahulu mengetahui harga (posisi tawar petani rendah) dan petani merupakan pihak yang menerima harga (price taker). Permasalahan-permasalahan tersebut menuntut adanya analisis mengenai tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan dempo Utara, Kota Pagar Alam. Sistem tataniaga dan efisiensi tataniaga kubis dapat dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif dapat dilakukan dengan menganalisis lembaga tataniaga yang terlibat dan saluran tataniaga yang terbentuk, fungsifungsi tataniaga, struktur pasar, dan perilaku pasar. Secara kuantitatif dilakukan dengan menghitung margin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya (π/c). Dari hasil analisis tersebut dapat
diketahui efisiensi
tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam sehingga dapat dirumuskan langkah-langkah perbaikan yang harus
25
dilakukan oleh petani sebagai produsen dan lembaga tataniaga yang terlibat untuk meningkatkan efisiensi tataniaga. Kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 3. Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara ,Kota Pagar Alam sebagai sentra pengembangan kubis
-
Margin tataniaga yang besar dan Farmer’s share yang rendah Fluktuasi harga kubis yang terjadi Posisi tawar petani rendah dan petani merupakan price taker
Tataniaga Kubis di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam
Analisis Kualitatif:
Analisis Kuantitatif:
- Lembaga dan saluran tataniaga - Fungsi-fungsi tataniaga - Struktur pasar - Perilaku pasar
- Margin tataniaga - Bagian harga yang diterima petani (farmer’s share) - Rasio keuntungan terhadap biaya
-
Efisiensi tataniaga Alternatif saluran tataniaga yang efisien
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Operasional
26