III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS
3.1. Kerangka Pemikiran Air adalah sumberdaya vital yang dibutuhkan untuk mendukung kehidupan. Oleh karena itu, kebutuhan air akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya penduduk, perkembangan ekonomi, dan perkembangan peradaban. Di sisi lain meskipun pada hakekatnya kuantitas air di bumi adalah tetap, akan tetapi ketersediaan air yang layak dikonsumsi semakin langka. Meningkatnya kelangkaan yang dialami oleh setiap individu/kelompok individu bervariasi tergantung pada waktu dan tempat karena distribusi spatial dan temporal dari air yang tersedia maupun kebutuhan bervariasi. Meningkatnya kelangkaan juga dipercepat oleh terjadinya degradasi lingkungan di wilayah-wilayah tangkapan air maupun kerusakan sarana/prasarana pendayagunaan air. Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, industri, pembangkit listrik, aktivitas sosial, dan irigasi semakin langka. Secara teoritis, salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah kelangkaan sumberdaya adalah meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya tersebut. Dalam konteks itu, peningkatan efisiensi irigasi mempunyai peran yang sangat strategis karena: 1.
Sektor pertanian merupakan pengguna terbesar (lebih dari 80 %) sehingga dampaknya terhadap keseluruhan sektor pengguna air sangat tinggi.
2.
Secara teoritis peluang peningkatan efisiensi penggunaan air di sektor pertanian cukup terbuka karena sampai saat ini tingkat efisiensi yang dicapai masih rendah (kurang dari 70 %). Peningkatan efisiensi irigasi dapat ditempuh melalui dua pendekatan
secara parsial maupun secara simultan yaitu: (1) melalui pengelolaan pasokan (supply management), dan (2) melalui pengelolaan permintaan (demand management). Secara historis, selama ini pendekatan yang digunakan adalah pengelolaan pasokan (sistem gilir, intermittent, low flow management, dan sebagainya). Akan tetapi pendekatan pengelolaan saja tidak memadai. Seiring dengan makin ketatnya kompetisi penggunaan antar sektor dan meningkatnya
41 kelangkaan air irigasi, pendekataan pengelolaan permintaan dipandang lebih efektif untuk menjawab permasalahan (Winpenny 1994; Hellegers 2002). Sebagaimana dinyatakan di muka, penelitian ini difokuskan untuk memformulasikan dan menentukan besaran iuran irigasi berbasis komoditas yang diharapkan efektif sebagai instrumen peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi. Selanjutnya, agar hasil penelitian mempunyai kemampuan penerapan yang lebih baik maka dilakukan pula kajian tentang prospek penerapan sistem iuran tersebut. Dalam sistem iuran irigasi berbasis komoditas, jumlah iuran irigasi yang ditanggung petani terdiri dari dua komponen yaitu: 1.
Komponen utama/pokok yang nilainya kurang lebih setara dengan nilai air irigasi yang digunakan dalam usahatani. Perhitungannya didasarkan atas perkiraan volume kebutuhan air irigasi masing-masing komoditas tersebut dikalikan harga bayangan air irigasi. Oleh karena itu nilainya bervariasi antar jenis komoditas, antar wilayah maupun antar waktu karena: (1) harga bayangan air irigasi antar tempat dan antar waktu bervariasi, (2) air irigasi yang dibutuhkan untuk setiap tanaman bervariasi.
2.
Komponen penunjang yaitu biaya pelayanan irigasi yang nilai per hektarnya tetap (area based) yang besarnya ditentukan berdasarkan kesepakatan petani dalam rapat pleno P3A. Komponen penunjang diperuntukkan sebagai insentif pengumpulan iuran irigasi. Jumlah komponen penunjang harus lebih kecil daripada komponen pokok, karena secara teoritis semakin kecil nilai komponen penunjang maka semakin besar efek komponen pokok untuk mendorong peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi. Volume air irigasi yang dibutuhkan untuk usahatani ditentukan oleh: (1)
jenis atau kelompok jenis komoditas, (2) periode pengusahaan, dan (3) adanya pasokan air dari sumber lain, terutama curah hujan. Kebutuhan air antar komoditas pertanian berbeda karena: (1) laju evapotranspirasi berbeda, (2) adanya perbedaan kebutuhan air untuk pengolahan tanah, pesemaian, dan bahkan untuk jenis komoditas tertentu (misalnya padi) membutuhkan penggenangan. Pada jenis komoditas yang sama, air yang dibutuhkan juga tidak sama jika periode pengusahaannya berbeda karena: (1) laju evapotranspirasi dipengaruhi oleh
42 temperatur dan kelembaban udara, dan (2) adanya perbedaan kebutuhan air antar fase pertumbuhan tanaman. Secara teoritis, harga bayangan air irigasi ditentukan oleh kelangkaannya. Semakin langka, semakin tinggi nilainya. Pada hakekatnya kelangkaan adalah suatu ukuran relatif dalam arti ditentukan oleh perbandingan relatif antara kebutuhan terhadap ketersediaan. Dalam kondisi optimal, jika kebutuhan lebih tinggi daripada ketersediaan sehingga seluruh air irigasi yang tersedia terpakai habis maka harga bayangannya positif. Sebaliknya jika pada kondisi optimal tersebut kebutuhan lebih kecil dari ketersediaan sehingga air irigasi yang tersedia itu tersisa maka harga bayangannya adalah nol. Dalam sistem irigasi permukaan, pasokan air irigasi yang tersedia untuk tanaman tidak ajeg. Ini disebabkan oleh: (1) adanya fluktuasi debit air irigasi yang dialirkan dari reservoir, (2) adanya kehilangan air irigasi dalam proses penyaluran dan pada saat pemberian air ke tanaman, dan (3) adanya tambahan air irigasi di sepanjang saluran ketika musim hujan karena sistem penyaluran menggunakan saluran terbuka (Sosrodarsono dan Takeda, 1978). Dengan asumsi bahwa petani berusaha memaksimumkan keuntungan usahatani maka secara teoritis pola tanam optimal mengarah pada meningkatnya proporsi komoditas pertanian yang kebutuhan air irigasi per unit luas usahatani lebih sedikit tetapi menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Diperkirakan hal itu menyebabkan berkurangnya proporsi areal tanam padi dan meningkatnya proporsi areal tanam palawija dan sayuran di lahan sawah irigasi teknis yang berarti pola tanam di lahan tersebut lebih berdiversifikasi. Dengan pola tanam seperti itu per unit air irigasi yang tersedia dapat dihasilkan lebih banyak produksi pertanian dan keuntungan usahatani. Jadi, terjadi peningkatan produktivitas air irigasi yang berarti terjadi peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi. Mengingat bahwa sistem iuran irigasi berbasis komoditas selama ini belum dikenal maka prospek implementasinya hanya dapat dikaji melalui pendekatan tidak langsung. Dalam pendekatan tidak langsung ini landasan pemikiran yang dianut adalah sebagai berikut. Logikanya, petani dapat menekan biaya irigasi dan atau meningkatkan pendapatan usahataninya jika pola tanam lebih berdiversifikasi
43 ke komoditas hemat air yakni komoditas selain padi. Sementara itu, hambatan penerapan iuran irigasi berbasis komoditas semestinya lebih kecil jika sebelumnya petani telah berpengalaman dalam penerapan iuran irigasi meskipun dalam bentuk yang lain. Dengan demikian ada dua substansi permasalahan pokok yang menentukan prospek penerapan sistem itu: 1. Partisipasi petani untuk melakukan diversifikasi usahatani. Perubahan ke arah bentuk pola tanam yang mendekati pola optimal lebih mudah diwujudkan jika jika selama cukup banyak petani yang telah berpengalaman dalam menerapkan pola tanam diversifikasi. Semakin tinggi partisipasi petani untuk berdiversifikasi, semakin kondusif suasana yang tercipta untuk penerapan sistem iuran berbasis komoditas. 2. Partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi. Kemungkinan untuk dapat mengadopsi sistem iuran irigasi yang baru lebih terbuka jika secara empiris kualitas partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi pada sistem yang selama ini berlaku sangat baik. Kesesuaian antara faktor-faktor positif yang mendorong partisipasi petani untuk membayar iuran irigasi yang selama ini telah berlaku dengan faktor-faktor kondusif yang dibutuhkan untuk berpartisipasi dalam membayar iuran irigasi berbasis komoditas dapat dimanfaatkan untuk merancang strategi penerapan sistem iuran tersebut. Berlandaskan kerangka pemikiran tersebut di atas maka penelitian ini perlu menggunakan pendekatan normatif dan positif yang dilakukan dalam dua tahapan. Pendekatan normatif digunakan dalam valuasi air irigasi untuk mengetahui nilai produktivitas marginal (harga bayangan) air irigasi. Hasil valuasi merupakan input utama untuk mengestimasi nilai air irigasi berbasis komoditas yaitu dengan menggandakan harga bayangan tersebut dengan taksiran kebutuhan air irigasi untuk masing-masing kelompok komoditas yang dirinci menurut periode
pengusahaannya.
Pendekatan
positif
ditujukan
untuk
mengkaji
kemungkinan penerapan sistem iuran berbasis komoditas tersebut. Dalam konteks ini, model yang dikembangkan dalam pendekatan positif mengacu pada hasil ataupun implikasi dari pendekatan normatif. Secara ringkas sistematika pendekatan penelitian dapat dipresentasikan dalam skema pada Gambar 1.
44
Ketersediaan air menurun: - iklim makin tidak stabil - DAS, fungsi sungai, prasarana (waduk) mengalami degradasi
Dana O&P irigasi sangat terbatas
Kebutuhan air meningkat: - non irigasi (rumah tangga, industri, pembangkit listrik, dan lain-lain) - pertanian (irigasi)
Kelangkaan air irigasi meningkat
Kinerja O & P irigasi buruk
Pendekatan pengelolaan pasokan
Efisiensi penggunaan air irigasi harus ditingkatkan Kemampuan P3A membiayai O&P irigasi harus ditingkatkan
Peningkatan efisiensi melalui pengelolaan permintaan (demand management)
Maks
Z
n
k
i1
j1
ij
s .t A X B
X
ij
um pa n bal i k
Situasi dan kondisi sosial ekonomi yang mempengaruhi efisiensi irigasi di level pengguna utama air irigasi (petani)
Pola tanam optimal: - jenis komoditas - skala pengusahaan - waktu tanam Harga bayangan air irigasi
Keterangan :
Sistem iuran irigasi berbasis komoditas
1 k 1 exp( x j m ) m 2 pij Pr( y j i ) exp( x j i ) k 1 exp( x j m )
: pendekatan positif
Gambar 1. Sistematika pendekatan penelitian
i 1
, jika
i 1
pij Pr( y j i ) Pr i 1 x j β u i
Faktor-faktor yang mempengaruhi prospek penerapan sistem iuran irigasi berbasis komoditas
Kesimpulan dan Saran
: pendekatan normatif
, jika
45 Sebagai sosok normatif, sistem iuran irigasi berbasis komoditas sangat dipengaruhi oleh simpul strategis seperti dikemukakan di atas. Kajian tentang prospek penerapannya dapat dilakukan secara tidak langsung melalui dua tahapan berikut. Pertama, kajian yang ditujukan untuk memahami partisipasi petani untuk melakukan diversifikasi dalam usahatani sehingga pola yang diterapkannya mendekat ke arah pola tanam optimal. Kedua, kajian tentang partisipasi petani dalam pembayaran iuran irigasi khususnya partisipasinya untuk membayar iuran irigasi sesuai dengan ketentuan yang disepakati. Kedua aspek strategis tersebut dapat dikaji melalui pendekatan positif dengan memanfaatkan data sosial ekonomi di tingkat usahatani. Model analisis yang akan digunakan diharapkan menghasilkan informasi tentang: (1) probabilitas petani untuk berdiversifikasi dan identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi, dan (2) keragaan tentang partisipasi petani dalam pembayaran iuran irigasi, terutama identifikasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi probabilitas petani untuk memilih kualitas partisipasi yang baik dalam membayar iuran irigasi. Sintesis dari butir-butir pokok kesimpulan yang diperoleh dari kedua pendekatan tersebut menghasilkan sejumlah kesimpulan yang diharapkan dapat menjawab tujuan penelitian ini. Sudah barang tentu, dalam rangka meningkatkan ilmu pengetahuan disertakan pula sejumlah saran untuk penelitian lanjutan.
3.2. Landasan Teori Valuasi Air Irigasi Sebagaimana dikemukakan di atas, iuran irigasi berbasis komoditas dapat dirumuskan jika harga bayangan air irigasi diketahui. Oleh karena itu langkah awal yang harus ditempuh adalah menentukan harga bayangan air irigasi. Ini dapat dilakukan dengan melakukan valuasi air irigasi. Dengan asumsi bahwa air irigasi dapat diperlakukan sebagai masukan (intermediate input) dalam usahatani, landasan konseptual untuk valuasi air irigasi dapat mengacu pada teori permintaan masukan sebagaimana lazimnya dalam teori produksi (Just et al, 1982; Freeman, 1993; Johanson, 1993). Anggaplah suatu kasus seorang petani memproduksi suatu komoditi tunggal (y) dengan input tunggal yakni air (q) dengan fungsi produksi y = f(q). Sampai suatu titik tertentu
46 pertambahan penggunaan air meningkatkan produksi dengan pertambahan yang semakin berkurang (deminishing return) sebagaimana tampak pada Gambar 2. Rp./m3 pf(q)
w1
w2
pf' q(w1)
q(w2)
f (q) adalah fungsi produksi; f '(q) f/q adalah produktivitas marginal air irigasi, pf(q) diukur dalam unit Rp., pf ' (q) diukur dalam unit harga (Rp./m3); sedangkan p dan w masing-masing menunjukkan harga output dan harga air.
air irigasi (m3)
Gambar 2. Ilustrasi grafis fungsi produksi dan nilai produktivitas marginal air Misalkan w dan p masing-masing melambangkan harga air dan harga produk yang dihasilkan. Dengan asumsi petani price taker dan berusaha memaksimumkan keuntungan, maka
pf (q) w(q) dan keuntungan ( ) maksimum dicapai pada saat:
w 0 atau f (q) , dan f " (q) 0 w p Jadi, permintaan terhadap air adalah: w f dan q(w) adalah permintaan air pada q ( w) f 1 dimana f q p harga w (sebagaimana tampak pada Gambar 2 di atas).
Untuk m jenis komoditas, maka keuntungan adalah:
p j f j (q j ) wq j m
j 1
dimana fj adalah fungsi produksi komoditi j sedangkan qj adalah air yang digunakan sebagai input untuk komoditi tersebut, dan p j adalah harga komoditi j, sedangkan j = 1, 2, …, m. Kondisi derajat pertama maksimisasi keuntungan adalah:
47
1 w 0 atau f j (q j (w)) sehingga q j ( w) , j 1, 2, , m. q j f ( w / p ) p Jadi, permintaan terhadap air sebagai input dalam proses produksi tersebut adalah: m
m
j 1
j i
q ( w) q j ( w)
1 f j ( w / p )
Ilustrasi grafis untuk kasus 3 komoditas tertera dapat disimak pada Gambar 3. w p f 1( q )
f 2 ( q )
f 3 ( q )
w1 p
fj'(q) adalah produktivitas marginal air untuk komoditas j. Fungsi permintaan dalam bentuk inverse untuk semua komoditas merupakan penjumlahan horizontal permintaan setiap komoditas
Penjumlahan horizontal f 1, f 1, dan f 3
w2 p
q1 ( w1 )
f j ( q )
q 2 ( w1 )
Gambar 3.
q ( w1 ) q1 ( w1 ) q 2 ( w1 ) q 3 ( w1 )
q air irigasi
q ( w 2 ) q1 ( w 2 ) q 2 ( w 2 ) q 3 ( w 2 )
q 3 ( w1 )
Fungsi permintaan air irigasi setiap komoditas dan total untuk seluruh komoditas yang tercakup
Perluasan untuk kasus n petani dan m komoditas adalah analog. Misalkan
f ij (q) melambangkan fungsi produksi komoditas j yang dihasilkan petani i. Maka: qi (w)
m
f ij 1 ( w / p ) adalah fungsi permintaan untuk petani–i, sedangkan
j
untuk keseluruhan petani adalah: n
q ( w) q i ( w ) i 1
n
m
i 1 j 1
f ij 1 ( w / p )
Sudah barang tentu tambahan jenis input yang lain (lahan, tenaga kerja, modal, dan lain-lain) dapat diinkorporasikan dalam model tersebut.
48 Sampai saat ini pasar air irigasi pada sistem irigasi permukaan belum terbentuk. Pasokan air irigasi yang didistribusikan ke petani tidak tergantung pada tingkat harga tetapi pada kuantitas air yang tersedia dan secara kelembagaan dialokasikan untuk irigasi. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa bentuk fungsi penawarannya inelastis sempurna. Selanjutnya, jika diasumsikan pasokan air irigasi pada Musim Tanam (MT) I, MT II, dan MT III masing-masing adalah adalah q1, q2, dan q3; sedangkan fungsi permintaan dari hasil valuasi
p q maka harga air irigasi pada waktu MT I, MT II, dan MT III secara hipotetis dapat dipresentasikan seperti Gambar 4. P SMT III
SMT II
SMT I
p3
p2
p q p1 D q3
q2
q1
Q
Gambar 4. Harga air irigasi pada waktu MT I, MT II, dan MT III 3.3. Pemrograman Matematis Valuasi Air Irigasi Dengan Metode CINI Sebagaimana dibahas dalam Bab Tinjauan Pustaka, metode valuasi yang sesuai diterapkan dalam penelitian ini adalah Residual Imputation Approach (RIA). Dalam penelitian ini yang dipilih adalah salah satu varian dari pendekatan tersebut yaitu change in net income (CINI) dengan pemrograman linier (LP). Misalkan untuk memperoleh pasokan air irigasi tidak ditarik biaya (gratis); tetapi pasokannya terbatas pada level x. Berapakah petani ingin membayar untuk memperoleh tambahan sebesar unit? Perhatikan bahwa pada saat volume air yang digunakan berada di level x maka penerimaannya adalah pf(x). Tambahan kuantitas air sebanyak menciptakan tambahan revenue sebesar p[f(x+) – f(x)].
49 Dengan kata lain, untuk memperoleh tambahan p[f(x+) – f(x)] petani akan membayar seharga
p f ( x ) f ( x ) untuk
tambahan air sebanyak m3 air.
Pada yang cukup kecil harga tersebut sama dengan pf'(x). Dengan demikian, pf'(x) merupakan (maksimal) harga dimana petani akan membayarnya untuk melonggarkan kendala per satu (marginal) unit; ini disebut shadow price air tersebut. Seperti yang kita lihat di atas, pf'(x) adalah inverse water demand. Jadi, secara formal sebenarnya masalah yang dihadapi adalah mencari solusi dari persoalan maksimisasi dengan kendala yang dapat diperesentasikan secara matematis sebagai berikut: Maxq pf (q ) dengan kendala q r . Dengan pendekatan fungsi Lagrange
pf (q) (q x) , kondisi derajat pertama
untuk optimasi (Kuhn-Tucker
condition) mencakup: (i) (ii) (iii)
L 0 pf (q) , q L 0 q x , dan (q x) 0 (complimentary slackness).
Jika f'(x) > 0, maka pf'(x) > 0 untuk semua q x (ii). Oleh karenanya kondisi derajat pertama (i) yakni 0 , berimplikasi kondisi (iii) bahwa air digunakan sampai pada batas q = x dan pf (x). Terlihat di atas bahwa bila harga air adalah w = pf'(x), maka kuantitas yang diminta petani adalah x. Jadi, pendekatan ini merupakan bayangan cermin (dual) dari pendekatan sebelumnya. Dengan cara mengubah kendala x dan menghitung shadow price ( ) yang bersangkutan, kita memperoleh ( x) pf ( x) fungsi permintaan inverse turunannya. Pendekatan ini sangat berguna karena dengan mudah diperluas untuk situasi dengan berbagai tambahan jenis input. Misalkan, selain air ada k input lainnya
z ( z1 , z 2 , , z k ) dengan harga r (r1 , r2 ,, rk ) dan input primer
(misalnya lahan) s ( s s , s 2 , sk ) yang tak perlu dibeli di pasar, tetapi terbatas
50 kuantitasnya sebanyak b (b1 , b2 ,, bk ) . Lalu misalkan fungsi produksinya adalah F(q,z,s). Maka persoalannya adalah: Max ( x, b, p, r ) Max{q, z ,s} pF (q, z , s ) (r1 z1 r2 z 2 rk z k ) dengan kendala q x dan s b Dalam bentuk Lagrange: pF(q, z, s) (r1 z1 r2 z2 rk zk ) (q x) 1 (s1 b1 ) 2 (s2 b2 ) l (sl bl )
Pengganda Lagrange ( ) pada kendala air ( q x ) pada titik optimum adalah harga bayangan air, dimana jika dihitung untuk seluruh level air yang feasible, akan membentuk fungsi inversi permintaan terhadap air. Untuk fungsi produksi non linier F(q,z,s), maka persoalannya adalah optimasi non-linear programming (NLP). Dalam kasus khusus, misalnya jika fungsi produksinya adalah Leontief (fix coefficient) maka bentuknya adalah: F(v1, v2, …, vm) = min{v1 / a1 , v2 / a2 ,, vm / a m } untuk a1, a 2, …, a m. Dengan demikian persoalannya menjadi Linear Programming, dan algoritmenya dapat dilakukan dengan lebih sederhana (metode Simplex). Sebagai contoh, misalkan ada m komoditas dengan 4 input: lahan, air, tenaga kerja, dan pupuk. Per hektar komoditas j membutuhkan a 1j m3 air, a 2j hari kerja, a 3j kg pupuk, dan menghasilkan yj kg output, j = 1, 2, …, m. Parameter yj, a1j, a2j, dan a3j, j = 1, 2, …, m berupa Leontief production technology. Output komoditas j dalam kasus ini adalah: q j z1 j z 2 j , L j y j L j Min , , j = 1, 2, …, m. a1 j a2 j a3 j
dimana q j, z1j dan z2j masing-masing adalah per hektar air, tenaga kerja, dan input untuk komoditi j, dan Lj adalah lahan yang dialokasikan untuk komoditi j. Misalkan r1 dan r2 melambangkan upah tenaga kerja dan harga pupuk. Tidak termasuk dengan biaya untuk lahan dan air, per hektar pendapatan untuk komoditi j adalah:
j p j y j r1 z1 j r2 z 2 j y j ( p j r1 j a 2 j r2 a3 j ) .
51 Misalkan L dan x melambangkan kendala lahan dan air irigasi, maka maksimisasi keuntungan adalah: m
Max L j j j 1
dengan kendala: m
L j a1 j x (kendala air) j 1 m
L j L (kendala lahan) j 1
L j 0 , j = 1, 2, … , m (kendala non negativitas).
Hasil optimasi mencakup alokasi optimal lahan, air irigasi, dan pengganda Lagrange untuk setiap kendala. Pengganda Lagrange ( ) kendala air irigasi adalah harga bayangan air irigasi. Harga bayangan inilah yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk menentukan komponen pokok biaya irigasi dalam sistem iuran irigasi berbasis komoditas yang dimaksud dalam penelitian ini. Selanjutnya melalui analisis pasca optimal (post optimality analysis) perubahan penggunaan air irigasi akibat adanya perubahan ketersediaan air irigasi (x) dan mencatat harga bayangan ( ) untuk setiap hasil optimasi tersebut dapat diperoleh hubungan antara penggunaan air irigasi (x) dengan harga bayangan air irigasi ( ), yang tak lain adalah fungsi permintaan normatif dalam bentuk inversi. Dengan manipulasi matematika sederhana tentu saja dapat diperoleh bentuk fungsi permintaan normatif air irigasi. Analisis pasca optimal juga dapat dilakukan untuk memperoleh informasiinformasi penting lainnya. Sebagai contoh, analisis pasca optimal perubahan harga gabah dapat menghasilkan hubungan antara harga gabah dengan produksi gabah (melalui perhitungan sederhana dari luas areal padi pada solusi optimal yang diperoleh) sehingga dapat diperoleh kurva penawaran normatif padi. Dapat pula dilakukan analisis tentang pengaruh ketersediaan air irigasi terhadap diversifikasi; bahkan dapat dilakukan kajian tentang potensi kerugian yang diakibatkan oleh kelebihan luas tanam padi. Informasi ini cukup penting dalam analisis kebijakan yang terkait dengan strategi pengembangan produksi pangan.
52 3.4. Faktor-faktor Utama yang Harus Dipertimbangkan Dalam Pemodelan 3.4.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pasokan dan Permintaan Air Irigasi Per definisi model adalah abstraksi dunia nyata yang dipresentasikan dalam suatu bentuk yang telah disederhanakan. Dengan demikian langkah awal dalam pemodelan adalah pemahaman yang komprehensif tentang fenomena empirisnya. Dalam konteks ini, faktor-faktor apa yang bekerja dan bagaimana konstelasi hubungannya harus dikenali dengan baik. Harga bayangan atau nilai produktivitas marginal air irigasi ditentukan oleh pasokan maupun permintaannya dan perilakunya dipengaruhi oleh banyak faktor. Sebagian dari faktor-faktor tersebut bersifat eksternal (tak dapat dikontrol), sedangkan lainnya bersifat internal (perilakunya dapat dikendalikan). Pada sisi pasokan, faktor-faktor yang berpengaruh adalah iklim terutama curah hujan, kondisi fisik-lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS) terutama daerah tangkapan air (catchment area), sarana dan prasarana irigasi, teknologi pendayagunaan air yang terkait dengan keirigasian, dan kelembagaan pengelolaan irigasi baik di tingkat petani maupun supra strukturnya (Gambar 5). Curah hujan sangat menentukan volume air yang dapat didayagunakan untuk irigasi karena mempengaruhi volume air di reservoir (waduk), debit sungai, bahkan ketersediaan air di hamparan lahan petani. Curah hujan berperan di dua sisi sekaligus yakni di sisi pasokan maupun permintaan terhadap air irigasi. Kondisi DAS sangat menentukan kapasitas wilayah tangkapan untuk menyimpan air. Kondisi DAS yang sangat terdegradasi, kapasitasnya untuk menyimpan air di dalam tanah menjadi sangat rendah. Kondisi ini berakibat meningkatnya intensitas banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Kondisi sarana dan prasarana irigasi merupakan salah satu determinan reliabilitas (keandalan) pasokan air irigasi. Ada tiga komponen sarana dan prasarana yang vital yaitu: reservoir (waduk, dam, bendung gerak), saluran distribusi (primer, sekunder, tertier, kuarter), dan saluran pembuang (drainage). Penurunan fungsi salah satu atau kombinasi dari komponen-komponen tersebut dapat mengakibatkan menurunnya tingkat keandalan pasokan air irigasi.
53
Iklim (terutama curah hujan) Penguasaan lahan pertanian Kondisi Daerah Aliran Sungai
Ketersediaan tenaga kerja pertanian
Pasokan air dari curah hujan
Ketersediaan modal usahatani
Sarana & Prasarana Irigasi Pasokan air irigasi
Permintaan air irigasi
Teknologi di bidang irigasi
Nilai produktivitas marginal air irigasi Kelembagaan Pengelolaan Irigasi
Pola pengusahaan komoditas pertanian di lahan irigasi: - jenis komoditas - waktu pengusahaan - skala pengusahaan - teknik budidaya - teknik pengairan
Kapabilitas managerial usahatani Penguasaan teknologi usahatani Harga-harga keluaran usahatani Harga-harga masukan usahatani
Kebijaksanaan pemerintah
Gambar 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga bayangan air irigasi 53
54 Kondisi sarana dan prasarana irigasi adalah perangkat keras. Perangkat lunaknya (software) adalah teknologi pengairan dan kelembagaan pengelolaan irigasi. Teknologi irigasi sangat menentukan kinerja fisik sistem distribusi, efisiensi
penyimpanan,
penyaluran,
maupun
pembuangan;
sedangkan
kelembagaan pengelolaan merupakan sangat menentukan pengoperasian sistem. Kelembagaan pengelolaan menentukan
kinerja
irigasi
irigasi merupakan faktor
secara
umum.
Sesungguhnya,
yang sangat kelembagaan
pengelolaan irigasi adalah determinan utama kinerja irigasi karena dalam kelembagaan pengelolaan irigasi tersebut faktor-faktor yang bekerja di sisi pasokan dan sisi permintaan diorganisasikan. Di sisi kebutuhan, faktor yang paling menentukan permintaan air irigasi adalah pola pengusahaan komoditas usahatani yang dimensinya mencakup: jenis komoditas yang diusahakan, skala dan waktu pengusahaannya, teknik budidaya pertanian, dan teknik pengairan yang diterapkan. Pola pengusahaan komoditas merupakan outcomes dari tujuan petani untuk memaksimumkan keuntungan. Dengan demikian faktor-faktor yang mempengaruhi pola pengusahaan komoditas adalah: ketersediaan sumberdaya (lahan, tenaga kerja, modal), kemampuan managerial usahatani, penguasaan teknologi, dan harga-harga baik harga masukan untun usahatani maupun harga keluaran usahatani. Secara empiris ada beberapa faktor yang perilakunya berpengaruh pada sisi pasokan maupun sisi permintaan (Gambar 5). Faktor terpenting adalah curah hujan. Curah hujan tidak hanya mempengaruhi ketersediaan air tetapi juga mempengaruhi alternatif pola tanam. Pengaruh faktor ini semakin tinggi apabila reliabilitas pasokan air irigasi semakin rendah. Selain curah hujan, faktor lain yang secara tidak langsung mempengaruhi pola pengusahaan komoditas adalah kelembagaan pengelolaan irigasi. Dalam praktek, petani tidak sepenuhnya bebas untuk menentukan pola tanam. Penggunaan air irigasi diatur dalam suatu sistem kelembagaan berdasarkan prinsip-prinsip pemanfaatan "sumberdaya publik". Dengan demikian secara normatif pola pengusahaan komoditas harus selalu mengacu pada aturan main yang telah disepakati dalam komunitas yang terkait.
55 Kebijaksanaan pemerintah berperan di dua sisi. Kebijaksanaan pemerintah dalam pengembangan sumberdaya air sangat menentukan kinerja pasokan air dalam arti luas maupun pasokan air irigasi khususnya. Peranannya dapat di bidang investasi, penggunaan air antar sektor, kelembagaan pengelolaan irigasi, dan sebagainya. Peranan pemerintah di sisi permintaan dapat berupa kebijaksanaan di bidang harga (masukan maupun keluaran), kebijakan di bidang penyediaan modal untuk usahatani, maupun bantuan teknis dalam bentuk pengembangan kemampuan teknis dan managerial petani melalui program penyuluhan pertanian. 3.4.2. Distribusi Spatial Air Irigasi dan Implikasinya Pada dasarnya distribusi spatial sumberdaya air bersifat alamiah dan ditentukan oleh resultante interaksi hukum-hukum hidrologi dan konfigurasi geografis. Jika menyerahkan sepenuhnya pada pengaruh hukum alam tersebut maka ketersediaan air irigasi bagi petani yang berada di hilir akan sangat tergantung pada penggunaan air irigasi yang dilakukan oleh petani yang berada di hulu. Sebaliknya, ketika air sangat berlebih maka upaya mengatasi dampak kelebihan air yang dialami oleh petani yang berada di hulu juga memerlukan kesediaan petani yang berada di hilir untuk menerima limpahan air dari hulu. Dalam konteks ini ada persepsi yang berlaku umum bahwa: 1. Kelebihan pasokan air pada musim hujan dialami oleh semua pihak baik petani di hulu, tengah, maupun hilir dan cara mengatasinya adalah membuang ke wilayah yang lebih hilir. Cara ini secara teknis paling mudah dilakukan karena secara alamiah air mengalir ke tempat yang lebih rendah dan secara ekonomi ongkos sosialnya paling murah. Selain itu oleh karena terminal terakhir pembuangan limpahan adalah wilayah bebas (laut) maka persepsi tersebut diterima masyarakat luas. Legitimasinya kuat karena hal tersebut juga dikukuhkan dalam aturan perundang-undangan. 2. Secara historis irigasi dibangun untuk mengatasi kelangkaan air yang dibutuhkan untuk tanaman. Oleh karena itu substansi permasalahan yang lebih mengemuka adalah bagaimana mengatur pembagian sumberdaya yang langka tersebut, bukan membuang kelebihan air. Kedua hal itu berimplikasi bahwa substansi pokok yang menjadi sumber ketergantungan adalah persoalan alokasi pasokan. Sifat ketergantungannya
56 asymetric dimana ketergantungan petani di hilir kepada petani yang berada di hulu jauh lebih tinggi daripada sebaliknya; dan bersifat rekursif dimana pasokan air irigasi untuk petani yang berada di wilayah yang lebih hilir dipengaruhi oleh penggunaan air irigasi para petani yang berada di wilayah yang berada di hulu. Bentuk ketergantungan seperti itu mempengaruhi alokasi optimal air irigasi dalam suatu sistem. Secara teoritik dapat dijelaskan sebagai berikut. Misalkan dalam suatu Sistem Irigasi skala besar terdapat tiga Sub Sistem yaitu A, B, dan C dimana A berada di hulu, B di tengah, dan C berada di hilir. Selanjutnya misalkan P 1, P2, dan P3 masing-masing adalah petani di daerah A, B, dan C yang memproduksi y (y1 untuk A, y2 untuk B, dan y3 untuk C). Diasumsikan A, B, maupun C menghadapi harga y yang sama yakni p. Jika diasumsikan bahwa produktivitas usahatani merupakan fungsi dari tingkat ketersediaan air irigasi, maka maksimisasi keuntungan ketiga petani tersebut dapat dituliskan:
1 max py1 f ( y1 )
(1)
2 max py 2 g ( y 2 , y1 )
(2)
3 max py3 h ( y3 , y 2 , y1 )
(3)
y1
y2
y3
dimana fungsi f, g, dan h adalah biaya produksi masing-masing petani P1, P2, dan P3. Jika masing-masing petani bebas dan tak ada koordinasi (anarchic) maka solusi optimal yang dihadapi harus memenuhi kondisi derajat pertama berikut:
f ( y1 ) g ( y2 , y1 ) h( y3 , y2 , y1 ) p y1 y 2 y3
(4)
artinya semua petani tersebut menyamakan biaya privat marginal usahataninya dengan harga. Oleh karena p tetap maka hal itu berarti bahwa semakin banyak air yang digunakan di hulu maka semakin sedikit air yang tersedia untuk petani di hilir sehingga produk yang dapat dihasilkan oleh petani yang berada di hilir juga lebih rendah agar biaya privat marginalnya dapat dipertahankan sama dengan harga produk (p). Jika ketiga (kelompok) petani tersebut berada di dalam satu sistem pengelolaan irigasi yang terkoordinasi maka persoalannya adalah bagaimana
57 memaksimumkan keuntungan untuk satu sistem secara keseluruhan. Dengan demikian maksimisasi keuntungan yang dihadapi dalam usahatani adalah:
1 23 max ( y1 y 2 y3 ) f ( y1 ) g ( y 2 , y1 ) h( y3 , y 2 , y1 )
(5)
y1 , y2 , y3
dan kondisi derajat pertama yang harus dipenuhi untuk solusi optimal adalah: P1 : P2 : P3 :
f ( y1 ) g ( y 2 , y1 ) h( y3 , y 2 , y1 ) p y1 y1 y1 g ( y2 , y1 ) h ( y3 , y2 , y1 ) p y 2 y 2 h( y3 , y2 , y1 ) p y3
(6) (7) (8)
Dari persamaan tersebut tampak bahwa kondisi optimal untuk seluruh sistem mensyaratkan bahwa petani-petani yang berada di hulu harus peduli dengan petani yang berada di hilir. Dengan kata lain, petani di hulu harus ikut menanggung beban petani yang berada di hilir. Biaya sosial marginal potensial yang harus ditanggung oleh petani di Hulu (P1) dan di Tengah (P2) adalah: P1 : P2 :
g ( y 2 , y1 ) h( y3 , y 2 , y1 ) y1 y1 h( y3 , y 2 , y1 ) y2
Adalah logis bahwa setiap mendahulukan
kepentingan
dirinya
(9) 10) individu (termasuk petani) cenderung sebelum
orang
lain.
Implikasinya,
implementasi prinsip-prinsip efisiensi dan pemerataan (persamaan (6) – (10)) dalam alokasi air irigasi pada sistem irigasi skala besar dengan menggunakan mekanisme pasar sangat sulit. Dalam sistem irigasi permukaan skala besar (large scale surface irrigation) dengan sistem penyaluran air irigasi menggunakan saluran terbuka dan jumlah petani yang tercakup dalam sistem tersebut sangat banyak, mekanisme pasar hampir mustahil diterapkan karena kendala teknis sangat sulit diatasi dan nilai-nilai sosial budaya yang berkembang dalam masyarakat menyebabkan adanya resistensi yang sangat tinggi. Oleh karena itu pendekatan yang digunakan adalah kelembagaan non pasar dengan menerapkan sistem kuota (sistem jatah). Dalam sistem jatah, pasokan diatur sedemikian rupa sehingga distribusi air irigasi per satuan luas (liter per detik – lt/dt) antar wilayah
58 (hulu, tengah, dan hilir) relatif sama. Teknisnya adalah dengan cara mengatur durasi pembukaan (buka – tutup) pintu-pintu air irigasi baik di saluran primer, sekunder maupun tertier. Pengelolaan irigasi membutuhkan batas yurisdiksi, aturan representasi, dan pengakuan terhadap hak pemilikan yang jelas. Komunitas dan atau wilayah mana saja yang tercakup (batas yurisdiksi), siapa melakukan apa (aturan representasi), dan bagaimana meletakkan hak kepemilikan dalam sistem organisasi, harus dirumuskan dan dijabarkan dalam bentuk yang dapat dioperasionalkan. Di sisi lain, mengingat jumlah petani yang terlibat sangat banyak maka perlu adanya pemahaman dan persepsi yang sama agar terbentuk aksi kolektif yang konvergen azas-azas dengan pengelolaan irigasi yang efisien dan adil. Pada sistem irigasi teknis skala besar (large scale surface irrigation) dimana investasi pembangunan/pengembangannya dilakukan oleh pemerintah, otoritas distribusi air berada di tangan pemerintah (Dinas Pengairan). Di lapangan, Aparat Dinas Pengairan yang secara langsung bertugas mengatur distribusi air irigasi (dari saluran induk sampai tertier) bekerja berdasarkan petunjuk teknis sistem pembagian air yang merupakan penjabaran operasional dari prinsip tersebut di atas. Dalam istilah setempat petugas tersebut populer dengan sebutan Penjaga Pintu Air. Secara teoritis, sistem jatah sangat mungkin tidak menghasilkan keuntungan maximum untuk seluruh sistem (global maximum). Oleh karena itu sistem jatah bukan first best solution untuk maksimisasi keuntungan ataupun efisiensi. Akan tetapi sistem jatah merupakan pendekatan pragmatis yang lebih mudah ditempuh untuk menjamin terpenuhinya azas pemerataan. Terkait dengan kelemahan yang melekat dalam sistem penjatahan maka ada dua prasyarat yang harus dipenuhi agar mekanisme penjatahan berjalan baik. Pertama, pengorganisasiannya harus dikoordinasikan oleh suatu badan yang memiliki otoritas yang legitimasinya didukung oleh kerangka hukum yang berlaku dan secara kelembagaan efektif. Kedua, adanya dukungan infrastruktur yang memadai sehingga secara teknis dapat diimplementasikan. Selain kedua prasyarat
59 tersebut, alokasi air irigasi dengan mekanisme penjatahan juga harus mempertimbangkan hal-hal berikut: 1. Kuantitas air yang dapat dialokasikan untuk irigasi adalah bervariasi. Meskipun sudah didisain sebagai sistem irigasi teknis, pengaruh curah hujan masih besar karena sistem penyampaian dan pembuangan air menggunakan saluran terbuka. Selain itu, curah hujan langsung jatuh ke hamparan lahan juga merupakan tambahan pasokan air yang tersedia untuk tanaman yang harus diperhitungkan. Di sisi lain harus pula diperhitungkan alokasi air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, industri, dan lain-lain yang berdasarkan aturan perundang-undangan justru mempunyai prioritas yang lebih tinggi. 2. Sebagian besar sumber pasokan air irigasi untuk seluruh sistem terletak di bagian yang lebih hulu, kemudian dialirkan ke arah hilir. Oleh karena itu, air irigasi yang terdapat di hulu lebih tinggi daripada kebutuhannya, sedangkan yang di hilir cenderung lebih rendah dari kebutuhan di wilayah tersebut. 3. Secara keseluruhan, total volume air irigasi yang dilepas dari sumber pasokan lebih tinggi daripada total volume yang sampai di tingkat usahatani karena adanya kehilangan dalam penyaluran. Meskipun demikian karena ada tambahan pasokan air dari curah hujan maka ada kalanya total volume air yang tersedia di hamparan usahatani justru lebih tinggi. 4. Penjatahan air irigasi hanya relevan dilakukan pada periode pasokan air irigasi langka yang biasanya berlangsung sejak Bulan Juni – November. Pada periode lainnya (Desember – Mei) tidak diperlukan adanya sistem penjatahan karena: (1) kebutuhan tanaman terhadap air dari sistem irigasi lebih rendah dari ratarata (karena sebagian telah terpebuhi dari curah hujan), dan (2) pasokan air irigasi lebih banyak dari rata-rata. 5. Sumber pasokan air irigasi cukup banyak dan tersebar di hulu, tengah, maupun hilir dengan memanfaatkan sumberdaya air dari anak-anak sungai Brantas dan atau dam-dam setempat. Oleh karena itu, Sub DAS Hilir tidak sepenuhnya tergantung pada pasokan air irigasi dari Sub DAS Tengah maupun Sub DAS Hulu; demikianpun halnya pasokan air irigasi untuk Sub DAS Tengah tidak sepenuhnya tergantung pada pasokan dari Sub DAS Hulu.
60 Azas pemerataan yang menjadi acuan dalam mekanisme penjatahan diwujudkan melalui penerapan sistem proporsi sehingga variasi volume pasokan air irigasi antar wilayah ditentukan oleh luas areal layanan irigasi masing-masing wilayah tersebut. Sistem proporsi juga berlaku dalam konteks temporal sehingga fluktuasi pasokan air irigasi di setiap wilayah berbanding lurus pula dengan fluktuasi total volume air irigasi untuk seluruh sistem. Selain itu, dalam alokasi air irigasi harus ada sejumlah volume air yang dicadangkan untuk mengatasi insiden kekekeringan yang mungkin dialami di wilayah-wilayah tertentu. Jadi, kecenderungan untuk bersikap konservatif juga diperlukan mengingat dampak kerugian yang timbul akibat kekeringan dianggap lebih besar daripada potensi kerugian akibat adanya sejumlah kuantitas air irigasi yang tak termanfaatkan. Pada sistem irigasi teknis di DAS Brantas, alokasi spatial melalui sistem jatah tersebut telah berlangsung sejak sistem irigasi tersebut beroperasi. Prosedur teknis tentang tatacara pembagian air dalam operasi dan pemeliharaan irigasi dapat disimak pada Lampiran 1. Alokasi
spatial
dengan
mekanisme
penjatahan
tersebut
di
atas
menggunakan pendekatan pengelolaan pasokan (supply management - SM). Dalam kondisi air irigasi langka, upaya peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi lebih sesuai jika didekati melalui pengelolaan permintaan (demand management – DM) (Winpenny, 1994; Rosegrant et al, 2002). Berbeda dengan pendekatan SM dimana penyediaan air irigasi untuk suatu wilayah ditentukan oleh pihak pemasok, pada pendekatan DM pasokan air irigasi untuk suatu wilayah tergantung pada permintaan atau kebutuhan petani. Dengan demikian peran aktif petani lebih besar pada pendekatan DM. Selama ini petani sudah sangat terbiasa dengan pendekatan SM sehingga perubahan pendekatan dari SM ke DM membutuhkan proses adaptasi, baik di pihak pemasok maupun pengguna air irigasi (petani). Secara teoritis, petani lebih mudah beradaptasi terhadap perubahan yang sifatnya gradual daripada perubahan yang terjadi secara total dalam waktu singkat. Berdasarkan justifikasi demikian itu, model yang dikembangkan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan transisi dari SM ke DM
yang dalam penelitian ini diistilahkan DM yang
61 dimodifikasi (modified demand management – MDM). Perbedaan antara ketiga jenis pendekatan tersebut adalah sebagai berikut (Tabel 1). Tabel 1. Perbedaan antara pendekatan SM, DM, dan MDM Faktor pembeda
SM
DM
MDM
Alokasi air (termasuk distribusi antar wilayah)
Ditentukan pemasok
Tergantung permintaan
Kombinasi dari pendekatan SM dan DM.
Pemegang inisiatif utama
Pemasok
Pengguna air irigasi
Kedua belah pihak, sesuai situasi dan kondisi
Tingkat kesulitan untuk memenuhi azas pemerataan
Rendah
Tinggi
Sedang
Kesesuaiannya untuk mendorong efisiensi
Rendah
Tinggi
Sedang
Tingkat kesulitan dalam implementasi
Lebih rendah
Lebih tinggi
Sedang
Sebagai salah satu bentuk pendekatan transisi, alokasi spatial air irigasi melalui MDM perlu mengkombinasikan pendekatan SM dan DM. Salah satu prinsip yang diadopsi dari pendekatan SM adalah bahwa dalam alokasi air irigasi, setiap wilayah yang tercakup dalam areal layanan irigasi (command area) berhak atas pasokan air irigasi sesuai dengan kebutuhan minimalnya. Oleh karena itu, volume air irigasi yang dialokasikan ke setiap wilayah terdiri dari dua komponen yaitu: (1) untuk memenuhi kebutuhan minimal, dan (2) untuk memenuhi permintaan dimana alokasinya mengarah pada produktivitas yang lebih tinggi. Misalkan air yang terdapat di Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan Sub DAS Hilir masing-masing adalah W1 , W2 , dan W3 ; sedangkan w1min , w2min , dan w3min melambangkan kebutuhan minimum di masing-masing Sub DAS tersebut.
Selanjutnya, misalkan air irigasi yang dialokasikan dari Hulu ke Tengah adalah T1 (dengan efisiensi penyaluran c1 ), sedangkan yang dialokasikan dari Tengah ke Hilir adalah T2 (dengan efisiensi penyaluran c2 ). Maka pasokan air irigasi (endogen) untuk wilayah irigasi di Sub DAS Hulu ( W1* ), Sub DAS Tengah ( W2* ), dan Sub DAS Hilir ( W3* ) dengan pendekatan MDM dapat diekspresikan sebagai berikut (Gambar 6).
62
W 1* W 1 T1 dimana: W1* w1min
Hulu
W 2* W 2 c1 T1 T2 dimana: W2* w2min
Tengah
W3* W3 c 2 T2 dimana: W3* w3min
Hilir
Keterangan: : Reservoir (waduk, bendungan, dll.) : Saluran primer : Saluran sekunder
: Saluran tertier : Saluran pembuang : Blok (petak) tertier
Gambar 6. Skema sederhana distribusi spatial air irigasi dengan pendekatan MDM
63 Data ketersediaan air irigasi di level tertier masing-masing Sub DAS diperoleh dari nilai rata-rata debit air irigasi pada petak-petak terier contoh. Untuk memperoleh tingkat ketersediaan air irigasi di level usahatani, angka-angka tersebut dikalikan dengan tingkat efisiensi irigasi di level usahatani (on-farm use efficiency – FUEF). Rata-rata FUEF di Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan Sub DAS Hilir (SAPS, 1982) masing-masing adalah 0.75, 0.70, dan 0.65. Dalam penelitian ini, kebutuhan minimum untuk masing-masing Sub DAS diasumsikan setara dengan rata-rata debit air irigasi pada petak-petak tertier yang terjadi pada tahun-tahun kering dari data deret waktu sepuluh tahun (1989 – 1999) dan untuk Sub DAS Tengah dan Hilir diasumsikan mengandalkan sebagian besar pasokan air irigasi dari sumber setempat. Data ini dikumpulkan dari Seksi Cabang Pengairan dimana petak-petak terteir contoh berada dan dilengkapi dengan informasi dari Juru Pengairan di petak-petak tertier yang bersangkutan.
3.4.3. Distribusi Temporal Air Irigasi dan Implikasinya Nilai ekonomi sumberdaya ditentukan oleh tingkat kelangkaannya. Semakin langka semakin tinggi nilai ekonominya. Konsep kelangkaan adalah relatif terhadap kebutuhan. Oleh karena itu jika sumberdaya yang tersedia lebih banyak dari yang dibutuhkan maka didefiniskan sebagai tidak langka dan karenanya nilai ekonominya nol. Air yang tersedia untuk usahatani terutama berasal dari dua sumber yaitu air hujan dan air irigasi. Pada sistem irigasi permukaan, pasokan air yang berasal dari irigasi juga dipengaruhi oleh curah hujan. Pada musim hujan, total pasokan air yang tersedia untuk tanaman sangat berlebih karena: (1) pasokan air dari curah hujan yang jatuh di lahan petani sangat banyak, (2) pasokan air dari irigasi meningkat. Sebaliknya pada musim kemarau curah hujan sangat sedikit, bahkan pada bulan-bulan tertentu tidak ada. Pada musim ini pasokan air irigasi juga menurun. Dengan demikian, total air yang tersedia untuk tanaman menjadi sangat terbatas. Secara hipotetis pola sebaran temporal ketersediaan air untuk pertanian dan implikasinya terhadap nilai ekonomi air irigasi dapat diilustrasikan pada Gambar 7.
64 Kuantitas Air Total (irigasi + curah hujan) Curah hujan Pasokan air irigasi Kebutuhan air irigasi
Okt
Nov
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Nilai ekonomi air irigasi
0
Musim Hujan
Musim Kemarau
3
Rp. / m
SMK SMH PwMK
E MK
EMH
PwMH
DAI Qw MK
Qw MH
Qair irigasi (m3)
Gambar 7. Implikasi pola distribusi temporal kebutuhan dan pasokan air irigasi terhadap harga bayangannya Lazimnya jika curah hujan berlangsung normal, musim penghujan terjadi pada Bulan Oktober – Maret, sedangkan musim Kemarau pada Bulan April – September. Dengan pola sebaran temporal seperti itu, air yang tersedia di lahan pesawahan pada Bulan November – Maret lebih tinggi dari kebutuhan, sedangkan
65 pada Bulan April – akhir September air yang dibutuhkan lebih banyak daripada yang tersedia. Oleh karena itu pada bulan November – Maret harga bayangan air irigasi sangat rendah sedangkan pada April – September cukup tinggi. Harga bayangan air irigasi semakin meningkat seiring dengan kelangkaannya dan diperkirakan puncaknya terjadi pada Bulan Agustus atau September. Jika disederhanakan maka penawaran air irigasi pada musim hujan dan musim kemarau dapat diilustrasikan sebagaimana gambar terbawah. Misalkan SMH dan SMK masing-masing menggambarkan penawaran air irigasi pada musim hujan dan musim kemarau. Selanjutnya jika diasumsikan bahwa bentuk fungsi permintaan air irigasi serupa dengan masukan usahatani lainnya sehingga elastisitasnya negatif, maka bentuk sederhana grafik fungsi permintaannya adalah DAI. Dengan asumsi pasar air irigasi berlaku, maka keseimbangan pada musim hujan terjadi pada EMH dimana jumlah yang diminta adalah QWMH dengan harga PwMH. Pada musim kemarau, keseimbangan terjadi pada EMK dimana jumlah yang diminta adalah QWMK , sedangkan harganya adalah PwMK. Pelajaran terpenting yang dapat ditarik dari pembahasan di atas adalah bahwa dalam membangun model yang akan digunakan untuk melakukan valuasi air irigasi pola maka sebaran temporal harus diperhitungkan dengan baik. Secara umum dapat dinyatakan bahwa model yang dikembangkan semakin mendekati fenomena empiris apabila distribusi temporal kebutuhan dan ketersediaan air irigasi dapat didisagregasikan sampai pada tingkat yang sangat rinci. 3.5. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prospek Penerapan Iuran Irigasi Berbasis Komoditas Secara implisit istilah "prospek" berarti "kemungkinan yang (diharapkan atau diperkirakan) akan terjadi.
Istilah "kemungkinan" itu sendiri memiliki
asosiasi sangat kuat dengan "probabilitas atau peluang". Jadi analisis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi prospek penerapan iuran irigasi berbasis komoditas dapat didekati dengan cara tidak langsung melalui analisis faktor-faktor yang menentukan probabilitas dari sejumlah alternatif yang merupakan komponen pokok sistem iuran irigasi berbasis komoditas tersebut.
66 Prospek penerapan iuran irigasi berbasis komoditas seharusnya tercermin dari keberhasilan mendorong perubahan pola tanam dan partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi sedemikian rupa sehingga mengarah pada sosok normatif. Jika dibandingkan dengan kondisi aktual, sosok normatif dicirikan oleh dua karakteristik utama yaitu: 1.
Pola tanam lebih berdiversifikasi
2.
Total nilai iuran irigasi menjadi lebih tinggi dan semakin tinggi jika sebagian besar luas garapan usahatani pada musim kemarau adalah padi. Dengan demikian prospek penerapan semakin besar jika probabilitas
petani untuk berdiversifikasi lebih tinggi dan partisipasi membayar iuran irigasi lebih baik. Informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi peluang tersebut sangat dibutuhkan dalam merancang strategi penerapan. Oleh karena itu perlu dikaji berdasarkan data empiris. 3.5.1. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pilihan Pola Tanam Konsep pola tanam mengacu pada komposisi komoditas pertanian yang diusahakan dalam satu tahun kalender pertanian. Oleh karena itu secara garis besar ada 3 unsur yang tercakup dalam pengertian pola tanam yaitu: (1) jumlah jenis (diversitas), (2) skala pengusahaan masing-masing jenis, dan (3) waktu pengusahaan. Secara garis besar pola tanam dapat dipilah menjadi dua kategori yaitu: (1) monokultur, yang maknanya adalah bahwa dalam horizon waktu acuan (lazimnya satu tahun) mengusahakan satu jenis komoditas, dan (2) diversifikasi yakni dalam horizon waktu acuan mengusahakan lebih dari satu jenis komoditas. Mengacu pada dimensi yang tercakup dalam konsep pola tanam, maka konsep diversifikasi mencakup dimensi kualitatif dan kuantitatif. Dimensi kualitatif mengacu pada jenis atau kelompok jenis komoditas yang diusahakan, sedangkan dimensi kuantitatif mengacu pada komposisi skala pengusahaan. Secara kualitatif, diversifikasi dapat dipilah menjadi dua berdasarkan kategori komoditas yang diusahakan yaitu: (1) diversifikasi dengan mengusahakan komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi, dan (2) komoditas pertanian yang tidak bernilai ekonomi tinggi. Secara kuantitatif, komposisi skala pengusahaan
67 ditentukan oleh jumlah jenis dan pangsa masing-masing jenis tersebut terhadap keseluruhan komoditas yang tercakup dalam unit waktu acuan. Terdapat beberapa metode yang dapat dipakai untuk memperoleh ukuran kuantitatif yang merefleksikan diversifikasi misalnya Indeks Entrophy, Indeks Herfindahl, Indeks proporsi maksimum, Indeks Simpson, dan sebagainya (Pandey and Sharma, 1996; Chand, 1996; Joshi et al, 2004). Dalam penelitian ini digunakan Indeks Entrophy yang formulanya adalah (Theil and Finke, 1983): n
E pi ln pi i 1
dimana:
E = indeks Entropy pi = luas pengusahaan komoditas jenis i terhadap total luas pengusahaan dalam kurun waktu tertentu (dalam penelitian ini adalah satu tahun) n = jumlah jenis komoditas yang diusahakan. Nilai E dapat digunakan untuk memenuhi dua macam tujuan. Pertama, untuk mengetahui deskripsi tentang tingkat diversifikasi (rata-rata, sebaran). Kedua, sebagai landasan untuk menentukan cara pemilahan. Jika sebarannya relatif homogen maka pemilahan menurut dimensi kualitatif adalah lebih bermakna daripada pemilahan dari menurut dimensi kuantitatif. Sebaliknya jika sebaran tingkat diversitas menurut dimensi kuantitatif menunjukkan sangat heterogen, pemilahan perlu mengkombinasikan dimensi kualitatif dan kuantitatif. Dalam dimensi kualitatif, secara garis besar ada tiga alternatif pilihan pola tanam yang lazim diterapkan petani : 1. Tidak berdiversifikasi (monokultur padi), 2. Berdiversifikasi dengan mengusahakan (kelompok) komoditas pertanian yang tidak bernilai ekonomi tinggi 3. Berdiversifikasi dengan mengusahakan (kelompok) komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi Secara teoritis, jika acuan yang digunakan adalah potensinya untuk menghasilkan keuntungan maka alternatif (3) dapat dikatakan lebih tinggi daripada alternatif (2) karena alternatif (3) lebih besar peluangnya untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar. Akan tetapi alternatif (2) tidak selalu lebih tinggi nilainya daripada alternatif (1) karena tidak ada jaminan bahwa
68 keuntungan yang dapat diperoleh dari alternatif (2) lebih tinggi daripada alternatif (1). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa antar ketiga kategori tersebut tidak ada jenjang yang konsisten; artinya tidak bersifat berjenjang. Model yang lazim diterapkan untuk mengestimasi probabilitas pilihan terhadap sejumlah alternatif tak berjenjang dimana jumlah alternatif yang dipilih lebih dari dua adalah model multinomial logistic (mlogit) atau multinomial probit (mprobit). Atas dasar pertimbangan itu, dalam penelitian ini yang diaplikasikan adalah mlogit. Model ini dikenal pula dengan istilah polytomous logistic regression. Sebagaimana dinyatakan dalam Greene (2003) dan Long and Freese (2003), model umum mlogit adalah sebagai berikut. Misalkan ada tiga kategori (1, 2, 3) yang dijadikan pilihan (outcomes), dan misalkan basis outcome adalah alternatif 1. Probabilitas bahwa respon untuk individu ke-j sama dengan outcome ke-i adalah:
1 k 1 exp(x j m ) m2 pij Pr(y j i) exp(x j i ) k 1 exp(x j m ) m2
, jika i 1
, jika i 1
dimana: xj
= vektor baris variabel-variabel bebas individu ke-j
m
= vektor koefisien untuk outcome m.
Log pseudolikelihood adalah: k
ln L w j I i ( y j ) ln pik j
i 1
dimana wj adalah suatu pembobot opsional, dan
1, jika y j i Ii ( y j ) 0, jika lainnya Estimasi parameter yang digunakan dalam model mlogit adalah maximum likelihood. Sebagaimana disebutkan di atas, dalam penelitian ini ada tiga alternatif
69 yang ingin diketahui probabilitasnya dan faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan terhadap masing-masing kategori tersebut. Misalkan (1), (2), dan (3) masing-masing menunjukkan himpunan koefisien parameter untuk alternatif 1, 2, dan 3 maka probabilitas untuk memilih masing-masing alternatif tersebut adalah: (1)
e xβ
Pr( y 1)
(1)
(2)
(3)
e xβ e xβ e xβ (2)
Pr( y 2)
exβ (1)
(2)
(3)
exβ exβ e xβ (3)
Pr( y 3)
e xβ (1)
(2)
(3)
e xβ e xβ e xβ
Agar dapat dihitung maka salah satu harus dijadikan basis. Misalkan alternatif 1 dijadikan basis outcome maka (1) = 0, sehingga probabilitas masingmasing adalah:
1
Pr( y 1)
(2)
(3)
1 exβ e xβ (2)
e xβ
Pr( y 2)
(2)
(3)
1 exβ exβ (3)
exβ
Pr(y 3)
(2)
(3)
1 exβ exβ
Probabilitas relatif y = 2 terhadap basis adalah:
Pr( y 2) x β(2) e Pr( y 1) Probabilitas relatif tersebut dapat pula disebut sebagai rasio risiko relatif. Selanjutnya, jika vektor X = (x1, x2, … , xk) dan vektor k( 2) ( 1( 2 ) , 2( 2) ,, k( 2) ) , maka rasio risiko relatif untuk suatu perubahan satu unit dalam xi adalah: ( 2)
e
( 2)
(2)
(1) x1 ( i ) ( xi 1) ( k ) x k (2)
e
( 2)
( 2)
(1) x1 (i ) xi ( k ) x k
( 2)
e
(i )
Jadi risiko memilih alternatif 2 daripada laternatif 1 dari suatu perubahan satu unit variabel tertentu adalah sama dengan nilai eksponensial koefisien tersebut.
70 3.5.2. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Petani Dalam Membayar Iuran Irigasi Salah satu ukuran yang merefleksikan partisipasi petani dalam pembayaran iuran irigasi adalah kepatuhannya terhadap ketentuan sistem pembayaran yang telah disepakati oleh komunitas petani pemakai air irigasi (P3A). Secara garis besar biaya irigasi yang dikeluarkan petani dapat dipilah menjadi 2 kategori: 1.
Biaya irigasi yang dilembagakan yang umumnya terdiri dari Iuran Pelayanan Irigasi (IPAIR) dan Iuran P3A (di Jawa Timur disebut Iuran HIPPA). Secara umum jumlah IPAIR lebih kecil daripada Iuran HIPPA.
2.
Biaya irigasi yang tidak dilembagakan dan bersifat insidentil. Tercakup dalam kategori ini adalah biaya yang dikeluarkan untuk membayar (menyuap) petugas pembagian air di lapangan agar memperoleh kemudahan pelayanan air irigasi, biaya yang dikeluarkan untuk irigasi pompa. Secara teoritis hampir semua petani menanggung biaya irigasi yang
termasuk kategori (1) dan hanya sebagian kecil yang mengeluarkan biaya irigasi untuk kategori (2). Selain itu, rata-rata biaya irigasi yang harus dikeluarkan petani untuk kategori (1) juga lebih besar daripada kategori (2). Oleh karena itu, evaluasi harus lebih difokuskan pada biaya irigasi yang dilembagakan (kategori 1). Dalam konteks ini, terdapat 4 (empat) alternatif bentuk partisipasi petani yaitu: 1.
Tidak membayar IPAIR maupun Iuran HIPPA.
2.
Membayar IPAIR tetapi tidak membayar Iuran HIPPA.
3.
Membayar Iuran HIPPA tetapi tidak membayar IPAIR.
4.
Membayar IPAIR dan Iuran HIPPA. Ditinjau dari sudut pandang kuantitas, total jumlah iuran irigasi alternatif 3
adalah lebih besar dari alternatif 2. Dengan demikian keempat alternatif ini dapat dikatakan bersifat berjenjang (naturaly ordered) karena jumlah pembayaran untuk alternatif 4 > 3 > 2 > 1. Oleh karena hubungan antar alternatif bersifat berjenjang maka estimasi probabilitas petani dalam memilih alternatif tersebut lebih tepat didekati dengan model ordered logistic (ologit). Model ordered logistic (ologit) digunakan untuk mengestimasi hubungan antara suatu variabel tak bebas ordinal dan suatu himpunan variabel tak bebas.
71 Berbeda dengan mlogit, dalam ologit urutan angka ordinal
(skor) tertentu
merepresentasikan peringkat dari masing-masing kategori (dalam ologit, istilah lazim untuk 'alternatif' adalah 'kategori'). Kategori yang diasumsikan memiliki peringkat yang lebih tinggi dipresentasikan dengan skor yang lebih besar. Dalam ologit, makna suatu skor diduga sebagai suatu fungsi linier variabel-variabel tak bebas dan suatu himpunan dari titik-titik potong (cutpoints). Probabilitas pilihan terhadap kategori i: Pr(outcome j = i) = Pr(i-1 < 1x1j + 2x2j + … + k xkj + u j i ) diasumsikan terdistribusikan secara logistik dalam logit berjenjang, dimana:
i = koefisien parameter, i = 1, … k i = titik potong ke-i, i = 1, …k xij = variabel-variabel tak bebas kategori-i pengamatan-j k = jumlah kategori Sebagaimana dijelaskan di muka, dalam ologit maka kategori i = 1 didefinisikan sebagai nilai (jenjang) terendah, i = 2 sebagai jenjang berikutnya, dan seterusnya. Probabilitas suatu individu-j untuk memilih kategori-i adalah:
pij Pr( y j i ) Pr i 1 x j β u i
1 1 1 exp( i x j β) 1 exp( i1 x j β)
dimana 0 didefinisikan sangat kecil (- ) dan k sangat besar (+ ) Log likelihood-nya adalah:
N
k
j 1
i 1
ln L w j I i ( yi ) ln pij
dimana wj adalah suatu pembobot opsional, dan 1, jika y j i Ii ( y j ) 0, jika lainnya
3.5.3. Identifikasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Petani Untuk Berdiversifikasi dan Membayar Iuran Irigasi Jika partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi yang telah berlaku adalah sangat baik maka strategi penerapan iuran irigasi berbasis komoditas dapat difokuskan pada upaya mendorong penerapan diversifikasi usahatani. Hasil
72 analisis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi peluang petani untuk memilih suatu kategori pola tanam (sebagaimana dimaksud pada 3.5.1) dapat dimanfaatkan untuk keperluan tersebut. Sebaliknya, jika secara empiris sebagian besar petani telah menerapkan diversifikasi maka yang lebih diperlukan adalah upaya untuk mendorong partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi. Untuk itu, perumusan strategi penerapan dapat memanfaatkan hasil analisis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi sebagaimana yang dimaksud pada 3.5.2 di atas. Jika secara empiris partisipasi petani untuk membayar iuran irigasi maupun berdiversifikasi relatif rendah, maka perumusan strategi penerapan iuran irigasi berbasis komoditas membutuhkan hasil identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi peluang petani untuk berdiversifikasi maupun membayar iuran irigasi secara terintegrasi. Dalam konteks ini, pemilihan untuk menentukan kategori pilihan dapat dilakukan dengan mengkombinasikan kedua aspek tersebut. Iuran irigasi berbasis komoditas dapat dikatakan efektif untuk mendorong peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi jika penerapan sistem iuran tersebut berhasil meningkatkan partisipasi petani dalam menerapkan pola tanam yang lebih berdiversifikasi pada komoditas pertanian yang hemat air. Dengan asumsi bahwa petani rasional maka pola tanam cenderung mengarah pada diversifikasi, utamanya pada jenis-jenis komoditas hemat air agar ekspektasinya memperoleh keuntungan bersih yang lebih tinggi tercapai. Secara umum jika pola tanam diversifikasi diperlakukan sebagai pola tanam yang superior (lebih diinginkan) sedangkan monokultur pada komoditas tidak hemat air (padi) diperlakukan inferior maka kategori-kategori tersebut sifatnya dapat dikatakan berjenjang. Di sisi lain, sebagaimana telah dibahas di atas himpunan kategori dalam konteks pembayaran iuran irigasi adalah bersifat berjenjang. Implikasinya, himpunan kategori yang disusun dengan mengkombinasikan pilihan pola tanam dan pilihan dalam membayar iuran irigasi dapat dipandang sebagai kategori-kategori yang sifatnya berjenjang. Sebagaimana telah dibahas di atas (Sub Bab 3.5.2), untuk mengestimasi probabilitas individu untuk memilih suatu kategori dalam himpunan kategori yang sifatnya berjenjang dapat didekati dengan model ologit.