III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1.
Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis terdiri dari dua hal. Pertama, kebijakan
pemerintah terhadap output dan input. Kedua, konsep keunggulan komparatif dan kompetitif dalam hubungannya dengan perdagangan. 3.1.1. Kebijakan Pemerintah Intervensi pemerintah terhadap suatu komoditas antara lain berupa kebijakan harga dan kebijakan perdagangan. Kebijakan tersebut menimbulkan perbedaan harga pada input dan output pada kondisi finansial dan ekonomi. Pengaruh kebijakan pemerintah terhadap komoditas digambarkan pada Tabel 8. Tabel 8. Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditas Instrumen
Dampak terhadap produsen
Dampak terhadap konsumen
Kebijakan subsidi: a. Tidak mengubah harga pasar domestik b. Mengubah harga pasar domestik
Subsidi kepada produsen a. Pada barang impor (S+PI; S-PI) b. Pada barang ekspor (S+PE; S-PE)
Subsidi kepada konsumen a. Pada barang impor (S+CI; S-CI) pasar domestik b. Pada barang ekspor (S+CE; S-CE) pasar domestik
Kebijakan perdagangan (semua mengubah harga pasar domestik)
Hambatan pada barang-barang impor (TPI)
Hambatan pada barang-barang ekspor (TCE) mengubah harga domestik
Keterangan: S : Kebijakan Subsidi T : Kebijakan Perdagangan PE : Produsen Barang Orientasi Ekspor PI : Produsen Barang Substitusi Impor CE : Konsumen Barang Orientasi Ekspor CI : Konsumen Barang Substitusi Impor TCE : Hambatan Barang Ekspor TPI : Hambatan Barang Impor
Sumber : Monke dan Pearson (1989) Berdasarkan Tabel 8, kebijakan harga dapat dibedakan dalam tiga kriteria yaitu tipe instrumen, penerimaan atau keuntungan yang diperoleh (produsen dan konsumen), dan tipe komoditas (impor atau ekspor). Pelaksanaan dari kebijakan tersebut dapat memengaruhi kemampuan suatu negara untuk memanfaatkan peluang ekspor suatu komoditas. 22
1) Tipe Instrumen Dibedakan pengertian antara subsidi dan kebijakan perdagangan dalam tipe instrumen ini. Menurut Salvatore (1997), subsidi adalah pembayaran dari atau untuk pemerintah. Pajak atau subsidi negatif merupakan pembayaran kepada pemerintah, sedangkan pembayaran dari pemerintah disebut subsidi positif. Efek dan tujuan subsidi yaitu menciptakan harga domestik yang berbeda dengan harga dunia, kadang-kadang kebijakan menciptakan harga domestik yang terpisah antara konsumen dan produsen. Kebijakan perdagangan adalah suatu pembatasan terhadap barang impor atau ekspor (Monke dan Pearson, 1989). Pembatasan dapat berupa pajak perdagangan atau pun kuota perdagangan. Tujuannya yaitu untuk mengurangi jumlah perdagangan internasional dan untuk menciptakan perbedaan harga di pasar internasional dengan harga domestik. Kebijakan ekspor bertujuan untuk melindungi konsumen dalam negeri karena harga domestik yang lebih rendah dibandingkan harga dunia. Kebijakan impor dilakukan untuk melindungi produsen karena harga di pasar dunia lebih murah dibandingkan harga domestik. Pada subsidi terdapat delapan tipe yaitu S+PI, S-PI, S+PE, S-PE, S+CI, SCI, S+CE, dan S-CE, sedangkan pada kebijakan perdagangan hanya ada dua tipe dasar yaitu TPI dan TPE. Subsidi positif yang diterapkan kepada produsen maupun konsumen akan membuat harga yang diterima produsen menjadi lebih tinggi dan pada konsumen menjadi lebih rendah. Kondisi ini lebih baik dibandingkan saat sebelum adanya kebijakan subsidi positif. Subsidi negatif akan mengakibatkan harga yang diterima produsen menjadi lebih rendah dan pada
23
konsumen menjadi lebih tinggi. Kondisi ini lebih buruk dibandingkan saat sebelum adanya kebijakan subsidi negatif. 2) Kelompok Penerimaan Klasifikasi kelompok penerimaan adalah kebijakan yang dikenakan pada produsen dan konsumen. Subsidi atau kebijakan perdagangan mengakibatkan terjadinya transfer di antara produsen, konsumen, dan pemerintah. Anggaran pemerintah tidak dibayarkan seluruhnya untuk transfer, hal ini mengakibatkan produsen mengalami keuntungan dan konsumen mengalami kerugian. Akan tetapi, dengan adanya transfer yang diikuti efisiensi ekonomi yang hilang akan menyebabkan keuntungan yang diperoleh lebih kecil dari kerugian yang diterima. 3) Tipe Komoditas Klasifikasi ini bertujuan untuk membedakan harga barang impor dan ekspor. Jika tidak ada kebijakan ini, maka harga domestik sama dengan harga dunia, dimana untuk ekspor digunakan harga fob (free on board) dan untuk impor digunakan harga cif (cost freight and insurance). Adanya kebijakan komoditas menyebabkan harga domestik berbeda dengan harga fob dan cif. 3.1.1.1. Kebijakan Pemerintah terhadap Output Kebijakan yang ditetapkan pada output dapat berupa kebijakan subsidi (subsidi positif dan negatif) dan kebijakan hambatan perdagangan. Kebijakan subsidi produsen barang sustitusi impor (S+PI) akan menguntungkan bagi produsen lokal barang substitusi impor karena dengan adanya kebijakan subsidi bagi produsen barang substitusi impor, penerimaan produsen lokal akan meningkat. Kebijakan subsidi konsumen barang substitusi impor (S+CI) akan
24
menguntungkan konsumen barang substitusi impor. Kebijakan subsidi positif baik pada barang ekspor maupun impor ditunjukkan pada Gambar 1. Gambar 1 hanya untuk dampak subsidi positif, sedangkan untuk subsidi negatif adalah kebalikannya. Gambar (a) menunjukkan subsidi positif untuk produsen pada barang impor di mana harga yang diterima produsen lebih tinggi dari harga dunia. Hal ini mengakibatkan output produksi dalam negeri meningkat dari Q1 ke Q2 sedangkan konsumsi tetap di Q3. Subsidi ini mengakibatkan jumlah impor turun dari Q3 - Q1 menjadi Q3 - Q2. Tingkat subsidi peroutput sebesar (Pd Pw) pada output Q2, maka transfer total dari pemerintah ke produsen sebesar Q2 (Pd - Pw) atau PdABPw. Pembiayaan ini akan menghilangkan efisiensi ekonomi karena pemerintah memilih untuk tidak mengalokasikan sumberdaya pada harga dunia (Pw). Subsidi mengakibatkan barang yang sebelumnya diimpor menjadi diproduksi sendiri dengan biaya yang dikorbankan Q1CAQ2, sedangkan opportunity cost jika barang tersebut dimpor adalah sebesar Q1CBQ2 sehingga efisiensi yang hilang sebesar CAB. Gambar (c) menunjukkan subsidi positif pada konsumen untuk output yang diimpor. Kebijakan subsidi sebesar Pw - Pd mengakibatkan produksi turun dari Q1 ke Q2 dan konsumsi naik dari Q3 ke Q4 sehingga impor meningkat dari Q3 - Q1 menjadi Q4 - Q2. Transfer yang terjadi terdiri dari dua bagian yaitu transfer dari pemerintah ke konsumen sebesar ADEB dan transfer dari produsen kepada konsumen sebesar PwABPd. Dengan demikian kehilangan efisiensi ekonomi terjadi baik pada produksi maupun konsumsi. Di sisi produksi turunnya output dari Q1 ke Q2 mengakibatkan terjadinya kehilangan pendapatan sebesar Pw (Q1 Q2) atau Q2ACQ1. Dengan berkurangnya output, input dapat dihemat sebesar
25
Q2BCQ1 sehingga efisiensi ekonomi yang hilang sebesar ACB. Dilihat pada sisi konsumsi, opportunity cost dari peningkatan konsumsi adalah Pw (Q4 - Q3) atau Q3FDQ4, sedangkan kemampuan membayar konsumen sebesar Q3FEQ4 sehingga efisiensi yang hilang sebesar FDE.
P
P
S
S E
Pd
F
D
Pw
B C
A
A
Pd Pw
B
C
D
Q1
D Q
Q2
Q2
Q3
(a) S+ PI
Q1
Q3
Q
Q4
(b) S+ PE P
P
S
S B
Pw Pd Pw Pd
A
C
F
C
A
D
B
E D
D Q2 Q1
Q3
Q4
Q
(c) S+ CI
Q Q1
Q2
(d) S+ CE
Keterangan: Pw : Harga di pasar dunia Pd : Harga domestik S+ PI : Subsidi kepada produsen untuk barang impor S+ PE : Subsidi kepada produsen untuk barang ekspor S+ CI : Subsidi kepada konsumen untuk barang impor S+ CE : Subsidi kepada konsumen untuk barang ekspor Sumber : Monke dan Pearson (1989)
Gambar 1. Dampak Subsidi Positif terhadap Konsumen dan Produsen pada Barang Ekspor dan Impor
26
P
P
A S
A
S B
Pw Pd Pd Pw
F
D
A
E
B
Q2
Q3
F
E
G
H
J C D
Q1
C
D
Q4
K
D Q1 Q2
(a) TPI
Q3
Q4
Q
(b) TCE
Keterangan: TPI : Hambatan perdagangan pada produsen untuk barang impor TCE : Hambatan perdagangan pada konsumen untuk barang impor Sumber : Monke dan Pearson (1989)
Gambar 2. Restriksi Perdagangan pada Barang Impor Selain kebijakan subsidi pada output, pemerintah juga memberlakukan kebijakan restriksi (hambatan) perdagangan pada barang-barang impor. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar (a) menunjukkan adanya hambatan tarif pada barang impor di mana terdapat tarif sebesar Pd - Pw sehingga menaikkan harga di dalam negeri baik untuk produsen maupun konsumen. Output domestik meningkat dari Q1 ke Q2 dan konsumsi turun dari Q4 ke Q3. Dengan demikian impor turun dari Q4 - Q1 menjadi Q3 - Q2. Terdapat transfer penerimaan dari konsumen sebesar PdABPw yaitu kepada produsen sebesar PdDEPw dan kepada pemerintah sebesar EDAB. Efisiensi ekonomi yang hilang dari konsumen adalah perbedaan antara opportunity cost konsumen dalam mengubah konsumsi sebesar Q4BCQ3 dengan kemampuan membayar yang sama Q3ACQ4 sehingga didapatkan efisiensi ekonomi yang hilang pada konsumen sebesar ABC dan pada produsen sebesar DEF. 27
Gambar (b) menunjukkan pada situasi perdagangan bebas harga yang diterima oleh produsen output dan konsumen dalam negeri sama dengan harga dunia yaitu sebesar Pw. Dengan tingkat harga sebesar Pw, output yang dihasilkan produsen adalah sebesar Q4 dan konsumsi sebesar Q1, sehingga terjadi ekses suplai di dalam negeri sebesar segitiga BHJ. Terjadinya ekses suplai tersebut membuat output yang dihasilkan harus diekspor ke luar negeri yaitu sebesar Q4 - Q1. Besarnya surplus konsumen adalah ABPw, sedangkan surplus produsen sebesar PwHK. Adanya subsidi negatif pada produsen output (NPCO negatif), mengakibatkan perubahan harga dalam negeri yaitu harga yang diterima produsen dan konsumen (harga finansial) menjadi lebih rendah dari harga pasar dunia (Pd < Pw). Dengan tingkat harga sebesar ini, mengakibatkan konsumsi dalam negeri meningkat dari Q1 menjadi Q2, penurunan produksi dari Q4 menjadi Q3, penurunan ekspor dari Q4 – Q1 menjadi Q3 - Q2, terjadi perubahan surplus produsen yaitu sebesar PwHGPd, perubahan surplus konsumen sebesar PdEBPw, dan besarnya transfer output atau transfer pajak kepada pemerintah sebesar DFGE. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah sebesar BDE dan FGH yang merupakan kesempatan yang hilang dari produsen untuk memperoleh keuntungan dan juga tidak ditransfer baik kepada konsumen maupun pemerintah. 3.1.1.2. Kebijakan Pemerintah terhadap Input Kebijakan terhadap input dapat diterapkan pada input tradable dan input nontradable. Pada kedua input tersebut kebijakan dapat berupa subsidi positif maupun negatif, sedangkan kebijakan hambatan perdagangan tidak diterapkan pada input domestik (nontradable) karena input domestik hanya untuk komoditas
28
yang diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri. Kebijakan pemerintah terhadap input ditunjukkan pada Gambar 3. Berdasarkan Gambar 3, Gambar (a) menunjukkan efek pajak terhadap input tradable yang digunakan. Pajak pada input menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga pada tingkat harga output yang sama, output domestik turun dari Q1 ke Q2 dan kurva suplai (S) bergeser ke atas. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah ABC, yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang Q1CAQ2 dengan ongkos produksi Q2BCQ1. Gambar (b) menunjukkan dampak subsidi input mengakibatkan harga input dan biaya produksi lebih rendah sehingga kurva suplai (S) bergeser ke bawah dan produksi naik dari Q1 ke Q2. Adanya peningkatan
produksi
menyebabkan
terjadinya
peningkatan
penggunaan
sumberdaya yaitu sebesar Q1ACQ2 dan meningkatnya penerimaan menjadi sebesar Q1ABQ2. Efisiensi ekonomi yang hilang dari produksi adalah ABC yang merupakan pengaruh perbedaan antara biaya produksi setelah output meningkat dengan nilai dari output yang meningkat. Intervensi pemerintah berupa hambatan perdagangan pada input yang nontradable tidak tampak karena input nontradable hanya diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri. Intervensi pemerintah adalah subsidi positif dan subsidi negatif (pajak) yang dapat dijelaskan pada Gambar 4. Pada Gambar (a) adanya pajak (Pc - Pp) mengakibatkan produk yang dihasilkan turun menjadi Q2. Efisiensi ekonomi yang hilang dari produsen sebesar DBA dan dari konsumen sebesar BCA. Gambar (b) menunjukkan adanya subsidi mengakibatkan produk meningkat dari Q1 ke Q2, harga yang diterima produsen naik menjadi Pp dan harga yang diterima konsumen turun menjadi Pc. Kehilangan efisiensi dapat
29
dilihat dari perbandingan antara peningkatan nilai output dengan meningkatnya ongkos produksi dan meningkatnya keinginan konsumen untuk membayar. S’
P
P
S
S
S’
C C
A
Pw
A
Pw
B D
B Q Q2
Q Q1
Q1
(a) S- II
Q2
(b) S+ II
Keterangan: S- II : Pajak untuk input impor S+ II : Subsidi untuk input impor Sumber : Monke dan Pearson (1989)
Gambar 3. Subsidi dan Pajak pada Input
P
P
Pc
S
C B
Pd Pp
Pp
C A
A D
D
S
Pp’
Pd
B
Pc
D
D
O Q3
Q2
Q1
Q
(a) S- N
Q Q1
Q2
(b) S+ N
Keterangan: S- N : Pajak untuk barang nontradable S+ N : Subsidi untuk barang nontradable Sumber : Monke dan Pearson (1989)
Gambar 4. Dampak Subsidi dan Pajak terhadap Input Nontradable
30
3.1.2. Tinjauan Konseptual Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Terkait dengan konsep keunggulan komparatif yaitu kelayakan ekonomi, dan terkait dengan keunggulan kompetitif yaitu kelayakan finansial. Kelayakan finansial melihat manfaat proyek atau aktivitas ekonomi dari sudut lembaga atau individu yang terlibat dalam aktivitas tersebut. Kelayakan ekonomi menilai suatu aktivitas atas manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan (Kadariah et al., 1978). Secara umum komoditas pertanian memiliki keunggulan komparatif dan sekaligus keunggulan kompetitif, namun parameter keunggulan komparatif lebih rendah dibandingkan keunggulan kompetitifnya. Hal ini mengandung makna bahwa petani membayar harga input produksi lebih tinggi dari yang seharusnya dan atau menerima harga output lebih rendah dari yang seharusnya. Faktanya dewasa ini produk pertanian tetap mengalami kesulitan untuk dapat bersaing dan akses terhadap pasar internasional karena masalah kualitas, kontinuitas pasokan, tingginya kerusakan dalam pengangkutan, serta kondisi sosial politik dalam negeri yang belum kondusif (Saptana et al., 2001). 3.1.2.1.Keunggulan Komparatif Konsep keunggulan komparatif pertama kali dikemukakan oleh David Ricardo. Konsep tersebut dikenal dengan nama hukum keunggulan komparatif (the law of comparative advantage) atau Model Ricardian Ricardo. Menurut beliau, perdagangan internasional terjadi bila ada perbedaan keunggulan komparatif antar negara. Keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara mampu memproduksi barang dan jasa lebih banyak dengan biaya yang lebih murah daripada negara lainnya. Akan tetapi, sekalipun suatu negara mengalami kerugian atau ketidakunggulan absolut dalam memproduksi suatu komoditas jika
31
dibandingkan
dengan
negara
lain,
namun
perdagangan
yang
saling
menguntungkan masih dapat berlangsung. Negara yang kurang efisien akan berspesialisasi dalam produksi dan mengekspor komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif, sebaliknya negara tersebut akan mengimpor komoditas yang mempunyai kerugian komparatif (Salvatore, 1997). Teori keunggulan komparatif Ricardian Ricardo kemudian disempurnakan oleh Harberler (1936) yang mengemukakan konsep keunggulan komparatif berdasarkan Teori Biaya Imbangan (Opportunity Cost Theory). Harberler menyatakan bahwa biaya dari suatu komoditas adalah jumlah komoditas terbaik yang harus dikorbankan untuk memperoleh sumberdaya yang cukup untuk memproduksi satu unit tambahan komoditas pertama. Negara yang memiliki biaya opportunitas lebih rendah dalam memproduksi sebuah komoditas akan memiliki keunggulan komparatif dalam komoditas tersebut dan memiliki kerugian komparatif dalam komoditas kedua (Salvatore, 1997). Teori keunggulan yang lebih modern yaitu teori Heckschser dan Ohlin (1933). Menurut teori H-O, basis terjadinya perdagangan yaitu perbedaan di dalam pre trade relative commodity prices, yang dapat disebabkan oleh perbedaan dari faktor endowment, technology, ataupun tastes dari kedua negara yang bersangkutan. Akibat perbedaan tersebut, akan mendorong perbedaan atas biaya produksi dan atau harganya. Suatu negara akan mengadakan spesialisasi produksi yang mempunyai faktor produksi relatif melimpah yang berarti biayanya juga akan murah dan dalam waktu bersamaan negara tersebut akan mengimpor komoditas yang produksinya memerlukan sumberdaya yang relatif langka dan mahal di negara itu (Salvatore, 1997).
32
3.1.2.2. Keunggulan Kompetitif Keunggulan kompetitif pada awalnya dikembangkan oleh Porter pada tahun 1980 sebagai perluasan dari teori keunggulan komparatif dengan bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan perdagangan internasional. Menurut Porter (1991), keunggulan perdagangan antar negara di dalam perdagangan internasional secara spesifik untuk produk-produk tertentu sebenarnya tidak ada. Pada kenyataannya yang ada yaitu persaingan antar kelompok kecil industri di suatu negara dengan negara lainnya, bahkan antar kelompok industri yang ada dalam satu negara. Porter juga mengemukakan tentang tidak adanya korelasi langsung antara dua faktor produksi (sumber daya alam yang melimpah dan sumber daya manusia yang murah) yang dimiliki suatu negara, yang dimanfaatkan menjadi keunggulan daya saing dalam perdagangan internasional. Keunggulan kompetitif tidak bergantung pada kondisi alam suatu negara, namun lebih ditekankan pada produktivitasnya. Porter menyebutkan bahwa peran pemerintah sangat penting dalan peningkatan daya saing selain faktor produksi. Selain itu, menurut Porter, salah satu esensi dari keunggulan kompetitif adalah bagaimana menciptakan produk atau layanan serta seluruh proses yang menyertainya sedemikian sehingga sulit ditiru oleh pesaing. Untuk meraih keunggulan kompetitif di dalam lingkungan persaingan yang ketat, suatu perusahaan perlu mengadopsi strategi yang tepat. Ada dua jenis strategi yaitu diferensiasi dan produksi biaya rendah (low cost production).
33
3.1.3. Policy Analysis Matrix (Matriks Analisis Kebijakan) Policy Analysis Matrix merupakan suatu alat yang digunakan untuk menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem komoditas. Sistem komoditas yang dapat dipengaruhi meliputi empat aktivitas yaitu (Monke dan Pearson, 1989) : (1) tingkat usaha tani (farm production); (2) penyampaian dari usaha tani ke pengolah; (3) pengolahan; dan (4) pemasaran. Metode PAM membantu pengambil kebijakan baik di pusat maupun daerah untuk menelaah tiga isu sentral analisis kebijakan pertanian. Isu pertama berkaitan dengan apakah sebuah sistem usahatani memiliki dayasaing pada tingkat harga dan teknologi yang ada, yaitu apakah ada keuntungan pada tingkat harga aktual (dengan menghitung perbedaan antara harga privat antara sebelum ada kebijakan dengan sesudah ada kebijakan). Isu kedua yaitu dampak investasi publik (dalam bentuk pembangunan infrastruktur baru) terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani. Efisiensi dihitung berdasarkan tingkat keuntungan sosial. Isu ke tiga yaitu dampak investasi baru dalam bentuk riset atau teknologi pertanian terhadap tingkat efisiensi sistem usaha tani (Pearson et al., 2005). Tujuan utama dari metode PAM ada tiga, yaitu pertama memberikan informasi dan analisis untuk membantu pengambil kebijakan pertanian dalam ketiga isu di atas. Kedua, menghitung tingkat keuntungan sosial dari sebuah usahatani. Ketiga, menghitung efek transfer sebagai dampak dari sebuah kebijakan (dengan membandingkan biaya dan pendapatan). Input yang digunakan dalam proses produksi pada analisis PAM dapat dipisahkan menjadi tradable goods dan nontradable goods (faktor domestik). Barang tradable merupakan barang yang dapat diperdagangkan secara
34
internasional dimana produsen dalam negeri cukup efisien sehingga tidak ada hambatan perdagangan (peraturan/kebijakan), oleh karena itu harga fob memberikan rangsangan yang efektif untuk mengekspor. Barang nontradable merupakan barang yang tidak dapat diperdagangkan secara internasional (dapat dipenuhi oleh produksi setempat pada harga di bawah nilai cif-nya, sedangkan harga fob (yang selalu lebih rendah dari harga cif) terlalu rendah untuk merangsang ekspor). Hasil Analisis PAM dapat menunjukkan pengaruh individual maupun kolektif dari kebijakan harga dan kebijakan faktor domestik. PAM juga memberikan informasi dasar yang penting bagi Benefit-Cost Analysis untuk kegiatan investasi di bidang pertanian (Pearson et al., 2005). 3.1.4. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat apa yang terjadi terhadap hasil analisis proyek jika ada sesuatu kesalahan atau perubahan dalam dasar-dasar perhitungan biaya atau manfaat (Kadariah et al., 1978). Analisis sensitivitas merupakan suatu teknik analisis untuk menguji perubahan kelayakan suatu kegiatan ekonomi (proyek) secara sistematis jika terjadi kejadian-kejadian yang berbeda dengan perkiraan yang telah dibuat dalam perencanaan. Dalam proyek-proyek pertanian ada empat masalah utama yang perlu diperhatikan, yaitu: 1) Perubahan harga yang menyebabkan perubahan penerimaan. Umumnya harga produk pertanian berfluktuasi karena produksinya sesuai dengan musimnya. Perubahan harga menyebabkan perubahan terutama pada harga output (terutama pada proyek ukuran besar di mana harga relatif turun karena umur ekonomisnya panjang).
35
2) Keterlambatan pelaksanaan yang biasanya terjadi karena berbagai sebab, misalnya: a. Terlambat dalam pemesanan/penerimaan alat baru b. Masalah administrasi yang tidak terhindarkan c. Teknik bercocok tanam/budidaya baru (memerlukan adaptasi terhadap teknik baru tersebut) 3) Kenaikan biaya (cost overrun) yang sewaktu-waktu bisa terjadi dalam pelaksanaan suatu proyek. Kenaikan biaya misalnya kenaikan harga peralatan dan bahan bangunan. 4) Kesalahan dalam perkiraan hasil (produksi) dalam pelaksanaan proyek, misalnya karena penggunaan mesin yang memiliki kapasitas lebih besar, tenaga kerja lebih baik, dan serangan hama penyakit. Kelemahan analisis sensitivitas yaitu: 1) Analisis sensitivitas tidak digunakan untuk pemilihan proyek, karena merupakan analisis parsial yang hanya mengubah satu parameter pada suatu saat tertentu. 2) Analisis sensitivitas hanya mencatat apa yang akan terjadi jika variabel berubah-ubah dan bukan untuk menentukan layak atau tidaknya suatu proyek.
36
3.2.
Kerangka Pemikiran Operasional Kebijakan Pemerintah dan Faktor Eksternal : 1. Nilai UMR 2. Nilai Mata Uang (Rp) 3. Harga BBM 4. Lain-lain
Biaya dan Harga Faktor Produksi: 1. Tenaga Kerja 2. Pakan/lahan 3. Input lainnya
Usaha Pembenihan Ikan Patin Siam Deddy Fish Farm
Policy Analysis Matrix (PAM)
Analisis Sensitivitas
Dampak Kebijakan: 1. Transfer Output 2. Transfer Input 3. Transfer Faktor 4. Transfer Bersih 5. Koefisien Proteksi 6. Koefisien Keuntungan 7. Rasio Subsidi Produsen
Keunggulan Komparatif: 1. Keuntungan Ekonomi 2. Biaya Sumberdaya Domestik
Keunggulan Kompetitif: 1. Keuntungan Finansial 2. Rasio Biaya Finansial
Alternatif Kebijakan
Keterangan : : Hubungan Antar Variabel : Alat Analisis Sumber : Penulis (2009)
Gambar 5. Kerangka Pemikiran Sistem Komoditas Deddy Fish Farm Usaha pembenihan ikan dalam perkembangannya tidak terlepas dari kebijakan pemerintah dan faktor eksternal lainnya seperti naik turunnya harga BBM, nilai tukar, dan kebijakan lainnya. Kebijakan tersebut nantinya akan
37
menimbulkan perbedaan harga input dan output yang berpengaruh pada biaya produksi dan harga jual. Peningkatan biaya produksi dan harga jual nantinya akan mengakibatkan perubahan pada penerimaan (keuntungan) perusahaan. Analisis tingkat efisiensi dan dampak kebijakan pemerintah dilakukan dengan menggunakan model Policy Analysis Matrix. Dengan model ini akan diperoleh nilai-nilai yang menunjukkan keunggulan komparatif dan kompetitif serta alternatif kebijakan. Analisis keunggulan komparatif ditunjukkan oleh nilai keuntungan sosial/ekonomi dan rasio biaya sumberdaya domestik, sedangkan keunggulan kompetitif dapat ditunjukkan dengan nilai keuntungan finansial dan nilai rasio biaya privat/finansial. Kita dapat mengetahui apakah suatu komoditas dapat atau tidak
bersaing di pasar regional maupun internasional dari nilai
keuntungan tersebut. Pemerintah
sering
memberlakukan
kebijakan-kebijakan
dalam
perdagangan yang dibuat dengan tujuan tertentu. Analisis sensitivitas digunakan untuk menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif suatu komoditas jika terjadi perubahan harga input dan output baik perubahan yang diakibatkan oleh kebijakan pemerintah tersebut maupun lainnya. Analisis sensitivitas dapat memengaruhi matriks PAM sehingga keunggulan komparatif dan kompetitif yang diperoleh akan mengalami perubahan.
38