II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KECERDASAN EMOSIONAL
Makna kecerdasan emosional oleh psikolog Peter Salovey dan John Mayer pada Tahun 1990 (dalam Shapiro, 2001: 8), mendefinisikan bahwa kecerdasan emosional ialah himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial pada orang lain, memilah-milah semuanya, dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan. Menurut Robbins (2003: 144), kecerdasan emosional merujuk pada satu keanekaragaman keterampilan, kapabilitas, dan kompetensi kognitif yang memengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam menghadapi tuntutan serta tekanan lingkungan. Shapiro (2001: 9), menjelaskan bahwa kecerdasan emosional bukanlah lawan kecerdasan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Menurut Gardner (dalam Goleman, 2007: 50), mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal, dan intrapersonal. Kecerdasan interpersonal dan intrapersonal ini
16
dinamakan kecerdasan pribadi oleh Gardner dan Daniel Goleman menyebutnya sebagai kecerdasan emosional. Kemudian Gardner (dalam Goleman, 2007: 52), menjelaskan bahwa kecerdasan pribadi terdiri dari kecerdasan antar pribadi, yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu membahu dengan kecerdasan. Sedangkan, kecerdasan intrapribadi adalah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Selanjutnya Gardner (dalam Goleman, 2007: 53), menyatakan bahwa inti kecerdasan antarpribadi ialah mencakup kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi, dan hasrat orang lain. Dalam kecerdasan antarpribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, ia mencantumkan akses menuju perasaan-perasaan diri seseorang dan kemampuan untuk membedakan perasaanperasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku. Kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey (dalam Goleman, 2007: 57), memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan emosional pada diri individu. Menurutnya kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati), dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain. Goleman (2007: 512), mengemukakan kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi, menjaga keselarasan emosi, dan pengungkapannya melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan sosial.
17
Definisi kecerdasan emosional yang telah dijelaskan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengerti orang lain kemudian seolah-olah berada pada posisi lawan bicara, tepat mengekspresikan emosi, dan peka terhadap perasaan pihak lain sehingga memudahkan berinteraksi dalam berbagai macam lingkungan sosial.
2.1.1
Definisi Emosi
Kata emosi dalam bahasa Inggris adalah emotion yang berasal dari bahasa Latin, yaitu movere, yang berarti menggerakkan atau bergerak (Goleman, 2007:7). Selain itu, N. E. Rosenthal (dalam Ivancevich, 2006: 127) menjelaskan bahwa emosi adalah keadaan yang dicirikan oleh rangsangan psikologis dan perubahan ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan perasaan subjektif. Berdasarkan kamus Oxford English Dictionary (dalam Goleman, 2007: 411), emosi merupakan setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, dan nafsu; setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap.
2.1.2
Macam-macam Emosi
Goleman (2007: 411), mengemukakan beberapa macam emosi : 1. Amarah
: Beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati.
2. Kesedihan
: Pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri, putus asa.
3. Rasa takut
: Cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada, tidak tenang, ngeri.
18
4. Kenikmatan
: Bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur, bangga.
5. Cinta
: Penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasih.
6. Terkejut
: Terkesiap, terkejut.
7. Jengkel
: Hina, jijik, muak, mual, tidak suka.
8. Malu
: Malu hati, kesal.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa semua emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk berperilaku. Jadi, berbagai macam emosi akan memacu individu untuk memberikan timbal balik terhadap stimulus yang ada sehingga memunculkan suatu ekspresi pada individu tersebut.
Menurut Mayer (dalam Goleman, 2007: 65), orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu: 1.
Sadar diri Peka terhadap perasaan atau suasana hati yang dialami. Mandiri, kesehatan jiwanya bagus, dan cenderung berpendapat positif akan kehidupan.
2.
Tenggelam dalam permasalahan Merasa dikuasai oleh emosi dan tak berdaya untuk melepaskan diri, mudah marah, tidak peka terhadap perasaannya, merasa tidak mempunyai kendali atas kehidupan emosional yang dimiliki, sehingga larut dalam masalahnya, dan tidak mencari perspektif baru.
19
3.
Pasrah Peka terhadap perasaan yang dirasakan, namun cenderung menerima begitu saja suasana hatinya, sehingga tidak berusaha untuk mengubahnya. Pasrah terbagi atas dua jenis. Pertama, individu yang terbiasa dengan suasana hati yang menyenangkan, dengan demikian motivasi untuk mengubahnya rendah. Kedua, individu yang peka terhadap suasana hatinya, rawan terhadap suasana hati yang buruk, namun menerimanya dengan sikap yang tidak hirau, tak melakukan apa-apa untuk mengubahnya meskipun tertekan.
Beberapa penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa menangani dan mengatasi emosi adalah cara individu untuk menjaga suasana hatinya dengan berbagai pola perilaku agar membuat nyaman dirinya sehingga tidak dikuasai oleh emosinya sendiri. Melihat keadaan seperti ini, penting bagi individu untuk memiliki kecerdasan emosional agar setiap keputusan yang diambil tidak terasa sia-sia.
2.1.3
Kemampuan Utama Kecerdasan Emosional
Salovey (dalam Goleman, 2007: 58), menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemampuan tersebut menjadi lima kemampuan utama, yaitu: a.
Mengenali Emosi Diri Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal penting dan ketidakmampuan untuk
20
mencermati perasaan diri sendiri dapat membuat seseorang berada dalam kekuasaan perasaan. b.
Mengelola Emosi Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Orang-orang yang buruk kemampuannya dalam keterampilan ini akan terus-menerus bertarung dalam melawan perasaan murung, sementara mereka yang pintar dapat bangkit kembali dengan jauh lebih cepat dari kemerosotan dan kejatuhan dalam kehidupan.
c.
Memotivasi Diri Sendiri Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting dalam kaitan memberikan perhatian, untuk memotivasi diri sendiri, menguasai diri sendiri, dan untuk berekreasi. Orang-orang yang memiliki keterampilan ini cenderung untuk lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.
d.
Mengenali Emosi Orang Lain Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran diri emosional, merupakan “keterampilan bergaul” dasar. Orang yang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi dan mengisyaratkan apaapa yang dibutuhkan atau dikehedaki orang lain.
e.
Membina Hubungan Seni membina hubungan, sebagian besar merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain. Kemampuan dalam membina hubungan merupakan
21
keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antarpribadi. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan ini akan sukses dalam hal apapun. Orang-orang ini akan populer dilingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi.
Seseorang yang memiliki kemampuan untuk mengenali emosi lingkungan sekitar dan dapat mengatur emosinya sendiri, akan dilihat sebagai pribadi yang menyenangkan dan terbuka. Mengenali emosi sekitar berarti berusaha membaca perasaan orang lain, dengan begitu akan memudahkan seseorang untuk memberikan ekspresi yang tepat terhadap lingkungan emosinya.
2.1.4
Komponen Kecerdasan Emosioal
Menurut Goleman (2007: 513) membagi kecerdasan emosional ke dalam lima komponen yaitu kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial. Berikut penjelasan mengenai lima komponen kecerdasan emosional : 1. Kesadaran diri adalah mengetahui apa yang dirasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri. Selain itu, kesadaran diri juga berarti menetapkan tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. 2. Pengaturan diri adalah menguasai emosi diri sedemikian sehingga berdampak positif, kepada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya sesuatu sasaran dan mampu pulih kembali dari tekanan emosi.
22
3. Motivasi menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun seseorang menuju sasaran. Motivasi membantu seseorang mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif dan untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. 4. Empati adalah merasakan yang dirasakan orang lain, mampu memahami persepektif orang lain, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan berbagai macam orang. 5. Keterampilan sosial adalah dapat menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar, menggunakan keterampilanketerampilan ini untuk memengaruhi, dan memimpin. Kemudian menyelesaikan perselisihan untuk bekerjasama dan bekerja dalam tim.
2.2 KOMITMEN KERJA
Untuk mencapai tujuan perusahaan yang diharapkan, memerlukan komitmen yang kuat dari tiap karyawan. Tidak hanya memahami tujuan, visi, dan misi perusahaan. Perasaan terikat terhadap pekerjaan yang diberikan perusahaan juga menjadi kunci mencapai tujuan perusahaan. Komitmen kerja menunjukkan intensitas keterlibatan individu dalam penyelesaian tugas.
2.2.1
Pengertian Komitmen Kerja
Menurut Spector (2000: 198), secara umum komitmen kerja melibatkan keterikatan individu terhadap pekerjaannya. Komitmen kerja merupakan sebuah
23
variabel yang mencerminkan derajat hubungan yang dianggap dimiliki oleh individu terhadap pekerjaan tertentu dalam organisasi. Selain itu, Robbins dan Judge (2008: 100), mendefinisikan komitmen organisasi adalah suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak organisasi tertentu serta tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi.
Beberapa definisi sebelumnya, dalam komitmen kerja menunjukkan keterkaitan antara individu dengan pekerjaan yang diberikan, keterlibatan dalam bertugas sebagai bentuk kontribusi terhadap perusahaan, dan identifikasi terhadap nilai-nilai dan tujuan pekerjaan yang diselaraskan dengan nilai dan tujuan pribadi.
Selanjutnya Sopiah (2008: 156), bahwa komitmen terhadap organisasi melibatkan 3 sikap yaitu : 1. Identifikasi dengan tujuan organisasi. 2. Perasaan keterlibatan dalam tugas-tugas organisasi. 3. Perasaan setia terhadap organisasi.
Hal ini berarti karyawan yang komitmen terhadap pekerjaan memandang nilai dan kepentingan, kemudian mengintegrasikan tujuan pribadi dengan pekerjaan, sehingga tujuan pekerjaan menjadi tujuan pribadinya. Pekerjaan yang menjadi tugasnya dipahami sebagai kepentingan pribadi dan memiliki keinginan untuk selalu loyal demi kemajuan organisasi. Dengan kata lain komitmen kerja merupakan sikap mengenai loyalitas karyawan terhadap pekerjaannya dan merupakan proses yang berkelanjutan dari anggota organisasi untuk
24
mengungkapkan perhatiannya pada tugas yang diberikan dan hal tersebut berlanjut pada kesuksesan dan kesejahteraan perusahaan maupun karyawannya.
2.2.2
Jenis-jenis Komitmen
Robbins dan Judge (2008: 101) membedakan tiga dimensi terpisah terhadap komitmen organisasi, antara lain : a.
Komitmen Afektif ( affective commitment) adalah perasaan emosional untuk pekerjaannya dan keyakinan dalam nilai-nilainya.
b.
Komitmen Berkelanjutan (continuance commitment) adalah nilai ekonomi yang dirasa dari bertahan dengan sebuah pekerjaan bila dibandingkan dengan meniggalkan pekerjaan tersebut.
c.
Komitmen normatif (normative commitment) adalah komitmen untuk bertahan dengan pekerjaan untuk alasan moral atau etis.
2.2.3
Membangun Komitmen
Proses pembangunan komitmen –menjelaskan dan mengomunikasikan suatu misi, menjamin keadilan organisasional, menciptakan suatu rasa komunitas, dan mendukung perkembangan karyawan– semua bergantung pada satu pondasi, yaitu komitmen pemberi kerja terhadap nilai yang mendahulukan kepentingan karyawan (Ivancevich, 2006: 176). Membangun komitmen menjadi landasan pertama untuk membentuk perusahaan besar yang mampu bersaing dengan perusahaan kompetitor lainnya. Menumbuhkan komitmen pada tenaga kerja terjadi ketika orientasi perusahaan sama dengan pandangan tenaga kerjanya.
25
2.3 PENELITIAN TERDAHULU
Penelitian terdahulu mengenai variabel kecerdasan emosional dan komitmen kerja karyawan. Penelitian yang dilakukan oleh Agustina (2011) dengan judul penelitian “Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dan Komitmen Kerja Karyawan Departemen F & B Product Hotel Santika Premiere Jakarta”, Fadliyansya (2013) dengan judul penelitian “Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Komitmen Dan Kinerja Karyawan Pada Rumah Sakit Islam Lumajang”, dan Karambut (2012) dengan judul penelitian “Analisis Pengaruh Kecerdasan Emosional, Stres Kerja dan Kepuasan Kerja terhadap Komitmen Organisasional (Studi pada Perawat Unit Rawat Inap RS Panti Waluya Malang)”. Tiga penelitian ini memiliki judul yang hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti saat ini, yang menjadi pembeda adalah objek penelitian dan variabel penelitian yang digunakan. Berikut penjelasannya pada Tabel 8 :
Tabel 8. Penelitian Terdahulu
No 1
Peneliti Dan Tahun Penelitian Agustina, Widiastuti (2011)
Judul
Hasil Penelitian
Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dan Komitmen Kerja Karyawan Departemen F & B Product Hotel Santika Premiere Jakarta
Hasil penelitian menunjukkan hanya 19% karyawan memiliki kecerdasan emosional yang tergolong tinggi dan menunjukkan hanya 45% karyawan memiliki komitmen kerja yang tergolong tinggi. Korelasi antara kecerdasan emosional dan komitmen kerja sebesar 0,423 hasil ini menunjukkan korelasi positif dan signifikan. Hal ini berarti semakin tinggi kecerdasan
26
Tabel 8 (Lanjutan)
No
Peneliti Dan Tahun Penelitian
Judul
Hasil Penelitian
emosional karyawan, semakin tinggi juga komitmen kerja karyawan tersebut. Sebaliknya apabila kecerdasan emosional karyawan rendah, semakin rendah juga komitmen kerja karyawan tersebut. Kecerdasan emosional memberikan kontribusi sebesar 18% terhadap komitmen kerja. Fadliyansya, Pengaruh Hasil dari analisis data 2 Fajar (2013) Kecerdasan diperoleh pengaruh signifikan Emosional kecerdasan emosional terhadap Terhadap komitmen dengan nilai Komitmen Dan koefisien jalur sebesar 0.282 Kinerja Karyawan atau 28.2%. Kecerdasan Pada Rumah Sakit emosional berpengaruh Islam Lumajang signifikan terhadap Kinerja karyawan dengan nilai koefisien jalur sebesar 68.2%. Komitmen berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan dengan nilai koefisien jalur sebesar 19.6% Karambut, C. A. Analisis Pengaruh Hasil penelitian 3. dan Troena, E. Kecerdasan menunjukkan bahwa A., (2012) Emosional, Stres kecerdasan emosional dan Kerja dan kepuasan kerja memengaruhi Kepuasan Kerja positif dan signifikan terhadap terhadap komitmen organisasional. Komitmen Sedangkan, stress kerja Organisasional berpengaruh negatif dan (Studi pada signifikan terhadap komitmen Perawat Unit organisasional. Selain itu Rawat Inap RS kecerdasan emosional dan Panti Waluya stress kerja berpengaruh Malang) langsung terhadap komitmen organisasional melalui kepuasan kerja Sumber : dikembangkan oleh peneliti untuk kepentingan penelitian