BAB II LANDASAN TEORI
II.A. Kecerdasan Emosional II.A.1. Definisi Kecerdasan Emosional Istilah kecerdasan emosional pertama kali dicetuskan pada tahun 1990 oleh Psikolog Salovery dan John Mayer untuk menerapkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan seseorang. Kualitas-kualitas tersebut antara lain empati, mengungkap dan memahami perasaan orang lain, mengendalikan amarah diri, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecahkan masalah yang dihadapi atau pribadi, ketekunan, kesetiakawanan dan sikap hormat (dalam Shapiro, 1997). Menurut Stanberg & Salovery (dalam Shapiro, 1997) kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali emosi diri yang merupakan kemampuan seseorang dalam mengenali perasaannnya sendiri sewaktu perasaan atau emosi itu muncul dan ia mampu mengenali emosinya sendiri apabila ia memiliki kepekaan yang tinggi atas perasaan mereka yang sesungguhnya dan kemudian mengambil keputusan-keputusan secara mantap. Salovery & Mayer (dalam Goleman, 2001) mendefinisikan kecerdasan emosional adalah sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan diri sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan tersebut untuk memandu pikiran dan tindakan dalam menghadapi persoalan. Cooper dan Sawaf (2000), juga mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan
15
Universitas Sumatera Utara
merasakan, memahami dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi koneksi dan pengaruh yang manusiawi. Patton (2002) menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kekuatan dibalik singasana kemampuan intelktual. Shapiro (1997) berpendapat bahwa kecerdasan emosional tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan sehingga membuka kesempatan bagi orang tua untuk mendidik lebih besar meraih keberhasilan. Selanjutnya Dameria (2005) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali, mengekspresikan, mengolah emosi baik emosi dirinya sendiri maupun emosi orang lain dengan tindakan konstruktif yang mempromosikan kerjasama sebagai tim yang mengacu pada produktifitas dan bukan pada konflik. Kecerdasan emosional menurut Goleman (2001) adalah kemampuankemampuan yang mencakup pengendalian diri, semangat, ketekunan dan kemampuan untuk memotivasi diri sendiri. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang dapat melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, kemampuan pengendalian diri, semangat dan memotivasi diri sendiri, tidak dipengaruhi oleh keturunan namun merupakan konsep yang bermakna dan merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk berhasil dalam menghadapi tuntutan dan tekanan lingkungan.
16
Universitas Sumatera Utara
II.A.2. Faktor-Faktor Kecerdasan Emosional Menurut Goleman (2001), ada beberapa faktor yang mempengaruhi keeradasan emosional, yaitu : a. Pengalaman Kecerdasan emosional dapat meningkat sepanjang hidup manusia. Sepanjang perjalanan hidup yang normal, kecerdasan emosional cenderung bertambah sementara manusia belajar untuk menangani suasana hati, menangani emosiemosi yang menyulitkan, sehingga semakin cerdas dalam hal emosi dan dalam berhubungan dengan orang lain. Mayer (dalam Goleman, 2001) menyatakan pendapat yang sama bahwa kecerdasan emosional berkembang sejalan dengan usia dan pengalaman dari kanak-kanak hingga dewasa. b. Usia Siswa yang lebih tua dapat sama baiknya atau lebih baik dibandingkan siswa yang lebih muda dalam penguasaan kecakapan emosi baru. c. Jenis kelamin Pria dan wanita mempunyai kemampuan yang sama dalam hal meningkatkan kecerdasan emosional.tetapi rata-rata wanita mungkin dapat lebih tinggi dibanding kaum pria dalam beberapa ketrampilan emosi (namun ada juga pria yang lebih baik disbanding kebanyakan wanita), walaupun secara statistik ada perbedaan yang nyata diantara kedua kelompok tersebut. d. Jabatan Semakin tinggi jabatan seseorang, maka semakin penting ketrampilan antar pribadinya dalam membuatnya menonjol disbanding mereka yang berprestasi
17
Universitas Sumatera Utara
biasa-biasa atau dengan kata lain bahwa semakin tinggi jabatan, maka semakin tinggi kecerdasan emosional yang dimilikinya. Patton (2002) membagi faktor kecerdasan emosional menjadi 5 bagian yaitu: 1. Keluarga Keluarga adalah perekat yang menyatukan struktur dasar dunia kita agar satu. Kasih sayang dan dukungan kita temukan dalam keluarga dan merupakan alat untuk mendapatkan kekuatan dan menanamkan kecerdasan emosional. 2. Hubungan-hubungan pribadi. Hubungan-hubungan pribadi (interpersonal) terhadap seseorang dalam seharihari yang memberikan penerimaan dan kedekatan emosional dapat menimbulkan kematangan emosional pada seseorang dalam bersikap dan bertindak. 3. Hubungan dengan teman kelompok. Dalam membangun citra diri sosial diperlukan adanya hubungan dengan teman sekelompok. Saling menghargai, memberikan dukungan dan umpan balik diantara sesame, hal ini dapat mempengaruhi dalam pola pembentukan emosi seseorang. 4. Lingkungan Keadaan lingkungan individu dimana mereka tinggal dan bergaul ditengahtengah masyarakat yang mempunyai nilai-nilai atau norma-norma tersendiri dalam berinteraksi sehingga mempengaruhi pola kehidupan seseorang.
18
Universitas Sumatera Utara
5. Hubungan dengan teman sebaya. Pergaulan individu dengan teman sebaya yang saling mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak dapat membentuk kehidupan emosi tersendiri. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional adalah pengalaman, usia, hubungan dengan teman kelompok, jabatan, keluarga, hubungan-hubungan pribadi, dan hubungan dengan teman sebaya.
II.A.3 Ciri-ciri Individu dengan Kecerdasan Emotional Tinggi dan Rendah. Steven Hein (dalam www.EQI.org, 2002) membedakan individu dengan kecerdasan emosional tinggi dan rendah. Ia juga mengkarakteristikkan orang yang memiliki Emotional Intelligence tinggi dan rendah atas cirri yang khas, yaitu : a.
Ciri-ciri individu dengan tingkat Emotional Intelligence yang tinggi :
Mampu untuk melabelkan perasaannya daripada melabelkan perasaan orang lain ataupun situasi.
Mampu membedakan mana yang pikiran dan mana yang merupakan rasa.
Bertanggung jawab terhadap rasa.
Menggunakan rasa mereka untuk membantu dalam membuat suatu keputusan.
Respek terhadap apa yang dirasakan oleh orang lain.
Bersemangat dan tidak mudah marah.
Mengakui rasa orang lain.
19
Universitas Sumatera Utara
Berupaya untuk memperoleh nilai-nilai positif dari emosi yang negative.
b.
Tidak bertindak otoriter, menggurui ataupun memerintah.
Ciri-ciri individu dengan tingkat Emotional Intelligence yang rendah :
Tidak berani bertanggung jawab terhadap rasa yang dimiliki, tetapi lebih menyalahkan orang lain terhadap hal yang terjadi pada dirinya.
Berlebihan ataupun menekan rasa yang dimilikinya.
Cenderung menyerang, menyalahkan, menilai orang lain.
Merasa tidak nyaman apabila berada disekitar orang lain.
Kurang memiliki rasa empati.
Cenderung kaku, kurang fleksibel, cenderung membutuhkan suatu aturan yang sistematis agar merasa nyaman.
Menghindari tanggung jawabnya dengan menyatakan tidak ada pilihan lain.
Pesimistis dan cenderung menganggap dirinya ini adil.
Sering merasa kurang dihargai, kecewa, hambar atau merasa jadi korban.
II.A.4. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosional. Goleman (2001) membagi aspek-aspek kecerdasan emosional menjadi 5 wilayah yang menjadi pedoman dalam mencapai kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:
20
Universitas Sumatera Utara
1. Kesadaran Diri Kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar dari kecerdasan emosional. Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul wawasan psikologi dan pemahaman tentang diri sendiri. Ketidakmampuan dalam mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri berada dalam kekuasaan perasaan, sehingga tidak peka akan perasaan diri dan orang lain yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan atas suatu masalah. Aspek kesadaran diri atas 3 kecakapan yaitu : a. Kesadaran emosi Kesadaran emosi : tahu tentang bagaimana pengaruh emosi terhadap kinerja, dan kemampuan menggunakan nilai-nilai untuk memndu pembuatan keputusan. b. Penilaian diri secara akurat Perasaan yang tulus tentang kekuatan-kekuatan dan batas-batas pribadi, visi yang jelas tentang mana yang perlu diperbaiki, dan kemampuan belajar dari pengalaman. c. Percaya diri Keberanian yang datang dari diri sendiri dan kepastian tentang kemampuan, nilai-nilai dan tujuan diri. 2. Pengaturan diri Pengaturan diri berarti pengelolaan impulse dan perasaan yang menekan, agar dapat terungkap dengan tepat. Hal ini merupakan kecakapan yang sangat
21
Universitas Sumatera Utara
tergantung pada kesadaran diri sendiri. Emosi dikatakan berhasil apabila : mampu menghibur diri sendiri ketika ditimpa musibah, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semuanya itu. Sebaliknya orang yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal negatife yang merugikan diri sendiri. Aspek pengaturan diri terdiri dari 5 kecakapan, yaitu : a. Pengendalian diri : mengelola emosi dan impulse yang merusak secara efektif b. Dapat dipercaya : menunjukkan kejujuran dan integritas. c. Kehati-hatian : dapat diandalkan dan bertanggung jawab dalam memenuhi kewajiban d. Adaptabilitas : keluwesan dalam menangani perubahan dan tantangan e. Inovasi : bersikap terbuka terhadap gagasan, pendekatan baru dan informasi terkini. 3. Motivasi kemampuan seseorang memotivasi diri sendiri dapat ditelusuri melalui hal-hal sebagai berikut : cara mengendalikan dorongan hati, kekuatan berpikir positif, optimisme dan keadaan flow, yaitu keadaan ketika perhatian seseorang sepenuhnya tercurah kedalam apa yang sedang terjadi, pekerjaannya yang hanya terfokus pada satu objek. Dengan kemampuan memotivasi diri yang dimilikinya maka seseorang akan cenderung memiliki pandangan positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya.
22
Universitas Sumatera Utara
Aspek motivasi terdiri dari empat kecakapan, yaitu: a. Dorongan berprestasi : dorongan untuk meningkatkan kualitas diri atau memenuhi standart keunggulan. b. Komitmen : setia pada visi dan sasaran kelompok c. Inisiatif : menunjukkan produktivitas, menggunakan setiap peluang dengan baik untuk mencapai sasaran diri. d. Optimisme : menunjukkan ketekunan diri dalam mengejar sasaran 4. Empati Empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan terampil membaca perasaan orang lain sebaliknya orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain. Aspek empati terdiri dari lima kecakapan, yaitu : a. Memahami orang lain : mengindera perasaan-perasaan perspektif orang lain, serta menunjukkan minat aktif terhadap kepentingan-kepentingan mereka. b. Orientasi melayani : mengantisipasi, mengakui, dan memenuhi kebutuhankebetuhan orang lain. c. Mengembangkan orang lain : mengindera kebutuhan orang lain untuk berkembvang dan meningkatkan kemampuan mereka. d. Memanfaatkan
keragaman:
menumbuhkan
kesempatan-kesempatan
melalui keragaman pada orang lain
23
Universitas Sumatera Utara
e. Kesadaran politik : membaca kecenderungan politik dan sosial dalam lingkungan. 5. Ketrampilan sosial Ketrampilan sosial merupakan seni dalam membina hubungan dengan orang lain yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan. Tanpa memiliki ketrampilan seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial. Aspek ketrampilan sosial terdiri dari 5 kecakapan yaitu : a. Pengaruh : menerapkan taktik persuasi secara efektif b. Komunikasi : mengirimkan pesan secara jelas dan meyakinkan. c. Kepemimpinan : mampu menjadi pemimpin yang baik dari orang lain d. Katalisator Perubahan : mengawali, mendorong, atau mengelola perubahan e. Manajemen konflik : mampu mengatasi & menyelesaikan konflik yang ada. Berdasarkan hal di atas, dapat dismpulkan emotional intelligence dapat dibagi kedalam lima aspek yaitu : 1) kesadaran diri, 2) pengaturan diri, 3) motivasi, 4) empati, dan 5) ketrampilan sosial.
II. B. Pacaran II.B.1 Pengertian Pacaran Pacaran (dating) berarti seseorang laki-laki dan seorang perempuan pergi keluar
bersama-sama
untuk
melakukan
berbagai
aktivitas
yang
sudah
direncanakan sebelumnya.
24
Universitas Sumatera Utara
Menurut Guerney dan Arthur (Dacey & Kenney, 1997), pacaran adalah aktifitas sosial yang membolehkan dua orang yang berbeda jeniskelaminnya untuk terikat dalam interaksi sosial dengan pasangan yang tidak ada hubungan keluarga. Salah satu karakteristik dari pacaran yaitu adanya kedekatan atau keintiman secara fisik atau (physical intimacy). Keintiman (intimacy) tersebut meliputi berbagai tingkah laku tertentu, seperti berpegangan tangan, berciuman, dan berbagai interaksi prilaku seksual lainnya (Baron & Byrne, 1997). Sedangkan menurut Duvall & Miller (1985) keintiman dalam berpacaran tersebut antara lain meliputi berpegangan tangan, ciuman, petting dan intercourse. Berdasarkan hal yang diatas dapat disimpulkan pacaran adalah kegiatan yang dilakukan dua orang yang berbeda jenis kelamin yang tidak menikah dan tidak ada hubungan keluarga, yang meliputi sejumlah prilaku yaitu berpegangan tangan, berciuman, petting dan intercourse. Menurut Baron & Byrne (1997) ketertarikan itu dimulai ketika seseorang mulai berinteraksi dengan orang lain dan biasanya interaksi tersebut dapat terjadi dimana saja dan tanpa disengaja. Langkah pertama yang dapat membuat seseoramg tertarik dengan orang lain, yaitu kedekatan fisik (physical proximity). Faktor yang sangat penting yang dapat mempengaruhi adalah seseorang menyukai atau tidak orang yang dijumpainya yaitu keadaannya pada saat itu (affective state). Seseorang akan senang dengan orang yang dijumpainya ketika perasaan emosinya positif dan begitu juga sebaliknya. Walaupun interaksi sudah terjadi berulang kali dan perasaan emosinya positif, tetapi rasa tertarik akan timbul jika kedua individu yang berkaitan tidak termotivasi untuk membentuk suatu hubungan.
25
Universitas Sumatera Utara
Imran (2000) dalam modul perkembangan seksualitas remaja mengatakan ada lima tahap berpacaran yaitu : a. Tahap ketertarikan Sumber ketertarikan terhadap lawan jenis sangat bervariasi, antara lain penampilan fisik, kemampuan, karakter atau sifat, dan lain-lain. Pada tahap ini biasanya masing-masing individu mengirim sinyal-sinyal, baik verbal maupun non verbal untuk menunjukkan rasa ketertarikannya. b. Tahap ketidakpastian. Pada tahap kedua, terjadi peralihan dari rasa tertarik kearah tidak pasti, tepat, atau tidaknya pasangan. Tantangan tahap ini adalah menerima ketidakpastian ini sebagai sesuatu yang wajar dan jangan goyah. Jika seseorang yang memiliki hubungan yang istimewa ddengan lawan jenis adalah normal. Jika mendadak ragu apakah akan melanjutkan hubungan tersebut atau tidak. Tanpa melalui tahap ini, maka seseorang akan dapat mudah berpindah dari satu pria ke pria lain atau dari suatu wanita kewanita lain c. Tahap komitmen dan ketertarikan. Pada tahap ketiga ini seseorang ingin berkencan dengan lawan jenisnya secara eksklusif. Setiap orang ingin mendapatkan kesempatan memberi dan menerima cinta dalam suatu hubungan yang khusus tanpa harus bersaing dengan orang lain. Pada tahap ini, setiap orang berusaha untuk menciptakan hubungan yang romantis dan saling cinta dengan pasangannya.
26
Universitas Sumatera Utara
d. Tahap keintiman. Pada tahap ini mulai merasakan adanya keintiman. Tahap ini merupakan kesempatan untuk lebih mengungkapkan diri dengan pasangan. e. Tahap pertunangan Dengan adanya kepastian akan menikah, maka seseorang akan mengikatkan diri dengan pasangannya. Pada saat inilah mulai banyak mengumpulkan
pengalaman
tentang
saling
berbagi,
memecahkan
ketidaksepakatan dan kekecewaan sebelum menghadapi tantangan yang lebih besar dalam perkawinan dan hidup berkeluarga.
II.B.2 Perilaku Dalam Berpacaran Menurut Imran (2000) dalam modul perkembangan seksualitas remaja mengatakan bahwa ada beberapa bentuk perilaku dalam berpacaran : a. Berbincang-bincang Umumnya
dengan
berbincang-bincang,
seseorang
dapat
semakin
mengenal lebih dekat pasangannya dan dapat berbagi perasaan baik saat senang maupun saat sedang menghadapi masalah tertentu sehingga masalah tersebut menjadi lebih ringan dan dapat diselesaikan. b. Berciuman Perilaku berciuman dapat dibagi menjadi 2, yaitu : 1. Cium Kening Yaitu aktivitas yang dilakukan pasangan berupa sentuhan pipi dengan pipi atau pipi dengan bibir. Hal ini dapat menimbulkan perasaan sayang jika diberikan
27
Universitas Sumatera Utara
pada momen tertentu dan bersifat sekilas, ettapi juga dapat menimbulkan keinginan untuk melanjutkan ke perilakulainnya. 2. Cium Basah Aktivitas yang dilakukan pasangan berupa sentuhan bibir dengan bibir.Dapat menimbulkan sensasi seksual yang kuat yang membangkitkan dorongan seksual hingga tak terkendali. c. Meraba Yaitu kegiatan meraba bagian-bagian sensitive untuk menimbulkan rangsangan seksual, seperti payudara, leher, paha atas, vagina, penis, pantat, dan lain-lain. Hal ini sapat membuat pasangan terangsang secara seksual, sehingga melemahkan control diri yang akibatnya bisa melakukan aktivitas seksual lainnya dalam berpacaran. d. Berpelukan Aktivitas yang dilakukan pasangan, dan hal ini dapat menimbulkan perasaan aman, nyaman, dan tenang, juga dapat menimbulkan rangsangan seksual. e. Masturbasi Yaitu perilaku merangsang organ kelamin untuk mendapatkan kepuasan seksual. f. Oral sex Aktivitas yang dilakukan pasangan berupa memasukkan alat kelamin ke dalam mulut pasangan yang berbeda jenis kelamin.
28
Universitas Sumatera Utara
g. Petting Petting adalah kontak fisik dengan menempalkan alat kelamin pria dan wanita sebagai upaya untuk membangkitkan dorongan seksual tanpa melakukan intercourse. h. Intercourse Aktivitas seksual dengan memasukkan alat kelamin pria kedalam alat kelamin wanita.
II.C. Remaja Hurlock (1999) menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimulai saat anak secara seksual matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum. Santrock (1998) remaja adalah suatu periode perkembangan dari transisi antara anak-anak dan dewasa, yang diikuti oleh perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional. Sementara itu, Monks (1999) remaja adalah individu yang berusia antara 12 – 21 tahun yang sudah mengalami peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dengan pembagian 12 – 15 tahun adalah masa remaja awal, 15 – 18 tahun adalah masa remaja pertengahan, dan 18 – 21 tahun adalah masa remaja akhir.
II.C.1. Tugas-tugas Perkembangan Pada Masa Remaja Havighurst (dalam Hurlock, 1999) menyatakan tugas-tugas perkembangan pada masa remaja. Tugas-tugas perkembangan tersebut adalah :
29
Universitas Sumatera Utara
1. Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita. 2. Mencapai peran sosial pria dan wanita. 3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif. 4. Mengharapkan dan mencapai prilaku sosial yang bertanggung jawab. 5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya. 6. Mempersiapkan karir ekonomi. 7. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga. 8. Memperoleh perangkat nilai dan sistim etis sebagai pegangan untuk berprilaku – mengembangkan ideologi. Ada beberapa faktor penting yang mempengaruhi penguasaan tugas-tugas perkembangan. Faktor-faktor yang menghalanginya adalah: a. Tingkat perkembangan yang mundur b. Tidak ada kesempatan untuk mempelajari tugas-tugas perkembangan atau tidak ada bimbingan untuk dapat menguasainya. c. Tidak ada motivasi. d. Kesehatan yang buruk. e. Cacat tubuh f. Tingkat kecerdasan yang rendah. Faktor-faktor yang membantunya adalah a. Tingkat perkembangan yang normal atau diakselerasikan.
30
Universitas Sumatera Utara
b. Kesempatan-kesempatan untuk mempelajari tugas-tugas dalam perkembangan dan bimbingan untuk menguasainya. c. Motivasi. d. Kesehatan yang baik dan tidak ada cacat tubuh. e. Kreatifitas.
II.C.2. Ciri-ciri Masa Remaja Menurut Hurlock
(1999) remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang
membedakannya dengan periode sebelumnya dan sesudahnya. Ciri-ciri tersebut adalah: a. Masa remaja sebagai periode yang penting Semua periode dalam rentang kehidupan adalah penting namun kadar kepentingannya berbeda-beda. Ada beberapa periode yang lebih penting daripada periode lainnya, karena akibatnya yang langsung terhadap sikap dan prilaku, dan ada lagi yang penting karena akibat-akibat jangka panjangnya. Pada periode remaja, baik akibat langsung maupun akibat jangka panjang adalah tetap penting. Ada periode yang penting akibat perubahan fisik dan ada lagi karena akibat psikologis. Pada periode remaja kedua-duanya sama penting. b. Masa remaja sebagai periode peralihan. Pada masa ini, remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukan orang dewasa. Kalau remaja berprilaku sebagai anak-anak, ia akan diajari untuk “bertindak sesuai umurnya”, kalau remaja berusaha berprilaku seperti
31
Universitas Sumatera Utara
orang dewasa, ia sering kali dituduh “terlalu besar untuk celananya” dan dimarahi karena mencoba bertindak seperti orang dewasa. c. Masa remaja sebagai periode perubahan. Tingkat perubahan dalam sikap dan prilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal masa remaja, ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan prilaku dan sikap juga berlangsung cepat. Kalau perubahan fisik menurun, maka perubahan prilaku dan sikap juga menurun. d. Masa remaja sebagai mencari identitas. Pada tahun-tahun awal masa remaja, penyesuaian diri dengan kelompok masih tetap penting bagi anak laki-laki dan perempuan. Lambat laun mereka mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama dengan menjadi sama dengan teman-teman dalam segala hal, seperti sebelumnya. e. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan kecemasan Anggapan stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapih, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan berprilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja. f. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik. Remaja cenderung memandang kehidupan mereka melalui kaca berwarna merah jambu. Ia melihat dirinya sendiri sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebihn dalam hal cita-cita.
32
Universitas Sumatera Utara
g. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa. Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa.
II.D. Gambaran Kecerdasan Emosional Pada Remaja Yang Berpacaran Menurut Santrock (1998) pacaran bagi remaja merupakan salah satu bentuk perkembangan aspek sosial yang penting. Pacaran pada masa remaja dapat membantu proses pembentukan hubungan yang romantis dan pernikahan dimasa dewasa. Lebih lanjut Hidayati & Mashum (2002) pacaran adalah sebuah proses saling mengenal, memahami dan menghargai perbedaan diantara dua individu. Pacaran bagi remaja bertujuan untuk menemukan dan mengetahui lebih jauh mengenai seseorang yang berbeda jenis kelaminnya yang disukainya. Intinya adalah menemukan pasangan (Duvall & Miller, 1985). Turner
dan
Helms,
dalam
bukunya
Life
Span
Development
mengemukakan keuntungan pacaran buat remaja yakni remaja dapat mengasah kemampuan bersosialisasi, menyadari jujur pada pasangan itu penting. Hubungan kasih sayang juga semakin terjaga saat kita saling memberi saran dan bukan menyalahkan. Kemampuan bernegosiasi untuk menyelesaikan konflik sama pacar pun bermanfaat buat melanggengkan hubungan. Lebih jauh lagi, melalui pacaran remaja dapat belajar menolerir perbedaan. Semua ilmu yang berhasil dipetik dari masa pacaran itu sangat berguna. Terutama buat bekal memasuki dunia pernikahan ( Witri, 2003).
33
Universitas Sumatera Utara
Pacaran ternyata bukan cara yang tepat untuk mengenali calon pendamping
hidup.
Maksudnya
bahwa
pacaran
ternyata
lebih
banyak
menimbulkan aspek negatif daripada positif dalam mencapai proses pengenalan. Proses ini cenderung hanya untuk kesenangan semata dan adapula yang menjalaninya hanya untuk ikut-ikutan dan tidak dengan tujuan pernikahan (Adhim, 2003). Pendapat ini didukung oleh Turner dan Helms (dalam Witri , 2003) yang menyatakan sisi negatif yang muncul dari berpacaran adalah 1) ingin buat gaya. Fenomena ini sering terjadi di kalangan cowok yang merasa bangga bila pamer ke teman-teman tentang puluhan cewek yang berhasil ditaklukkan. Bahkan, ada suatu geng yang anggotanya saling bersaing buat membuktikan siapa yang paling sukses menebar pesona, 2) kecenderungan playful saat pacaran. Remaja belum mau berkomitmen serius dan menganggap pacaran cuma untuk main-main belaka. Hal ini dapat berakibat salah satu pasangan yang serius dengan pasangannya jengkel karena ditinggalkan oleh pasangan yang belum mau berkomitmen serius dan menganggap pacaran cuma untuk main-main belaka. 3) alasan klasik yang sering dipakai untuk mengakhiri hubungan: tidak cocok sama pasangan., jalur memutuskan hubungan memang yang paling gampang diambil. Cara ini justru mengesankan remaja tersebut adalah sosok egois yang malas mencari solusi. 4) keterbatasan waktu bergaul dengan teman-teman kita., terutama teman yang berasal dari lawan jenis karena pacar suka keberatan kalau pasangannya terlalu dekat sama lawan jenis lain sehingga menelantarkan teman-temannya, 5) terjerumus seks bebas. Kemungkinan terjerumus juga makin besar karena kita
34
Universitas Sumatera Utara
dipengaruhi gejolak hormon seksual. Keberadaan pacar dijadikan kesempatan untuk eksplorasi seksual. Tanpa disadari, keintiman fisik dengan pacar semakin meningkat
dan
meningkat,
sementara
kita
belum
siap
menghadapi
konsekuensinya., seperti hamil di luar nikah atau ketularan penyakit kelamin. Menurut Hidayati & Masyum (2005) kecerdasan emosional penting dan perlu untuk pacaran. Individu yang berkembang kecerdasan emosionalnya dengan baik terampil dalam mengelola emosinya, seperti mampu mengidentifikasikan serta mendefenisikan perasaan yang muncul, mampu mengungkapkan perasaan, mampu menilai intensitas (kadar perasaan), mampu mengelola perasaan, mampu mengendalikan diri sendiri, mampu mengurangi stress, mampu mengetahui antara perasaan dan tindakan dan terampil dalam berperilaku, seperti : perilaku verbal (mampu mengajukan permintaan-permintaan dengan jelas, menanggapi kesulitan dengan efektif, mampu bersikap asertif untuk menolak pengaruh-pengaruh negative, mampu mendengarkan orang lain) dan perilaku non verbal (eksperi wajah, sikap tubuh, dan pandangan mata). Hal ini didukung oleh Goleman (2003) remaja yang kecerdasan emosionalnya berkembang dengan baik akan merasakan bahwa tekanan baru para teman sebaya, meningkatnya tuntutan akademis, godaan merokok, menggunakan obat-obat terlarang, dan seks bebas tidak lagi merisaukan mereka dibandingkan dengan teman sebaya yang kecerdasan emosionalnya tidak berkembang dengan baik Mereka yang sudah menguasai kecerdasan emosional yang sekurangkurangnya utuk jangka pendek, memberi vaksinasi bagi mereka utuk melawan guncangan dan tekanan yang akan mereka hadapi. Intinya, untuk mengembangkan
35
Universitas Sumatera Utara
kecerdasan emosional harus dimulai sejak dini yang disesuaikan dengan usia dan dilangsungkan sepanjang tahun ajaran serta dikaitan dengan sekolah, rumah, dan masyarakat.
36
Universitas Sumatera Utara