BAB II LANDASAN TEORI A. Attachment 1.
Pengertian Attachment Istilah attachment (kelekatan) pertama kali dikemukakan oleh seorang
psikolog dari Inggris pada tahun 1958 bernama John Bowlby. Kemudian formulasi yang lebih lengkap dikemukakan oleh Mary Ainsworth pada tahun 1969. Menurut Bowlby (dalam Santrock 2002) attachment adalah adanya suatu relasi atau hubungan antara figur sosial tertentu dengan suatu fenomena tertentu yang dianggap mencerminkan karakteristik relasi yang unik. Attachment akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia yang diawali dengan kelekatan anak pada ibu atau figur lain pengganti ibu. Menurut Ainsworth (1969) attachment adalah ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalan suatu attachment yang bersifat kekal sepanjang waktu. Attachment merupakan suatu hubungan yang didukung oleh tingkah laku lekat (attachment behavior) yang dirancang untuk memelihara hubungan tersebut (Durkin, 1995). Attachment merupakan suatu ikatan emosional yang kuat yang dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang yang mempunyai arti khusus dalam kehidupannya, biasanya orang tua (Mc Cartney dan Dearing, 2002). Berdasarkan beberapa definisi attachment
diatas dapat disimpulkan
bahwa attachment adalah suatu hubungan emosional atau hubungan yang bersifat afektif antara satu individu dengan individu lainnya yang mempunyai arti khusus,
Universitas Sumatera Utara
dalam hal ini biasanya hubungan ditujukan pada ibu atau pengasuhnya. Hubungan yang dibina bersifat timbal balik, bertahan cukup lama dan memberikan rasa aman walaupun figur lekat tidak tampak dalam pandangan anak.
2. Attachment Terhadap Ayah a.Pengertian attachment terhadap ayah Menurut Bowlby (dalam Santrock 2002) attachment adalah adanya suatu relasi atau hubungan antara figur sosial tertentu dengan suatu fenomena tertentu yang dianggap mencerminkan karakteristik relasi yang unik. Attachment akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia yang diawali dengan attachment anak pada ibu atau figur lain pengganti ibu (ayah). Ainsworth (1969) mengatakan bahwa attachment adalah ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalan suatu attachment yang bersifat kekal sepanjang waktu. Ayah adalah tulang punggung pencari nafkah dan kepala kelurga yang harus bertanggung jawab dapat menjadi figur panutan sebagai pribadi, terhadap istri, anak, keluarga serta sosial masyarakat (Kriswanduru, 2004). Ayah merupakan aset terbesar dalam mendidik emosi remaja laki-laki
yaitu,
memberikan perhatian penuh pada remaja laki-laki. Ayah juga memberikan manfaat yang positif bagi remaja laki-laki antara lain, dalam pengembangan pengendalian diri, kemampuan untuk menunda keinginan serta membantu remaja dalam penyesuaian sosialnya (Gotman & Declaire dalam Andayani & Koentjoro, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian diatas maka attachment terhadap ayah adalah suatu ikatan emosional yang kuat terhadap ayah dimana hubungan tersebut bertahan cukup lama, bersifat kekal sepanjang waktu dan ikatan tersebut tetap bertahan walaupun figur lekat tidak tampak dalam jangkauan mata anak namun menimbulkan rasa aman.
b. Pola- pola attachment Bowlby (1982) mengatakan bahwa hubungan attachment
pada bayi
mempunyai kemiripan pada hubungan yang terjadi pada masa remaja dan dewasa yaitu, menggambarkan sejumlah hubungan yang dekat antara orang tua dan anak. Namun, bentuk hubungan attachment antara anak-anak dan remaja atau dewasa memiliki penekanan yang berbeda. Pada masa anak-anak mereka hanya memiliki attachment dengan orang yang istimewa menurut mereka, yaitu ibu. Sedangkan, pada masa remaja dan dewasa penekanan hubungan attachment telah lebih luas. Bowlby membagi attachment tersebut kedalam dua bentuk yaitu secure attachment dan insecure attachment. Namun, Ainsworth melakukan observasi dan penelitian sehingga membagi attachment
kedalam tiga bentuk. Menurut
Ainsworth, Blehar, Waters, and Wall (1978) pola-pola attachment antara anak dan orangtua terbagi atas tiga pola antara lain, a. Secure attachment Secure attachment, merupakan pola attachment dengan karakteristik anak nyaman saat bersama orang tua, anak tidak sepenuhnya bergantung pada orangtua, memandang orantua sebagai figur yang hangat dan penuh
Universitas Sumatera Utara
kasih sayang, menjalin hubungan yang menyenangkan dengan orangtua, memiliki rasa percaya diri dan orangtua merupakan sumber dukungan bagi anak. Anak-anak dengan pola secure attachment menjadi tampak marah ketika caregiver (orang tua) mereka pergi, dan merasa bahagia ketika orang tua mereka kembali. Ketika ketakutan, anak-anak akan mencari kenyamanan dari orang tua atau pengasuh. Orangtua dengan pola secure attachment selalu mengajak anak mereka beraktifitas bersama. Selain itu, orang tua juga menunjukan reaksi yang lebih cepat akan kebutuhan anak-anak mereka dan umumnya mereka lebih responsif terhadap anak-anak daripada orang tua dengan pola insecure attachment Penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak dengan pola secure attachment lebih empatik selama masa kanak-kanak akhir. Anak-anak yang memperoleh pola secure attachment akan menunjukan sikap sebagai kurang mengganggu, kurang agresif, dan lebih dewasa daripada anak-anak dengan pola ambivalen atau avoidant. Saat dewasa, mereka yang memperoleh secure attachment cenderung memiliki percaya, hubungan jangka panjang. memiliki harga diri yang tinggi, menikmati hubungan intim, mencari dukungan sosial, dan kemampuan untuk berbagi perasaan dengan orang lain (McCarthy G., 1999). b. Anxious atttachment Anxious atttachment, merupakan pola attachment yang ditandai dengan anak memiliki pandangan bahwa orangtua tidak sensitif terhadap
Universitas Sumatera Utara
anak, orangtua kurang responsif akan kebutuhan anak, orangtua bersikap tidak adil, menjalin hubungan sangat dekat dengan keluarga karenakan takut dalam mengambil keputusan, merasa cemas diabaikan, tidak nyaman saat bersama orangtua tetapi anak tetap berusaha menjalin hubungan dengan orangtua. Anak-anak yang melekat anxious attachment cenderung sangat curiga terhadap orang asing. Anak-anak ini menunjukan perasaan tertekan ketika terpisah dari orang tua atau pengasuh, tetapi tidak merasa gembira saat pengasuh atau orangtua mereka kembali. Dalam beberapa kasus, anak pasif mungkin menolak orang tua dengan menolak kenyamanan, atau secara terbuka mungkin menampilkan agresi langsung terhadap orang tua. Saat memasuki masa dewasa, mereka yang memperoleh anxious attachment sering merasa enggan menjalin hubungan yang dekat dengan orang lain dan khawatir bahwa pasangan mereka tidak membalas perasaan mereka. Hal ini menyebabkan mereka sering putus, merasa hubungan mereka “dingin” dan jauh. Orang-orang ini merasa sangat sedih ketika berakhirnya sebuah hubungan. Cassidy dan Berlin dijelaskan pola lain patologis mana anxious orang dewasa melekat melekat pada anak-anak muda sebagai sumber keamanan (1994). c. Avoidant attachment Avoidant attachment,
merupakan pola attachment
dengan
karakteristik anak memiliki anggapan bahwa orangtua tidak memberikan perhatian, mengalami penolakan, hubungan dengan orangtua relatif dingin,
Universitas Sumatera Utara
anak merasa tidak nyaman saat berada bersama orangtua dan tidak ingin menjalin hubungan dekat dengan orangtua dan anak sukar memepercayai orangtua. Anak-anak dengan avoidant attachment cenderung menghindari orang tua dan pengasuh. penghindaran ini sering menjadi sangat jelas setelah masa ketiadaan. Anak-anak ini mungkin tidak menolak perhatian dari orang tua, tetapi juga tidak mereka mencari kenyamanan. Anak-anak dengan avoidant attachment tidak menunjukkan preferensi antara orang tua dan orang asing. Saat masa dewasa, mereka dengan avoidant attachment cenderung mengalami kesulitan dengan hubungan intim dan dekat. Individu-individu ini tidak berinvestasi banyak emosi dalam hubungan dan mengalami penderitaan kecil ketika hubungan berakhir. Mereka sering menghindari keintiman dengan menggunakan alasan (seperti jam kerja yang panjang), atau mungkin berfantasi tentang orang lain selama seks. Penelitian juga menunjukkan bahwa orang dewasa dengan avoidant attachment lebih menerima dan mungkin terlibat dalam seks bebas (Feeney, J., Noller, dan Patty 1993). Karakteristik umum lainnya termasuk kegagalan untuk mendukung mitra selama masa stres dan ketidakmampuan untuk berbagi perasaan, pikiran, dan emosi dengan pasangan mereka.
Berdasarkan beberapa pola attachment diatas dapat disimpulkan bahwa konsep attachment Ainsworth beberapa pola-pola attachment yang terjadi pada
Universitas Sumatera Utara
anak dan orangtua
antara lain, Secure attachment, Anxious atttachment dan
Avoidant attachment.
3. Attachment Remaja Attachment yang terbentuk antara bayi dan orangtua (hubungan sosial pertama dalam hidup manusia) merupakan landasan dasar bagi hubungan manusia pada masa selanjutnya (Erickson, Sroufe & fleeson dalam Kail & Cavanaugh, 2000). Bowlby mengatakan bahwa anak masih membutuhkan orangtua sebagai figur attachment selama masa kanak-kanak dan remaja. Remaja tetap memperoleh dukungan
dan
perlindungan
dari
orangtua
(sebagai
figur
attachment)
(Colin,1996). Namun, pada masa remaja keinginan remaja mencari kedekatan dan mengandalkan figur attachment pada saat mereka merasa tertekan cenderung menurun tetapi, untuk perasaan ketersedian figur attachment tidak mengalami penurunan (Lieberman, Doyle &Markiewicz dalam Doyle & Maretti, 2000). Menurut Bowlby (dalam Doyle & Moretti, 2000) meskipun frekuensi dan intensitas beberapa perilaku attachment diketahui menurun seiring bertambahnya usia namun, kualitas ikatan attachment remaja akan tetap stabil. Memasuki usia remaja, mereka lebih menjalin hubungan yang lebih dekat dengan teman sebaya. Namun, menurut Greenberg, et, al; Kobak & Scroery (dalam Colin, 1996) meskipun hubungan dengan teman sebaya menjadi sangat penting bagi remaja akan tetapi, attachment terhadap dengan orangtua tetap menjadi sumber utama dalam memberikan rasa aman pada remaja. Adapun ciri afektif yang menunjukkan kelekatan antara lain, hubungan bertahan cukup lama, ikatan tetap ada walaupun
Universitas Sumatera Utara
figur lekat tidak tampak dalam jangkauan mata anak, bahkan jika figur digantikan oleh orang lain dan kelekatan dengan figur lekat akan menimbulkan rasa aman (Ainsworth, 1969)
3. Figur attachment Menurut Bowlby (dalam Durkin 1995) ada dua figur lekat, yaitu figur lekat utama dan figur attachment pengganti. Individu yang selalu siap memberikan respon ketika anak menangis tetapi tidak memberikan perawatan fisik cenderung dipilih sebagai figur attachment pengganti. Individu yang kadangkadang memberikan perawatan fisik namun tidak bersifat responsif tidak akan dipilih menjadi figur attachment. Adapun kondisi yang dapat menimbulkan attachment pada anak pada seseorang dapat diuraikan sebagai berikut : a. Pengasuh Anak Orang yang paling banyak mengasuh anak adalah orang yang paling sering berhubungan dengan anak dengan maksud mendidik dan membesarkan anak. Hal ini menyangkut kualitas hubungan antara pengasuh dan anak, disamping itu pengasuh anak harus tetap dan berhubungan dengan anak secara berkesinambungan (Pikunas dalam Ervika,2000) b. Komposisi Keluarga Anak mempunyai kemungkinan untuk memilih salah satu dari orang-orang yang ada dalam keluarga sebagai figur attachment. Figur attachment yang dipilih anak biasanya adalah orang dewasa yang memenuhi persyaratan pada
Universitas Sumatera Utara
butir (a) di atas. Ibu biasanya menduduki peringkat pertama figur attachment utama anak. Menurut Maccoby (dalam Ervika, 2000) seorang anak dapat dikatakan attachment pada orang lain jika memiliki ciri-ciri antara lain: a. Mempunyai kelekatan fisik dengan seseorang b. Menjadi cemas ketika berpisah dengan figur attachment c. Menjadi gembira dan lega ketika figur attachment kembali d. Orientasinya tetap pada figur attachment walaupun tidak melakukan interaksi. Anak memperhatikan gerakan, mendengarkan suara dan sebisa mungkin berusaha mencari perhatian figur attachment Berdasarkan penjelasan attachment anak dapat disimpulkan bahwa remaja dapat memperoleh attachment dari beberapa figur attachment yaitu, didalam keluarga adalah ibu dan ayah sedangkan figur attachment lain adalah pengasuh. Selama ini orang seringkali menyamakan attachment dengan ketergantungan (dependency), padahal sesungguhnya kedua istilah tersebut mengandung pengertian yang berbeda.
C. Kecerdasan emosi 1.
Pengertian Kecerdasan emosi Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990
oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Salovey dan Mayer mendefinisikan
Universitas Sumatera Utara
kecerdasan emosional atau yang sering disebut EQ sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan mengendalikan perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan. (Shapiro, 1998). Goleman (1997) mendefinisikan bahwa kecerdasan emosi adalah suatu kemampuan seseorang yang didalamnya terdiri dari berbagai kemampuan untuk dapat memotivasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan impulsive needs atau dorongan hati, tidak melebih-lebihkan kesenangan maupun kesusahan, mampu mengatur reactive needs, menjaga agar bebas stress, tidak melumpuhkan kemampuan berfikir dan kemampuan untuk berempati pada orang lain, serta adanya prinsip berusaha sambil berdoa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati. Goleman menambahkan kecerdasan emosional merupakan sisi lain dari kecerdasan kognitif yang berperan dalam aktivitas manusia yang meliputi kesadaran diri dan kendali dorongan hati, ketekunan, semangat dan motivasi diri serta empati dan kecakapan sosial. Kecerdasan emosional bertujuan untuk mengenali, memahami dan mewujudkan emosi dalam porsi yang tepat dan upaya untuk mengelola emosi agar terkendali dan dapat memanfaatkan untuk memecahkan masalah kehidupan terutama yang terkait dengan hubungan antar manusia. Menurut Atkinson, (1987) Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri
Universitas Sumatera Utara
dan bertahan menghadapi frustrasi, kemampuan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak menggangu kemampuan berpikir, untuk berempati terhadap orang lain dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin diri dan lingkungan sekitarnya. Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi merupakan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial, kemampuan dalam mengenali, mengelola dan mengendalikan emosi pada diri sendiri, memahami perasaan orang lain, menjalin hubungan yang baik dengan orang lain, memecahkan masalah, berpikir realistis serta menempatkan emosi mereka dalam porsi yang tepat.
2.
Aspek- aspek kecerdasan emosional Menurut Goleman (2000) menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam
definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemapuan tersebut menjadi 5 aspek kemampuan utama, yaitu : a. kesadaran diri Kesadaran diri, yaitu kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang ia rasakan pada saat tertentu dan menggunakannya untuk memandu dalam pengambilan keptuusan bagi diri sendiri. Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari
Universitas Sumatera Utara
kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2002) kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi. b. Pengendalian diri Pengendalian diri yaitu kemampuan seseorang menangani emosinya sendiri sehingga berdapak positif terhadap pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati, sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, dan mampu pulih kembali dari tekanan emosi. Pengendalian diri merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi
yang
merisaukan
tetap terkendali
merupakan kunci
menuju
kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2002). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.
Universitas Sumatera Utara
c. Motivasi diri Motivasi diri yaitu kemampuan menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun menuju sasaran, mampu mengambil inisiatif dan bertindak secara efektif serta mampu bertahan menghadapi kegagalan dan frustrasi. Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri. d. Empati Empati yaitu kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, menumbuhkan hubungan saling percaya dan mampu menyelaraskan diri berbagai tipe orang. Menurut Goleman (2002) kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apaapa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain. Rosenthal (Goleman, 2002) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orangorang yang mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuiakan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah bergaul, dan lebih peka. Nowicki (dalam Goleman, 2002), ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustasi.
Universitas Sumatera Utara
Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain. e. Ketrampilan sosial Ketrampilan sosial yaitu kemampuan untuk mengendalikan emosi dengan baik ketika berhubungan sosial dengan cermat dapat berinteraksi dengan lancar, menggunakan
ketrampilan
ini
untuk
mempengaruhi,
memimpin,
bermusyawarah, menyelesaikan permasalahan dan bekerja sama dengan tim Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2002). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2002). Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana siswa mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan
beberapa
pendapat
yang
telah
dikemukakan
dapat
disimpulkan aspek-aspek kecerdasan emosi meliputi mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, membina hubungan. Untuk selanjutnya dijadikan indikator alat ukur kecerdasan emosi dalam penelitian, dengan pertimbangan aspek-aspek tersebut sudah cukup mewakili dalam mengungkap sejauh mana kecerdasan emosi subjek penelitian.
3.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi Goleman (1997) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaruhi kecerdasan emosional seseorang yaitu: a. Lingkungan keluarga. Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama bagi anak dalam mempelajari emosi. Kecerdasan emosi dapat diajarkan pada saat masih bayi melalui ekspresi wajah. Peristiwa emosional yang terjadi pada masa anak-anak akan melekat dan menetap secara permanen hingga dewasa kehidupan emosional yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi masa depan anak. b. Lingkungan non keluarga. Hal ini yang terkait adalah lingkungan masyarakat dan pendidikan. Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan perkembangan fisik dan mental anak. Pembelajaran ini biasanya ditujukan dalam suatu aktivitas bermain peran sebagai seseorang diluar dirinya dengan emosi yang menyertai keadaan orang lain. Menurut Le Dove (dalam Goleman. 1997) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi antara lain:
Universitas Sumatera Utara
a. Fisik. Secara fisik bagian yang paling menentukan atau paling berpengaruh terhadap kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi saraf emosinya. Bagian otak yang digunakan untuk berfikir yaitu korteks (kadang kadang disebut juga neo korteks). Sebagai bagian yang berada dibagian otak yang mengatur emosi yaitu system limbic, tetapi sesungguhnya antara kedua bagian inilah yang menentukan kecerdasan emosi seseorang. 1. Korteks. Bagian ini berupa bagian berlipat-lipat kira kira 3 milimeter yang membungkus hemisfer serebral dalam otak. Korteks berperan penting dalam memahami sesuatu secara mendalam, menganalisis mengapa mengalami perasaan tertentu dan selanjutnya berbuat sesuatu untuk mengatasinya. Korteks khusus lobus prefrontal, dapat bertindak sebagai saklar peredam yang memberi arti terhadap situasi emosi sebelum berbuat sesuatu. 2. Sistem limbic. Bagian ini sering disebut sebagai emosi otak yang letaknya jauh didalam hemisfer otak besar dan terutama bertanggung jawab atas engaturan emosi dan implus. Sistem limbic meliputi hippocampus, empat berlangsungnya proses pembelajaran emosi dan tempat isimpannya emosi. Selain itu ada amygdala yang dipandang sebagai pusat pengendalian emosi pada otak. b.
Psikis. Kecerdasan emosi selain dipengaruhi oleh kepribadian individu, juga dapat dipupuk dan diperkuat dalam diri individu. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut Le Dove
(dalam Goleman. 1997) terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan
Universitas Sumatera Utara
emosi seseorang yaitu secara fisik dan psikis. Secara fisik terletak dibagian otak yaitu konteks dan sistem limbic, secara psikis meliputi lingkungan keluarga dan lingkungan non keluarga sedangkan menurut Goleman, (1997) faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi yaitu, keluarga dan non keluarga. Menurut Goleman (2000) terdapat 2 faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang, antara lain: 1. Pengalaman Kecerdasan emosi dapat meningkat sejalan dengan kehidupan manusia. Sepanjang
perjalanan
hidup,
kecerdasan
emosi
biasanya
cenderung
berrtambah sementara manusia belajar untuk menangani suasana hati, menangani emosi yang menyulitkan sehingga semakin cerdas dalam hal emosi. Menurut Mayer (dalam Goleman, 2000)kecerdasan emosi berkembang sejalan dengan usia dan pengalaman dari masa kanak- kanak hingga dewasa. 2. Usia Pada masa remaja, kecerdasan emosi paling besar terbentuk pada masa remaja pertengahan. Stein & Book (2004) melakukan penelitian terhadap 4000 orang di Kanada dan Amerika Serikat dimana hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa kecerdasan emosi meningkat seiring dengan usia seseorang. . Hal ini dikarenakan pada masa remaja tengah hubungan tersebut telah menjadi hubungan yang menyenangkan dan penuh kasih sayang. Pada masa ini, remaja mulai mengevaluasi apa yang baik dan buruk bagi dirinya.
Universitas Sumatera Utara
4.
Ciri-ciri anak yang memiliki kecerdasan emosi Menurut Goleman (2001) terdapat beberapa ciri-ciri anak yang memiliki
kecerdasan emosi tinggi dan rendah a. Anak dengan kecerdasan emosi (EQ) tinggi memiliki ciri-ciri: 1. memikirkan tindakan dan perasaaan sebelum melakukan sesuatu 2. mampu mengendalikan perasaan seperti marah, agresif, dan tidak sabar 3. memikirkan akibat sebelum bertindak 4. berusaha dan mempunyai daya tahan untuk mencapai tujuan hidup 5. sadar akan perasaan diri dan orang lain 6. berempati dengan orang lain 7. dapat mengendalikan mood dan perasaan negatif 8. membentuk konsep diri yang positif 9. mudah menjalin persahabatan dengan orang lain 10. mahir dalam berkomunikasi 11. menyelesaikan konflik sosial dengan cara damai b. Anak dengan kecerdasan emosi (EQ) rendah memiliki ciri-ciri 1. bertindak mengikuti perasaan, tanpa memikirkan akibat 2. pemarah, bertindak agresif 3. memiliki tujuan hidup dan cita-cita yang tidak jelas 4. kurang peka terhadap perasaaan diri 5. tidak dapat mengendalikan perasaan dan mood yang negatif 6. terpengaruh oleh perasaan negatif
Universitas Sumatera Utara
7. harga diri negatif 8. tidak mampu menjalin persahabatan dengan orang lain 9. menyelesaikan konflik dengan kekerasan
D. Remaja 1. Pengertian remaja Istilah Adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa (Hurlock, 1999). Piaget (dalam Hurlock, 1999) mengatakan bahwa secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Pada masa remaja (usia 12 sampai dengan 21 tahun) terdapat beberapa fase yaitu, fase remaja awal (usia 12 tahun sampai dengan 15 tahun), remaja pertengahan (usia 15 tahun sampai dengan 18 tahun) masa remaja akhir (usia 18 sampai dengan 21 tahun) dan diantaranya juga terdapat fase pubertas yang merupakan fase yang sangat singkat dan terkadang menjadi masalah tersendiri bagi remaja dalam menghadapinya. (Monks, 1999).
2. Tugas perkembangan remaja Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999), tugas perkembangan remaja meliputi:
Universitas Sumatera Utara
a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita b. Mencapai peran sosial pria, dan wanita c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya f. Mempersiapkan karir ekonomi g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku-mengembangkan ideologi.
3. Ciri-ciri masa remaja Sesuai dengan pembagian usia remaja menurut Monks (1999) maka terdapat tiga tahap proses perkembangan yang dilalui remaja dalam proses menuju kedewasaan, disertai dengan karakteristiknya, yaitu : a. Masa remaja awal (12-15 tahun) Pada tahap ini, remaja masih merasa bingung dan mulai beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan tersebut. Mereka mulai mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis. Kepekaan yang berlebihan ini ditambah dengan berkurangnya
Universitas Sumatera Utara
pengendalian terhadap emosi dan menyebabkan remaja sulit mengerti dan dimengerti oleh orang dewasa. b. Masa remaja madya (15-18 tahun) Pada
tahap
ini,
remaja
sangat
membutuhkan
teman-teman.
Ada
kecenderungan narsistik yaitu mencintai dirinya sendiri, dengan cara lebih menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Pada tahap ini remaja berada dalam kondisi kebingungan karena masih ragu harus memilih yang mana, peka atau peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis, dan sebagainya. c. Masa remaja akhir (18-21 tahun) Tahap ini adalah masa mendekati kedewasaan yang ditandai dengan pencapaian : 1) Minat yang semakin mantap terhadap fungsi-fungsi intelektual 2) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan mendapatkan pengalaman-pengalaman baru 3) Terbentuknya identitas seksual yang tidak akan berubah lagi 4) Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain 5) Tumbuh dinding pemisah antara diri sendiri dengan masyarakat umum Berdasarkan ciri-ciri remaja diatas dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan periode yang penting, masa peralihan, masa perubahan, masa yang bermasalah dan juga masa pencarian identitas diri dimana pada usia ini
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan ketakutan pada diri remja. Selain itu, usia remaja terbagi atas tiga tahap yaitu, remaja awal, remaja madya dan remaja akhir.
4. Perubahan masa remaja a. Perubahan fisik Perubahan fisik berhubungan dengan aspek anotomi dan aspek fisiologis, dimasa remaja kelenjar hipofesa menjadi masak dan mengeluarkan beberapa
hormon,
seperti
hormon
gonotrop
yang
berfungsi
untuk
mempercepat kemasakan sel telur dan sperma, serta mempengaruhi produksi hormon kortikortop berfungsi mempengaruhi kelenjar suprenalis, testosterone, oestrogen, dan suprenalis yang mempengaruhi pertumbuhan anak sehingga terjadi percepatan pertumbuhan (Monks dkk, 1999). b. Perubahan Emosional Pola emosi pada masa remaja sama dengan pola emosi pada masa kanak-kanak. Pola-pola emosi itu berupa marah, takut, cemburu, ingin tahu, iri hati, gembira, sedih dan kasih sayang. Perbedaan terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan pengendalian dalam mengekspresikan emosi. Remaja umumnya memiliki kondisi emosi yang labil pengalaman emosi yang ekstrem dan selalu merasa mendapatkan tekanan. Bila pada akhir masa remaja mampu menahan diri untuk tidak mengeksperesikan emosi secara ekstrem dan mampu memgekspresikan emosi secara tepat sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan dan dengan cara yang dapat diterima masyarakat, dengan
Universitas Sumatera Utara
kata lain remaja yang mencapai kematangan emosi akan memberikan reaksi emosi yang stabil (Hurlock, 1999). c. Perubahaan sosial Perubahan fisik dan emosi pada masa remaja juga mengakibatkan perubahan dan perkembangan remaja. Terdapat dua bentuk perkembangan remaja yaitu, memisahkan diri dari orangtua dan menuju kearah teman sebaya. Remaja berusaha melepaskan diri dari otoritas orangtua dengan maksud menemukan jati diri. Remaja lebih banyak berada di luar rumah dan berkumpul bersama teman sebayanya dengan membentuk kelompok dan mengeksperesikan segala potensi yang dimiliki. Kondisi ini membuat remaja sangat rentan terhadap pengaruh teman dalam hal minat, sikap penampilan dan perilaku. Perubahan yang paling menonjol adalah hubungan heteroseksual. Remaja akan memperlihatkan perubahan radikal dari tidak menyukai lawan jenis menjadi lebih menyukai. Remaja ingin diterima, diperhatikan dan dicintai oleh lawan jenis dan kelompoknya (Monks, dkk 1999). Berdasarkan beberapa perubahan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada masa remaja individu akan mengalami perubahan pada kondisi fisik, kemampuan emosional pada masa remaja memiliki kondisi emosi yang labil pengalaman emosi yang ekstrem dan selalu merasa mendapatkan tekanan serta perubahan kemampuan sosial remaja.
Universitas Sumatera Utara
E. Hubungan attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki Keluarga merupakan kelompok sosial kecil yang umumnya terdiri atas ayah, ibu, dan anak (Ahmadi, 2004). Sejak anak dilahirkan keluarga adalah lingkungan pertama yang mereka kenal. Keluarga juga merupakan lingkungan pertama bagi individu untuk belajar memahami dirinya sendiri. Orangtua sebagai pengendali keluarga, memegang peranan dalam membentuk hubungan keluarga dengan anakanak mereka. Orangtua merupakan orang yang paling dekat dengan remaja, mengenal keadaan diri remaja, dan sebagai tempat aman bagi remaja untuk berbagi masalah, informasi, dan berbagi kasih sayang (Maharani & Andayani, 2004). Orang tua merupakan sistem dukungan dan tokoh attachment yang paling penting (Santrock,2003). Doyle & Moretti (2000) mengatakan bahwa orangtua memegang peranan yang sangat penting dalam mendukung secure attachment selama masa kanak-kanak menuju dewasa (masa remaja). Menurut Ainsworth (1969) attachment adalah ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalan suatu attachment yang bersifat kekal sepanjang waktu. Ainsworth (1969) membagi attachment menjadi 3 pola attachment yaitu, secure attachment, anxious attachment dan avoidant attachment. Remaja yang memperoleh secure attachment cenderung memiliki percaya, hubungan jangka panjang. memiliki harga diri yang tinggi, menikmati hubungan intim, mencari dukungan sosial, dan kemampuan untuk berbagi perasaan dengan orang lain
Universitas Sumatera Utara
(McCarthy G., 1999),lebih empatik selama masa kanak-kanak akhir. Anxious attachment cenderung sangat curiga terhadap orang asing. Saat memasuki masa dewasa, mereka yang memperoleh anxious attachment sering merasa enggan menjalin hubungan yang dekat dengan orang lain. Sedangkan remaja yang memperoleh avoidant attachment tidak menunjukkan preferensi antara orang tua dan orang asing. Saat masa dewasa, mereka dengan avoidant attachment cenderung mengalami kesulitan dengan hubungan intim dan dekat. Individuindividu ini tidak berinvestasi banyak emosi dalam hubungan dan mereka sering menghindari keintiman Attachment tidak hanya didapatkan anak dari ibu, namun juga dapat diperoleh dari figur yang memberikan rasa aman dan nyaman bagi anak, salah satunya adalah ayah (Bowlby dalam Haditono dkk, 1994).Ayah merupakan tulang punggung pencari nafkah dan kepala kelurga yang harus bertanggung jawab yang menjadi figur panutan sebagai pribadi, terhadap istri, anak, keluarga serta sosial masyarakat (Kriswanduru, 2004). Remaja membutuhkan ayah bukan hanya sebagai sumber materi akan tetapi juga sebagai pemberi arahan terhadap perkembangan anak (Gunarsa, 2000). Ayah berkaitan dengan tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan keluarga serta tugas-tugas kepemimpinannya sebagai pemimpin rumah tangga. Ayah juga harus melakukan peran sebagai fatherhood dimana sosok ayah harus dapat menciptakan suasana santai dan nyaman dengan anak-anaknya (Pratama dalam Slameto,2002). Levant mengemukakan bahwa ayah memiliki kemampuan untuk mengenali dan menanggapi emosi anak secara konstruktif
Universitas Sumatera Utara
terhadap anak laki-laki dibandingkan pada anak perempuan. Ayah yang terlibat dan sensitif dalam pengasuhan anak akan memberikan efek yang positif pada perkembangan anak (Andayani &Koentjoro, 2004). Attachment dengan orang tua khususnya ayah dapat membentuk kompetensi sosial, kesejahteraan sosial remaja seperti ciri-ciri harga diri, penyesesuaian emosional dan kesejahteraan fisik remaja (Allen, dkk 1994; Kobak& Cole dalam Santrock,2003). Pada anak laki-laki ciriciri maskulin yang ia miliki akan tidak tampak apabila remaja laki-laki tersebut tidak memperoleh perhatian dari ayah (Watson, Lindgren dalam Dagun, 2002). Memasuki usia remaja, attachment yang terbentuk tidak lagi berwujud kelekatan (fisik) melainkan lebih kepada ikatan emosional (Greenberg et, al dalam O’koon, 1997). Attachment
dengan orang tua pada masa remaja dapat membentuk
kompetensi sosial, kesejahteraan sosial remaja seperti ciri-ciri harga diri, penyesuaian emosional dan kesejahteraan fisik (Allen, dkk 1994; Kobak & Cole dalam Santrock, 2003). Penyesuaian emosi dibutuhkan remaja dalam menjalin hubungan sosial dengan orang lain. Dimana dalam penyesuaian emosional tersebut diperlukan adanya kecerdasan emosi dalam diri remaja. Goleman (1997) mendefinisikan bahwa kecerdasan emosi adalah suatu kemampuan seseorang yang didalamnya terdiri dari berbagai kemampuan untuk dapat memotivasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan impulsive needs atau dorongan hati, tidak melebih-lebihkan kesenangan maupun kesusahan, mampu mengatur reactive needs, menjaga agar bebas stress, tidak
Universitas Sumatera Utara
melumpuhkan kemampuan berfikir dan kemampuan untuk berempati pada orang lain, serta adanya prinsip berusaha sambil berdoa. Remaja dengan kecerdasan emosi (EQ) tinggi memiliki ciri-ciri: antara lain, memikirkan tindakan dan perasaaan sebelum melakukan sesuatu, mampu mengendalikan perasaan seperti marah, agresif, dan tidak sabar, memikirkan akibat sebelum bertindak, berusaha dan mempunyai daya tahan untuk mencapai tujuan hidup, sadar akan perasaan diri dan orang lain, berempati dengan orang lain, dapat mengendalikan mood dan perasaan negatif, membentuk konsep diri yang positif sedangkan, anak dengan kecerdasan emosi (EQ) rendah memiliki ciriciri antara lain, bertindak mengikuti perasaan, tanpa memikirkan akibat, pemarah, bertindak agresif, tidak dapat mengendalikan perasaan dan mood yang negatif, terpengaruh oleh perasaan negatif, menyelesaikan konflik dengan kekerasan (Goleman, 2001). Remaja laki-laki memiliki tingkat kecerdasan emosi yang lebih rendah dibandingkan remaja perempuan. Baldwin (2002) sumber stres pada remaja lakilaki dan perempuan pada umumnya adalah sama, hanya saja remaja perempuan sering merasa cemas ketika sedang menghadapi masalah, sedangkan pada remaja laki-laki cenderung lebih berperilaku agresi dan melakukan perbuatan negatif. Hal ini sejalan dengan penelitian yang menunjukkan bahwa laki-laki lebih tinggi perilaku delikuensinya daripada perempuan (Broidy and Agnew, Caldwell et al, Steffensmeirer and Allan, dalam Gudjonsson, 2008). Dimana remaja laki-laki memiliki emotional regression, yaitu lebih agresif, rendah diri, kegelisahan, dan mementingkan diri sendiri (Srivastava, 2005). Sehingga remaja laki-laki lebih
Universitas Sumatera Utara
sering menunjukkan kemarahan terhadap orang asing terutama laki-laki lain, ketika mereka merasa ditantang, dan laki-laki lebih suka mengubah kemarahannya itu ke dalam perilaku agresif (Travis dalam Santrock, 2003).
E. Hipotesa Penelitian Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki. 1. Ada hubungan positif secure attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki 2. Ada hubungan negatif anxious attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki. 3. Ada hubungan negatif avoidant attachment terhadap ayah dengan kecerdasan emosi pada remaja laki-laki.
Universitas Sumatera Utara