Bab 2 Landasan Teori
2.1.
Konsep Hikikomori
Istilah hikikomori ditemukan oleh seorang psikolog Jepang yang bernama Saito Tamaki ( Janti, 2006:189). Saito dalam Janti (2006: 189) menjelaskan bahwa gejala hikikomori adalah satu gejala dimana penderitanya mengurung diri lebih dari enam di dalam kamar tanpa bersosialisasi dengan dunia pekerjaan dan sekolah, dan hanya berhubungan dengan keluarga. berdasarkan arti tersebut, ada 2 (dua) unsur gejala hikikomori, yaitu: 1. Unsur “keadaan” yaitu keaadaan yang menunjukkan seseorang tidak keluar rumah, mengurung diri di dalam sebuah kamar, dan tidak mau bersosialisasi. Jika penderita dalam kondisi sedang bekerja atau bersekolah maka si penderita tidak aktif dari kegiatan sehari-harinya. 2. Unsur “waktu” yaitu waktu yang lebih dari enam bulan bahkan bisa bertahun-tahun. Menurut Saito dalam janti (2006: 189) hikikomori bukanlah sejenis penyakit atau diagnosis, kata ini hanya digunakan untuk mengungkapkan keadaan. Jika keadaan ini terus berlanjut dan muncul gejala kejiwaan/ psikis maka diperlukan penyembuhan. Sebaliknya, hikikomori bisa terjadi karena adanya gejala dari gangguan mental (schizophrenia) dan depresi yang sudah ada sebelumnya. 二十代後半までに問題化し、六月以上、自宅にひきこもって社会参加を しない状態が持続しており、ほかの精神障害がその第一の原因とは考えに くいもの (草平, 2007: 4 ).
7
Terjemahan: Masalah dari pertengahan abad ke dua puluh terakhir, terus menerus tidak bersosialisasi dengan mengurung diri di rumah, selama lebih dari enam bulan, merupakan salah satu penyakit jiwa yang sulit untuk dipikirkan. Saitou dalam Kusahira (2007: 4). Para ahli mengatakan bahwa sekitar delapan puluh persen penderita hikikomori adalah laki-laki, tetapi ada juga gejala hikikomori yang dialami perempuan dengan jumlah yang lebih sedikit. Gejala hikikomori juga dialami oleh para remaja yang berusia tiga belas sampai lima belas tahun atau lebih. Mereka yang mengalami gejala ini tinggal di dalam kamar ( ruang tertutup ) lebih dari enam bulan bahkan untuk yang paling parah mereka sanggup bertahan sampai bertahun-tahun lamanya ( Jones, 2006). Jika hikikomori terus berlanjut akan muncul gejala-gejala gangguan jiwa seperti depresi, tidak berani untuk bertemu dengan orang lain atau sulit berinteraksi dengan orang lain sehingga perlu penangganan khusus untuk menanganinya (Janti, 2006: 189) Walaupun sebelumnya telah dikatakan bahwa seorang penderita gejala hikikomori menolak bersosialisasi dengan orang lain, bukan berarti mereka menutup diri dari informasi yang ditayangkan di internet maupun yang ada di televisi (Janti, 2006:190). Menurut Murakami (2000), Seorang penderita hikikomori menolak bersosialisasi dengan orang lain dan pada umumnya dari tindakan tersebut mereka mengunci dirinya di dalam kamar selama lebih dari enam bulan. Bukan hanya mengunci dan menarik diri saja, tetapi kehidupan seorang penderita hikikomori berbeda dengan manusia normal. Perbedaan tersebut adalah pada siang hari mereka tertidur pulas dan pada malam hari mereka terjaga. Pada saat terjaga, mereka mempunyai kesibukan sendiri seperti bermain game, menonton video, dan lain-lain. Hikikomori juga mempunyai kebiasaan yang lain, yaitu terobsesi akan game, benda-benda kesukaannya, dan lain-lainnya.
8
Seperti yang diketahui sebelumnya bahwa penderita hikikomori selalu berada di dalam kamar, namun ternyata ada juga beberapa penderita hikikomori yang mau keluar dari kamarnya hanya untuk makan bersama orang tua mereka atau berbelanja keluar rumah di tengah malam hanya untuk membeli CD atau dan yang lainnya (Jones, 2006). Untuk manusia normal keluar rumah dengan memberitahu kepada orang tuanya adalah sebuah hal biasa, tetapi berbeda dengan para penderita hikikomori. Seorang penderita gejala hikikomori lebih menyukai keluar rumah diam-diam tanpa diketahui oleh siapa pun dan rutinitas keluar rumahnya pun sangatlah jarang, sehari sekali atau seminggu sekali dan mereka hanya keluar rumah untuk membeli kebutuhan pribadinya saja. Tidak hanya itu, mereka juga lebih sering mengunjungi convinience store yang dapat menyediakan semua kebutuhan mereka dan yang membuat mereka nyaman di toko kecil itu adalah karena pelayanan yang cepat dan tanpa basa-basi (Jones, 2006). Bagi sebagian besar penderita hikikomori mengganggap bahwa sekolah adalah tahuntahun sengsara mereka karena secara mau tidak mau mereka harus mengikuti norma yang ada. Seringkali yang terjadi adalah seseorang yang berbeda diantara temantemannya akan dianiaya oleh temannya yang lain karena mereka malu, gemuk, kekurangan atau memiliki kelebihan di bidang musik, olahraga atau yang lainnya (Jones, 2006). Bentuk dari penganiayaan yang dilakukan oleh teman-temannya dapat berupa penganiayaan secara tindakan atau melalui ucapan (Kusahira, 2007: 1). Karena penganiayaan inilah seseorang dapat menjadi hikikomori. Intimidasi atau dalam bahasa Jepang disebut dengan ijime sering dilakukan oleh anak sekolah dasar, menengah, dan atas. Ijime merupakan penyebab hikikomori yang paling besar dengan persentase lima puluh empat persen (Hattori, 2005: 188)
9
Selain ijime ada yang menjadi penyebab lain yang menyebabkan terjadinya hikikomori yaitu tindak kekerasan yang sering dilakukan oleh orang tua pada anak. Banyak penderita hikikomori yang melapor bahwa orang tua mereka sering memukul mereka. Hal ini tidak sebanyak penderita tindakan ijime. Penyebab gejala hikikomori karena tindakan kekerasan orang tua hanya sebesar sebelas persen (Hattori, 2005: 189). 「ひきこもり」というと自室に閉じこもって出てこないというイメージが ある。外出しないのはもちろんのこと、家族とも会話をしない。家族は会 話をする必要があると部屋の前にメモを残して、それへの返事のメモがあ ることによって、家族は当事者が生きていることを知ることができるとい うようなものである (Kusahira, 2007: Terjemahan: Hikikomori merupakan gambaran dari mengurung diri dan tidak keluar dari ruangan. Tidak keluar merupakan hal yang pasti, dan juga tidak berbicara dengan anggota keluarga. Jika perlu berbicara dengan anggota keluarga mereka menggunakan memo yang ditaruh di depan kamar, berdasarkan memo balasan ini, bisa dikatakan bahwa mereka hidup bersama anggota keluarga. Beberapa gejala hikikomori yaitu tidak muncul secara drastis, melainkan secara bertahap sampai akhirnya pelaku benar-benar mengunci pintu kamarnya. Sebelum menjadi seorang penderita hikikomori, mereka sering terlihat tidak bahagia, kehilangan teman, merasa tidak aman, malu dan berdiam diri. Kadang-kadang mereka menjadi bahan ejekan dari teman-temannya di sekolah, karena sudah mencapai puncaknya maka hal tersebut dapat menjadi penyebab pengurungan diri. Bagi hikikomori yang masih bersekolah, gejala awalnya adalah toukoukyohi yaitu penolakan untuk pergi ke sekolah. Hal tersebut dapat disebabkan karena adanya tekanan dari teman-temannya sehingga pelaku merasa tidak nyaman lagi di sekolah (Janti, 2006: 193). Ada dua penyebab gejala hikikomori yaitu penyebab dari luar dan penyebab dari dalam. Penyebab gejala hikikomori dari luar adalah lingkungan sekitar yang bertindak
10
kejam kepada si korban sehingga ia terkena depresi. Adapun penyebab dari dalam yaitu ketergantungan anak kepada orang tua membuat mereka di ijime, toukoukyouhi, depresi (Janti, 2006: 194). Menurut Dziensinski (2004: 11), ada tiga kelompok kekuatan sosial atau tiga tingkat tekanan yang dapat membuat mereka menjadi di asingkan. Pertama, harapan tinggi untuk menyesuaikan norma budaya dan
hidup sukses. Kedua, institusi sosial,
pendidikan yang dapat melengkapi hidup dukungan terjadinya hikikomori. “Aku” mendapat tekanan pada tingkatan yang pertama yaitu pada norma di masyarakat Jepang.sukses. Ketiga, peran keluarga, terutama hubungan orang tua dan anak, yang memberikan fasilitas.
2.2
Teori Depresi
Salah satu penyebab hikikomori adalah depresi. Depresi dapat menjadi penyebab internal dan eksternal hikikomori tergantung pada kondisi orang tersebut. Menurut Alim (2009) bahwa orang yang terkena depresi akan terlihat sedih, tidak bahagia, dan menderita. Menurut Kelliat dalam Referensi Kesehatan (2008), bahwa perasaan sedih yang berlebihan, murung, tidak bersemangat, merasa tidak berharga, tidak ada harapan, merasa gagal dan menuduh diri sendiri, dan sering disertai dengan rasa iri hati dan ingin bunuh diri karena orang tersebut sudah putus asa dengan dirinya sendiri. Depresi dapat terjadi dari faktor biologi, Psikologi, hidup yang stress, dan obatobatan. Depresi juga dapat terjadi karena adanya pengalaman pahit dan kejam yang dialami oleh seseorang sehingga membuat dirinya menjadi trauma (Anna, 2010). Berdasarkan Referensi Kesehatan (2008), ada beberapa faktor yang berkaitan dengan terjadinya depresi yaitu: berbagai penyakit fisik, faktor psikis, faktor sosial dan 11
lingkungan, faktor obat, faktor usia, dan faktor genetik. Pada penderita hikikomori, depresi dapat terjadi karena adanya ijime yang dilakukan oleh pelaku sehingga korban tersebut menjadi depresi akibat tindakan ijime tersebut. Tetapi, di sisi lain, depresi pada penderita hikikomori terjadi karena adanya pola pikir negatif yang membuat korban menjadi depresi.
2.3
Teori Ijime
Ijime mulai meluas terjadi pada pertengahan tahun delapan puluhan (Sugimoto, 2010: 136). Ijime adalah gangguan yang berupa ejekan, penganiayaan, perendahan martabat dan lain-lainnya. Biasanya ijime bisa berakhir dengan tindakan bunuh diri (jisatsu) yang dilakukan oleh korban dan biasanya ijime terjadi di kalangan anak SD atau SMP (Roychansyah, 2006). Definisi ijime di Jepang berbeda arti dengan yang di Barat (Roychansyah, 2006). Walaupun sama-sama berarti “bullying” tetapi arti ijime di Jepang lebih cenderung ke arah mental dibanding kekerasan secara fisik. Definisi ijime yang paling mendekati adalah menurut pandangan Morita dalam Roychansyah (2006) mengemukakan definisi ijime menurut beliau adalah sebuah tindakan agresif dari seseorang yang mempunyai posisi yang dominan di dalam sebuah kelompok interaksi dengan sengaja atau bersamaan melakukan kegiatan yang menyebabkan perasaan terluka pada seseorang di dalam kelompok tersebut. Taki dalam Roychansyah (2006) ikut mengemukakan bahwa ijime dilakukan bukan pada kekerasan fisik tetapi pada mental. Menurut pandangan Taki dalam Roychansyah (2006) bahwa ada beberapa kondisi penting dari ijime yaitu korban sudah merasa menjadi bagian dari kelompok, ketidakseimbangan pengaruh atau kekuatan lain (non fisik), intensitas ijime sering 12
terjadi. Hara dalam Roychansyah (2006) menambahkan bahwa ijime yang dilakukan bukan oleh perorangan melainkan secara berkelompok. Menurut Nesdale dan Naito dalam Roychansyah (2006) bahwa ijime biasanya lebih banyak terjadi pada anak-anak perempuan tetapi tidak menutup kemungkinan ijime dapat terjadi pada anak laki-laki walaupun jumlahnya lebih sedikit. Morita dalam Roychansyah (2006) mengungkapkan bahwa ijime menganut “falsafah coca cola” yaitu kapan saja, dimana saja, dan siapa saja dapat melakukan ijime jika waktunya memungkinkan atau mendukung. Menurut Taki dalam Roychansyah (2006) ada empat sumber stres yang timbul atau melatarbelakangi terjadinya ijime yaitu belajar, teman, guru, dan keluarga. Tetapi guru dan keluarga juga dapat menjadi seseorang yang membantu meringankan beban stres. Keterkaitan pelajaran dapat menjadi awal mula terjadinya ijime yang terjadi di keluarga dikarenakan tuntuan keluarga akan pendidikan yang tinggi. Sedangkan dari guru, bisa terjadi karena perilaku tidak adil, tak mau mendengarkan pendapat, atau pada masalah pribadi. Menurut pandangan Taki dalam Roycahnsyah (2006) bahwa pada pelaku dan korban ijime bisa menghasilkan stres yang sama.
2.4.
Teori Fiksi
Fiksi adalah suatu bentuk karya kreatif cara pengarang mewujudkan dan mengembangkan tokoh ceritanya tidak dapat lepas dari kebebasan kreativitas dari pengarang. Fiksi mengandung dan menawarkan kehidupan yang digambarkan oleh pandangan si pengarang melalui sikap dan pengalaman tokoh (Caroline, 1998: 24). Menurut Minderop ( 2005: 1) fiksi adalah segala bentuk narasi dalam bentuk prosa atau sajak dan merupakan karya imajinasi. Cerita fiksi merupakan cerita rekaan dan 13
bukan cerita yang sebenarnya. Karya fiksi dapat berupa novel, drama, puisi dan lainlainnya.
2.5
Teori Penokohan
Menurut Jones dalam Nurgiyantoro (2005: 165) Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Menurut Stanton dalam Nurgiyantoro (2005: 165) “karakter” (character) sendiri dalam berbagai literatur bahasa Inggris tertuju pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan, dan berbagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi dan prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut. Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2005: 165) Tokoh cerita (character) adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan yang dilakukan dengan tindakan. Menurut Hornby dalam Minderop (2005: 2) mengungkapkan bahwa karakter dapat berarti tokoh dalam karya sastra , peran, masyarakat, orang dan lain-lain. Karakterisasi berarti pemeranan atau pelukisan watak. Metode karakterisasi dalam sebuah karya sastra berarti metode melukiskan watak para tokoh yang ada di dalam sebuah karya sastra. Metode karakterisasi tidak hanya terbatas pada metode langsung dan tidak langsung tetapi ada metode lain yang dapat digunakan yaitu karakterisasi melalui sudut pandang, melalui telaah arus kesadaran, dan telaah gaya bahasa (Minderop, 2005: 3). Menurut Nurgiyantoro (2005: 167) tokoh cerita mempunyai posisi yang sangat penting dalam alur cerita karena seorang tokoh cerita sebagai pembawa dan penyampai 14
pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang dengan sengaja ingin disampaikan kepada pembaca. Seorang tokoh cerita dikatakan wajar dan relevan jika dapat mencerminkan dan mempunyai kemiripan dengan kehidupan manusia pada umunya (Nurgiyantoro, 2005: 168). Menurut Nurgiyantoro (2005: 177) Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh utama sangat menentukan perkembangan plot, tidak selalu muncul di setiap kejadian. Menurut Nurgiyantoro (2005: 166) Pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya ada jika ada kaitannya dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tidak langsung. Menurut Altenbernd dan Lewis dalam Nurgiyantoro (2005: 178-179) Dilihat dari fungsi penampilan tokoh, tokoh dapat dibedakan atas protagonis dan antagonis. Tokoh protagonist adalah tokoh yang dikagumi, tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi pembaca. Tokoh antagonis adalah tokoh penyebab terjadinya konflik. Tokoh antagonis beraposisi dengan tokoh prot agonis secara langsung maupun tidak langsung dan baik yang bersifat batin maupun fisik.
15