BAB II LANDASAN TEORI
A. Makna Hidup A. 1. Definisi Makna Hidup Istilah makna hidup dikemukakan oleh Victor Frankl, seorang dokter ahli penyaki saraf dan jiwa yang landasan teorinya disebut logoterapi. Kata logoterapi berasal dari kata ”logos” yang artinya makna (meaning) atau rohani (spiritualy), sedangkan ”terapi” adalah penyembuhan atau pengobatan. Logoterapi secara umum mengakui adanya dimensi kerohanian pada manusia disamping dimensi ragawi dan kejiwaan, serta beranggapan bahwa makna hidup (the meaning of life) dan hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning) merupakan motivasi utama manusia guna meraih taraf kehidupan bermakna (the meaningfull life) yang didambakan (Frankl dalam Bastaman 2007). Pencarian akan makna hidup akan berlangsung setua manusia itu sendiri. Hal ini adalah karakteristik utama yang membedakan keberadaan manusia dengan hewan (Lukas, 1986). Makna hidup adalah hal-hal yang dipandang penting, dirasakan berharga dan diyakini sebagai sesuatu yang benar sarta dapat dijadikan tujuan hidupnya. Makna hidup bila berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan ini berarti dan biasanya individu yang menemukan dan mengembangkannya akan terhindar dari keputusasaan (Bastaman, 1996). Makna hidup dapat ditemukan dalam kehidupan itu sendiri, baik dalam keadaan yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, keadaan bahagia, dan penderitaan. Ungkapan seperti ”makna
Universitas Sumatera Utara
dalam derita” (meaning in suffering) atau ”hikmah dalam musibah” (blessing in disguise) menunjukkan bahwa dalam penderitaan sekalipun makna hidup akan tetap dapat ditemukan. Bila hasrat ini dapat dipenuhi maka kehidupan akan dirasakan berguna, berharga dan berarti (meaningfull) akan dialami. Sebaliknya bila hasrat ini tidak terpenuhi akan menyebabkan kehidupan dirasakan tidak bermakna (meaningless), hampa dan tidak berguna (Bastaman, 2007). Makna hidup merupakan bagian dari kenyataan hidup yang dapat dijumpai di dalam setiap kehidupan. Oleh karena itu, makna hidup dapat berubah-ubah sewaktu-waktu. Makna hidup tidak dapat diberikan oleh siapapun, tetapi hanya dapat dipenuhi jika dicari dan ditemukan oleh diri sendiri (Frankl, 1984). Individu dalam mencapai makna hidupnya harus menunjukkan tindakan dari komitmen yang muncul dalam dirinya. Melalui komitmen tersebut seseorang akan menjawab tantangan yang ada dan memberikan sesuatu kepada hidup individu yang mencarinya (Koeswara, 1992). A. 2. Karakteristik Makna Hidup Makna hidup sebagaimana dikonsepkan oleh Frankl (dalam Bastaman, 2007) memiliki beberapa karakteristik : a. Makna hidup memiliki sifat yang unik, pribadi dan temporer. Artinya segala sesuatu yang dianggap berarti oleh seseorang belum tentu berarti bagi orang lain. Dalam hal ini makna hidup seseorang dan apa yang bermakna bagi dirinya biasanya bersifat khusus, berbeda dan tidak sama dengan makna hidup orang lain. Selain itu, makna hidup tidak dapat diberikan oleh siapapun melainkan harus ditemukan sendiri (Frankl, dalam Bastaman 1996).
Universitas Sumatera Utara
b. Makna hidup itu spesifik dan nyata, makna hidup dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan sehari-hari serta tidak selalu dikaitkan dengan halhal yang abstrak, tujuan-tujuan idealistis dan prestasi-prestasi akademis. c. Makna hidup memberi pedoman dan arah tujuan terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan A. 3. Sumber-Sumber Makna Hidup Makna hidup menuntut keaktifan dan tanggung jawab individu untuk memenuhinya (Koeswara, 1992). Makna hidup tidak hanya ditemukan dalam keadaan yang menyenangkan, namun juga dapat ditemukan pada saat penderitaan. Dalam kehidupan, terdapat tiga bidang potensial yang mengandung nilai-nilai yang memungkinkan seseorang menemukan makna hidupnya. Ketiga nilai (values) ini merupakan sumber-sumber makna hidup, yang terdiri dari (Frankl, 1984) adalah : a.
Nilai-nilai kreatif (Creative Values) Merupakan salah satu dari cara yang dikemukakan oleh logoterapi dalam memberikan arti bagi kehidupan yaitu dengan “melihat apa yang dapat diberikan bagi kehidupan ini (what we give to life). Melalui tindakan-tindakan kreatif dan menciptakan suatu karya seni, menekuni suatu pekerjaan dan meningkatkan keterlibatan pribadi terhadap tugas serta berusaha untuk mengerjakan dengan sebaik-baiknya (Frankl dalam Bastaman 2007).
b. Nilai-nilai penghayatan (Experiental Values)
Universitas Sumatera Utara
Cara kedua adalah dengan melihat ”apa yang dapat kita ambil dari dunia ini” (what we take form the world). Dengan mengalami sesuatu, melalui kebaikan, kebenaran dan keindahan, dengan menikmati alam dan budaya atau dengan mengenal manusia lain dengan segala keunikannya. Selain itu cinta kasih dapat
menjadikan
seseorang
menghayati
perasaan
berarti
dalam
kehidupannya. Dengan mencintai dan merasa dicintai seseorang akan merasakan hidupnya penuh dengn pengalaman hidup yang membahagiakan (Frankl, dalam Bastaman 2007) c. Nilai-nilai bersikap (Attitudinal Values) Cara ketiga adalah “sikap yang diambil untuk tetap bertahan terhadap penderitaan yang tidak dapat dihindari” (the attitude we take toward unavoidable suffering), Yaitu menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran dan keberanian segala bentuk penderitaan yang tidak mungkin dielakkan lagi. Dalam hal ini yang diubah bukan keadaan namun sikap yang dapat diambil dalam menghadapi keadaan itu. A. 4. Komponen-komponen yang Menentukan Keberhasilan dalam Pencarian Makna Hidup Bastaman (1996) mengemukakan komponen-komponen yang menentukan berhasilnya seseorang dalam merubah hidup dari penghayatan hidup tidak bermakna menjadi lebih bermakna. Komponen-komponen tersebut adalah: 1. Pemahaman Diri (Self Insight), yakni meningkatnya kesadaran atas buruknya kondisi diri pada saat ini dan keinginan kuat untuk melakukan perubahan kearah kondisi yang lebih baik.
Universitas Sumatera Utara
2. Makna Hidup (Meaning of Life), yakni nilai-nilai penting dan sangat berarti bagi kehidupan pribadi seseorang yang berfungsi sebagai tujuan hidup yang harus dipenuhi dan pengarah-pengarah kegiatannya. 3. Pengubahan Sikap (Changing Attitude), dari yang semula tidak tepat menjadi tepat dalam menghadapi masalah, kondisi hidup, dan musibah yang tidak dapat terelakkan. 4. Keikatan Diri (Self Commitment), terhadap makna hidup yang ditemukan dan tujuan yang di tetapkan. 5. Kegiatan Terarah (Directed Activities), yakni upaya-upaya yang dilakukan secara sadar dan sengaja berupa pengembangan potensi-potensi pribadi, bakat, kemampuan, keterampilan yang positif serta pemanfaatan relasi antarpribadi untuk menunjang tercapainya makna hidup dan tujuan. 6. Dukungan Sosial (Social Support), yakni hadirnya seseorang atau sejumlah orang yang akrab, dapat dipercaya dan selalu bersedia membantu pada saatsaat diperlukan. A. 5. Kelompok Orang yang Mencari Makna Frankl (1884) membagi dua kelompok orang yang mencari makna: a. People in Doubt Orang yang berada dalam keraguan, segala sesuatu terlihat buruk dan dipertanyakan. Mereka mencari tujuan hidup untuk dikejar, ide untuk dipercayai dan tugas untuk dipenuhi. Mereka menemukan diri mereka berada dalam kekosongan yang diistilahkan dengan existensial vacuum dan mereka tidak melihat adanya tujuan dalam hidup mereka, serta sedang mencari makna.
Universitas Sumatera Utara
Pencarian makna ini jika tersangkut dalam suatu kondisi permanen keraguan, dan tidak ada perkembangan, mungkin akan menghasilkan neurotis serius, psikotis dan depresi. b. People in Despair People ini despair adalah mereka yang tadinya memiliki orientasi hidup yang bermakna, tetapi kemudian kehilangan makna itu akibat hilangnya rasa percaya diri atau menemukan bahwa makna tersebut mengecewakan. Kelompok ini terdiri dari mereka yan pernah mengejar dalam kesenangan, kekuasaan, kesejahteraan, menyadari mereka mengejar sesuatu yang tidak memiliki kelanjutan dan sekarang masih merasa kosong. Realitas ini dapat mengarah pada kemunduran, perasaan tidak bermakna dan pemikiran untuk bunuh diri. A. 6. Penghayatan Hidup Bermakna Individu yang menghayati hidup bermakna menunjukkan corak kehidupan penuh semangat dan gairah hidup serta jauh dari perasaan hampa dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Tujuan hidup, baik tujuan jangka panjang maupun jangka pendek akan lebih jelas terlihat dan kegiatan individu tersebut akan menjadi terarah (Frankl dalam Bastaman 2007). Menurut Schultz (1991) kehidupan baru terasa bermakna dan mengandung suatu arti ketika berhadapan dengan situasi yang penuh dengan penderitaan. Individu yang berhasil menghayati hidup bermakna akan menjalankan kehidupan sehari-hari dengan penuh gairah dan semangat serta jauh dari perasaan hampa, walaupun dalam situasi yang tidak menyenangkan atau dalam penderitaan (Budiraharjo, 1997). Kebermaknaan hidup dapat diwujudkan dalam sebuah
Universitas Sumatera Utara
keinginan untuk menjadi orang yang berguna untuk orang lain, apakah itu anak, istri, keluarga dekat, komunitas dan negara dan bahkan umat manusia (Ancok dalam Frankl 2003). Bastaman (1996) berdasarkan pada teori Frankl mengajukan suatu proposisi mengenai urutan pengalaman dan tahap-tahap kegiatan seseorang dalam mengubah penghayatan hidup dari kondisi tidak bermakna (meaningless) menjadi bermakna (meaningfull). Proses tersebut digambarkan dalam skema 1 sebagai berikut : Pengalaman tragis (tragic events)
Penghayatan tidak bermakna (meaningless life)
Pemahaman diri (self insight)
Pengubahan Sikap (changing attitude)
Penemuan Makna dan Tujuan Hidup (finding meaning and purpose of life)
Keikatan Diri (self commitment)
Universitas Sumatera Utara
Kegiatan Terarah dan Pemenuhan Makna Hidup (Directed Activities and Fulfilling Meaning)
Hidup Bermakna (Meaningfull Life)
Kebahagiaan (Happiness)
Selanjutnya tahap-tahap ini dapat di kategorikan atas lima kelompok tahapan berdasarkan urutannya, yaitu (Bastaman, 1996) : a. Tahap derita (peristiwa tragis, penghayatan tanpa makna) Individu berada dalam kondisi hidup tidak bermakna. Mungkin ada peristiwa tragis atau kondisi hidup yang tidak menyenangkan. b. Tahap penerimaan diri (pemahaman diri, pengubahan sikap) Muncul kesadaran diri untuk mengubah kondisi diri menjadi lebih baik lagi. Biasanya muncul kesadaran diri ini disebabkan banyak hal, misalnya perenungan diri, konsultasi dengan para ahli, mendapat pandangan dari seseorang, hasil doa dan ibadah, belajar dari pengalaman orang lain atau peristiwa-peristiwa tertentu yang secara dramatis mengubah hidupnya selama ini. c. Tahap penemuan makna hidup (penemuan makna dan penentuan tujuan hidup)
Universitas Sumatera Utara
Menyadari adanya nilai-nilai berharga atau hal-hal yang sangat penting dalam hidup, yang kemudian ditetapkan sebagai tujuan hidup. Hal-hal yang dianggap penting dan berharga itu mungkin saja berupa nilai-nilai kreatif, seperti berkarya, nilai-nilai penghayatan seperti penghayatan keindahan,
keimanan,
keyakinan
dan
nilai-nilai
bersikap
yakni
menentukan sikap yang tepat dalam menghadapi kondisi yang tidak menyenangkan tersebut. d. Tahap realisasi makna (keikatan diri, kegiatan terarah dan pemenuhan makna hidup) Semangat hidup dan gairah kerja meningkat, kemudian secara sadar membuat komitmen diri untuk melakukan berbagai kegiatan nyata yang lebih terarah. Kegiatan ini biasanya berupa pengembangan bakat, kemampuan dan keterampilan. e. Tahap kehidupan bermakna (penghayatan bermakna, kebahagiaan) Pada tahap ini timbul perubahan kondisi hidup yang lebih baik dan mengembangkan penghayatan hidup bermakna dengan kebahagiaan sebagai hasil sampingnya. Bastaman (1996) mengatakan bahwa kenyataannya urutan proses tersebut dapat tidak diikuti secara tepat sesuai dengan konstruksi teori yang ada. A. 7. Penghayatan Hidup Tanpa Makna Individu mungkin saja gagal dalam memenuhi hasrat untuk hidup dengan memiliki makna. Hal ini antara lain karena kurangnya kesadaran bahwa kehidupan dan pengalaman mengandung makna hidup potensial yang dapat
Universitas Sumatera Utara
ditemukan dan kemudian dikembangkan (Bastaman, 1996). Ada individu yang tidak dapat melihat adanya makna hidup dalam keadaan mereka yang buruk padahal makna hidup akan tetap ada. Terkadang kehidupan baru dapat mengandung suatu arti ketika berhadapan dengan situasi yang dipenuhi dengan penderitaan (Schultz, 1991). Ketidakberhasilan menghayati makna hidup biasanya menimbulkan frustasi eksistensial dan kehampaan eksistensial yang ditandai dengan hilangnya minat, berkurangnya insiatif, munculnya perasaan absurd dan hampa, gersang, merasa tidak memiliki tujuan hidup, merasa tidak berarti, serta bosan dan apatis (Koeswara, 1992). Kebosanan adalah ketidakmampuan seseorang untuk membangkitkan minat, sedangkan apatis merupakan ketidakmampuan dalam mengambil prakarsa (Bastaman, 2007). Penghayatan-penghayatan seperti digambarkan di atas mungkin saja tidak terungkap secara nyata, tetapi menjelma dalam berbagai upaya kompensasi dan kehendak yang berlebihan untuk berkuasa (the will to power), bersenang-senang mencari kenikmatan (the will to pleasure) termasuk kegiatan seksual (the will to sex), bekerja (the will to work), dan mengumpulkan uang (the will to money) (Frankl dalam Bastaman 2007).
B. PELACURAN B. 1. Definisi Pelacuran Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), pelacuran merupakan perihal menjual diri sebagai pelacur atau penyundalan. Tabet (1989) dan
Universitas Sumatera Utara
Phaterson (1990) dalam Koentjoro (2004) mengatakan bahwa pelacuran merupakan suatu jenis perburuhan seks perempuan yang membentuk suatu kotinum dari mulai pertukaran jangka pendek uang dan seks, barang dan seks, hingga pertukaran jangka panjang seks dengan pelayanan domestik dan reproduksi seperti dalam pernikahan. Perkins & Bannet dalam Koentjoro 2004) juga mendefinisikan bahwa pelacuran sebagai transaksi bisnis yang disepakati oleh pihak yang terlibat sebagai sesuatu yang bersifat kontrak jangka pendek yang memungkinkan satu orang atau lebih mendapatkan kepuasan seks dengan metode yang beraneka ragam. B. 2. Definisi Pelacur Pelacur adalah seseorang yang melacur di dunia pelacuran (Koentjoro, 2004). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), pelacur adalah perempuan yang melacur. Istilah pelacur menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) berkata dasar lacur yang berarti malang, celaka, gagal, sial atau tidak jadi. Pelacur menurut Pheterson (1996) mengacu kepada mereka yang secara terbuka menawarkan dan menyediakan seks, adalah sebuah status sosial yang telah terstigmasi dan bersifat kriminal. Selain pelacur, muncul istilah baru yakni Pekerja Seks Komersial (PSK) sebagaimana kerap dipakai oleh para pakar (Koentjoro, 2004). Istilah PSK ditolak oleh pemerintah, terutama berkenaan dengan statistik tenaga kerja. Dengan menggunakan PSK, berarti sama dengan memasukkan sektor pelacuran kedalam ruang lingkup lapangan pekerjaan yang sah, sehingga mereka harus didata dan dimasukkan kedalam statistik tenaga kerja (Wagner & Yatim, 1997).
Universitas Sumatera Utara
Selain pelacur dan PSK, kemudian berkembang istilah WTS (wanita tuna susila) karena menganggap bahwa perempuan yang melacurkan diri tidak menuruti aturan susila yang berlaku di masyarakat. Secara legal, pemerintah Indonesia mengeluarkan surat Keputusan Menteri Sosial No. 23/HUK/96 (dalam Koentjoro, 2004) yang menyebut pelacur dengan istilah WTS. Namun menurut Koentjoro (2004) upaya pemerintah saat itu sebenarnya tidak lain untuk melebihhaluskan istilah pelacur. Secara lebih tegas, Koentjoro (2004) menolak istilah WTS atau PSK dan memilih untuk menggunakan pelacur. Hal ini disebabkan karena (1) arti pelacur baik secara denotatif maupun konotatif lebih lengkap dan lebih spesifik (2) istilah pekerja seks berlaku terlalu luas, tidak spesifik dan bermakna ganda (3) istilah pekerja seks dapat diartikan sebagai pengakuan bahwa melacur merupakan pekerjaan. Pelacur sendiri menurut Fieldman dan Mac Cullah (dalam Koentjoro 2004) adalah seseorang yang menggunakan tubuhnya sebagai komoditas untuk menjual seks dalam satuan harga tertentu. Mukherji dan Hantrakul (dalam Koentjoro 2004) mendefinisikan seorang pelacur sebagai seorang perempuan yang menjual dirinya untuk kepentingan seks pada beberapa pria berturut-turut yang dirinya sendiri tidak memiliki kesempatan untuk memilih pria mana yang menjadi langganannya. Berdasarkan semua definisi diatas Koentjoro (2004) mengatakan bahwa seorang pelacur adalah seorang yang berjenis kelamin wanita/perempuan yang digunakan sebagai alat untuk memberi kepuasan seks kepada kaum laki-laki.
Universitas Sumatera Utara
Perempuan berperan sebagai budak dan dibayar oleh laki-laki atas jasa seks mereka. B. 3. Alasan Menjadi Pelacur Koentjoro (2004) mengatakan bahwa secara umum terdapat lima alasan yang paling mempengaruhi dalam menuntun seorang perempuan/wanita menjadi seorang pelacur, adalah : 1. Materialisme Materialisme atau aspirasi untuk mengumpulkan kekayaan merupakan sebuah orientasi yang mengutamakan hal-hal fisik dalam kehidupan. Orang yang hidupnya berorientasi materi akan menjadikan banyaknya jumlah uang yang bisa dikumpulkan dan kepemilikan materi yang dapat mereka miliki sebagai tolak ukur keberhasilan hidup. 2. Modelling Modelling adalah salah satu cara sosialisasi pelacuran yang mudah dilakukan dan efektif. Terdapat banyak pelacur yang telah berhasil mengumpulkan kekayaan di komunitas yang menghasilkan pelacur sehingga masyarakat dapat dengan mudah menemukan model. 3. Dukungan Orang tua Dalam beberapa
kasus,
orang
tua
dan
suami
menggunakan
anak
perempuan/istri mereka sebagai sarana untuk mencapai aspirasi mereka akan materi. 4. Lingkungan yang permisif
Universitas Sumatera Utara
Jika sebuah lingkungan sosial bersikap permisif terhadap pelacuran berarti kontrol tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Jika sebuah komunitas sudah lemah kontrol lingkungannya maka pelacuran akan berkembang di dalam komunitas tersebut. 5. Faktor ekonomis Coleman & Cressey (1984) mengatakan bahwa dalam melakukan pekerjaanya sebagai seorang pelacur, terdapat unsur penting di dalamnya yaitu ada kompensasi berupa uang. B. 4. Jenis-jenis Pelacur Seperti jenis kelompok pekerjaan yang lain, pelacuran juga memiliki keragaman. Feldman dan MacCulloch (dalam Koentjoro, 2004) mengatakan bahwa pelacuran terdiri dari dua jenis yaitu pelacur jalanan dan gadis panggilan. Penggolongan pelacur ditentukan oleh usia (Kartono, 1997), lokasi, tingkat pendidikan dan daya tarik (Koentjoro, 2004). 1. Pelacur Jalanan (Low Class) Untuk tarif pelayanan seks terendah ditawarkan oleh para pelacur jalanan, pelacur seperti ini sering beroperasi selalu berpraktik di tepi jalan atau di lokalisasi liar, di kawasan kumuh, di pasar, di kuburan, di sepanjang rel kereta api dan di lokasi lain yang sulit dijangkau bahkan kadang-kadang berbahaya untuk dapat berhubungan dengan pelacur tersebut (Hull dkk, 1997). Pelacur seperti ini digolongkan kedalam pelacur low class (Kartono, 2003). Pelacur low class pada umumnya tidak mempunyai keterampilan khusus dan kurang berpendidikan (Kartono, 1997). Tarif seorang pelacur low class seperti
Universitas Sumatera Utara
ini sangat rendah dibandingkan dengan pelacur high class (Hull, 1997). Untuk pelacur tingkat rendah (low class),mbiasanya berusia 11-15 tahun yang belum berpengalaman walaupun banyak diantara pelacur low class yang berusia lebih dari itu (Kartono, 1997). Untuk seorang pelacur low class, jumlah uang yang mereka keluarkan hanya untuk kebutuhan primer dan mendasar seperti makanan, tempat tinggal dan lain sebagainya (Mudjiono, 2005). Koentjoro (2004) juga menambahkan beberapa hal yang memotivasi seorang pelacur low class untuk menjadi seorang pelacur yaitu: a. Kemiskinan b. Pendapatan rendah c. Pendidikan rendah d. Tidak memiliki keterampilan e. Pengangguran 2. Gadis Panggilan (High Class) Gadis panggilan menurut Kartono (2003) terdiri dari wanita-wanita yang telah bekerja seperti wanita karier dan mahasiswi-mahasiswi. Gadis panggilan digolongkan kedalam pelacur high class adalah karena mereka bersedia untuk dipekerjakan melalui layanan jasa informasi tertentu (Feldman dan MacCulloch dalam Koentjoro, 2004). Sesuai dengan pernyataan diatas, Mudjiono (2005) mengatakan bahwa pelacur high class memiliki sistem kerja yang tidak menunjukkan adanya tempat lokalisasi (market place) yang terbuka oleh umum seperti yang dilakukan oleh pelacur low class. Karena pelacur jenis ini memiliki pendidikan yang tinggi seperi wanita karier dan mahasiswi, maka akan
Universitas Sumatera Utara
berhubungan dengan tarif pelayanan (Koentjoro, 2004). Semakin tinggi pendidikan pelacur, tarif yang diberikan akan semakin mahal. Harga pelayanan seksual dengan pelacur terpelajar jauh lebih mahal dibandingkan dengan pelacur biasa (low class) karena pelanggan menganggapnya lebih bergengsi (Koentjoro, 2004). Julian (1986) mengatakan bahwa untuk menjadi seorang pelacur high class, pelacur high class tersebut harus menjalani pelatihan selama lebih kurang dua atau tiga bulan. Pelatihan tersebut berisi tentang sikap dan perilaku yang harus mereka berikan kepada pelanggan. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Fieldman dan MacCullah (dalam Koentjoro, 2004), ia mengatakan bahwa untuk menjadi pelacur yang profesional diperlukan adanya pelatihan. Oleh karena itu berdasarkan kriteria diatas gadis panggilan digolongkan kedalam pelacur high class. Para pelacur high class memiliki motivasi dasar untuk bekerja sebagai seorang pelacur. Motivasi tersebut adalah : 1. Kesenangan (Mudjiono, 2005) 2. Uang dan atau narkoba (Koentjoro, 2004) 3. Kekuasaan dan status (Schmopkler dalam Koentjoro, 2004) Untuk menyederhanakan dan melihat perbedaan antara pelacur low class dengan pelacur high class dapat dilihat melalui tabel 1. berikut ini :
Tabel 1. Perbedaan pelacur high class dan Pelacur low class
Usia
Pelacur Low Class Pelacur High Class 11 – 15 Tahun atau lebih (Kartono, Dibawah 30 tahun berkisar
Universitas Sumatera Utara
Lokasi
Daya tarik Tingkat pendidikan Motivasi
2003) (berdasarkan observasi peneliti, pelacur low class juga banyak yang berusia diatas 30 tahun). Lokalisasi liar, kawasan kumuh, pasar, kuburan, rel kereta api (Hull dkk, 1997) (tidak ada) SMU (Kartono, 2003) Uang (Kartono, 2003)
antara 17 - 25 tahun (Kartono, 2003).
Tidak terbuka untuk umum (Mudjiono, 2005). Tidak dapat dihubungi langsung oleh pelanggan (Koentjoro, 2004). Wajah dan tubuh yang menarik (Koentjoro, 2004) Wanita Karier dan Mahasisiwi (Kartono, 2003) Kesenangan (Mudjiono, 2005) Uang dan atau narkoba (Koentjoro, 2004), kekuasaan dan status (Schmopkler dalam Koentjoro, 2004)
C. Makna Hidup pada Pelacur High Class Pilihan untuk menjadi seorang pelacur merupakan pilihan yang sulit. Karena reaksi sosial, adat istiadat dan norma-norma sosial yang cukup menentang adanya praktik pelacuran (Kartono, 1997). Terlebih lagi rakyat di Indonesia merupakan rakyat yang beragama sehingga pelacuran menjadi sangat dilarang dan dianggap berdosa (Koentjoro, 2004). Namun karena pada dasarnya manusia memiliki kebutuhan dasar (basic need), maka kebutuhan inilah yang harus dipenuhi oleh setiap manusia (Maslow dalam Sarwono, 2000). Tidak dapat dipungkiri bahwa uang memiliki pengaruh penting dalam memiliki semua kebutuhan manusia, termasuk untuk kebutuhan dasar yang telah dijelaskan sebelumnya. Motif ekonomi ini yang kemudian secara sadar menjadi faktor yang memotivasi seorang untuk berprofesi menjadi pelacur yang dapat menghasilkan uang (Weisberg dalam Koentjoro, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pelacur menurut Feldman dan MacCulloch (dalam Koentjoro, 2004) terdiri dari dua jenis yaitu pelacur jalanan dan gadis panggilan. Walaupun pada umumnya motivasi utama untuk menjadi seorang pelacur yaitu uang (Coleman & Cressey, 1984), namun David dan Satz (dalam Koentjoro, 2004) mengatakan bahwa terdapat segelintir pelacur yang tidak hanya dapat dipandang dari sisi ekonomis semata. Lebih lanjut lagi mereka mengatakan bahwa perempuan tidak lagi memasuki dunia pelacuran karena alasan untuk keluar dari tekanan ekonomi, namun karena adanya kebutuhan lain (David & Satz dalam Koentjoro, 2004). Menurut Koentjoro (2004) uang hanya merupakan mediasi bagi sebuah tujuan, dan orang yang di dominasi oleh orientasi material akan berjuang untuk kekuasaan dan status (Schmopkler dalam Koentjoro, 2004). Selain kekuasaan dan status, motivasi lain adalah hiburan (Mudjiono, 2005) dan kesepian (Kartono, 1997). Motivasi-motivasi inilah yang menjadi motif utama seorang pelacur high class atau gadis panggilan. Berbeda dengan pelacur low class, mereka menjadi pelacur hanya untuk memenuhi basic need atau kebutuhan dasar dalam hidupnya (Hull, 1997). Para pelacur high class yang secara finansial selalu berlebihan dan selalu hidup dalam kemewahan ternyata dalam keseharianya tidak selalu bahagia seperti yang sering ia perlihatkan kepada orang lain. Hidup berfoya-foya, menghamburhanburkan uang dan berkecukupan dalam segi materi tidak menjadi jaminan bahwa hidup pelacur high class tersebut selamanya akan bahagia. Bagi sebahagiaan pelacur yang hidupnya berorientasi kepada uang, bersenang senang
Universitas Sumatera Utara
dan kemewahan hidup mungkin saja akan merasa bahagia dengan bekerja sebagai seorang pelacur. Bagi beberapa pelacur high class yang lain, mungkin saja dengan masuknya ia kedalam dunia pelacuran bukannya akan mengubah keadaan menjadi lebih baik, sebaliknya masuknya ia kedunia pelacuran hanya akan menambah rumitnya masalah hidup yang telah ia temui sebelum masuknya ia kedunia pelacuran. Akibatnya muncul perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan yang dialami oleh beberapa pelacur high class. Bentuk perasaan yang tidak menyenangkan tersebut salah satunya adalah perasaan kesepian, hampa, kebosanan dan tidak memiliki tujuan hidup. Perasaan hampa yang dialami oleh pelacur high class ini menyebabkan munculnya kecemasan dan konflik-konflik batin (Kartono, 1997). Konflik-konflik dan kecemasan ini tidak banyak berkaitan kepada masalah moral, namun lebih kepada konflik mengenai perasaan ingin dicintai, selalu merasakan kekosongan dan kehampaan karena tidak menemukan cinta sejati selama berprofesi menjadi seorang pelacur (Kartono, 2005). Perasaan hampa, gersang, tidak memiliki tujuan hidup merupakan karakteristik seseorang yang penghayatan hidupnya tidak bermakna (Frankl dalam Bastaman, 2007). Keadaan hampa dan tidak bermakna (meaningless) jika tidak diatasi akan memperburuk keadaan individu itu sendiri baik secara fisik maupun psikologis, oleh karena itu perlu ditemukan adanya makna hidup dalam kehidupan pelacur tersebut sehingga kehidupan mereka dapat menjadi lebih terarah dan bertujuan
Universitas Sumatera Utara
sehingga kehidupan mereka akan bersemangat, bergairah dan bahagia (bastaman, 1996). Pelacur yang tidak bisa melihat makna dibalik penderitaan maka ia akan tenggelam oleh penderitaan yang ia alami dan mengalami beberapa penghayatan hidup yang tidak menyenangkan seperti hampa, gersang, tidak memiliki tujuan hidup, merasa hidupnya tidak berarti dan lain sebagainya (Bastaman, 2007) yang akan mempengaruhi kehidupannya selanjutnya. Sementara individu yang berhasil melihat adanya makna dibalik penderitaan maka ia akan menujukkan corak kehidupan penuh semangat dan gairah hidup serta jauh dari perasaan hampa dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Tujuan hidupnya baik tujuan jangka pendek maupun jangka panjang akan jelas bagi mereka dan dengan demikian kegiatan mereka pun akan lebih terarah sesuai dengan tujuan hidup yang ingin mereka capai. Frankl (1984) juga mengatakan bahwa individu yang mempunyai pandangan hidup yang jelas akan bertahan hidup dan sanggup menghadapi masalah yang sulit sekalipun (Frankl dalam Schultz, 1991). Oleh sebab itu dalam penelitian ini akan dilihat gambaran makna hidup bagi beberapa pelacur high class pada saat mereka masih berstatus sebagai pelacur high class. Apakah pekerjaan mereka sebagai pelacur high class mempengaruhi makna hidup mereka, membantu mereka dalam menemukan makna hidupnya dan mengetahui tujuan hidupnya atau dengan masuknya mereka kedunia pelacuran makna dan tujuan hidup itu semakin tidak terlihat. Warren (2002) mengatakan bahwa tanpa suatu tujuan, kehidupan bagaikan gerakan tanpa makna, kegiatan
Universitas Sumatera Utara
tanpa arah, peristiwa tanpa alasan. Tanpa suatu tujuan, kehidupan tidak berarti. Pendapat Warren didukung oleh penelitian Reker dan Butler (dalam Bee, 1996) yang mengatakan bahwa individu yang mempunyai misi dan arah, memiliki tujuan dalam hidupnya lebih sehat secara mental dan psikologis dalam menghadapi stress dibandingkan dengan makna hidupnya tidak jelas.
Universitas Sumatera Utara