BAB II LANDASAN DAN TEORI
2.1
PENGERTIAN KEBAKARAN Sejak dahulu api merupakan kebutuhan hidup manusia, dari hal kecil hingga hal
besar. Sebagai salah satu contoh, api digunakan untuk memasak atau untuk pemakaian skala besar dalam industri dalam peleburan logam. Tetapi sudah tidak dapat dikendalikan lagi, api menjadi musuh manusia yang merupakan malapetaka dan dapat menimbulkan kerugian baik materi maupun jiwa manusia. Hal tersebut yang biasa disebut kebakaran. 2.2
PROSES KEBAKARAN Kebakaran berawal dari proses reaksi oksidasi antara unsur Oksigen (O2), Panas dan
Material yang mudah terbakar (bahan bakar). Keseimbangan unsur–unsur tersebutlah yang menyebabkan kebakaran. Berikut ini adalah definisi singkat mengenai unsur–unsur tersebut: 2.2.1 Oksigen Oksigen atau gas O2 yang terdapat di udara bebas adalah unsur penting dalam pembakaran. Jumlah oksigen sangat menentukan kadar atau keaktifan pembakaran suatu benda. Kadar oksigen yang kurang dari 12% tidak akan menimbulkan pembakaran. 2.2.2 Panas Panas menyebabkan suatu bahan mengalami perubahan suhu/temperatur, sehingga akhirnya mencapai titik nyala dan menjadi terbakar. Sumber–sumber panas tersebut dapat berupa sinar matahari, listrik, pusat energi mekanik, pusat reaksi kimia dan sebagainya.
6
2.2.3 Bahan Yang Mudah Terbakar ( Bahan bakar ) Bahan tersebut memiliki titik nyala rendah yang merupakan temperatur terendah suatu bahan untuk dapat berubah menjadi uap dan akan menyala bila tersentuh api. Bahan makin mudah terbakar bila memiliki titik nyala yang makin rendah. Dari ketiga unsur – unsur di atas dapat digambarkan pada segitiga api.
Bahan Bakar
Oksigen Rantai reaksi Kimia
Panas
Gambar 2. 1 Segitiga Api Sumber : Teori Dasar Penanggulangan Bahaya Kebakaran, 2006, Dinas Pemadam Kebakaran, Jakarta
Proses kebakaran berlangsung melalui beberapa tahapan, yang masing–masing tahapan terjadi peningkatan suhu, yaitu perkembangan dari suatu rendah kemudian meningkat hingga mencapai puncaknya dan pada akhirnya berangsur–angsur menurun sampai saat bahan yang terbakar tersebut habis dan api menjadi mati atau padam. Pada umumnya kebakaran melalui dua tahapan, yaitu : a. Tahap Pertumbuhan (Growth Period) b. Tahap Pembakaran (Steady Combustion)
7
Tahap tersebut dapat dilihat pada kurva suhu api di bawah ini. 1200 1000 800 T C 600 400 200 0 20
10
30
40
50
60
70
90
80
100
Growth Time ( Detik )
Gambar 2.2 Kurva Suhu Api Sumber : Teori Dasar Penanggulangan Bahaya Kebakaran, 2006, Dinas Pemadam Kebakaran, Jakarta
Pada suatu peristiwa kebakaran, terjadi perjalanan yang arahnya dipengaruhi oleh lidah api dan materi yang menjalarkan panas. Sifat penjalarannya biasanya ke arah vertikal sampai batas tertentu yang tidak memungkinkan lagi penjalarannya, maka akan menjalar ke arah horizontal. Karena sifat itu, maka kebakaran pada gedung–gedung bertingkat tinggi, api menjalar ke tingkat yang lebih tinggi dari asal api tersebut. Saat yang paling mudah dalam memadamkan api adalah pada tahap pertumbuhan. Bila sudah mencapai tahap pembakaran, api akan sulit dipadamkan atau dikendalikan. Tabel 2.1 Laju Pertumbuhan Kebakaran Sumber : Teori Dasar Penanggulangan Bahaya Kebakaran, 2006, Dinas Pemadam Kebakaran, Jakarta
Klasifikasi Pertumbuhan Tumbuh Lambat ( Slow Growth )
Waktu Pertumbuhan / Growth Time ( detik ) > 300
Tumbuh Sedang ( Moderate Growth )
150 – 300
Tumbuh Cepat ( Fast Growth )
80 – 150
Tumbuh Sangat Cepat (Very Fast Growth )
< 80
8
2.3
KLASIFIKASI KEBAKARAN Klasifikasi Kebakaran, Material dan Media Pemadam Kebakaran di Indonesia dapat
dilihat dari tabel di bawah ini. Tabel 2.2 Klasifikasi Kebakaran dan Media Pemadam Sumber : KEPMEN PU NO. 10/ KPTS/ 2000
RESIKO
JENIS KEBAKARAN
MEDIA PEMADAM
Kebakaran Benda Padat mudah Class A
Dry Chemical Multiporse dan ABC
terbakar bukan logam misal: kayu,
soda acid
kertas, kain, plastik dsb.
Class B
Class C
Kebakaran Benda cair mudah
Dry Chemical foam ( serbuk bubuk ),
menyala dan lemak masak, seperti:
BCF (Bromoclorodiflour Methane),
bensin, minyak tanah, varnish
CO2, dan gas Hallon
Kebakaran yang melibatkan
Dry Chemical, CO2, gas Hallon dan
peralatan bertenaga listrik Kebakaran yang melibatkan logam
Class D
mudah terbakar, seperti : magnesium dan titanium
BCF Metal x, metal guard, dry sand dan bubuk pryme
Dari keempat jenis kebakaran tersebut yang jarang ditemui adalah kelas D, biasanya untuk kelas A, B dan C alat pemadamnya dapat digunakan dalam satu tabung/alat, kecuali bila diperlukan jenis khusus. 2.4
PENYEBAB KEBAKARAN Berdasarkan pengamatan, pengalaman, penyidikan dan analisa dari setiap kebakaran
dapat diambil kesimpulan bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya kebakaran adalah karena manusia, penyalaan sendiri, dan gerakan alam. 1. Manusia, kesalahan manusia dapat berupa kurang hati–hati dalam menggunakan alat yang dapat menimbulkan api, kelalaian atau kurangnya pengertian tentang bahaya 9
kebakaran. Sebagai salah contoh misalnya menyimpan bahan bakar di dekat sumber panas, membiarkan anak-anak di bawah umur bermain api, dan lain-lain. 2. Alat, disebabkan karena kualitas alat yang rendah, cara penggunaan yang salah, pemasangan instalasi yang kurang memenuhi syarat. Sebagai contoh : pemakaian daya listrik yang berlebihan yang mengakibatkan beban berlebih pada pengaman arus dan instalasi listrik, sehingga terjadi panas dan menyebabkan terbakarnya kabel listrik. 3. Alam, sebagai contoh adalah panasnya matahari yang amat kuat dan terus menerus memancarkan panasnya sehingga dapat menimbulkan kebakaran. 4. Penyalaan sendiri, sebagai contoh adalah kebakaran gudang kimia akibat reaksi kimia yang disebabkan oleh kebocoran atau hubungan pendek listrik. 5. Kebakaran disengaja, seperti huru–hara, sabotase dan untuk mendapatkan asuransi ganti rugi. Penggolongan penyebab kebakaran dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 2.3 Penyebab Kebakaran Sumber : Teori Dasar Penanggulangan Bahaya Kebakaran, 2006, Dinas Pemadam Kebakaran, Jakarta
Alam
Matahari Gempa bumi Petir Gunug merapi
Kemajuan Teknologi
Listrik Biologis Kimia
Perkembangan Penduduk
Ulah manusia : − sengaja − tidak sengaja − awam ( ketidakpahaman )
Penyebab kebakaran dapat dilihat secara mendalam dari beberapa faktor berikut di bawah ini : 1. Faktor Non Fisik
10
o
Lemahnya peraturan perundang–undangan yang ada, serta kurangnya pengawasan terhadap pelaksanaannya (Perda No. 3 Tahun 1992).
o
Adanya kepentingan yang berbeda antar berbagai instansi yang berkaitan dengan usaha–usaha pencegahan dan penanggulangan terhadap bahaya kebakaran.
o
Kondisi masyarakat yang kurang mematuhi peraturan perundang–undangan yang berlaku sebagai usaha pencegahan terhadap bahaya kebakaran.
o
Lemahnya usaha pencegahan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan yang dikaitkan dengan faktor ekonomi, dimana pemilik bangunan terlalu mengejar keuntungan dengan cara melanggar peraturan yang berlaku.
o
Dana yang cukup besar untuk menanggulangi bahaya kebakaran pada bangunan terutama bangunan tinggi.
2. Faktor Fisik o Keterbatasan jumlah personil dan unit pemadam kebakaran serta peralatan. o Kondisi gedung, terutama gedung tinggi yang tidak teratur. o
Kondisi lalu lintas yang tidak menunjang pelayanan penanggulangan bahaya kebakaran.
2.5 POLA MELUASNYA KEBAKARAN Dari segi cara api meluas dan menyala, yang menentukan ialah meluasnya kebakaran. Bedanya antara kebakaran besar dan kebakaran kecil sebetulnya hanya terletak pada cara meluasnya api tersebut. Perhitungan secara kuantitatif tentang cara meluasnya kebakaran sukar untuk ditentukan. Tetapi berdasarkan penyelidikan–penyelidikan, kiranya dapat diperkirakan pola cara meluasnya kebakaran itu sebagai berikut : 11
1. Konveksi (Convection) atau perpindahan panas karena pengaruh aliran, disebabkan karena molekul tinggi mengalir ke tempat yang bertemperatur lebih rendah dan menyerahkan panasnya pada molekul yang bertemperatur lebih rendah. Panas dan gas akan bergerak dengan cepat ke atas (langit–langit atau bagian dinding sebelah atas yang menambah terjadinya sumber nyala yang baru). Panas dan gas akan bergerak dengan cepat melalui dan mencari lubang–lubang vertikal seperti cerobong, pipa–pipa, ruang tangga lubang lift, dsb. Bila jalan arah vertikal terkekang, api akan menjalar kearah horizontal melalui ruang bebas, ruang langit–langit, saluran pipa atau lubang–lubang lain di dinding. Udara panas yang mengembang, dapat mengakibatkan tekanan kepada pintu, jendela atau bahan–bahan yang kurang kuat dan mencari lubang lainnya untuk ditembus.
Gambar 2.3 Penjalaran Kebakaran secara Konveksi Sumber : Teori Dasar Penanggulangan Bahaya Kebakaran, 2006, Dinas Pemadam Kebakaran, Jakarta
2. Konduksi (Conduction) atau perpindahan panas karena pengaruh sentuhan langsung dari bagian temperatur tinggi ke temperatur rendah di dalam suatu medium.Panas akan disalurkan melalui pipa – pipa besi, saluran atau melalui unsur kontruksi lainnya diseluruh bangunan. Karena sifatnya meluas, maka perluasan tersebut dapat mengakibatkan keretakan di dalam kontruksi yang akan memberikan peluang baru untuk penjalaran kebakaran.
12
Gambar 2.4 Penjalaran Kebakaran secara Konduksi Sumber : Teori Dasar Penanggulangan Bahaya Kebakaran, 2006, Dinas Pemadam Kebakaran, Jakarta
3. Radiasi (Radiation) atau perpindahan panas yang bertemperatur tinggi ke benda yang bertemperatur rendah bila benda dipisahkan dalam ruang karena pancaran sinar dan gelombang elektromagnetik. Permukaan suatu bangunan tidak mustahil terbuat dari bahan–bahan bangunan yang bila terkena panas akan menimbulkan api. Karena udara itu mengembang ke atas, maka langit – langit dan dinding bagian atas akan terkena panas terlebih dahulu dan paling kritis. Bahan bangunan yang digunakan untuk itu sebaiknya ialah yang angka peningkatan perluasan apinya (flame-spread ratings) rendah. Nyala mendadak (flash-over) yang disebabkan oleh permukaan dan sifat bahan bangunan yang sangat mudah termakan api, adalah gejala yang umum di dalam suatu kebakaran. Kalau suhu meningkat sampai ± 4250 C atau gas–gas yang sudah kehausan zat asam tiba–tiba dapat tambahan zat asam, maka akan menjadi nyala api yang mendadak, dan membesarnya bukan saja secara setempat tetapi meliputi beberapa tempat. Sama halnya dengan cerobong sebagai penyalur ke luar dari gas–gas panas yang mengakibatkan adanya bagian kosong udara di dalam ruangan (yang berarti pula menarik zat asam), semua bagian–bagian yang sempit atau lorong–lorong vertikal di dalam bangunan bersifat sebagai cerobong, dan dapat memperbesar nyala api,
13
terutama kalau ada kesempatan zat asam membantu pula perluasan api tersebut.
Gambar 2.5 Penjalaran Kebakaran secara Radiasi Sumber : Teori Dasar Penanggulangan Bahaya Kebakaran, 2006, Dinas Pemadam Kebakaran, Jakarta
2. 6 PENANGGULANGAN KEBAKARAN Karena
kebakaran
adalah
suatu
malapetaka,
maka
perlu
diperhatikan
penanggulangannya, yaitu segala upaya yang dilakukan untuk menyelamatkan dan memadamkan api serta memperkecil kerugian akibat kebakaran. Penanggulangan dapat dilakukan sebelum, pada saat dan sudah terjadi kebakaran. Usaha–usaha yang dilakukan yaitu : 2.6.1 Usaha Pencegahan Pencegahan dalam hal ini adalah suatu usaha secara bersama untuk menghindari kebakaran dalam arti meniadakan kemungkinan terjadinya kebakaran. Usaha ini pada mulanya dilakukan oleh pihak yang berwenang dan menuntut peran serta dari masyarakat. Sedangkan usaha – usaha yang dilakukan Pemerintah adalah : a.
Mengadakan dan menjalankan undang–undang/peraturan daerah seperti : • Undang–undang gangguan yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan tempat tinggal atau tempat mendirikan bangunan. • Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 02/KPTS/1985 tentang ketentuan pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran pada gedung bertingkat.
14
• Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 3 tahun 1992 tentang ketentuan penanggulangan bahaya kebakaran dalam wilayah DKI Jakarta. • SNI 03-6382-2000, Spesifikasi Hidran Kebakaran Tabung Basah. • SNI 03-3989-2000, Tata Cara Perancangan dan Pemasangan Sistem Pipa Tegak dan Slang untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung. • Standar National Fire Protection Association (NFPA) 14 tahun 1994 tentang “Installation of Stand Pipes and Hose Systems”. • Standar National Fire Protection Association (NFPA) 20 tahun 1994 tentang “Centifugal Fire Pumps”. b. Mengadakan perbaikan kampung yang meliputi sarana sarana fisik berupa pembuatan jaringan jalan dan sarana sanitasi, serta meningkatkan kesejahteraan sosial penduduk. c.
Mengadakan penyuluhan kepada masyarakat yang berkaitan dengan masalah kebakaran, perlu ditekankan bahwa undang–undang/peraturan daerah yang ada serta penyuluhan–penyuluhan yang diadakan sama sekali tidak berguna, bila tidak dijalankan dengan baik.
2.6.2 Cara Pemadaman. Dari pengertian tentang penyebab kebakaran maka dapat ditemukan sistem pemadaman api, yaitu : a. Cara penguraian, adalah sistem pemadaman dengan cara memisahkan/ menjauhkan benda–benda yang dapat terbakar. Contohnya, bila terjadi kebakaran dalam gudang tekstil, yang terdekat dengan sumber api harus segera dibongkar/dimatikan. 15
b. Cara pendinginan, adalah sistem pemadaman dengan cara menurunkan panas. Contoh, penyemprotan air (bahan pokok pemadam) pada benda yang terbakar. c. Cara isolasi, adalah sistem pemadaman dengan cara mengurangi kadar O2 pada lokasi sekitar benda- benda terbakar. Sistem ini disebut juga dengan sistem lokalisasi, yaitu dengan membatasi/menutupi benda–benda yang terbakar agar tidak bereaksi dengan O2, contohnya : o Menutup benda–benda yang terbakar dengan karung yang dibasahi air, misalnya pada kebakaran yang bermula dari kompor. o Menimbun benda–benda yang terbakar dengan pasir atau tanah. o Menyemprotkan bahan kimia yaitu dengan alat pemadam jenis CO2. 2. 7 INSTALASI PEMADAM KEBAKARAN Pada instalasi ini sistem dapat dibagi menjadi beberapa sub–sistem, yaitu: 2.7.1 Sprinkler System Sistem ini merupakan suatu sistem pencegahan pertama yang sangat baik yang pada pemakaiannya dilengkapi dengan Heat Detector. Di bawah ini terdapat beberapa jenis sprinkler head dan drencher yang umum digunakan (pada gambar 2.6 dan 2.7):
Gambar 2.6 Sprinkler Head Tipe Quatzoid Bulb Sumber : Teori Dasar Penanggulangan Bahaya Kebakaran, 2006, Dinas Pemadam Kebakaran, Jakarta
16
Tipe ini berupa tabung yang terbuat dari kaca khusus (special glass) yang mana digunakan menahan air pada tempatnya. Tabung tersebut berisi cairan kimia berwarna yang mana bila dipanaskan ( terkena panas ) sampai suhu tertentu maka cairan kimia akan mengembang dan gelas akan tertekan sampai suatu batas tertentu yang akhirnya gelas tersebut akan pecah sehingga katup terbuka dan air akan mengalir menuju deflector kemudian air akan menyembur keluar untuk memadamkan api.
Gambar 2.7 Sprinkler Head Tipe Side Wall Sumber : Teori Dasar Penanggulangan Bahaya Kebakaran, 2006, Dinas Pemadam Kebakaran, Jakarta.
Tipe ini dirancang untuk digunakan pada sisi samping ruangan atau koridor, sehingga air akan terpancar pada bagian tengah dari ruangan atau koridor. Tipe ini juga banyak digunakan pada terowongan–terowongan.
Gambar 2.8 Window Drancher Sumber : Teori Dasar Penanggulangan Bahaya Kebakaran, 2006, Dinas Pemadam Kebakaran, Jakarta
17
Tipe window Drancher ini digunakan untuk memancarkan air, tipe ini biasa dipakai di atas jendela untuk mencegah meluasnya api ke luar dari gedung.
Gambar 2.9. Roof Drancher Sumber : Teori Dasar Penanggulangan Bahaya Kebakaran, 2006, Dinas Pemadam Kebakaran, Jakarta
Tipe ini tidak jauh dengan tipe pada gambar 2.8, tetapi pada pemasangannya tipe ini pada atap (roof) untuk mencegah meluasnya api. Tabel 2.4 Warna Cairan dan Temperatur Sprinkler Sumber : SNI 03 – 6570 – 2001. Tata cara perancangan dan pemasangan sistem sprinkler otomatik untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung.
Tingkat suhu kepala sprinkler otomatis ditunjukan dalam tabel dibawah ini. Tingkat suhu untuk jenis sambungan lebur ( °C)
Warna tangkai
68 / 74 93 / 100 141 182 227
Tanpa warna Putih Biru Kuning Merah
Tingkat suhu untuk jenis glass bulb ( °C) 57 68 79 93 141 182 203 / 260
Warna cairan dalam gelas Jingga Merah Kuning Hijau Biru Ungu Hitam 18
Untuk penempatan sprinkler head, terdapat 2 jenis sistem pengaturan penempatan, yaitu : ( a) Metode ½ S dan ½ D
(b) Metode 1/4 S dan 1/2 D
Gambar 2.10 (a) (b) Jenis – jenis Pengaturan Penempatan Sprinkler Sumber : SNI 03 – 6570 – 2001, Tata cara perancangan dan pemasangan sistem sprinkler otomatik untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung.
19
S = Jarak antara 2 kepala sprinkler S = Jarak antara 2 kepala sprinkler dan jarak kepala sprinkler ke dinding D = Jarak antara 2 jalur pipa dan jalur pipa ke dinding Dari hasil perkalian antara S dengan D kita dapat menentukan klasifikasi kebakaran sebagai berikut : • Untuk kebakaran ringan
: S x D ≤ 21 m2
• Untuk kebakaran sedang
: S x D = ( 9 ~ 21 ) m2
• Untuk kebakaran berat
: S x D ≤ 9 m2
Disamping dua jenis penempatan tersebut, terdapat pula beberapa metode distribusi untuk sprinkler bila melihat posisi dari pipa distribusi.: (a) End Side With Centre Feed Pipe
(b) End Side With Feed Pipe
20
(c) End Centre With Centre Feed Pipe
(d) End Centre With End Feed Pipe
Gambar 2.11 (a), (b), (c), (d) Metode Distribusi Sprinkler Sumber : SNI 03–6570–2001, Tata cara perancangan dan pemasangan sistem sprinkler otomatik untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung.
2.7.2 CO2 Sprinkler Sistem ini pada peletakannya dan instalasinya tidak begitu berbeda jauh dengan sprinkler system, hanya saja pada sistem ini fluida yang digunakan berupa gas. Sistem ini biasa digunakan pada ruang perpustakaan, ruang komputer atau ruang kontrol listrik yang mana pada ruangan tersebut tidak memungkinkan menggunakan air.
21
2.7. 3 Hydrant System Hydrant System adalah instalasi pipa hydrant berisikan air bertekanan dengan tekanan air selalu dijaga pada tekanan yang relatif tetap. Pada sistem ini dapat dibagi lagi menjadi tiga bagian: a. Hydrant Box Hydrant Box ini dapat dibagi menjadi dua yaitu berupa Indoor Hydrant (terletak di dalam gedung) atau Outdoor Hydrant (terletak di luar gedung). Pemasangan Hydrant Box ini biasanya disesuaikan dengan kebutuhan dan luas ukuran ruangan serta luas gedung. Tetapi untuk ukuran minimalnya diharuskan pada tiap lantai terdapat minimal satu buah dan begitu pula untuk yang di luar gedung. Untuk pemasangan Hydrant Box di dalam ruangan pada bagian atasnya ( menempel pada dinding ) harus disertai pemasangan alarm bel. Pada Hydrant Box terdapat gulungan selang atau lebih dikenal dengan istilah Hose Reel.
Gambar 2.12 Indoor Hydrant Box Sumber PT. Skemanusa C.T
22
Gambar 2.13 Outdoor Hydrant Box Sumber PT.
Skemanusa Consultama Teknik
23
Gambar 2.14 Hose Reel Sumber : Teori Dasar Penanggulangan Bahaya Kebakaran, 2006, Dinas Pemadam Kebakaran, Jakarta
b. Hydrant Pillar Alat ini memiliki fungsi untuk menyuplai air dari PAM dan Ground Water Tank gedung disalurkan ke mobil Pemadam Kebakaran agar Pemadam Kebakaran dapat menyiram air mobil ke gedung yang sedang terbakar. Alat ini diletakan dibagian luar gedung yang jumlahnya serta peletakannya disesuaikan dengan luas gedung. H y d r a n t P il a r
Kran Sa luran K ota
S u p l a i a ir d a r i sa luran kota
K lep
S u p l a i a ir d a r i ta pak/ba nguna n
Gambar 2.15 Suplai Air untuk Hydrant Pillar Sumber : Teori Dasar Penanggulangan Bahaya Kebakaran, 2006, Dinas Pemadam Kebakaran, Jakarta
24
Gambar 2.16 Hydrant Pillar Sumber PT. Skemanusa Consultama Teknik
c. Siamese Connection Alat ini memiliki fungsi untuk menyuplai air dari mobil Pemadam Kebakaran untuk disalurkan ke dalam sistem instalasi pipa pencegahan dan penanggulangan kebakaran yang terpasang di dalam gedung selanjutnya dipancarkan melalui sprinkler–sprinkler dan hydrant box di dalam gedung. Alat ini diletakan pada bagian luar gedung yang jumlahnya serta peletakannya disesuaikan dengan luas dan kebutuhan gedung itu sendiri.
25
Gambar 2.17 Siamese Connection Sumber: PT. Skemanusa Consultama Teknik
2.8
SISTEM PENYEDIAAN AIR
2.8.1 Jaringan Kota Pada setiap gedung yang dirancang, sistem penyediaan airnya berasal dari jaringan kota yang kemudian ditampung pada Ground Tank. Sambungan pada sistem jaringan kota dapat diterima kembali apabila kapasitas dan tekanannya mencukupi. Kapasitas dan tekanan sistem jaringan kota dapat diketahui dengan mengadakan pengukuran langsung pada jaringan distribusi ditempat penyambungan yang dilaksanakan, dan ukuran pipa distribusi sekurang–kurangnya harus sama dengan pipa tegak. Berikut ini adalah ketentuan untuk sistem Pemadam Kebakaran : a. Sesuai dengan peraturan NFPA (National Fire Protection Association) dan 26
Keputusan Menteri Pekerjaan Umum bahwa untuk setiap lantai yang memiliki sprinkler 14–45 buah pada gedung dengan jenis kebakaran ringan harus memiliki debit air (Q) sekurang–kurangnya 0,001 m3/s (untuk satu Sprinkler Head). b. Sesuai dengan keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 887 Tahun 1981 tentang Persyaratan dan Standar Debit Aliran Hydrant Box untuk gedung dengan jenis kebakaran ringan harus memiliki debit aliran (Q) sekurang–kurangnya 0,006 m3/s (untuk satu hydrant box pada tiap lantai). c. Sesuai dengan keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 887 Tahun 1981 tentang Persyaratan dan Standar debit Aliran Hydrant Box untuk gedung dengan jenis kebakaran ringan harus memiliki debit aliran (Q) sekurang–kurangnya 0,019 m3/s (untuk satu hydrant pillar pada satu halaman gedung).
2.8.2 Tangki Gravitasi Tangki Gravitasi diletakan pada ketinggian tertentu dan dirancang dengan baik dan dapat diterima sebagai sistem penyediaan air. Tangki Gravitasi yang melayani keperluan rumah tangga, hydrant kebakaran dan sistem sprinkler otomatis harus: a.
Dirancang dan dipasang sedemikian rupa sehingga dapat menyalurkan air dalam kuantitas dan ketentuan yang cukup untuk sistem tersebut.
b.
Mempunyai lubang aliran keluaran untuk keluaran rumah tangga pada ketinggian tertentu dari dasar tangki, sehingga persediaan minimum untuk memadamkan kebakaran dapat dirancang.
c.
Mempunyai lubang aliran keluaran untuk kebakaran pada ketinggian tertentu dari dasar tangki, sehingga persediaan minimum yang diperlukan untuk sistem sprinkler otomatis dapat dipertahankan. 27
2.8.3 Tangki Bertekanan Tangki bertekanan harus dilengkapi dengan suatu cara yang dibenarkan agar tekanan udara dapat diatur secara otomatis. Sistem tersebut dilengkapi dengan alat tanda bahaya yang memberikan peralatan apabila tekanan atau permukaan tinggi air dalam tangki turun melalui batas yang ditentukan. Tangki bertekanan harus selalu berisi air 2/3 penuh dan diberi tekanan udara sedikitnya 4,9 kg/cm2, kecuali ditentukan lain oleh pejabat yang berwenang. Apabila dasar tangki bertekanan terletak sedemikian rupa di bawah sistem sprinkler yang tertinggi, maka tekanan udara yang harus diberikan minimum 4,9 kg/cm2 ditambah 3X tekanan yang disebabkan oleh berat air pada perpipaan sistem sprinkler di atas tangki. 2.8.4 Mobil Pemadam Kebakaran Apabila disyaratkan harus disediakan sebuah sambungan yang memungkinkan mobil Pemadam Kebakaran memompakan air ke dalam sistem sprinkler, ukuran pipa minimum adalah 100 mm. Pipa ukuran 75 mm dapat digunakan apabila dihubungkan dengan pipa tegak dan ditempatkan pada bagian dekat katup balik. Pada sistem dengan pipa tegak tunggal, sambungan dilakukan pada bagian dekat katup kendali yang dipasang pada pipa tegak, kecuali sambungan untuk mobil Pemadam Kebakaran.
2.9
KRITERIA PERANCANGAN SISTEM PEMADAMAN KEBAKARAN MENGGUNAKAN HIDRAN GEDUNG Kriteria Perancangan untuk sistem pemadam kebakaran menggunakan hidran
gedung adalah :
28
2.9.1 Klasfikasi Bahaya Kebakaran. Kelas Bangunan, adalah pembagian bangunan atau bagian bangunan sesuai dengan jenis peruntukan atau penggunaan bangunan sebagai berikut: a. Kelas 1: Bangunan Hunian Biasa Adalah satu atau lebih bangunan yang merupakan: 1) Kelas 1a: bangunan hunian tunggal yang berupa: (a) Satu rumah tunggal; atau, (b) Satu atau lebih bangunan hunian gandeng, yang masing-masing bangunannya dipisahkan dengan suatu dinding tahan api, termasuk rumah deret, rumah taman, unit town house, villa. 2) Kelas 1b: rumah asrama/kost, rumah tamu, hotel, atau sejenis-nya dengan luas total lantai kurang dari 300 m2 dan tidak ditinggali lebih dari 12 orang secara tetap, dan tidak terletak di atas atau di bawah bangunan hunian lain atau bangunan kelas lain selain tempat garasi pribadi. b. Kelas 2: Bangunan hunian yang terdiri atas 2 atau lebih unit hunian yang masing-masing merupakan tempat tinggal terpisah c. Kelas 3: Bangunan hunian di luar bangunan kelas 1 atau 2, yang umum digunakan sebagai tempat tinggal lama atau sementara oleh sejumlah orang yang tidak berhubungan, termasuk: 1. Rumah asrama, rumah tamu, losmen; atau 2. Bagian untuk tempat tinggal dari suatu hotel atau motel; atau 3. Bagian untuk tempat tinggal dari suatu sekolah; atau 4. Panti untuk orang berumur, cacat, atau anak-anak; atau 5. Bagian untuk tempat tinggal dari suatu bangunan perawatan kesehatan yang
29
menampung karyawan-karyawannya. d. Kelas 4: Bangunan Hunian Campuran Adalah tempat tinggal yang berada di dalam suatu bangunan kelas 5, 6, 7, 8, atau 9 dan merupakan tempat tinggal yang ada dalam bangunan tersebut. e. Kelas 5: Bangunan kantor Adalah bangunan gedung yang dipergunakan untuk tujuan-tujuan usaha profesional, pengurusan administrasi, atau usaha komersial, di luar bangunan kelas 6, 7, 8, atau 9. f. Kelas 6: Bangunan Perdagangan Adalah bangunan toko atau bangunan lain yang dipergunakan untuk tempat penjualan barang-barang secara eceran atau pelayanan kebutuhan langsung kepada masyarakat, termasuk: 1) Ruang makan, kafe, restoran; atau 2) Ruang makan malam, bar, toko atau kios sebagai bagian dari suatu hotel atau motel; atau 3) Tempat potong rambut/salon, tempat cuci umum; atau 4) Pasar, ruang penjualan, ruang pamer, atau bengkel. g. Kelas 7: Bangunan Penyimpanan/Gudang Adalah bangunan gedung yang dipergunakan penyimpanan, termasuk: 1) Tempat parkir umum; atau 2) Gudang, atau tempat pamer barang-barang produksi untuk dijual atau cuci gudang. h. Kelas 8: Bangunan Laboratorium/Industri/Pabrik Adalah bangunan gedung laboratorium dan bangunan yang dipergunakan untuk tempat pemprosesan suatu produksi, perakitan, perubahan, perbaikan, pengepakan, finishing, atau pembersihan barang-barang produksi dalam rangka perdagangan atau penjualan. 30
i. Kelas 9: Bangunan Umum Adalah bangunan gedung yang dipergunakan untuk melayani kebutuhan masyarakat umum, yaitu: 1) Kelas 9a: bangunan perawatan kesehatan, termasuk bagian-bagian dari bangunan tersebut yang berupa laboratorium; 2) Kelas 9b: bangunan pertemuan, termasuk bengkel kerja, laboratorium atau sejenisnya di sekolah dasar atau sekolah lanjutan, hall, bangunan peribadatan, bangunan budaya atau sejenis, tetapi tidak termasuk setiap bagian dari bangunan yang merupakan kelas lain. j. Kelas 10: Adalah bangunan atau struktur yang bukan hunian: 1) Kelas 10a: bangunan bukan hunian yang merupakan garasi pribadi, carport, atau sejenisnya; 2) Kelas 10b: struktur yang berupa pagar, tonggak, antena, dinding penyangga atau dinding yang berdiri bebas, kolam renang, atau sejenisnya. k. Bangunan-bangunan yang tidak diklasifikasikan khusus Bangunan atau bagian dari bangunan yang tidak termasuk dalam klasifikasi bangunan 1 s.d. 10 tersebut, dalam Pedoman Teknis ini dimaksudkan dengan klasifikasi yang mendekati sesuai peruntukannya. i. Bangunan yang penggunaannya insidentil Bagian bangunan yang penggunaannya insidentil dan sepanjang tidak mengakibatkan gangguan pada bagian bangunan lainnya, dianggap memiliki klasifikasi yang sama dengan bangunan utamanya. m. Klasifikasi jamak Bangunan dengan klasifikasi jamak adalah bila beberapa bagian dari bangunan harus
31
diklasifikasikan secara terpisah, dan: (a) bila bagian bangunan yang memiliki fungsi berbeda tidak melebihi 10% dari luas lantai dari suatu tingkat bangunan, dan bukan laboratorium, klasifikasinya disamakan dengan klasifikasi bangunan utamanya; (b) Kelas-kelas 1a, 1b, 9a, 9b, 10a dan 10b adalah klasifikasi yang terpisah; (c) Ruang-ruang pengolah, ruang mesin, ruang mesin lif, ruang boiler atau sejenisnya diklasifikasikan sama dengan bagian bangunan di mana ruang tersebut terletak.
Tabel 2.5 Penentuan Jumlah Hidran (1 Buah Setiap Luas Lantai) Sumber: KEPMEN/10/2000
Kelas Bangunan Kelas 1, dan kelas 10 Kelas 2, 3, 4, dan 9a Kelas 5, 6, 7, 8, dan 9b
Kompartemen tanpa partisi Tidak dipersyaratkan 1 buah per 1000 m2 1 buah per 800 m2
Kompartemen dengan partisi Tidak dipersyaratkan 2 buah per 1000 m2 2 buah per 800 m2
*) penempatan hidran harus pada posisi yang berjauhan.
Ketentuan: a. Panjang selang minimum 30 meter. b. Pada bangunan yang dilengkapi dengan hidran harus terdapat personil (penghuni) terlatih untuk mengatasi kebakaran di dalam bangunan. c. Sistem hidran kebakaran 1. Harus dipasang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 2. Apabila hidran digunakan, alat ini hanya melayani di lantai lokasi hidran tersebut ditempatkan, kecuali pada satuan peruntukan bangunan: (a) Pada bangunan Kelas 2 atau Kelas 3 atau sebagian Kelas 4 dapat dilayani oleh hidran tunggal yang ditempatkan pada lantai dimana ada jalur keluar
32
dari satuan peruntukan bangunan tersebut; atau. (b) Pada bangunan Kelas 5, 6, 7, 8 atau 9 yang berlantai tidak lebih dari 2 (dua), dapat dilayani oleh Hidran tunggal yang ditempatkan pada lantai dimana ada jalur keluar dari satuan peruntukan bangunan tersebut, asalkan hidran dapat menjangkau seluruh satuan peruntukan bangunan, dan. 3. Sumber air untuk hidran harus dicatu dari sumber yang dapat diandalkan, serta mampu menyediakan tekanan dan aliran yang diperlukan dalam waktu minimal 30 menit, sesuai dengan standar SNI 03-1745-edisi terakhir tentang Tata Cara Pelaksanaan Sistem Hidran untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Bangunan Rumah dan Gedung. 4. Bila dibutuhkan pompa untuk mencatu sistem hidran, pompa tersebut harus memenuhi SNI 03-1745-edisi terakhir, tentang Tata Cara Pelaksanaan Sistem Hidran Untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Bangunan Rumah dan Gedung, serta standar pompa yang berlaku.
2.9.2 Penentuan Tekanan Sistem Pipa Hidran Tekanan sistem pipa hidran harus memenuhi salah satu dari persyaratan berikut ini: 1) Didesain secara hidrolik untuk mendapatkan laju aliran air pada tekanan sisa 6,9 kg/cm2 (100 psi) pada keluaran sambungan selang 63,5 mm (2,5 inchi) yang terjauh dihitung secara hidrolik, dan 4,5 kg/cm2 (65psi) pada ujung kotak hidran 38,1 mm (1,5 inchi) yang terjauh dihitung secara hidrolik. Pengecualian: Bilamana instansi yang berwenang mengijinkan tekanan lebih rendahdari 6,9 kg/cm2 (100 psi) untuk sambungan selang ukuran 63,5 mm (2,5 inchi), berdasarkan taktik pemadaman, tekanan dapat dikurangi hingga paling rendah 4,5 kg/cm2 (65 psi). 33
2) Ukuran pipa dengan laju aliran yang disyaratkan pada tekanan sisa 6,9 kg/cm2 (100 psi) pada ujung selang yang terjauh dengan ukuran 63,5 mm (2,5 inchi) dan tekanan 4,5 kg/cm2 pada ujung selang terjauh dengan ukuran 38,1 mm (1,5 inchi), didesain sesuai dengan sebagaimana tertera pada tabel 2.6. Desain yang menggunakan cara schedule pipa, harus dibatasi hanya untuk pipa hidran basah untuk bangunan yang tidak dikategorikan sebagai bangunan tinggi. Tabel 2.6 Diameter Pipa Minimal (dalam inchi) Sumber: KEPMEN PU/10/2000
Total akumulasi aliran gpm L / min 100 379 101 - 500 382 - 1.893 501 - 750 1.896 - 2.839 751 - 1250 2.843 - 4.331 1251 keatas 4.735 - keatas
Jarak total pipa terjauh dari keluaran <15.2 m 15.2 - 30.5 m > 30.5 2,0 inch 2,5 inch 3,0 inch 4,0 inch 4,0 inch 6,0 inch 5, 0 inch 5,0 inch 6,0 inch 6,0 inch 6,0 inch 6,0 inch 8,0 inch 8,0 inch 8,0 inch
Penentuan diameter pipa ditinjau dari jarak total pipa dan total akumulasi aliran. Catatan : 1 gpm = 3,785 Liter / menit
2.9.3 Penentuan Pasokan Air. Sistem pipa hidran otomatis harus dihubungkan dengan pasokan air yang telah disetujui dan mampu memenuhi kebutuhan sistem. Sistem pipa tegak manual harus mempunyai pasokan air yang telah disetujui dan dapat dihubungkan dengan mobil pompa instansi kebakaran. Pasokan air otomatis tunggal dapat diizinkan untuk digunakan bilamana dapat memasok kebutuhan sistem dalam waktu sekurang-kurangnya 60 menit, dari kapasitas pompa pemadam kebakaran. Sumber air berasal dari PDAM dan cadangan berasal dari Deepwell. 34
Contoh : Kapasitas pompa dari hasil perhitungan 750 gpm, dengan bangunan luas 1600 m2 tiap lantai. Maka Kapasitas pasokan air = 750 gpm x 3.875 liter x 60 menit = 170 m3 2.9.4 Penentuan Kapasitas Pompa. Pemilihan kapasitas pompa pemadam kebakaran ditentukan berdasarkan karakteristik pompa sebagai berikut: a.
Pompa hidran harus berkemampuan tidak kurang dari 150% kapasitas nominalnya pada head total tidak kurang dari 65% dari head nominal totalnya. Head total pada saat katup tertutup tidak boleh melebihi 140% dari head nominal total pada pompa
b. Pompa hidran yang teruji dapat mempunyai bentuk kurva kapasitas-head yang berbeda untuk nilai nominal yang diberikan. Gambar 2.18 menunjukkan bentuk kurva ekstrim yang disyaratkan. Head pada kondisi menutup akan mempunyai rentang dari minimum 101% sampai maksimum 140% dari head nominal. Pada kapasitas nominal 150%, head akan mempunyai nilai rentang dari minimum 65% sampai maksimum sedikit di bawah head nominal. Pabrik pembuat pompa dapat memasok kurva yang diinginkan untuk pompa yang teruji.
35
Gambar 2.18 : Kurva Karakteristik Pompa Sumber : SNI 03 – 6570 – 2001
36
c.
Pompa kebakaran harus mempunyai kapasitas nominal dalam liter per menit (lpm) atau galon permenit (gpm) dan harus pada tekanan nominal netto 2,7 kg/cm2 (40 psi) atau lebih Pompa untuk nominal di atas 18.925 liter per menit (5000 gpm) perlu dikaji tersendiri oleh instansi berwenang atau laboratorium yang terdaftar. Tabel pompa dapat dilihat di bawah ini: Tabel 2.7 Tabel Kapasitas Nominal Pompa Kebakaran Sumber : SNI 03 – 6570 – 2001
37
Untuk mempermudah enginner tersedia tabel ringkasan Pompa kebakaran seperti pada tabel dibawah ini. Tabel 2.8 : Tabel Ringkasan Data Pompa Kebakaran Sumber : SNI 03 – 6570 – 2001
38
Penggunaan tabel seperti pada gambar dibawah ini:
Gambar 2.19 : Instalasi Pompa Kebakaran Jenis “Horisontal Split Case” dengan pasokan air dibawah head positip. Sumber : SNI 03 – 6570 – 2001
39
2.9.5 Jenis Pompa Pemadam Kebakaran Jenis pompa pemadam kebakaran ditinjau dari sumber penggeraknya adalah sebagai berikut: 1. Pompa Elektrik Adalah pompa yang digerakan dengan listrik yang kita kenal Electric Pump memiliki persyaratan sebagai berikut: a. Persyaratan-persyaratan kinerja minimum dan persyaratan pengujian dari sumber dan transmisi daya listrik ke motor penggerak pompa kebakaran. dan persyaratan kinerja minimum dari semua peralatan antara sumber dan pompa, termasuk motor, kecuali alat kontrol listrik pompa kebakaran, saklar pemindah dan perlengkapannya. Semua peralatan listrik dan cara pemasangannya harus memenuhi SNI 04-0225-2000, tentang "Persyaratan Umum Instalasi Listrik 2000 (PUIL-2000)", dan artikel-artikel lain yang tersedia. b. Daya listrik yang dipasok ke motor pompa kebakaran dari sumber yang terpercaya atau dua atau lebih sumber yang tak saling bergantung. Tegangan pada jaringan alat kontrol harus tidak boleh turun lebih daripada 15% dibawah normal (tegangan nominal pengontrol) pada saat motor distart. Tegangan pada terminal motor harus tidak turun lebih dari 5% dibawah tegangan nominal motor jika motor dioperasikan pada beban 115% dari arus beban penuh nominal dari motor.
40
Gambar 2.20 Electric Pump Horizontal Type Sumber : Brand SPP, PT. Multisindomulya
2. Pompa Diesel. Adalah pompa yang digerakan dengan mesin diesel yang kita kenal Diesel Pump. Seleksi dari peralatan pompa kebakaran dengan penggerak motor diesel harus didasarkan pada pertimbangan secara teliti dengan faktor sebagai berikut: a)
Tipe kontrol yang paling andal.
b)
Pasokan bahan bakar.
c)
Instalasi.
d)
Start dan mengoperasikan motor diesel.
e)
Motor diesel telah terbukti merupakan motor dengan bahan bakar yang dapat diandalkan untuk menggerakan pompa pemadam kebakaran. Motor bahan bakar yang menggunakan percikan nyala (busi) tidak diperkenankan, kecuali untuk instalasi yang telah dibuat sebelum standard ini disusun.
f)
Persyaratan untuk alat pengisi baterai adalah sebagai berikut :
41
1. Alat pengisi harus secara spesifik teruji untuk melayani pompa kebakaran. 2. Rectifier harus dari tipe semiconductor. g)
Alat pengisi untuk suatu baterai lead-acid harus dari tipe yang secara otomatik dapat mengurangi arus pengisiannya kurang dari 500 mA bila baterai telah mencapai kondisi terisi penuh.
h)
Alat pengisi baterai pada tegangan nominalnya harus mampu memasok energi pada baterai yang telah kosong dengan cara yang tidak merusak baterai dan harus dapat mengembalikan 100 persen kapasitas baterai sebagai cadangan atau amper-jam nominalnya dalam waktu kurang lebih 24 jam.
i)
Alat pengisi harus memberi tanda pada saat kapasitas atau ampere-jam nominalnya telah terpenuhi, dan dapat diisi ulang.
j)
Suatu amper-meter dengan tingkat ketelitian 5 persen dari pengisian normal nominalnya harus disediakan untuk menunjukkan operasi dari alat pengisi.
k)
Alat pengisi harus dirancang sedemikian rupa sehingga tidak merusak atau memutuskan pengaman lebur selama jangka waktu siklus perputaran motor bila dioperasikan oleh suatu alat kontrol secara otomatik atau manual.
l)
Alat pengisi harus secara otomatik mengisi pada laju maksimum bila diperlukan oleh baterai.
m) Alat pengisi baterai harus di susun untuk menunjukkan rugi-rugi output pada sisi beban dari alat proteksi arus lebih dari arus searah bila tidak tersambung ke panel kontrol.
42
Gambar 2.21 Diesel Pump Horizontal type Sumber : Brand SPP, PT. Multisindomulya
3. Pompa Pacu (Jockey Pump) Pompa pacu pompa yang digerakan listrik yang kita kenal Jockey Pump. Pompa Pacu (Jockey Pump) berfungsi untuk mempertahankan tekanan. Pompa yang mempertahankan tekanan harus mempunyai kapasitas nominal tidak kurang dari setiap nominal kebocorannya. Pemilihan pompa pacu berdasarkan kriteria sebagai berikut: a)
Pompa harus mempunyai tekanan pelepasan yang cukup untuk mempertahankan tekanan sistem proteksi kebakaran yang diinginkan .
b)
Apabila pompa yang mempertahankan tekanan jenis sentrifugal tekanan menutup melebihi tekanan kerja dari peralatan proteksi kebakaran, atau apabila pompa jenis turbin baling-baling digunakan, ukuran katup relief untuk mencegah tekanan lebih dari sistem harus dipasang pada pelepasan pompa untuk mencegah kerusakan dari 43
sistem proteksi kebakaran. Alat pengatur jangka waktu berjalannya pompa jockey tidak boleh dipasang apabila pompa jockey yang tersedia mempunyai kemampuan melebihi tekanan kerja dari sistem proteksi kebakaran. c)
Pompa kebakaran utama atau cadangan tidak boleh dipakai untuk pompa yang mempertahankan tekanan.
d)
Pompa yang mempertahankan tekanan (Jokey atau tambahan) sebaiknya dipakai apabila dibutuhkan untuk mempertahankan keseragaman atau tekanan tinggi relatif pada sistem proteksi kebakaran.
e)
Pompa yang mempertahankan tekanan tipe sentrifugal lebih disukai. 1. Pompa jockey biasanya dipersyaratkan bersama dengan pompa yang dikontrol secara otomatik. 2. Hisapan pompa jockey datang dari jalur pipa pasok pengisi tangki. Situasi ini akan mengijinkan tekanan tinggi dipertahankan pada sistem proteksi kebakaran bahkan bila tangki pasok kosong untuk perbaikan. 3. Pemasangan jalur pengindera tekanan antara katup searah pelepasan dan katup kontrol perlu untuk memfasilitasi isolasi dari alat kontrol pompa jockey (dan jalur pengindera) guna pemeliharaan tanpa mengeluarkannya dari seluruh sistem.
f)
Pompa jockey sebaiknya kapasitas ditentukan ukurannya untuk menambah laju kebocoran yang diijinkan di dalam 10 menit dari 3,8 liter/menit (1 gpm), biasanya diambil antara 20 gpm sampai dengan 25 gpm.
44
Gambar 2.22 Instalasi Pompa Jockey Dengan Pompa Kebakaran. Sumber : SNI 03 – 6570 – 2001
Gambar 2.23 Sambungan Pemipaan Sakelar Tekanan Otomatik Pada Pompa Pemadam Kebakaran dan Pompa Jockey. Sumber : SNI 03 – 6570 - 2001 45
Syarat dari pompa pacu antara lain sebagai berikut: a) Alat pencatat tekanan sebaiknya mampu untuk mencatat tekanan sedikitnya 150 persen dari tekanan pelepasan pompa di bawah kondisi tanpa aliran. Pada bangunan bertingkat tinggi, sebaiknya mudah dibaca tanpa membuka panel alat kontrol pompa kebakaran. Persyaratan ini tidak harus diikuti oleh alat pencatat yang terpisah dari setiap alat kontrol ini. Alat pencatat saluran jamak tunggal dapat melayani pengindera jamak. b) Kontrol mekanik untuk menjalankan secara darurat, menyediakan sarana di bagian luar yang menutup kontaktor motor secara manual, memotong jalur untuk start dan menjalankan motor pompa kebakaran. c) Ini dimaksudkan untuk penggunaan darurat apabila pengoperasian secara normal/magnetik tidak memungkinkan. Bila digunakan pada rancangan alat kontrol, tegangan listrik pada waktu start akan turun, batas penurunan tegangan listrik 15 persen tidak digunakan. d) Instansi berwenang dapat mengijinkan penggunaan alat kontrol pelayanan terbatas untuk situasi khusus dimana penggunaan yang dapat diterima disampaikan pada pihak berwenang. e) Susunan Alat kontrol pompa kebakaran tipikal dan sakelar pemindah seperti ditunjukkan pada gambar dibawah ini.
46
Gambar 2.24 Susunan Alat kontrol Pompa Pemadam Kebakaran Tipikal dan Sakelar Pemindah. Sumber : SNI 03 – 6570 - 2001
47
Gambar 2.25 Jockey Pump Vertical Multistage Centrifugal Pump dan Power Starter Sumber : Brand SPP, PT. Multisindomulya
48