II. TINJAUAN PUSTAKA A. TALAS Talas merupakan tumbuhan asli daerah tropis yang bersifat perennial herbaceous, yaitu tanaman yang dapat tumbuh bertahun-tahun dan banyak mengandung air. Talas merupakan tumbuhan berbiji (Spermatophyta) dengan biji tertutup (Angiospermae) berkeping satu (Monocotyledonae). Talas tersebar dalam tiga genus tumbuhan yaitu Colocasia, Xanthosoma, dan Alocasia dari famili Araceae. Talas Banten tergolong dalam genus Xanthosoma. Taksonomi tumbuhan talas Banten adalah sebagai berikut (Prana dan Kuswara, 2002). Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Arales Famili : Araceae Genus : Xanthosoma Spesies : undipes K.Koch Talas merupakan salah satu tumbuhan yang lazim ditanam untuk dimanfaatkan umbi atau daunnya. Tanaman ini berasal dari kawasan Asia Selatan (India, Bangladesh, China Selatan) dan Tenggara (Myanmar, Vietnam, Thailand, Malaysia, Indonesia) (Prana dan Kuswara, 2002). Sebagai tanaman pangan, daun dan tangkai daunnya dapat digunakan sebagai sayuran, yaitu pada varietas yang tidak gatal. Talas seringkali dibudidayakan pada daerah tropis dengan curah hujan cukup (175–250 cm/tahun) serta memerlukan tanah yang subur di daerah lembab dengan temperatur sekitar 21–27°C. Tanaman ini dapat hidup pada dataran rendah sampai ketinggian 2700 m di atas permukaan laut namun tidak tahan terhadap temperatur sangat rendah (beku) (Minantyorini dan Hanarida, 2002). Talas adalah tanaman herba dengan tinggi antara 0.5-1.5 m dan sebagian besar daunnya berbentuk peltatus, kecuali khusus yang tumbuh di Hawai daunnya berbentuk hastate. Panjang helai daun sekitar 30-80 cm dan lebar daun antara 20-50 cm. Panjang tangkai daun bervariasi tergantung genotipenya, antara < 30 cm-1.5 m. Ukuran daun sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Ukuran maksimal daun biasanya terjadi saat awal muncul bunga dan setelah mendekati panen tangkai daun memendek dan helai daun mengecil (Minantyorini dan Hanarida, 2002). Tanaman talas mempunyai toleransi tinggi terhadap keteduhan sehingga dapat ditanam secara tumpang sari yang dapat menguntungkan petani (Waluya, 2003). Di Indonesia, talas ditanam dalam berbagai pola budidaya, bisa sebagai tanaman tunggal (monokultur), tumpang sari atau tumpang gilir (Prana dan Kuswara, 2002). Umur panen talas bervariasi tergantung kultivarnya. Ada kultivar yang genjah yang dapat dipanen pada umur sekitar 4 – 5 bulan, misalnya talas pare dan talas jahe. Namun ada pula kultivar yang tergolong berumur dalam (lambat) hingga waktu panennya bisa mencapai 8 bulan. Bila kultivar yang tergolong kelompok dalam ini dipelihara secara intensif, termasuk pengairannya, maka waktu panennya bahkan bisa ditunda sampai umur 10 – 12 bulan dengan bobot umbi yang tentu saja meningkat (Prana dan Kuswara, 2002).
3
Kebanyakan kultivar komersial dipanen sekitar umur 7 bulan. Pemanenan yang dilakukan lebih awal hasilnya jelas lebih sedikit dibandingkan yang dipanen belakangan. Akan tetapi penundaan pemanenan yang terlalu lama (lebih dari 8 bulan) berkemampuan mengurangi kualitas umbi, meskipun secara kuantitatif hasilnya bertambah (Prana dan Kuswara, 2002). Pemanenan dilakukan dengan cara menggali umbi talas, lalu pohon talas dicabut dan pelepahnya di potong sepanjang 20 – 30 cm dari pangkal umbi serta akarnya dibuang dan umbinya di bersihkan dari tanah yang melekat. Masa panen talas perlu mendapat perhatian yang cermat sebab waktu panen yang tidak tepat akan menurunkan kualitas hasil. Panen yang terlalu cepat akan menghasilkan talas yang tidak kenyal dan pulen, sebaliknya jika panen terlambat akan menghasilkan umbi talas yang terlalu keras dan liat (BPTP Banten, 2009). Talas merupakan tanaman umbi-umbian yang dapat mengeluarkan getah berwarna putih seperti susu. Tanaman ini memiliki daun berbentuk perisai dan warna daun yang sangat bervariasi tergantung varietasnya. Pada setiap permukaan daun dan pelepah tanaman ini dilapisi oleh lapisan lilin untuk melindungi diri. Tanaman ini memiliki sistem perakaran yang relatif dangkal. Daya jangkau akar tanaman ini mencapai kedalaman 40 - 60 cm dari permukaan tanah. Kulit umbi talas berwarna kemerah-merahan dan dagingnya berwarna putih keruh (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI di Cibinong melalui kegiatan eksplorasinya telah berhasil menginventarisasikan dan mengidentifikasi lebih dari 180 macam (morfotipe) talas dari 710 contoh talas yang dikumpulkan terutama dari Jawa, Bali, Sulawesi, dan Lampung. Keanekaragaman ini menyangkut berbagai sifat seperti tinggi pohon, bentuk dan ukuran daun, warna daun dan pelepah daun, banyaknya stolon dan anakan, bentuk dan warna serta ukuran pembungaan, bentuk dan ukuran umbi, warna dan tekstur serta daging umbi, umur panen, ketahanan terhadap hama/penyakit, ketahanan/toleransi terhadap kekeringan, dan lain-lain (Prana dan Kuswara, 2002). Karakter talas lainnya terdapat batang di bawah tanah berupa cormus yang berpati dan besar. Bentuk dan ukuran cormus bervariasi tergantung dari genotipenya, macam bibit yang digunakan, faktor ekologi khususnya jenis tanah, dan ada tidaknya batuan. Cormus tipe taro daratan umumnya bulat atau sedikit memanjang, sementara yang tipe rawa/sawah umumnya sangat memanjang. Cormus terdiri dari tiga bagian utama, yaitu kulit, korteks, dan daging. Kulit dapat halus, berserabut atau tertutup sisik. Serat pada daging sangat bervariasi dan sangat dipengaruhi lingkungan. Untuk mengetahui bentuk cabang cormus talas yang dibedakan menjadi dua yaitu bercabang dan tidak bercabang dapat dilihat pada Gambar 1 (Minantyorini dan Hanarida, 2002). Sedangkan karakterisasi bentuk cormus talas yang diamati menurut deskriptor plasma nutfah talas terdapat pada Gambar 2 (Minantyorini dan Hanarida, 2002).
Keterangan gambar : 0 (tidak bercabang) dan 1 (bercabang) Gambar 1. Cabang cormus talas
4
Keterangan gambar : 1 (kerucut), 2 (membulat), 3 (silindris), 4 (elips), 5 (halter), 6 (memanjang), 7 (datar dan bermuka banyak), 8 (tandan) Gambar 2. Klasifikasi bentuk cormus talas (Minantyorini dan Hanarida, 2002)
Tabel 1. Daftar kandungan gizi talas dalam 100 g umbi, daun, dan tangkai daun talas
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Kandungan Gizi Kalori (cal.) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Serat (g) Abu (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Zat besi (mg) Natrium (mg) Kalium (mg) Vitamin A (SI) Vitamin B1 (mg) Vitamin B2 (mg) Vitamin C (mg) Niacin (mg) Air (g) Bag. Yg dapat dimakan (%)
Umbi a 85.00 2.50 0.20 19.10 0.40 0.80 32.00 64.00 0.80 700 514.00 0.18 0.04 10.00 0.90 77.50 81.00
b 98.00 1.90 0.20 23.79 28.00 61.00 1.00 20.00 0.13 4.00 73.00 85.00
Bagian Tanaman Daun a b 69.00 71.00 4.40 4.10 1.80 2.10 12.20 12.30 3.40 2.00 268.00 302.00 78.00 47.00 4.30 8.30 11.00 1237.00 20385.00 10395.00 0.10 0.11 0.33 142.00 163.00 2.00 79.60 79.40 55.00 80.00
Tangkai Daun a 19.00 0.20 0.20 4.60 0.60 1.20 57.00 23.00 1.40 5.00 367.00 335.00 0.01 0.02 8.00 0.20 93.80 84.00
a.
Food and Nutrition Res. Center. Handbook I, Manila (1964) dalam Rukmana (1998)
b. c.
a dan b dikutip dari Prana dan Kuswara (2002)
Direktorat Gizi Depkes RI (1981) dalam Rukmana (1998)
Komposisi kimia umbi talas bervariasi tergantung pada varietas, iklim, kesuburan tanah, dan umur panen. Umbi talas berpotensi sebagai sumber karbohidrat dan protein yang cukup tinggi.
5
Umbi talas juga mengandung lemak, vitamin A, B1 (Thiamin) dan sedikit vitamin C. Umbi talas memiliki kandungan mineral Ca, dan P yang cukup tinggi (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Kandungan gizi pada talas dapat dilihat pada Tabel 1. Umbi talas merupakan bahan pangan yang memiliki kandungan protein yang baik, kandungan pati yang mudah dicerna, bebas gluten, kaya akan tiamin, niacin, riboflavin, dan vitamin C (Onayemi dan Nwigwe, 1978). Talas juga kaya akan getah yaitu mencapai 10.7% getah kasar. Getah tersebut diekstrak dari cormus dan umbi talas menggunakan air mendidih. Cormus talas segar seberat 1 kg dapat menghasilkan 100 gram getah murni. Getah kasar dapat digunakan sebagai bahan pengikat dan emulsifier. Pati talas juga baik digunakan sebagai bahan pengisi, biodegradable polyethylene film, dan bahan pengganti lemak (Jane et al., 1992). Komposisi talas yang rendah lemak dan natrium, bebas gluten dan laktosa, kaya kalsium, fosfor, vitamin B serta mudah dicerna membuat talas banyak digunakan sebagai makanan bayi di daerah Hawaii. Masyarakat daerah Pasifik, yaitu New Zealand dan Australia juga mengkonsumsi talas sebagai makanan pokok (Matthews, 2004).
B. TEPUNG TALAS Tepung adalah hasil pengolahan bahan dengan cara penggilingan atau penepungan. Pembuatan tepung dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung dari jenis umbi-umbian. Menurut Suismono et al. (2005), tahapan pembuatan tepung umbi-umbian yang lazim dilakukan baik pada skala industri rumah tangga maupun menengah dan besar adalah meliputi proses pengupasan, pencucian, penyawutan, pengeringan, dan penggilingan. Pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan alat pengering atau dengan menggunakan sinar matahari. Pengeringan dengan menggunakan pengering buatan memiliki lebih banyak keuntungan dibandingkan dengan sinar matahari. Hal ini dikarenakan suhu pengeringan dan aliran udaranya dapat diatur sehingga pengeringan lebih cepat dan merata. Pada tahap pengeringan, selain mengalami perubahan fisik, produk mengalami perubahan kadar air dan komponen kimia lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi proses, metode proses, kondisi bahan, dan perlakuan pendahuluan. Proses pengeringan juga bersifat mengawetkan dikarenakan penurunan kadar air pada bahan menyebabkan aktivitas air berkurang sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba maupun reaksi yang tidak diinginkan (Winarno, 1992). Talas dilaporkan mengandung pati 70 – 80% dengan granula yang berukuran kecil yaitu diameter 1.4 – 5 µm. Bentuk granula kecil pada pati talas menyebabkan talas mudah dicerna sehingga diindikasikan sebagai bahan pangan yang mampu mengatasi masalah pencernaan. Penduduk di beberapa daerah di Hawaii dan kepulauan Pasifik, menggunkan talas dalam bentuk tepung sebagai bahan makanan sapihan bayi dan balita yang hipersensitif terhadap susu (Jane et al., 1992). Selain itu, talas juga sering dikonsumsi sebagai makanan pokok bagi orang-orang yang alergi terhadap biji-bijian tertentu yang mengandung gluten terutama gandum (Lee, 1992).
C. OKSALAT Oksalat (C2O42-) di dalam talas terdapat dalam bentuk yang larut air (asam oksalat) dan tidak larut air (biasanya dalam bentuk kalsium oksalat atau garam oksalat). Asam oksalat adalah senyawa kimia yang memiliki nama sistematis asam etanadioat. Asam oksalat dapat ditemukan dalam bentuk bebas ataupun dalam bentuk garam. Bentuk yang lebih banyak ditemukan adalah
6
bentuk garam. Kedua bentuk asam oksalat tersebut terdapat baik dalam bahan nabati maupun hewani. Jumlah asam oksalat dalam tanaman lebih besar daripada hewan (Noonan dan Savage, 1999). Menurut Noonan dan Savage (1999), asam oksalat membentuk garam larut air bersama ion Na+, K+, dan NH4+ serta berikatan pula dengan Ca2+, Fe2+, dan Mg2+ menyumbangkan mineralmineral yang tidak tersedia pada hewan. Oksalat terdapat dalam bentuk ion oksalat (C2O42-) pada beberapa spesies tumbuhan dari famili Goosefoot dengan cairan sel mendekati pH 6. Ion oksalat yang ditemukan biasanya dalam bentuk natrium oksalat yang dapat larut serta kalsium oksalat dan magnesium oksalat yang tidak dapat larut. Oksalat dapat ditemukan dalam jumlah yang relatif kecil pada banyak tumbuhan. Bahan pangan yang kaya dengan oksalat biasanya hanya merupakan komponen minor dalam diet manusia, tetapi menjadi penting dalam diet di beberapa wilayah di dunia. Colocasia (talas) dari famili Aroid merupakan salah satu tanaman dengan level kadar oksalat paling tinggi, yaitu 470 mg/100 g (Noonan dan Savage, 1999). Peran oksalat pada tumbuhan antara lain sebagai perlindungan terhadap insekta dan hewan pemakan tumbuhan melalui toksisitas dan/atau rasa yang tidak menyenangkan, dan osmoregulasi (Ma dan Miyasaka, 1998). Kalsium oksalat adalah persenyawaan garam antara ion kalsium dan ion oksalat. Senyawa ini terdapat dalam bentuk kristal padat non volatil, bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam asam kuat (Schumm, 1978). Secara umum terdapat lima jenis bentuk dasar kalsium oksalat yang terdapat dalam berbagai tanaman, diantaranya berbentuk raphide (jarum), rectangular dan bentuk pinsil, druse (bulat), prisma, dan rhomboid (Horner dan Wagner, 1995). Bentuk umum kristal kalsium oksalat yang banyak ditemukan pada tumbuhan monokotil dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Bentuk kristal oksalat pada tanaman monokotil (Horner dan Wagner, 1995) a. Raphide (bentuk jarum) b. Rectangular dan bentuk pinsil c. Druse (bentuk bulat)
Bradbury dan Nixon (1998) menyatakan bahwa efek gatal yang merangsang rongga mulut dan kulit disebabkan oleh adanya kristal kecil yang berbentuk jarum halus yang disebut raphide. Raphide adalah struktur berbentuk jarum yang tersusun atas kristal-kristal kalsium oksalat di dalam vakuola sel tumbuhan. Raphide umumnya memliki panjang sekitar 50 – 200 µm, diameter 2 – 4 µm, dan dapat berpenetrasi pada kulit (Bradbury dan Nixon, 1998). Efek gatal muncul ketika kristal dilepaskan dan menimbulkan lubang-lubang kecil pada kulit saat bersentuhan dengan raphide (Onwueme, 1994). Raphide terkurung di dalam kapsul yang dikelilingi lendir yang disebut dengan sel idioblas. Kapsul-kapsul itu terletak dalam daerah di antara dua vakuola. Ujung dari kapsul menyembul ke dalam perbatasan vakuola-vakuola pada dinding sel. Vakuola-vakuola tersebut berisi air sehingga jika diberi perlakuan mekanis maka air
7
akan masuk ke dalam kapsul melalui dinding sel. Tekanan air terhadap dinding sel meningkat sehingga kristal kalsium oksalat yang berbentuk jarum terdesak ke luar.
Gambar 4. Raphide yang bergerombol dalam sel idioblas (Aboubakar et al., 2008)
Asam oksalat bersama dengan kalsium dan zat besi di dalam tubuh manusia membentuk kristal yang tak larut sehingga dapat menghambat penyerapan kalsium oleh tubuh (Noonan dan Savage, 1999). Hal ini menyebabkan konsumsi makanan tinggi asam oksalat dalam jangka panjang dapat menyebabkan kekurangan gizi. Metabolisme oksalat tidak dapat dilakukan di dalam tubuh sehingga dikeluarkan melalui ginjal. Individu yang memiliki kerentanan khusus dengan oksalat, yaitu penderita kelainan ginjal, encok, dan radang persendian atau osteoporosis harus membatasi asupan asam oksalat, sedangkan orang yang sehat mungkin tidak perlu, dengan tetap menjaga agar konsumsi bahan pangan tersebut tidak dilakukan secara terus-menerus dalam jangka panjang. Jenis paling umum dari batu ginjal adalah batu kalsium dengan komposisi mencapai 80% dan paling banyak ditemukan dalam bentuk kalsium oksalat (Mariani, 2008). Asam oksalat dan garamnya tergolong senyawa yang berbahaya karena bersifat toksik. Senyawa oksalat dengan dosis 4 – 5 gram dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa, tetapi dosis yang dilaporkan dapat menyebabkan pengaruh fatal biasanya adalah 10 – 15 gram (Noonan dan Savage, 1999). Proses pencernaan asam oksalat dapat mengakibatkan korosi pada mulut dan sistem pencernaan serta gagal ginjal. Gejala pada pencernaan yaitu abdominal kram dan muntahmuntah yang dengan cepat diikuti kegagalan peredaran darah dan pecahnya pembuluh darah inilah yang dapat menyebabkan kematian (Mariani, 2008).
D. REDUKSI OKSALAT Banyak cara dilakukan untuk menghilangkan rasa gatal akibat kandungan oksalat pada talas. Salah satunya dengan cara pemanasan (Smith, 1997). Pemanasan dilakukan melalui penjemuran, pemanasan (Lee, 1999); perebusan, perendaman dalam air hangat, pemanggangan (Iwuoha dan Kalu, 1994); dan pengeringan (Nur, 1956). Proses pemanasan dapat mengurangi kelarutan oksalat, namun proses pemanasan tidak dapat menghilangkan keseluruhan kandungan oksalat dalam makanan. Perebusan hanya mengurangi kadar oksalat terlarut, namun tidak untuk garam oksalat. Perebusan dapat mengurangi kadar oksalat dengan cara membuang air rebusan. Penurunan kadar oksalat dengan perebusan disebabkan oleh pelarutan dan degrasi panas (Iwuoha dan Kalu, 1995). Perebusan dapat menurunkan kadar oksalat total talas dari Jepang hingga 77%, sedangkan pemanggangan meningkatkan kadar oksalat hingga dua kali lipat (Catherwood et al., 2007). Pemanggangan akan meningkatkan efektivitas kandungan oksalat dikarenakan hilangnya kadar air dalam bahan yang disebabkan dalam pemanggangan tersebut (Noonan dan Savage, 1999). Perendaman umbi dalam air hangat suhu 38 - 48°C selama kurang dari 4 jam diklaim dapat menurunkan kadar komponen penyebab gatal tanpa menyebabkan gelatinisasi pati (Huang dan Hollyer, 1995). Proses fermentasi dapat juga digunakan untuk mengurangi kandungan oksalat
8
karena fermentasi dapat mendekomposisikan kalsium oksalat menjadi asam karboksilat yang kemudian terdehidrasi menjadi alkohol. Perlakuan kimia juga dapat dilakukan untuk menghilangkan kalsium oksalat. Penghilangan kalsium oksalat dapat dihilangkan dengan cara melarutkan kalsium oksalat dalam asam kuat sehingga mendekomposisi kalsium oksalat menjadi asam oksalat. Asam klorida dapat bereaksi secara sempurna dengan kalsium oksalat, disamping asam kuat lainnya seperti asam sulfat (Schumm, 1978). Reaksi antara asam klorida dengan kalsium oksalat akan menghasilkan endapan kalsium klorida dan asam oksalat yang dapat dinyatakan dengan persamaan reaksi sebagai berikut: 2 HCl (l) + CaC2O4 (s) CaCl2 (s) + H2C2O4 (l) Reaksi tersebut tergolong reaksi metatesis, yaitu reaksi yang berlangsung antara asam dan garam. Reaksi metatesis ditandai dengan terbentuknya endapan, gas atau zat yang langsung terurai menjadi gas (Schumm, 1978). Perendaman dalam larutan garam (NaCl) banyak dilakukan untuk mengurangi efek gatal pada talas. Garam terbentuk dari hasil reaksi asam dan basa yang terdiri dari ion positif (kation) dan ion negatif (anion), sehingga membentuk senyawa netral (tanpa muatan). NaCl akan terionisasi di dalam air menjadi ion Na+ dan Cl- yang akan berikatan dengan kalsium oksalat membentuk natrium oksalat dan endapan kalsium diklorida yang larut dalam air dengan reaksi sebagai berikut: CaC2O4 + 2 NaCl → Na2C2O4 + CaCl2
E. PENELITIAN TERDAHULU Penelitian reduksi oksalat yang dilakukan Onayemi dan Nwigwe (1987), menunjukkan bahwa perendaman menggunakan asam sitrat dengan konsentrasi 0.1% dan lama perendaman 3 jam mampu menurunkan kadar oksalat umbi hingga 80%, akan tetapi waktu perendaman yang terlalu lama dinilai kurang efisien disamping dapat mengurangi tingkat kesukaan konsumen terhadap produk karena rasa masam dari asam sitrat yang menimbulkan penyimpangan cita rasa. Penelitian yang berkaitan dengan talas telah dilakukan oleh Kurdi (2002) yang mereduksi oksalat dengan menggunkan asam klorida. Pada penelitiannya, Kurdi merendam irisan talas pada HCl dengan konsentrasi 0.05; 0.15; dan 0.25% selama 2; 4; dan 6 menit. Hasil optimum yang didapat pada penelitian Kurdi adalah perendaman HCl dengan konsentrasi 0.25% selama 4 menit. Perendaman talas dengan asam klorida menyebabkan kalsium oksalat bereaksi dengan asam. Konsentrasi yang tinggi mempunyai jumlah partikel yang lebih banyak sehingga mempunyai kemampuan lebih banyak untuk mereduksi oksalat pada talas. Akan tetapi persen reduksi oksalat yang diteliti oleh Kurdi (2002) tidak cukup tinggi, yaitu 32% sehingga oksalat tidak direduksi secara optimal. Perendaman dalam larutan NaCl dilakukan oleh Prabowo (2010) pada umbi porang, dimana umbi porang dengan talas masih satu keluarga dalam suku talas-talasan (Araceae). Perendaman irisan umbi porang dilakukan secara berulang hingga lima kali pada larutan NaCl 4.5% dengan nilai efisiensi hampir 40%. Nilai efisiensi tersebut dinilai masih rendah karena tidak mampu mereduksi sebagian besar kalsium oksalat dari irisan umbi. Mayasari (2010) menggunakan larutan asam dan larutan garam untuk mereduksi kandungan oksalat yang ada di dalam talas. Mayasari menggunakan talas Bogor sebagai bahan penelitiannya. Larutan asam yang digunakan adalah asam sitrat dan asam klorida sedangkan
9
larutan garam yang digunakan adalah NaCl. Konsentrasi larutan asam sitrat dan asam klorida yang digunakan adalah 0.1; 0.3; dan 0.5 M dengan lama perendaman 5 dan 10 menit. Sedangkan konsentrasi larutan garam NaCl yang digunakan adalah 5; 7.5; dan 10% dengan lama perendaman 30 dan 60 menit. Hasil optimum yang didapat oleh penelitian Mayasari (2010) adalah perendaman larutan garam NaCl 10% selama 60 menit dapat mereduksi oksalat sebesar 93.62%. Wahyudi (2010) melakukan reduksi oksalat talas dengan menggunakan perendaman air hangat dengan suhu yang digunakan adalah 40 dan 50°C dengan lama perendaman adalah 1; 2; 3; dan 4 jam. Hasil yang terbaik yang didapat oleh Wahyudi (2010) adalah perendaman talas dengan air hangat suhu 40°C dengan lama perendaman selama 4 jam. Dengan metode perendaman talas dengan air hangat suhu 40°C dengan lama perendaman selama 4 jam dapat mereduksi oksalat sebanyak 81.96%.
10