II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Pengertian Migrasi dan Migrasi Sirkuler Terdapat tiga komponen yang dapat
mengubah kuantitas penduduk,
yaitu fertilitas, mortalitas dan migrasi. Dari ketiga komponen tersebut, yang paling sulit diukur dan dirumuskan adalah migrasi. Menurut Lee (1976), migrasi adalah perubahan tempat tinggal secara permanen atau semi permanen dimana tidak ada pembatasan dan sifat tindakan tersebut sukarela atau terpaksa. Migrasi secara umum mengandung pengertian yaitu proses perpindahan individu atau bisa juga kelompok dari suatu tempat atau pun daerah ke tempat atau daerah lain dengan harapan mendapatkan sesuatu dari daerah yang dituju (Mantra, 1994). Suharso (1986) memberi pengertian migrasi sebagai suatu mobilitas penduduk secara geometris dari suatu tempat atau lokasi geografis ke tempat atau lokasi geografis lainnya melewati batas administrasi sesuatu daerah atau wilayah dengan maksud untuk mempertahankan hidup dan atau memperbaiki kehidupan, baik untuk keluarga maupun diri sendiri. Sedangkan Rusli (1986), berpendapat bahwa migrasi adalah gerak penduduk dari satu tempat ke tempat lain disertai dengan perpindahan tempat tinggal secara permanen. Arti permanen mengandung pertimbangan tentang waktu dan untuk membedakan perpindahan yang bersifat sementara (nonpermanen). Badan Pusat Statistik (BPS) menetapkan definisi migrasi lebih didasarkan pada dimensi wilayah dan waktu, yaitu perpindahan penduduk yang melmpaui batas propinnsi dengan jangka waktu lima tahun lalu (migrasi risen/mutakhir). Berdasarkan beberapa pengertian diatas, migrasi dapat disimpulkan sebagai bentuk gerak penduduk, spasial ataupun teritorial antara unit-unit geografis yang melibatkan perubahan teritorial atau tempat tinggal yaitu dari tempat asal ke tempat tujuan. Tempat asal dalam hal ini bisa meliputi daerah perdesaan atau pun perkotaan dan tempat tujuan meliputi daerah perkotaan atau pun perdesaan. Selanjutnya secara teritorial biasa dikelompokkan kedalam mobilitas desa-kota, desa-desa, kota-kota dan kota-desa. Menurut Mantra (1994) mobilitas penduduk terbagi menjadi dua, yaitu mobilitas penduduk vertikal dan mobilitas penduduk horizontal atau geografis. Mobilitas penduduk vertikal adalah
Bab II. Tinjauan Pustaka
12
perubahan setatus seseorang (aktivitas pekerjaannya) dari waktu ke waktu yang lain atau pada waktu yang sama. Sedangkan yang dimaksud migrasi horizontal adalah gerak penduduk dari satu wilayah menuju kewilayah yang lain dalam jangka waktu tertentu. Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan dalam mobilitas horizontal yaitu wilayah/ruang (space) dan waktu (time), hal tersebut sesuai dengan paradigma geografi yang didasarkan atas konsep ruang dan waktu (space and time concept). Namun sampai saat ini, para ahli belum ada kesepakatan tentang konsep ruang dan waktu untuk mendefinisikan mobilitas penduduk. Biro Pusat Statistik menggunakan propinsi sebagai batasan ruang dan enam bulan sebagai batasan waktu untuk mengatakan seseorang sebagai migran. Peneliti lain: Singanetra-Renald, Mukherji, Chapman (dalam Mantra,1994) menggunakan batasan ruang dan waktu yang lebih sempit, sehingga pada akhirnya sepakat bahwa makin sempit batasan ruang dan waktu yang digunakan makin banyak terjadi gerak penduduk di antara wilayah tersebut. Mobilitas penduduk horizontal terdiri dari mobilitas penduduk permanen dan
nonpermanen
(mobilitas
penduduk
sirkuler).
Mobilitas
penduduk
nonpermanen terbagi menjadi dua yaitu sirkulasi dan komutasi. Mobilitas penduduk jenis sirkulasi dalam penelitian ini disebut dengan migrasi sirkuler adalah gerak penduduk melintasi batas-batas administratif suatu wilayah untuk bekerja lebih dari satu hari, atau kurang dari satu tahun, serta tidak ada “niat” menetap didaerah tujuan. Sedangkan gerak perpindahan penduduk melintasi batas-batas administratif suatu wilayah untuk bekerja sedikitnya enam jam atau sedikitnya kurang dari satu hari serta kembali pada hari itu juga, dan tidak ada “niat” nginap di daerah tujuan disebut komutasi. Lebih jelas, Mantra berpendapat bahwa mobilitas penduduk sirkuler adalah gerak penduduk dari satu wilayah menuju wilayah lain dengan tidak ada “niatan” menetap untuk selamanya di daerah tujuan. Seseorang dikatakan melakukan migrasi apabila melakukan pindah tempat tinggal secara permanen (untuk jangka waktu minimal tertentu) dengan menempuh jarak minimal tertentu atau pindah dari satu unit geografis lain. Unit geografis sering juga disebut unit administratif pemerintahan baik berupa negara maupun bagian dari negara-negara diatur menurut tata aturan administratif yang disepkati secara nasional maupun internasional.
12
Bab II. Tinjauan Pustaka
13
Sedangkan orang yang melakukan migrasi disebut migran. Standing (1991 dalam Sri Wahyuni, 2003) menyatakan bahwa, banyak sensus menetapkan bahwa migran adalah mereka yang berpindah dalam masa antarsensus dan dalam masa sensus kedua tinggal di wilayah yang tidak sama dengan wilayah tempat tinggal pada waktu sensus pertama. Oleh karena itu seseorang disebut sebagai migran ada kemungkinan telah melakukan migrasi lebih dari satu kali (Rusli, 1984). Menurut Alatas dan Edi (1992) secara umum menyebutkan beberapa jenis migran, migran kembali, migran semasa hidup (life time migran), migran total dan migran risen. Migran semasa hidup ialah orangorang yang pada saat pencacahan tidak bertempat tinggal ditanah atau tempat kelahirannya. Migran kembali adalah orang yang kembali ketempat kelahirannya setelah sebelumnya pernah berpindah ketempat lain atau dengan kata lain bisa disebut dengan migran sirkuler. Sedangkan migran total yaitu orang yang pernah bertempat tinggal ditempat lain (selain tempat kelahirannya), sehingga migrasi total meliputi migran semasa hidup dan migran kembali. Jumlah migran total dikurangi
migran
kembali
merupakan
migran
semasa
hidup.
Migran
risen/mutakhir adalah orang-orang yang akhir-akhir ini melakukan perpindahan, akhir-akhir ini dapat diartikan dalam waktu satu tahun terakhir ini atau lima tahun terakhir ini dan seterusnya. Dalam kemungkinan bila lima tahun terakhir, maka migran risen/mutakhir adalah orang/mereka yang pada saat pencacahan propinsi tempat tinggal sekarang berbeda dengan propinsi tempat tinggal lima tahun yang lalu. Lebih lanjut, terdapat migrasi yang dilakukan atas keinginan sendiri dan atas keinginan diluar pribadi yang sering disebut transmigrasi. Sedangkan pada umumnya jenis migrasi digolongkan menjadi dua yaitu migrasi internal dan migrasi internasional. Seorang melakukan migrasi dikatakan sebagai migran masuk bila dilihat dari daerah tujuan, dan dikatakan migran keluar bila dilihat dari daerah asal. Apabila dalam suatu daerah pada suatu wilayah negara jumlah migrasi masuk lebih banyak dari dari migrasi keluar berarti dalam daerah yang bersangkutan terdapat migrasi masuk net. Dan sebaliknya bila migrasi keluar neto bila di daerah tersebut jumlah migrasi keluar lebih banyak dari migrasi masuk ( Rusli, 1984).
13
Bab II. Tinjauan Pustaka
2.2.
14
Migrasi Sirkuler dan Rumahtangga Migran Sirkuler Pengertian migrasi sirkuler sebagaimana yang dikatakan Alatas dan Edi
(1992), adalah jenis mobilitas penduduk yang dipilih seseorang atau kelompok dengan maksud untuk tidak menetap di daerah tujuan dan pada waktu tertentu tetap kembali ke daerah asal. Migrasi sirkuler menurut Mantra (1994) adalah gerak penduduk dari sutu wilayah menuju ke wilayah lain dengan tidak ada niatan menetap di daerah tujuan. Dari kedua pengertian tersebut terlihat tidak ada batasan waktu dan jarak untuk keluar dari daerah asal, tetapi kedua pengertian tersebut sepakat menekankan pada kata “niatan” yang membedakan dari pengertian migrasi permanen. Dengan demikian dapat disimpulkan pengertian
migrasi
sirkuler
adalah
gerak
penduduk
nonpermanen
seseorang/mereka dalam waktu lebih dalam sehari tetapi kurang dari enam bulan. Lebih lanjut, Mantra juga berpendapat bahwa seseorang cenderung melakukan mobilitas apabila kebutuhannya di daerah asal kurang dapat terpenuhi. Dengan demikian keputusan untuk memilih migrasi adalah merupakan pertimbangan ekonomi yang rasional (Todaro, 2003). Tujuan utama para migran pada umumnya adalah pemenuhan kebutuhan rumahtangga di daerah asal, akan tetapi adanya ikatan kekerabatan antar keluarga yang kuat di sebagian masyarakat seringkali mempengaruhi proses keputusan mobilitas penduduk. Sehingga, migran dapat dengan arif memutuskan pada jenis mana mereka memilih bentuk mobilitas, tentunya migran akan mempertimbangkan bentuk mobilitas yang optimal yang dapat mencukupi kebutuhan keluarganya. Mencukupi kebutuhan dalam hal ini meliputi kebutuhan lahiriyah (makanan, pakaian dan tempat tinggal) dan kebutuhan batiniyah (pendidikan, kasihsayang keluarga, dst.). Atas dasar dua pertimbangan tersebut akan menentukan memilih jenis mobilitas, termasuk keputusan memilih jenis mobilitas sirkuler. Sebagian masyarakat terutama masyarakat perdesaan di Pulau Jawa memilih jenis migrasi nonpermanen (sirkulasi) dianggap lebih efektif dalam memenuhi dua kebutuhan yang manusiawi tersebut. Dengan demikian, penyertaan keluarga ke daerah tujuan tentunya juga diputuskan dengan pertimbangan yang matang, pada umumnya keluarga diajak menjadi migran
14
Bab II. Tinjauan Pustaka
15
sirkuler bertahap dalam prosesnya. Ketika tingkat pendapatan migran didaerah tujuan sudah mencukupi, secara bertahap migran yang sendirian akan mengikut sertakan keluarganya kedaerah tujuan, sebagai tanda di daerah tujuan mengalami tingkat perbaikan dari kondisi awal. Dengan demikian, rumahtangga migran sirkuler atau migran kembali adalah sanak saudara atau “kaum kerabat” yang kembali ketempat kelahirannya (daerah asal) setelah sebelumnya pernah berpindah ketempat lain (daerah tujuan). 2.3.
Faktor-Faktor Migrasi Sirkuler Menurut
Lee
(1991)
mengemukakan
bahwa
faktor-faktor
yang
mempengaruhi orang dalam mengambil keputusan untuk bermigrasi dan mempengaruhi proses migrasi adalah: (1) Faktor-faktor dari daerah asal (Faktor daya dorong/push factors, faktor daya tarik /pull factors dan faktor netral/neutral factors), (2) Faktor-faktor yang ada di daerah tujuan (Faktor daya dorong/push factors, faktor daya tarik /pull factors dan faktor netral/neutral factors), (3) Faktorfaktor rintangan dan (4) Faktor-faktor pribadi. Faktor-faktor tersebut diatas terlihat dalam Gambar 1. Sebagai tanda + (positif), berarti menarik atau juga biasa disebut faktor yang mengikat seseorang untuk menetap di daerah tujuan. Tanda negatif (-) berarti mendorong seseorang untuk pindah dari daerah asal, dan tanda 0 berarti netral, faktor yang bersifat netral secara relatif pada dasarnya tidak berpengaruh terhadap pengambilan keputusan untuk bermigrasi. Kendati demikian terdapat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh sama atau berbeda terhadap seseorang. Kondisi tersebut disebabkan adanya perbedaan sikap dari calon migran terhadap faktor-faktor tersebut. Namun demikian terlihat beberapa faktor yang menimbulkan reaksi yang sama pada beberapa pribadi calon migran terhadap faktor-faktor tersebut, baik kondisinya didaerah asal maupun didaerah tujuan.
Daerah Asal
+ –+0 –+ 0– + –0–+ 0– +0 +
Penghalang Antara
+ –0+ 0– +0 + + 0– + 0 – + 0–
Daerah Tujuan
Gambar 1 Faktor daerah asal dan daerah tujuan serta penghalang antara dalam migrasi
15
Bab II. Tinjauan Pustaka
16
Simbol (+, – , 0) adalah merupakan simbol faktor penarik, pendorong dan netral yang berasal di daerah asal dan daerah tujuan. Maksud pengertian ini tergantung pada persepsi masing-masing individu terhadap faktor-faktor tersebut. Selain faktor penarik, pendorong dan netral, masih ada faktor penghalang atau perintang antara. Faktor penghalang antara dalam kondisi tertentu relatif mudah diatasi, namun terkadang juga relatif sulit diatasi. Faktor-faktor pribadi antara lain; persepsi seseorang tentang daerah asal dan tujuan, kepekaan pribadi atau individu yang sangat mempengaruhi penilaian tentang keadaan daerah asal dan tujuan. Demikian juga dengan informasi yang tersedia, membawa pengaruh dalam pengambilan keputusan untuk melakukan migrasi. Pengambilan keputusan bermigrasi, salah satunya dipengaruhi oleh faktor lemahnya kualitas sumberdaya manusia yang ada, disamping rasa keterikatan dengan keluarga didesa asal dan kemauan keras dalam mencoba sesuatu yang baru atau yang termasuk dalamm motivasi diri dalam mencoba hal baru. Dengan demikian, ketika pengambilan keputusan bermigrasi sudah terlaksana di daerah tujuan sebagian besar para migran mengenal dan mempunyai ikatan sosial yang kuat antar sesama migran. Mulder (1978) mengatakan bahwa diantara sesama migran sebenarnya terdapat ikatan sosial yang kuat didaerah tujuan. Kadangkadang migran membentuk kongsi-kongsi atau persatuan antar sesama migran berdasarkan kesamaan daerah, asal daerah maupun idiologinya. Ketika para migran mengambil keputusan untuk melakukan migrasi dalam benak mereka sudah tersusun rencana bahwa nantinya didaerah tujuan akan mendapat pekerjaan dan penghasilan sesuai yang diinginkan mereka. Kebanyakan mereka tidak mengetahui bahwa lapangan pekerjaan dan jenis pekerjaan di daerah tujuan (Kota) kebanyakan masuk ke sektor moderen. Mobilitas tenaga kerja pedesaan ke daerah perkotaan antara lain adalah karena kebijakan pembangunan yang berkembang cenderung urban-bias, tidak berpihak atau bahkan mengabaikan daerah pedesaan, serta penerapan mekanisasi pertanian sebelum waktunya dan menyempitnya lahan pertanian akibat pertumbuhan penduduk dan konversi lahan pertanian. Todaro (2003), berpendapat bahwa keputusan untuk melakukan migrasi merupakan suatu keputusan yang telah dirumuskan secara rasional, para migran tetap saja pergi meskipun mereka mengetahui tingginya tingkat pengangguran di daerah-daerah
16
Bab II. Tinjauan Pustaka
17
tujuan, kerangka sistimatis dari pendapat ini dapat ditunjukkan dalam Gambar 2 yang menunjukkan skema analisis keputusan bermigrasi menurut Derek Byerlee dalam Todaro (2003). Keinginan mereka untuk pindah kekota adalah untuk mencari pekerjaan dengan harapan besar bahwa tingkat upah atau penghasilan yang akan didapat di perkotaan akan lebih besar. Walaupun potensi dan daya dukung perkotaan sudah tidak mampu menghasilkan upah atau penghasilan yang seimbang dengan kebutuhan migran, karena kapasitas dan daya dukung perkotaan yang cenderung melemah akibat overpopulation. Namun migran yang datang tetap saja tertarik, dengan segala daya dan upaya mereka menggunakan informasi dan jaringan sosial dari kaum kerabat yang sudah terlebih dahulu bermigrasi. Jaringan sosial yang digunakan migran dalam studi ilmu sosial sering disebut modal sosial (social capital) dalam hal ini dapat diartikan sebagai modal yang memperlancar keputusan untuk menjadi migran sirkuler. Modal sosial merupakan jaringan antar orang-orang yang saling berinteraksi
dalam
satu
kepentingan
yang
didalamnya
terdapat
unsur
kepercayaan yang mampu megurangi biaya transaksi. Dalam kenyataannya ikatan kekerabatan yang kuat akan mampu menciptakan ikatan sosial, ikatan batin antar sesama migran maupun ikatan yang kuat terhadap daerah asal. Begitu pula dengan keputusan bidang pekerjaan yang ditekuni oleh para migran tidak akan terlepas dari unsur kekerabatan yang ada. Seorang migran yang datang dari desa tidak akan begitu mudah untuk mendapatkan sebuah pekerjaan ketika mereka tiba di daerah tujuan, sebagian besar tidak sendirian, kebanyakan dari mereka diajak oleh ”kerabat” mereka yang telah berhasil di daerah tujuan untuk mendapatkan pekerjaan yang cocok dan menghasilkan pendapatan. 2.4.
Konsep Sektor Informal dan Sektor Formal Konsep sektor informal berasal dari makalah Hart tentang lapangan kerja
perkotaan di Ghana. Hart pertama kali memperkenalkan pembagian kegiatan ekonomi kedalam sektor “informal” dan sektor “formal”. Istilah sektor informal sendiri adalah merupakan satu bentuk pengembangan dari konsep tradisional, sedangkan istilah sektor formal kurang lebih sama dengan istilah moderen Konsep sektor informal menurut Hart adalah merupakan unit usaha dengan ciri-
17
Bab II. Tinjauan Pustaka
18
ciri padat karya, pengelolaan usaha bersifat kekeluargaan, tingkat pendidikan formal yang rendah, mudah dimasuki pendatang baru, sifatnya yang selalu berubah ubah dan tidak stabil (Tjiptoherijanto, 1989). Dualisme informal dan formal ini semakin menarik peneliti studi pembangunan dalam kaitan proses industrialisasi dan urbanisasi di negaranegara berkembang, terutama seiring meluasnya kegiatan berusaha di pasarpasar yang tidak terorganisasi di daerah perkotaan, selanjutnya lebih dikenal dengan sektor informal perkotaan. Namun, pada dasarnya sektor informal akan lebih jelas dpat dibedakan dari sektor formal jika dilihat dari aspek legalitas. Menurut ILO, pembedaan dua sektor (informal dan formal) tersebut dapat didasarkan pada aktivitas, sifat alami pasar dan perusahaan. Berkaitan dengan sektor informal, beberapa ciri yang di tulis oleh Soetjipto (1985) antara lain: 1. Pola kegiatan tidak teratur, baik dalam arti waktu, permodalan, maupun penerimaannya. 2. Tidak tersentuh oleh peraturan atau ketentuan yang ditetapkan pemerintah. 3. Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omzetnya biasanya kecil dan diusahakan atas dasar hitungan hari. 4. Umumnya tidak mempunyai tempat usaha yang permanen dan terpisah dari tempat tinggalnya. 5. Tidak mempunyai keterikatan dengan usaha lain yang besar. 6. Umumnya dilakukan oleh dan melayani golongan masyarakat yang berpendapatan rendah. 7. Tidak membutuhkan keahlian dan ketrampilan khusus, sehingga secara luwes dapat menyerap bermacam-macam tingkat pendidikan tenaga kerja. 8. Umumnya tiap-tiap satuan usaha memperkerjakan tenaga yang sedikit dan dari lingkungan hubungan keluarga, kenalan atau berasal dari daerah yang sama. 9. Tidak mengenal sistem administrasi bank, pembukuan, perkreditan dan lainya. Berbeda dengan sektor informal, pasaran tenaga kerja pada sektor formal terdiri dari tenaga kerja bergaji yang melakukan tugas secara permanen,
18
Bab II. Tinjauan Pustaka
19
diorganisasi dengan resmi, dilindungi dan tercatat dalam statistik ekonomi. Mereka yang bekerja disektor formal berada dibawah pengawasan Departemen ketenagakerjaan yang ditunjuk pemerintah dan tunduk terhadap ketentuan tentang upah, jam kerja, hak cuti, keamanan, pemutusan hubungan kerja (PHK), asuransi dan masih banyak lagi perundang-undangan lainnya. Dalam memahami karakteristik sektor informal, akan lebih jelas jika difokuskan pada pengelolaan usaha dan hubungannya dengan pemerintah. Pembedaan tersebut diantaranya adalah: a. Sektor Formal Sektor formal termasuk dalam aktivitas pemerintah, dan juga berusaha disektor swasta yang secara resmi dikenli, dipelihara dan diatur oleh negara. Sektor formal dicirikan secara jelas dengan skala operasi yang relatif besar, teknik padat modal, tingkat upah dan gaji yang tinggi. b. Sektor Informal Dalam sektor informal, perusahaan dan individu beraktivitas diluar sistem peraturan dan kepentingan pemerintah, sehingga tidak memiliki akses terhadap institusi kridit formal dan kecukupan modal sumber daya untuk mentransfer teknologi dari luar negeri. Sehingga, banyak ditemukan pelaku ekonomi sektor ini beroperasi secara ilegal. Walaupun pengaruhnya terhadap aktivitas ekonomi relatif sama, keilegalan tidak selau merupakan konsekwensi alamiah dari keterbatasan sumber daya dan akses terhadap sektor formal. Sampai saat ini dalam perkembangan penelitian tentang sektor informal dan sektor formal yang umumnya berkembang di perkotan, para ahli masih belum sepakat dalam mendefinisikan istilah sektor informal. Ketidak jelasan batas formal-informal juga banyak disebabkan oleh banyaknya interaksi dan keterkaitan antara kegiatan informal dan formal. Konsep “ends-means” dari Hermando de Soto dalam Sarosa (2006) mengatakan bahwa kegiatan informal pada dasarnya dicirikan pada tujuan (ends) yang legitimate, karena untuk memenuhi kebutuhan pokok, tetapi dengan caracara (means) yang tidak legitimate, karena tidak memenuhi tata-aturan formal. Tetapi pada intinya terdapat kesamaan cara pandang yang perlu difahami bersama bahwa sektor informal adalah mereka yang bekerja sendiri tanpa ada
19
Bab II. Tinjauan Pustaka
20
yang mempekerjakannya, bekerja sendiri dengan keluarga atau pekerja paruh waktu, dan pekerja keluarga (SEMERU). Terlepas dari ketidak samaan dan inti dari kesamaan dualisme formalinformal yang umumnya bersifat akademik konseptual, permasalahan sangat nyata dirasakan di kota-kota negara berkembang pada umumnya dan melanda negara-negara maju pada kasus tertentu. Di Indonesia, sektor informal menjadi tumpuan kehidupan sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997. Data Sakernas 1998 misalnya, menunjukkan terjadinya peningkatan pangsa pasar informal dari 62 persen tahun1997 menjadi 65,4 persen pada tahun 1998. Pada tahun sebelumnya 1985,
sektor
informal
memberi
kontribusi
terhadap
kesempatan kerja 74 persen, pada tahun 1990 menjadi 71 persen. Walaupun terjadi penurunan dari tahun ke tahun. Namun, artinya sektor informal tetap menjadi penampung angkatan kerja domian bila di banding sektor formal. Catatan tentang sektor informal dalam subsektor dalam perdagangan, misalnya perdagangan kaki lima (PKL), Priyambadha dan Soegijoko menemukan permasalahan dan potensi dari PKL di Yogyakarta yang dapat memberikan gambaran secara nyata bahwa sikap yang banyak diambil oleh pemerintahan kota dalam menghadapi fenomena sektor informal lebih menekankan pada penegakan hukum yang tidak konsisten, kurang pembinaan dan tidk manusiawi. Pada catatan studi ini ditemukan juga bahwa sistem sub-kontrak terkait sektor informal dengan sektor formal, dapat memberikan manfaat yang lebih luas bagi dua kebelah fihak dan dapat menimbulkan multiplier-effects yang positif bagi pertumbuhan ekonomi lokal. Panennungi (2004) sepakat bahwa tingginya pertumbuhan sektor informal terkait erat dengan fenomena pengangguran
di
wilayah
perdesaan
sehingga
mempengaruhi ke arah ketimpangan pendapatan antarsektor (perkotaan yang berbasis industri dan perdesaan yang berbasis pertanian) yang menimbulkan fenomena migrasi internal sampai kearah migrasi internasional. Simanjuntak (2006) berpendapat semakin meningginya persoalan migrasi, misalnya migrasi internasional (pengiriman TKW ke Timur Tengah dan Malaysia) disebabkan keterbatasan kesempatan kerja dalam negeri terutama sejak terjadinya krisis moneter tahun 1997. Keterkaitan sektor informal, sektor formal dan keterbatasan kesempatan kerja akan mempengaruhi perekonomian nasional, jika tidak diselesaikan dengan pengakuan sungguh-sungguh dan penuh perhatian.
20
Bab II. Tinjauan Pustaka
2.5.
21
Kaitan Sektor Informal dan Materi Balik Pada kenyataan yang terjadi, sebenarnya persoalan yang dihadapi
migran di daerah tujuan lebih ditekankan pada penentuan bidang pekerjaan atau jenis usaha yang akan dijalani dan untuk mendapatkan bidang pekerjaan tersebut tidak akan terlepas dari hubungan orang-orang yang berhasil di daerah yang di tuju. Jenis dan bidang pekerjaan yang ditekuni migran lebih banyak tertampung ke sektor-sektor informal. Wirahadikusumah (1990) mengatakan bahwa kegagalan migran untuk memasuki bidang pekerjaan di perusahaan swasta atau negeri (sektor formal/modern) secara umum disebabkan oleh rendahnya kualitas migran yang bersangkutan. Hal itu karena potensi sumberdaya manusia yang dimiliki migran umumnya sangat lemah (pendidikan/ketrampilan). Squire (1991) mengemukakan bahwa seiring dengan berkembangnya struktur perekonomian yang beragam dan industrialisasi perkotaan, secara alamiah kondisi tersebut akan menyeleksi dengan ketat “ hanya orang-orang yang berkualitas saja yang dapat memasuki sektor-sektor modern/formal di perkotaan”. Sementara kenyataan yang terjadi, jumlah migran yang menuju ke daerah perkotaan setiap tahunnya cenderung meningkat. Peningkatan jumlah pengangguran yang tidak mampu diserap oleh sektor formal akan bergerak menuju sektor informal. Karena secara psikologis migran akan “malu” apabila pulang ke daerah asal tanpa mendapatkan pekerjaan dan tidak membawa hasil. Mereka akan memutuskan untuk bekerja pada sektorsektor informal yang banyak dijumpai dikota-kota besar seperti sektor perdagangan kakilima dan pedagang keliling (Manning dan Effendi, 1989). Keterlibatan migran terhadap keluarga (terutama orang Jawa) dapat dipakai sebagai penguat hubungan yang melatarbelakangi timbulnya materi balik (remittances). Salah satu peran materi balik bagi keluarga migran di desa asal untuk menjaga keselarasan masyarakat dan menjamin kehidupan yang lebih baik bagi individu melalui hubungan sosial dan tolong menolong. Tata sosial Jawa adalah salah satu ciri utamanya, yaitu memiliki rasa setia yang kuat terhadap tanah leluhur dan keluarganya (Mulder,1987). Geertz
(1973)
mengemukakan
bahwa
masyarakat
Jawa
adalah
merupakan satu kesatuan ekonomi yang dipertahankan dengan cara membagi-
21
Bab II. Tinjauan Pustaka
22
bagi rejeki (shared poverty) yang diperolehnya dengan keluarga atau kerabatnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa adanya ikatan yang kuat antara migran dengan keluarganya didaerah asalnya diwujudkan dalam bentuk “materi balik” yang merupakan bentuk budaya pedesaan yang erat dan mengikat secara struktural. Terkait dengan materi balik, Caldwell (1982) menyatakan bahwa dilihat dari segi ekonomi, aspek penting dengan adanya pergerakan keluar penduduk (imigrasi) adalah timbulnya materi balik (remittances) berupa uang dan barang. Secara tidak langsung pernyataan tersebut bermakna bahwa para migran diperkotaan pada tahap-tahap awal yang dilakukan adalah adaptasi serta mencari pekerjaan yang sesuai, selanjutnya sampai pada tingkat optimum yaitu stabilitas ekonomi mulai mapan, maka migran tersebut akan mengirim hasil selama bermigrasi berupa uang atau barang ke daerah asalnya. Kondisi migran sebagaimana hasil studi terdahulu (Ponto, 987; Sukwika, 2004; Leuwol, 1988) tentang Kronologis tahapan migran sampai mendapat pekerjaan di sektor informal terkait erat dengan materi balik yang dikirim kedaerah
asalnya.
Keberhasilan
migran
dalam
menyisihkan
sebagian
penghasilan di sektor ini akan mempengaruhi seberapa banyak materi balik yang dikirimnya. Walaupun sektor Informal identik dengan upah yang sangat murah, dalam kondisi ini sangat jelas bahwa sektor informal terkait erat dengan materi balik (remittances) yang dikirim oleh migran ke daerah asal. 2.6.
Ekonomi Rumahtangga Migran Sektor Informal Setiap Individu maupun rumahtangga pasti melakukan tindakan ekonomi,
baik berupa konsumsi, produksi maupun distribusi. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (needs) rumahtangga tersebut pasti melakukan tindakan konsumsi. Baik rumahtngga ataupun individu membagi bebannya menjadi dua, yaitu konsumsi akan barang dan konsumsi akan waktu luang, dengan konsumsi tersebut diharapkan akan mendapatkan kepuasan/utilitas. Atika (1999) meneliti tentang rumahtangga sektor informal dan faktor-faktor yang mempengaruhi curahan kerja serta pendapatannya, menyimpulkan bahwa peluang sektor informal untuk migrasi kembali dipengaruhi oleh pendapatan, omzet usaha serta
22
Bab II. Tinjauan Pustaka
23
pendidikan kepala rumahtangga. Sedangkan tingginya keinginan untuk migrasi dipengaruhi oleh faktor sosial-budaya asal migran. Perilaku ekonomi rumahtangga migran sektor informal dalam memenuhi kebutuhannya sangat bergantung pada tingkat pendapatannya. Model dasar ekonomi rumahtangga yang dikemukakan oleh Sing, et al. (dalam Atika, 1999), mempelajari prilaku rumahtangga petani, dimana dalam setiap siklus produksi rumahtangga diasumsikan memaksimalkan fungsi kepuasan sebagai berikut : U = U ( Xa, Xm, Xi ) …………………………………….…….( 3.01) Dimana : Xa
= Barang-barang (pertanian) yang dikonsumsi/kebutuhan
pokok
Xm = Barang-barang pasar Xi
= Waktu senggang/leisure
Fungsi kepuasan rumahtangga diatas menghadapi kendala pendapatan tunai yang ditunjukkan oleh persamaan berikut: Pm. Xm = Pa . (Q – Xa) – W. (L – F) ………………………….(3.02) Dimana : Pa = Harga barang pertanian kebutuhan pokok Pm = Harga barang-barang pasar Q
= Produksi rumahtangga untuk barang-barang kebutuhan pokok, sehingga Q – Xa merupakan surplus pasar.
W = Upah tenaga kerja yang merupakan upah pasar L
= Total input tenaga kerja
F
= Total input tenaga kerja keluarga
Dalam keteranggan lebih lanjut, bila ( L – F ) positif, rumahtangga akan menyewa tenaga kerja tambahan dan apabila bernilai negatif maka tenaga kerja yang digunakan hanya berasal dari tenaga kerja keluarga. Rumahtangga juga menghadapi kendala waktu, dimana mereka tidak dapat mengalokasikan lebih banyak waktunya untuk nganggur atau bersantai, kegiatan produksi usaha tani atau kegiatan diluar usaha tani melebihi total waktu yang tersedia dalam rumahtangga: T = Xi + F ………………………….…………………………..(3.03) Dimana : T
= Total waktu yang tersedia dalam rumahtangga
23
Bab II. Tinjauan Pustaka
24
F = Total input tenaga kerja keluarga Xi = Waktu senggang/leisure Disamping menghadapi kendala diatas, rumahtangga tersebut juga menghadapi kendala produksi yang menghubungkan antra input dan output sebagai berikut: Q = Q ( L, A ) …………………………………….…….……..(3.04) Dimana:
A = Luas lahan yang diusahakan oleh petani
Dengan melihat model dasar ekonomi rumahtangga diatas, maka dapat dipertimbangkan bahwa kepuasan (utility) untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumahtangganya dengan kendala pendapatan tunai bisa dijadikan dasar pijakan dalam menguraikan faktor-faktor yang mendorongnya untuk migrasi sirkuler. 2.7.
Dampak Migrasi Sirkuler dan Pembangunan Daerah Asal Pelaku migrasi sirkuler (migran sirkuler) dalam fokus penelitian ini adalah
rumahtangga sektor informal di pedesaan. Menurut Nasution (dalam Sukamdi, 2003) peran sektor ini dapat memberi sumbangan yang sangat penting diantaranya : 1.
Menyediakan lapangan kerja baru, memberikan penghidupan murah bagi si miskin serta menampung pengangguran.
2.
Sektor ini mampu menjadi produktif potensial untuk produksi walaupun tidak mendapatkan proteksi, subsidi dan lain-lain.
3.
Dapat memanfaatkan berbagai barang bekas dan rongsokan, melakukan proses daurulang dengan cara memperbaiki, menambah, remodelling, sehingga memberi nilai tambah marginal.
4.
Sektor informal sebagai penyalur efektif bagi sektor formal, dan merupakan bagian integratif dari seluruh kegiatan ekonomi.
5.
Mendukung dan membantu sektor formal, karena sektor formal sering kali tidak efesien, karena upah yang rendah, sementara itu buruh bisa hidup dengan upah yang rendah dikarenakan adanya sektor informal yang mampu menyediakan kebutuhan hidup secara murah. Yang berarti secara tidak langsung sektor informal telah mensubsidi sektor formal.
24
Bab II. Tinjauan Pustaka
6.
Sektor
informal
berfungsi
sebagai
peredam
dalam
25
pancaroba
pembangunan bagi pendatang dari berbagai suku, golongan dan pendidikan dan lain-lain. Selain manfaat yang diperoleh dengan adanya sektor informal. Sektor ini juga dapat membawa dampak negatif, Sukamdi (2003) menyebut antara lain : 1.
Dapat mengurangi keindahan kota.
2.
Menimbulkan kemacetan.
3.
Menimbulkan penipuan.
4.
Mengurangi keamanan dan mengganggu kenyamanan pejalan kaki serta konsumen belanja. Migran sirkuer rumahtangga sektor informal di pedesaan adalah
merupakan satu kesatuan ekonomi, karena itu juga materi balik merupakan bagian dari kehidupan ekonomi rumahtangga migran sektor informal di pedesaan. Mantra (1994) membagi materi balik kedalam tiga jenis, uang, barang dan ide-ide. Dari penelitian sejumlah kota di Jawa, tentang prilaku migran sirkuler terbukti suku jawa yang paling tinggi dalam mengirim materi balik ke daerah asalnya. Menurut Mantra, prilaku migran sirkuler seperti semut, yaitu membawa hasil yang diperoleh dari daerah tujuan ke daerah asal sebanyak mungkin. Remittances merupakan
sumbangan
fisik,
ekonomi
dan
budaya
bagi
pembangunan daerah asal. Memang pada kenyataannya, hubungan antara materi balik dan pembangunan di desa asal relatif sulit diukur dengan statistik, tetapi kenyataan yang ada terjadi mehasilkan banyak perubahan kemajuan fisik desa, seperti pembangunan fisik (jalan, rumah ibadah, beberapa usaha produktif sektor pertanian dan perdagangan penduduk) yang dibangun desa, rumah-rumah penduduk dan alat-alat elektronik yang dimiliki migran di desa. Perubahan nonfisik di desa sering ditandai dengan munculnya ide-ide baru untuk pembangunan desa asal mereka relatif mengalami perkembangan dengan cepat. Melihat hal demikian, betapapun kecilnya materi balik tetap berarti bagi pembangunan daerah asal.
25
Bab II. Tinjauan Pustaka
2.8.
26
Pengertian Ekonomi Desa dan Pembangunan Ekonomi Perdesaan Pengertian ekonomi desa menurut Scott (1981), adalah desa yang
umumnya mempunyai kegiatan ekonomi yang bertumpu pada petani padi dan sawah. Meski demikian, masyarakat yang mempunyai kegiatan yang serupa juga dapat digolongkan petani, misalnya masyarakat dengan kegiatan ekonomi memelihara ikan di tambak atau masyarakat yang melakukan kegiatan ekonomi seperti tambak yang diatasnya diberi ternak serta pematang sawahnya ditanami pohon pisang (tamyamsang) dapat disebut sebagai petani. Lebih lanjut, menurut Scott, para petani tradisional di Asia Tenggara selalu mendasarkan tindakan ekonominya berdasarkan moral. Keputusankeputusan strategis tentang ekonomi dan sosial mereka cenderung didasarkan pada prinsip moral subsisten. Prinsip moral subsisten masih banyak tercermin dalam kehidupan ekonomi sebagian masyarakat petani di Indonesia. Kondisi ekonomi petani tersebut relatif banyak ditemukan didaerah pedesaan Pulau Jawa. Kondisi ekonomi perdesaan di Indonesia menurut Boeke (1953), mengatakan bahwa petani tradisional di Indonesia tidak mempunyai rasionalitas dalam prilaku ekonominya. Rasionalitas mereka lebih didasarkan pada kepentingan-kepentingan sosial yang lebih dominan dan paling menonjol diantara sekian banyak kepentingan. Pengakuan sosial dan hubungan kekerabatan yang lebih erat mengalahkan hubungan-hubungan lain yang bersifat rasional. Ekonomi masyarakat petani tradisional yang banyak berada di daerah perdesaan Indonesia terperangkap pada keseimbangan yang sangat rendah. Proses involusi terjadi bukan hanya pada methode produksinya yang tradisional, tetapi juga karena cara/norma bagaimana hasil produksi dibagikan. Yang lebih tragis lagi dengan mengatakan bahwa bentuk perbaikan macam apapun (benih unggul, pemakaian pupuk dan pestisida, yang di sarankan Boeke) tidak mungkin akan berhasil dilakukan. Dengan menambahkan pernyataan bahwa pertanian di Jawa cenderung tumbuh seiring dengan bertambahnya penduduk yang mengakibatkan keadaan stagnasi dari sektor pertanian dan berhentinya pertumbuhan output pertenagakerja (Geertz, 1970). Melihat analisis diatas, salah satu masalah pokok dalam pembangunan ekonomi pedesaan adalah bagaimana mewujudkan keterpaduan tujuan
26
Bab II. Tinjauan Pustaka
27
pembangunan nasional yang tidak lagi urban-bias dapat diatasi melalui upayaupaya: (1) Meningkatkan pendapatan riil rumah tangga di pedesaan baik pada sektor pertanian maupun nonpertanian, melalui penciptaan lapangan kerja, industrialisasi pedesaan, pembenahan pendidikan, kesehatan dan gizi serta penyediaan layanan sosial lainnya, (2) penanggulangan masalah ketimpangan distribusi pendapatan di daerah pedesaan, serta ketidakseimbangan pendapatan dan kesempatan ekonomi antara daerah pedesaan dengan perkotaan, (3) pengembangan kapasitas sektor pedesaan dalam rangka menopang langkahlangkah perbaikan masa mendatang. Untuk pencapaian ketiga asumsi tersebut sangat peting bagi keberhasilan pembangunan nasional, hal tersebut tidak saja disebabkan sebagian besar penduduk di negara-negara berkembang berada di pedesaan. Oleh karena itu, sinergisitas pembangunan nasional sangat di butuhkan untuk memenuhi keseimbangan ekonomi masyarakat pedesaan agar dapat mengurangi kesenjangan pembangunan antardaerah pedesaan dan antardaerah perkotaan. Pembangunan ekonomi di desa bukan hanya merupakan tanggung jawab penduduk tetapi juga merupakan tanggung jawab bersama. Podes 2003 memuat tentang komposisi keuangan desa yang dapat digunakan untuk usaha pembangunan sosial dan ekonomi bagi kesejahteraan penduduk desa, keuangan yang dapat menunjang kearah tersebut adalah: (1) keuangan yang terdiri dari sisa anggaran tahun lalu (2) penerimaan daerah (3) pengeluaran anggaran rutin (4) pengeluaran anggaran pembangunan dan (5) sumber pendapatan asli desa. Sedangkan yang dimaksud pendapatan asli desa adalah penerimaan yang diperoleh pemerintahan desa yang terdiri dari penerimaan yang diperoleh dari usaha produktif tanah khas desa, pungutan desa, swadaya masyarakat, hasil gotong royong dan sumber lain dari usaha desa (Podes Propinsi Jawa Timur, 2003). Pembangunan ekonomi perdesaan di era otonomi adalah suatu self governing community yang dinamikanya disesuaikan dengan kebutuhan desa serta adat istiadat masyarakat setempat (Sumodiningrat, 2005). Seiring dengan pendapat tersebut, diperlukan strategi dan kebijakan pembangunan di pedesaan yang kontekstual dan obyektif. Pembangunan ekonomi perdesaan, sebagai bagian dari pembangunan ekonomi daerah adalah merupakan bagian dari terbentuknya beberapa elemen
27
Bab II. Tinjauan Pustaka
28
perubahan dalam masyarakat desa, baik dalam bentuk meningkatnya taraf hidup sebagian masyarakat, terrealisasinya berbagai sarana dan prasarana yang memperluas
pelayanan
dasar
kepada
masyarakat
desa.
Meningkatnya
kesejahteraan masyarakat tersebut biasanya ditandai dengan meningkatnya konsumsi sebagai akibat dari meningkatnya pendapatan pendapatan
diakibatkan
pula
oleh
meningkatnya
dan meningkatnya produksi.
Menurut
Sumodiningrat bahwa proses pembangunan tersebut akan dapat terpenuhi apabila terpenuhi asumsi-asumsi pembangunan yaitu kesempatan kerja sudah dimanfaatkan secara penuh (full employment), semua orang mempunyai kemampuan yang sama (equal productivity), dan setiap pelaku ekonomi bertindak rasional (rational-efficient). Penduduk pedesaan adalah bagian dari pelaku ekonomi. Tidak semua pelaku ekonomi ikut serta dalam proses pembangunan dan tidak semua penduduk pedesaan menikmati peningkatan pendapatan sebagai hasil dari proses pembangunan. Pelaku pembangunan yang tidak memiliki akses dan sumberdaya dalam pembangunan akan menganggur. Karena menganggur, akan menyebabkan
berbagai
kerawanan
sosial,
ketimpangan
antargolongan
penduduk, antarsektor kegiatan ekonomi daerah dan pada akhirnya masalah kemiskinan penduduk. Inti dari masalah tersebut adalah adanya disparitas pembangunan antardaerah dan antarsektor. Disparitas pembangunan menurut Anwar (2005) akan menghasilkan struktur hubungan antar wilayah yang membentuk interaksi yang saling memperlemah satu dengan lainnya. Hal itu disebabkan adanya pengurasan sumberdaya
yang
berlebihan
(backwash),
pengangguran
besar
yang
mengakibatkan terjadinya aliran bersih (net-transfer) dan akumulasi nilai tambah dipusat-pusat secara berlebihan. Sehubungan dengan kondisi tersebut, daerah pedesaan perlu pendekatan yang lebih partisipatif. Pembangunan partisipatif mengandung makna bahwa pembangunan itu harus mengandung prinsip pemberdayaan masyarakat, aparat (birokrasi) serta
usaha nasional melalui
keterpaduan peran pemerintah dan masyarakat melalui mekanisme musyawarah berdasarkan mekanisme yang disetujui bersama. Menurut Sumodiningrat dengan pembangunan partisipatif pembangunan nasional yang dilaksanakan di perdesaan akan terlaksana secara optimal, memungkinkan rakyat memperoleh
28
Bab II. Tinjauan Pustaka
29
pemerataan dan keadilan serta akan memperluas basis pembangunan yaitu keluarga dan masyarakat. Melihat kenyataan pembangunan yang ada di daerah perdesaan, masih banyak kekurangan atas kesiapan sumberdaya-sumberdaya termasuk pranata misalnya;
rendahnya
mutu
sum berdaya
manusia,
lemahnya
lembaga
pemerintahan desa dan lembaga masyarakat desa dalam menampung dan menyampaikan aspirasi masyarakat, utamanya masih terbatasnya jangkauan pelayanan lembaga perekonomian dalam mendukung usaha ekonomi desa, serta belum meratanya prasarana dan sarana sosial ekonomi dalam melayani kebutuhan masyarakat desa. Dengan demikin, tantangan yang dihadapi dalam pembangunan desa menurut Sumodiningrat adalah meningkatkan fungsi lembaga pemerintahan dan lembaga kemasyarakatan desa untuk menciptakan kesejahteraan kemakmuran masyarakat desa, meningkatkan kemampuan masyarakat untuk dapat berpartisipatif aktif dalam pembangunan, mengurangi kesenjangan antardesa dan antara desa dengan kota. Lebih lanjut, perlu adanya keberpihakan dan komitmen pemberdayaan masyarakat melalui pembangunan ekonomian rakyat. Keberpihakan terhadap perekonomian rakyat berarti memberikan perhatian khusus kepada upaya peningkatan ekonomi rakyat, termasuk upaya mencari penghasilan melalui migrasi sirkuler dalam mengisi waktu luang disela waktu tanam dan waktu panen. Seharusnya perhatian khusus ini diwujudkan dalam langkah-langkah strategis yang diarahkan secara langsung pada perluasan akses rakyat pada sumberdaya pembangunan disertai penciptaan peluang yang seluas-luasnya bagi masyarakat di lapisan bawah untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan sehingga mampu mengatasi kondisi keterbelakangan dan memperkuat posisi daya saing ekonominya. 2.9.
Tinjauan Beberapa Studi Terdahulu Banyak penelitian tentang migrasi telah dilakukan di Indonesia.
Penelitian yang dilakukan Naim (1979) tentang pola migrasi suku Minangkabau (Merantau) menunjukkan bahwa pola migrasi suku Minangkabau adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari orang Minangkabau, pola ini semula didorong oleh kebutuhan perluasan wilayah karena potensi sumberdaya
29
Bab II. Tinjauan Pustaka
30
yang ada tidak lagi memadai dalam menunjang kehidupan mereka. Sehingga, penduduk Minangkabau membutuhkan tanah/lahan garapan baru untuk pertanian persawahan. Menurut Naim, merantau adalah suatu kebutuhan yang terkait dengan kebutuhan sosial, merantau bagi orang Minang tidak bisa disamakan dengan migrasi, sekurangnya dalam konteks sosial budaya. Kendati demikian pada masa tersebut menurutnya, sukubangsa yang mempunyai intensitas migrasi relatif tinggi adalah Minangkabau, Batak, Bugis, Banjar, Manado dan Ambon. Sedangkan enam sukubangsa yang memiliki intensitas migrasi yang relatif rendah terdiri dari sukubangsa Sunda, Madura, Aceh, Jawa, Melayu dan Bali. Adapun salah satu faktor yang akhinya ikut mendominasi dalam menentukan pola migrasi adalah faktor ekonomi. Sjahrir (1984) dalam penelitiannya di desa Jebed, Jawa Tengah menunjukkan adanya migrasi sirkulasi para tukang bangunan. Hal tersebut berlangsung akibat tekanan ekonomi yang terbentuk akibat penerapan program TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi) pada tahun 1975 yaitu sejak dikeluarkannya Inpres no 9/1975. Menurut Sjahrir kondisi tersebut diperburuk karena adanya pemusatan kekuasaan pada tangan lurah dan aparatnya yang sangat menentukan dalam pengalokasian sumber-sumber ekonomi, ditentukan secara sepihak dari sana. Migrasi sirkulasi ke kota bagi penduduk desa Jebed merupakan jawaban terhadap kesulitan dan tekanan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Rahmawati (1991) meneliti tentang faktor-faktor sosial ekonomi terhadap migrasi sirkuler desa – kota menyimpulkan bahwa setatus sosial ekonomi yang diukur melalui kepemilikan lahan pertanian mempunyai nilai bervariasi, tetapi lebih besar prosentasenya pada golongan ekonomi rendah. Terdapat tiga jenis lapangan usaha dalam sektor informal yang dimasuki oleh migran yaitu perdagangan, buruh dan jasa angkutan. Lebih lanjut, penelitian ini juga menyimpulkan bahwa kelancaran sistim transportasi dan informasi sebagai hasil dari pembangunan pedesaan juga ikut mempercepat terjadinya migrasi sirkuler desa – kota. Berbeda dengan penelitaan yang dilakukan Naim, Hugo (1982) dalam studinya tentang migrasi sirkuler di Indonesia menulis bahwa terdapat beberapa suku terbesar di Indonesia yang memiliki tingkat curahan untuk migrasi nonpermanen jenis sirkulasi yang tinggi antara lain suku Jawa, pola tersebut
30
Bab II. Tinjauan Pustaka
31
sudah lama terjadi di Indonesia. Analisa ekonomi yang ditemukan, alasan utama mereka melakukan migrasi nonpermanen adalah karena di desa tempat tinggal asalnya tidak bisa mendapat pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan. Sehingga pola migrasi nonpermanen (sirkulasi) dilakukan untuk memaksimalkan pendapatan rumahtangganya, dan kebanyakan mereka bekerja pada sektor jasa. Selanjutnya terkait dengan migran sektor informal penelitian yang dilakukan oleh Ponto (1987) melihat karakteristik migran sektor informal di Kodya Manado. Studi ini berkesimpulan semakin besar arus migrasi dari desa ke kota, semakin banyak pekerjaan disektor informal. Menurut Ponto bahwa tingkat ekonomi pekerja atau rumahtangga di sektor informal tidaklah lebih jelek dari rumahtangga sektor formal, dan pada umumnya pekerja migran sektor informal sudah merasa puas dengan tingkat kehidupan yang dijalani karena kegiatan mereka sudah dianggap sesuai dengan tingkat pendidikan dan ketrampilan yang mereka miliki. Penelitian Leuwol (1988) tentang migran sirkuler dan latar belakangnya menunjukkan kesimpulan bahwa para migran terdorong melakukan mobilitas dalam bentuk sirkuler dari Jawa Tengah ke Jakarta karena potensi sumberdaya alam yang ada tidak seimbang dengan potensi sumberdaya manusianya. Lahan pertanian yang merupakan tumpuhan terakhir bagi penduduk pedesaan semakin sempit. Menurut Leuwol, kondisi tersebut nampak dari semakin menyempitnya areal persawahan yang dimiliki petani dan semakin bertambahnya jumlah petani penggarap. Daerah tujuan (Jakarta) yang menjanjikan lapangan pekerjaan disektor informal merupakan daya tarik yang cukup kuat bagi para migran pedesaan. Besarnya jumlah tanggungan di desa dan latarbelakang kulturalhistoris pada masyarakat disepanjang pantai utara Jawa Tengah turut mempengaruhi intensitas penduduk untuk bermobilitas ke kota. Menurutnya, bagi mereka keputusan untuk bermigrasi sirkuler adalah keputusan yang sangat bijaksana. Selanjutnya penelitian Sutarno (1989) tentang dampak gerak penduduk desa-kota berkesimpulan bahwa, gerak penduduk ke luar desa (ke kota) menimbulkan dampak positif terhadap tingkat pendapatan dan kesejahteraan rumahtangga, kemakmuran desa, minat terhadap pendidikan, dan minat melakukan gerak penduduk. Salah satu dampak negatif menurut penelitian
31
Bab II. Tinjauan Pustaka
32
Sutarno adalah kurangnya peranserta “movers” dalam kegiatan-kegiatan umum di desanya dibanding mereka yang tetap tinggal di desa (“stayers”). Akan tetapi, kekurangan tersebut dapat mereka tutup ketika mereka tidak lagi bekerja keluar desa. Para mantan movers menujukkan bahwa dengan pengetahuan dan pengalaman yang mereka peroleh dari luar desa mereka mempunyai peran yang cukup penting dalam menggerakkan kegiatan-kegiatan pembangunan di desa. Mantra (1994), meneliti tentang mobilitas sirkuler perdesaan ke perkotaan yang semakin meningkat. Dorongan ekonomi merupakan alasan untuk bersirkulasi kekota. Dalam studi ini Mantra berpendapat adanya hubungan yang erat antara kesempatan kerja dengan mobilitas desa-kota, semakin tinggi perbedaan kesempatan kerja yang ada diperkotaan dengan yang ada diperdesaan maka akan semakin deras arus mobilitas penduduk perdesaan ke perkotaan. Lebih lanjut, fenomena tersebut yang kemudian akan mempengaruhi kondisi fisik, sosial, ekonomi dan budaya daerah asal migran. Sayangnya Mantra dalam studi ini belum melihat bagaimana dampak pertumbuhan tenaga kerja perkotaan akibat arus urbanisasi. Sehingga saran yang diajukan dalam studi ini adalah mobilitas jenis sirkuler perlu ditingkatkan untuk memecahkan masalah tenaga kerja diperdesaan. Penelitian Desiar (2003) tentang dampak migrasi terhadap pengangguran di DKI. Penelitian ini berkesimpulan bahwa dampak dari masuknya migran ke DKI antara lain adalah besarnya aktivitas (sektor) informal, tingginya tingkat pengangguran dan berkembangnya permukiman kumuh. Dengan menggunakan model log-log penelitian ini menunjukkan bahwa apabila angkatan kerja migran meningkat 10 persen, jumlah pengangguran total akan meningkat 3,06 persen. Sedangkan dampak positif yang menarik dari kesimpulan penelitian ini adalah fenomena migrasi masuk di DKI memberikan kontribusi terhadap berkembang ekonomi informal yang cukup banyak menyerap tenaga kerja, termasuk juga menyediakan tenaga pembantu rumahtangga yang sangat dibutuhkan di DKI Jakarta tetapi tidak bisa disediakan oleh penduduk non migran. Penelitian
mengenai
analisis
dampak
migrasi
sirkuler
terhadap
pembangunan ekonomi perdesaan pada rumahtangga sektor informal dilakukan untuk mengetahui karakteristik rumahtangga perdesaan yang memutuskan untuk migari sirkuler ke daerah tujuan yang relatif masih berdekatan dengan daerah asal, dengan mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya migrasi
32
Bab II. Tinjauan Pustaka
33
sirkuler. Penelitian ini juga bertujuan menganalisa dampak yang ditimbulkan akibat fenomena migrasi sirkuler melalui analiisa diskriptif untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan, analisa Good service ratio untuk mengetahui tingkat kesejahteraan para migran dan Gini ratio untuk mengetahui distribusi pendapatan antar migran sirkuler. Fokus dalam kerangka teori penelitian ini menekankan pada adanya perbedaan upah sektor pertanian di perdesaan dengan sektor industri di perkotaan yang mendorong para penduduk perdesaan untuk melakukan migrasi. Sektor ekonomi informal yang terkenal dengan upah yang rendah masih saja tetap menarik bagi para migran yang berasal dari pedesaan sebagai alternatif kurang optimalnya bekerja di sektor perdesaan (pertanian). Kondisi yang demikian akan terus berlanjut manakala upah disektor pedesaan (pertanian) belum juga menunjukkan keseimbangan dengan sektor industri di perkotaan. Terlebih lagi tingkat kesejahteraan pada saat mereka melakukan migrasi jauh lebih baik dari pada sebelumnya, begitu juga semakin bertambahnya faktor produksi yang mereka miliki di desa asal. Fenomena ini yang akan membuktikan alasan para migran untuk memilih bentuk sirkulasi dari pada migrasi menetap.
33
Bab II. Tinjauan Pustaka
Faktor-faktor Komplementer (misal:ketersedi aan lahan di desa)
Kebijakankebijakan dari Pemerintah(misal:d ibidang perpajakan)
Sistem-sistem sosial (misal, unit keputusan/jumlah orang yg akan membuat keputusan bermigrasi)
Besar-kecilnya pendapatan di desa
34
Pengaruh Psikis (gebyar hidup di kota)
Hubungan desa- kota
Tingkat Penddkan
Pengiriman uang dari kota ke desa
Manfaatmanfaat migrasi
Jarak
Pendidikan , media, dan sebagainya
Tingkat upah di kota Pendapatanbila berwiraswasta
Arus-arus Informasi
Besar-kecilnya pendapatan di kota
Peluang Untuk mendapatkan pekerjaan
Nilai sekarang dari manfaat-manfaat migrasi yang akan muncul nanti
Perkiraan nilai total migrasi
Biaya oportunitas Keputusan migrasi
Biaya hidup Sehari-hari Biaya transportasi Biaya-biaya psikis (resiko,adaptasi sosial)
Biaya-biaya migrasi
Gambar 2 Skema analisis keputusan bermigrasi menurut Derek Byerlee dalam Todaro 2003
34