Migrasi dan Identitas: Perantau Buton yang Kembali ke Buton Setelah Konflik Maluku 1999–20021 Blair Palmer (Australian National University)
Abstract People from Buton, Southeast Sulawesi, have for centuries migrated to Ambon for work, there forming one of the most prominent communities of ‘pendatang’ along with the Bugis. Since the beginning of the recent conflicts in Maluku, official figures indicate that over 160,000 people have returned to Buton (previous population 450,000) as refugees. This paper discusses the identity of these refugees and how the term ‘refugee’ may be misleading. Some of the ‘refugees’, who often ask to be referred to as ‘returned migrants’, have retained strong connections with their villages in Buton while they were living in Ambon. Their integration back into Butonese society after their flight from the conflict in Ambon poses, however, a number of serious challenges, especially for those born in Ambon. Having always been called ‘Butonese’ in Ambon, the returned migrants are often referred to as ‘Ambonese’ after their return to Buton and they often find it hard to adjust to life in Buton. This paper is based on fieldwork currently being undertaken in the village of Boneoge, Buton. I will discuss some aspects of the lives of the returned migrants in Buton, including their interactions with other Butonese people, as well as some of their perspectives on their own experiences. In Buton; perspectives on their identity are thus being expressed and contested through issues such as use of local languages, dance parties, and contested land rights. Their memories of life in Ambon, and of the conflict, also play a role in their constructions of identity, and in how they respond to challenges in their lives in Buton now. Here memory is seen as a constructive process, which is culturally influenced, structured by narratives, and adapted to a context.
Pendahuluan Migrasi penduduk dari Buton, Sulawesi Tenggara, ke Ambon telah berlangsung sangat 1
Tulisan ini adalah penyempurnaan dan terjemahan dari makalah berjudul ‘Memories of Migration: Butonese Migrants returning to Buton after the Maluku conflicts 1999-2002’ yang dipresentasikan dalam panel ’How will Eastern Indonesia Maintain “Unity in Diversity”? Responses to Religious-Ethnic Discord, Refugees and Regional Autonomy in East Indonesia’ pada Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI IN-
94
lama sehingga masyarakat Buton merupakan salah satu kelompok pendatang yang paling DONESIA ke-3: ‘Rebuilding Indonesia, a Nation of “Unity in Diversity”: Towards a Multicultural Society’, Kampus Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 16–19 Juli 2002. 2
Saya mengucapkan terima kasih kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Departemen Antropologi Universitas Indonesia atas dukungannya terhadap proyek penelitian ini. Penelitian ini berlangsung dengan dukungan finansial dari beasiswa ANU Ph.D.
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
menonjol di Ambon, selain masyarakat Bugis,2 sampai kerusuhan yang meletus pada tahun 1999. Sejak terjadinya kerusuhan di Maluku, data yang ada di pemerintah3 menunjukkan bahwa lebih dari 160.000 orang kembali ke Buton (sebelumnya penduduk Buton berjumlah sekitar 450.000 jiwa) sebagai pengungsi dari konflik tersebut. Sebagian dari mereka, yang dapat juga disebut ‘perantau4 yang pulang’ (returned migrants), masih mempunyai hubungan erat dengan desa asal mereka selama mereka tinggal di Maluku.5 Akan tetapi, proses reintegrasi dalam kehidupan di Buton bukannya tanpa kesulitan, khususnya untuk orang yang lahir dan besar di Ambon. Dalam tulisan ini saya menjelaskan beberapa tantangan yang dihadapi dalam upaya memperoleh pengertian tentang memori-memori mereka terhadap pengalaman masa lalu mereka (seperti pengalaman bermigrasi/merantau, kehidupan di Ambon dan konfliknya). Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mengerti bagaimana memori-memori itu berdampak pada apa yang mereka lakukan di masa kini, dan dipengaruhi oleh apa yang mereka alami di masa kini. Beberapa konflik yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia (termasuk di Ambon, Timor 3
Pemerintah daerah tingkat kabupaten sering mengumumkan jumlah pengungsi yang berada di Kabupaten Buton. Jumlah ini digunakan untuk menghitung bantuan dalam bentuk beras dan uang yang diberikan secara teratur kepada para pengungsi tersebut. 4
Menurut Echols dan Shadily (1992:450), perantau dapat berarti orang yang berjalan-jalan (dengan kesan sementara) maupun orang asing yang menetap. Jadi istilah ‘perantau’ dapat digunakan untuk menyebut orang Buton yang ke Ambon selama dua bulan, maupun yang lahir di sana. 5
Mayoritas orang yang kembali ke Buton sebagai pengungsi datang dari Ambon. Ada juga yang dari Maluku selain Ambon, misalnya Pulau Buru, Seram, dan Maluku Tenggara, tetapi karena jumlah ini sedikit, kadang saya menyebut Ambon saja.
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
Timur, Aceh, dan Kalimantan) menyebabkan arus balik sejumlah perantau ke tempat asal mereka. Akan tetapi, perhatian terhadap cara mereka berintegrasi dengan masyarakat di tempat asal tersebut masih sangat kurang. Adalah menyesatkan apabila mengasumsikan bahwa mereka yang disebut ‘orang Buton’, ketika kembali ke tempat asalnya tidak menemui kesulitan. Kita harus mengakui bahwa masih ada perbedaan di antara masyarakat yang semuanya beragama Islam dan beretnis Buton. Perjuangan perantau ini untuk membangun kehidupan baru merupakan isu penting baik untuk Indonesia maupun untuk Buton sendiri (dan tentunya, untuk mereka secara pribadi). Tulisan ini berusaha menyumbangkan beberapa pemikiran tentang hubungan antara memori dan perilaku pada masa kini dengan menjelaskan beberapa isu dalam konteks lokal. Tulisan ini merupakan laporan awal dari penelitian lapangan yang sedang berlangsung.. Pertama-tama saya akan menjelaskan latar belakang Buton dan perantau yang pulang (istilah ini akan didiskusikan lebih lanjut), termasuk desa Boneoge, tempat saya melakukan penelitian. Selanjutnya saya akan menguraikan secara singkat pendekatan saya mengenai memori dengan memberikan beberapa contoh. Penjelasan tersebut akan mencakup diskusi beberapa isu di Boneoge, termasuk pesta joget, dan hak tanah yang disengketakan.
Buton: sejarah yang terabaikan Secara harfiah, ’Buton’ memiliki banyak arti. Pertama, ’Buton’ berarti ’Pulau Buton’, yang terletak di ujung semenanjung Sulawesi Tenggara. Kedua, ’Buton’ berarti ’Kabupaten Buton’, yang berada di Provinsi Sulawesi Tenggara dan terdiri atas bagian selatan Pulau Buton, bagian selatan Pulau Muna, Kepulauan Tukang Besi, Pulau Kabaena, beberapa pulau kecil, dan sebagian dari semenanjung Sulawesi
95
Tenggara. Dahulu, daerah-daerah tersebut berada di bawah kekuasaan Kesultanan Buton, yang berpusat di Keraton Wolio. Luas wilayah Kabupaten Buton adalah 6463 km2, dengan penduduk sekitar 450.000 sebelum datangnya pengungsi (Kantor Statistik Kabupaten Buton 2000). Ketiga, ’Buton’ bisa digunakan untuk menyebut orang-orang dari daerah Buton, termasuk orang dari Kabupaten Muna. Naskah-naskah Buton menunjukkan bahwa Kerajaan Buton6 muncul pada abad ke-14. Raja ke-6 masuk Islam pada abad ke-XVI (lihat La Ode Madu 1983, Zahari 1977, Yunus 1995, dan Zuhdi 1999). Pada tahun 1960 Sultan terakhir meninggal dan Kesultanan Buton dibubarkan. Pada tahun 1960-an Buton dianggap sebagai ’basis komunis’, dan menurut beberapa sumber, hal ini menyebabkan proses marginalisasi dalam politik dan sejarah Buton. Belum ada etnografi lengkap mengenai daerah Buton (tetapi lihat Schoorl 1985, 1986, 1987 dan Southon 1995). Tidak ada bahasa pemersatu untuk masyarakat Buton (selain Bahasa Indonesia); orang-orang Buton menggunakan lebih dari 14 bahasa (Fox 1995). Sekitar 99% dari orang Buton beragama Islam (Kantor Statistik Kabupaten Buton 1987). Di Sulawesi Tenggara sekitar 70% penduduk bekerja sebagai petani, dan 6% sebagai pegawai negeri (Kristanto, Makaliwe, dan Saleh 1989). Namun, sebagian besar daerah Buton bukan merupakan daerah yang subur, dan ’merantau’ (migrasi untuk bekerja) sudah menjadi tradisi masyarakat Buton sejak dahulu. Ambon menjadi daerah tujuan paling populer bagi para migran yang berasal dari Buton (Kristanto, Makaliwe, Saleh 1989:579). Pelarangan perdagangan budak pada tahun
1870-an menyebabkan terjadinya kekurangan tenaga kerja di Kepulauan Banda di Maluku, yang kemudian mengakibatkan peningkatan tajam jumlah perantau dari Binongko 7 (Zuhdi dkk. 1996:128). Migrasi dari Buton ke Ambon terus berlanjut hingga terjadinya kerusuhan Ambon pada tahun 1999. Tidak banyak literatur mengenai etnik Buton di Ambon, yang pada tahun 1930 menjadi sekitar 10% dari 107.000 penduduk Ambon; mereka merupakan kelompok imigran terbesar di Ambon pada waktu itu (Chauvel 1990:3). Chauvel setuju bahwa mereka kebanyakan berasal dari Pulau Binongko, dan datang pada dasawarsa-dasawarsa terakhir di abad ke-19 (Chauvel 1990). Orang-orang Buton membuka kebun di bukit-bukit di belakang desa pesisir orang Ambon (Ouwerling 1930 dalam Chauvel 1990), tetapi tidak diperkenankan memiliki tanah pertanian di Ambon (Benda-Beckmann 1996). Mereka bekerja sebagai pembuat makanan dan buruh di kota. Oleh karena orang Buton pada umumnya berpendidikan lebih rendah dari orang Ambon, mereka bersedia melakukan pekerjaan yang dianggap rendah oleh orang Ambon (Meyer dan Hardjodimedjo 1989). Menurut Chauvel (1990), orang Buton tidak terlibat dan tidak mempunyai banyak pengaruh pada politik daerah. Orang Buton dianggap mempunyai status lebih rendah daripada orang Ambon, baik oleh orang Ambon Kristen maupun yang Islam (Chauvel 1990). Bartels yang menulis tentang orang Buton baru-baru ini menyatakan bahwa baik orang Islam maupun orang Kristen menganggap mereka (orang Buton) inferior dan kuno (Bartels 2000:21).8 Namun, hal tersebut 7
6
Walaupun ada beberapa teori yang lain, nama ‘Buton’ kemungkinan berasal dari bahasa Arab butuuni, yang berarti ’perut hamil’ (Rudyansyah 1997), atau ’perut’ (Yunus 1995). Dulu Buton disebut Butung, atau Boetoeng bila menggunakan ejaan lama.
96
Binongko adalah suatu pulau di Kepulauan Tukang Besi, ke arah tenggara dari Pulau Buton, tetapi masih termasuk daerah Buton. 8
Terjemahan saya. Dalam aslinya, ‘Both Moslems and Christians considered them (the Butonese) as inferior, backward people.’
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
tidak menghalangi interaksi sosial, termasuk pernikahan antara orang Buton dan orang Muslim Ambon setelah beberapa generasi, karena mereka telah mengadaptasi kebiasaankebiasaan lokal (Kennedy 1995, dalam Chauvel 1990). Mearns (1996) mendiskusikan persepsi dan representasi antara orang Buton dan orang Ambon. Baik orang Ambon maupun orang Buton menggambarkan orang Buton sebagai pekerja keras, pintar berdagang, dan tidak boros. Orang Buton menjelaskan bahwa mereka keluar dari kehidupan yang sulit di Buton dan bersedia bekerja apa pun untuk menyambung hidup di Ambon. Ketika orang Bugis memasuki kelas menengah, orang Buton tetap bekerja di pekerjaan-pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian. Mearns melaporkan bahwa orang Ambon menganggap orang Buton sebagai pemabuk, yang memiliki kecenderungan untuk melakukan kekerasan, dan berstatus lebih rendah dari mereka (Mearns 1996).
Konflik dan kembali ke asal Kerusuhan meletus di Ambon pada tanggal 19 Januari 1999, yang dipicu oleh perkelahian antara orang lokal dan orang perantau di terminal bis. Kekerasan menyebar dengan cepat, dan akhirnya dipandang sebagai konflik antara Kristen dan Islam (awal kerusuhan terjadi pada hari raya Idul Fitri). Akan tetapi, banyak perantau berpendapat bahwa konflik lebih terkait dengan kecemburuan terhadap pendatang, khususnya terhadap BBMJ (Bugis, Makassar, Buton, dan Jawa). Pada tahun 2000, PBB melaporkan jumlah korban yang meninggal sekitar 2.500, dengan pengungsi lebih dari 400.000 orang, dan lebih dari 18.000 rumah serta 1.000 tempat ibadah terbakar (United Nations 2000). Sejak bulan Januari 1999, 9
Terdapat beberapa hambatan dalam mencari data yang akurat. Jumlah pengungsi yang sebenarnya mungkin mendekati separuh dari jumlah tersebut (Baca Muhlis 2000).
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
angka resmi 9 menunjukkan bahwa sekitar 160.000 perantau Buton telah kembali ke Buton sebagai pengungsi.10 Jumlah itu sama dengan 35% dari jumlah penduduk Buton sebelum kerusuhan Ambon. Fenomena tersebut jelas mempunyai dampak yang besar pada masyarakat Buton. Sebagian orang yang kembali ke Buton ini mengatakan bahwa keluarga mereka sudah berada di Ambon selama tujuh generasi, dan bahkan tidak pernah melihat tanah Buton. Setelah tiba di Buton, ada pengungsi yang kembali lagi ke Ambon, tetapi mayoritas dari mereka tetap tinggal di Buton. Mereka menerima beberapa bantuan, tetapi perhatian dari luar Buton masih kurang dari yang diharapkan (lihat Collins 1999). Kondisi kehidupan para perantau Buton yang kembali ke Buton sangat bervariasi. Sebagian dari mereka sempat membawa uang atau barang pada saat keluar dari Ambon, tetapi banyak pula yang tidak membawa apa-apa. Beberapa dari mereka telah dibangunkan rumah oleh Pemda, tetapi mayoritas terpaksa membangun rumah sendiri yang sederhana. Mereka yang memiliki saudara sempat tinggal bersama saudaranya, sedangkan yang tidak mempunyai saudara menyewa tempat di dalam atau di bawah kolong rumah orang lain. Dalam banyak kasus, tanah untuk berkebun sudah disediakan, tetapi banyak di antara mereka tidak terbiasa bertani dan bingung mengatasi hama monyet dan babi yang menghancurkan tanaman di kebun. Banyak yang mengalami kesulitan mencari pekerjaan, dan bersusah payah mencari uang untuk menghidupi keluarga dan menyekolahkan anaknya. Ada yang sudah pulang ke desa nenek moyangnya di Buton, dengan ketidakpastian harapan adanya pengakuan dari saudaranya di sana. Namun, banyak juga yang memilih pergi ke tempat lain 10
Di Buton terdapat pula sejumlah pengungsi dari Timor Timur.
97
di Buton daripada ke tempat asal mereka. Sebagai contoh, hanya sebagian kecil dari perantau yang berasal dari Binongko memilih kembali ke desanya, karena Binongko adalah pulau kecil yang tidak subur, dan jauh dari ibukota. Selama tinggal di Ambon dulu, sebagian perantau sering bolak-balik ke Buton, atau berkunjung ke Buton, tetapi ada pula yang sudah 50 tahun tidak melihat Buton, ataupun yang belum pernah ke Buton sama sekali. Ada perantau yang masih bisa berbahasa daerah (di kampungnya di Buton), tetapi banyak juga yang tidak bisa, khususnya para generasi muda. Perubahan yang dilaporkan di Buton secara umum termasuk meningkatnya jumlah pengangguran dan kriminalitas, inflasi harga, meningkatnya jumlah anak jalanan, dan situasi tegang antara perantau dan orang lokal,1 1 termasuk beberapa kasus kerusuhan di Baubau, ibu kota Kabupaten Buton.
Boneoge: desa perantau Boneoge adalah sebuah desa di pinggir laut di Kecamatan Lakudo, Kabupaten Buton, walaupun desa itu sebenarnya terletak di Pulau Muna, yang berdekatan dengan Pulau Buton. Saya mulai tinggal di Boneoge pada bulan Desember 2001. Berdasarkan data kecamatan, Pada bulan Desember 1998, penduduk Boneoge berjumlah 1.481 jiwa, dan pada bulan Agustus 2001 melonjak menjadi 3.483 1 2 jiwa. Ini menunjukkan bahwa penduduk Desa Boneoge meningkat dua kali lipat, terutama karena kembalinya para perantau dari Ambon. Menurut 11
Menggunakan istilah ‘lokal’ di sini tidaklah sempurna. Soalnya, yang disebut ”lokal” di sini ternyata sering juga merantau. Istilah ini digunakan untuk membedakan antara orang yang berada di Boneoge pada saat pengungsi dari Ambon tiba (‘orang lokal’) dan pengungsi (‘perantau’). Saya tidak menemukan istilah yang lebih tepat, tetapi karena istilah-istilah telah dijelaskan dalam tulisan ini, mudah-mudahan tidak menimbulkan kesalahpahaman. 12
Data Kecamatan Lakudo, Kabupaten Buton.
98
data pemerintah, Desa Boneoge menerima jumlah pengungsi terbanyak dibandingkan desa-desa lain di luar ibu kota Kabupaten Buton (Kantor Kesejahteraan Sosial Kabupaten Buton 2001). Pekerjaan utama di Boneoge adalah nelayan, tetapi banyak penduduk yang bekerja sebagai nelayan dan juga berkebun, atau melakukan pekerjaan tidak tetap lainnya. Kebanyakan orang Boneoge berbahasa Indonesia dan Muna, dan banyak di antaranya yang dapat berbahasa Wolio (bahasa Kesultanan Buton). Perantau yang pulang dari Ambon berbahasa Indonesia, Ambon, dan ada pula yang dapat berbahasa Muna. Kebanyakan pemuda di Boneoge memang merantau; lokasi popular adalah Ambon (sampai sekarang), Papua, Malaysia, dan kapalkapal asing yang mencari ikan di perairan internasional. Semua (kecuali satu) penduduk Boneoge beragama Islam, dan mereka juga dikenal rajin dalam menjalankan perintah agamanya. Perantau yang pulang ke Boneoge semuanya mengaku dirinya ’orang Boneoge’, dan biasanya masih mempunyai saudara di Boneoge. Hubungan antara perantau dengan penduduk lokal di Boneoge sampai sekarang berjalan baik, tanpa adanya kekerasan yang bersifat serius. Namun, dibutuhkan perjuangan bagi para perantau untuk memulai kehidupan baru di Boneoge, dan bagi penduduk lokal untuk beradaptasi hidup dengan para perantau yang pulang.
‘Penamaan’ Posisi ’perantau’, dalam beberapa makna, sangat ambigu. Pertama, sewaktu di Ambon mereka sering dipandang sebagai bukan orang Ambon; sekarang setelah pulang ke Buton, mereka sering dipandang sebagai bukan orang Buton. Kedua, mereka bisa disebut pengungsi, dan bisa juga disebut perantau yang pulang. Mereka adalah perantau yang pulang jika mereka melihat perjalanan mereka bermula dan
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
berakhir di Buton. Namun, perantau biasanya pulang karena memilih bukan karena dipaksa, dan sering kali pulang membawa uang atau harta. Pengungsi biasanya dianggap sebagai korban yang pasif, sedangkan perantau yang pulang dipandang sebagai lebih aktif. Selain itu, pengungsi biasanya pergi ke tempat yang asing; perantau yang pulang di Buton dapat digambarkan sebagai pengungsi di kampungnya sendiri. Jika mereka ’pengungsi’, Ambon adalah ’rumah’ mereka, sedangkan jika mereka ’perantau yang pulang’, Buton adalah ’rumahnya’. Ambiguitas dalam hal tempat yang dapat mereka anggap sebagai kampung halaman dan ambiguitas dalam kesukubangsaan membawa akibat yaitu bahwa masa lalu dapat memberi struktur pada pemahamanpamahaman tentang (juga tindakan-tindakan di) masa kini secara beragam. Pada saat yang sama, ambiguitas ini menjadi tantangan dalam kehidupan para perantau yang pulang ketika hak-hak mereka di Buton dipermasalahkan. Di Buton, perantau yang pulang biasanya disebut ’eksodus’. Istilah ’eksodus’ mengacu pada tindakan meninggalkan tanah air dan tempat kelahiran sendiri. Walaupun di sini digunakan sebagai kata benda, istilah tersebut mencerminkan satu pandangan bahwa perantau yang pulang adalah orang-orang Ambon.1 3 Barangkali karena itu, banyak di antara para perantau yang menolak menggunakan istilah ’eksodus’. Protes dari para perantau mengenai pergunaan istilah tersebut pernah terjadi di kantor Bupati. Banyak perantau juga menolak istilah ’pengungsi’, dengan alasan bahwa mereka tidak tinggal di tenda, tidak mengemis makanan dari pemerintah, dan tidak menunggu untuk pulang ke Maluku (95% dari para 13
Istilah ‘pengungsi’ bisa mempunyai konotasi buruk, seperti ’malas, tidak berdaya, atau tidak bermoral’, sedangkan ‘perantau’ sering mempunyai konotasi baik, seperti ’pekerja keras, pemberani, dan mengharumkan nama Buton’.
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
perantau mengatakan tidak ingin kembali ke Maluku (CIDES 2000)). Mereka ingin diakui sebagai orang Buton yang pulang untuk memulai kembali kehidupan di Buton. Mereka hanya mengizinkan istilah ’pengungsi’ untuk urusan menerima bantuan. Di luar konteks tersebut, istilah ’pengungsi’ terkait dengan sebuah penolakan atas hak-hak mereka di Buton—hak tinggal di Buton, hak bersaing untuk pekerjaan, dan hak menggunakan tanah nenek moyang mereka. Di desa Boneoge, istilah ’pengungsi’ digunakan untuk sebuah pemukiman perantau yang letaknya di ujung desa. Para perantau yang bermukim di situ menamakan daerah tersebut‚ Matoka’, tetapi banyak orang Boneoge tidak mengetahui nama itu, dan masih menyebutnya sebagai daerah ‚pengungsi’. Orang juga menggunakan istilah ‚pengungsi’ untuk mennyebut bantuan dari pemerintah— dalam bentuk beras dan uang—yang diberikan setiap tiga bulan. Perbedaan persepsi tentang orang yang disebut perantau pulang dimulai dengan istilah yang digunakan untuk menggambarkan mereka dan lingkungannya. Penamaan tersebut dapat menimbulkan perasaan termarginalisasi. Kelompok perantau yang tinggal di Matoka telah membentuk sebuah kelompok masyarakat sendiri. Menurut saya hal ini menunjukkan meningkatnya perasaan bahwa desa Boneoge tidak dapat mengurus kepentingan mereka sebagaimana yang diharapkan.
Memori Memori dalam tulisan ini tidak terlihat sebagai sebuah mekanisme penyimpanan dan perolehan kembali memori-memori yang tidak sempurna walaupun tidak bias, tetapi lebih sebagai sebuah proses konstruktif yang dipengaruhi budaya, tersusun oleh narasi (lihat Fentress and Wickham 1992). Memori kadangkala dibentuk oleh diskusi kelompok
99
(lihat Middleton dan Edwards 1990) dan dipengaruhi oleh kepentingan serta penilaian moral. Antze dan Lambek meneliti ’pembentukan memori secara budaya, terhadap peranan trope, idiom, naratif, ritual, disiplin, kekuasaan, dan konteks sosial dalam produksi dan reproduksinya’ (1996:xiii).14 Memori dapat dilihat sebagai ‘sebuah praktik penunjuk (signifying practice) dan indeks identitas, sebagai bagian dari sebuah diskursus moral yang dilakukan oleh individu maupun kelompok, seringkali tanpa disadari, sebagai sebuah cara berartikulasi, melegitimasi, bahkan membentuk identitas diri dan hubungan dengan orang lain’ (Antze and Lambek 1996:viii).15 Hubungan dengan orang lain adalah relevan untuk keanggotaan mereka dalam sebuah kelompok. Aspek lain dari memori yang kurang diakui/ diketahui adalah peranannya dalam menghubungkan masa lalu dengan masa sekarang. Aspek tersebut bukan hanya mengenai memori masa lalu yang mempengaruhi pandangan kita di masa kini, tetapi juga keadaan di masa kini dapat mempengaruhi memori kita tentang masa lalu (lihat Connerton 1989). Menghubungkan hal tersebut dengan memori kolektif, Halbwachs (1992:34) menulis ’konsepsi kita tentang masa lalu dipengaruhi oleh citra mental yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan pada masa kini, sehingga memori kolektif tidak lain dari sebuah rekonstruksi masa lalu yang didasarkan 14
Terjemahan saya. Dalam teks aslinya tertulis: ‘the cultural shaping of memory, to the roles of trope, idiom, narrative, ritual, discipline, power, and social context in its production and reproduction’. 15
Terjemahan saya. Dalam teks aslinya tertulis: ‘ a signifying practice and an index of identity, as part of a moral discourse taken up by individuals and groups, often unselfconsciously, as a means to articulate, legitimate, and even constitute their selfhood and relationships to others’. 16
Terjemahan saya. Dalam teks aslinya tertulis: ‘Our conceptions of the past are affected by the mental images we employ to solve present problems, so that
100
pada masa kini’. 16 Memori kita dipengaruhi bukan hanya oleh tantangan di masa kini, tetapi juga oleh kelompok sosial di sekeliling kita. Kita menyesuaikan cerita-cerita masa lalu dengan ‚kebiasaan mental, dan tipe gambaran masa lalu yang umum di antara masa kini’ (Halbwachs 1992:75).17 Liisa Malkki (1995) menguraikan sebuah konsep mythico-history. 18 Mitos dan sejarah bercampur menjadi satu, kejadian-kejadian disesuaikan dengan tema-tema yang ada, dan tema-tema itu dapat dimodifikasi. Campuran ini mengungkapkan dan mempengaruhi cara orang-orang menginterpretasikan apa yang terjadi di sekitarnya. Mythico-history merupakan sebuah rekonstruksi sejarah yang berunsur moral. Ketika menceritakan memori masa lalu, khususnya tentang perantauan mereka atau nenek moyang mereka, perantau yang pulang juga mengungkapkan identitasnya. Dalam meneliti mythico-history seseorang, ’tidaklah penting memisahkan unsur mitos dan sejarah, yang lebih penting adalah mengerti “moral drama” yang mengikatnya’ (George 1996:67).19 Ketika perantau bercerita tentang masa lalunya, kita dapat berusaha untuk mengerti mythico-history-nya. Naratif-naratif itu seharusnya dipandang sebagai sebuah bentuk tindakan sosial yang relevan dengan keadaan di masa kini. collective memory is essentially a reconstruction of the past in the light of the present’. 17
Terjemahan saya. Dalam teks aslinya tertulis: ‘the mental habits and the type of representation of the past common among contemporaries’. 18
Sebuah ‘mythico-history‘ adalah campuran antara mitos dan sejarah, dalam arti kebenarannya tidak perlu dibuktikan, tetapi mythico-history mengungkapkan sesuatu tentang cara orang merepresentasikan masa lalunya, perjalanannya, .dan lain-lain. 19
Terjemahan saya. Dalam teks aslinya tertulis: ‘It is not so important to separate the elements of myth and history as it is to grasp the moral drama that fuses them together’ .
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
Sebuah contoh dari Boneoge dapat ditemukan dalam perbedaan antara cerita perantauan yang dikemukakan oleh penduduk lokal dan para perantau yang pulang. Orang lokal membicarakan perjalanan nenek moyang mereka yang merantau ke daerah asing dan kembali. Mereka sering mengatakan bahwa walaupun seorang perantau Buton menetap di Ambon, seharusnya dia sering pulang ke desanya di Buton, misalnya pada saat Idul Fitri. Mereka sering menyebut pesan-pesan dari nenek moyangnya agar jangan melupakan Buton, karena ada ramalan bahwa pada suatu saat nanti akan terjadi musibah sehingga semua perantau harus kembali ke Buton. Mereka yang tidak pernah berhubungan sama sekali dengan Buton, akan merasa lebih kesulitan dari pada mereka yang tetap menjalin hubungan. Selain itu, ada sebuah novel Buton (La Ode Boa 2000), dan sebuah legenda Sawerigading20 (La Ode Madu 1983), yang mengungkapkan bahwa jika seseorang dalam perantauan melupakan saudarasaudaranya di Buton, akan terjadi musibah yang berdampak kepada semuanya. Dengan demikian, perantau-perantau yang sudah menetap di Ambon dan belum pernah datang ke Buton selama bertahun-tahun, dianggap sebagai orang yang memiliki moralitas rendah, karena tidak mendengarkan pesan bijaksana dari orang-orang tua. Pada saat menetap di Ambon dan menikmati keberhasilan ekonomi, mereka tidak menghormati Buton. Anggapan seperti ini membantu membangun sebuah hierarki di Buton pada masa kini, dengan perantau-perantau itu terpaksa kembali ke Buton dalam keadaan miskin, bersalah, dan malu. Di sisi lain, perantau sendiri lebih sering bercerita tentang perjalanan mereka ke Ambon 20
Legenda tentang hancurnya suatu kerajaan di Buton karena kasus inses antara sepasang kembar. Salah satu kembar dibesarkan di tempat lain, sehingga tidak mengenal saudaranya ketika bertemu dan menikah.
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
sebagai perjuangan untuk berhasil, yang membutuhkan kerja keras dan pengorbanan, serta menemui banyak kesulitan. Namun, akhirnya mereka mendapatkan keterampilan dan kesuksesan ekonomi. Pada saat kembali lagi ke Buton, mereka cenderung melihat orang yang tidak merantau sebagai kuno, tidak mengetahui dunia luar, tidak mau berubah, dan tidak mau membangun. Mereka sering berkomentar bahwa hasil kerja perantaulah yang membangun Ambon, dan uang yang mereka kirim ke rumahlah yang juga membangun Boneoge, termasuk masjid yang menjadi kebanggaan desa Boneoge. Oleh karena itu, setelah perjuangan yang mengucurkan banyak keringat dan pengorbanan yang tidak sedikit, mereka tidak suka dipandang rendah ketika kembali ke Buton. Para perantau merasa, jika bukan karena mereka, Boneoge tidak akan berkembang seperti sekarang ini. Identitas perantau yang ambigu membuat ketidaknyamanan di Boneoge; mereka disebut orang Boneoge, tetapi banyak perilakunya yang mengikuti gaya orang Ambon. Barangkali karena berada di antara dua kategori suku bangsa (bukan orang Buton maupun orang Ambon), mereka dianggap mempersulit sistem klasifikasi, dalam makna Douglas (1966). Pengalaman merantau, konflik, dan kepergian dari Ambon dengan status sebagai pengungsi dapat saja lebih membentuk identitas mereka daripada tanah nenek moyang mereka atau ’budaya Buton’. Di dalam cerita perantauannya, para perantau sering membedakan diri dari orang Buton dan juga dari orang Ambon; hal ini menunjukkan bahwa dalam kedua konteks, mereka membedakan diri mereka sebagai perantau dengan penduduk lokal. Contohnya, para perantau sering mengingat cara orang Ambon menyapa teman dengan memaki-maki, kebiasaan orang Ambon untuk menghabiskan semua uangnya, dan hidup bergaya. Berbeda
101
halnya dengan para perantau yang bersikap sopan, senang menabung, dan tidak terlalu mementingkan gaya. Ketika mendiskusikan kehidupan di Buton, para perantau sering mengeluh bahwa tindakan orang-orang sangat tergantung pada uang, dan tidak ada kebiasaan saling bantu-membantu satu sama lain seperti halnya di Ambon. Walaupun tidak menjadi fokus dalam tulisan ini, harus diakui bahwa para perantau masih merasa trauma dengan pengalaman mereka di tengah kerusuhan. Memori tentang kekerasan yang telah mereka alami dapat termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, sekelompok perantau di Boneoge pernah mengira perkampungan mereka akan diserang karena melihat lampu-lampu di hutan yang mengarah ke kampung. Kejadian seperti ini mengingatkan mereka pada peristiwa Ambon. Ketika itu, sinyal lampu mendahului penyerangan kampung. Secara serentak, mereka mengambil parang, berkumpul, dan menuju ke arah lampu, siap membela kampungnya. Ternyata, lampu itu sedang digunakan orang dari kampung lain untuk berburu. Patut dibedakan antara memori popular dan memori resmi21 (Jing 1996). Sementara memori resmi tentang kerusuhan Ambon terutama menonjolkan ’provokasi’ sebagai penyebab utama, memori populer di kalangan para perantau seringkali berbeda dari memori resmi (merupakan kasus dalam berbagai kasus konflik [Brass 1997]). Para perantau mempunyai memori populer bahwa penyebab konflik Ambon lebih karena kecemburuan sosial orang Ambon terhadap perantau. Ketika menceritakan kehidupan mereka di Ambon, para perantau jarang menggunakan istilah ’Kristen’ atau ’obet’, tetapi mereka menyebut ’orang Ambon’. Tampaknya karakteristik yang menonjol bagi 21
Dalam teks aslinya tertulis: popular memory dan official memory.
102
mereka bukanlah agama (Islam-Kristen), melainkan etnisitas (orang Buton–orang Ambon). Memori semacam itu di kalangan perantau mendukung sebuah identitas sebagai ’bukan orang Ambon’, dan cocok dengan sebuah mythico-history tentang perjuangan dan kesulitan sebagai perantau di negeri orang. Karena perantau menganggap dirinya dikeluarkan dari Ambon dengan alasan beretnisitas Buton, sangatlah mengejutkan ketika mereka tidak diterima sebagai orang Buton di Buton, bahkan kadang disebut orang Ambon. Perjuangan mereka untuk diterima di Buton pada saat ini dapat membuat perantau Buton memelihara memori-memori tertentu yang menekankan identitas Buton mereka, dari konflik Ambon. Memori dapat digunakan dalam menghadapi tantangan di masa kini. Memori kita membentuk identitas dan tindakan kita. Namun, keadaan yang dihadapi di masa kini juga mempengaruhi memori kita. Ketika George (1996) menanyakan kepada masyarakat setempat tentang makna dari lagu-lagu adat mereka, orang cenderung menginterpretasikan lagu-lagu tersebut seolah-olah memiliki kaitan dengan permasalahan yang sedang dihadapinya di masa kini. Selain lagu-lagu, memori juga direkonstruksi sesuai dengan konteksnya sekarang. Sebagaimana dikatakan Hale, ’cara orang mengingat masa lalu didasari oleh diskusi yang simultan mengenai alternatif-alternatif strategis untuk masa depan’ (1997:836).2 2 Menurut Jing (1996), ’Membuat masa lalu melayani masa kini membutuhkan penemuan budaya (cultural invention ) yang terusmenerus, untuk mengubah sejumlah mitos, distorsi sejarah, dan realitas semu menjadi 22
Terjemahan saya. Dalam teks aslinya tertulis: ‘How people remember the past is predicated on simultaneous discussions of political alternatives for the future’.
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
kepercayaan kolektif’ (1996:45).23 Apabila kita ingin mengerti sebuah memori yang muncul, kita harus berusaha mengerti konteks munculnya memori tersebut. Ketika mengingat kehidupan di Ambon, para perantau sering mengingat hal-hal utama yang berkaitan dengan tantangan-tantangan yang dialaminya dalam kehidupan di Buton sekarang. Sebagai contoh, dua aspek kehidupan di Ambon yang paling sering disebutkan di Buton adalah masalah ekonomi—lebih mudah mencari uang di Ambon—dan sifat saling membantu antartetangga. Di Buton sekarang, banyak perantau yang hidup dalam kesulitan, dan mereka tidak menerima bantuan dari tetangga maupun saudara mereka sebagaimana yang diharapkan. Konteks itu sangatlah penting untuk mengerti memori tersebut. Memori dapat digunakan pula untuk menyembuhkan trauma di masa lalu. Mengenai memori dan identitas pengungsi, Daniel dan Knudsen berpendapat bahwa ’salah satu komponen penting dalam penemuan makna, pembentukan budaya, dan kebangkitan kembali kepercayaan adalah kebutuhan dan kebebasan untuk membangun gambaran normatif tentang masa lalu seseorang, yang identitasnya dapat ditetapkan sesuai dengan keinginan pengungsinya’ (1995:5).24 Ada satu kebutuhan psikologis untuk mengingat dengan cara yang mendukung suatu versi identitas tertentu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika banyak memori yang 23
Terjemahan saya. Dalam teks aslinya tertulis: ‘ Making the past serve the present requires the constant employment of cultural inventions to turn a combination of hallowed myths, historical distortions, and imagined realities into collective beliefs’. 24
Terjemahan saya. Dalam teks aslinya tertulis: ‘one of the important components in the recovery of meaning, the making of culture, and the reestablishment of trust is the need and the freedom to construct a normative picture of one’s past within which ‘who one was’ can be securely established to the satisfaction of the refugee’.
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
diceritakan oleh perantau dapat dikaitkan dengan usaha-usaha untuk mengkategorikan diri mereka sendiri, atau untuk menolak kategori tertentu.
Perbedaan budaya Banyak perubahan di desa Boneoge beberapa tahun belakangan ini, yang dikaitkan dengan kedatangan para perantau, dipandang sebagai sesuatu yang positif. Contohnya, desa Boneoge sekarang menjadi ramai. Ada usahausaha baru yang menggunakan keterampilan para perantau, seperti bengkel, tukang kayu, dan warung makan. Banyak orang berkumpul lagi dengan saudaranya setelah lama berpisah. Banyak rumah baru yang dibangun oleh perantau kaya, yang dapat meningkatkan reputasi Boneoge. Namun, baik perantau yang pulang maupun orang lokal menghadapi masamasa penyesuian diri untuk hidup berdampingan satu sama lain. Bagian selanjutnya dari tulisan ini menggambarkan beberapa situasi yang muncul selama masa penyesuaian itu. Walaupun semua orang mengakui diri sebagai orang Buton, ada banyak perbedaan kebiasaan dan budaya antara orang perantau dan orang lokal. Perbedaan ini sangat menonjol dan berperan besar terhadap perspektif mereka tentang identitas perantau yang pulang. Perspektif ini kemudian berpengaruh pada hubungan sosial di desa Boneoge. Insiden kecil bisa berakumulasi dan ikut menentukan keputusan seorang perantau untuk tetap tinggal di Boneoge atau merantau lagi ke tempat lain. Oleh karena itu, walaupun di Boneoge hubungan antarwarga selama ini berjalan damai, tetaplah menarik untuk melihat hubungan tersebut lebih jauh. Orang lokal sering merasa bahwa bahasa yang digunakan perantau yang kembali dari Ambon agak kasar. Mereka umumnya bicara dengan percaya diri, suara besar, dan saling menyapa dengan menggunakan kata-kata yang
103
dianggap kasar oleh penduduk lokal. Pada mulanya, banyak orang lokal yang tidak terbiasa dengan hal tersebut merasa tersinggung (mereka yang sudah sering ke Ambon menyadari bahwa suara keras tidak menunjukkan kemarahan). Kesalahpahaman seperti ini dapat memisahkan kelompok sosial dan mengganggu hubungan yang baik. Bahasa Ambon sudah menjadi tren dan digunakan di sekolah-sekolah di Boneoge. Banyak orang tua yang merasa keberatan karena anaknya berbicara bahasa Ambon padahal mereka tidak pernah pergi ke Ambon. Kenyataan ini dilihat sebagai ancaman terhadap budaya Boneoge, karena banyak di antara perantau muda tidak bisa berbahasa Muna. Bahkan beberapa orang tua mengeluh, ’Anak saya tidak pernah menggunakan bahasa Muna lagi, hanya bahasa Ambon terus’. Sebagian dari para perantau yang pulang memiliki kebiasaan meminum alkohol, dan hal ini mendapat perhatian serius dari orang lokal, khususnya para orang tua yang agamanya melarang kebiasaan minum tersebut. Para perantau yang pulang sering dianggap tidak taat menjalankan perintah agama Islam, dengan komentar-komentar seperti ’mereka tidak pernah ke mesjid’ atau ’mungkin mereka tidak tahu shalat lagi, hanya minum’. Pada umumnya, para pengungsi sering dipandang bermoral rendah karena terpisah dari komunitas yang biasa memantau perilakunya (Malkki 1997). Para pemuda perantau dianggap nakal, dan tidak lagi mau mendengar nasihat orang-orang tua. Guruguru sekolah di Boneoge melaporkan bahwa masalah disiplin di sekolah meningkat setelah kedatangan anak-anak perantau yang pulang.25
25
Hal ini tidaklah mengherankan, mengingat anak perantau telah mengalami trauma dan dislokasi. Perlu pula diingatkan bahwa jumlah murid di dalam setiap kelas telah meningkat.
104
Pesta joget Di Ambon, pesta joget merupakan suatu kebiasaan untuk merayakan pernikahan dan berbagai peristiwa lainnya. Di Boneoge, pesta joget menjadi bahan pertentangan antara perantau muda dengan generasi tua lokal, yang sering dibicarakan oleh kedua kelompok itu. Pesta joget biasanya diiringi dengan suara musik dangdut yang keras, yang berlangsung hingga pukul 3 atau 4 pagi. Para generasi tua Boneoge memprotes pesta joget ini, dengan alasan mengganggu warga yang lain, dan anakanak muda sering mabuk serta berpakaian tidak sopan. Pesta tersebut dianggap memberikan kesempatan kepada laki-laki dan perempuan untuk berhubungan tanpa pengawasan, membuat anak-anak muda tidur hingga tengah hari pada keesokan harinya, dan hal ini dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama. Pesta joget sudah menjadi isu besar untuk banyak perantau muda. Para perantau muda bersemangat melanjutkan tradisi pesta joget sebagai satu bentuk hiburan yang biasa mereka lakukan, yang memberikan kesempatan untuk beristirahat dari kegiatan sehari-hari. Perdebatan mengenai pesta joget menggarisbawahi perbedaan kebiasaan antara perantau dan orang lokal.26 Seorang perantau muda mengungkapkan ketidakpuasannya ketika dianggap sebagai pembuat masalah. Pemuda itu mengatakan, ’justru kita yang joget itu, yang mabuk itu, yang bangun masjid’ (maksudnya, sumbangan uang dari para perantau digunakan untuk membangun masjid).
26
Patut dipertanyakan, apakah ini hanya perbedaan antara pemuda dan orang tua, dan bukan antara perantau dan orang lokal? Namun, yang melawan pesta joget adalah orang tua yang bukan perantau; perantau tua yang pulang dari Ambon rata-rata tidak bermasalah. Pemuda lokal pada umumnya menyukai pesta joget, tetapi yang vokal dalam perbedaan pendapat ini adalah pemuda dari Ambon.
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
Pada pemilu tahun 2002 untuk pengurus LPM (Lembaga Pengembangan Masyarakat), seorang perantau setengah baya memenangkan pemilihan, mengalahkan orang-orang lokal yang dianggap memiliki peluang untuk naik ke posisi ketua. Menurut beberapa pengamat, para perantau muda memilih kandidat tersebut karena ia akan memperbolehkan pesta joget berlanjut. Ini merupakan contoh isu khusus yang menggarisbawahi perbedaan. Kedua pihak bertekad mempertahankan cara hidupnya yang dianggap penting. Hasilnya dalam kasus ini adalah sebuah perubahan dalam kehidupan politik desa. Kejadian ini mengingatkan bahwa para perantau dengan kebiasaannya sekarang merupakan bagian dari masyarakat Boneoge.
Sengketa tanah Banyak kasus perantau yang kembali ke Boneoge menuntut kembali tanah milik nenek moyangnya. Mereka berpendapat bahwa hak mereka atas tanah itu masih berlaku. Seringkali, orang lain sudah menggunakan tanah tersebut selama bertahun-tahun dan menyatakan tanah itu sebagai miliknya. Biasanya sengketa tanah seperti itu didiskusikan secara kekeluargaan dengan semua saudara, namun kadang-kadang tidak dapat diselesaikan. Apabila hal tersebut terjadi, masalahnya dilanjutkan ke tingkat desa. Orang lokal sering berpendapat bahwa karena para perantau tidak pernah kembali ke Boneoge untuk melihat tanahnya, maka siapa pun yang selama ini menggunakan tanah tersebut berhak untuk terus menggunakannya. Apabila seorang perantau selama masa perantauannya sering kembali ke Buton dan melihat situasi tanahnya, dia akan akan mampu mempertahankan haknya atas tanah. Melihat situasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa jika seorang perantau tidak pernah berkunjung ke Boneoge, ia dapat dianggap telah melanggar kewajiban sebagai orang Boneoge, dan akibatnya dapat
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
kehilangan hak atas tanahnya. Kebijakan desa adalah mencoba mengatasi perselisihan tersebut di tingkat desa dengan melibatkan berbagai pihak seperti lurah, Imam (pemimpin masjid), dan tokoh masyarakat lainnya untuk mencari pemecahan masalah yang memuaskan bagi semua orang. Jika musyawarah di tingkat desa gagal, kasus dilanjutkan ke tingkat kecamatan, atau ke pengadilan di ibu kota kabupaten. Sengketa tanah seperti ini dapat merusak hubungan keluarga, dan dalam beberapa kasus merupakan keputusan tentang kemungkinan diterima atau tidaknya seseorang di Boneoge. Hak tanah sangatlah terkait dengan identitas; kehilangan hak atas tanah nenek moyang dapat berdampak pada identitas perantau. Hak atas tanah juga bergantung pada pengetahuan mengenai masa lalu, atau lebih tepatnya, memori-memori masa lalu yang telah disepakati, yaitu mengenai asal-usul siapa nenek moyang yang mempunyai hak atas tanah, dan cara hak tersebut diturunkan kepada anak-cucunya.
Kesimpulan Saya telah mencoba menjelaskan pergunaan konsep memori untuk mengerti sesuatu tentang negosiasi identitas sehari-hari yang terjadi di Boneoge. Dalam rangka mengkaji ’identitas’, sangatlah penting untuk memperhatikan konteks penggunaan identitas tersebut. Demikian pula ketika berusaha untuk mengerti memori; sangatlah penting untuk memperhatikan konteks penggunaan memori itu. Saya telah memberikan beberapa contoh konteks, dan menggambarkan beberapa kejadian dan situasi di Boneoge, agar dapat memahami kejadian tersebut, selain juga memahami identitas dan memori itu sendiri. Artikel ini bertujuan untuk memperlihatkan pendekatan terhadap memori, migrasi, dan identitas; untuk menjelaskan situasi sekelompok
105
’pengungsi’ yang berada di antara kategori; dan untuk menyelidiki keanekaragaman di dalam sekelompok orang yang semuanya menyatakan memiliki etnisitas dan agama yang sama. Tujuan yang disebutkan terakhir merupakan hal yang
penting dalam menganalisis konflik: analisis yang efektif harus menjelaskan kompleksitas masyarakat lebih dari sekedar menyebut kategorikategori seperti etnisitas dan agama.
Referensi Antze, P. dan M. Lambek 1996 ‘Introduction’, dalam P. Antze dan M. Lambek (peny.) Tense Past: Cultural Essays in Trauma and Memory. New York: Routledge. Bartels, D. 2000 ’Your God is No longer Mine: Moslem-Christian Fratricide in the Central Moluccas (Indonesia) After a Half-Millennium of Tolerant Co-Existence and Ethnic Unity’. Diakses dari www.maluku.org/hain/english. Benda-Beckmann, Keebet von 1996 ’The Practice of Care: Social Security in Moslem Ambonese Society’, dalam D. Mearns dan C. Healey (peny.) Remaking Maluku: Social Transformation in Eastern Indonesia. Darwin: Northern Territory University. Hlm. 121–139. Brass, P.R. 1997 Theft of An Idol: Text and Context in The Representation of Collective Violence. Princeton Studies in Culture/Power/History. Princeton, N.J.: Princeton University Press. Chauvel, R.H. 1990 Nationalists, Soldiers and Separatists: The Ambonese Islands from Colonialism to Revolt, 1880–1950. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde; 143. Leiden: KITLV Press. CIDES 2000
Rencana Tindakan bagi Pemulihan Pengungsi Ambon di Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara. CIDES Persada Consultants. Laporan, tidak diterbitkan.
Collins, E.F. 1999 ‘Forgotten Refugees of Buton’, Inside Indonesia July-Sept:19–20. Connerton, P. 1989 How Societies Remember. Cambridge: Cambridge University Press. Daniel, E. V., dan John C.K. 1995 Mistrusting Refugees. Berkeley: University of California Press. Douglas, M. 1966 Purity and Danger: An Analysis of Concepts of Pollution and Taboo. London: Routledge and Kegan Paul.
106
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
Echols, J.M., dan Shadily, H. 1992 Kamus Indonesia-Inggris. Edisi Ketiga. Jakarta: Gramedia. Fentress, J., dan C. Wickham 1992 Social Memory. Cambridge, Mass: Blackwell. Fox, J. J. 1995 ’Foreword’, dalam M. Southon (peny.) The Navel of the Perahu: Meaning and Values in The Maritime Trading Economy of a Butonese Village. Canberra: Dept. of Anthropology Australian National University. Hlm. vii–xi. George, K.M. 1996 Showing Signs of Violence: The Cultural Politics of a Twentieth-Century Headhunting Ritual. Berkeley: University of California Press. Halbwachs, M. 1992 On Collective Memory. Chicago: University of Chicago Press. Isla, Alejandro 1998 ‘Terror, Memory, and Responsibility in Argentina’, Critique of Anthropology 18:134– 156. Jing, J. 1996
The Temple of Memories: History, Power and Morality in a Chinese Village. Stanford: Stanford University Press.
Kantor Kesejahteraan Sosial Kabupaten Buton 2001 Laporan Jumlah Eksodus di Kabupaten Buton. Laporan, tidak diterbitkan. Kantor Statistik Kabupaten Buton 2000 Kabupaten Buton dalam Angka. Bau-Bau: Kantor Statistik Kabupaten Buton. 1987 Kabupaten Buton dalam angka. Bau-Bau: Kantor Statistik Kabupaten Buton. Kristanto, K., W.H. Makaliwe, dan A.K. Saleh 1989 ’South-east Sulawesi: Isolation and Dispersed Settlement’, dalam H. Hill (peny.) Unity and Diversity: Regional Economic Development in Indonesia since 1970. Singapore; New York: Oxford University Press. Hlm. 567–583. La Ode Boa 1999 Buton dalam Gerimis. Jakarta: Mitra Gama Widya. La Ode Madu 1983 Merintis Buton Wolio Morikana. Manuskrip, tidak diterbitkan. Malkki, L.H. 1995 Purity and Exile : Violence, Memory, and National Cosmology among Hutu Refugees in Tanzania. Chicago: University of Chicago Press. 1997 ’National Geographic: The Rooting of Peoples and the Territorialization of National Identity among Scholars and Refugees’, dalam A. Gupta dan J. Ferguson (peny.) Culture, Power, Place: Explorations in Critical Anthropology. Durham: Duke University Press. Hlm.52–74.
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
107
Mearns, D. 1996 ’Class, Status, and Habitus in Ambon’, dalam D. Mearns dan C. Healey (peny.) Remaking Maluku: Social Transformation in Eastern Indonesia. Darwin: Northern Territory University. Hlm. 95–105. Meyer, P.A., dan M.Hardjodimedjo 1989 ’Maluku: The Modernization of the Spice Islands’, dalam H. Hill (peny.) Unity and Diversity: Regional Economic Development in Indonesia Since 1970. Singapore; New York: Oxford University Press. Hlm. 549–566. Middleton, D., dan D. Edwards (peny.) 1990 Collective Remembering. London: Sage. Muhlis 2000
Daftar Jumlah Kepala Keluarga, Jumlah Jiwa, Pendidikan Anak/Keluarga, Usaha Ekonomi Produktif, Kondisi Tempat Tinggal, Status Tempat Tinggal, dan Kontribusi Lokal Pengungsi di Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara . Laporan, tidak diterbitkan. Baubau: Yayasan Buana Hijau.
Ouwerling, MvO. 1930 ’Bestuurmemorie van den aftredenden Resident Der Molukken’, mr. 169/32. Rudyansyah, T. 1997 ’Kaomu, Papara, dan Walaka: Satu Kajian mengenai Struktur Sosial dan Ideologi Kekuasaan di Kesultanan Wolio’, Antropologi Indonesia 52:44–53. Schoorl, J.W. 1985 ’Belief in Reincarnation on the Island of Buton, Southeast Sulawesi’, Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde, Deel 141. 1986 ‘Power, Ideology and Change in The Early State of Buton’, Fifth Dutch-Indonesian Historical Congress, Netherlands, 23-27 June. 1987 ‘Islam, Macht en ontwikkeling in het sultanaat Buton’, dalam L.B. Venema (peny). Islam en Macht. Assen: Van Gorcum. Southon, M. 1995 The Navel of the Perahu: Meaning and Values in the Maritime Trading Economy of a Butonese Village. Canberra: Dept. of Anthropology Australian National University. United Nations 2000 United Nations Inter-Agency Appeal for the Maluku Crisis, 16 March - 30 September 2000. United Nations. Laporan tidak diterbitkan, diperoleh dari website OCHA. Yunus, A.R. 1995 Posisi Tasawuf Dalam Sistem Kekuasaan Di Kesultanan Buton Pada Abad ke-19. Seri INIS; jil.24. Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies. Zahari, A.M. 1977 Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton) . Jakarta, Indonesia: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
108
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
Zuhdi, S. 1999 Labu Wana Labu Rope: Sejarah Buton Abad XVII-XVIII. Tesis Ph.D. tidak diterbitkan. Depok: Universitas Indonesia. Zuhdi, S., G. A. Ohorella, M. Said D, dan R. Z. Leirissa 1996 Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
109