MIGRASI DAN KETAHANAN KELUARGA
Tugas Mobilitas Penduduk Kelompok 11 1.
Ardencius Gultom
2.
Rahmah Farida
3.
Wahdania Rosyada
Program Kajian Kependudukan dan Ketenagakerjaan Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia 2013
DAFTAR ISI Hal
1. Pendahuluan
1
2. Konsep dan Teori Migrasi
1
3. Konsep Ketahanan Keluarga
6
4. Dampak Migrasi Terhadap Ketahanan Keluarga
9
5. Studi Kasus di beberapa wilayah di Indonesia A. Studi kasus terhadap dampak perekonomian keluarga
13
migran-non migran berdasarkan data IFLS 2000 B. Studi kasus terhadap dampak sosial migrasi
15
di kelurahan pondok cina, depok 2003 C. Studi kasus terhadap dampak psikologi pada relokasi keluarga korban kerusuhan aceh, 2005 Daftar Pustaka
16
1. Pendahuluan Keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat memegang peranan penting sebagai aset bangsa. Keluarga bukan hanya dianggap sekedar sasaran pembangunan tetapi merupakan pelaku (subyek) pembangunan. Hal ini sesuai dengan UU No. 52 Tahun 2009 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga, yang menyebutkan penduduk sebagai modal dasar dan faktor dominan pembangunan. Pentingnya peran keluarga dalam pembangunan, menjadikan banyak kajian yang berkaitan tentang peningkatan kualitas keluarga. Kajian keluarga sendiri, sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1800an, seiring dengan kebutuhan untuk memperbaiki atau menyelesaikan masalah. Meski demikian, teori-teori tentang keluarga baru berkembang sejak awal 1900an. Teori keluarga merupakan aplikasi dari teori sosiologi dalam institusi keluarga baik tentang pertukaran sosial, interaksi, konflik dan struktur fungsional keluarga. (Sunarti, 2006) Beberapa diantaranya adalah teori yang mengaitkan antara keluarga dengan mobilitas penduduk oleh Sjastad,1962; Blau and Duncan, 1967; sandell, 1977; Mincer, 1978 (Gayle, 2008). Penelitian tersebut menekankan pada aspek mobilitas mengenai penyebab dan rintangan di daerah asal serta kesempatan keluarga untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik di daerah tujuan. Penelitian lainnya yang juga berkaitan adalah oleh Thomas & Wilcox than 1987 dalam Sussman , yang menyebutkan bahwa perubahan sosial yang berlangsung cepat, industrialisasi dan urbanisasi dipandang sebagai faktor yang dapat menyebabkan disorganisasi dalam keluarga. (Sunarti, 2006). Makalah ini secara umumberisi kajian literatur tentang keterkaitan antara migrasi dan pengaruhnya dengan ketahanan keluarga.
2. Konsep Dan Teori Migrasi Konsep Migrasi Migrasi merupakan satu dari tiga komponen dasar demografi selain fertilitas dan mortalitas. Ketiga komponen ini mempengaruhi dinamika kependudukan di suatu wilayah. Ada dua dimensi yang perlu ditinjau dalam menelaah masalah migrasi, yakni dimensi waktu dan dimensi wilayah. Namun masih belum ada kesepakatan pasti di antara para ahli dalam menentukan dimensi waktu dan wilayah dalam ber-migarsi tersebut.
Lee (1976) dalam
Purnamasari (2007) mendefinisikan bahwa migrasi adalah perubahan tempat tinggal secara permanen atau semi permanen. Tidak ada pembatasan baik pada jarak perpindahan ataupun Migrasi dan Ketahanan Keluarga 1
sifatnya. Demikian pula definisi migrasi oleh Tjiptoherijanto dalam Safrida (2008), diartikan sebagai perpindahan orang dari daerah asal ke daerah tujuan. Tujuan utama migrasi adalah meningkatkan taraf hidup migran dan keluarganya, sehingga umumnya mereka mencari pekerjaan yang dapat memberikan pendapatan dan status sosial yang lebih tinggi di daerah tujuan . Terkait teori ekonomi tentang migrasi, Todaro (1998) dalam Khotijah (2008) mendasarkan pemikirannya bahwa arus migrasi berlangsung sebagai akibat tanggapan terhadap adanya perbedaan pendapatan antara kota dan desa. Definisi BPS telah memberikan batasan wilayah dalam definisi migrasi, yakni proses perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat lain melewati batas wilayah adaministrasi yang dapat berupa desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi. Sedangkan PBB dalam Rangkuti (2009) memberikan batasan migrasi sebagai bentuk dari mobilitas geografi (geographic mobility) atau mobilitas keruangan (spatial mobility) dari suatu unit geografi ke unit geografi lainnya yang menyangkut perubahan tempat kediaman secara ermanen dari tempat asal atau keberangkatan, ke tempat tujuan atau tempat yang didatangi (United Nation: 1985). Mantra (2000) dalam Purnamasari (2007), menjelaskan bahwa migrasi adalah gerak penduduk yang melintas batas wilayah asal menuju ke wilayah lain dengan niatan menetap di daerah tujuan. Sedangkan mobilitas penduduk non permanen adalah gerak penduduk dari suatu wilayah ke wilayah lain dengan tidak ada niatan menetap di daerah tujuan.
Mantra juga
menyebutkan bahwa beberapa teori yang mengungkapkan mengapa orang melakukan mobilitas, diantaranya adalah teori kebutuhan dan stres. Setiap individu mempunyai beberapa macam kebutuhan ekonomi, sosial, budaya, dan psikologis. Semakin besar kebutuhan tidak dapat terpenuhi, semakin besar stres yang dialami. Apabila stres sudah melebihi batas, maka seseorang akan berpindah ke tempat lain yang mempunyai nilai kefaedahan terhadap pemenuhan kebutuhannya. Perkembangan teori migrasi demikian dikenal dengan model stress-treshold atau place-utility Terkait hubungan migrasi dengan pembangunan, Soemardjan (1988) dalam Lubis (2003) menyatakan bahwa perpindahan penduduk dari dan ke suatu tempat bukan berarti mengambil hak-hak yang dimiliki masyarakat setempat, namuan merupakan suatu faktor penting bagi kesejahteraan masyarakat setempat karena pada akhirnya turut mendukung jalannya pembangunan nasional. Hal ini tidak terlepas dari adanya pemanfaatan yang optimal terhadap Migrasi dan Ketahanan Keluarga 2
sumber-sumber produksi yang dahulu belum tersentuh sepenuhnya oleh masyarakat setempat. Dengan kedatangan penduduk pendatang, potensi-potensi tergali lebih dalam. Masih terkait perubahan akibat migrasi, Lubis memakai Pandangan Usman Pelly (1998) bahwa setiap proses migrasi yang terjadi akan membawa suatu perubahan di tempat barunya, karena di dalam migrasi tersebut terdapat misi budaya yang dimiliki oleh setiap pendatang. Faktor Keputusan Bermigrasi Ada banyak pertimbangan yang melatarbelakangi keputusan untuk ber-migrasi. Salah satu karakteristik yang menjadi dasar pertimbangan dalam ber-migrasi adalah bentuk keluarga. O Stack (1991) dalam Rangkuti (2009) menyatakan bahwa keluarga inti, yakni yang terdiri dari ayah, ibu dan anak, mempunyai peluang bermigrasi yang lebih tinggi daripada keluarga besar. Hal ini terkait dengan biaya migrasi yang harus dipertimbangkan. Lebih lanjut Rangkuti memakai pendapat Enhrenberg dan Smith (2002) yang menyatakan bahwa migrasi mahal. Hal ini terkait dengan waktu yang harus dihabiskan untuk mencari informasi tentang pekerjaan yang lain, dan yang paling sulit bagi pekerja untuk migrasi adalah meninggalkan keluarga dan temanteman. Para migran yang sudah berkeluarga, di awal-awal kepergian cenderung akan bermigrasi sendiri dan meninggalkan keluarganya. Ketika pekerjaan sudah mulai mapan baru membawa serta keluarga inti untuk tinggal bersama. Hal ini dikarenakn tingginya biaya hidup di daerah tujuan bagi pekerja yang belum memiliki pekerjaan tetap. Keluarga ini akan melakukan upaya optimal untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga tersebut. Menurut Everest S. Lee dalam Munir (2007), ada 4 faktor yang menyebabkan orang mengambil keputusan untuk melakukan migrasi: a. Faktor-Faktor yang terdapat di daearh asal b. Faktor-faktor yang terdapat di tempat tujuan c. Rintangan-rintangan yang menghambat d. Faktor pribadi Dessyanthy (2012) menjabarkan faktor-faktor di atas bahwa dalam suatu daerah, di setiap tempat asal ataupun tujuan, ada sejumlah faktor positif yang menahan orang untuk tetap tinggal di daerah tersebut, dan ada pula yang menarik orang luar untuk pindah ke tempat tersebut. Ada
Migrasi dan Ketahanan Keluarga 3
pula sejumlah faktor negatif yang mendorong untuk pindah dari tempat tersebut, dan sejumlah faktor netral yang tidak menjadi masalah dalam keputusan untuk ber-migrasi. Selanjutnya Lee juga menambahkan bahwa besar kecilnya arus migrasi juga dipengaruhi oleh faktor penghalang yang menghalangi seseorang untuk melakukan migrasi, seperti jarak, biaya yang tinggi, topografi yang tidak bagus dan terbatasnya sarana transportasi. Namun bagi sebagian orang, rintangan-rintangan tersebut bukanlah suatu kendala. Faktor lain yang tidak kalah penting dalam menentukan keputusan ber-migrasi adalah faktor individu, yang menentukan apakah akan pindah dari tempat asal atau tidak, dan jika ingin pindah, daerah mana yang akan dituju. Semua itu merupakan hasil ertimbangan untung rugi dari pemikiran individu tersebut. Terkait karakteristik individu, Chotib (2005) dalam Santoso (2010) menyatakan bahwa ada beberapa karakteristik yang sangat menentukan individu dalam pengambilan keputusan bermigrasi, sebagai berikut a. Karakteristik demografi, seperti jenis kelamin, umur, pendidikan, status perkawinan dan perbedaan perkotaan/perdesaan b. Nilai-nilai, norma-norma dan kebiasaan (adat istiadat) yang dimiliki migran di daerah asal c. Kemampuan mental dan intelektual migran, serta sifat-sifat individu calon migran tersebut
Faktor pendorong dan Penarik Migrasi Salah satu turunan dari teori Ravenstein seperti dituturkan Andrew Heywood (2011) melalui tulisannya “Identity, Culture and Challenges to the West” di buku ”Global Politics” dalam Muhamad (2012), bahwa secara umum terdapat dua teori tentang migrasi. Teori Individual menyatakan bahwa perpindahan manusia terjadi atas pertimbangan rasional individu yang didorong oleh harapan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Teori ini menekankan pada daya tarik ekonomi yang terdapat pada negara tujuan sebagai faktor penarik (pulled) seseorang untuk bermigrasi. Teori kedua adalah teori struktural yang menekankan pada Migrasi dan Ketahanan Keluarga 4
pertimbangan struktur sosial, politik, ekonomi di negara asal yang mengharuskan seseorang meninggalkan negaranya. Dalam teori ini dikatakan bahwa seseorang pushed (terdorong) bermigrasi karena persoalan seperti bencana alam, kemiskinan, instabilitas politik dan sosial di negara mereka. Faktor pedorong (push factors) migrasi di luar sebab-sebab bencana alam dan peperangan, sebagian besar didorong oleh kepentingan peningkatan kesejahteraan dilakukan oleh kaum laki-laki, terutama yang berusia muda dan masih produktif. Karena laki-laki dianggap sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah utama keluarga, dan bila di tempat asal kondisi ekonomi begitu terbatas, sementara di tempat tujuan ada permintaan yang cukup besar, maka laki-laki yang akan lebih dulu memasuki peluang kesempatan kerja tersebut. Pola migrasi yang demikian, diawali dnegan laki-laki, terkait langsung dengan pola hubungan gender yang memang pada umumnya menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dan tiang ekonomi keluarga. Dengan kata lain, laki-laki atau suami diletakkan sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga, sementara perempuan atau istri bertugas mengolah hasil yang didapat laki-laki atau suami, termasuk mengurus rumah tangga dan anak. Inilah yang dikenal dengan istilah pembagian kerja seksual (sexual division of labour) dalam keluarga dan kehidupan masyarakat pada umumnya. Selain alasan ekonomi yang menyebabkan migrasi, ada juga alasan sosial budaya yang mempengaruhinya. Penelitian yang dilakukan oleh Maude dan Naim menyatakan bahwa walaupun keadaan ekonomi sering dijadikan alasan migrasi atau merantau, namun mereka memberi tekanan pada faktor tradisi dan bahwa kebudayan merantau tertanam dengan dalam pada masyarakat-masyarakat perantau ini.(Hugo: 1982) Dampak-dampak sosial dapat disebabkan oleh adanya migrasi ini. Misalnya, struktur keluarga dipengaruhi karena kepala keluarga sering di daerah lain. Penelitian kualitatif tentang dampak sangat terbatas. UNESCO mengakui adanya pengaruh-pengaruh migrasi pada orangorang perempuan di daerah asal. Dampak kepala keluarga berangkat migrasi adalah orang-orang perempuan (istri) sering mengambil peran dan memikul pekerjaan yang pada umumnya dilakukan oleh laki-laki atau suami.
Migrasi dan Ketahanan Keluarga 5
3. Konsep dan Definisi Ketahanan Keluarga Konsep Keluarga Definisi tentang keluarga banyak ditemukan dalam berbagai literatur kependudukan baik dalam maupun luar negeri. Hasil kajian literatur Sunarti (2006) yang dimuat dalam jurnal berjudul Indikator Keluarga Sejahtera, memuat beberapa pengertian keluarga sebagai berikut: “Settles, B.H. dalam Sussman &Steinmetz (1987) mengemukakan terdapat beberapa pendekatan dalam eksplorasi pengertian keluarga, diantaranya adalah: keluarga diposisikan memiliki sebuah pandangan tertentu, memiliki citra romantis, sebagai satu satuan perlakuan intervensi, sebagai proses, dan sebagai tujuan akhir. Sedangkan menurut Burgess dan Locke (1960) mendefinisikan keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat yang anggotanya terikat oleh adany ahubungan perkawinan (suami-istri) serta hubungan darah (anak kandung) atau adopsi (anak angkat/pungut)” (Sunarti, 2006) Di dalam negeri sendiri, instansi pemerintah yang melakukan pengurusan terhadap keluarga, BKKBN, mendefinisikan keluarga sebagai dua orang atau lebih yang dibentuk berdasarkan ikatan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan, memiliki hubungan yang selaras, serasi dan seimbang antara anggota keluarga dan masyarakat serta lingkungannya. Pemerintah sendiri memuat konsep definisi tentang keluarga dalam Undang Undang Nomor 52 Tahun 2009 yang merupakan revisi dari Undang Undang Nomor 10 tahun 1992. Disitu disebutkan bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Keluarga juga merupakan sebuah sistem. Hal ini diartikan sebagai unit sosial dimana individu terlibat secara intim didalamnya, dibatasi oleh aturan keluarga, terdapat hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi antar anggota keluarga setiap waktu. (Megawangi dalam Sunarti, 2006). Keluarga berfungsi memberikan pengaruh yang paling utama dan pertama terhadap individu serta memiliki dampak yang paling penting. Keluarga juga berperan dalam keberlangsungan sistem sosial serta merupakan institusi pertama dalam pembangunan sumber daya manusia. (Bennet dalam Sunarti, 2003). Menurut BKKBN, fungsi keluarga adalah untuk mewujudkan keluarga yang sejahtera sekaligus berkualitas .Penjabaran fungsi ini termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994 dimana disebutkan ada delapan fungsi keluarga. Kedelapan fungsi keluarga tersebut yaitu; fungsi agama, fungsi sosial budaya, fungsi cinta kasih,
Migrasi dan Ketahanan Keluarga 6
fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi pendidikan, fungsi ekonomi dan fungsi lingkungan. Pendapat lainnya oleh Rice dan Tucker (1986) yang dikutip Widiyanti (2012) menyebutkan pembagian fungsi keluarga berdasarkan fungsi ekspresif dan instrumental. Dimana keluarga berfungsi untuk mengelola sumberdaya yang dimiliki (fungsi ekonomi) melalui prokreasi, sosialisasi (termasuk penetapan peran sosial), dukungan dan perkembangan anggota keluarga untuk memenuhi kebutuhan fisik, emosi (cinta kasih, ikatan suami-istri), perkembangan, termasuk moral (agama), loyalitas dan sosialisasi.
Konsep Ketahanan Keluarga Seiring dengan berkembangnya sosial kehidupan masyarakat, hal ini semakin mengokohkan peran keluarga sebagai institusi pertama dan utama dalam pembangunan sumber daya manusia. Hal ini dikarenakan semua proses kehidupan utama berlangsung dalam keluarga. Seberapa mampu sebuah keluarga mampu beradaptasi dengan sosial masyarakatnya, bergantung pada seberapa kuat ketahanan keluarga tersebut. Berdasarkan kajian pustaka mengenai ketahanan keluarga yang dilakukan oleh Sunarti (2003) pada sejumlah literatur (BKKBN, 1992; Hamilton, 1983; Krysan, Kristin A.Moore, &Zill 1990a dan 1990b, Achord et al, 1986; Pearsall, 1996; Frankenberger &McCaston, 1998; McCubin &Thompson 1987; Sussman & Steinmets, 1987; Megawangi, Zeitlin &Garman, 1995) dapat dirumuskan ketahanan keluarga berdasarkan definisi operasionalnya adalah kemampuan keluarga dalam mengelola sumber daya yang dimiliki serta menanggulangi masalah yang dihadapi, untuk dapat memenuhi kebutuhan fisik maupun psikososial keluarga. Serupa dengan definisi ketahanan keluarga dalam Undang Undang Nomor 52 Tahun 2009, yang menyebutkan dalam Bab I pasal 11 bahwa Ketahanan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik-materiil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam menigkatkan kesejahtraan kebahagiaan lahir batin. Ketahanan keluarga berlawanan dengan kerentanan keluarga. Dimana konsep rentan yang dimaksud, adalah ketika keluarga tidak atau kurang mendapat kesempatan utnuk mengembangkan potensinya sebagai akibat dari keadaan fisik/ non fisiknya.
Migrasi dan Ketahanan Keluarga 7
Penekanan dari kedua definisi diatas, menekankan pada kemampuan sebuah keluarga untuk mampu meyelesaikan permasalahan . Bagan berikut menggambarkan kerangka pikir dari sebuah konsep ketahanan keluarga:
Gambar 1. Kerangka Pikir Konsep Ketahanan Keluarga
Sumber: Sunarti, 2003 (Perumusan ukuran ketahanan keluarga)
Masih menurut Sunarti (2003), kesejahteraan merupakan suatu keadaan akhir yang dituju untuk sebuah ketahanan keluarga. Kesejahteraan ini diperoleh melalui melalui proses pengelolaan input (sumber daya keluarga) dan proses (penanggulangan masalah). Input yang dimaksud mencakup sumberdaya keluarga yang terdiri dari : pendapatan, aset keluarga, pendidikan suami-istri, komunikasi, nilai agama. Sementara Komponen proses terkait dengan bagaimana pengaturan keluarga dalam penanganan permasalahan seperti perkawinan, keluarga, sakit, dan pengasuhan anak. Adapun komponen output terkait dengan kesejahteraan yang mencakup kesejahteraan fisik (sandang pangan papan), kesejahteraan sosial (partisipasi lingkungan, jiwa sosial) dan kesejahteraan psikologis (Perasaan cemas, emosi, kepuasan dan harapan masa datang).
Kesejahteraan Keluarga Dalam pengukuran kesejahteraan keluarga, terdapat dua pendekatan dalam mengukur tingkat kesejahteraan keluarga, yakni melalui indikator objektif dan indikator subjektif. Aspek kuantitatif dapat dilihat dari indikator kesejahteraan ekonomi keluarga, sedangkan aspek Migrasi dan Ketahanan Keluarga 8
kuantitatif kesejahteraan dapat dilihat dari indikator sosial dan indikator psikologis seperti ketentraman, kepuasan, kebahagiaan, kebebasan, serta harapan ( Sunarti, 2006). Pendekatan objektif mengukur kesejahteraan melalui fakta-fakta yang dapat diamati, dari angka-angka yang langsung dihitung dari aspek yang telah ditelaah, misalnya pendekatan yang baku seperti yang dibuat oleh BPS dan BKKBN. BPS mengukur kesejahteraan dengan melihat dari konsep kebutuhan minimum (kalori) pengeluaran. Sementara BKKBN membagi kesejahteraan keluarga menjadi tiga kebutuhan, yakni kebutuhan dasar, kebutuhan sosial, psikologis dan kebutuhan pengembangan (Suandi, 2007). Adapun Pendekatan subjektif merupakan persepsi yang dirasakan oleh masyarakat sendiri mengenai aspek kesejahteraan sehingga hasilnya merupakan perkembangan dari aspek kesejahteraan. Sedangkan konsep subjektif dapat memberikan pengertian yang mendalam mengenai kesejahteraan yang dihadapi keluarga. Kesejahteraan keluarga merupakan komponen dari proses pengelolaan sumber daya dan masalah dalam keluarga. Kesejahteraan keluarga dibagi menjadi tiga, yakni kesejahteraan fisik mengenai perekonomian migran. kesejahteraan sosial yaitu dari komponen penghargaan dan dukungan sosial dan kesejahteraan psikologis yang merupakan fenomena multidimensi dari fungsi emosi dan fungsi kepuasan hidup. Pada akhirnya, apabila kesejahteraan keluarga tercapai maka ketahanan keluarga juga akan terwujud ( Sunarti 2009).
4. Dampak Migrasi Terhadap Ketahanan Keluarga Keputusan bermigrasi telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Harapan untuk hidup yang lebih baik tentu menjadi sasaran utama para migran. Menurut pandangan Usman Pelly dalam Lubis (2003) terhadap migrasi adalah bahwa setiap proses migrasi yang terjadi akan membawa suatu perubahan di tempat barunya, karena di dalam migrasi tersebut tersimpan suatu misi budaya yang dimiliki oleh setiap pendatang. Menurut Pelly, bahwa dalam proses keberlangsungannya mempertahankan hidup di wilayah yang didatanginya, penduduk pendatang akan melakukan strategi-strategi adaptasi di daerah barunya. Dampak dari bermigrasinya keluarga telah merasuk jauh kedalam kehidupan keluarga. Adapun Pembahasan mengenai dampak bermigrasi terhadap ketahanan keluarga akan dijabarkan kedalam 3 poin berikut:
Migrasi dan Ketahanan Keluarga 9
A.
Dampak Terhadap Aspek Fisik Ketahanan keluarga yang ditentukan oleh Kesejahteraan fisik (sandang, pangan, papan)
menekankan pada kemampuan ekonomi keluarga (Sunarti,2003). Migrasi dan ekonomi tidak dapat dipisahkan, semenjak banyak penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa alasan utama untuk bermigrasi adalah untuk kehidupan perekonomian yang lebih baik. Ketahanan ekonomi yang rendah adalah faktor utama penyebab timbulnya kemiskinan yang menyebabkan kerentanan keluarga, dan pada sisi lain ekonomi sebagai dasar motivasi bermigrasi ( De Jong dan Gardner, 1981 dalam Purnamasari, 2007). Dengan demikian dihipotesakan bahwa dengan melakukan migrasi, pendapatan keluarga akan lebih baik dibandingkan dengan keluarga yang tidak melakukan migrasi. Pada kenyataannya, migrasi dapat menyebabkan dan disebabkan oleh kemiskinan, yang memicu kerentanan keluarga. Mampu bertahannya keluarga di wilayah migrasi tujuan tergantung beberapa faktor, diantaranya pendidikan dan keterampilan individu atau sekelompok orang yang masih rendah, kurangnya peluang untuk berkembang serta rendahnya daya saing. Beberapa literatur mengungkapkan bahwa gagalnya migran di daerah tujuan diakibatkan karena masalah modal, pengetahuan dan keterampilan (Purnamasari, 2007). Semakin baik kehidupan perekonomian migran, maka akan meningkatkan kesejahteraan yang pada akhirnya menguatkan ketahanan keluarga.
B.
Dampak Terhadap Aspek Sosial Kehidupan sosial masyarakat berkembang seiring dengan bergeraknya waktu. Banyak
faktor yang menyebabkan perubahan sosial, salah satunya adalah migrasi. Pada kasus migrasi urbanisasi, di negara sedang berkembang, proses migrasi bukan sekedar masuknya manusia pedesaan ke kota-kota, tetapi juga proses manusia tradisional agraris menjadi warga yang bersifat urban dan modern (Daldjoeni dalam
Lubis 2003). Lebih lanjut, urbanisasi bukan
sekedar mobilitas fisik atau geografis, tetapi mobilitas mental atau psikis, yang didalamnya terkandung proses budaya. Bersama itu terjadi urbanisasi dalam arti proses penyebaran geografis dari niai-nilai, norma-norma, perilaku, sikap, lembaga dan organisasi yang sifatnya urban. Singkatnya urbanisasi dapat dipandang sebagai proses modernisasi, suatu proses perubahan sosial yang berlangsung di dalam sistem masyarakat (Daldjoeni dalam Lubis 2003).
Migrasi dan Ketahanan Keluarga 10
Dalam Penelitian Lubis (2003) disebutkan, dampak terhadap perubahan sosial sebagai berikut: Dampak perubahan sosial terjadi melalui dua proses. Proses tersebut mencakup proses yang datang dari dalam atau proses endogen dan proses sebagai akibat kontak dengan masyarakat atau kebudayaan dari luar atau proses exogen. Perubahan sosial yang terjadi pada kehidupan bermasyarakat, lebih banyak perubahan yang bersifat unintended change atau perubahan kehidupan sosial yang tidak disengaja. Karena tidak disengaja seringkali perubahan itu tidak dapat diduga lebih dahulu dan tanpa disadari oleh masyarakat bahkan dalam keluarga migran itu sendiri. Dan menurut Astrid Soesanto walau bagaimanapun proes perubahan sosial pada intinya adalah perubahan norma-normanya. (Abdurrahman dalam Lubis, 2003) Dari beberapa konsep yang telah disebutkan, terlihat bahwa dampak terhadap aspek sosial yang dimaksud adalah perubahan norma-norma dan proses pembentukan norma baru merupakan inti dari kehidupan memperrtahankan persatuan kehidupan kelompok. Selanjutnya, menurut pandangan Hirani Martono mengenai dampak migrasi terhadap keluarga adalah “Perubahan sosial dirasakan sebagai suatu kenyataan yang dibuktikan dengan adanya gejala-gejala yang sering terjadi seperti adanya disorganisasi dalam keluarga, pertentangan, urbanisasi dan sebagainya. Semua ini mempunyai pengaruh dan akibat bersama dalam masyarakat oleh karena inti dari perubahan sosial menyangkut aspek sosio-demografis dari masyarakat dan aspek struktural dari organisasi sosial ( Martono dalam ed Nurdin, dikutip Lubis, 2003) Berikut adalah beberapa aspek sosial yang disebutkan Martono yang megalami perubahan sebagai dampak dari adanya kontak sosial akibat migrasi: a. Ikatan kekeluargaan Bahwa di dalam masyarakat Indonesia pada umumnya dan
masyarakat melayu
khususnya terdapat dua sistem kekeluargaan. Kedua sistem ini menunjukkan dan menggambarkan adanya perbedaan di dalam pola kehidupan keluarga. Pola keluarga tersebut adalah keluarga inti yang lazim disebut nuclear family, dan keluarga luas yang disebut pula sebagai extended family. Demikian pula menurut pendapat Martono dalam Lubis, 2003, dampak migrasi terhadap aspek sosial dalam keluarga yaitu menyatakan “Bahwa pergeseran dari kawasan pedesaan dan ke kawasan urban, dapat meningkatkan ketegangan hubungan antara-anggota keluarga besar. Keluarga kecil sering menjadi ide utama dalam modernisasi” Migrasi dan Ketahanan Keluarga 11
Hal ini termasuk kategori yang rasional, ketika keluarga hendak bermigrasi hanya mengikutsertakan keluarga intinya saja, terkait dengan keterbatasan modal untuk biaya bermigrasi. Sehingga tidak heran, jika dahulu sisitem kekeluargaan menggunakan sistem extended family, sementara sekarang lebih banyak sistem keluarga nuclear yang dipilih.
b. Fungsi Keluarga Dampak migrasi lainnya pada aspek sosial keluarga adalah adanya fungsi keluarga yang berubah karena diambil oleh lembaga atau unit sosial yang lain. bahwa perubahan penting dalam keluarga yang trlihat universal adalah pemindahan sebagian besar fungsi keluarga kepada unit sosial lain. Sering dikemukakan, dalam masyarakat tradisional, pemenuhan kebutuhan ekonomi, pendidikan, agama dan emosional, semuanya cenderung disediakan dalam keluarga. Tetapi dengan modernisasi, sebagian besar tangung jawab itu diserahkan kepada unit lain seperti pemerintah, sekolah dan badan usaha (Lubis, 2003)
C.
Dampak Terhadap Aspek Psikologis Disebutkan sebelumnya, bahwa kajian tentang ukuran ketahanan keluarga dari aspek
psikologis merupakan fenomena multidimensi dari fungsi manajemen stress (kontrol emosi) dan fungsi kepuasan hidup. Aspek ini erat pembahasannya dengan keputusan sebuah keluarga ketika memilih untuk migrasi. Adanya harapan di wilayah baru menjadi motivasi untuk bermigrasi dan ketika harapan sesuai dengan kenyataan maka ada perasaan puas, dimana migran mampu membuktikan bahwa keluarga ini mampu bertahan di wilayah tujuan migrasinya. Namun, ketika yang terjadi justru sebaliknya, hal ini berarti ada permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh migran yang tak mampu untuk dikontrolnya dan membutuhkan penyelesaian. Dalam konteks bermigrasinya sebuah keluarga, maka akan terjadi banyak perubahan. Perubahan ini adalah hal-hal yang terjadi dalam keluarga, dan diantaranya merupakan sumber stres (stressor) bagi keluarga. Perubahan-perubahan dalam keluarga yang merupakan sumber stres (ketegangan) keluarga misalnya: masalah keluarga, perkawinan, keuangan dan usaha keluarga, perubahan jumlah anggota keluarga, kesehatan, kekerasan, kehilangan ( Sunarti, 2005). Reorientasi keluarga merupakan upaya yang perlu dilakukan keluarga dalam merespon perubahan-perubahan yangterjadi dalam keluarga. Reorientasi keluarga meliputi aspek: tujuan,
Migrasi dan Ketahanan Keluarga 12
komunkasi,pembagian peran dan upaya pencarian dukungan (social support). Hal hal tersebut menurut Sunarti mampu mereduksi ketegangan yang terjadi akibat dampak migrasi. Kajian literatur Sunarti (2005) menjelaskan tentang stres sebagai berikut: Stress merupakan suatu reaksi psikologi atau fisiologi khusus terhadap rangsangan fisik, mental atau emosi baik dari dalam maupun dari luar yang mempegaruhi keadaan keseimbangan dan kebahagiaan atau kesejahteraan (Worthington, RB & Rodwell Williams, 1996). Sedangkan Vander (1987) mendefinisikan stress sebagai rangsangan lingkungan baik fisik maupun psikologi yang mendatangkan keompok respons utama tubuh. Tingkat stres dapat diprediksi berdasarkan kerentanan seseorang terhadap stres. Kerentanan tersebut dapat dilakukan dengan mengukur gejala-gejala stres pada seseorang sebagaimana pendapat Wilkinson (1989) yang menyatakan bahwa tingkat stres dapat dikelompokkan berdasarkan gejala-gejala stres yang dialami. Gejala stres contoh yang digunakan untuk pengelompokan tingkat stres diantaranya adalah merasa sedih setiap saat, merasa cemas akan masa depan, merasa bersalah pada saat-saat tertentu, merasa sedang mendapat hukuman, kecewa terhadap diri sendiri, malu pada diri sendiri ika melakukan kesalahan, mudah menangis, tidak dapat tidur dengan mudah, merasa mudah lelah, dan nafsu makan berkurang. (Sunarti, 2005) Menurut hasil penelitian Holmes & Rahe dalam Goldsmith yang dikutip oleh Sunarti, menyatakan bahwa kehilangan dalam bentuk apapun, apalagi kematian pasangan atau sanak famili menciptakan stres dan anxiety dalam keluarga, yang seringkali diikuti dengan reaksi fisik dan emosi yang hebat dan merupakan kejadian yang memberikan dampak terbesar bagi keluarga.
5. Studi Kasus Di Beberapa Wilayah Di Indonesia A. Studi Kasus Terhadap Dampak Perekonomian Keluarga Migran-Non Migran Berdasarkan Data IFLS 2000 Keputusan bermigrasi sebuah jalan memberdayakan sumber daya dan dalam usaha meningkatkan kesejahteraan. Penelitian dilakukan oleh Hasnani Rangkuti, menggunakan data IFLS 1993 dan 2000 dengan mengamati individu panel di tahun 1993 dan diikuti perkembangan di tahun 2000. Kesenjangan penghasilan diperoleh dengan mengestimasi fungsi penghasilan yang diperoleh dari perbedaan upah pekerja migran tahun 2000 dengan estimasi upah tahun 1993 Hasil estimasi memperlihatkan bahwa kesenjangan penghasilan merupakan faktor yang paling besar dalam pengambilan keputusan ber-migrasi. Setiap kenaikan kesenjangan penghasilan akan meningkatkan peluang ber-migrasi. Ketika kenaikan kesenjangan mencapai titik tertentu, justru akan mengurangi hasrat tenaga kerja untuk ber-migrasi.
Migrasi dan Ketahanan Keluarga 13
Tabel 1. Estimasi Upah Menurut Model Penghasilan Antara Pekerja Populasi Dan Pekerja Migran Tahun 2000 (Rupiah Per Bulan) Laki-Laki Kota Desa 588.575 480.908 511.307 439.205 487.182 398.063 450.268 386.773 684.728 562.255 567.505 503.370 546.100 448.423 491.338 435.811
Karakteristik Formal
Pekerja populasi
Informal Formal
Pekerja Migran
Informal
Sehat Tidak Sehat Sehat Tidak Sehat Sehat Tidak Sehat Sehat Tidak Sehat
Perempuan Kota Desa 489.692 423.835 445.607 404.256 452.273 387.707 418.766 379.906 568.231 486.995 516.936 462.951 510.648 437.644 479.605 429.519
Sumber: Hasnani Rangkuti (Pengaruh Kesenjangan Penghasilan Dalam Keputusan Bermigrasi Tenaga Kerja Di Indonesia: Analisis Data IFLS 1993 dan 2000) Berdasar tabel di atas terlihat bahwa penghasilan antara pekerja dalam populasi penelitian dengan pekerja yang berstatus migran terjadi perbedaan, baik itu untuk pekerjaan formal maupun informal. Perbedaan wilayah desa dan kota juga mempengaruhi perbedaan penghasilan ini. Terlihat bahwa pekerja migran memiliki penghasilan yang lebih besar daripada pekerja dalam populasi penelitian. Pekerja migran dengan pekerjaan formal di kota dan berjenis kelamin lakilaki memiliki penghasilan tertinggi dibanding karakteristik lainnya.Dari simulasi tingkat upah di atas, terlihat bahwa pekerja migran menerima upah relatif lebih tinggi dibandingkan pekerja non migran dengan mengontrol variabel lainnya. Tabel 2. Estimasi Upah Pekerja Menurut Model Penghasilan Tahun 1993 (Rupiah Per Bulan) Karakteristik Laki-Laki Perempuan
Kota Desa Kota Desa
Formal Tidak Sehat 248.846 223.901 223.043 211.469
Sehat 271.609 232.377 226.155 214.419
Informal Sehat Tidak Sehat 247.659 231.406 211.886 208.209 220.098 217.069 208.677 205.805
Sumber: Hasnani Rangkuti (Pengaruh Kesenjangan Penghasilan Dalam Keputusan Bermigrasi Tenaga Kerja Di Indonesia: Analisis Data IFLS 1993 dan 2000) Dan jika dibandingkan dengan kondisi tingkat upah yang diterima sebelum migrasi, terlihat bahwa terjadi peningkatan yang signifikan. Hal ini membuktikan adanya manfaat lebih Migrasi dan Ketahanan Keluarga 14
dari migrasi yakni terjadi peningkatan taraf kesejahteraan uang relatif lebih baik bagi para migran setelah berpartisipasi dalam migrasi. Hal ini akan berimbas pada individu yang akan melakukan migrasi menuju daerah tujuan untuk memperoleh manfaat atau penghasilan yang lebih banyak.
B. Studi Kasus Terhadap Dampak Sosial Migrasi Di Kelurahan Pondok Cina, Depok 2003 Studi kasus berikut dilakukan oleh Lubis pada tahun 2003. Lubis meneliti tentang dampak perubahan sosial yang terjadi akibat adanya migrasi. Wilayah yang menjadi penelitian adalah Pondok Cina, Kota Depok. Hasil penelitiannya mengungkapkan ada beberapa dampak terhadap keluarga di Pondok Cina akibat adanya migrasi masuk, antara lain:
1. Perubahan dalam Kehidupan Keluarga Pengaruh pendatang dalam masalah pendidikan cukup sedikit pengaruhnya bagi pendidikan asli pondok Cina, kebanyakan dari penduduk asli yang ada tidak melanjutkan sekolah bahkan sama sekali tidak sekolah. Penduduk asli menganggap penting bagi sekolah. Penduduk asli orang Betawi Pondok Cina menganggap bahwa perkembangan daerah inilah yang membuat pendidikan anak bagi anak-anak penduduk asli menjadi lebih baik. Padahal perkembangan Depok disebabkan oleh salah satunya karena adanya para pendatang. Perkembangan wilayah Pondok Cina, seiring dengan adanya pengaruh terhadap penduudk pendatang di Pondok Cina, fungsi-fungsi yang dulu dijalankan oleh keluarga asli betawi sepenihnya,telah mengalami perubahan ke arah masyarakat maju. Tanpa disadari oleh penduduk asli Pondok Cina, masyarakat yang datang dari kota berpikiran lebih maju dan telah menerapkan metode-metode hidup yang lebih efisien, lincah dan tepat. Masyarakat Pondok Cina, mengalami perubahan pada pola kehidupan keluarganya, baik sistem keluarga maupun pandangan, tidak lain akibat interaksi antara masyarakat setempat dengan masyarakat pendatang pada wilayah tersebut.
2. Perubahan Gaya Hidup Mudahnya informasi yang diterima oleh anak-anak atau remaja membuat perilaku remaja Pondok Cina berubah. Anak-anak lebih banyak memanfaatkan waktunya untuk bergaul dengan teman-temannya daripada membantu ortunya di rumah. Banyak masalah yang harus ditanggung Migrasi dan Ketahanan Keluarga 15
masyarakat akibat modernisasi ini, salah satunya penetrasi kebudayaan kota ke desa yang kurang sesuai dengan kebudayaan ataupun tradisi desa. Perubahan juga terjadi pada cara berpakaian remaja yang cenderung mengikuti mode, bukan berorientasi manfaat, dan lebih meniru budaya kota, dengan baju dan celana ketat. Pengaruh pendatang menjadi pokok permasalahan, dimana masyarakat pondok cina melalui interaksinya dengan masyarakat pendatang telah menjadikan perubahan gaya hidup masyarakat. Pola perubahan ini merupakan dampak dari interaksi yang merupakan proses suatu hubungan yang sifatnya timbal balik antara pendatang dengan masyarakat setempat. Roucek dalam Bintaro yang dikutip Lubis(2003) mengatakan bahwa makna interaksi adalah suatu proses yang sifatnya timbal balik dan mempunyai pengaruh terhadap perilaku dari pihak-pihak bersangkutan melalui kontak langsung dan hal lainnya.
3. Perubahan Pola Pekerjaan Dengan masuknya masyarakat di Kelurahan Pondok Cina, penduduk mulai beralih pekerjaan dari bertani ke kegiatan usaha jasa dan perdagangan seperti menjual sebagian lahan pertaniannya untuk para pendatang, membuka usaha pemondokan/rumah kos, rumah makan, berjualan buku-buku, dll. Perkembangan wilayah di depok telah mengundang penduduk di luar Depok untuk datang menanamkan modal atau berusaha di Depok. Hal ini oleh Bintaro dalam Lubis (2003) disebut sebagai daerah peripherial areas (daerah tepi). Perubahan mata pencaharian ini merupakan wujud perkembangan perkampungan menjadi kelurahan. Pendapatan yang dulu tidak bisa untuk ditabung sebagai cadangan, sekarang dengan mata pencaharian baru, masyarakat dapat menyisihkan pendapatannya untuk ditabung atau dijadikan modal usaha.
C. Studi Kasus Terhadap Dampak Psikologi Pada Relokasi Keluarga Korban Kerusuhan Aceh Studi kasus berikut, mengangkat tema bagaimana migrasi mempengaruhi aspek psikologis. Model migrasi yang menjadi contoh adalah termasuk jenis migrasi terpaksa yang diakibatkan konflik wilayah. Konflik seringkali menjadi salah satu alasan keluarga untuk bermigrasi, sebagaimana konflik merupakan bagian dari kehidupan yang menghiasi sejarah umat manusia. Disebutkan oleh Sunarti, Konflik dapat menyebabkan terganggunya tatanan kehidupan keluarga, padahal Migrasi dan Ketahanan Keluarga 16
keluarga merupakan institusi pertama bagi kehidupan individu,serta merupakan tiang penyangga ketahanan nasional (BKKBN, 1996; Rahardjo, 2003 dalam Sunarti, 2005). Salah satu kasus konflik di Indonesia adalah yang terjadi di Aceh. Dampak konflik ini begitu luas, hingga sebagian keluarga korban kerusuhan mengungsi dan kemudian mengikuti program relokasi yang dilakukan pemerintah daerah Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah, yaitu di Dusun Maribaya, Kecamatan Bumiayu. Selama kejadian pengungsian dan relokasi, keluarga mengalami berbagai tekanan seperti kehilangan benda, kehilangan anggota keluarga, dihantui ketakutan serta ketidakpastian masa depan. Penelitian dilakukan di wilayah relokasi Kecamatan Bumiayu pada tahun 2005. Melibatkan sampel berjumlah 41 keluarga (lengkap dan tidak lengkap) dengan responden adalah ibu rumah tangga. Sebagian besar korban kerusuhan Aceh yang dimukimkan di dusun Maribaya adalah keturunan Jawa. Sebelum konflik, kondisi keluarga tersebut tergolong mapan dengan penghasilan per kapita per bulan ada yang mencpai satu juta rupiah; sebagian besar bekerja sebagai pedagang denan kondisi kesehatan yang cukup baik dan akses kesehatan yang memadai. Tingkat pendidikan anak-anak beragam mulai SD, SLTP dan SMU. Menempati wilayah relokasi, para pengungsi kembali memulai kehidupan baru.Mereka dimukimkan di daerah terisolir dimana belum ada sarana transportasi. Fasilitas di wilayah ini juga masih sangat kurang, dimana masyarakat masih membutuhkan sarana jamban dan air bersih. Pelayanan poliklinik desa hanya sehari dalam sebulan. Karakteristik keluarga menunjukkan antara kondisi sebelum dan sestelah relokasi. Di Aceh, para suami umumny bekerja sebagai petani sebanyak 87,8%, di pengungsian mayoritas sebagai buruh sebanyak 70,7%. Sedangkan istri yang bekerja sebagai petani di Aceh sebanyak 65,9 %, setelah relokasi 51,2% bekerja sebgai buruh. Rata rata pendapatan di Aceh adalah Rp. 290.203,-, sedangkan rata-rata pendapatan di pengungsian sebesar Rp. 93.250,Pengukuran dampak migrasi terhadap aspek psikologi di pengungsian ini dengan mengukur gejala stres pada seseorang dengan beberapa variabel gejala: merasa sedih setiap saat, merasa cemas akan masa depan, merasa bersalah pada saat-saat tertentu, merasa sedang mendapat hukuman, kecewa terhadap diri sendiri, malu pada diri sendiri jika melakukan kesalahan, mudah menangis, tidak dapat tidur dengan mudah, merasa mudah lelah, dan nafsu makan berkurang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh sampel yaitu 53,6 % mengalami stres dengan tingkat berat, Stres ringan sebanyak 36 %, dan hanya 9,8 % yag tidak Migrasi dan Ketahanan Keluarga 17
mengalami stres. Adanya penurunan kemampuan ekonomi, berubahnya mekanisme struktur sosial masyarakat adalah pemicu utama stres dari kasus ini. Menurut hasil penelitian Sunarti dalam studi kasusnya tentang relokasi wilayah yang dilakukan pada korban kerusuhan Aceh, menemukan bahwa kemampuan keluarga mengatasi masalah serta ketahanan psikologis berpengaruh terhadap keberfungsian ekonomi keluarga. Drastisnya perubahan kehidupan keluarga migran di wilayah yang baru, sesungguhnya membutuhkan adanya dukungan (social support) dari pihak lain untuk memberikan bantuan dan bimbingan agar keluarga migran memiliki akses terhadap sumber ekonomi. Bentuk bantuan tersebut merupakan dukungan sosial yang secara konsisten terbukti membantu keluarga dalam pemenuhan fungsi ekonomi, yang merupakan modal harapan utama migran, ketika awal bermigrasi.
Migrasi dan Ketahanan Keluarga 18
DAFTAR PUSTAKA
Bkkbn.13 Juni 2012.Delapan Fungsi Keluarga Wahana Menuju Keluarga Sejahtera. http://www.bkkbn.go.id/ViewArtikel.aspx?ArtikelID=35 Dessyanthy, Regilna. 2012. Studi Kelangsungan Hidup Migran Wanita (Kasus Buruh Bangunan Wanita di Kota Makasar. Skripsi. Makasar: Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanudin Faturrochman. 2001. Revitalisasi Peran Keluarga. Buletin Psikologi, Tahun IX, No.2 Desember 2001, 39-47 Gayle, V, etc. 2008. Family Migration and Social Stratification. International Journal of Sociology and Social Policy Vol. 28 No.78, 2008,293-303 ILO. 2003. Paparan Tehnis Singkat : Migrasi: Peluang dan Tantangan Program Strategi Pengentasan Kemiskinan. Jakarta : International Labour Office Ivlevs, A and King, Roswitha M. 2012. Family Migration Capital and Migration Intention. Paper. J Fam Econ Iss (2012) 33: 118-129 Khotijah, Siti. 2008. Analisis Faktor Pendorong Migrasi Warga Klaten ke Jakarta. Tesis. Semarang: Fakultas Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan. Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro. Kusoma, Rani A.B, dkk. 2008. Analisis Peran Gender serta Hubungannya Dengan Kesejahteraan Keluarga Petani Padi dan Holtikultura di Daerah Pinggiran Perkotaan. Jurnal Media Gizi dan Keluarga, Desember 2008, 52(2): 52-64 Lubis, Fanda F. 2003. Dampak Migrasi Terhadap Perubahan Dalam Keluarga (Studi Kasus di Kelurahan Pondok Cina). Tesis. Depok: Program Studi Pascasarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial Konsentrasi Pembangunan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Muhamad, Ahmad. 2012. Globalisasi dan migrasi:problematika integrasi imigran turki ke dalam masyarakat Jerman. www.web.unair.ac.id Munir,rozy. 2011. Migrasi, Ed Sri Moertiningsih adioetomo dan Omas Bulan Samosir ‘Dasar-Dasar Demografi’ hal 133-153. Depok: Penerbit Salemba Empat dan Lembaga Demografi FEUI Novindra, Huda. 1997. Kontribusi Pekerja Wanita dalam Kehidupan Keluarga Guna Menunjang Ketahanan Keluarga dan Ketahanan Nasional (Studi Kasus di Perkebunan Teh, Industri Pakaian Jadi dan Pasar Swalayan). Tesis. Depok: Program Studi Pengkajian Katahanan Nasional, Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Purnamasari, Ucik. 2007. Profil Keadaan Ekonomi, Kondisi Perumahan dan Status Kesehatan Migrasn dan Non Migran di Kota Samarinda (Studi Kasus Persepsi Terhadap Migran dan Nonmigran di Kota Samarinda pada bulan April Tahun 2007. Skripsi Sarjana Sains Terapan. Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Statistik. Rachmawati, Fitriyah. 2003. Perubahan Peranan Keluarga Inti Dalam Menjalankan Fungsi Keluarga Pada Komunitas Pendatang Di Kota (Studi Kasus Keluarga Pendatang di Kelurahan Babakan, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor). Skripsi. Bogor : Jurusan Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Institut Pertanian Bogor. Rangkuti, Hasnani. 2009. Pengaruh Kesenjangan Penghasilan Dalam Keputusan Bermigrasi Tenaga Kerja Di Indonesia: Analisis Data IFLS 1993 dan 2000. Tesis. Depok : Program Studi Kajian Kependudukan dan Ketenagakerjaan Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Safrida. 2008. Dampak Kebijakan Migrasi Terhadap Pasar Kerja Dan Perekonomian Indonesia.Disertasi. Bogor: Institut Pertanian Bogor (IPB). Santoso, Insaf. 2010. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Bermigrasi Penduduk Indonesia Antara Tahun 2000-2007 (Analisis Data IFLS 2000 dan 2007). Tesis Magister Sains. Depok: Fakultas Pascasarjana, Universitas Indonesia Suandi.2007.Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga di Daerah Perdesaan Provinsi Jambi.Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor (IPB) Sunarti, E, dkk. 2003. Perumusan Ukuran Ketahanan Keluarga (Measurement of Family Strength). Jurnal Media Gizi dan Keluarga, Juli 2003, 27(1):1-11 Sunarti, E, dkk. 2005. Ketahanan Keluarga, Manajemen Stres, Serta Pemenuhan Fungsi Ekonomi dan Fungsi Sosialisasi Keluarga Korban Kerusuhan Aceh. Jurnal Media Gizi dan Keluarga, Juli 2005, 29 (1) : 41-49 Sunarti, E, dkk. 2006.Indikator Keluarga Sejahtera: Sejarah Pengembangan, Evaluasi, dan Keberlanjutannya. Bogor: Institut Pertanian Bogor Sunarti, E, dkk. 2009.Indikator Kerentanan Keluarga Petani dan Nelayan: Untuk Pengurangan Resiko Bencana di Sektor Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor Widyanti, L, dkk.2012. Fungsi Keluarga dan Gejala Stres Remaja dengan Latar Belakang Pendidikan Prasekolah Berbeda. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konseling, Januari 2012,Vol.5 No. 1: (38-47)