48
BAB VII SEJARAH DAN PENGALAMAN MOBILITAS PENDUDUK PEREMPUAN DESA KARACAK
7.1
Sejarah Mobilitas Penduduk Perempuan Desa Karacak Fenomena mobilitas penduduk perempuan Desa Karacak ke luar desa
sebenarnya telah terjadi sejak tahun 1980-an sampai dengan sekarang. Terdapat banyak perubahan karakteristik mobilitas penduduk perempuan Desa Karacak dari waktu ke waktu. Perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 6: Tabel 6. Perubahan Karakteristik Mobilitas Penduduk Perempuan Desa Karacak berdasarkan Periodisasi Waktu 1980-2010 Periode 1980-1989 Didominasi oleh mobilitas penduduk perempuan yang telah berstatus menikah Didominasi oleh perempuan dengan tingkat pendidikan rendah
Tujuan Mobilitas: hampir seluruhnya bekerja dan mengikuti suami
Periode 1990-1999 Mulai banyak penduduk perempuan yang belum menikah terlibat dalam mobilitas penduduk Didominasi oleh penduduk perempuan dengan tingkat pendidikan rendah (tamatan SD) sampai dengan sedang (tamatan SMP). Tujuan Mobilitas: hampir seluruhnya bekerja dan mengikuti suami
Periode 2000 - 2010 Didominasi oleh penduduk perempuan yang belum menikah Tingkat pendidikan pelaku mobilitas mulai meningkat (banyak yang lulusan SMA)
Tujuan mobilitas lebih bervariatif, tidak hanya bekerja atau mengkuti suami, tetapi banyak juga perempuan yang melakukan mobilitas dengan tujuan sekolah/kuliah.
Dari tahun ke tahun, karakteristik mobilitas penduduk perempuan Desa Karacak memang berbeda. Pada tahun 1980-an, terdapat perpindahan penduduk jenis transmigrasi di desa ini. Sebanyak 50 KK diberangkatkan ke Muara Bungo,
49
Jambi. Penduduk perempuan yang terlibat dalam transmigrasi hanya sebatas migran pasif yang mengikuti keluarga atau suaminya pergi. Pada tahun 1989, untuk pertama kalinya terdapat perempuan Desa Karacak yang melakukan mobilitas penduduk ke Arab Saudi sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW). Perempuan ini menjadi pelopor dalam kepergian mobilitas penduduk ke luar negeri di Desa Karacak. Saat kepergiannya, ia berstatus menikah, namun ia pergi secara mandiri tanpa ditemani suami ataupun anaknya. Alasan kepergiannya adalah karena desakan ekonomi. Dalam periode ini, kepergian penduduk perempuan ke luar desa masih didominasi oleh penduduk perempuan yang telah menikah, sehingga kepergiannya lebih banyak karena mengikuti suami, walaupun saat di daerah tujuan, beberapa penduduk perempuan bekerja. Tingkat pendidikan pelaku mobilitas yang masih rendah pada periode ini, menjadikan mereka hanya mendapatkan pekerjaan di sektor informal dan tidak mendapatkan penghasilan yang sebanding dengan pekerjaan yang telah mereka lakukan. Pada periode 1990-an, perempuan pelaku mobilitas penduduk mulai banyak yang berstatus belum menikah. Mereka pergi dengan tujuan untuk memperoleh pengalaman dari bekerja di luar desa. Namun sayangnya, tingkat pendidikan mereka yang masih belum memadai untuk mendapatkan pekerjaan yang mereka inginkan, menjadikan mereka kembali menempati sektor-sektor pekerjaan informal dengan tingkat pendapatan yang minim. Suatu keadaan yang tidak lebih baik dari kehidupannya di desa ini, menjadikan mereka banyak yang melakukan mobilitas kembali ke desa. Pada periode ini, tepatnya pada tahun 1997, penduduk perempuan Desa Karacak yang pergi ke Arab Saudi pada tahun 1989 kembali ke
50
desa, namun kondisi ekonominya tidak banyak berubah, bahkan rumah tangganya pun hancur saat ia pergi ke luar negeri. Hal ini menunjukkan kepeloporan yang buruk di mata masyarakat, sehingga banyak di antara mereka yang tidak ingin melakukan mobilitas penduduk saat ia telah menikah, terlebih harus pergi meninggalkan keluarga ke luar negeri. Pada tahun 2000-an, karakteristik mobilitas penduduk perempuan ke luar desa juga mengalami perubahan. Pada periode ini mobilitas penduduk perempuan tidak hanya bertujuan untuk bekerja atau mengikuti suami, bahkan ada pula perempuan yang melakukan mobilitas penduduk ke luar desa untuk sekolah atau kuliah. Kepergian penduduk perempuan ke luar desa untuk keperluan kuliah, pertama kali dipelopori oleh keluarga Bapak Sayuti dan keluarga Bapak Ikin yang menyekolahkan anak perempuan mereka ke universitas di Bogor. Adapun alasan yang melatarbelakangi Pak Ikin untuk memberikan izin bagi anak perempuannya kuliah di luar desa adalah: “…kalau bagi saya mah, anak saya harus lebih baik dari saya, karena kehidupan yang akan mereka jalani ke depan juga pasti lebih berat dari saya..” (Ikin, 53 tahun) Perubahan lain yang terjadi dalam mobilitas penduduk perempuan Desa Karacak pada periode ini adalah meningkatnya tigkat pendidikan para perempuan pelaku mobilitas. Pekerjaan-pekerjaan yang mereka dapatkan pun lebih baik dari para perempuan migran pendahulu mereka, seperti pengungkapan salah seorang informan: “..dari dulu juga perempuan ada yang bekerja ke luar desa, tapi bedanya sekarang mah kebanyakan lulusan SMA, jadi rada meningkat Teh level kerjaannya teh, kalau dulu mah cuma jadi pembantu, sekarang mah ada yang kerja di kantor..” (Mar’atul, 26 tahun).
51
7.2
Pengalaman Mobilitas Penduduk Perempuan Desa Karacak
7.2.1.Latar Belakang Mobilitas Penduduk Perempuan Apabila bersandar pada definisi mobilitas penduduk menurut Lee (1984) yang mendefinisikan migrasi atau mobilitas penduduk sebagai semua macam perpindahan akibat perubahan tempat tinggal baik yang bersifat permanen maupun semi permanen tanpa dibatasi jarak tempat pindah baik dipaksa ataupun kemauan sendiri, maka seluruh responden memiliki pengalaman dalam melakukan mobilitas penduduk. Ketika definisi tersebut dipersempit mengenai batasan jarak yang ditempuh, yaitu melewati batas desa, maka hanya sebanyak 28 orang (93,33 persen) responden saja yang dikatakan memiliki pengalaman dalam melakukan mobilitas penduduk, sedangkan sisanya yaitu 2 orang (6,67 persen) responden tetap berdiam diri di desa mereka tanpa pernah melakukan mobilitas penduduk sedikitpun. Pada penelitian ini, mobilitas penduduk perempuan didefinisikan sebagai suatu perpindahan tempat tinggal baik sementara maupun permanen yang dilakukan oleh perempuan minimal melewati batas desa dengan batasan waktu minimal 6 bulan meninggalkan desanya, dengan tujuan sekolah, bekerja, ataupun mengikuti suami/keluarganya. Definisi inilah yang menjadikan responden terbagi menjadi tiga golongan, yaitu stayer, return migrant, dan pendatang. Ketiga jenis responden ini memiliki pengalaman mobilitas penduduk (tanpa batasan waktu) yang berbeda-beda, ketiganya juga memiliki latar belakang dan motivasi yang berbeda dalam melakukan kegiatan tersebut. Berikut adalah latar belakang dari masing-masing kategori responden yang didapatkan di lapangan:
52
1)
Stayer Penduduk perempuan stayer merupakan penduduk perempuan desa yang
semasa hidupnya belum pernah melakukan mobilitas penduduk yang sesuai dengan batasan dalam penelitian ini, kepergian mereka ke luar desa hanya berjangka waktu pendek, tidak ada perubahan tempat tinggal yang biasa, dan hanya sebatas untuk keperluan sosial atau rumah tangga. Sebanyak 80 persen di antara mereka memilki pengalaman bepergian melewati batas desa walau dalam jangka waktu yang pendek. Daerah tujuan mereka dalam melakukan mobilitas penduduk jangka pendek ini adalah Leuwiliang, Ciawi, Kota Bogor dan Jakarta. Alasan mereka melakukan mobilitas penduduk jangka pendek tersebut adalah berbelanja, mengikuti pengajian, rekreasi, bekerja dan mengunjungi sanak keluarga dengan proporsi yang digambarkan dalam Gambar 5.
Berbelanja
13% 25%
12%
Mengikuti Pengajian Rekreasi
25%
25%
Bekerja Mengunjungi famili
Gambar 5. Alasan Stayer Melakukan Mobilitas Penduduk Jangka Pendek di Desa Karacak Tahun 2010
53
Jika ditinjau dari alasan-alasan yang melatarbelakangi kepergian para stayer ini, maka mayoritas hal-hal yang mendorong mereka dalam melakukan mobilitas penduduk bukanlah tergolong dalam motivasi ekonomi, melainkan lebih kepada motivasi sosial. Adapun responden yang melakukan mobilitas penduduk dengan motivasi ekonomi bekerja di Leuwiliang, sehingga ia dapat pulang setiap hari. Selain jangka waktunya yang pendek, kepergian para stayer ini juga hanya menjangkau daerah-daerah yang berjarak pendek, seperti Pasar Leuwiliang. Hal ini membuat para stayer tidak memiliki pengalaman mobilitas penduduk dengan jarak yang jauh. 2)
Return Migrant Penduduk perempuan yang digolongkan sebagai return migrant merupakan
mereka yang semasa hidupnya pernah melakukan mobilitas penduduk yang sesuai dengan batasan dalam penelitian ini. Dengan demikian, mereka memiliki pengalaman mobilitas penduduk yang lebih banyak dibandingkan dengan penduduk perempuan stayer. Return migrant yang kini tentu sudah kembali ke desa pada awalnya merupakan para pelaku mobilitas penduduk yang kebanyakan memburu daerahdaerah perkotaan dengan didorong oleh motif-motif tertentu. Motif ekonomi adalah salah satu motif yang banyak mendorong para perempuan untuk melakukan mobilitas penduduk ke kota. Menurut teori kebutuhan dan tekanan (need and stress), keputusan seseorang melakukan mobilitas penduduk terkait erat dengan masalah kebutuhan yaitu kebutuhan ekonomi, sosial, dan psikologi. Apabila kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi, maka seseorang dapat menjadi tertekan atau stress. Begitupun ketika
54
kebutuhan ekonomi tidak dapat terpenuhi di desa, maka beberapa penduduk perempuan melakukan mobilitas penduduk ke luar desa (kota) guna mencari kehidupan yang lebih layak dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi mereka. Selain motif ekonomi, ada pula responden yang mengaku melakukan mobilitas penduduk karena permasalahan keluarga dan karena pernikahan dengan orang luar desa. Alasan-alasan return migrant meninggalkan Desa Karacak dapat dilihat pada Gambar 6.
Bekerja
10% 10% 10%
Permasalahan keluarga 70%
Program pemerintah (transmigrasi) Pernikahan dengan orang luar desa
Gambar 6. Alasan Return Migrant Meninggalkan Desa Karacak Tahun 1981-2005 Berdasarkan Gambar 6 jelas terlihat bahwa sebagian besar para penduduk perempuan yang tergolong return migrant sempat pergi meninggalkan desa dengan tujuan untuk bekerja. Menurut pengakuan mereka, kepergian mereka ke kota karena di desa sangat sulit sekali mendapatkan pekerjaan yang mereka inginkan. Sektor-sektor pekerjaan yang tersedia di desa hanya sebatas sektor pertanian dan perkebunan. Sektor-sektor ini kurang diminati oleh para penduduk perempuan, khususnya penduduk perempuan yang masih tergolong usia produktif
55
muda (di bawah 35 tahun). Hal ini sesuai dengan penuturan salah seorang penduduk perempuan Desa Karacak: “…..Ah, males ka sawah na ge da teu tiasa naon-naon….” (Tuti, 25 tahun) (Ah, malas ke sawah juga, kan saya ga bisa apa-apa) “….Ari nu ka sawah mah biasana nu tos sarepuh wae, Neng..” (Kartini, 48 tahun) (Yang ke sawah biasanya orang-orang tua saja, Neng) Dari pernyataan di atas, maka dapat diketahui bahwa salah satu alasan penduduk perempuan tidak menyukai pekerjaan di sektor pertanian dan perkebunan karena ketidakmampuan mereka dalam melakukan pekerjaanpekerjaan di bidang tersebut. Padahal, hampir seluruh tanah di kampung tempat penelitian ini masih dimiliki dan dikuasai oleh penduduk sekitar, sebagaimana yang diungkapkan oleh salah seorang petani perempuan:
“..Di dieu mah ari tanah teh milik urang dieu sadaya..” (Icah, 43 tahun) (Di sini sih tanah milik orang sini semua) Ketidakmampuan penduduk perempuan usia produktif muda dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan di bidang pertanian dan perkebunan ini disebabkan oleh tidak diturunkannya kebiasaan bertani oleh para orang tua yang berprofesi petani kepada anak mereka, seperti yang disampaikan oleh salah seorang petani perempuan di desa tersebut yang menceritakan mengenai anaknya yang bernama Nia (32 tahun): “…..Komo si Nia mah tacan pernah pisan ka sawah, diajak ge da sok alimeun, jadi wae teu tiasa nandur-nandur acan….” (Runasih, 63 tahun) (Apalagi si Nia, belum pernah ke sawah, diajak juga tidak mau, jadi sekarang nandur saja dia tidak bisa) Hal inilah yang menjadikan para perempuan muda di Desa Karacak enggan menekuni pekerjaan di bidang pertanian dan perkebunan. Mereka jauh lebih
56
meminati pekerjaan-pekerjaan di sektor industri karena menurut mereka jauh lebih menjanjikan dalam segi pendapatan. Oleh karena itu mereka pergi meninggalkan desa untuk menuju ke kota. Bahkan ada satu responden yang pergi sampai ke luar negeri karena desakan ekonomi keluarga. Namun sayangnya, kepergian mereka ke kota banyak yang harus kembali ke desa karena perubahan status pernikahan mereka dan permasalahan keluarga yang menimpa selama ia berada di luar desa. Selain untuk bekerja, ada pula perempuan yang pergi meninggalkan desa karena ikut keluarganya bertransmigrasi. Pada tahun 1980-an Desa Karacak merupakan salah satu desa yang ditunjuk pemerintah untuk melakukan transmigrasi. Pada saat itu ada lima puluh kepala keluarga yang diberangkatkan menuju Jambi, yaitu daerah Muara Bungo yang merupakan daerah pasang surut. Jaminan hidup selama transmigrasi yang dijanjikan pemerintah adalah salah satu alasan yang memperkuat para penduduk untuk mengikuti program tersebut pada saat itu. Kesulitan mereka dalam beradaptasi dengan lingkungan alam serta kebiasaan di sana membuat mereka memutuskan untuk kembali ke desa. 3)
Pendatang Penduduk perempuan yang digolongkan sebagai pendatang adalah mereka
yang berasal dari daerah lain (minimal berbeda desa) dan kini bertempat tinggal di Desa Karacak. Para perempuan pendatang yang kini tinggal di desa ini berasal dari berbagai daerah, diantaranya adalah: Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, dan Lampung. Sebelum mereka datang ke Desa Karacak, mereka memiliki pengalaman mobilitas penduduk yang berbeda-beda. Kebanyakan dari mereka, awalnya adalah para migran sirkuler yang bekerja di Jakarta, hingga terikat pernikahan dengan
57
lelaki asal Desa Karacak yang akhirnya membawa mereka untuk bermigrasi ke desa tersebut. Begitu juga penduduk pendatang asal Jakarta, mereka datang ke desa ini karena dibawa oleh suami mereka yang berasal dari daerah ini yang awalnya merupakan migran sirkuler di kota tersebut. Bukan hanya pernikahan yang membawa para penduduk pendatang ini untuk tinggal di Desa Karacak, namun ada juga penduduk yang kini menetap di Desa Karacak karena tugas sebagai guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan ada pula karena diajak oleh kakaknya yang telah lebih dulu pindah. Berikut adalah proporsinya:
10% Pernikahan
20%
Tugas bekerja 70%
Ajakan Saudara
Gambar 7. Alasan Pendatang Bermigrasi ke Desa Karacak Tahun 1978-2009 Cukup banyaknya penduduk perempuan pendatang yang datang ke desa ini karena pernikahan mengindikasikan cukup banyaknya laki-laki Desa Karacak yang pergi ke luar desa di masa lampau. Rendahnya bekal pendidikan dan keterampilan yang dimiliki para migran ini membuat mereka hanya mendapatkan pekerjaan-pekerjaan di bidang informal yang bergaji minim, sehingga membuat mereka tergusur di kota besar dan memutuskan untuk kembali ke desa dengan membawa istri mereka. Bahkan, salah satu responden yang bernama Jannah (30 tahun), membawa serta seluruh keluarganya di Jakarta untuk pindah ke Desa Karacak bersamanya, sehingga ia sudah benar-benar tidak ada niatan untuk ke
58
Jakarta, karena keluarganya kini sudah berkumpul di Desa Karacak, padahal sang suami masih melakukan mobilitas sirkuler ke Jakarta. 7.2.2.Proses Mobilitas Penduduk Perempuan Proses mobilitas penduduk perempuan dari wilayah asal ke wilayah tujuan yang dialami oleh para penduduk perempuan Desa Karacak dapat berjalan karena adanya faktor-faktor pelancar berupa ketersediaan sarana dan prasarana transportasi, kebijakan pemerintah, dan kehadiran agen tenaga kerja. Selain itu, proses mobilitas penduduk perempuan juga dapat terlaksana karena adanya faktor pendukung berupa dukungan dari keluarga dan kerabat. Faktor pelancar berupa ketersediaan sarana dan prasarana transportasi telah mempermudah para penduduk perempuan yang hendak melakukan mobilitas penduduk guna menjangkau daerah-daerah tujuan mereka yang kebanyakan adalah menuju ibu kota yaitu Jakarta. Adapun kebijakan pemerintah mengenai program transmigrasi juga memperlancar terjadinya mobilitas penduduk terutama untuk para penduduk yang berniat melakukan transmigrasi. Kerjasama antara pemerintah pusat dan pemerintah Desa Karacak dalam menjalankan program ini telah mampu meyakinkan masyarakat akan jaminan hidup yang lebih baik di daerah tujuan transmigrasi kelak. Walau pada akhirnya, kebanyakan warga tidak bertahan dan kembali ke desa tersebut. Faktor pelancar berikutnya adalah kehadiran agen tenaga kerja yang memudahkan akses warga dalam mendapatkan pekerjaan di luar negeri. Hal ini seperti yang dialami oleh salah seorang responden yang bernama Hj. Maryam (57 tahun). Ia pernah melakukan mobilitas penduduk guna bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke Arab Saudi pada tahun 1989, dan sempat tinggal di sana sampai delapan tahun lamanya atas bantuan agen
59
tenaga kerja. Agen tersebut memudahkan ia, baik dalam keberangkatan, selama di sana, dan saat ia pulang kembali ke tanah air. Hal yang tidak kalah penting andilnya dalam mendukung terjadinya mobilitas penduduk perempuan adalah dukungan dari keluarga dan kerabat. Dukungan tersebut berupa pemberian ijin bagi perempuan untuk bekerja di luar rumah. Dengan pemberian ijin ini, tak jarang keluarga yang memberikan modal bagi para calon migran untuk pergi ke luar desa. Berdasarkan hasil penelusuran di lapangan, mayoritas perempuan yang diberikan ijin untuk bekerja di luar rumah ini berstatus belum menikah. Ketika perempuan sudah berstatus menikah, maka tanggung jawab untuk bekerja berada di pihak suami. Oleh karena itu, pernikahan tak jarang membuat para perempuan ini berhenti bekerja dan kembali ke desa. 7.2.3.Arah dan Pola Mobilitas Penduduk Perempuan Mobilitas penduduk perempuan Desa Karacak, terutama yang pernah dialami oleh para return migrant, cenderung mengarah ke daerah yang menjanjikan kesempatan kerja yang lebih besar dibandingkan dengan di desa yaitu perkotaan dan bahkan luar negeri. Motif ekonomi yang mendorong mereka untuk pergi, mengarahkan kepergian mereka ke pusat-pusat perkotaan yang kaya akan sektor industri dan jasa pembantu rumah tangga. Kepergian penduduk perempuan yang bersifat mandiri atau bukan karena mengikuti keluarga cenderung memilih perkotaan yang berjarak tidak terlalu jauh dari desa, sehingga memungkinkan mereka untuk pulang sewaktu-waktu. Daerah tersebut adalah wilayah Jabodetabek. Adapun kepergian perempuan yang didasari karena faktor mengikuti keluarganya, cenderung berani untuk pergi dengan jarak yang lebih jauh, seperti ke daerah Sumatera. Selain itu, kepergian para migran
60
juga cenderung mengarah ke daerah-daerah yang sebelumnya pernah mereka datangi. Petimbangan lainnya adalah ada tidaknya teman atau kerabat yang berada di daerah tersebut yang dapat membantu mereka selama mereka berada di daerah tujuan, terutama saat mereka belum mendapatkan pekerjaan. Kepergian para penduduk perempuan Desa Karacak ke luar desa bukanlah merupakan suatu pola mobilitas penduduk yang bersifat permanen. Bagi para stayer, kepergian mereka bahkan tidak bisa dikatakan komutasi. Mereka pergi hanya sewaktu-waktu, dan pulang ke desa dalam waktu yang singkat pula. Daerah tujuan mereka pun dekat, yaitu Pasar Leuwiliang. Bagi para return migrant, kepergian mereka cenderung bersifat sirkulasi. Tidak ada niatan dalam hati mereka untuk pindah tempat tinggal secara sepenuhnya ke kota, walaupun ada pula salah seorang responden yang sempat pindah tempat tinggal ke luar desa karena mengikuti tempat pekerjaan suaminya. Kebanyakan dari mereka acap kali pulang ke desa dalam momen-momen tertentu. Adapun para pendatang, kedatangan mereka ke desa ini bersifat permanen. Mayoritas para pendatang ini awalnya adalah para migran yang bertemu jodoh dengan lelaki asal Desa Karacak saat mereka bekerja di Jakarta dahulu. Kini mereka menjadi penduduk Desa Karacak dan banyak di antara mereka yang sudah tidak berniat lagi kembali ke daerah asalnya. Tingkat mobilitas mereka pun kini cenderung lebih rendah dibanding saat mereka masih bekerja dulu. Daerah tujuan mobilitas mereka pun kini hanya sebatas di desa, kecamatan, dan sewaktu-waktu ke daerah asal mereka.
61
7.3. Ikhtisar BAB VII Desa Karacak memiliki sejarah mobilitas penduduk perempuan ke luar desa yang berbeda karakteristiknya dalam setiap periode. Periode 1980-an, mobilitas penduduk perempuan Desa Karacak didominasi oleh penduduk perempuan yang telah menikah, tujuan mobilitasnya mayoritas adalah bekerja, dan tingkat pendidikan pelaku mobilitas masih rendah. Periode 1990-an, mobilitas penduduk perempuan Desa Karacak mulai banyak dilakukan oleh penduduk perempuan yang belum menikah, tujuan mobilitas masih sama dengan periode sebelumnya, namun tingkat pendidikan mulai meningkat. Pada periode 2000-an, mobilitas penduduk perempuan Desa Karacak ke luar desa didominasi oleh penduduk perempuan yang belum menikah, tujuan mobilitasnya mulai banyak yang sekolah, dan tingkat pendidikan mereka pun lebih tinggi. Berdasarkan fenomena mobilitas penduduk yang ada pada setiap periodenya, maka pada zaman sekarang, mobilitas penduduk perempuan Desa Karacak ke luar desa adalah suatu hal yang sangat lumrah dan tidak ada larangan sedikitpun secara budaya. Penduduk perempuan Desa Karacak memiliki pengalaman mobillitas penduduk yang berbeda-beda di masa lampau. Berbagai motif melatarbelakangi kepergian para penduduk perempuan ke luar desa, dimana salah satu motif yang paling menonjol adalah motif ekonomi. Motif ini terutama dirasakan oleh para penduduk perempuan yang tergolong return migrant. Kehadiran para penduduk perempuan pendatang di Desa Karacak yang terbawa karena pernikahan dengan pemuda Desa Karacak selama sama-sama bekerja di perkotaan atau saat bertemu di daerah asal sang perempuan menunjukkan cukup tingginya tingkat mobilitas penduduk laki-laki di desa ini. Artinya, desa ini sebenarnya terdiri dari penduduk
62
yang memiliki pengalaman mobilitas yang cukup tinggi, terutama penduduk lakilakinya. Arah mobilitas penduduk desa ini adalah menuju daerah perkotaan yang menjanjikan kesempatan kerja di sektor industri dan jasa pembantu rumah tangga. Adapun sifat kepergiannya cenderung non permanen, yaitu sirkulasi.