TUGAS MATA KULIAH MOBILITAS PENDUDUK DOSEN: CHOTIB, M.Si
TINJAUAN LITERATUR SUBURBANISASI, ALIH FUNGSI LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP LINGKUNGAN Studi Kasus: Di Wilayah Bodetabek, Indonesia
OLEH: KELOMPOK 8: M. IKHSANY RUSYDA (NPM. 1206304162) SUKADI (NPM. 1206304282) RENI ARDIANTI (NPM. 1206304231)
PASCA SARJANA KAJIAN KEPENDUDUKAN DAN KETENAGAKERJAAN UNIVERSITAS INDONESIA 2013 1
SUBURBANISASI, ALIH FUNGSI LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP LINGKUNGAN Studi Kasus: Di Wilayah Bodetabek, Indonesia Oleh: M.Ikhsany Rusyda, Sukadi, dan Reni Ardianti
TINJAUAN LITERATUR 1. Konsep Urbanisasi dan Suburbanisasi Urbanisasi merupakan suatu proses konsentrasi penduduk. Urbanisasi oleh sebagian orang dipahami sebatas migrasi penduduk dari daerah perdesaan ke perkotaan. Konsep urbanisasi yang sesungguhnya adalah persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Di samping persentase, urbanisasi juga bisa menggambarkan suatu proses peningkatan penduduk perkotaan secara total (Evers, 1975). Urbanisasi tidak hanya terkait dengan migrasi penduduk ke daerah perkotaan, akan tetapi juga mencakup pertumbuhan alami penduduk perkotaan dan pertambahan penduduk karena perubahan status atau reklasifikasi wilayah dari perdesaan ke perkotaan. Kingsley Davis menjelaskan urbanisasi sebagai suatu proses peralihan dari pola pemukiman penduduk yang tersebar menjadi pola pemukiman yang terkonsentrasi di pusat-pusat perkotaan (Manjunatha dan Kote, 2012). Urbanisasi sering dikaitkan dengan pendapatan perkapita suatu negara. Umumnya semakin maju suatu negara, yang diukur dengan pendapatan perkapitanya, maka semakin banyak penduduk yang tinggal di daerah perkotaan (Todaro dan Smith, 2006). Berdasarkan data urban map Unicef, pada tahun 2010, negara-negara berpendapatan perkapita tinggi seperti Amerika Serikat, Prancis, Spanyol dan Inggris memiliki persentase penduduk urban lebih dari 75 persen. Di wilayah Asia Tenggara, negara dengan persentase penduduk urban lebih dari 75 persen adalah Singapura dan Brunei Darussalam. Indonesia pada tahun 2010 memiliki tingkat urbanisasi sebesar 44 persen, cukup jauh dibawah Malaysia yang telah mencapai 72 persen. Mc Gee (2008) menyebutkan urbanisasi saat ini didorong tekanan globalisasi. Kebijakan urbanisasi di negara-negara Asia Tenggara sebagian besar didorong oleh asumsi untuk meningkatkan integrasi ke dalam perekonomian global yang diperlukan untuk kepentingan pembangunan. Oleh karena itu dirasa perlu untuk mendorong pertumbuhan pusat-pusat perkotaan untuk mendukung proses tersebut dengan tantangan terkait dengan lingkungan, kebutuhan akan energi, ketahanan pangan, ketimpangan regional dan masalah sosial ekonomi lainnya. Karena alasan ini, peneliti dan pembuat kebijakan di negara-negara 2
berkembang lebih menyukai strategi pembangunan yang menekankan pada pergeseran struktur perekonomian nasional ke arah kegiatan industri dan sektor jasa dan peningkatan integrasi ke dalam perekonomian global. Ada keyakinan yang kuat bahwa investasi di sektor industri dan jasa menciptakan keuntungan yang lebih tinggi daripada sektor pertanian. Selain itu urbanisasi dianggap sebagai bagian yang tidak terelakkan dari proses menciptakan sebuah negara modern. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat urbanisasi adalah migrasi penduduk dari perdesaan ke perkotaan atau disingkat migrasi desa-kota. Menurut Todaro, migrasi desa-kota didorong oleh berbagai pertimbangan ekonomi yang rasional dan yang langsung berkaitan dengan keuntungan atau manfaat dan biaya-biaya relatif migrasi itu sendiri. Migrasi desa-kota berlangsung sebagai tanggapan terhadap adanya perbedaan pendapatan antara kota dengan desa. Pendapatan yang dimaksud bukanlah penghasilan yang aktual melainkan penghasilan yang diharapkan (Todaro dan Smith, 2006). Dalil dasar dari model migrasi ini adalah bahwa para migran senantiasa mempertimbangkan dan membandingbandingkan berbagai pasar tenaga kerja yang tersedia bagi mereka di perdesaan dan perkotaan serta kemudian memilih salah satu di antaranya yang dapat memaksimumkan manfaat yang diharapkan dari migrasi. Dengan tingginya migrasi ke daerah perkotaan, ditambah dengan pertumbuhan alamiah penduduk perkotaan, menyebabkan kepadatan penduduk di daerah perkotaan semakin tinggi. Sejumlah kota yang menjadi tujuan utama para migran lambat laun akan membentuk mega urban atau kota metropolitan. Umumnya ibukota negara merupakan kota yang banyak menarik migran. Hal ini menyebabkan pertumbuhan penduduk di ibukota negara begitu pesat dan lahan-lahan semakin sempit karena banyak digunakan untuk membangun permukiman penduduk, pusat aktivitas ekonomi dan sebagainya. Sebagai contoh adalah yang terjadi di negara-negara Asia Tenggara. Di negaranegara Asia Tenggara terlihat adanya konsentrasi penduduk di kota-kota utama, yang umumnya ibu kota negara. Perbandingan jumlah penduduk antara kota utama dengan kota besar berikutnya di masing-masing negara terlihat cukup jauh. Bangkok memiliki jumlah penduduk 25 kali lebih tinggi daripada kota besar kedua di Thailand yaitu Chiengmai. Demikian juga terlihat perbandingan yang cukup mencolok antara Rangoon dan Mandalay, Manila dan Cebu, Jakarta dan Surabaya, serta Kuala Lumpur dan George Town. Tingginya konsentrasi penduduk di kota-kota utama di Asia Tenggara tergolong ekstrim jika 3
dibandingkan dengan beberapa kota di Eropa seperti Berlin dan Munich serta London dan Manchester (Evers, 1975). Sejumlah teori tentang struktur perkotaan menyebutkan tentang persaingan antara pengguna lahan dan aksesibilitas lahan. Orang lebih memilih tinggal di dekat pusat kota disebabkan oleh kemudahan akses untuk menjangkau seluruh wilayah kota terutama ke pusat-pusat kegiatan ekonomi dan jasa. Akibatnya terjadi persaingan untuk memperoleh lokasi tersebut karena dapat mengurangi biaya perjalanan untuk bekerja, berbelanja dan sebagainya (Winsborough, 1963). Lahan di dekat pusat kota umumnya mahal akan tetapi dengan tinggal di pusat kota akan menurunkan biaya perjalanan. Sebaliknya lokasi yang jauh dari pusat kota, harga lahan relatif lebih murah akan tetapi biaya perjalanan yang dikeluarkan menjadi lebih tinggi. Ketika lahan-lahan di pusat kota semakin terbatas, penduduk semakin padat, perlahan-lahan terjadi pergeseran pengembangan permukiman ke arah pinggiran perkotaan. Daerah suburban yang memiliki ruang yang relatif lebih terbuka, sedikit demi sedikit berkembang menjadi daerah pemukiman baru dan pengembangan pusat-pusat industri. Burian dan Voženílek (2012) serta Kok dan Kovacs (1998) menyebutkan teori Van den Berg mengenai perkembangan daerah urban dimana ada empat tahapan urbanisasi yaitu urbanisasi (pertumbuhan yang cepat di pusat kota karena percepatan industrialisasi), suburbanisasi (pertumbuhan di sekeliling perkotaan karena dominasi di sektor ekonomi jasa), deurbanisasi (pertumbuhan daerah perdesaan karena tingginya apresiasi terhadap lingkungan dan teknologi informasi yang baru) dan reurbanisasi (perpindahan “kembali ke kota” karena perubahan gaya hidup). Tahapan-tahapan ini ditandai dengan perubahan proporsi penduduk yang tinggal di kota dan pinggiran kota yang disebabkan oleh perbedaan arah pergerakan penduduk. Selama tahap pembangunan perkotaan, bersamaan dengan perubahan alokasi penduduk, ada perubahan dalam tata letak dan pemanfaatan ruang di dalam perkotaan. Van den Berg menggambarkan suburbanisasi sebagai tahap perkembangan kedua dari sebuah kota di mana penduduk bergerak menuju pinggiran kota. Proses ini menuntut tersedianya ruang yang lebih besar di pinggiran kota. Wilayah kota secara spasial mengalami penyebaran ke wilayah-wilayah sekitarnya. Terjadi perpindahan penduduk dari pusat kota ke wilayah pinggiran kota. Perpindahan penduduk ini sangat dipengaruhi oleh standar pembangunan perumahan dan sarana lalu lintas (Burian dan Voženílek, 2012). 4
Suburbanisasi diartikan sebagai proses terbentuknya permukiman-permukiman baru dan juga kawasan-kawasan industri di pinggiran wilayah perkotaan terutama sebagai akibat perpindahan penduduk kota yang membutuhkan tempat bermukim dan untuk kegiatan industri (Rustiadi dan Panuju, 1999) atau penyebaran penduduk dan pekerjaan ke wilayah pinggiran kota (Kopecky dan Suen, 2004). Terbentuknya kawasan-kawasan industri akan diikuti oleh pergerakan tenaga kerja ke daerah-daerah suburban. Ouředníček et al. (dalam Burian dan Voženílek, 2012) menyebutkan ada dua bentuk suburbanisasi yang biasanya dibedakan dari sisi perumahan dan komersial. Yang pertama menjelaskan pemusatan yang terjadi di pinggiran kota dengan dengan pembangunan perumahan-perumahan (pembangunan kota-kota satelit). Suburbanisasi secara komersial mencakup pertumbuhan pusat perdagangan, manufaktur, gudang dan kegiatan logistik. Proses suburbanisasi menimbulkan perpindahan kegiatan industri ke daerah-daerah pinggiran dan menciptakan wilayah pemukiman yang lebih menarik. Ditambah dengan dibangunnya infrastruktur jalan yang baru dan aksesibilitas dari pusat kota ke pinggiran kota lebih ditingkatkan. Bersamaan dengan itu terjadi peningkatan mobilitas tenaga kerja dan individu yang bepergian ulang-alik ke pusat kota. Sebagai gambaran proses suburbanisasi adalah proses suburbanisasi yang terjadi di China sebagaimana dijelaskan oleh Feng et.al (2008). Penelitian tentang suburbanisasi di China dikembangkan sebelumnya menekankan sisi pasif suburbanisasi. Namun, kekuatan pendorong telah berubah sejak tahun 1990. Kekuatan baru pertama adalah relokasi pemukiman secara aktif dalam proses suburbanisasi. Pada 1980-an, rumah tangga tidak bisa membuat keputusan relokasi. Mereka direlokasi oleh pemerintah melalui pembaruan daerah perkotaan tua. Pada 1990-an, semakin banyak rumah tangga pindah keluar dari pusat kota ke pinggiran kota, sebagian karena harga rumah meningkat pada pusat kota dan sebagian lagi karena lingkungan yang lebih hijau di pinggiran kota. Kedua, karena persoalan lahan, perusahaan industri memutuskan untuk pindah sehingga dapat memperoleh uang tambahan dari penjualan lahan dan lebih banyak ruang di pinggiran kota untuk kegiatan produksi. Banyak perusahaan bersedia untuk direlokasi atau bahkan mencari lokasi sendiri. Hal ini sangat berbeda dari sebelumnya dimana pemerintah yang menentukan relokasi pabrik. Ketiga, suburbanisasi komersial, terutama disebabkan oleh pembangunan pusat perbelanjaan besar di pinggiran kota, telah menggeser pola konsumsi ke arah pinggiran kota. Dengan pembangunan jalan lingkar dan jalan cepat, aksesibilitas pinggiran kota 5
meningkat. Tren baru suburbanisasi termasuk penggerak kekuatan sosial sebagaimana kekuatan ekonomi. Relokasi aktif yang berorientasi pasar berhubungan dengan polarisasi sosial di kota dan perubahan preferensi tempat tinggal dari sejumlah penduduk. Adanya perkataan yang populer di masa lalu, "tidur di pusat kota lebih disukai daripada di sebuah rumah di pinggiran kota", menunjukkan bahwa banyak penduduk yang tidak bersedia untuk pindah dari pusat kota karena kurangnya fasilitas dasar di pinggiran kota. Namun, pinggiran kota telah berubah sejak tahun 1990. Rumah tangga mulai mencari lingkungan yang lebih baik dan gaya hidup dengan kendaraan pribadi, sedangkan rumah tangga berpendapatan rendah harus membeli perumahan yang terjangkau di pinggiran kota karena harganya yang lebih murah (Feng Jen et.al, 2008). Berikut ini adalah gambar yang menunjukkan proses suburbanisasi yang terjadi di China.
Gambar 1. Model Proses Suburbanisasi di China sejak Tahun 1990an.
Ada sejumlah faktor determinan yang mendorong terjadinya suburbanisasi. Naude (2010) mengemukakan bahwa pendapatan perkapita penduduk berbanding terbalik dengan 6
kepadatan penduduk dimana jika pendapatan per kapita penduduk meningkat, maka kepadatan penduduk di pusat kota berkurang. Berkurangnya kepadatan penduduk diantaranya disebabkan terjadinya perpindahan penduduk ke pinggiran kota. Bayoh et.al (2002) mengklasifikasikan penyebab suburbanisasi di kota-kota besar menjadi: (1) faktor karakteristik rumah tangga individu yang menyebabkan migrasi keluar, misalnya perubahan pendapatan dan struktur keluarga, dan (2) faktor yang terkait dengan kota-kota dan pinggiran kota yang mendorong rumah tangga keluar dari kota dan menarik mereka ke pinggiran kota, misalnya tingkat kejahatan yang lebih tinggi dan kualitas sekolah yang lebih rendah cenderung mendorong penduduk untuk keluar dari kota-kota utama, sementara lingkungan lebih homogen, ketersediaan layanan yang lebih baik, dan tersedianya perumahan-perumahan baru cenderung akan menarik penduduk ke wilayah pinggiran kota atau suburban. Infrastruktur jalan yang semakin baik, dana alat transportasi umum yang memadai sebagai penghubung antara pusat kota dan wilayah pinggiran kota juga ikut mendorong percepatan suburbanisasi. Sebagai contoh adalah proses suburbanisasi yang terjadi di Jakarta. Wilayah-wilayah di sekitar Jakarta seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Di wilayah-wilayah tersebut banyak dibangun permukiman-permukiman baru serta pusat-pusat industri. Selain itu juga didukung oleh infrastruktur jalan yang memadai dan tersedianya alat transportasi umum yang cepat (rapid mass transportation) yang menghubungkan wilayah-wilayah tersebut ke pusat Kota Jakarta. Proses suburbanisasi yang terjadi di wilayah sekitar Jakarta melalui beberapa tahapan. Dalam penelitiannya mengenai distribusi spasial penduduk yang terkait dengan proses suburbanisasi, dengan studi kasus di Kabupaten Bekasi, Rustiadi et.al (1999) mengemukakan bahwa ada tiga tahapan dalam proses suburbanisasi di Kabupaten Bekasi: (1) pra-suburbanisasi (hingga tahun 1970), (2) suburbanisasi tahap pertama (awal 1980-an), dan (3) suburbanisasi tahap kedua (mulai 1990-an). Tahap pra-suburbanisasi di Kabupaten Bekasi dicirikan dengan rendahnya tingkat kepadatan penduduk dan rendahnya produktifitas lahan sawah dan pertanian pada umumnya. Sementara itu kota Jakarta merupakan daerah tujuan migrasi yang utama. Wilayah Bekasi dan wilayah Jawa Barat masih di sekeliling Kota Jakarta merupakan sumber asal in-migran yang utama. Rendahnya produktifitas lahan pertanian mendorong masyarakat desa di sekeliling kota Jakarta, untuk bermigrasi ke kota, khususnya kota 7
Jakarta. Kebijakan “kota tertutup” merupakan salah satu pemicu terbentuknya perkampungan-perkampungan padat di sekeliling kota Jakarta di tahun 1970-an. Tumbuhnya perumahan kampung-kampung baru yang di sekeliling Jakarta merupakan ciri utama suburbanisasi pada proses suburbanisasi tahap pertama. Periode ini juga dicirikan dengan meningkatnya produktivitas dan luasan lahan sawah di wilayah Bekasi, khususnya sebagai akibat program pembangunan pertanian melalui perluasan sistim irigasi teknis dan introduksi berbagai teknologi pertanian intesif. Wilayah-wilayah yang berbatasan dan berdekatan dengan Kota Jakarta mengalami proses pertambahan penduduk yang paling pesat seiring dengan banyaknya penduduk asal Jakarta yang mencari lahan yang lebih murah untuk perumahan. Adapun suburbanisasi tahap kedua dicirikan dengan semakin menurunnya luasan lahan sawah seiring dengan semakin pesatnya pertambahan jumlah penduduk dan meluasnya lahan urban khususnya perumahan berareal luas tipe real-estate dan areal industri (Rustiadi et.al, 1999). 2.
Teori Perkotaan dan Suburbanisasi Pertama, teori Urban Life Cycle oleh Van Den Berg. Teori ini mengatakan bahwa ada
empat tahapan urbanisasi yaitu urbanisasi, suburbanisasi, deurbanisasi dan reurbanisasi (Burian dan Voženílek, 2012). Van Den Berg membangun kerangka teorinya dari tingkat mikro melalui analisis fungsi perilaku individu perkotaan. Van den Berg berasumsi bahwa pelaku perkotaan bertujuan untuk memaksimalkan kesejahteraan mereka (bukan utilitas atau kekayaan). Daya tarik lokasi perumahan atau lokasi bisnis tergantung pada ukuran dan kualitas dari unsur-unsur kesejahteraan yang ditawarkan. Faktor-faktor tersebut menunjukkan fakta bahwa orang tidak selalu bergantung pada unsur kesejahteraan lokal saja. Tersedianya unsur kesejahteraan di lokasi yang sesuai secara keseluruhan dan relevan mempengaruhi perilaku spasial mereka. Bagi penduduk, unsur kesejahteraan meliputi faktor-faktor yang terkait dengan rumah dan lingkungan langsung, akses terhadap pekerjaan dan akses ke fasilitas. Bagi perusahaan, faktor-faktor tersebut seperti lokasi yang potensial, potensi pasar tenaga kerja, potensi input dan pasar-potensial. Singkatnya, perubahan dalam perilaku para aktor urban menyebabkan terjadinya perubahan perkotaan. Dalam model Van den Berg, perubahan perilaku spasial pelaku perkotaan disebabkan oleh perkembangan (ekonomi, sosial, politik, teknologi, demografi) yang mendasar, yang mempengaruhi mobilitas, preferensi dan tingkat aspirasi para pelaku (Braun, 2008).
8
Kedua, teori mengenai permintaan akan lahan yang di kemukakan oleh Robert Margo berdasarkan proses suburbanisasi pasca perang di Amerika Serikat (Glaisser dan Kahn, 2003). Margo berpendapat bahwa pendapatan meningkat selama 50 tahun terakhir telah meningkatkan permintaan akan lahan dan bahwa peningkatan suburbanisasi antara tahun 1950 dan 1980 dapat dijelaskan oleh orang-orang yang semakin kaya. Metodologi yang ia gunakan adalah untuk melihat hubungan antara pendapatan dan kehidupan di pinggiran kota pada tahun 1950 dan menunjukkan bahwa jika hubungan itu tetap konstan, peningkatan pendapatan akan mendorong sejumlah besar orang ke daerah-daerah pinggiran kota (Glaisser dan Kahn, 2003). Ini menunjukkan bahwa meningkatnya pendapatan merupakan faktor penting dalam mendorong suburbanisasi penduduk. Ketiga, teori Evolusi Alami (natural evolution theory) yang disukai oleh para ahli perkotaan dan ahli transportasi (Mieszkowski dan Mills, 1993). Ketika lapangan pekerjaan terkonsentrasi di pusat kota, di sekitar stasiun atau pelabuhan, pembangunan perumahan penduduk bergerak dari dalam kemudian semakin keluar. Untuk meminimalkan biaya perjalanan ke pusat kegiatan bisnis, pembangunan perumahan di pusat perkotaan dikembangkan lebih dahulu kemudian bergerak ke daerah suburban dengan membuka lahan-lahan baru. Sebagai perumahan baru di daerah suburban, mereka yang berpenghasilan tinggi mampu membeli rumah yang lebih besar dan lebih modern dan kemudian menetap di sana. Mayoritas golongan menengah pun lebih banyak memilih tinggal di daerah suburban daripada tinggal di pemukiman padat di pusat kota. Kecenderungan golongan menengah untuk tinggal di daerah suburban diperkuat oleh inovasi dalam transportasi dan pertimbangan waktu perjalanan. Ketika jalan raya, rel kereta api, dan kendaraan bermotor dikembangkan, hal ini menjadikan perjalanan menjadi lebih cepat. Peningkatan pendapatan riil masyarakat meningkatkan kemampuan untuk menggunakan moda transportasi yang lebih cepat. Akses ke daerah pinggiran kota atau suburban menjadi lebih mudah. Hal ini mendorong berkembangnya pemukimanpemukiman di daerah suburban yang kemudian diikuti dengan desentralisasi lapangan kerja dimana perusahaan-perusahan mengikuti pergerakan penduduk ke daerah pinggiran dengan mendirikan pabrik dan sebagainya. Perusahaan dapat mengambil keuntungan berupa upah yang lebih rendah di daerah suburban dan harga sewa lahan yang lebih murah. Teori natural evolution menekankan pada jarak dari tempat tinggal ke pusat kerja, efek pendapatan riil yang meningkat dari waktu ke waktu, permintaan perumahan dan 9
lahan baru, serta persediaan perumahan yang beragam. Pertimbangan penting lainnya dalam teori ini adalah biaya transportasi, inovasi transportasi dalam perkotaan dan perubahan waktu sebagai perbandingan keuntungan dari berbagai kelompok pendapatan dalam bepergian jarak jauh untuk bekerja. Keempat, teori flight from blight. Teori ini menekankan pada permasalahan fiskal dan permasalahan sosial di kota-kota utama, seperti pajak yang tinggi, rendahnya kualitas sekolah negeri dan pelayanan pemerintah lainnya, ketegangan rasial, kejahatan, kemacetan dan kualitas lingkungan yang rendah. Masalah-masalah ini menyebabkan penduduk mampu di kota utama bermigrasi ke pinggiran kota. Mereka yang pindah ke pinggiran kota berusaha untuk membentuk komunitas yang homogen, karena beberapa alasan. Ada preferensi untuk berada di antara individu dengan penghasilan, pendidikan, ras, dan etnis tertentu. Pembentukan masyarakat homogen juga dimotivasi oleh berbagai tuntutan terhadap barang-barang lokal, yang disebabkan oleh perbedaan pendapatan dan selera (Mieszkowski dan Mills, 1993). Model yang dibangun dari teori ini terfokus pada migrasi-etnis minoritas dan kelompok berpenghasilan rendah ke kota-kota utama, dan penurunan kumulatif di kota utama sebagai kekuatan pendorong dari suburbanisasi (Byun dan Esparza, 2005). Meningkatnya jumlah minoritas berpenghasilan rendah dan etnis di kota-kota utama setelah Perang Dunia II memperdalam beban pajak kelas menengah, meningkatnya masalah sosial dan diperburuk oleh ketegangan etnis (Mieszkowski dan Mills 1993). Akibatnya terjadi relokasi kelas menengah dan bisnis ke daerah pinggiran kota. Karena tren suburbanisasi ini, pendapatan pajak dari pemerintah pusat kota menjadi berkurang. Penurunan jumlah pendapatan pajak mengakibatkan menurunnya kualitas pelayanan publik dan infrastruktur, dan meningkatkan beban pajak untuk penduduk pusat kota. Secara khusus, layanan di kota utama menurun serta lingkungan memburuk yang dirasakan oleh warga kelas menengah terutama yang memiliki rumah. Pemilik rumah cenderung sensitif terhadap perubahan negatif dalam lingkungan yang dapat mengancam nilai rumah mereka. Akibat dikelilingi oleh penurunan yang terjadi di pusat kota, kelas menengah tertarik (flight from blight) ke masyarakat pinggiran kota (suburban). Sesampai di sana, mereka membentuk komunitas mereka sendiri yang didasarkan pada homogenitas sosial dan relatif bebas dari beban pajak yang berat.
10
Kelima, teori market failure. Teori ini menjelaskan mengenai kegagalan pasar yang mendorong penyebaran penduduk ke wilayah suburban. Kegagalan pasar mencakup tiga hal yaitu pengabaian terhadap nilai sosial dari ruang terbuka, pengabaian biaya sosial dari penggunaan kendaraan bermotor dan kegagalan dalam penghitungan biaya rata-rata dari infrastruktur milik umum (Byun dan Esparza, 2005). Berdasarkan nilai sosial lahan pertanian atau pedesaan di wilayah pinggiran perkotaan serta rata-rata biaya infrastruktur publik maka dimungkinkan untuk menurunkan biaya pembangunan di pinggiran kota. Selain, biaya sosial sebagai efek eksternalisasi kendaraan bermotor juga memberikan kontribusi untuk membuat hidup di pinggiran kota relatif murah. Alasan ini mendorong penyebaran penduduk ke daerah pinggiran kota (suburban).
Gambar 2. Teori Natural Evolution, Flight from Blight dan Market Failures
3.
Suburbanisasi dan Alih Fungsi Lahan Semakin padatnya penduduk perkotaan menyebabkan ruang lahan yang tersedia
semakin sempit sehingga mendorong pengembangan wilayah perkotaan bergerak ke arah pinggiran kota yang memiliki ruang lahan lebih luas. Karena keterbatasan lahan di kota menyebabkan peningkatan pembangunan perumahan di daerah suburban untuk menyediakan kebutuhan akan perumahan. Di samping pengembangan wilayah pemukiman 11
penduduk, wilayah suburban juga menjadi sasaran pengembangan kawasan industri melalui pembangunan pabrik-pabrik, sehingga mendorong perpindahan tenaga kerja di perkotaan ke wilayah-wilayah suburban. Dengan dukungan sarana dan prasarana transportasi yang memadai seperti jalan raya, rel kereta api, kendaraan umum dan lain sebagainya, akan memberikan kemudahan bagi penduduk yang tinggal di daerah suburban dan juga pelaku usaha untuk mengakses pusat kota yang merupakan pusat aktivitas ekonomi. Pengembangan pemukiman penduduk dan kawasan industri di wilayah-wilayah suburban menyebabkan semakin banyak lahan di wilayah suburban yang mengalami alih fungsi baik itu lahan produktif, tidak produktif atau bahkan kawasan hutan. Hal ini tidak dapat dihindari mengingat kebutuhan akan lahan semakin tinggi disebabkan semakin terbatasnya lahan-lahan di kota utama yang memicu tingginya harga lahan di kota utama. Wilayah suburban menyediakan ruang lahan yang lebih luas dengan harga yang relatif lebih murah jika dibandingkan dengan kota utama atau kota-kota di sekitarnya. Permintaan yang tinggi akan lahan di pinggiran mendorong kebijakan terkait dengan alih fungsi lahan di daerah suburban. Peran pemerintah merupakan faktor kunci dalam pengaturan alih fungsi lahan (Wasilewski dan Krukowski, 2002). Meskipun di satu sisi, alih fungsi lahan mendorong berkembang sektor usaha baru yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah suburban, akan tetapi tetap harus mempertimbangkan dampak negatif yang mungkin dihasilkan oleh proses konversi tersebut. Dalam pelaksanaannya, pengembangan pemukiman dan kawasan industri tidak sedikit yang menyasar lahan-lahan produktif di daerah suburban terutama lahan pertanian. Hal ini didukung oleh umumnya lokasi lahan-lahan pertanian produktif berada di kawasan dengan akses jalan yang lebih baik. Semakin banyaknya lahan pertanian yang mengalami alih fungsi akan menyebabkan penurunan produktifitas pertanian di daerah suburban. Selain lahan pertanian, kawasan hutan juga tidak menjadi sasaran pengembangan perumahan dan kawasan industri sebagai akibat semakin tingginya suburbanisasi. Akibatnya wilayah-wilayah resapan air berkurang dan juga mengakibatkan menurunnya kualitas tanah. Sebagai contoh adalah Kabupaten Bekasi pada tahun 1990-an. Rustiadi et.al (1999) menyebutkan bahwa pada tahap kedua suburbanisasi di wilayah Kabupaten Bekasi, terjadi penurunan luasan lahan sawah seiring dengan semakin pesatnya pertambahan jumlah penduduk dan meluasnya lahan urban khususnya perumahan berareal luas tipe real-estate dan areal industri. Dengan semakin banyaknya lahan produktif yang mengalami konversi 12
menjadi permukiman dan areal industri seakan-akan menjadi kontraproduktif dengan upaya mempertahankan sentra-sentra produksi beras (Rustiadi dan Panuju, 2002). Sitorus (2004) menyebutkan bahwa antara tahun 1992 hingga 2000, wilayah Bekasi mengalami perkembangan areal urban sebesar 23.274 hektar, lebih tinggi jika dibandingkan dengan wilayah Bogor dan Tangerang. Sitorus (2004) juga menyebutkan bahwa sebagian besar lahan yang mengalami konversi adalah lahan pertanian dimana di Bekasi mencapai 54,7 persen. Hasil penelitian Domiri (2003) di Kabupaten Bekasi bahwa antara tahun 1996 – 2000 telah terjadi konversi lahan sawah di Kecamatan Cibitung dan Kecamatan Tambun menjadi permukiman dan industri. Konversi lahan sawah tersebut menyebabkan rasio luas lahan sawah terhadap luas total kecamatan pada tahun 2000 tersisa 34 persen di Kecamatan Cibitung dan 35 persen di Kecamatan Tambun. 4.
Dampak Suburbanisasi Terhadap Lingkungan Frumkin (2002) menjelaskan setidaknya ada beberapa aspek suburbanisasi yang
berdampak terhadap lingkungan seperti semakin tingginya intensitas penggunaan kendaraan bermotor dan alih fungsi lahan. Suburbanisasi sering dikaitkan dengan peningkatan intensitas penggunaan kendaraan bermotor yang berkontribusi dalam peningkatan polusi udara, dimana polusi udara dapat mengakibatkan kesakitan atau kematian. Daerah suburban yang sangat tergantung pada kendaraan bermotor, polusi udara bisa mecapai level yang berbahaya, sehingga penggunaan kendaraan bermotor menjadi faktor utama penyumbang emisi. Dengan tinggal di daerah suburban, maka waktu tempuh kendaraan mereka ke pusat kota menjadi lebih lama daripada mereka yang tinggal di pusat kota (Kahn, 2000) sehingga emisi gas kendaraan yang terbuang menjadi lebih banyak. Hal ini dapat dihindari dengan mengembangkan kendaraan yang rendah emisi dan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan. Di sisi lain, suburbanisasi juga bisa mengancam kuantitas dan kualitas persediaan air. Hutan yang tadinya menutupi kawasan akhirnya dialihfungsikan untuk dibangun perumahan dalam areal yang luas. Akibatnya, air hujan yang turun tidak terserap secara efektif dan langsung masuk ke tanah dan mengalir ke dataran yang lebih rendah. Kualitas air juga bisa tercemar oleh polusi yang diantaranya disebabkan limbah pabrik (yang dibangun di daerah suburban), sampah tanaman, dan yang sejenisnya. Selain itu, air bisa terkontaminasi oleh bahan-bahan kimia dari pupuk kimia, herbisida, insektisida, pestisida, minyak, oli, dan
13
sebagainya yang dibawa oleh air hujan masuk ke dalam tanah ataupun yang mengalir ke danau, sungai, daerah lembab dan ke pantai. Di daerah suburban, penebangan pohon untuk perumahan dan pembangunan konstruksi jalan raya menyebabkan suhu udara naik. Selain itu, jarak yang cukup jauh dengan pusat kota, membuat konsumsi bahan bakar meningkat yang mengakibatkan polusi udara dari gas karbondioksida meningkat yang berkontribusi dalam pemanasan global. Pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonomi yang cepat di daerah suburban menyebabkan peningkatan konsumsi lahan. Sebagai contoh adalah yang terjadi di daerahdaerah suburban di sekitar Jakarta, dimana terjadi perubahan fungsi lahah pertanian menjadi pemukiman penduduk, pabrik dan sebagainya. Dalam tiga dekade terakhir, lahan di pulau Jawa dalam jumlah yang cukup besar telah beralih fungsi untuk kepentingan industri dan wilayah pemukiman penduduk, terutama di wilayah Jakarta dan suburbannya (Rustiadi dan Panuju, 2002). Alih fungsi lahan perdesaan untuk perkotaan di wilayah suburban Jakarta terutama untuk lahan dan pengembangan sektor swasta yang dapat dibagi menjadi pengembangan formal dan informal. Pengembangan real estate mengambil bagian terbesar dalam pengembangan formal. Pengembangan informal yang tidak terdaftar dan di luar sistem tata guna lahan, mengambil tempat di sekitar kampung yang ada atau pemukiman perkotaan dan sepajang jalan umum. Suburbanisasi juga meningkatkan konsumsi akan energi. Hal yang paling menonjol yang berpengaruh besar terhadap konsumsi energi adalah pembangunan jalan raya yang menghubungkan daerah suburban sebagai sarana lalu-lintas bagi kendaraan bermotor. Struktur masyarakat yang luas di daerah suburban yang dihubungkan oleh jalan raya tersebut akan meningkatkan konsumsi energi (Lovaas, 2004). Akan tetapi dampak lingkungan yang disebabkan oleh peningkatan konsumsi energi ini tergantung pada teknologi yang digunakan. Sebagai contoh, jika rumah tangga menggunakan kendaraan dengan mesin yang lebih bersih atau yang mencapai beberapa mil lebih per galon, maka peningkatan tambahan jarak tempuh kendaraan tidak akan memiliki konsekuensi yang besar terhadap lingkungan. 5.
Hubungan Matematis Suburbanisasi dengan Aspek Lingkungan Suburbanisasi secara positif meningkatkan konsumsi sumber daya dalam ruang
lingkup rumah tangga. Di daerah pinggiran kota, harga lahan masih relatif murah. Hal ini
14
mendorong aktivitas ekonomi yang menyebar ke daerah pinggiran kota. Rumah tangga akan menggunakan lebih banyak sumber daya untuk bepergian untuk melakukan tugas seharihari dan membutuhkan lebih banyak perumahan daripada jika mereka tetap tinggal di kota. Kepadatan penduduk yang rendah di daerah pinggiran kota, dengan kondisi infrastruktur dan angkutan publik yang tidak sama seperti di kota, maka rumah tangga yang tinggal di daerah pinggiran kota harus menggunakan kendaraan pribadi untuk bepergian (Kahn, 2000). Secara matematis, Kahn (2000) menjelaskan hubungan antara konsumsi sumber daya dan suburbanisasi yang digambarkan melalui beberapa persamaan sebagai berikut: a.
Penggunaan Kendaraan miles = β * X + γ * Density + U
dimana : miles
: jarak (miles) yang telah ditempuh rumah tangga suburban dengan kendaraan
X
: matriks atribut rumah tangga
Density
: kepadatan suburban dimana rumah tangga tersebut tinggal
U
: error
Dalam mengestimasi persamaan di atas, rumah tangga diasumsikan memilih lokasi optimal (kepadatan penduduk) sebagai alasan selain konsumsi sumber daya. Hal ini masuk akal bahwa beberapa rumah tangga memilih lokasi pinggiran kota dengan kepadatan rendah dalam kaitannya dengan tingkat kejahatan yang lebih rendah, atau lokai sekolah yang lebih baik. Berdasarkan asumsi ini, metode kuadrat terkecil (OLS) menghasilkan estimasi yang konsisten tentang bagaimana suburbanisasi mempengaruhi rata-rata jarak yang mendorong rumah tangga untuk pindah. b. Konsumsi Lahan land consumption = β * X + γ * Suburb + U dimana land consumption merupakan ukuran luas unit atau ukuran luas rumah itu dalam persegi. Kaum suburban meningkatkan konsumsi lahan, dan sebaliknya menurunkan persentase lahan pertanian, sehingga dapat dituliskan dengan persamaan:
15
Δ farmland = c + β * Δ population + e Karena mereka yang “menyukai lahan” kemungkinan akan menduduki daerah pinggiran kota karena mereka dapat membeli tanah dengan harga yang lebih murah, rata-rata konsumsi lahan penduduk pinggiran kota mencerminkan batas atas seberapa banyak tanah yang akan dibeli oleh penduduk kota, jika mereka pindah ke pinggiran kota. c. Konsumsi Energi Rumah Tangga household energy consumption = β * X + γ * Suburb + U Household energy consumption menggambarkan konsumsi bahan bakar di rumah tangga, seperti konsumsi listrik, gas alam, LPG dan BBM. 6.
Penelitian Sebelumnya Pertama, penelitian (tesis) yang dilakukan oleh Jansen Sitorus (2004). Penelitian
tersebut bertujuan untuk melihat arah perkembangan penggunaan lahan urban Jabotabek dari tahun 1992 sampai 2000, keterkaitan spasial pola perkembangan penduduk dengan pola penggunaan lahan Jabotabek dalam kurun waktu 1992-2000 dengan menggunakan analisis pola spasial. Hasil penelitian mengungkap bahwa pertumbuhan penduduk di wilayah Jabotabek berdampak pada proses suburbanisasi yaitu terjadinya peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan lahan di pinggiran Jakarta. Perkembangan lahan urban Jabotabek dari tahun 1992 sampai dengan tahun 2000 mencapai sebesar 76.376 Ha, dimana bekasi 23.274 Ha, Tangerang 19.833 Ha, Jakarta 16.952 Ha dan Bogor sebesar 16.3168 Ha. Sebagian besar lahan yang terkonversi menjadi urban merupakan lahan pertanian terutama di wilayah Bekasi yang mencapai 54,7 persen. Sisanya adalah lahan non pertanian seperti hutan, belukar, semak, lahan rumput, alang-alang, lahan terbuka serta perairan. Dalam kurun waktu 1992-2000 terlihat adanya pola penurunan kepadatan penduduk di pusat kota dan semakin padat ke arah pinggiran. Terdapat pergeseran batas suburbanisasi yang diikuti dengan kenaikan kepadatan penduduk. Pekembangan lahan urban meningkat sangat pesat yang disebabkan oleh pengembangan pemukiman, infrastruktur kota, industri, jasa/perdagangan dan fasilitas umum lainnya. Berikut gambaran perbandingan kepadatan penduduk di wilayah Jabotabek antara tahun 1992 dan 2000 berdasarkan analisis spasial:
16
Gambar 3. Gradasi Kepadatan Penduduk Jabotabek (Atas: Tahun 1992, Bawah: Tahun 2000)
Kedua, studi yang dilakukan oleh Ernan Rustiadi, Kei Mizuno, dan Shintaro Kobayashi (1999). Rustiadi et.al. menggunakan metode analisis spasial untuk menggambarkan distribusi spasial penduduk dan pola penggunaan lahan yang terkait dengan proses 17
suburbanisasi. Penelitian tersebut menggunakan beberapa gambaran spasial yang bersifat kuantitatif terhadap wilayah suburban dengan menggunakan studi kasus di Kabupaten Bekasi. Dengan menggunakan analsis spasial, Rustiadi et.al. mengidentifikasi ada tiga tahapan suburbanisasi di Kabupaten Bekasi. Tahapan proses suburbanisasi di Kabupaten Bekasi, yaitu (1) pra-suburbanisasi (hingga tahun 1970), (2) suburbanisasi tahap pertama (awal 1980-an), dan (3) suburbanisasi tahap kedua (mulai 1990-an). Data statistik mengungkapkan pembangunan perkotaan di Kabupaten Bekasi sebagian besar sebagai akibat dari migrasi keluar dari Jakarta, pertama sekali melalui pengembangan “kampung”, tipe pemukiman yang terdekat dengan perbatasan Jakarta, kemudian melalui pembangunan pemukiman real estate dan industri. Ketiga, penelitian (tesis) oleh Goolda Ingot P. Siahaan (2012) yang bertujuan untuk menganalisis fenomena suburbanisasi terhadap PDRB Bekasi melalui faktor populasi suburban, tenaga kerja dan investasi di wilayah Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi. Siahaan (2012) memperoleh kesimpulan bahwa fenomena suburbanisasi berupa pertumbuhan populasi suburban, tenaga kerja dan investasi di wilayah suburban Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap fluktuasi dan pertumbuhan PDRB Bekasi selama periode tahun 1990-2010 (ceteris paribus). Namun secara independen, tenaga kerja tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap PDRB Bekasi. Dari ketiga faktor suburbanisasi yang diteliti, populasi suburban merupakan faktor yang paling signifikan mempengaruhi PDRB Bekasi. Selama dua dekade proses suburbanisasi telah menciptakan mobilitas orang dan barang dimana hal ini telah mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah penduduk suburban, peningkatan jumlah tenaga kerja, peningkatan kegiatan investasi serta berkembangnya kawasan pemukiman dan kawasan industri di wilayah Bekasi. Fenomena ini menunjukkan bahwa suburbanisasi di Bekasi terutama terjadi akibat adanya perpindahan penduduk, meluasnya kawasan pemukiman dan perkembangan industri di wilayah suburban Bekasi. Suburbanisasi selama dua dekade telah memberi dampak pada pembangunan di wilayah Bekasi. Beberapa contoh pembangunan fisik yang dilakukan di Bekasi, antara lain pembangunan berbagai jenis perumahan dan fasilitasnya oleh para pengembang, pembangunan infrastruktur jalan oleh pemerintah dan penyediaan sarana dan prasarana transportasi oleh pihak swasta dan pemerintah. Wilayah yang awalnya merupakan wilayah rural telah mengalami perubahan
18
menjadi suburban sedangkan wilayah yang tadinya merupakan wilayah suburban berubah menjadi urban. Keempat, penelitian (tesis) oleh Dede Dirgahayu Domiri (2003) dengan wilayah penelitian Kecamatan Cibitung dan Tambun, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan konsentrasi dan sebaran spasial lahan sawah yang terkonversi, mengetahui variabilitas konversi lahan, mengevaluasi konversi lahan sawah, dan menentukan lokasi-lokasi yang dapat dikonversi dan yang tetap dipertahankan sebagai lahan sawah. Dari hasil penelitiannya diperoleh temuan-temuan yaitu telah terjadi konversi lahan sawah di Kecamatan Cibitung seluas 105,2 Ha menjadi permukiman dan 154,6 Ha menjadi industri. Demikian juga di Kecamatan Tambun dimana lahan sawah telah terkonversi menjadi permukiman seluas 486,1 Ha dan industri seluas 87,9 Ha. Konversi lahan sawah tersebut menyebabkan rasio luas lahan sawah terhadap luas total kecamatan pada tahun 2000 tersisa 34 persen di Kecamatan Cibitung dan 35 persen di Kecamatan Tambun. Lahan sawah yang mengalami konversi adalah lahan sawah yang secara potensial memiliki kualitas lahan yang baik. Domiri (2003) juga merekomendasikan lahan-lahan yang yang dapat dikonversi untuk pengembangan kawasan permukiman dan industri maupun yang seharusnya tetap dipertahankan sebagai lahan pertanian, khususnya lahan sawah.
19
Daftar Pustaka
Bayoh, Isaac, Elena G. Irwin, and Timothy Haab. 2002. Flight from Blight vs. Natural Evolution: Determinants of Household Residential Location Choice and Suburbanization. Paper prepared for the 2002 American Agricultural Economics Association Meeting Long Beach, CA, July 28-31, 2002 Braun, Erik. 2008. City Marketing Towards an integrated approach Erasmus Research. Institute of Management (ERIM), Erasmus University Rotterdam Burian, Jaroslav and Vít Voženílek. 2012. Identification and Analysis of Urbanization and Suburbanization in Olomouc Region - Possibilities of GIS Analytical Tools, Advances in Spatial Planning, Dr Jaroslav Burian (Ed.). In Tech Byun, Pillsung and Adrian X. Esparza. 2005. A Revisionist Model of Suburbanization and Sprawl The Role of Political Fragmentation, Growth Control, and Spillovers. Journal of Planning Education and Research 24:252—264. Domiri, Dede Dirgahayu. 2003. Evaluasi Konversi Lahan Sawah dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografi di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Tesis. Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor Evers, Hans-Dieter. 1975. Urbanization and Urban Conflict in South East Asia. Asian Survey, Volume 15, Issue 9 (Sept. 1975), 775-785 Feng, Jen et.al. 2008. New trends of suburbanization in Beijing since 1990: from governmentled to market-oriented. Regional Studies 42, 01 (2008) 83-99 Frumkin, Howard. 2002. Urban Sprawl and Public Health. Public Health Report, May-June 2002, Volume 117: 201-217 Glaeser, Edward L. and Matthew E. Kahn. 2003. Sprawl and Urban Growth. Harvard University Cambridge, Massachusetts Kahn, Matthew E. 2000 The Environmental Impact of Suburbanization. Journal of Policy Analysis and Management, Vol. 19, No. 4, 569–586 (2000) Karen A. Kopecky and Richard M. H. Suen. 2009. A Quantitative Analysis of Suburbanization and the Diffusion of the Automobile. MPRA Paper No. 13258, posted 9. February 2009 Kok, Herman and Zoltfin Kovfics. 1998. The Process Of Suburbanization In The Agglomeration Of Budapest [Paper First Received, September 1998; In Final Form, October 1998] Lovaas, Deron. 2004. Suburbanization and Energy. Encyclopedia of Energy, Vol. 5. : 765-776 Manjunatha S dan Anilkumar B. Kote. 2012. Urbanization And Its Impacts On The Sub-Urbs Of Bangalore City. Int J Cur Res Rev, Nov 2012 / Vol 04
20
Mc Gee, TG. 2008. “Revisiting The Urban Fringe: Reassessing The Challenges Of The MegaUrbanization Process In Southeast Asia” In Trends Of Urbanization And Suburbanization In Southeast Asia Edited By Tôn Nữ Quỳnh Trân Et.Al. Ho Chi Minh City: General Publishing House Mieszkowski, Peter and Edwis S. Mills. 1993. The Cause of Metropolitas Suburbanization. Journal of Economic Perspectives, Volume 7 Number 3, Summer 1993: 135-147 Naudé, Wim. 2010. Suburbanization and Residential Desegregation in South Africa’s Cities. Working Paper No. 2010/24, March 2010. Unu-Wider Rustiadi, Ernan, Kei Mizuno and Shintaro Kobayashi. 1999. Measuring Spatial Pattern of The Suburbanization Process: A Case study of Bekasi District Indonesia. Journal of Rural Planning Association Vol. 18 No. 1:31-42 Rustiadi, Ernan and Dyah Retno Panuju. 2002. “Spatial Pattern of Suburbanization and Land Use Change Process: Case Study in Jakarta Suburb” in Land Use Changes in Comparative Perspective edited by Himiyama et.al. USA: Science Publisher Inc. Siahaan, Goolda Ingot P. 2012. Analisis Pengaruh Fenomena Suburbanisasi Terhadap PDRB Bekasi. Tesis. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Sitorus, Jansen. 2004. Analisis Pola Spasial Penggunaan Lahan dan Suburbanisasi di Kawasan Jabotabek Periode 1992-2000. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Todaro, Michael P. dan Stephen C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi Edisi Kesembilan. Diterjemahkan oleh Drs Haris Munandar, MA dan Puji AL, SE dari Buku Economic Development Ninth Edition. Jakarta: Erlangga Wasilewski, Adam and Krzysztof Krukowski. 2002. Land Conversion for Suburban Housing : a Study of Urbanization Around Warsaw and Olsztyn, Poland. CEESA discussion paper/ Humboldt-Universität Berlin, Department of Agricultural Economics and Social Sciences, No. 8, http://hdl.handle.net/10419/22290 Winsborough, Hal H. 1963. An Ecological Approach To The Theory Of Suburbanization. American Journal Of Sociology, Vol. 68, No. 5 (Mar., 1963), Pp. 565-570 http://www.unicef.org/sowc2012/urbanmap/
21