16 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Migrasi di Indonesia 2.1.1. Migrasi Internal Migrasi internal merupakan mobilitas penduduk dari satu wilayah ke wilayah lain dalam satu negara. Migrasi internal yang terjadi di Indonesia terdiri dari transmigrasi dan urbanisasi. Transmigrasi merupakan perpindahan penduduk dari satu pulau ke pulau lainnya di Indonesia. Dalam analisis ini transmigrasi merupakan perpindahan penduduk dari pulau Jawa ke pulau-pulau lainnya di Indonesia. Sebaliknya urbanisasi yang merupakan perpindahan penduduk dari desa ke kota, umumnya terjadi pada penduduk pulau lain yang ingin memperoleh pekerjaan yang lebih baik di pulau Jawa. Migrasi penduduk antar propinsi dan migrasi desa-kota memperlihatkan pola yang sangat sentris ke Pulau Jawa. Pola ini mencerminkan suatu disparitas wilayah, yang merupakan perwujudan kebijakan pembangunan dengan orientasi pada pertumbuhan ekonomi, khususnya industri dan jasa yang umumnya berlokasi di kota-kota besar dan di Pulau Jawa. Dengan kondisi seperti itu aliran penduduk ke kota-kota besar tidak akan dapat dihambat, meskipun dengan tindakan menahan pendatang untuk masuk ke daerah tersebut. Perubahan pola mobilitas pada masa yang akan datang sangat tergantung pada perkembangan wilayah di luar Jawa. Jika wilayah-wilayah tersebut dapat mengembangkan kewenangan (otonomi) yang lebih luas bagi pembangunannya sendiri, maka diharapkan pada masa yang akan datang dapat menjadi penarik bagi mobilitas penduduk. Wilayah yang kaya akan sumberdaya alam, seperti Riau, Kalimantan Timur dan Papua diharapkan dapat menyeimbangkan mobilitas penduduk yang selama ini sangat terpusat pada kota-kota besar di Pulau Jawa.
17 Tapi kondisi ini tidak dapat terjadi secara otomatis, namun tergantung pada keberhasilan pengembangan wilayah dan kota (permukiman). Dengan demikian untuk pencapaian mobilitas penduduk yang lebih seimbang, agendanya akan sangat melekat pada program pengembangan wilayah dan perkotaan, khususnya di luar Jawa. Transmigrasi merupakan salah satu unsur utama rencana pembangunan Indonesia. Tujuan sosial transmigrasi adalah menolong rakyat Indonesia yang termiskin, yaitu petani tanpa lahan, penganggur di kota dan gelandangan. Transmigrasi bertujuan pula untuk membangun daerah luar Jawa, dengan memanfaatkan lahan-lahan luas yang belum diolah, mengubah tanah yang belum digarap menjadi tanah yang lebih produktif (Levang, 2003). Program transmigrasi telah dimulai sejak Indonesia masih dibawah pemerintahan kolonial Belanda yaitu pada Fase Percobaan (1905-1931). Pada masa ini dalam setiap proyek, pemerintah Belanda membangun kelompok inti yang terdiri atas 500 kepala keluarga.
Keluarga-keluarga tersebut mendapat
jaminan selama satu tahun pertama. Setiap keluarga juga diberi subsidi yang mendorong mereka mendatangkan sanak keluarganya, sehingga memicu migrasi spontan (Levang, 2003). Fase Transmigrasi Kedua (1931-1941). Tahun 1931 terjadi krisis pada sektor perkebunan besar yang mengakibatkan ribuan buruh Jawa diberhentikan dari pekerjaannya. Tahun 1905-1941, pemerintah Belanda secara keseluruhan memindahkan sekitar 200 ribu jiwa dari Jawa ke luar Jawa. Fase Pemecahan Masalah Pascaperang. Pada fase ini pemimpin Republik Indonesia tetap menerapkan cara dan pola yang sama seperti yang dilakukan oleh pemerintah Belanda. Tetapi tahun 1947 istilah kolonisasi diganti menjadi
18 transmigrasi dibawah Departemen Tenaga Kerja dan Sosial. Tahun 1948 urusan transmigrasi dipindahkan dibawah Depertemen Dalam Negeri. Kondisi ini terus berlangsung, dan tahun 1983 transmigrasi sepenuhnya dibawah Departemen Transmigrasi. Pelita III dan IV merupakan masa target. Pada Pelita III (1979-1984), pemerintah memutuskan untuk membagi tugas kepada departemen-departemen terkait. Departemen pekerjaan umum bertugas mempersiapkan lokasi, departemen transmigrasi bertugas merekrut, memindahkan, dan membina para transmigran. Departemen pertanian mengurus masalah pertanian, departemen agama mengurus masalah tempat ibadah dan departemen kesehatan mengurus masalah puskesmas. Untuk memecahkan masalah koordinasi antar dinas dari departemen-departemen tersebut, maka pemerintah menciptakan instansi baru yang dinamakan Badan Koordinasi Transmigrasi (Bakortrans). Pada Pelita IV (1984-1989), pemerintah memindahkan 750 ribu kepala keluarga. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan, karena lama kelamaan penduduk asli menjadi minoritas di daerahnya sendiri (Levang, 2003). Pada Pelita V kebijaksanaan penyelenggaraan transmigrasi ditangani oleh satu departemen yaitu departemen transmigrasi.
Pola usaha pertanian tetap
dilanjutkan, tetapi lebih ditingkatkan pada pola-pola perkebunan, perikanan, dan perindustrian.
Pada Pelita VI, kebijaksanaan pembangunan transmigrasi
diarahkan pada kawasan Indonesia Timur, mendukung pembangunan wilayah, penanggulangan kemiskinan dan menggalakkan Transmigrasi Swakarsa Mandiri. Tahun 2001 pada periode Kabinet Gotong Royong, penyelenggara transmigrasi dilaksanakan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans).
Penyelenggaraannya diarahkan pada penanganan pengungsi
19 sesuai kondisi politik saat itu.
Pada era otonomi daerah pemerintah pusat
berperan sebagai regulator, fasilitator dan mediator. Transmigrasi diposisikan pada program masyarakat bersama antara dua pemerintahan setempat, dan bukan pemerintahan pusat. Transmigrasi dilaksanakan melalui mekanisme kerjasama antar daerah otonom (Pusdatintrans, 2004).
2.1.2. Migrasi Internasional Migrasi merupakan fenomena yang telah berlangsung mengikuti perjalanan peradaban manusia. Perpindahan penduduk dari negara asal ke luar batas negaranya makin sering terjadi di hampir seluruh belahan dunia, dengan jumlah yang terus meningkat dan alasan yang beragam. Alasan yang mendasari migrasi tersebut adalah alasan ekonomi, situasi politik di dalam negeri yang tidak menentu sampai terjadinya bencana alam. Migrasi tenaga kerja merupakan bagian dari proses migrasi internasional. Pada awalnya, migrasi tenaga kerja ini terjadi untuk memenuhi kekurangan tenaga kerja jangka pendek (short-terms labor shortages), seperti yang terjadi di Amerika Serikat tahun 1950-an, dengan mendatangkan pekerja-pekerja asal Meksiko.
Pertumbuhan penduduk yang
lambat dikombinasikan dengan kondisi perekonomian yang cukup baik di kawasan Eropa Utara dan Eropa Barat pada tahun 1960 sampai pertengahan tahun 1970 juga membuka peluang bagi masuknya pekerja asing (Weeks, 1974). Hingga akhir dekade 80-an, masalah-masalah migrasi tenaga kerja masih dipandang dalam perspektif ekonomi-politik.
Perspektif ini memandang
terjadinya migrasi internasional difokuskan pada ketidaksamaan tingkat upah yang terjadi secara global, hubungan ekonomi dengan negara penerimanya, termasuk juga masalah perpindahan modal, peran yang dimainkan oleh
20 perusahaan multinasional, serta perubahan struktural dalam pasar kerja yang berkaitan dengan perubahan dalam pembagian kerja di tingkat internasional (international division of labour). Perpindahan penduduk dari negara pengirim (sending country) ke negara penerima tenaga kerja migran (receiving country) akan membuat negara pengirim mendapat keuntungan remittance, sedangkan negara penerima akan mendapat keuntungan pasokan tenaga kerja murah (Mulyadi, 2003). Indonesia merupakan salah satu negara dengan angka pengangguran yang cukup tinggi. Kondisi ini disebabkan oleh jumlah angkatan kerja yang terus meningkat, sebaliknya kesempatan kerja semakin menurun, sehingga mendorong masyarakat untuk migrasi ke tempat bahkan ke negara lain untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi. Pengiriman tenaga kerja migran Indonesia (TKI) ke luar negeri secara resmi telah diprogramkan oleh pemerintah sejak 1975. Program ini merupakan salah satu kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan tersebut. Umumnya migrasi internasional sangat berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi dan transisi demografi dalam suatu negara.
Ketika suatu negara
mengalami kemunduran ekonomi yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah dan pertumbuhan populasinya masih tinggi, sangat tidak mungkin aktivitas perekonomian negara tersebut dapat menyerap kelebihan tenaga kerja. Untuk alasan ini, pengiriman tenaga kerja merupakan suatu pemecahan masalah ketenagakerjaan. Dalam teori ekonomi kependudukan dan ketenagakerjaan, hal ini sering dinyatakan sebagai “the first stage of labor migration transition” (Tjiptoherijanto, 1997).
21 Jumlah tenaga kerja migran internasional Indonesia hingga saat ini terus meningkat. Sekitar 70 persen dari jumlah tenaga kerja tersebut adalah perempuan yang rentan terhadap masalah. Migrasi internasional dapat membawa dampak positif bagi negara tujuan, negara asal dan para migran beserta keluarganya. Bagi negara tujuan, kehadiran migran ini dapat mengisi segmen-segmen lapangan kerja yang sudah ditinggalkan oleh penduduk setempat karena tingkat kemakmuran negara tersebut semakin meningkat.
Lapangan kerja tersebut seperti sektor
perkebunan dan bangunan atau konstruksi di Malaysia yang banyak digantikan oleh pekerja-pekerja dari Indonesia, atau menambah kebutuhan tenaga-tenaga terampil yang jumlahnya kurang, seperti kebutuhan tenaga kerja teknisi dan jasa di negara-negara Timur Tengah. Bagi negara asal merupakan sumber penerimaan devisa dari remittancess hasil kerja migran di luar negeri, sementara untuk para migran, kesempatan ini merupakan pengalaman internasional dan kesempatan meningkatkan keahlian dan mengenal disiplin kerja di lingkungan yang berbeda. Bagi keluarga migran hal tersebut merupakan sumber penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya (Syahriani, 2007). Suatu hal yang diharapkan saat ini adalah menjadikan Indonesia sebagai negara pengirim tenaga kerja yang terampil dan ahli, serta berdaya saing. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap penguasaan bahasa, akses informasi teknologi dan budaya dimana mereka bekerja, terutama bagi tenaga kerja migran internasional yang bekerja pada lembaga-lembaga atau institusi seperti rumah sakit, restoran, pertokoan maupun lembaga lain yang menjadikan bahasa sebagai alat komunikasi adalah persoalan yang sangat penting.
Kondisi
ini berarti
kualitas pendidikan menjadi pertimbangan penting dalam mengirim tenaga kerja
22 ke luar negeri, dan ini menjadi fokus utama pemerintah untuk membekali pendidikan ketrampilan kepada tenaga kerja tersebut. Menjadi tenaga kerja migran tidak hanya mempertimbangkan skill atau teknis keahlian saja, tetapi pemahaman dan wawasan terutama budaya masyarakat tempat dimana mereka akan bekerja juga merupakan hal yang tidak dapat diabaikan. Karena kualitas tenaga kerja dan tingkat pendidikan selalu memiliki keterkaitan. Tenaga kerja migran yang memiliki tingkat pendidikan tinggi, umumnya bekerja pada lembaga jasa seperti rumah sakit, pertokoan, dan restoran yang memang memerlukan keahlian khusus dari pekerjanya. Pola rekrutmennya dilakukan melalui lembaga-lembaga pendidikan kejuruan yang memiliki jaringan kerja sama dengan penempatan tenaga kerja dengan luar negeri. Kondisi tenaga kerja migran ini umumnya lebih baik, dan sangat berbeda dengan tenaga kerja migran yang berangkat hanya berbekal pendidikan dan keahlian yang tidak memadai. Tenaga kerja migran yang mempunyai latar pendidikan rendah lebih banyak ditempatkan pada sektor informal seperti pembantu rumah tangga, sopir, pekerja perkebunan dan sebagainya. Menindaklanjuti kondisi tersebut, maka diperlukan suatu manajemen terpadu antara program pemantauan kebutuhan tenaga kerja asing di luar negeri oleh diplomasi perwakilan Republik Indondesia di luar negeri, program perlindungan buruh migran, dan program-program peningkatan keterampilan di dalam negeri yang sesuai dengan kebutuhan pasar internasional. Informasi mengenai kondisi serta kebutuhan tenaga kerja di mancanegara diharapkan dapat tersedia bagi para calon tenaga kerja migran, sehingga mereka mengetahui dengan jelas kondisi dan resiko kesempatan tersebut. Umumnya informasi yang paling baik bukan dari sumber resmi pemerintah tetapi dari
23 mantan tenaga kerja migran, tetapi pemerintah sebaiknya dapat membantu menyediakan informasi yang benar. Peran jasa pengerah tenaga kerja Indonesia tetap sangat penting, karena pemerintah tidak akan berhasil melaksanakannya sendiri, tetapi ketertiban dan pemantauan merupakan tujuan pemerintah untuk melindungi calon tenaga kerja. Salah satu hal yang perlu diketahui oleh calon tenaga kerja migran Indonesia adalah menyiapkan diri untuk memenuhi kualifikasi yang diharapkan oleh pengguna jasa tenaga kerja tersebut. Oleh karena itu tanggal 18 Oktober 2004, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Dalam undang-undang ini selain mengatur tentang landasan hukum bagi perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, juga mengatur tentang kompetensi calon tenaga kerja. Dalam hal ini dinyatakan bahwa calon tenaga kerja wajib memiliki sertifikat kompetensi kerja sesuai dengan prasyarat jabatan. Jika belum memiliki, wajib mengikuti pendidikan dan latihan yang diselenggarakan oleh pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia. Pendidikan dan latihan dimaksudkan untuk (Sembiring, 2006): 1. Membekali, menempatkan dan mengembangkan kompetensi kerja calon tenaga kerja Indonesia. 2. Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang situasi, kondisi, adat istiadat, budaya, agama, dan resiko kerja diluar negeri. 3. Membekali kemampuan berkomunikasi dalam bahasa negara tujuan dan 4. Memberi pengetahuan dan pemahaman tentang hak dan kewajiban calon tenaga kerja.
24 Oleh karena itu dalam sudut pandang normatif, dengan dikeluarkannya undangundang ini, maka perlindungan hukum bagi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri semakin kuat.
2.2. Kebijakan Migrasi Kebijakan migrasi yang dibahas dalam sub bab ini adalah kebijakan migrasi internal dan kebijakan migrasi internasional. Kebijakan migrasi internal dan internasional ini ditinjau dari sisi kebijakan migrasi formal yaitu kebijakan migrasi yang ditetapkan oleh pemerintah baik dalam bentuk undang-undang, keputusan presiden, maupun peraturan menteri.
Kemudian dibahas pula
instrumen-instrumen kebijakan yang mendorong terlaksananya kebijakan migrasi yang telah ditetapkan pemerintah.
2.2.1. Migrasi Internal 2.2.1.1. Kebijakan Migrasi Internal Beberapa kebijakan (formal) yang mengatur tentang migrasi internal khususnya periode pasca kemerdekaan tentang ketransmigrasian telah ditetapkan pemerintah untuk mengatasi masalah distribusi penduduk yang tidak merata dan membantu pembangunan daerah yang ditinggalkan dan daerah tujuan migrasi. Beberapa kebijakan tersebut yaitu: Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1960, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1999, dan Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1983. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1960 yang mengatur tentang pokokpokok penyelenggaraan transmigrasi, menitikberatkan pada jenis penempatan
25 transmigrasi secara teratur dalam jumlah yang sebesar-besarnya. Undang-undang ini kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972 tentang ketentuan-ketentuan pokok transmigrasi menetapkan (Departemen Transmigrasi RI, 1986): 1. Transmigrasi merupakan pemindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain yang ditetapkan di dalam wilayah Republik Indonesia guna kepentingan pembangunan negara atau atas alasan-alasan yang dipandang perlu oleh pemerintah. 2. Fungsi transmigrasi adalah sebagai sarana pembangunan yang penting baik ditinjau dari segi pengembangan proyek-proyek pembangunan nasional maupun regional. Dalam hal ini, transmigrasi berarti penyebaran dan penyediaan tenaga kerja serta ketrampilan, baik untuk perluasan produksi maupun pembukaan lapangan kerja baru di daerah tujuan. Tahun 1973 ditetapkan Keputusan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1973 tentang penetapan daerah penempatan transmigran yaitu: Lampung, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur.
Lembaga penyelenggaraannya adalah departemen transmigrasi dan
koperasi. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang ketransmigrasian dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan transmigrasi menyatakan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan migran, maka para migran memperoleh hak-hak sebagai berikut: hak kepemilikan tanah atas namanya; rumah tempat tinggal yang layak dengan aksessibilitas yang memadai; lahan sebagai modal usaha atau sarana lainnya sebagai sarana penyediaan kesempatan
26 kerja sesuai pola pengembangannya; bimbingan, sarana dan prasarana usaha; sarana dan fasilitas sosial, ekonomi, budaya dan kesehatan. Selanjutnya kebijakan umum penyelenggaraan transmigrasi juga diatur dalam GBHN 1983 antara lain : 1. Transmigrasi ditujukan untuk meningkatkan penyebaran penduduk dan tenaga kerja serta pembukaan dan pengembangan daerah produksi baru, terutama daerah pertanian dalam rangka pembangunan daerah, khususnya di luar Jawa dan Bali, yang dapat menjamin peningkatan taraf hidup para transmigran dan masyarakat di sekitarnya. 2. Untuk menjamin keberhasilan pelaksanaan transmigrasi, yang perlu ditingkatkan adalah jumlah migran, koordinasi dan penyelenggaraan migrasi yang meliputi penetapan daerah transmigrasi, penyediaan lahan usaha dan pemukiman, penyelesaian masalah pemilikan tanah, prasarana jalan dan transportasi, sarana produksi, dan usaha pengintegrasian migran dengan penduduk setempat. Namun demikian hingga periode reformasi, program transmigrasi masih dinilai kurang berhasil. Penilaian ini didasarkan pada kondisi tidak terpenuhinya asumsi dasar yang dibuat oleh pengkritisi masalah transmigrasi.
Menurut
Tirtosudarmo (1996) ada empat asumsi dasar yang mempertautkan antara kebijakan pengerahan mobilitas penduduk yang dilakukan secara langsung melalui transmigrasi. Asumsi Demographic Fallacy, mengasumsikan pemindahan penduduk yang diatur pemerintah dapat mengurangi ketidakseimbangan distribusi penduduk antara Jawa dan Luar Jawa. Asumsi ini tidak terbukti karena dengan transmigrasi ternyata tidak secara otomatis menyeimbangkan penduduk Jawa dan luar Jawa.
27 Pembangunan di Jawa yang relatif cepat menjadi magnit bagi migran luar Jawa, sehingga ketimpangan jumla penduduk tetap terjadi antara Jawa dan luar Jawa. Asumsi Geographic Fallacy yang mengasumsikan bahwa masih banyak tanah luas di luar Jawa yang belum berpenghuni, sehingga sangat tepat jika penduduk jika penduduk Jawa dipindahkan ke tempat kosong tersebut. Asumsi Economic Fallacy yang mengasumsikan bahwa melalui pemindahan penduduk Jawa yang miskin ke luar Jawa untuk bekerja sebagai petani pemilik dan buruh perkebunan pola PIR akan meningkatkan kesejahteraan kaum miskin tersebut.
Asumsi Political Fallacy mengasumsikan bahwa
terjadinya keresahan politik di daerah-daerah padat penduduk di Jawa dapat dihilangkan dengan memindahkan penduduk ke luar Jawa. Namun asumsi ini sulit dibuktikan kebenarannya. Penempatan transmigran dari Jawa justru banyak menimbulkan kecemburuan sosial penduduk setempat, sedangkan di Jawa keresahan politik tetap saja terjadi. Belajar dari pengalaman kegagalan hingga periode reformasi yang merupakan kebijakan langsung (direct policy) tersebut, maka dengan berlakunya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan berlakunya otonomi daerah, penyelenggaraan transmigrasi mengalami perubahan. Transmigrasi yang semula merupakan program Top Down, bergeser menjadi Bottom Up. Daerah diberi keleluasaan untuk menentukan pilihan apakah menerima atau menolak program transmigrasi di daerahnya. Dalam penerimaan calon transmigran dari daerah asal harus ada kerja sama antara daerah penerima dan daerah pengirim, dengan fasilitator pemerintah pusat.
28 2.2.1.2. Instrumen Kebijakan Migrasi Internal Pada era paradigma baru ketransmigrasian dalam mendukung otonomi daerah, sebaiknya keunggulan program tidak hanya terletak pada kebijakan migrasi langsung (direct policy) yaitu pemerintah memindahkan penduduk secara massal ke daerah tujuan migrasi, tetapi lebih mengutamakan keterbukaan dan sosialisasi kebijakan dan program, yang lebih fokus pada kebijakan tidak langsung ( indirect policy) dengan mengedepankan potensi daerah tujuan migrasi. Berdasarkan kebijakan migrasi internal yang telah ditetapkan pemerintah, maka beberapa bentuk kebijakan tidak langsung yang merupakan instrumen kebijakan makroekonomi yang mendukung kebijakan-kebijakan tersebut adalah: 1. Upah Minimum Regional. Tujuan seseorang untuk migrasi adalah untuk memperoleh kesejahteraan dan pendapatan yang lebih baik. Jika upah minimum regional atau upah minimum propinsi di luar Jawa ditingkatkan lebih besar dibandingkan dengan peningkatan upah minimum regional di Pulau Jawa, diharapkan dapat mengurangi keinginan penduduk di luar Jawa untuk migrasi ke Jawa dan meningkatkan keinginan penduduk Jawa untuk migrasi ke luar Jawa, sehingga distribusi penduduk di Indonesia lebih merata. 2. Pengeluaran Infrastruktur. Pembangunan infrastruktur berfungsi untuk menunjang pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, mengingat fondasi utama untuk mendorong peningkatan laju pertumbuhan ekonomi hanya akan terjadi jika ada peningkatan stok dan perbaikan kualitas infrastruktur. Dampak pembangunan dan perbaikan infrastruktur diharapkan dapat menjadi daya tarik bagi penduduk setempat dan pendatang untuk meningkatkan aktivitas ekonominya, sehingga dapat memperluas dan membuka kesempatan kerja. Jika peningkatan jumlah anggaran pengeluaran infrastruktur di luar Jawa lebih besar
29 dibanding peningkatan jumlah anggaran pengeluaran infrastruktur di Jawa, diharapkan dapat meningkatkan jumlah migran dari Jawa ke luar Jawa, dan menurunkan jumlah migran dari luar Jawa untuk migrasi ke Jawa. 3. Suku Bunga. Suku bunga merupakan variabel penting yang mempengaruhi investasi. Penurunan suku bunga diharapkan dapat mendorong perusahaanperusahaan daerah untuk meningkatkan dan membuka investasi baru. Pembukaan dan peningkatan investasi tersebut, diharapkan juga dapat membuka kesempatan kerja di daerah bersangkutan, sehingga dapat menurunkan jumlah pengangguran dan keinginan migrasi penduduk ke daerah lain, serta menjadi daya tarik bagi penduduk lain untuk migrasi ke daerah tersebut.
2.2.2. Migrasi Internasional 2.2.2.1. Kebijakan Migrasi Internasional Penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri merupakan suatu upaya untuk mewujudkan hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi manusia, dan perlindungan hukum serta pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan hukum nasional. Untuk mewujudkan kondisi tersebut, dalam beberapa tahun terakhir pemerintah (formal) menetapkan beberapa kebijakan yaitu: Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004, Keputusan Presiden RI Nomor 29 Tahun 1999, Peraturan Presiden R.I. No.81 Tahun 2006, dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: PER.04/MEN/II/2005.
30 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004, menetapkan penempatan tenaga kerja migran merupakan kegiatan pelayanan untuk mempertemukan tenaga kerja migran sesuai bakat, minat dan kemampuannya dengan pemberi kerja diluar negeri yang meliputi keseluruhan proses perekrutan, pengurusan dokumen, pendidikan dan pelatihan, penampungan, persiapan pemberangkatan, pemberangkatan sampai ke negara tujuan, dan pemulangan dari negara tujuan. Perlindungan tenaga kerja migran adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan calon tenaga kerja migran dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan
hak-haknya
sesuai
dengan
peraturan
perundang-undangan.
Perlindungan tenaga kerja migran ditingkatkan tidak hanya menyangkut perlindungan hak dan perlindungan hukum, tetapi juga menyangkut perlindungan terhadap ancaman tindak kekerasan, ancaman terhadap upaya penempatan tenaga kerja migran secara illegal dan perlindungan terhadap kegagalan penempatan. Perlindungan tenaga kerja migran diberikan tiga tahap, yaitu tahap pra penempatan (di dalam negeri), tahap penempatan (di luar negeri), dan tahap purna penempatan (di dalam negeri) (Sembiring, 2006). Selanjutnya pasal 35 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 menyatakan bahwa calon tenaga kerja migran yang diizinkan untuk bekerja ke luar negeri harus memenuhi syarat minimal berumur 18 tahun dan berpendidikan sekurangkurangnya lulus SLTP atau sederajat. Untuk calon tenaga kerja migran yang akan bekerja pada pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 tahun. Keputusan Presiden RI Nomor 29 Tahun 1999 tentang Badan Koordinasi Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BPTKI).
BPTKI adalah lembaga
pemerintah non struktural yang melaksanakan sebagian kebijaksanaan pemerintah
31 dalam bidang penempatan tenaga kerja Indonesia. BPTKI diketuai oleh menteri bidang ketenagakerjaan, dan bertanggung jawab kepada presiden. Peraturan Presiden R.I. Nomor 81 Tahun 2006 tentang Badan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia merumuskan tentang kemudahan pelayanan yang dilakukan bersama-sama dengan instansi pemerintah terkait baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.
Bidang tugas masing-masing
instansi pemerintah meliputi ketenagakerjaan, keimigrasian, verifikasi dokumen kependudukan, kesehatan, kepolisian dan bidang lain yang dianggap perlu. Sementara, pos pelayanan akan melakukan pelayanan untuk memperlancar pemberangkatan dan pemulangan tenaga kerja migran yang dikoordinasikan oleh Balai Pelayanan dan Penempatan dan Perlindungan tenaga kerja migran (BP3TKI).
Pos Pelayanan dibentuk dalam rangka kelancaran pelaksanaan
pemberangkatan dan pemulangan tenaga kerja migran di pintu-pintu embarkasi dan debarkasi (Depnakertrans, 2007) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: PER.04/MEN/II/2005 tentang penyelenggaraan Pembekalan Akhir Pemberangkatan tenaga kerja migran ke luar negeri memutuskan bahwa pembekalan akhir pemberangkatan yang selanjutnya disebut PAP adalah kegiatan pemberian informasi kepada calon tenaga kerja migran yang akan berangkat bekerja ke luar negeri agar calon tenaga kerja migran mempunyai kesiapan mental dan pengetahuan untuk bekerja diluar negeri, memahami hak dan kewajibannya serta dapat mengatasi masalah yang dihadapi. Untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan tenaga kerja migran, maka Depnakertrans dalam tahun 2005 menetapkan program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja dengan dana sebesar 324.86 milyar rupiah, yang lebih
32 besar dari tahun 2004 yaitu sebesar 133.31 milyar rupiah, artinya mengalami kenaikan sekitar 45 persen.
Program ini bertujuan untuk mendorong,
memasyarakatkan dan meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pelatihan kerja, agar tersedia tenaga kerja yang berkualitas, produktif dan berdaya saing sehingga mampu mengisi tersebut, lembaga pelaksananya adalah Balai Latihan Kerja (BLK), Loka Latihan Kerja (LLK) yang berada dibawah kewenangan pusat maupun daerah (Depnakertrans, 2005).
2.2.2.2. Instrumen Kebijakan Migrasi Internasional Seperti halnya migrasi internal, instrumen kebijakan migrasi internasional juga didasarkan pada tujuan kebijakan migrasi internasional yang telah ditetapkan pemerintah. Tujuan umum kebijakan migrasi internasional adalah meningkatkan kuantitas dan kualitas tenaga kerja migran internasional, yang tujuannya mengatasi tingginya angka pengangguran, dan menambah devisa negara. Instrumen kebijakan migrasi internasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai tukar.
Instrumen kebijakan ini disesuaikan dengan maksud
pemerintah untuk meningkatkan kuantitas tenaga kerja migran.
Nilai tukar
berpengaruh terhadap upah yang akan diterima tenaga kerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri, karena upah yang mereka terima dalam bentuk mata uang asing sesuai dengan tempat kerja mereka. Nilai tukar yang digunakan dalam penelitian ini adalah dollar Amerika, ringgit Malaysia, dollar Singapura, dan dollar Hongkong. Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, akan meningkatkan upah yang akan mereka terima dalam bentuk rupiah. Hal ini dapat meningkatkan keinginan tenaga kerja migran Indonesia untuk bekerja di luar negeri.
33 2.3. Tinjauan Studi Terdahulu 2.3.1. Migrasi Penelitian mengenai migrasi lebih banyak dilakukan dalam skala mikro dan spasial/wilayah. Migrasi penduduk merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan proses berkembangnya pembangunan di Indonesia. Migrasi penduduk merupakan produk dari berbagai faktor antara lain kepadatan penduduk, langkanya lapangan kerja di daerah asal, keinginan untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik, daya tarik kota, dan berbagai faktor lainnya yang pada dasarnya dapat diklasifikasikan pada faktor penarik dan pendorong terjadinya migrasi. Ananta et al. (1999) dalam analisis mereka mengenai age- sex pattern of migrants and movers: a multilevel analysis on an Indonesian data set bertujuan untuk membedakan pola kuantitatif dari migran dan mover.
Secara umum,
menjadi migran lebih tinggi pada saat usia anak-anak dan tua. Sementara pada usia muda (antara anak-anak dan tua) lebih banyak menjadi mover. Selama usia muda, mereka masih ingin mencari kerja diluar tempat tinggal mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ketika mereka tua, mereka lebih senang bekerja pada tempat tinggal mereka sendiri. Anak-anak umumnya ikut orang tua mereka, sehingga pada usia ini lebih banyak menjadi migran dibanding mover. Analisis ini membandingkan kemungkinan menjadi migran, mover dan stayer. Kemungkinan wanita menjadi stayer lebih tinggi dibanding migran atau mover. Sementara pria, awalnya menjadi stayer lebih tinggi dibandingkan mover dan migran. Tetapi pada titik tertentu, menjadi stayer lebih rendah dibandingkan mover dan migran. Pada usia tua menjadi stayer tinggi kembali. Hasil analisis statistik disimpulkan bahwa faktor-faktor penarik mendorong orang mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup diluar tempat tinggal mereka.
34 Andriani (2000) dalam analisisnya yang berjudul dampak kebijakan pemerintah terhadap keragaan pasar kerja dan migrasi pada periode krisis ekonomi di Indonesia menyimpulkan bahwa penurunan jumlah angkatan kerja pedesaan dipengaruhi oleh migrasi desa ke kota. Hal ini merupakan petunjuk bahwa peningkatan migrasi desa ke kota secara besar-besaran akan mengarah pada terjadinya kelangkaan angkatan kerja diwilayah pedesaan dan limpahan angkatan kerja di perkotaan. Hasil analisis menunjukkan juga bahwa upah riil tinggi di luar Jawa daripada di Jawa. Oleh karena upah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang untuk bermigrasi, maka perbedaannya diperkirakan akan mendorong terjadinya arus perpindahan dari Jawa ke luar Jawa Suprihadi (2002) dalam analisisnya yang berjudul dampak kebijakan pemerintah terhadap keragaan pasar kerja dan migrasi pada periode krisis dan sebelum krisis ekonomi di Indonesia menyimpulkan bahwa migrasi dari desa ke kota lebih responsif terhadap perubahan upah riil sektor industri. Sedangkan migrasi dari kota ke desa lebih responsif terhadap perubahan jumlah penduduk laki-laki usia produktif di perkotaan dibandingkan faktor-faktor lain. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan untuk migrasi ke kota disebabkan oleh faktor penarik daripada faktor pendorong. Sebaliknya keputusan untuk migrasi ke desa disebabkan oleh faktor pendorong yaitu perubahan jumlah penduduk laki-laki usia produktif di perkotaan. Desiar (2003) dalam analisisnya yang berjudul dampak migrasi terhadap pengangguran dan sektor informal di DKI Jakarta, menyatakan dampak dari arus migrasi masuk ke Jakarta adalah meningkatnya pengangguran dan berkembangnya sektor informal dari tahun ke tahun.
Faktor utama yang mempengaruhi
penduduk bermigrasi adalah sulitnya mereka memperoleh pekerjaan di daerah
35 asal.
Hasil analisis menunjukkan jika migran yang tergolong angkatan kerja
meningkat 10 persen, maka jumlah pengangguran akan meningkat sebesar 3.93 persen dan migran yang bekerja di sektor informal meningkat 8.37 persen. Sektor informal walaupun berskala kecil dan sulit memperoleh akses pada lembaga keuangan formal dan tidak pula dilindungi oleh pemerintah, tetapi sektor ini tetap diminati oleh para migran. Hal ini disebabkan mudahnya para migran berusaha disektor ini, yaitu tidak memerlukan izin usaha, tingkat pendidikan yang tinggi dan tidak memerlukan modal yang besar. Osaki (2003) dalam analisisnya migrant remittances in Thailand: economic necessity or social norm? menyimpulkan di Thailand pengiriman uang oleh migran kepada keluarganya merupakan kegiatan yang rutin dilakukan dan merupakan sifat masyarakat Thailand yang selalu mementingkan kepentingan orang lain.
Pengiriman uang ini memungkinkan para out migrant untuk
memelihara hubungan personal dengan anggota keluarga mereka dalam jangka waktu yang lama. Pada waktu yang sama, migrasi internasional merupakan tujuan efektif rumah tangga yang berpendapatan rendah untuk menanggulangi kekurangan pendapatan secara cepat. Segala kebutuhan bagi para rumah tangga miskin sangat sulit diperoleh tanpa adanya pengiriman uang dari anggota keluarga mereka yang melakukan out migrant. Dari perspektif makro, pengiriman uang memberikan kontribusi untuk pemerataan distribusi pendapatan pada rumah tangga yang anggota keluarganya menjadi migran internasional. Carling (2004) dalam analisisnya policy options for increasing the benefits of
remittances
bertujuan
untuk
menganalisis
landasan
kebijakan
yang
berhubungan remittances untuk membentuk model sederhana dari hubungan remittances dengan pembangunan ekonomi. Hasil analisis menunjukkan adanya
36 hubungan antara remittances dengan pembangunan. Jika remittances digunakan untuk konsumsi sekarang, maka untuk konsumsi yang akan datang menggunakan remittances pada masa yang akan datang. Jika sebagian remittances ditabung pada lembaga keuangan formal, maka remittances tersebut dapat digunakan sebagai pinjaman bagi investor untuk investasi. Kondisi ini akan berdampak positif pada pembangunan. Martin (2004) menganalisis tentang sustainable migration policies in a globalizing world. Hasil analisis menunjukkan bahwa ada tiga dasar kuat untuk membentuk kebijakan-kebijakan migrasi yaitu: (1) migrasi harus diatur secara aktif dan koperatif.
(2) kebijakan-kebijakan migrasi harus memberikan
keuntungan yang saling mendukung (mutual) antara migran itu sendiri dan pemerintah, baik untuk negara asal maupun negara tujuan. (3) para migran yang umumnya tenaga kerja yang mencari pekerjaan harus dilindungi dan ditingkatkan kondisi dan standar hidupnya. Wilson dan Bell (2004) dalam analisisnya yang berjudul comparative emperical evaluation of internal migration models in subnational population projections, membandingkan proyeksi populasi di Australia dan wilayah teritorialnya dengan menggunakan sepuluh model migrasi internal pada periode 2001-2051.
Hasil analisis menunjukkan bahwa model migrasi yang dipilih
menghasilkan perbedaan besar pada komposisi total populasi, distribusi populasi berdasarkan geografi, umur dan jenis kelamin. Dari sepuluh model yang diteliti, model pool migrasi, biregional, dan biregional tanpa kendala memberikan suatu kerangka kerja peramalan yang baik dengan konsep yang tepat dan praktis. Variasi yang besar dalam proyeksi output dibutuhkan untuk pemahaman yang lebih baik untuk struktur spatio temporal dari pola migrasi di Australia.
37 Tarigan (2004) dalam analisisnya yang berjudul proses adaptasi migran sirkuler: kasus migran asal komunitas perkebunan The Rakyat Cianjur Jawa Barat, bertujuan untuk mempelajari proses adaptasi migran sirkuler asal desa perkebunan di Cianjur yang bekerja di pabrik gesper, kawasan industri Tangerang. Kajian tersebut diawali dengan melihat faktor pendorong melakukan migrasi dan proses adaptasi yang terjadi. Hasil penelitian menunjukkan alasan ekonomi dan alasan sosial merupakan faktor pendorong sekaligus penarik terjadinya migrasi desa-kota yang identik dengan transformasi pekerjaan pertanian-industri. Proses adaptasi migran sirkuler dipercepat oleh aksi peran migran terdahulu. Penerapan bentuk kehidupan desa, dengan komunikasi menggunakan bahasa ibu, membuat perkumpulan yang sarat dengan kegiatan dan warna pemeliharaan kekayaan kolektif pedesaan merupakan cara penyesuaian diri yang paling dominan, karena aman secara psikologis dalam menetralisir kegugupan sosial. Migran cenderung memiliki budaya transisi dengan menjadi manusia modern di desa asal dan menjadi manusia tradisional di kota tujuan. Firdausy (2005) dalam analisisnya yang berjudul issues and challenges to increase competitiveness of Asean’s labor migrants menyatakan bahwa perekonomian di seluruh negara-negara di ASEAN telah berubah selama proses pembangunan. Tetapi ada beberapa negara ASEAN yang mengalami perubahan struktur ekonomi ke arah industri telah merubah kesempatan kerja pada negaranegara tersebut, dimana tenaga kerja yang dibutuhkan adalah tenaga kerja yang memiliki spesifikasi dan keahlian tertentu. Impor tenaga kerja merupakan salah satu kebijakan yang dipertimbangkan untuk mengisi kekosongan dalam pasar kerja di negara-negara tersebut.
Tetapi muncul beberapa permasalahan yang
berhubungan dengan migrasi tenaga kerja internasional, khususnya bagi tenaga
38 kerja migran dengan tingkat keahlian yang rendah. Meskipun beberapa negara pengimpor tenaga kerja dengan tingkat keahlian yang rendah ini benar-benar membutuhkan tenaga mereka, tetapi negara-negara tersebut tidak mau menerima tenaga kerja tersebut secara bebas. Maka beberapa kebijakan yang membahas tentang aliran tenaga kerja dengan keahlian rendah ini menjadi isu yang perlu diperbaiki dan ASEAN Economic community.
2.3.2. Pasar Kerja Sulistyaningsih (1997) melakukan analisis keterkaitan antara struktur ketenagakerjaan dan kinerja perekonomian Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa perubahan struktur ekonomi Indonesia terjadi dari ekonomi yang bertumpu pada sektor pertanian kepada ekonomi yang bertumpu pada sektor manufaktur dan jasa. Selanjutnya perubahan struktur ekonomi mempengaruhi struktur penyerapan tenaga kerja. Berdasarkan analisis terlihat juga bahwa terjadi penurunan penyerapan tenaga kerja disektor pertanian, dan terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja pada sektor manufaktur dan jasa. Sektor manufaktur berhasil menarik tenaga kerja pindah dari sektor pertanian, tetapi perpindahan ini berlangsung lambat karena tenaga kerja sektor pertanian yang pindah ke sektor manufaktur dituntut untuk memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Safrida (1999) menganalisis tentang kebijakan upah minimum.
Hasil
analisis menunjukkan pengaruh peningkatan upah minimum terhadap permintaan tenaga kerja sektor pertanian dan jasa cukup besar dan berpengaruh nyata, sedangkan terhadap permintaan tenaga kerja sektor industri pengaruhnya kecil dan tidak nyata. Maka pemerintah harus berhati-hati dalam penerapan upah minimum
39 pada sektor pertanian dan jasa karena peningkatan upah minimum pada kedua sektor tersebut akan meningkatkan pengangguran. Adriani (2000) dalam analisisnya mengenai pasar kerja menyimpulkan peningkatan angkatan kerja dipengaruhi oleh pertambahan penduduk usia produktif dan jumlah angkatan kerja tahun sebelumnya, baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Upah bukan faktor pendorong dalam peningkatan angkatan kerja.
Hal ini disebabkan oleh peningkatan jumlah angkatan kerja pada dua
wilayah ini tidak diikuti dengan kesempatan kerja yang memadai. Peningkatan kesempatan kerja sektoral dipengaruhi oleh pendapatan nasional sektoral, program padat karya diperkotaan dan pembangunan prasarana pendukung desa tertinggal di pedesaan. Clark (2000) dalam analisisnya tentang measuring the demand for labor in the United States: the job openings and labor turnover survey. Seluruh opini dalam analisis ini merupakan hasil karya penulis (Clark) bukan kebijakan dari biro statistik tenaga kerja Amerika. Analisisnya menyimpulkan bahwa Job Openings and Labor Turnover Survey (JOLTS) statistik dapat digunakan sebagai indikator kondisi ekonomi secara umum dan sebagai alat yang penting untuk mempertimbangkan implikasi-implikasi kebijakan ekonomi, pasar kerja dan pengangguran.
Data series mikro dan makroekonomi juga digunakan untuk
meningkatkan pemahaman para peneliti terhadap pasar kerja yang dinamis dan hubungannya dengan perekonomian secara keseluruhan. Mahyuddin et al. (2006) menganalisis distorsi pasar kerja yang difokuskan pada analisis kekakuan upah dan kelambanan respon permintaan tenaga kerja di Sulawesi Selatan, menyimpulkan penyebab tingginya kekakuan upah di pedesaan, terkait dengan informasi yang tidak sempurna, serta adanya kecenderungan
40 penggunaan tenaga kerja keluarga menyebabkan mekanisme pasar tidak berjalan. Sedangkan penyebab kekakuan upah pada sektor industri terutama disebabkan faktor efisiensi upah, dimana pengusaha tidak serta merta menurunkan upah riilnya ketika upah riil berada diatas keseimbangan, karena dikhawatirkan akan berdampak pada menurunnya produktivitas tenaga kerja. Selain itu, pelaku bisnis umumnya mematuhi UMR, terutama bisnis formal. Selanjutnya Mahyuddin et el. (2006) juga menganalisis tentang total factor productivity (TFP) dan dampaknya terhadap kesempatan kerja di propinsi Sulawesi Selatan. Hasil analisis menunjukkan total factor productivity memberi kontribusi terbesar (2.31 persen) terhadap pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan, sementara pertumbuhan tenaga kerja dan modal memberi kontribusi sekitar 1.70 persen dan 1.87 persen. Pertumbuhan TFP sebagai pencerminan pertumbuhan teknologi terutama terjadi di sektor industri pengolahan, sementara teknologi pertanian justru mengalami kemerosotan, terutama sejak terjadinya krisis. Hasil analisis ini juga menunjukkan bahwa kesempatan kerja sektoral, juga dipengaruhi oleh sumber-sumber pertumbuhan ekonomi dari sisi permintaaan, namun hanya investasi dan ekspor yang konsisten berpengaruh secara positif, sedangkan variabel lainnya bahkan dapat mereduksi kesempatan kerja di sektor tertentu, terutama pertanian. Nurmanaf (2006) menganalisis peranan sektor luar pertanian terhadap kesempatan kerja dan pendapatan di pedesaan berbasis lahan kering.
Hasil
analisis menunjukkan sektor pertanian masih merupakan sektor penting dalam perekonomian rumah tangga di pedesaan yang berbasis lahan kering. Tingginya porsi angkatan kerja rumah tangga yang bekerja pada kegiatan disektor pertanian di pedesaan berbasis lahan kering, cenderung semakin tinggi pula porsi curahan
41 tenaga pada sektor tersebut. Selanjutnya semakin tinggi pula pendapatan yang diterima dari sektor yang sama. Di desa-desa dimana sektor pertanian lebih dominan sebagai sumber pendapatan, porsi pendapatan perbulan cenderung lebih fluktuatif.
Sumber
pendapatan dari kegiatan pertanian, khususnya tanaman pangan bersifat musiman dan menghasilkan pendapatan hanya saat-saat panen. Jenis-jenis kegiatan sebagai sumber pendapatan yang berasal dari sektor luar pertanian tidak terkait dengan musim dan dapat dilakukan setiap saat sepanjang tahun. Siregar dan Sukwika (2007) dalam faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pasar tenaga kerja dan implikasi kebijakannya terhadap sektor pertanian di kabupaten Bogor menyimpulkan bahwa pada sektor pertanian dan sektor jasa, penyerapan tenaga kerja terdidik dan tidak terdidik lebih tinggi pada era otonomi daerah dibandingkan sebelum otonomi daerah. Hal sebaliknya terjadi pada sektor industri. Diseluruh sektor, investasi mempunyai peran penting dalam menentukan penyerapan tenaga kerja. Bersama dengan produktivitas tenaga kerja, penyerapan tenaga kerja, mempengaruhi Produk Domestik Regional Bruto secara positif, dan pada gilirannya mempengaruhi beberapa variabel pasar tenaga kerja. Priyarsono et al. (2008) menganalisis tentang peranan investasi di sektor pertanian dan agroindustri dalam penyerapan tenaga kerja dan distribusi pendapatan sistem neraca sosial ekonomi. Hasil analisis menunjukkan bahwa investasi untuk peningkatan output sektor pertanian memiliki dampak lebih besar terhadap faktor produksi tenaga kerja dan peningkatan pendapatan rumah tangga. Persentase penyerapan tenaga kerja terbesar untuk sektor pertanian terdapat pada sektor tanaman pangan (12.23%). Selanjutnya untuk agroindustri, penyerapan tenaga kerja terbesar berada pada sektor industri makanan, minuman dan
42 tembakau (8.67%). Penyerapan tenaga kerja untuk sektor lainnya terdapat pada sektor perdagangan (8.80%).
Penanaman modal pada sektor pertanian,
agroindustri, dan sektor produksi lainnya baik yang berasal dari dalam negeri maupun asing memberi dampak positif bagi peningkatan produk domestik bruto dan pendapatan rumah tangga.
2.3.3. Makroekonomi Evilisna (2007) menganalisis dampak kebijakan ketenagakerjaan terhadap tingkat pengangguran dan perekonomian Indonesia pada era otonomi daerah. Hasil analisis menunjukkan bahwa meskipun upah minimum ditargetkan bagi buruh tanpa pengalaman dan nol masa kerja, dalam pelaksanaannya telah menyebabkan kenaikan upah rata-rata bagi buruh pada semua level, peningkatan pengangguran dan inflasi yang akhirnya menurunkan GDP.
Peningkatan
penyesuaian upah minimum, peningkatan kekuatan serikat pekerja dan peningkatan kasus pemogokan berpengaruh nyata terhadap investasi, penawaran agregat, pengangguran dan inflasi. Tambunan (2006) mengalisis tentang kondisi infrastruktur di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan dalam jangka panjang pembangunan infrastruktur harus berdasarkan pada, pemetaan kebutuhan infrastruktur yang telah disiapkan ditingkat regional yang terpadu dengan perencanaan pusat yang bersifat
top
down. Selanjutnya diperlukan pengembangan infrastruktur yang komprehensif, berkelanjutan, serta terintegrasi menjadi infrastruktur network yang bernilai ekonomis tinggi. Dari sisi pendanaan, perlu dilakukan mobilisasi modal domestik
43 dan luar negeri dengan membedakan investasi infrastruktur menurut kompleksitas masalah dan besaran dana yang dibutuhkan serta teknologi yang diperlukan. Siregar dan Sukwika (2007) menjelaskan bahwa kebijakan otonomi daerah meningkatkan penyerapan tenagakerja disektor pertanian dan jasa.
Disektor
industri, penyerapan tersebut menurun, sedangkan yang meningkat adalah produktivitasnya. Dampak otonomi daerah terhadap penyerapan tenagakerja lebih besar dibandingkan terhadap produktivitas. Akibatnya dampak otonomi daerah terhadap PDRB relatif lebih besar disektor pertanian dan sektor jasa dibandingkan sektor industri. Tabel 6 memperlihatkan secara singkat beberapa studi terdahulu mengenai migrasi yang berhubungan pasar kerja dan perekonomian. Tabel
No 1.
6.
Studi Terdahulu Perekonomian
Studi Empiris Dalam Negeri Sulistyaningsih (1997)
Mengenai
Topik Struktur Penyerapan Tenaga Kerja
Migrasi,
Pasar
Kerja
dan
Kekhususan Studi Menganalisis keterkaitan antara struktur ketenagakerjaan dan kinerja perekonomian Indonesia. Menganalisis tentang pola kuantitatif dari migran dan mover.
2.
Ananta, Evi dan Migrasi Riyana (1999)
3.
Safrida (1999)
Makroekonomi Menganalisis dampak kebijakan upah minimum dan makroekonomi dan Pasar terhadap perilaku pasar kerja dan Kerja indikator makroekonomi.
4.
Adriani (2000)
Pasar Kerja dan Migrasi
5.
Suprihadi (2002)
dampak kebijakan Pasar Kerja Menganalisis pemerintah terhadap keragaan pasar dan Migrasi kerja dan migrasi pada periode krisis dan sebelum krisis ekonomi di Indonesia.
6.
Siregar dan Sukwika (2003)
Membandingkan kinerja pasar tenaga Pasar Kerja kerja di sektor pertanian pada era dan Makroekonomi sebelum dan setelah otonomi daerah
Menganalisis pasar kerja berdasarkan usia produktif dan wilayah desa-kota.
44 Tabel 6. Lanjutan No
Studi Empiris
Topik
Kekhususan Studi dan pengaruhnya terhadap kondisi PDRB di Kabupaten Bogor.
7.
Desiar (2003)
Migrasi Internal
Menganalisis dampak migrasi terhadap pengangguran dan sektor informal di DKI Jakarta.
8.
Tarigan (2004)
Migrasi Internal
Mempelajari proses adaptasi migran sirkuler asal desa perkebunan di Cianjur yang bekerja di pabrik Gesper Tangerang, dan melihat proses adaptasi yang terjadi.
9.
Firdausy (2005)
Migrasi Internasional
Isu dan tantangan untuk meningkatkan daya saing tenaga kerja migran internasional di ASEAN
10.
Mahyuddin, Juanda dan Siregar (2006)
Pasar Kerja Menganalisis dampak Total Factor dan Productivity terhadap pasar kerja dan Makroekonomi pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan.
11.
Mahyuddin, Juanda dan Siregar (2006)
Pasar Kerja
Menganalisis distorsi pasar kerja yang difokuskan pada analisis kekakuan upah dan kelambanan respon permintaan tenaga kerja di Sulawesi Selatan
12.
Evilisna (2007)
Pasar Kerja dan Makro Ekonomi
Menganalisis kebijakan ketenagakerjaan terhadap pasar kerja dan perekonomian Indonesia pada era otonomi daerah
13.
Makroekonomi Menganalisis kondisi infrastruktur di Indonesia.
14.
Tambunan (2006) Luar Negeri Clark (2000)
15.
Osaki (2003)
Migrasi dan Menganalisis tentang pengiriman uang oleh migran (remittances) yang Remittances
Kesempatan Kerja
Menganalisis tentang Job Openings and Labor Turnover Survey (JOLTS) statistik yang digunakan sebagai indikator kondisi ekonomi dan alat untuk mempertimbangkan implikasi kebijakan ekonomi, pasar kerja dan pengangguran.
45 Tabel 6. Lanjutan No
Studi Empiris
Topik
Kekhususan Studi memberi kontribusi pada pemerataan distribusi pendapatan rumah tangga yang anggota keluarganya menjadi migran internasional.
16.
Martin (2004)
Kebijakan Migrasi
Menganalisis mengenai kebijakankebijakan migrasi di dunia pada era globalisasi yang dapat dijadikan standar kebijakan oleh ILO.
17.
Carling (2004)
Remittances dan Pembangunan Ekonomi
Menganalisis landasan kebijakan untuk meningkatkan keuntungan dari remittances. Kemudian menghubungkan remittances dengan pembangunan ekonomi melalui konsumsi dan investasi.
18.
Wilson dan Bell (2004)
Model Migrasi
Membandingkan proyeksi populasi di Australia dan wilayah teritorialnya dengan menggunakan sepuluh model migrasi internal pada periode 20012051.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada cakupan penelitian yaitu mengkaji migrasi secara makro, dimana migrasi tidak hanya mempengaruhi pasar kerja tetapi juga mempengaruhi perekonomian masyarakat daerah asal migran dan daerah tujuan. Penelitian ini didisagregasi berdasarkan pulau-pulau besar di Indonesia agar terlihat secara eksplisit perilaku migrasi masing-masing pulau.