| Edisi IV | Desember 2010
Warta Buruh Migran Klik www.buruhmigran.or.id
Salam Redaksi
Cianjur
Gagasan memberikan perlindungan kepada Buruh Migran Indonesia (BMI) dilakukan pemerintah tanpa henti. Pelbagai undang-undang, peraturan presiden, peraturan menteri, hingga peraturan daerah dikeluarkan. Namun, di lapangan, kebijakan tersebut tidak ampuh menjaga dan melindungi BMI. Persoalan asuransi BMI misalnya, saat ini menjadi tema yang banyak diperbincangkan di media massa. Penunjukan konsorsium tunggal oleh Menakertrans menuai banyak protes, khususnya dari PPTKIS. Bagi BMI, asuransi adalah hal penting. Di samping mereka telah membayar premi sebesar 400 ribu rupiah, asuransi juga menjadi harapan atas jaminan dan kenyamanan kerja.Peraturan Menteri (Permen) Nomor 7 Tahun 2010 tentang Asuransi TKI sedikit memberikan harapan BMI. Permen baru ini memiliki beberapa perubahan, di antaranya nilai pertanggungan yang dinaikkan. Meskipun begitu, perusahaan asuransi harus melakukan perubahan cara pandang, dari dilayani menjadi melayani. Protes yang dilakukan BMI adalah persoalan sulitnya pengajuan klaim. Perusahaan asuransi seakan memperumit pemegang polis dengan alasan tidak dipenuhinya berkas sebagaimana yang disyaratkan. Karena itu, tidak heran jika selama ini perusahaan asuransi dianggap hanya mencari keuntungan sebanyakbanyaknya tanpa menjalankan kewajibannya.
Tim Redaksi Pe na ng g ung J a wa b Y ossy Suparyo Muhammad Irsyadul Ibad Pim pina n R e da ks i Muhammad Ali Usman Tim R e da ks i Fika Murdiana Hilyatul Auliya Fathulloh K ont ribut or 14 PTK Mahnettik A la m a t R e da ks i Jl.Veteran Gg.Janur Kuning No.11A Pandean Umbulharjo Y ogyakarta, Telp/Fax:0274-372378 E-mail:
[email protected] Portal: http://buruhmigran.or.id
Pegiat Buruh Migran di PTK Mahnettik Cianjur
Menghitung Ulang Biaya Migrasi O leh: Salim
Pendidikan keuangan untuk buruh migran dan keluarga yang digelar oleh Pusat Teknologi Komunitas Rumah Internet TKI (PTK Mahnettik) Cianjur (29-30/11/10) memberi banyak manfaat bagi pegiat PTK Mahnettik Cianjur. Rokoyah dan Puti Rahayu, fasilitator Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) Pasoendan secara bergantian mengarahkan peserta secara runtut untuk memahami persoalan pengelolaan ekonomi buruh migran. Peserta pelatihan diajak berhitung berapa besar biaya yang mereka keluarkan saat memutuskan berangkat ke luar negeri untuk menjadi buruh migran. Disadari atau tidak, sejak proses pemberangkatan hingga pemulangan biaya yang dikeluarkan sangat besar. Hal ini terkadang tidak sebanding dengan jumlah uang yang dikirim ke keluarga. “Persoalan utama adalah kesenjangan informasi, calon buruh migran tidak memiliki informasi tentang berapa biaya pembuatan paspor, berapa gaji yang diterima dalam kontrak kerja, berapa nilai konversi mata uang dan lain sebagainya” tutur Rokoyah
Pe ne rbit a n bule t in ini a t a s dukung a n:
Seluruh tulisan dan foto dalam buletin ini dilisensikan dalam bendera Creative Com m on (CC). Siapapun bisa m engutip, m enyalin, dan m enyebarluaskan sebagian atau keseluruhan tulisan dengan m enyebutkan sum ber tulisan dan jenis lisensi yang sam a, kecuali untukkepentingan kom ersil.
Halaman 1 | Warta Buruh Migran | Desember 2010
Seperti disampaikan Rokoyah, buruh migran juga dituntut cerdas mempertimbangkan sesuatu, seperti tawaran berhutang pada agen perekrutan, kontrak kerja, dan pilihan menjadi pekerja atau memulai wirausaha. Fasilitator juga menyampaikan motivasi pada pegiat PTK Mahnettik Cianjur agar percaya diri mengembangkan potensi kelompok.
02 | Sekilas Peristiwa Cilacap
PTK Maknettik Cilacap Belajar Kelola Informasi Pelatihan pengelolaan informasi buruh migran merupakan sebuah kegiatan yang sangat penting guna memberikan bekal pengetahuan kepada mantan dan keluarga buruh migran. Di antara banyaknya kasus kekerasan yang muncul dan menimpa para buruh migran di luar negeri sebagian besar adalah disebabkan oleh minimnya informasi dan pengetahuan yang mereka miliki tentang berburuhmigranan. Menurut Akhmad Fadeli (32), fasilator pelatihan pengelolaan informasi dari Lakpesdm NU Cilacap, setiap buruh migran harus memiliki informasi dan pengetahuan yang baik seputar pekerjaan mereka. “Bekal pengetahuan ini wajib dimiliki para buruh migran sehingga pengetahuan tersebut dapat dijadikan pelindung ketika suatu saat mereka menghadapi berbagai persoalan di tempat kerja,” ungkapnya. Para peserta juga merespons positif penyelenggaraan pelatihan ini.
Pusat Teknologi Komunitas (PTK) Rumah Internet TKI (Mahnettik) Cilacap yang dikelola oleh Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Nahdlatul Ulama (NU) Cilacap menyelenggarakan pelatihan pengelolaan informasi buruh migran (24/11). Pelatihan ini dilaksanakan di dua tempat, Hotel Paradise Jl. A. Y ani No. 7 Sidareja Cilacap dan PTK Mahnettik. Belasan peserta yang datang dari beberapa kecamatan di Kabupaten Cilacap, di antaranya Majenang, Kesugihan, dan Kampung Laut tampak sangat antusias dan bersemangat mengikuti semua materi. Pelatihan ini dibagi menjadi dua kelas. Kelas pertama bertempat di Hotel Paradise yang diikuti oleh para mantan dan keluarga buruh migran yang belum pernah mengikuti pelatihan serupa sebelumnya. Di kelas pertama, materi yang diberikan adalah tentang pentingnya pengelolaan informasi dan cara menulis berita. Sedangkan kelas kedua yang bertempat di PTK Mahnettik yang diikuti oleh para pegiat PTK Mahnettik dan mantan buruh migran merupakan kelas lanjutan. Materi yang disampaikan di kelas kedua ini merupakan managemen pengetahuan (knowledge management) pusat pengelolaan sumber daya buruh migran.
Banyumas
Mempertanyakan Komitmen Bersama untuk BMI Komitmen bersama mewujudkan perlindungan buruh migran Banyumas terus digalang oleh Forum Solidaritas untuk Buruh Migran (Forsa BUMI) Kabupaten Banyumas. Bertepatan dengan hari buruh migran sedunia, Forsa Bumi menggelar diskusi publik dengan tema "Membangun Komitmen Bersama untuk Perlindungan Buruh Migran" di Aula Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Jenderal Soedirman (Sabtu 18/12/10). Hadir di dalam diskusi tersebut aparatur desa, kecamatan, dan kabupaten. Hadir pula beberapa anggota DPRD Kab. Banyumas, Dinsosnakertrans, pejabat imigrasi, akademisi kampus, perwakilan PPTKIS, hingga kalangan lembaga/organisasi swasta di Banyumas.
Halaman 2 | Warta Buruh Migran | Desember 2010
“Ternyata membuat berita itu mudah. Dengan mengikuti pelatihan ini, saya menjadi tahu cara mengelola dan bertukar informasi,” ungkap Catur Eni Sulastri (27) salah satu peserta yang juga mantan buruh migran. Manfaat mengikuti kegiatan ini juga dinyatakan oleh Nely Khuriyah (28), salah seorang mantan buruh migran yang pernah bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT) di Hongkong selama tujuah tahun. “Membuka wawasan dan menambah pengetahuan tentang bagaimana menyampaikan informasi yang sudah berbentuk berita,” katanya. Pemberdayaan buruh migran melalui pengelolaan informasi dan pengetahuan ini merupakan salah satu solusi mengatasi carut marutnya pengelolaan buruh migrant di Indonesia selama ini. Hingga hari ini, kegiatan pelatihan pengelolaan informasi buruh migran telah diikuti oleh ratusan peserta dari berbagai daerah di Indonesia.
Panitia menghadirkan empat narasumber sekaligus, yakni Tyas Retno Wulan (Pusat Penelitian Gender), Y oga Sugama (Anggota DPRD), Kartiman (Dinsosnakertrans), dan Rita (LBH Perisai Kebenaran) dengan Jarot, Pegiat Rumah Aspirasi Budiman sebagai moderator. Saat diskusi berlangsung, satu persatu narasumber menyampaikan program dan upaya perlindungan buruh migran yang telah dilakukan lembaga atau instansi yang mereka wakili. Persoalan yang paling disoroti selama diskusi adalah koordinasi yang kurang padu (sinergi) antarlembaga pemerintah. Y oga Sugama, perwakilan DPRD dengan tegas mempertanyakan janji Bupati Banyumas untuk membangun perekonomian daerah di setiap Kecamatan. "Jika janji Bupati membangun sektor industri daerah terwujud, saya yakin angka pengiriman TKI akan turun drastis," Tutur Y oga Sugama.
03 | Sekilas Peristiwa
Cirebon
PTK Mahnettik Cirebon Ajarkan Komputer Pada Guru Sekolah Pusat Teknologi Komuntas (PTK) Cirebon menyelenggarakan kegiatan pelatihan pengenalan Teknologi Informasi (TI) kepada para guru sekolah di Kab. Cirebon. Kegiatan yang berlangsung dari tanggal 29 November-4 Desember dan bertempat di SMK Al-Jilani Babakan ini merupakan bagian dari program Partner in Learning (PIL) yang diusung oleh Microsoft. Dalam penyelenggaraannya, PTK Cirebon bekerjasama dengan Yayasan TIFA dan Diknas Kabupaten Cirebon. Program PIL merupakan program global yang diusung oleh Microsoft mulai September 2003. Program ini menjadi bagian dari bentuk komitmen Microsoft pada peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang pendidikan teknologi di sekolah-sekolah. Di Indonesia, penyelenggaraan PIL selalu mengikutsertakan instansi pemerintah (Diknas) dan lembaga-lembaga swasta yang mempunyai kepedulian sama pada masalah pendidikan.
Tujuan kegiatan pelatihan TI ini adalah untuk memberikan bekal kepada para guru dalam penguasaan ilmu komputer. Selain itu, target yang ingin dicapai adalah peserta mampu menguasai pengetahuan dasar ilmu komputer dan mampu mempraktikkannya dalam kegiatan belajar belajar di kelas. Selama ini, TI memang telah menjadi kebutuhan pokok setiap orang dalam membantu efektivitas kerja-kerja. Pelatihan ini sendiri diikuti oleh 75 orang peserta yang terdiri dari guru SD, SMP, dan SMA se-Kabupaten Cirebon Timur. Penyelenggara sengaja memilih para guru sebagai peserta karena guru memiliki wewenang dan otoritas dalam pelaksanaan sistem pengajaran di sekolah masing-masing. “Peserta sangat antusias mengikuti pelatihan ini karena sebagian besar peserta tidak pernah mendapatkan materi tersebut sebelumnya,” ungkap Lukman, salah satu panitia kegiatan.
Malang
Semangat Kelola Informasi PTK Mahnettik Bina Mandiri Malang Sabtu (25/12/10) Pusat Teknologi Komunitas (PTK Mahnettik) Bina Mandiri, Desa Kedungsalam, Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang menggelar pelatihan kelola informasi untuk buruh migran. Kegiatan tersebut didukung tim fasilitator dari infest Yogyakarta. Pelatihan hari pertama peserta diberikan pengetahuan dasar tentang apa itu informasi?, serta bagaimana siklus informasi terjadi hingga mempengaruhi kebijakan. “Keberadaan CTC Mahnettik harus didukung keterampilan skill dari para pegiatnya, seperti pengelolaan informasi, produksi informasi, kemampuan sebagai jaringan kerja dan kekuatan mempengaruhi kebijakan” tutur Yossy Suparyo, salah satu tutor pelatihan. PTK Mahnettik Bina Mandiri sendiri merupakan bagian dari kerja kelompok dampingan Dian Mutiara Women’s Crisis Centre untuk mengembangkan potensi buruh migran di Kecamatan Donomulyo. Halaman 3 | Warta Buruh Migran | Desember 2010
Suasana pelatihan kelola informasi di PTK Mahnettik Bina Mandiri Malang
Kegiatan pelatihan akan dilakukan hingga Minggu (26/10/10), melalui kegiatan tersebut diharapkan pegiat PTK Mahnettik dapat mengembangkan fasilitas PTK Mahnettik untuk kerja pengelolaan informasi agar tidak ada kesenjangan informasi bagi buruh migran Malang dan keluarganya.
04 | Jejak Kasus
Rovahan (tengah), dalam sebuah pertemuan jaringan media komunitas cirebon (Sumber: Dok.Jarik)
Advokasi Buruh Migran Melalui Media Komunitas Oleh: Hilyatul Auliya Beberapa waktu yang lalu hampir seluruh media nasional memberitakan Sunengsih, seorang Buruh Migran Perempuan (BMP) asal Desa Gembongan Kecamatan Babakan Kabupaten Cirebon, yang meninggal dunia di Abu Dhabi Uni Emirat Arab. Pemberitaan kasus yang menimpa Sunengsih di media massa telah menarik perhatian dan simpati ratusan ribu orang di Indonesia, termasuk para pejabat tinggi negara. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar, dalam sikapnya menyatakan ia berjanji akan mengusut semua pihak yang bertanggung jawab pada kasus yang menimpa Sunengsih tersebut.
Melihat respons publik yang sangat besar atas kasus tersebut, Rovahan berinisiatif untuk menghubungi beberapa wartawan dari media massa lokal dan nasional agar meliput peristiwa tersebut. Dengan harapan pemegang kebijakan mengetahui kasus yang menimpa Sunengsih dan segera melakukan tindakan pengusutan. “Beberapa wartawan saya kirim berkas berita. Kemudian mereka menyatakan siap membantu mengangkat kasus ini. Bahkan, ada tiga orang wartawan yang langsung mengajukan kesiapan untuk melakuakn wawancara langsung dengan orang tua korban di Desa Babakan,” ungkap Rovahan.
Kematian Sunengsih di tempat kerjanya, Uni Emarat Arab, memang sangat mengagetkan banyak orang. Berita kematian tersebut baru disampaikan oleh agen pemberangkatan Sunengsih kepada keluarganya setelah tiga tahun berlalu. Kajan, orang tua Sunengsih, menyatakan bahwa menurut agen anaknya meninggal dunia pada 18 Juli 2007 yang diakibatkan oleh kecelakaan kerja. Tentu saja pihak keluarga sangat menyesalkan karena mereka baru diberitahu pada 12 Agustus 2010.
“ Tidak disangka sebuah tulisan yang disebarluaskan lewat media komunitas mampu mendapat perhatian publik dan pemerintah”
Menyebarnya berita kematian Sunengsih bermula dari sebuah tulisan milik Akhmad Rovahan berjudul “Kisah Tragis Buruh Migran Cirebon Tiga Tahun Meninggal, Keluarga Baru Dikabari” yang dimuat di www.suarakomunitas.net pada 15 November 2010. Selain dimuat di www.suarakomunitas.net, Rovahan juga membagikan tulisan tersebut melalui situs jejaring sosial facebook lewat akun miliknya. Tidak disangka, tulisan tersebut mendapatkan respons publik yang ramai.
Beberapa hari kemudian hampir seluruh media nasional ramai memberitakan kasus yang menimpa Sunengsih. Rumah Kajan tidak henti didatangi para pewarta untuk melakukan wawancara. Para pejabat berwenang, baik di tingkat daerah maupun pusat memberikan tanggapannya. Berbagai pihak yang bertanggung jawab pun menuai banyak kecaman. Mereka dianggap tidak becus menjalankan kebijakan.
Halaman 4 | Warta Buruh Migran | Desember 2010
05 |Jejak Kasus
Portal www.suarakomunitas.net yang dimanfaatkan rovahan untuk menyebarkan informasi
Akhmad Rovahan saat ini menjabat sebagai Ketua Jaringan Radio Komunitas (Jarik) Cirebon. Di Cirebon, Jarik tergabung dalam Jaringan Masyarakat Anti Traficking (Jimat) yang beranggotakan Organisasi Nonpemerintah (Ornop) se-wilayah III Cirebon. Salah satu anggota Jimat adalah FWBMI (Forum Warga Buruh Migran Indonesia) yang diketuai oleh Castra Aji Sarosa. Jaringan ini melakukan pertemuan rutin. Pertemuan terakhir dilaksanakan pada awal November kemarin. Pada saat pertemuan itulah Rovahan mendapatkan informasi kasus Sunengsih yang sedang ditangani oleh FWBMI. Menurut Castra, kematian Sunengsih sangat tidak biasa lantaran pihak PPTKIS-nya baru memberitahukan berita kematian Sunengsih setelah tiga tahun berlalu. Kajan juga pada 21 Oktober 2010 diundang ke Jakarta oleh pihak PPTKIS PT. Abul Pratama Jaya untuk menendatangani sebuah surat kesepakatan. Di dalam surat perjanjian tersebut, Kajan akan diberi dana 4.000 dollar AS (Rp 35 juta) serta ditambah dua bulan gaji Sunengsih sejumlah 1.600 dirham. Namun, PT. Abul Pratama Jaya membarikan syarat, yaitu Kajan tidak boleh mengungkit kematian Sunengsih. Kajan cukup tahu bahwa Sunengsih meninggal karena kecelakaan kerja. Dari cerita Castra tentang Sunengsih inilah akhirnya Rovahan berinisiatif menulisnya di portal www.suarakomunitas.net. Rovahan tidak mengira sebelumnya tulisan yang ia unggah akan mendapat perhatian dari pelbagai pihak. Pengalaman bekerja di dalam sebuah jaringan, memberikan pelajaran yang sangat berarti bagi Rovahan. “Kasus yang awalnya saya angkat melalui media komunitas (www.suarakomunitas.net) ternyata dapat menjadi berita nasional dan akhirnya kasus tersebut mendapatkan perhatian dari para petinggi negara,” ungkapnya.
Halaman 5 | Warta Buruh Migran | Desember 2010
Menurut Rovahan, awalnya kasus Sunengsih hanya diketahui oleh keluarga dan beberapa tetangga dekatnya saja. Tidak semua masyarakat kampung mengetahuinya. Apa yang dilakukan oleh Rovahan hanyalah membagikan informasi kepada publik melalui media massa elektronik. Rovahan mengakui betapa pentingnya sebuah jaringan atau komunitas. Jaringan atau komunitas dapat memberikan kemampuan lebih dibanding jika seseornag melakukan pekerjaannya seorang diri. Media massa juga dapat digunakan sebagai alat memperjuangkan keadilan dan hak-hak warga negara. Melalui media massa, suara seseorang dapat didengar oleh jutaan telinga dan dilihat oleh jutaan pasang mata.
Hilya Auliya , Pekerja Manajemen Pengetahuan Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSD-BM)
06 | Kajian
Asuransi TKI, Melindungi atau Mencurangi? Oleh: Muhammad Ali Usman Selama ini kita sering mendengar Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang gagal mengurus asuransi. Mereka seringkali hanya pasrah karena merasa mendapati jalan buntu. Tidak sedikit pula di antara mereka yang gagal mendapatkan haknya kemudian menyatakan hal itu “bukan rizkinya”. Kasus-kasus semacam itu banyak dialami oleh buruh migran kita yang sedang mengalami masalah sulit saat bekerja di luar negeri. Parahnya, hal ini dianggap sebagai sebuah persoalan biasa, sehingga tidak perlu disikapi, apalagi dipersoalkan. Selama melakukan diskusi dengan mantan TKI di beberapa daerah, saya menemukan pelbagai kasus, misalnya penyiksaan oleh majikan, pemutusan hubungan kerja (PHK), kecelakaan kerja, gaji tidak dibayar, pelanggaran kontrak kerja, pelecehan seksual, pemerkosaan, meninggal dunia, TKI hilang, kerja di di bawah umur, dan kerja tidak sesuai kesepakatan kontrak kerja. Di negara tujuan, mereka berjuang sendiri, tanpa ada bantuan pemerintah Indonesia. Banyak di antara korban tersebut yang tidak mendapatkan haknya sebagai anggota asuransi TKI, meskipun premi sudah mereka bayarkan kepada konsorsium.
Halaman 6 | Warta Buruh Migran | Desember 2010
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) wajib mengikutsertakan calon TKI/TKI yang akan diberangkatkan ke luar negeri dalam program asurasni TKI kepada konsorsium yang telah ditunjuk dengan membayar biaya sebesar Rp. 400.000,-. Dengan rincian, 1) Rp. 50.000,- untuk premi asuransi TKI prapenempatan. 2) Rp.300.000,- premi asuransi TKI selama masa penempatan. 3) Rp. 50.000,premi asuransi TKI pascapenempatan. Jika dihitung jumlah TKI resmi yang bekerja di luar negeri sebanyak 4 juta orang, maka total dana yang diterima oleh konsorsium asuransi adalah sebesar 1,6 triliyun rupiah. Namun, tidak berbeda dengan perusahaan-perusahaan bisnis lain, perusahaan asuransi TKI juga lebih memerhatikan keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya. Mereka seakan enggan bertanggung jawab terhadap persoalan TKI dengan alasan tidak dipenuhinya syaratsyarat pengajuan klaim asuransi sebagaimana yang telah ditetapkan.
07 | Kajian
Seperti disebutkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 7 Tahun 2010 Bab VII Pasal 26, persyaratan yang harus dipenuhi oleh TKI yang mengajukan klaim, misalnya untuk korban PHK, di antaranya: 1. Waktu pengajuan selambat-lambatnya 12 bulan setelah terjadinya resiko (peraturan sebelunmnya hanya 30 hari). 2. Surat pengajuan klaim ditandatangani oleh TKI atau ahli waris yang sah dan bermeterai. 3. Menyertakan KPA asli (Kartu Peserta Asuransi). 4. Surat perjanjian kerja. 5 .Surat perjanjian penempatan, 6. Surat keterangan PHK dari pengguna. 7. Surat keterangan Perwakilan R.I. di negara penempatan. 8. Surat penempatan dari Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Direktorat Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri. Banyaknya persyaratan wajib yang harus dipenuhi oleh TKI dan keluarganya tersebut sangat menyulitkan karena mayoritas mereka hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat Sekolah Dasar, banyak juga yang tidak dapat baca tulis, dan mayoritas mereka tinggal di daerah pedesaan, sehingga mengalami keterbatasan mendapatkan akses informasi dan pengetahuan. Melihat rumitnya persyaratan yang dibutuhkan untuk mengurus asuransi TKI, semakin mengarahkan kita pada kesimpulan tentang adanya sebuah kesengajaan agar para TKI yang berurusan dengan perusahaan asuransi tidak mendapatkan haknya. Hal itu dibuktikan dengan dipersulitnya pengurusan klaim asuransi TKI dari hulu ke hilir. Konspirasi ini juga melibatkan para oknum PPTKIS dengan perusahaan asuransi TKI. Banyak para oknum PPTKIS yang menawarkan diri untuk menguruskan klaim asuransi dengan imbalan jumlah uang tertentu jika berhasil mencairkan klaim tersebut. Bahkan besaran succes fee tersebut hingga 50 persen. Para TKI yang sedang dalam keadaan sulit ini hanya dapat menerima “peraturan” ini. Alasan mereka, lebih baik dapat setengahnya daripada tidak mendapatkan sama sekali. Menurut ketua Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Jumhur Hidayat, pada bulan September lalu ada 36.000 klaim asuransi TKI yang bermasalah. Alasan yang diberikan oleh perusahaan asuransi bermacammacam, mayoritas dikarenakan persyaratan yang tidak dipenuhi oleh TKI atau keluarganya. Himpunan PPTKIS yang merasa menemukan jalan buntu mengurus asuransi TKI pun melayangkan surat kepada Presiden untuk mengadukan tidak dibayarkannya klaim asuransi TKI.
Halaman 7 | Warta Buruh Migran | Desember 2010
Perlindungan TKI melalui sistem asuransi justru menjadikan buruh migran komoditas ekonomi, bukan sebagai subjek yang harus dilindungi. Seharusnya, sistem yang dibangun benar-benar untuk kepentingan TKI dengan memperhatikan kebutuhan dan fasilitas perlindungan yang dibutuhkan selama bekerja di luar negeri. Untuk itu, dibutuhkan konsorsium asuransi yang dapat menjalankan sistemnya secara bertanggung jawab dan konsisten, sehingga keberadaannya dapat benar-benar dirasakan manfaatnya oleh TKI dan keluarganya. Perusahaan asuransi yang bertanggung jawab, adalah perusahaan yang mengubah paradigama, dari yang sebelumnya hanya berorientasi pencarian keuntungan yang sebesar-besarnya menjadi paradigma melayani dan memberikan perlindungan asuransi yang optimal kepada TKI dan keluarganya. Perusahaan asuransi juga dapat lebih aktif dalam merespons setiap klaim yang diajukan oleh pemegang polis. Perubahan paradigama ini merupakan sebuah keniscayaan sebagai bentuk tanggung jawab dan komitmen pada undang-undang dan pada nilai-niali kemanusiaan yang selama menjadi motto para perusahaan asuransi. [mau]
M uha m m a d Ali Us m a n, Pekerja Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSD-BM)
08 | Inspirasi
Neli (Kanan bawah), bersama kawan-kawannya sesama buruh migran saat mengikuti kuliah di Action Vision Mission College Hongkong Ltd
Berangkat Berstatus TKW, Pulang Sudah Sarjana Fika Murdiana Kesuksesan dapat diraih oleh siapa pun dan di mana pun, asalkan ada kemauan kuat. Itulah prinsip yang senantiasa menjadi semangat Neli Khuriyah (24), salah seorang mantan Buruh Migran Perempuan (BMP) asal Cilacap. Selama menjalani hari-harinya tujuh tahun terakhir di Hongkong sebagai seorang Pekerja Rumah Tangga (PRT). Neli berangkat kerja ke Hongkong pada 2003 melalui sebuah Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indoensia Swasta(PPTKIS) di Jakarta, dan pada bulan Agustus 2010 Neli telah kembali ke Indonesia menjadi seorang sarjana dengan gelar diploma. Selama di Hongkong, Neli tidak seperti pekerja migran lain yang lebih banyak menghabiskan waktu libur kerjanya dengan jalanjalan, kumpul bareng, atau menjelajah berbagai mal, baik untuk belanja maupun sekadar cuci mata. Hari libur akhir pekan justru ia nikmati dengan duduk belajar di bangku kuliah. Ia sangat menyadari tidak selamanya ia akan menjadi seorang buruh. Menurutnya, kerja sebagai BMP bukanlah sebuah tujuan, namun hanya sebuah perantara untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. “Kerja di Hongkong merupakan prioritas pertama saya sejak awal. Sedangkan kuliah prioritas kedua,” ungkapnya. Di lingkungan keluarganya, Neli kecil merupakan sosok pribadi yang rajin dan bertanggung jawab. Kerja keras dan hidup mandiri telah diajarkan oleh kedua orang tuanya sejak dini.
Halaman 8 | Warta Buruh Migran | Desember 2010
Semua pekerjaan rumah tangga menjadi tanggung jawab bersama. Setiap orang mendapatkan tugas sesuai dengan proporsinya. Hanya bekal inilah yang dapat membantu Neli untuk menjalani tantangan kehidupannya. Semasa kuliah, Neli mengambil program diploma di Kampus Action Vision Mission College Hongkong Ltd., yang beralamat di 1/Floor, 23 Ngan Mok Street, Tin Hau Hongkong, pada jurusan Teknologi Informasi. Program diploma ini ditempuhnya dalam waktu satu tahun, dari April 2009-Maret 2010. Kampus AVM memang hanya menyelenggarakan pendidikan untuk jenjang diploma. Setiap mahasiswa di AVM hanya dibebani sebanyak 36 Satuan Kredit Semester (SKS) yang ditempuh dalam waktu 10 bulan.
“Neli menyadari tidak selamanya ia akan menjadi buruh migran” Kesadaran menempuh pendidikan lebih tinggi ini dilakukan Neli untuk memenuhi keinginan kuliahnya yang terganjal oleh faktor biaya setelah lulus Sekolah Menengah Atas (SMA).
09 | Inspirasi
Kedua orang tuanya sehari-hari hidup dalam kesederhanaan sebagaimana masyarakat desa lainnya. Penghasilan dari hasil pertanian hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok, tidak untuk sekolah yang lebih tinggi. Oleh karena itu, setelah melihat kondisi perekonomian keluarga, selepas SMA Neli memutuskan untuk bekerja ke Hongkong sebagai PRT. Harapan yang diembannya hanya satu, membantu keluarga. Menyekolahkan adik-adiknya hingga perguruan tinggi. Pendidikan yang dulu bagi Neli hanya mimpi. Banyak teman-teman Neli yang heran dan bertanya bagaimana Ia dapat membagi waktu antara kerja dan kuliah. Pertanyaan tersebut sangat wajar diajukan mengingat pekerjaan sebagai PRT sangat padat. Bahkan, tidak jarang seorang PRT baru dapat istirahat pada pukul 24.00. Neli sangat bersyukur mendapatkan seorang majikan yang baik. Sewaktu Neli meminta izin untuk melanjutkan pendidikan, majikannya tidak keberatan. Ia hanya memberikan satu syarat, kuliah tidak boleh mengganggu pekerjaannya. Syarat ini pun diterima Neli dengan senang, karena memang jadwal kuliah di AVM College hanya dilaksanakan pada hari Minggu, yang notabene hari libur kerja. Meskipun begitu, Neli pernah mendapatkan omelan dari sang majikan. “Saat itu, saya sedang asyik belajar seorang diri di dalam kamar. Tibatiba majikan memanggil dan ia meminta agar saya menyelesaikan pekerjaan yang tersisa,” katanya seraya tersenyum sambil mengingat masa lalu.
Hongkong selama ini memang dikenal sebagai negara yang sangat memerhatikan hak-hak pekerja dengan baik. Tidak heran jika para Buruh Migran Indonesia (BMI) yang bekerja di Hongkong dapat menikmati hari-harinya dengan nyaman. Selain ada hari libur kerja, pihak perusahaan atau pengguna jasa juga memberikan waktu cuti. Iklim kerja yang kondusif inilah yang banyak menarik minat para calon TKI untuk memilih bekerja di Hongkong, meskipun sebagai PRT. Menurut Konsul Jenderal RI di Hongkong, Ferry Adamhar, setiap bulan BMI baru yang bekerja di Hongkong sekitar 1000 orang. Oleh karena itu, hingga Mei 2010 jumlah BMI di Hongkong mencapai 136.000 orang. Jumlah ini telah mengungguli tenaga karja asal Filipina dan Vietnam.
Fika M urdia na Ra hm a n, Pekerja Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSD-BM)
Pagi itu tampak beberapa perempuan dengan lincah memainkan dua tangannya mengiris lonjoran-lonjoran singkong hingga membentuk bulat dan tipis. Di ujung sisi lain, tampak pula dua orang perempuan sibuk menggoreng kripik singkong dan sukun. Suara khas penggorengan pun menggemuruh tanpa henti, sesekali dipecah tawatawa renyah perempuan-perempuan yang saling melempar canda. Entah apa yang mereka obrolkan, yang tampak mereka sangat menikmati pekerjaannya.
Maria, Berdaya Melalui Wirausaha Oleh: Muhammad Ali Usman
Halaman 9 | Warta Buruh Migran | Desember 2010
Itulah kesibukan sehari-sehari di tempat usaha milik Siti Maryam Ghozali (45) atau yang lebih dikenal dengan Maria Bo Niok, salah seorang mantan Tenaga Kerja Wanita (TKW) Hongkong. Bersama suaminya, Stevie Sundah, pada tahun 2008 ia mendirikan sebuah usaha produksi makanan ringan dengan nama UD Mari. Maria sengaja memilih usaha makanan ringan karena potensi pasarnya yang terus berkembang. Hingga hari ini, UD Mari telah memproduksi banyak jenis makanan ringan, di antaranya kripik singkong, kripik sukun, kripik pisang, dan kripik talas. “Makanan adalah jenis usaha yang tidak pernah ada matinya,” katanya saat berbincang dengan saya ketika berkunjung dengan suaminya ke kantor Infest di Jl. Veteran Pandeyan Umbulharjo Yogyakarta beberapa waktu yang lalu.
10 | Inspirasi
Maria mengenalkan produk makanannya pada pembeli di sebuah kegaiatan pameran
Ide awal pendirian usaha makanan ringan ini bermula ketika Maria melihat melimpahnya umbi-umbian di daerahnya. Dengan niat ingin mengangkat hasil pertanian dan para petani di daerahnya, Maria kemudian belajar mengolah singkong menjadi sebuah makanan ringan yang tidak kalah dengan makanan ringan produksi perusahaan modern. Maria mendapatkan keahlian mengelola singkong dari sebuah pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah Wonosobo. Dari bekal pelatihan itulah kemudian Maria mengembangkan sendiri pengetahuan yang telah ia dapat melalui uji coba produk. Untuk menemukan kripik singkong rasa gadung, Maria sempat melakukan uji coba beberapa kali sebelum akhirnya sukses menemukan rasa baru ini. Untuk membuat singkong rasa gadung, Maria menceritakan, pertama singkong dibersihkan dari kulitnya. Kemudian diiris tipistipis dan membentuk bulat. Setelah itu, ketela direbus beberapa jam lantas direndam di dalam air selama beberapa waktu. Ketika diangkat dari rendaman dan digoreng, rasa khas singkong sudah hilang dan berganti menjadi rasa gadung. Pada awalnya, Maria hanya memroduksi kripik singkong rasa gadung. Kripik singkong rasa gadung ini dibuat untuk menarik hasrat pasar konusumen, di mana produk tersebut masih belum banyak dijual di pasaran. Halaman 10 | Warta Buruh Migran | Desember 2010
Akhirnya, dia memutuskan untuk menjadikan singkong rasa gadung ini sebagai produk unggulan UD Mari. Selain itu, dia juga terus mengembangkan berbagai produk makanan ringan yang berbahan dasar makanan lokal. Usaha berbahan dasar singkong ini sangat sesuai dengan daerah Wonosobo yang dikenal sebagai salah satu sentra penghasil singkong. Dengan mengandalkan suplai dari daerah setempat, Maria secara tidak langsung telah membantu para petani singkong di daerahnya. Harga pasaran singkong di desanaya adalah Rp. 200, namun Maria berani membelinya dengan harga Rp.1.500. “Murahnya harga singkong yang hanya dihargai Rp. 200 sangat tidak adil. Para petani singkong telah menunggu selama minimal 6 bulan hingga masa panen. Sebagian besar tanaman mereka berada di daerah sekitar hutan. Mereka membawa hasil panennya ke desa dengan cara memikulnya,” ungkap Stevie. “Dengan harga Rp.1.500, saya mengambil sendiri ke ladang singkongnya,” tambahnya. Kripik produk UD Mari telah mengalami beberapa kali masa pengembangan kualitas produk, mulai dari tanpa merek hingga sekarang diberi merek dan dikemas dengan plastik menarik. Langkah ini dilakukan guna memenuhi permintaan konsumen yang lebih menginginkan produk yang higienis dan praktis, serta dalam rangka persaingan produk. Meskipun saat ini banyak usaha sejenis di pasaran, Maria mengaku tidak takut. Ia menyatakan bahwa produknya mempunyai kekhasan tersendiri.
11 | Inspirasi “Lahan pemasaran setiap perusahaan berbeda-beda. Ada yang hanya diserahkan kepada para tengkulak, ada yang dimasukkan ke toko-toko, dan ada yang langsung dikirimkan sendiri ke toko-toko di luar daerah,” katanya. Saat ini, produk UD Mari telah merambah puluhan daerah di Jawa dan Bali, di antaranya Wonosobo, Banjarnegara, Magelang, Yogyakarta, Purwokerto, Purworejo, dan Bali. Meskipun produk UD Mari telah tersebar ke berbagai daerah, salama ini Maria dan Stevie masih melakukan pemasarannya sendiri. Hampir setiap pekan Stevia mengirimkan produk-produknya secara langsung ke berbagai daerah. Di tahun depan, Stevie akan merekrut karyawan yang khusus untuk mengurus bagian pemasaran sehingga dia dapat lebih berkonsentrasi di bagian produksi dan pengembangan produk. Maria termasuk perempuan yang aktif. Selain aktif di dunia bisnis, ia juga seorang aktivis sosial dan sampai hari ini masih aktif menulis. Ia telah menuliskan pengalamanpengalaman semasa menjadi BMP menjadi beberapa buku, di antaranya Ranting Sakura yang menceritakan pengalamannya sewaktu di Hongkong dan Taiwan, Geliat Sang Kung Yan berisi biorgrafi dan memoarnya selama menjadi buruh migran, dan Puteri Kelana sebuah kumpulan puisi.
Semangat kewirausahaan seperti yang dilakukan oleh Maria diharapkan dapat menumbuhkan minat masyarakat dalam melakukan kegiatan-kegiatan produktif dalam berbagai jenis usaha. Langkah ini merupakan salah satu langkah untuk menciptakan kesempatan kerja sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sehingga, dalam jangka panjang akan dapat mengurangi jumlah penempatan buruh migran yang bekerja di sektor informal. Saat ini, pemerintah melalui Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga telah menyelenggarakan Program Aksi Kewirausahaan untuk para mantan TKI di 200 desa di seluruh Indonesia. Diharapkan dari program ini akan tercipta 125.000 wiraushawan baru sehingga dapat menciptakan lapangan kerja dan menyerap tenaga kerja di kawasan perdesaan di Indonesia. Program Desa Produktif dilaksanakan dengan cara pemberian pelatihan dan modal kerja sebesar Rp. 50 juta untuk setiap desa. Dana bantuan tersebut dapat digunakan untuk berbagai kegiatan ekonomi, misalnya pelatihan tenaga kerja, pelatihan wirausaha mandiri, dan pelatihan lain yang disesuaikan dengan potensi desa. (MAU)
Pegiat PTK Mahnettik Malang Produksi Kripik Pisang Oleh: Hilyatul Auliya Keripik pisang sudah sejak lama diproduksi masyarakat Desa Kedungsalam, Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang. Hasil olahan keripik pisang ini berasa manis. Pembuatan keripik pisang sangat sederhana, namun membutuhkan ketelatenan. Tukini, Yuyun, dan Sarpi merupakan pegiat PTK Mahnettik Bina Mandiri Desa Kedungsalam Kecamatan Donomulyo Kabupaten Malang, yang mengolah kripik pisang. Proses produksi kripik pisang tersebut didampingi oleh Dian Mutiara Universitas Brawijaya dan Dinas tenaga Kerja Kabupaten Malang. Pisang yang diolah biasanya adalah pisang Pisang Rojo Nongko, Rojo Santen, Candi, Kepok, dan Gajih. Cara pembuatan kripik pisang, pisang dikupas, kemudian Pisang diiris tipis (menggunakan alat pasrah). Pisang yang telah diiris direndam dengan air, kemudian dicuci dan ditiriskan. Setelah ditiriskan pisang digoreng.
Halaman 11 | Warta Buruh Migran | Desember 2010
Selanjutnya membuat bumbu yang tersiri dari gula bebeco, vanili, garam, bumbu dicampur dengan pisang yang telah digoreng. Pisang yang telah berbumbu digoreng lagi (sebentar) dan ditiriskaan. Proses terakhir adalah pengemasan. Pembuatan kripik pisang biasanya dilakukan dua kali dalam seminggu. Menurut Tukini dan Yuyun, mereka merasa kewalahan melayani permintaan, karena keterbatasan tenaga. “Walaupun pemasaran kripik pisang ini hanya di Donomulyo, kami merasa kekurangan tenaga” Ungkap Tukini dan Yuyun. Wilayah pemasaran kripik pisang tersebut baru mencakup Kecamatan Donomulyo, pemasarannya dengan cara dititipkan di toko dan warung-warung. (HA)
12 | Resensi
Surat dari Mereka yang Mengabdikan Diri untuk Hak-Hak BMI Diresensi oleh: Fathulloh
Judul Buku Penulis
: Surat Kepada Presiden : Cardi Syaukani, Arieya Sutrisno, Arman, Lili Purwani, Titin Kartini, Tri Maryaningsih, Wawan Hartawan, Yus Machrus Penerbit : United Nation Development Fund for Woman (UNIFEM) Tahun Terbit : Cetakan Pertama:Oktober 2010 Tebal : 70 Halaman
Beberapa waktu yang lalu (Jumat,19/11/2010) banyak orang dikagetkan oleh pernyataan sikap yang dikeluarkan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Menanggapi
Arman, mantan buruh migran dari Malang, dan Wawan, pegaiat paguyupan buruh migran di Blitar.
kasus penganiayaan Sumiati, Presiden tiba-tiba mengatakan agar buruh migran yang diberangkatkan dibekali telepon genggam.
Melalui tulisan-tulisan yang mengalir lepas, mereka justru memotret pelbagai kisah tentang buruh migran di daerah masing-masing. Beberapa berupa informasi, pengalaman mendampingi kasus, berbagai persoalan seputar buruh migran seperti klaim asuransi, tes medis ( medical check-up), gaji tidak dibayar, dan lain-lain.
Pernyataan tersebut langsung mendapat sorotan dan kritik dari masyarakat, betapa sosok Presiden yang menjadi pemimpin bangsa ternyata sama sekali tidak memahami inti masalah (subtansi) perlindungan buruh migran. Pernyataan Presiden tentang telepon genggam (HP) untuk buruh migran dinilai jauh dari upaya serius pemerintah melindungi buruh migran. Terlepas dari kritik yang dilontarkan banyak kalangan pada Presiden tentang penanganan Buruh Migran Indonesia (BMI), ada sebuah buku menarik yang ditulis oleh delapan pegiat buruh migran dari beberapa daerah di Indonesia yang merekam perjalanan mereka mendampingi buruh migran. Buku berjudul Surat Kepada Presiden ini berisi kumpulan tulisan ringan dari Arieya Sutrisno, seorang guru dari Cirebon, Tri Maryaningsih, mantan pekerja rumah tangga (PRT) dari Cilacap, Lili Purwani, mantan buruh migran asal Banyumas, Titin Kartini, mantan buruh migran asal Kuningan,
Seperti dituliskan Cardi Syaukani di halaman prakata, lewat buku ini kita akan menjumpai kisah luar biasa dari pengalaman para pegiat buruh migran di lapangan. Tri Maryaningsih misalnya, pegiat asal Cilacap ini berjuang tanpa lelah mendampingi beberapa kasus gaji buruh migran asal daerahnya yang tidak dibayar. Dia berprinsip “keadaan susah bukan berarti berakhir segalanya, masih ada yang tersisa dari diri untuk diberikan orang lain, hati nurani.” Prinsip Tri Maryaningsih dan kisah-kisah pegiat buruh migran yang lain merupakan rekaman fakta yang terjadi di lapangan dan tidak berlebihan jika surat yang mereka tujukan kepada Presiden selaku wakil pemimpin bangsa untuk segera membuka mata, dan bertindak cepat, mengurai persoalan buruh migran. (FAT)
“Warta Buruh Migran merupakan buletin online yang diterbitkan oleh Pusat Sumber Daya Buruh Migran setiap bulan. Redaksi menerima berbagai tulisan dari rekan-rekan PTK Mahnettik melalui email:
[email protected]“ Halaman 12 | Warta Buruh Migran | Desember 2010