II.
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Ganggang Mikro Ganggang termasuk golongan organisme berklorofil dan memiliki ukuran
beraneka ragam, mulai dari ukuran yang sangat kecil dalam skala µm hingga beberapa meter panjangnya. Beberapa ganggang menunjukkan diferensiasi bila dilihat sepintas dari luar, sehingga kenampakannya menyerupai kormus tumbuhan tinggi, tetapi dari segi anatomi sel-selnya belum menunjukkan adanya diferensiasi (perbedaan secara mendalam). Organisme ini mengandung klorofil dan pigmen lain untuk melangsungkan proses fotosintesis (Tjitrosoepomo, 2005). Kebanyakan ganggang hidup di air dan mampu melakukan fiksasi karbon melalui fotosintesis. Jumlah karbon yang tertangkap oleh ganggang yang hidup di air sama dengan jumlah karbon yang tertambat oleh seluruh flora di daratan. Ganggang renik merupakan bagian dari fitoplankton dan berguna sebagai sumber makanan yang penting bagi organisme lain, termasuk organisme yang besar misalnya ikan hiu. Ganggang renik merupakan dasar atau permulaan dari rantai makanan akuatik karena kemampuannya melakukan fotosintesis, dan penghasil primer bahan organik (Pelzar dan Chan, 1986). Angka dan Suhartono (2000) berpendapat bahwa ganggang laut terdiri atas jenis bentik dan planktonik. Ganggang bentik termasuk jenis yang tumbuh melekat pada substrat. Ganggang bentik banyak diperdagangkan dan terdiri atas ganggang hijau (Chlorophyta), ganggang merah (Rhodophyta) dan ganggang coklat (Phaeophyta). Jenis ganggang planktonik berukuran mikroskopik, hidupnya melayang atau mengapung dan gerakannya mengikuti gerakan air. Jenis yang termasuk ganggang planktonik yaitu Diatomae, Coccolithorid (Chrysophyta), dan Dinoflagellata (Pyrrophyta). Menurut Panggabean (1998), ganggang mikro merupakan jenis planktonik atau renik, yang termasuk tumbuhan bersel tunggal, berkembang biak sangat cepat dengan daur hidup relatif pendek. Mubarak (1981) menyatakan bahwa ganggang termasuk ke dalam filum Thallophyta yang terbagi ke dalam 7 (tujuh) divisi yaitu Euglenophyta, Chlorophyta,
Chrysophyta,
Phaeophyta,
Rhodophyta,
Phyrrophyta
dan
Cyanophyta. Ciri-ciri dari filum ini yaitu tidak mempunyai akar, batang dan daun
4
sejati. Alat reproduksi terdiri atas satu sel dan zigot yang merupakan hasil pembuahan sel betina oleh sel jantan hanya akan tumbuh sesudah keluar dari alat kelamin betina. Pelczar dan Chan (1986) mengklasifikasikan ganggang berdasarkan ciriciri berikut : (1) Susunan kimia pigmen, (2) Susunan kimia dari produk makanan cadangan, (3) Jumlah dan morfologi flagella, (4) Sifat kimia dan fisik dari dinding sel, (6) Organisasi sel, (7) Rangkaian perubahan hidup dan reproduksi. Ciri-ciri penting kelompok ganggang diperlihatkan pada Tabel 1. Tabel 1. Ciri-ciri Penting Kelompok Taksonomi Ganggang. Divisi (nama umum) Chlorophycophyta (ganggang hijau)
Bahan cadangan Pati, minyak
Flagela dan struktur sel Kebanyakan nonmotil (kecuali satu ordo) tetapi beberapa sel reproduktif dapat berflagela.
Rhodophycophyta (ganggang merah)
Pati, floridean (seperti glikogen)
Nonmotil; memiliki agar dan karegen dalam dinding sel.
Phaeophycophyta (ganggang coklat)
Karbohidrat seperti pati; manitol
Flagela: 1, 2 sama atau tidak sama panjang; permukaannya tertutup sisik yang khas.
Bacillariophycophyta (diatom)
Karbohidrat seperti pati; manitol
Flagela: 2 lateral, tak sama panjang; dinding sel mengandung asam lignat.
Euglenophycophyta (euglenoid)
Karbohidrat seperti pati; minyak
Flagela: 1, 2, atau 3, sama panjang, apikal; memiliki kerongkongan; tidak memiliki dinding sel tetapi memiliki pelikel elastik.
Cryptophycophyta (kriptomonad)
Pati
Flagela: 2 tak sama panjang, lateral; pada beberapa spesies memiliki kerongkongan; tidak memiliki dinding sel.
Phyrrophycophyta (dinoflagelata, fitodinad)
Pati, minyak
Flagela: 2, lateral: 1 digunakan untuk menyeret dan 1 lagi digunakan untuk melilitkan tubuhnya pada waktu bergerak.
Xantophycophyta (ganggang hijau-kuning)
Karbohidrat; pati, minyak
Flagela 2 tak sama panjang, Posisi flagela apikal
Sumber: Pelczar dan Chan (1986) Keterangan: Pigmen-pigmen utama untuk diferensiasi dikeluarkan dari tabel ini untuk penyederhanaan.
5
2.2.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ganggang Mikro Suriawiria (2005) mengemukakan bahwa pertumbuhan dan penambahan
jumlah ganggang pada kurun waktu tertentu dapat digambarkan dalam bentuk kurva pertumbuhan. Kurva pertumbuhan merupakan gambaran dari pertumbuhan secara bertahap sejak awal hingga akhir pertumbuhan. Kurva ini
umumnya
terbagi ke dalam beberapa fase yaitu fase lag, fase eksponensial atau logaritmik, fase stationer dan fase kematian. Berbagai faktor lingkungan seperti cahaya, suhu, zat hara (nitrat dan fosfat), salinitas serta pH sangat mempengaruhi pertumbuhan ganggang mikro. McKinney (2004) menyatakan bahwa ganggang menggunakan cahaya sebagai sumber energi untuk sintesis sel protoplasma. Ganggang membutuhkan cahaya untuk mengubah karbondioksida menjadi glukosa (Dring, 1974). Pigmen fotosintesis yang ada pada ganggang akan mengubah energi cahaya menjadi energi kimia lewat transfer elektron. Reynolds (1990) juga menambahkan bahwa cahaya dengan intensitas yang rendah merupakan faktor pembatas untuk melakukan kegiatan fotosintesis, karena laju dari fotosintesis ditentukan oleh laju suplai energi cahaya. Laju difusi CO2 ke dalam sel juga dapat mengontrol laju fotosintesis secara keseluruhan. Aslan (1998) menyatakan bahwa kebutuhan cahaya pada ganggang merah agak rendah dibanding ganggang coklat. Gracilaria verrucosa misalnya, berkembang baik pada intensitas cahaya 400 lux, sedangkan Ectocarpus tumbuh cepat pada intensitas cahaya antara 6500-7500 lux. Menurut Nybakken (1993), hara nitrogen yang dibutuhkan oleh ganggang dalam pertumbuhannya adalah dalam bentuk nitrat. Mulyadi (1999) juga menambahkan bahwa ketersediaan nitrat dalam media akan mempengaruhi kecepatan serap ammonium oleh ganggang Dunaliella tertiolecta. Pemanfaatan ammonium meningkat seiring dengan semakin berkurangnya kandungan nitrat dalam media hidupnya. Selain nitrat, hara lain yang diperlukan ganggang yaitu fosfat. Fosfat merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan ganggang akuatik (Boyd, 1992). Aslan (1998) menyatakan bahwa kadar nitrat dan fosfat mempengaruhi stadia reproduksi ganggang bila hara tersebut melimpah di perairan, karena dapat meningkatkan kesuburan gametofit ganggang coklat (laminaria nigrescence).
6
Faktor lingkungan ketiga yang mempengaruhi pertumbuhan ganggang mikro adalah suhu. Munasinghe dan Khanal (2010) menyatakan bahwa efek suhu penting karena 2 alasan. Pertama, karena suhu mempengaruhi pertumbuhan mikrob dari ganggang tersebut. Kedua, suhu mempengaruhi kelarutan substrat gas (udara) dalam air. Selain itu, menurut Darley (1982), suhu optimum untuk pertumbuhan fitoplankton air laut dan air tawar yaitu 18-25 °C. Menurut Aslan (1998) perkembangan stadia reproduksi beberapa jenis ganggang tergantung pada kondisi suhu dan intensitas cahaya atau kombinasi kedua parameter tersebut. Perkembangan tetraspora polysiphonia misalnya, berlangsung baik pada suhu yang rendah dan intensitas cahaya tinggi. Becker (1994) menyatakan bahwa pH merupakan indikator kelarutan karbondioksida dan mineral dalam medium, serta mempengaruhi metabolisme ganggang secara langsung maupun tidak langsung. Ganggang umumnya hidup dengan baik pada pH netral (pH 7). Colman dan Gehl (1983) menyatakan bahwa aktivitas fotosintesis akan turun menjadi 33% ketika pH turun pada 5.0. Menurut Wardoyo (1982), perairan yang berkondisi asam dengan pH kurang dari 6.0 menyebabkan pertumbuhan ganggang menjadi tidak baik. Nilai pH lebih rendah dari 4.0 merupakan perairan yang sangat masam dan dapat menyebabkan kematian organisme air, sedangkan pH lebih dari 9.5 merupakan perairan yang sangat basa dan dapat mengurangi produktivitas organisme air termasuk ganggang. Soerawidjaja (2005) menyatakan bahwa berbagai jenis ganggang seperti Griffthsia,
Ulva,
Enteromorpa,
Gracilaria,
Euchema
dan
Kappaphycus
merupakan ganggang yang sangat rentan terhadap kondisi lingkungan yang fluktuatif. Menurut Oliveira et al. (1999), Spirulina sp. merupakan salah satu jenis cyannobacteria/ ganggang hijau biru yang tidak terpengaruh oleh kondisi lingkungan yang fluktuatif khususnya kondisi fisik dan kimiawi lingkungan seperti: intensitas cahaya, suhu air, kadar garam dan keterbatasan akan nutrien.
7
2.3.
Komponen Biomassa dan Kegunaan Ganggang Mikro Menurut Sheehan et al. (1998), terdapat 3 komponen zat utama yang
terkandung dalam ganggang mikro, yaitu karbohidrat, protein, dan triasilgliserol. Karbohidrat dapat difermentasikan menjadi alkohol, protein dapat diolah menjadi produk makanan dan kecantikan, dan triasilgliserol dapat diubah menjadi asam lemak. Kombinasi dari pemanfaatan 3 komponen tersebut dapat menghasilkan pakan. Menurut Espinoza et al. (2002), biomassa dalam budidaya ganggang mikro dapat diestimasi dari jumlah klorofil yang dihasilkan. Pertumbuhan ganggang mikro dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu salinitas, pH, hara, suhu, sumber karbon dan cahaya. Faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan ganggang mikro menghasilkan lemak, karbohidrat dan protein yang berbeda (Dring, 1974). Pelczar dan Chan (1986) menyatakan bahwa ganggang mikro dapat digunakan sebagai pupuk dan dapat digunakan sebagai sumber vitamin A dan D bagi organisme laut, misalnya ikan. Ganggang mikro jenis Spirulina platensis telah diproduksi dalam skala besar dalam bentuk pil dan serbuk untuk makanan kesehatan. Kandungan protein Spirulina platensis mencapai 70% dari bobot kering sel, namun kandungan asam nukleatnya rendah (<5%) dan aman sebagai pangan dan pakan (Ciferri 1983). Berbeda dengan ganggang mikro, kadar protein pada ganggang makro lebih rendah. Rachmaniar (1994) menganalisis kadar protein yang terdapat pada ganggang makro dan mendapatkan nilai antara 2,8 - 6,08%, sedangkan kandungan karbohidrat antara 25-40% dan memiliki kandungan serat tinggi yaitu 2-13 %. Komposisi kimia dalam ganggang mikro dan makro memiliki kadar berbeda-beda tergantung faktor lingkungan dan jenis ganggang tersebut. Biomassa kering pada ganggang mikro dapat digunakan untuk menghitung kadar protein. Peneraan jumlah protein dilakukan dengan menentukan jumlah nitrogen yang dikandung oleh ganggang mikro. N- total bahan diukur dengan menggunakan metode Kjeldahl. Prinsip dari metode ini adalah oksidasi senyawa organik oleh asam sulfat untuk membentuk CO2 dan H2O, serta pelepasan nitrogen dalam bentuk ammonia. Kadar ammonia menentukan total protein yang dilepaskan. Teknik tersebut mengandung kelemahan karena kandungan senyawaan N lain selain protein dalam bahan juga
8
akan terukur. Jumlah senyawaan N ini biasanya sangat rendah yang meliputi urea, asam nukleat, ammonia, nitrat, nitrit, asam amino, amida, purin, dan pirimidin. Oleh karena itu penetapan kadar total protein dengan metode ini masih dapat dipakai. Kadar protein yang ditentukan dengan cara ini biasa disebut sebagai protein kasar/crude protein (Sudarmadji, 1996).