II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Ganggang Mikro.
Ganggang mikro merupakan kelompok tumbuhan berukuran renik, baik sel tunggal maupun koloni yang hidup di seluruh wilayah perairan air tawar dan laut. Ganggang mikro lazim disebut fitoplankton. Sistem reproduksi utama ganggang mikro secara vegetatif (asexual), walaupun beberapa spesies bereproduksi secara seksual. Seperti halnya tumbuhan tingkat tinggi, ganggang mikro mempunyai kemampuan melakukan fotosintesis dengan bantuan cahaya matahari merubah karbondioksida menjadi hidrokarbon dan melepaskan oksigen dalam air. Gangang mikro merupakan dasar mata rantai pada siklus makanan di perairan baik laut maupun tawar karena merupakan pakan alami bagi zooplankton dan ikan - ikan kecil. nCO2
+ nH2O Cn (H2O)n
+ nO2
Sumber karbon utama ganggang mikro ialah karbondioksida. Sumber karbon tersebut diperoleh dari udara bebas yang dapat berupa hasil respirasi mahluk hidup ataupun dari penggunaan bahan bakar fosil. Ganggang mikro mengandung minyak, karbohidrat dan senyawa bioaktif lainnya yang digunakan untuk produk-produk komersil. Hingga saat ini perhatian khusus ditujukan untuk mengembangkan ganggang mikro sebagai penghasil bahan bakar nabati. Ganggang mikro juga memiliki beberapa potensi yang menguntungkan bagi lingkungan, seperti mitigasi gas rumah kaca dengan fiksasi gas CO2 di atmosfir (fotosintesis gas CO2 menjadi sumber energi), agen bioremediasi limbah cair dengan menyerap nitrogen, fosfor dan logam berat. Selain itu, ganggang mikro juga dapat digunakan sebagai indikator kesuburan suatu perairan dimana semakin tinggi bahan organik di suatu perairan, maka pertumbuhan ganggang mikro juga semakin tinggi. Namun ganggang mikro tertentu dapat juga berperan menurunkan kualitas perairan apabila jumlahnya berlebihan. Sebagai contoh, kelas Dinoflgellata bagian tubuhnya memiliki chromatophora yang menghasilkan toksin (racun) yang apabila dalam keadaan
blooming dapat mengganggu aktivitas
metabolisme ikan dan biota perairan lainnya yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian pada ikan dan biota perairan tersebut. Dalam pengolahan limbah logam berat, fitoplankton juga dapat digunakan untuk mengikat logam berat dari badan air dan mengendapkannya pada dasar kolam sehingga logam berat dalam air menjadi berkurang.
2.2
Morfologi dan Klasifikasi Ganggang Mikro.
Ganggang mikro adalah mikroorganisme fotosintetik dengan morfologi sel yang bervariasi, baik uniselular maupun multiselular (membentuk koloni kecil). Sebagian besar ganggang mikro tumbuh secara fototrofik, meskipun tidak sedikit jenis yang mampu tumbuh secara heterotrofik. Ganggang mikro merupakan kelompok organisme yang sangat beragam dengan mampu menghasilkan senyawa kimia yang besar dan masih banyak yang belum diketahui. Produk yang dihasilkan antara lain karoten, fikobilin, asam lemak, polisakarida, vitamin, sterol, enzim dan senyawa bioaktif lainnya. Ganggang mikro umumnya bersel satu atau berbentuk benang, sebagai tumbuhan dan dikenal sebagai fitoplankton. Fitoplankton memiliki zat hijau daun (klorofil) yang berperan dalam fotosintesis untuk menghasilkan bahan organik dan oksigen dalam air. Sebagai dasar mata rantai pada siklus makanan di laut, fitoplankton menjadi makanan alami bagi zooplankton baik masih kecil maupun yang dewasa. Selain itu ganggang mikro juga dapat digunakan sebagai indikator kesuburan suatu perairan. Ganggang mikro merupakan kelompok tumbuhan berukuran renik dengan diameternya antara 3-30 μm, baik sel tunggal maupun koloni yang hidup di seluruh wilayah perairan tawar maupun laut. Organisme ini mengandung pigmen hijau (klorofil) serta pigmenpigmen lain seperti: pigmen coklat (fikosantin), biru kehijauan (fikobilin), dan merah (fikoeritrin) untuk melangsungkan proses fotosintesis. Morfologi ganggang mikro berbentuk uniseluler atau multiseluler tetapi belum ada pembagian tugas yang jelas pada sel-sel komponennya. Hal itulah yang membedakan ganggang mikro dari tumbuhan tingkat tinggi (Romimohtarto 2004). Menurut Barianti dan Gualtieri (2006), ganggang mikro merupakan tanaman yang paling efisien dalam menangkap dan memanfaatkan energi matahari dan CO2 untuk keperluan fotosintesis. Fotosintesis didefinisikan sebagai suatu proses di mana terjadi sintesa karbohidrat tertentu dari karbon dioksida dan air yang dilakukan oleh sel-sel yang berklorofil dengan bantuan cahaya matahari. Ganggang mikro termasuk tumbuhan talus (Thallophyta). Secara umum ada beberapa divisi ganggang yang diklasifikasi berdasarkan pigmennya, yaitu: Divisi Chlorophyta, Chrysophyta, Rhodophyta, Cyanophyta, Euglenophyta dan Phaeophyta. 2.2.1
Divisi Chlorophyta. Klas
: Chlorophyceae
Ordo
: Volvocales, Tetrasporales, Chlorococcales, Chlorosarcinales, Ulotrichales, Sphaeropleales, Chaetophorales, Trentepohliales, Oedogoniales, Ulvales, Cladophorales, Acrosiphoniales, Caulerpales, Siphonocladales, Dasycladales, dan Zygnematales
Chlorophyta berukuran antara 3-30 μm, memiliki alat gerak (flagela) dan motil kecuali selama fase reproduksi. Pada reproduksi aseksual, individu yang berenang bebas menjadi nonmotil karena flagela menghilang. Dalam beberapa kasus, sel-sel anak tidak membentuk flagela melainkan sel-sel terus saja memperbanyak diri. Masa sel yang terbentuk dinamakan stadia palmeloid. Stadia ini terdapat pada banyak ganggang sebagai fase perkembangan predominan (Pelczar dan Chan 1986). Setiap sel mempunyai satu nukleus dan satu kloroplas besar yang berbentuk mangkuk. Spesies Chlorophyta yang bersel tunggal ada yang dapat berpindah tempat, tetapi ada pula yang menetap. Chlorophyta merupakan golongan terbesar dari ganggang dan merupakan kelompok ganggang yang paling beragam, karena ada yang bersel tunggal, berkoloni, dan bersel banyak. Ganggang ini banyak terdapat di danau, kolam, laut dan kebanyakan hidup di air tawar (Bold dan Wynne 1985). Chlorophyta atau yang lebih umum disebut ganggang hijau pada selnya mempunyai kloroplas yang berwarna hijau dan mengandung selulosa, mengandung klorofil a dan b serta karotenoid. Chlorophyta pada kloroplasnya terdapat butiran padat yang disebut pirenoid yang berfungsi untuk pembentukan tepung dan minyak. Perkembangbiakannya secara aseksual dan seksual. Secara seksual dengan anisogami dan secara aseksual dengan zoospora dengan 3-4 flagela dan mempunyai 2 vakuola kontraktil yang berguna untuk memaksa kelebihan air keluar dari selnya. Suatu bintik mata merah (stigma) yang merupakan situs persepsi cahaya dan mengendalikan respon fototaktik (gerak menuju cahaya) ganggang ini (Tjitrosoepomo 2005). 2.2.2
Divisi Chrysophyta.
Klas
: Chrysophyceae dan Bacillariophyceae
Ordo
: Ochromonadales, Chrysamoebidales, Chrysocapsales, Chrysosphaerales, Phaeothamniales, Sarcinochrysidales, Pedinellales, Dictyochales. Sebagian besar Chrysophyta memiliki flagela, tetapi beberapa diantaranya
ameboid oleh adanya perluasan pseudopodial protoplasmanya. Bentuk ameboid yang bugil ini dapat mengambil makanan berbentuk partikel dengan bantuan pseudopodia. Divisi Chlorophyta juga tercakup kokoid dan bentuk filamen yang nonmotil. Kebanyakan ganggang yang termasuk ke dalam divisi ini adalah uniseluler, tetapi
beberapa membentuk koloni. Ganggang ini memiliki warna khas krisofit yang disebabkan karena klorofilnya tertutup pigmen-pigmen berwarna coklat. Reproduksi Chlorophyta pada umumnya dengan cara pembelahan biner tetapi dapat juga secara seksual dengan isogami (Pelczar dan Chan 1986). Diatom adalah ganggang pada klas Bacillariophyceae yang bersifat uniseluler, diatom memiliki ukuran bervariasi antara 5 μm hingga 5 mm, beberapa diatom merupakan koloni dengan bentuk yang bermacam-macam. Sel diatom mempunyai inti dan kromatofora yang berwarna kuning coklat, dalam kromatofora terkandung beberapa macam zat warna, klorofil a, karoten, santofil dan fikosantin dan ada yang tidak memiliki zat warna. Diatom memproduksi vitamin A dan D. Kerangka diatom tersusun atas molekul SiO2. Organisme diatom semasa hidupnya aktif melakukan metabolisme silikon. Unsur Si bersifat esensial bagi pertumbuhan dan perkembangan mahluk hidup. Pada makhluk hidup, kandungan silikon di kulit, tulang dan jaringan pengikat mencapai (0.01-0.04)% (Angka dan Suhartono 2000). Diatom adalah autotrof, hanya yang tidak mempunyai zat warna yang bersifat heterotrof dan hidup sebagai saprofit. Diatom berkembang biak dengan tiga cara yaitu dengan vegetatif melalui pembelahan sel, vegetatif melalui auksospora (zigot) dan secara generatif melalui oogami. Diatom mendominasi fitoplakton dalam lautan serta perairan air tawar. Lapisan-lapisan tanah yang banyak mengandung sisa-sisa diatom dinamakan tanah diatom (terra silicea). Diatom memiliki anggota sekitar 100.000 spesies diseluruh dunia. Sel-sel diatom menyimpan karbon dalam berbagai bentuk. Diatom menyimpan karbon dalam bentuk minyak alamiah atau sebagai polimer karbohidrat yang dikenal sebagai chrysolaminarin. Beberapa spesies lain kaya akan minyak (Tjitrosoepomo 2005). 2.2.3
Divisi Rhodophyta.
Klas
: Bangiophycidae
Ordo : Porphyridiales, Compsopogonales, dan Bangiales. Rhodophyta berwarna merah sampai ungu. Kromatofora berbentuk cakram atau suatu lembaran, mengandung klorofil a dan karotenoid, tetapi warna ini tertutup oleh zat warna merah yang berfluoresen, yaitu fikoeritrin dan pada jenis-jenis tertentu terdapat fikosianin. Ganggang ini bersifat uniseluler, berfilamen dan ada yang membentuk struktur daun. Material utama pada ganggang merah adalah suatu polisakarida yang dinamakan tepung florida yang merupakan hasil polimerisasi dari glukosa, berbentuk bulat, tidak larut dalam air, dan seringkali berlapis-lapis. Tepung ini
tidak terdapat pada kromatofora tetapi pada permukaannya. Selain tepung florida terdapat juga floridosida yaitu persenyawaan gliserin dan galaktosa serta minyak. Dinding sel dari ganggang merah ini juga terdiri atas dua lapis, di dalam terdiri atas selulosa dan dinding luar terdiri atas pektin yang berlendir. Habitat hidup ganggang merah adalah laut atau ekosistem payau (Atlas dan Bartha 1981). 2.2.4
Divisi Cyanophyta.
Klas
: Cyanophyceae
Ordo : Chroococcales, Chamaesiphonales, dan Oscillatoriales Cyanophyta bersel tunggal atau berbentuk benang dengan struktur tubuh yang masih sederhana. Bersifat autotrof dimana kromatofora dan inti tidak ditemukan. Dinding sel mengandung pektin, hemiselulosa dan selulosa yang kadang-kadang berupa lendir, di tengah-tengah sel terdapat bagian yang tidak berwarna yang mengandung asam deoksiribonukleat dan asam ribonukleat. Sel-sel yang telah tua tampak vakuola. Ganggang ini tidak memiliki flagela sebagai alat geraknya. Umumnya gerakan ganggang ini karena adanya kontraksi tubuh dan dibantu dengan pembentukan lendir. Setelah pembelahan sel-sel tetap bergandengan dengan perantara lendir tadi, dan dengan demikian terbentuk kelompok kelompok atau koloni. Sebagai zat makanan ditemukan glikogen dan butirbutir sianofisin (Tjitrosoepomo 1994). Hingga saat ini diperkirakan terdapat 2000 spesies Cyanophyta yang dapat ditemukan di berbagai habitat yang mengandung air, maupun di dalam tanah serta di bebatuan. Secara umum Cyanophyta lebih mendominasi pada habitat dengan keasaman netral atau sedikit alkali. Ganggang ini hidup sebagai plakton dan bentos (Bold dan Wynne 1985). 2.2.5 Divisi Euglenophyta. Klas
:Euglenophyceae
Ordo :Eutreptiales, Euglenales, dan Heteronematales Euglena merupakan bagian dari Chlorophyta karena adanya klorofil a dan b dalam kloroplas, ganggang ini bersifat uniselular dan bergerak secara aktif dengan flagela. Sel euglena tidak kaku dan tidak memiliki dinding sel yang berisikan selulosa. Membran luar lentur dan dapat digerakkan. Beberapa spesies tertentu memiliki bintik mata merah yang jelas, vakuola kontaktil dan fibril juga dijumpai dalam sel. Fotosintesis dilakukan di dalam kloroplas dan bersifat autotrofik fakultatif. Euglena tersebar luas di tanah maupun dalam air (Pelczar dan Chan 1986).
2.2.6
Divisi Phaeophyta.
Klas
: Phaeophyceae
Ordo
: Ectocarpales, Chordariales, Sporochnales, Desmarestiales, Cutleriales, Sphacelariales, Tilopteridales, Dictyotales, Dictyosiphonales, Scytosiphonales, Laminariales, Fucales, dan Durvillaeales.
Phaeophyta dalam kromatoforanya terkandung fikosantin. Sebagai hasil asimilasi dan sebagai zat makanan cadangannnya tidak pernah ditemukan zat tepung, tetapi sampai 50% dari berat keringnya terdiri atas minyak dan laminarin yaitu sejenis karbohidrat yang lebih dekat dengan selulosa dari pada tepung. Dinding selnya terdiri atas selulosa di bagian dalam dan bagian luar pektin. Sel-selnya hanya memiliki satu inti. Kebanyakan jenis ganggang ini hidup dalam air laut, sebagian lainnya di air tawar (Tjitrosoepomo 1994). 2.3
Komposisi Kimia Sel Ganggang Mikro.
Komposisi kimia sel semua jenis ganggang umumnya terdiri dari protein, karbohidrat, lemak (fatty acids) atau lipid
dan asam nukleat. Perbedaan komposisi lipid pada
ganggang seringkali memperlihatkan sebagai hasil dari variasi pada lingkungan atau kondisi media biakan. Komposisi kimia ganggang dalam persen bobot kering disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia ganggang dalam persen bobot kering Ganggang Scenedesmus obliquus Scenedesmus quadricauda Scenedesmus dimorphus Chlamydomonas rheinhardii Chlorella vulgaris Chlorella pyrenoidosa Spirogyra sp. Dunaliella bioculata Dunaliella salina Euglena gracilis Prymnesium parvum Tetraselmis maculata Porphyridium cruentum Spirulina platensis Spirulina maxima Synechoccus sp. Anabaena cylindrical
Protein 50-56 47 8-18 48 51-58 57 6-20 49 57 39-61 28-45 52 28-39 46-63 60-71 63 43-56
Komposisi Kimia (% bobot kering) Karbohidrat Lemak Asam nukleat 10-17 12-14 3-6 1.9 21-52 16-40 17 21 12-17 14-22 4-5 26 2 33-64 11-21 4 8 32 6 14-18 14-20 25-33 22-38 1-2 15 3 40-57 9-14 8-14 4–9 2-5 13-16 6-7 3-4.5 15 11 5 25-30 4-7 -
Sumber : Becker (1994)
Lemak merupakan unsur terbanyak ketiga yang terdapat di dalam organisme hidup. Lemak terdapat pada sel-sel organ vegetatif tumbuhan di dalam protoplasma. Lemak
adalah salah satu bentuk lipid yang merupakan bentuk simpanan dari karbon, hidrogen dan oksigen. Angka dan Suhartono (2000), menemukan bahwa pada ganggang hijau biru Spirulina kaya akan asam lemak tak jenuh. Salah satu jenis yang utama adalah asam linolenat yang mencapai 20% dari total lipid. Jenis gula yang menyusun karbohidrat Spirulina termasuk ramnosa (19%), glukan (1.5%), silitol berfosfat (2.5%), glukosamin dan asam muramat (2%), glikogen (0.5%), serta asam sialat (0.5%). Bold dan Wynne (1985), menambahkan bahwa 1.7% dari berat dinding sel Pleurotaenium adalah lipid, 0.32% adalah nitrogen dan selebihnya adalah glukosa, galaktosa, xylosa dan arabinosa. Ganggang adalah tumbuhan yang dapat berfotosintesis. Gula merupakan karbohidrat paling sederhana yang dihasilkan dari fotosintesis. Pertumbuhan ganggang mikro sendiri terdiri dari tiga fase utama, yaitu fase lag, eksponensial dan stasioner. Budidaya ganggang mikro memiliki berbagai keuntungan diantaranya adalah siklus hidup yang pendek, beberapa spesies hanya membutuhkan waktu beberapa jam untuk menyelesaikan siklusnya, seluruh organ dapat dipanen dan dimanfaatkan, diperbanyak sesuai target, serta biaya pemeliharaan yang rendah (Poelman et al. 1997). 2.4
Pendekatan Identifikasi Ganggang Mikro
Pendekatan identifikasi ganggang mikro dilakukan dengan mengacu pada Bold dan Wynne (1985). Identifikasi ganggang mikro yang utama didasarkan pada karakteristik morfologi serta sifat-sifat selular seperti: sifat pigmen fotosintetik; struktur sel dan flagela yang dibentuk oleh sel-sel yang bergerak, serta lipid sebagai bahan cadangan organik yang dihasilkan sel. 2.4.1
Karakteristik Morfologi.
Banyak spesies ganggang terdapat sebagai sel tunggal yang dapat berbentuk bola, batang, gada atau kumparan. Ganggang memiliki ukuran sangat beragam. Ganggang ada yang memiliki flagela ada yang tidak. Bersifat uniseluler tetapi spesies tertentu membentuk
koloni-koloni
multiseluler.
Beberapa
koloni
merupakan
agregasi
(kumpulan) sel-sel tunggal identik yang saling melekat setelah pembelahan. Ganggang sebagaimana protista eukariotik yang lain, mengandung nukleus yang membatasi membran yang mengandung pati, tetesan minyak dan vakuola. Setiap sel mengandung satu atau lebih kloroplas, yang dapat berbentuk pita, di dalam matriks kloroplas terdapat gelembung-gelembung pipih bermembran yang dinamakan tilakoid. Membran tilakoid
berisikan klorofil dan pigmen-pigmen pelengkap yang merupakan situs reaksi cahaya fotosintesis. 2.4.2
Sistem pigmen.
Pigmen terdapat dalam kloroplas. Kloroplas di dalam sel letaknya mengikuti bentuk dinding sel (parietal). Kloroplas kerap berisi masa protein cadangan, yang disebut pirenoid. Tubuh ganggang terdapat zat warna (pigmen), yaitu: - Fikosianin
: warna biru
- Klorofil
: warna hijau
- Fikosantin
: warna coklat
- Fikoeritrin
: warna merah
- Karoten
: warna keemasan
- Xantofil
: warna kuning
2.4.3
Sifat Bahan Cadangan.
Cadangan makanan ganggang umumnya merupakan amilum yang tersusun sebagai rantai glukosa tidak bercabang yaitu amilosa dan rantai yang bercabang amilopektin. Seringkali amilum tersebut terbentuk dalam granula bersama dengan badan protein dalam plastida disebut pirenoid. Pirenoid umumnya diliputi oleh butiran-butiran pati, pirenoid ini berasal dari hasil asimilasi berupa tepung dan lemak (lipid) tetapi beberapa jenis tidak mempunyai pirenoid. 2.4.4
Struktur Sel dan Flagela.
Struktur tubuh ganggang sangat bervariasi. Beberapa spesies yang bersel tunggal dapat bergerak atas kekuatan sendiri (motil), sedangkan sebagian lagi non motil. Koloni ganggang dapat berupa benang-benang (filamen). Koloni yang tidak membentuk filamen biasanya merupakan kumpulan sel berbentuk bundar atau pipih tanpa alat lekat (holdfast). Dua tipe pergerakan fototaksis pada gangang yaitu: a. Pergerakan dengan flagela. Pada umumnya sel ganggang dijumpai adanya flagela. Flagela dihubungkan dengan struktur yang sangat luas disebut aparatus neuromotor, merupakan granula pada pangkal dari tiap flagela disebut blepharoplas. Flagela tersebut dikelilingi oleh selubung plasma. b. Pergerakan dengan sekresi lendir.
Beberapa divisi ganggang juga terdiri dari anggota bersel satu yang tidak mempunyai flagela atau tidak mempunyai alat gerak yang lain. Mekanisme daya penggerak disebabkan adanya stimulus cahaya yang diduga oleh adanya sekresi lendir melalui porus dinding sel pada bagian apikal dari sel. Daya penggerak lain oleh modifikasi khusus gerak ameboid. Gerakan ditimbulkan oleh arus sitoplasmik yang terarah di dalam kanal rafe, yang mendorong sel diatas substrat (Stanier et al. 1982). Berdasarkan uraian diatas maka divisi taksonomi ganggang utama berdasarkan sifatsifat seluler disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Divisi taksonomi ganggang utama berdasarkan sifat-sifat seluler Nama Umum (Divisi) Ganggang Hijgg Ganggang Hijau (Chlorophyta) ( Ganggang Keemasan dan Diatom (Chrysophyta) Ganggang Merah (Rhodophyta) Ganggang Hijau Biru (Cyanophyta) Euglenoid (Euglenophyta) Ganggang Coklat (Phaeophyta)
Sistem pigmen
Sifat Bahan Cadangan
Struktur Sel dan Flagela
Klorofil; karoten; xantofil
Pati, minyak
Kebanyakan non motil (kecuali satu ordo), tetapi beberapa sel reproduktif dapat berflagela
Karoten
Karbohidrat seperti pati; minyak
Fikoeritrin; karoten dan xantofil Fikosianin; fikoeritrin Klorofil; karoten; xantofil
Pati floridean (seperti glikogen)
Flagela: 1 atau 2 sama atau tidak sama; pada beberapa permukaannya tertutup oleh sisiksisik khas Nonmotil; agar dan keragen dalam dinding sel
Fikosantin
Laminarin dan lipid
Glikogen dan minyak Karbohidrat seperti pati; minyak
Nonmotil; selulosa dan pektin dalam dinding sel Flagela: 1, 2, atau 3 yang sama, agak apikal ; ada kerongkongan ; tidak ada dinding sel tetapi mempunyai pelikel elastik Flagela: 2 lateral, tak sama; asam alginat dalam dinding sel.
Sumber : Pelczar dan Chan (1986)
2.5
Fisiologis Ganggang Mikro. Secara umum komunitas ganggang baik di perairan maupun darat dipengaruhi
oleh kondisi lingkungan yang ada seperti intensitas cahaya, suhu, salinitas, pH, konsentrasi zat hara organik dan anorganik. 2.5.1
Intensitas Cahaya dan Suhu. Ganggang adalah organisme fotoautotropik atau fototropik. Cahaya menjadi
faktor pembatas fotosintesis pada intensitas yang rendah. Pada keadaan ini laju dari keseluruhan fotosintesis ditentukan oleh laju suplai energi cahaya. Laju difusi CO2 ke
dalam sel juga dapat mengontrol laju fotosintesis secara keseluruhan. Keadaan jenuh cahaya kemungkinan dicapai karena CO2 menjadi faktor pembatas. Jika intensitas cahaya atau konsentrasi CO2 menjadi faktor pembatas fotosintesis, maka suhu akan sangat kecil pengaruhnya. Laju fotosintesis baru bersifat tanggap terhadap suhu pada keadaan dimana cahaya bukan merupakan faktor pembatas. Nilai maksimum kecepatan proses fotosintesis terjadi pada kisaran suhu 25-400C (Reynolds 1990). Ganggang memiliki berbagai jenis pigmen dalam kloroplasnya, maka panjang gelombang cahaya yang diserapnya menjadi lebih bervariasi. Laju pertumbuhan Chaetoceros gracilis naik pada intensitas penyinaran 50010.000 klux. Skeletonema costatum banyak dipengaruhi oleh periode penyinaran dengan 10-12 jam gelap merupakan periode penyinaran yang optimum untuk pertumbuhannya. Sehingga dengan peningkatan intensitas sinar dari 500-12.000 klux dapat meningkatkan pertumbuhan jenis ganggang ini, akan tetapi akan menurun jika intensitas melebihi 12.000 klux. Intensitas sinar sebesar 4000-5000 klux merupakan kisaran intensitas sinar optimal untuk pembentukan auksospora diatom (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Menurut Borowitzka dan Borowitzka (1988), Dunaliella spp. memiliki toleransi yang tinggi terhadap suhu. Hal ini dimungkinkan oleh adanya dinding sel yang terdiri atas protein. Pada suhu diatas 400C Dunaliella tertiolecta mulai mengeluarkan gliserol pada komponen plasma membran sebagai bentuk penyesuaian terhadap perubahan lingkungan. Setiap jenis ganggang membutuhkan cahaya dan suhu tertentu untuk pertumbuhan maksimumnya. Welch (1980), menyatakan bahwa diatom akan mendominasi perairan pada saat intensitas cahaya tinggi dan suhu rendah. Chlorohyta melimpah pada kondisi intensitas cahaya tinggi dan suhu tinggi, sedangkan Cyanophyta akan mendominasi perairan apabila intensitas cahaya rendah dan suhu tinggi. 2.5.2
Salinitas dan pH. Salinitas dan pH merupakan parameter oseanografi yang penting. Salinitas
adalah salah satu faktor yang berpengaruh terhadap organisme air dalam mempertahankan tekanan osmotik dalam protoplasma dengan air sebagai lingkungan hidupnya. Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), ganggang Phaeodactylum sp. bertoleransi terhadap kadar garam 20-700/00 dan mengalami pertumbuhan optimal pada kisaran salinitas 350/00. Chaetoceros sp. memiliki toleransi terhadap kisaran salinitas sangat tinggi yaitu 6-500/00, dengan kisaran salinitas 17-250/00 sebagai salinitas optimum
untuk pertumbuhannya. Sedangkan pada Skletonema costatum salinitas yang optimal untuk pembentukan auksospora adalah 20-350/00. Menurut Takagi et al. (2005), penambahan 0,5 M NaCl selama kultivasi ganggang mikro laut Dunaliella memberikan peningkatan pertumbuhan dan kandungan lipid. Konsentrasi ion hidrogen (H+) dalam cairan sel dan protoplasma sangat penting bagi fisiologis ganggang. Ganggang umumnya hidup dengan baik pada pH netral ( pH 7). Colman dan Gehl (1983), menyatakan bahwa aktivitas fotosintesis akan turun menjadi maximum 33% ketika pH turun pada 5. Pertumbuhan ganggang laut jenis Chlorella sp. sangat baik pada kisaran pH 6- 8 dan kisaran salinitas 20-40ppt (Sutomo 1990). Perairan yang berkondisi asam dengan pH kurang dari 6 dapat menyebabkan ganggang tidak dapat hidup dengan baik. Perairan dengan nilai pH lebih kecil dari 4 merupakan perairan yang sangat asam dan dapat menyebabkan kematian organisme air, sedangkan pH lebih dari 9,5 merupakan perairan yang sangat basa dan dapat mengurangi produktivitas organisme air termasuk ganggang (Wardoyo 1982). Air yang bersifat basa dan netral menjadikan organisme yang hidup di dalamnya lebih produktif untuk tumbuh dan berkembang dibandingkan dengan air yang bersifat asam (Hickling 1971). 2.5.3
Unsur Hara. Unsur hara anorganik utama yang dibutuhkan ganggang mikro untuk tumbuh
dan berproduksi adalah N dan P. Gas nitrogen, nitrat, nitrit, ammonium, dan bentuk nitrogen organik adalah bentuk nitrogen dalam air (Boyd 1992). Gas nitrogen (N2) tidak dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik dan harus mengalami fiksasi terlebih dahulu menjadi amonia (NH3), amonium (NH4+) dan nitrat (NO3-). Namun beberapa jenis Cyanophyta dapat memanfaatkan gas N2 secara langsung dari udara (Effendi 2003). Unsur hara nitrogen yang dibutuhkan ganggang dalam pertumbuhannya adalah nitrogen dalam bentuk nitrat (NO3-) (Nybakken 1993). Ditambahkan oleh Mulyadi (1999), bahwa ketersediaan nitrat dalam media akan mempengaruhi kecepatan serap ammonium oleh ganggang Dunaliella tertiolecta. Pemanfaatan ammonium meningkat seiring dengan semakin berkurangnya kandungan nitrat dalam media hidupnya. Kecepatan serap ganggang hijau ini bervariasi antara 0,041 - 0,085 mg/l. Rata-rata nitrogen yang dibutuhkan oleh banyak ganggang adalah antara 5-10% dari berat kering atau 5-50 mM (Becker et al. 1994).
Fosfor (P) merupakan unsur esensial bagi pertumbuhan ganggang, sehingga menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan ganggang akuatik. Fosfor ditemukan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut (ortofosfat dan polifosfat) dan senyawa organik yang berupa partikulat di perairan. Ortofosfat merupakan produk ionisasi dari asam ortofosfat yang paling sederhana dan dapat dimanfaatkan secara langsung oleh ganggang (Boyd 1992). Ganggang tidak dapat memanfaatkan fosfor yang berikatan dengan ion besi dan kalsium pada kondisi aerob karena bersifat mengendap (Jeffries dan Mills 1996). Menurut Musa (1992), perairan dengan kandungan fosfat rendah 0,00 - 0,02ppm akan didominasi oleh diatom, pada 0,02 – 0,05ppm didominasi oleh Chlorophyta dan pada konsentrasi tinggi yaitu > 0,10ppm akan didominasi oleh Cyanophyta. Selain hara anorganik utama, hara lainnya juga dibutuhkan untuk pengkayaan sejumlah ganggang tertentu seperti Si, Zn, Mn, Mo, Na, Cl, Cu, Co, dan B. Unsur hara mikro berperan dalam sistem enzim, proses oksidasi dan reduksi dalam metabolisme ganggang mikro serta digunakan untuk
memproduksi klorofil (Garcia dan Garcia 1985). Walaupun
unsur hara anorganik dan organik hanya dibutuhkan dalam jumlah kecil tetapi harus dipenuhi untuk melengkapi daur hidup ganggang (Nybakken 1993). 2.6
Logam Berat. Logam berasal dari kerak bumi berupa bahan-bahan murni organik dan
anorganik. Secara alami siklus perputaran logam adalah dari kerak bumi ke lapisan tanah, ke mahluk hidup, ke dalam air, selanjutnya mengendap dan akhirnya kembali ke kerak bumi (Darmono 1995). Istilah logam secara fisik mengandung arti suatu unsur yang merupakan konduktor listrik yang baik dan mempunyai konduktivitas panas, mempunyai rapatan, mudah ditempa, kekerasan dan keelektropositifan yang tinggi. Menurut Connell dan Miller (1995), logam berat adalah suatu logam dengan berat jenis lebih besar. Logam ini memiliki karakter seperti berkilau, lunak atau dapat ditempa, mempunyai daya hantar panas dan listrik yang tinggi dan bersifat kimiawi, yaitu sebagai dasar pembentukan reaksi dengan asam. Selain itu logam berat adalah unsur yang mempunyai densitas lebih besar dari 5 g/cm3, mempunyai nomor atom lebih besar dari 21 dan terdapat di bagian tengah daftar unsur-unsur periodik. Secara umum logam berat dikelompokkan sebagai logam dan metaloid dengan densitas lebih besar dari 5 g/cm3, terutama pada unsur seperti Cd, Cr, Cu, Hg, Ni, Pb dan Zn. Unsur-unsur ini biasanya erat kaitannya dengan masalah pencemaran dan toksisitas. Logam berat secara alami ditemukan pada batu-
batuan dan mineral lainnya, maka dari itu logam berat secara normal merupakan unsur dari tanah, sedimen, air dan organisme hidup serta akan menyebabkan pencemaran bila konsentrasinya telah melebihi batas normal. Jadi konsentrasi relatif logam dalam media adalah hal yang paling penting (Alloway dan Ayres 1993). 2.7
Pencemaran Logam Berat. Menurut keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup
No.02/MENKLH/I/1988 yang dimaksud dengan polusi atau pencemaran air dan udara adalah masuk dan dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air/udara dan atau berubahnya tatanan (komposisi) air/udara oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas air/udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air/udara menjadi kurang atau tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Bahan pencemar (polutan) adalah material atau energi yang dibuang ke lingkungan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan baik abiotik maupun biotik (Quano 1993). Berdasarkan sumber pencemaran dapat dibagi menjadi dua kelompok (Soegiharto 1976), yakni : a. Dari laut, misalnya tumpahan minyak baik dari sumbernya langsung maupun hasil pembuangan kegiatan pertambangan di laut, sampah dan air ballast dari kapal tanker. b. Kegiatan darat melalui udara dan terbawa oleh arus sungai yang akhirnya bermuara ke laut. Pencemaran logam berat terhadap lingkungan perairan terjadi karena adanya suatu proses yang erat hubungannya dengan penggunaan logam tersebut dalam kegiatan manusia, dan secara sengaja maupun tidak sengaja membuang berbagai jenis limbah beracun termasuk di dalamnya terkandung logam berat ke dalam lingkungan perairan. Sumber utama pemasukan logam berat berasal dari kegiatan pertambangan, cairan limbah rumah tangga, limbah dan buangan industri, serta limbah pertanian (Connell dan Miller 1995). Menurut Bryan (1976) secara alamiah logam berat juga masuk ke dalam perairan dapat digolongkan sebagai: (1) pasokan dari daerah pantai, yang meliputi masukan dari sungai-sungai dan erosi yang disebabkan oleh gerakan gelombang dan gletser, (2) pasokan dari laut dalam, yang meliputi logam-logam yang dilepaskan gunung berapi di laut dalam dan dari partikel atau endapan oleh adanya proses kimiawi, (3) pasokan yang melampaui lingkungan dekat pantai yang meliputi logam yang diangkut ke dalam atmosfer sebagai partikel-partikel debu atau sebagai aerosol dan juga
bahan yang dihasilkan oleh erosi gletser di daerah kutub dan diangkut oleh es yang mengambang. Logam berat termasuk sebagai zat pencemar karena sifatnya yang tidak dapat diuraikan secara biologis dan stabil, sehingga dapat tersebar jauh dari tempatnya semula (Dewi 1996). Selanjutnya dikatakan bahwa ada dua hal yang menyebabkan logam berat digolongkan sebagai pencemar yang berbahaya, yaitu (1) tidak dihancurkan oleh mikroorganisme yang hidup di lingkungan dan (2) terakumulasi dalam komponenkomponen lingkungan, terutama air dengan membentuk senyawa kompleks bersama bahan organik dan anorganik secara adsorpsi dan kombinasi. 2.7.1
Logam berat dalam perairan. Banyak logam berat yang bersifat toksik maupun esensial terlarut dalam air dan
mencemari air tawar maupun air laut. Sumber pencemaran ini banyak berasal dari pertambangan, peleburan logam dan jenis industri lainnya, dan juga dapat berasal dari lahan pertanian yang menggunakan pupuk atau anti hama yang mengandung logam (Darmono 2001). Pencemaran logam berat dapat merusak lingkungan perairan dalam hal stabilitas, keanekaragaman dan kematangan ekosistem. Dari aspek ekologis, kerusakan ekosistem perairan akibat pencemaran logam berat dapat ditentukan oleh faktor kadar dan kesinambungan zat pencemar yang masuk dalam perairan, sifat toksisitas dan bioakumulasi. Pencemaran logam berat dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur komunitas perairan, jaringan makanan, tingkah laku, efek fisiologi, genetik dan resistensi (Racmansyah et al. 1998). Logam-logam berat yang terlarut dalam badan perairan pada konsentrasi tertentu akan berubah fungsi menjadi sumber racun bagi kehidupan. Pada tingkat lanjutan, keadaan tersebut tentu saja dapat menghancurkan satu tatanan ekosistem perairan (Palar 1994). Secara alamiah, beberapa unsur logam berat terdapat di seluruh alam (Tabel 3), namun dalam kadar yang sangat rendah (Hutagalung 1984). Kadar logam dapat meningkat bila limbah perkotaan, pertambangan, pertanian dan perindustrian yang banyak mengandung logam berat masuk ke dalam perairan alami melalui saluran pembuangan. Logam berat yang sangat beracun ini tahan lama dan sangat banyak terdapat di lingkungan. Logam berat tersebut adalah raksa (Hg), timah hitam (Pb), arsen (As), kadmium (Cd), kromium (Cr) dan nikel (Ni). Tabel 3. Konsentrasi logam berat di dalam hidrosfer. Logam
Air Tawar (µg/l)
Air laut (µg/l)
Hg
0,001 – 3,5
0,03 – 2,7
Pb
0,02 – 27
0,13 – 13
Cr
0,1 – 6
0,2 – 50
As
0,001 – 3,5
0,03 – 2,7
Cd
0,01 – 3
0,01 – 4
Ni
0,03 - 10
4 – 10
Sumber : Alloway dan Ayres (1993). 2.7.2
Logam Berat dalam Sedimen. Sedimen berasal dari kerak bumi yang diangkut melalui proses hidrologi dari
suatu tempat ke tempat lain, baik secara vertikal ataupun horizontal (Friedman dan Sanders 1978). Sedimen terdiri dari beberapa komponen dan banyak sedimen merupakan pencampuran dari komponen-komponen tersebut. Komponen tersebut bervariasi, tergantung dari lokasi, kedalaman dan geologi dasar (Forstner dan Wittman 1983). Sedimen terdiri dari bahan organik dan bahan anorganik yang berpengaruh negatif terhadap kualitas air. Bahan organik berasal dari biota atau tumbuhan yang membusuk lalu tenggelam ke dasar dan bercampur dengan lumpur. Bahan anorganik umumnya berasal dari pelapukan batuan. Sedimen hasil pelapukan batuan terbagi atas: kerikil, pasir, lumpur dan liat. Butiran kasar banyak dijumpai dekat pantai, sedangkan butiran halus banyak di perairan dalam atau perairan yang relatif tenang. Hutabarat dan Evans (1985), telah membagi sedimen berdasarkan ukuran diameter butiran, yaitu batuan (boulders), kerikil (gravel), pasir sangat kasar (very coarse sand), pasir kasar (coarse sand), pasir halus (fine sand), pasir sangat halus (very fine sand), pasir (medium sand), lumpur (silt), liat (clay) dan bahan terlarut (dissolved material). Bahan partikel yang tidak terlarut seperti pasir, lumpur, tanah dan bahan kimia anorganik dan organik menjadi bahan yang tersuspensi di dalam air, sehingga bahan tersebut menjadi penyebab pencemaran tertinggi dalam air. Keberadaan sedimen pada badan
air mengakibatkan
peningkatan
kekeruhan
perairan
yang
selanjutnya
menghambat penetrasi cahaya yang dapat menghambat daya lihat (visibilitas) organisme air, sehingga mengurangi kemampuan ikan dan organisme air lainnya untuk memperoleh makanan, pakan ikan menjadi tertutup oleh lumpur. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya kerja organ pernapasan seperti insang pada organisme air dan akan mengakumulasi bahan beracun seperti pestisida dan senyawa logam. Hingga saat ini, Indonesia tidak memiliki baku mutu yang dapat diacu untuk logam berat dalam sedimen sungai. Sementara itu, kehadiran logam berat dalam
sedimen sungai sangat krusial. Kandunganlogam berat dalam sedimen
akan
mempengaruhi organisme yang tinggal di dasar air, benthos. Hasil penelitian (Tabel 4). menemukan beberapa elemen logam terkonsentrasi pada sedimen di beberapa lokasi pengambilan sampel daerah aliran sungai Citarum. Konsentrasi yang lebih tinggi dari unsur Cr, Cu dan Pb menunjukkan input yang berasal dari area industri, khususnya industri tekstil. Telah diketahui bahwa industri tekstil menggunakan berbagai macam logam berat dalam prosesnya, terutama dalam proses “dyeing” dan “printing”. Akibatnya, mereka membuang sejumlah logam berat ke lingkungan. Sunardi dan Ariyanti (2009) telah menunjukkan bahwa sedimen yang terkontaminasi logam akan bersifat toksik terhadap organisme benthos. Tabel 4. Kandungan logam berat pada sedimen sungai Citarum
Hg Cd (ppb) (ppm) Cisanti 133 1,35 Majalaya 118,92 0,990 Rancaekek 140,54 1,005 Cisirung 978 1,95 Margaasih 356,76 0,765 Batu Jajar 172,97 0,765 Cihaur 118,92 0,900 Jatiluhur 140,54 0,885 Bekasi 140,54 0,960 Sumber : Sunardi dan Ariyanti (2009). Lokasi
Cr (ppm) 117 99,3 58,8 324 51,4 30,6 48,6 35,1 48,4
Cu (ppm) 43 49,2 42,0 131 62,7 159,5 30,2 20,6 156,2
Pb (ppm) 12 26,8 11,8 29 79,3 40,7 13,9 25,7 18,2
Pada sedimen terdapat hubungan antara ukuran partikel sedimen dengan kandungan bahan organik. Pada sedimen yang halus, persentase bahan organik lebih tinggi dari pada sedimen yang kasar. Hal ini berhubungan dengan kondisi lingkungan yang tenang, sehingga memungkinkan pengendapan sedimen lumpur yang diikuti oleh akumulasi bahan organik ke dasar perairan. Sedangkan pada sedimen yang kasar, kandungan bahan organiknya lebih rendah karena partikel yang lebih halus tidak mengendap. Demikian pula dengan bahan pencemar, kandungan bahan pencemar yang tinggi biasanya terdapat pada partikel sedimen yang halus. Hal ini diakibatkan adanya daya tarik elektrokimia antara partikel sedimen dengan partikel mineral. 2.7.3
Logam Berat dalam Organisme Air. Pertumbuhan organisme air sangat dipengaruhi oleh keberadaan logam berat di
dalam air, terutama pada konsentrasi yang melebihi batas normal. Organisme air mengambil logam berat dari badan air atau sedimen dan memekatkannya ke dalam tubuh hingga 100-1000 kali lebih besar dari lingkungan. Akumulasi melalui proses ini disebut bioakumulasi. Kemampuan organisme air dalam menyerap (absorpsi) dan
mengakumulasi logam berat dapat melalui beberapa cara, yaitu melalui saluran pernapasan (insang), saluran pencernaan dan difusi permukaan kulit (Hutagalung 1991; Darmono 2001). Namun sebagian besar logam berat masuk ke dalam tubuh organisme air melalui rantai makanan dan hanya sedikit yang diambil dari air (Waldichuck 1974). Akumulasi dalam tubuh organisme air dipengaruhi oleh konsentrasi bahan pencemar dalam air, kemampuan akumulasi, sifat organisme (jenis, umur dan ukuran) dan lamanya pernapasan. 2.7.4
Raksa (Hg). Logam merkuri bernomor atom 80, berat atom 200,59, titik didih 356,9 oC, dan
massa jenis 13,6 g/ml (Reilly 1991). Merkuri dalam perairan dapat berasal dari buangan limbah industri kelistrikan dan elektronik, baterai, pabrik bahan peledak, fotografi, pelapisan cermin, pelengkap pengukur, industri bahan pengawet, pestisida, industri kimia, petrokimia, limbah kegiatan laboratorium dan pembangkit tenaga listrik yang menggunakan bahan baku bakar fosil (Suryadiputra 1995). Merkuri terdapat dalam bentuk Hg (murni), Hg anorganik dan Hg organik (Darmono 1995). Merkuri di alam umumnya terdapat sebagai metil merkuri yaitu bentuk senyawa organik (alkil merkuri atau metil merkuri) dengan daya racun tinggi dan sukar terurai dibandingkan zat asalnya. Bila terakumulasi metil merkuri dalam tubuh, akan mengakibatkan keracunan yang bersifat akut maupun kronis (Darmono 1995). Akibat dari keracunan akut antara lain adalah mual, muntah-muntah, diare, kerusakan ginjal, bahkan dapat mengakibatkan kematian. Keracunan kronis ditandai oleh peradangan mulut dan gusi, pembengkakan kelenjar ludah dan pengeluaran ludah secara berlebihan, gigi menjadi longgar dan kerusakan pada ginjal. Kadar maksimum merkuri untuk keperluan air baku air minum kurang dari 0,001 mg/L dan untuk kegiatan perikanan yang diperbolehkan kurang dari 0,002 mg/L (Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001). Merkuri yang masuk ke dalam perairan dapat masuk dan terakumulasi pada ikan-ikan dan makhluk air lainnya, termasuk ganggang dan tumbuhan air. Mekanisme masuknya merkuri ke dalam tubuh hewan air adalah melalui penyerapan pada permukaan kulit, melalui insang dan rantai makanan, sedangkan pengeluaran dari tubuh organisme perairan bisa melalui pemukaan tubuh atau insang atau melalui isi perut dan urine. Merkuri dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui tiga cara yaitu pernafasan (inhalasi), permukaan kulit dan paling banyak melalui makanan. Hal ini terjadi karena ikan-ikan yang telah terkontaminasi senyawa merkuri tersebut dikonsumsi oleh manusia sehingga merkuri terakumulasi dalam tubuh manusia. Penyerapan merkuri dalam
manusia cenderung terkonsentrasi di dalam hati dan ginjal, karena di dalam organ tersebut terdapat protein yang terdiri dari asam amino sistein (Fardiaz 1992). Logam berat Hg berbahaya karena bersifat biomagnifikasi sehingga dapat terakumulasi dalam jaringan tubuh organisme melalui rantai makanan. Organisme yang berada pada rantai yang paling tinggi (top carnivora) memiliki kadar merkuri yang lebih tinggi dibanding organisme di bawahnya. Logam berat dalam jumlah berlebihan dapat bersifat racun. Hal ini disebabkan karena terbentuknya senyawa merkaptida antara logam berat dengan gugus –SH yang terdapat dalam enzim. Akibatnya aktifitas enzim tidak berlangsung. Toksisitas merkuri terhadap organisme perairan tergantung pada jenis, kadar efek sinergis-antagonis dan bentuk fisika kimianya (Hutagalung 1989). Merkuri yang paling toksik adalah bentuk alkil merkuri yaitu metil dan etil merkuri yang paling banyak digunakan untuk mencegah timbulnya jamur. Alkil merkuri, terakumulasi dalam hati dan ginjal yang dikeluarkan melalui cairan empedu. 2.7.5
Timbal (Pb). Timbal atau timah hitam adalah sejenis logam lunak berwarna cokelat dengan
nomor atom 82, berat atom 207,19, titik cair 327,5º C, titik didih 1725º C, dan berat jenis 11,4 gr/ml (Reilly 1991). Logam ini mudah dimurnikan sehingga banyak digunakan oleh manusia pada berbagai kegiatan misalnya pertambangan, industri dan rumah tangga. Pada pertambangan timbal berbentuk senyawa sulfida (PbS). Timbal (Pb) secara alami banyak ditemukan dan tersebar luas pada bebatuan dan lapisan kerak bumi. Di perairan logam Pb ditemukan dalam bentuk Pb2+, PbOH+, PbHCO3+, PbSO4 dan PbCO+ (Rohilan 1992). Pb2+ di perairan bersifat stabil dan lebih mendominasi dibandingkan dengan Pb4+. Masuknya logam Pb ke dalam perairan melalui proses pengendapan yang berasal dari aktivitas di darat seperti industri, rumah tangga dan erosi, jatuhan partikel-partikel dari sisa proses pembakaran yang mengandung tetraetil Pb, air buangan dari pertambangan bijih timah hitam dan buangan sisa industri baterai (Palar 1994). Logam Pb bersifat toksik pada manusia dan dapat menyebabkan keracunan akut dan kronis. Keracunan akut biasanya ditandai dengan rasa terbakar pada mulut, adanya rangsangan pada sistem gastrointestinal yang disertai dengan diare. Sedangkan gejala kronis umumnya ditandai dengan mual, anemia, sakit di sekitar mulut, dan dapat menyebabkan kelumpuhan (Darmono 2001). Fardiaz (1992) menambahkan bahwa daya racun dari logam ini disebabkan terjadi penghambatan proses kerja enzim oleh ion-ion Pb2+. Penghambatan tersebut menyebabkan terganggunya pembentukan hemoglobin darah. Hal ini disebabkan adanya bentuk ikatan yang kuat (ikatan kovalen) antara ion-
ion Pb2+ dengan gugus sulfur di dalam asam-asam amino. Untuk menjaga keamanan dari keracunan logam ini, batas maksimum timbal dalam makanan laut yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI dan FAO adalah sebesar 2,0 ppm. Pada organisme air kadar maksimum Pb yang aman dalam air adalah sebesar 50 ppb (EPA 1973). 2.7.6
Kadmium (Cd). Kadmium adalah logam yang berwarna putih keperakan, lunak dan tahan korosi.
Kadmium didapat pula pada limbah berbagai jenis pertambangan logam yang tercampur kadmium seperti timah hitam dan seng. Dengan demikian, kadmium dapat ditemukan di dalam perairan, baik di dalam sedimen maupun di dalam penyediaan air minum (Soemirati 1994). Logam kadmium sangat banyak digunakan dalam kehidupan seharihari manusia. Antara lain sebagai bahan stabilisasi, bahan pewarna dalam industri plastik dan pada elekrtoplating dan juga digunakan untuk solder dan baterai (Palar 1994). Senyawa kadmium juga digunakan sebagai bahan fotografi, pembuatan tabung TV, cat, karet, kembang api, percetakan tekstil dan pigmen untuk gelas dan email gigi. Kadmium dalam tubuh terakumulasi dalam hati dan terutama terikat sebagai metalotionein mengandung unsur sistein, dimana Cd terikat dalam gugus sufhidril (-SH) dalam enzim seperti karboksil sisteinil, histidil, hidroksil, dan fosfatil dari protein purin. Kemungkinan besar pengaruh toksisitas Cd disebabkan oleh interaksi antara Cd dan protein tersebut, sehingga menimbulkan hambatan terhadap aktivitas kerja enzim dalam tubuh ( Darmono 2001). 2.7.7
Arsen (As). Arsen, adalah bahan metaloid yang terkenal beracun dan memiliki tiga bentuk
alotropik; kuning, abu-abu dan hitam (Norman 1998). Senyawa arsenik digunakan sebagai pestisida dan dalam alloy. Arsenik secara kimiawi memiliki karakteristik yang serupa dengan fosfor dan sering dapat digunakan sebagai pengganti dalam berbagai reaksi biokimia dan juga beracun. Ketika dipanaskan, arsenik akan cepat teroksidasi menjadi oksida arsenik, yang berbau seperti bau bawang putih. Arsenik dan beberapa senyawa arsenik juga dapat langsung tersublimasi, berubah dari padat menjadi gas tanpa menjadi cairan terlebih dahulu. Zat dasar arsenik ditemukan dalam dua bentuk padat yang berwarna kuning dan metalik, dengan berat jenis 1,97 g/cm3 dan 5,73 g/cm3 (Holleman et al. 1985). Sebagian besar arsen di alam merupakan bentuk senyawa dasar yang berupa senyawa inorganik sebagai arsenat, berbentuk kristal, tidak berwarna dan tidak berbau seperti
oksida As2O3 (arsen putih) dan As2O5. Oksida ini bersifat higroskopis dan mudah larut dalam air membentuk asam. Asam yang terbentuk dari arsen (V) merupakan asam lemah, dalam bentuk garamnya arsenik dapat mencemari air tanah. Senyawa arsen inorganik terpapar pada manusia melalui kontak langsung dengan air atau gas yang mengandung arsenik. Beberapa tempat di bumi mengandung arsen yang cukup tinggi sehingga dapat merembes ke air tanah. Arsenik dalam air tanah bersifat alami, dan dilepaskan dari sedimen ke dalam air tanah karena tidak adanya oksigen pada lapisan di bawah permukaan tanah. Arsenat sintetik seperti Paris Green [tembaga (II) asetoarsenik], kalsium arsenat, dan timbal hidrogenarsenat digunakan sebagai insektisida dan racun hama (Rahman et al. 2004). Timbal hydrogen arsenat digunakan sebagai insektisida umum pada tanaman buah (Peryea 1998). Penelitian Stolz et al. (2006) menemukan beberapa spesies bakteri menggunakan arsenic bebagai bahan bahan mendapatkan energi metabolism, bakteri tersebut mereduksi arsenat menjadi arsenik, dengan memanfaatkan enzim arsenat reduktase (ArrE). 2.8
Pestisida
2.8.1
Pengertian Pestisida. Pestisida (Inggris: pesticide) berasal dari kata pest yang berarti hama dan cide
yang berarti mematikan/racun. Jadi pestisida adalah racun hama. Secara umum pestisida dapat didefenisikan sebagai bahan yang digunakan untuk mengendalikan populasi jasad yang dianggap sebagai pest (hama) yang secara langsung maupun tidak langsung merugikan kepentingan manusia. Menurut Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1973 (PP No. 7 tahun 1973) tentang pengawasan atas peredaran, penyimpanan dan penggunaan pestisida, pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk : a.
Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang merusak tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian.
b.
Memberantas rerumputan.
c.
Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan.
d.
Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman tidak termasuk pupuk.
e.
Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan piaraan atau ternak.
f.
Memberantas atau mencegah hama-hama air.
g.
Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam rumah tangga, bangunan dan dalam alat-alat pengangkutan.
h.
Memberantas
atau
mencegah
binatang-binatang
yang
dapat
menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah atau air. Menurut The United States Federal Insecticide, Fungicide, and Rodenticide Act (FIFRA), pestisida adalah sebagai berikut : a.
Semua zat atau campuran zat yang khusus digunakan untuk mengendalikan, mencegah, atau menangkis gangguan serangga, binatang pengerat, nematoda, gulma, virus, bakteri, jasad renik yang dianggap hama, kecuali virus, bakteri atau jasad renik lainnya yang terdapat pada manusia dan binatang.
b.
Semua zat atau campuran zat yang digunakan untuk mengatur pertumbuhan tanaman atau pengering tanaman (Djojosumarto 2004).
2.8.2
Penggolongan Pestisida. Pestisida mempunyai sifat-sifat fisik, kimia dan daya kerja yang berbeda-beda,
karena itu dikenal banyak macam pestisida. Pestisida dapat digolongkan menurut berbagai cara tergantung pada kepentingannya, antara lain: berdasarkan sasaran yang akan dikendalikan, berdasarkan cara kerja, berdasarkan struktur kimianya dan berdasarkan bentuknya. Penggolongan pestisida berdasarkan sasaran yang akan dikendalikan yaitu : a.
Insektisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang bisa mematikan semua jenis serangga.
b.
Fungisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun dan bisa digunakan untuk memberantas dan mencegah fungi/cendawan.
c.
Bakterisida, disebut bakterisida karena senyawa ini mengandung bahan aktif beracun yang bisa membunuh bakteri.
d.
Nematisida, digunakan untuk mengendalikan nematoda/cacing.
e.
Akarisida atau sering juga disebut dengan mitisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang digunakan untuk membunuh tungau, caplak, dan laba-laba.
f.
Rodentisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang digunakan untuk mematikan berbagai jenis binatang pengerat.
g.
Moluskisida adalah pestisida untuk membunuh moluska, yaitu siput telanjang, siput setengah telanjang, sumpil, bekicot, serta trisipan yang banyak terdapat di tambak.
h.
Herbisida adalah bahan senyawa beracun yang dapat dimanfaatkan untuk membunuh tumbuhan pengganggu yang disebut gulma.
2.8.3
Herbisida. Herbisida merupakan suatu bahan atau senyawa kimia yang digunakan untuk
menghambat
pertumbuhan
atau
mematikan
tumbuhan.
Herbisida
ini
dapat
mempengaruhi satu atau lebih proses-proses (seperti pada proses pembelahan sel, perkembangan jaringan, pembentukan klorofil, fotosintesis, respirasi, metabolisme nitrogen, aktivitas enzim dan sebagainya) yang sangat diperlukan tumbuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Pengertian tersebut mengandung arti bahwa herbisida berasal dari metabolit, hasil ekstraksi, atau bagian dari suatu organisme. Di samping itu herbisida bersifat racun terhadap gulma atau tumbuhan penganggu juga terhadap tanaman. Herbisida yang diaplikasikan dengan dosis tinggi akan mematikan seluruh bagian yang dan jenis tumbuhan. Pada dosis yang lebih rendah, herbisida akan membunuh tumbuhan sasaran dan tidak merusak tumbuhan yang lainnya. Dari cara kerjanya herbisida ada 2 macam, herbisida kontak dan herbisida sistemik. Herbisida kontak adalah herbisida yang berguna untuk menyiang gulma dengan cara langsung mengganggu tanaman untuk berfotositensis, gulma yang secara langsung terkena herbisida kontak akan mati. Herbisida sistemik adalah herbisida yang cara kerjanya dengan mengganggu enzim yang berperan dalam membentuk asam amino yang dibutuhkan tanaman, dan mudah menyerap ke seluruh jaringan tanaman, gulma akan mati sampai akar-akarnya. Pada umumnya herbisida bekerja dengan mengganggu proses anabolisme senyawa penting seperti pati, asam lemak atau asam amino melalui kompetisi dengan senyawa yang "normal" dalam proses tersebut. Herbisida menjadi kompetitor karena memiliki struktur yang mirip dan menjadi kosubstrat yang dikenali oleh enzim yang menjadi sasarannya. Cara kerja lain adalah dengan mengganggu keseimbangan produksi bahan-bahan kimia yang diperlukan tumbuhan. Sebagai contoh: (a). Glifosat (dari Monsanto) mengganggu sintesis asam amino aromatik karena berkompetisi dengan fosfoenol piruvat ; (b). Fosfinositrin mengganggu asimilasi nitrat dan ammonium karena menjadi substrat dari enzim glutamin sintase. (Schopfer dan Brennicke 2006).
Berdasarkan mekanisme kerjanya herbisida pada tanaman di antaranya: a. menghambat
proses
fotosintesis,
seperti
anilides,
uracils,
benzimidazoles,
biscarmabates, pyridazinones, triazines, quinones, dan triazinones. b. menghambat sintesis asam amino, seperti glyphosate, sulfonilures, bialaphos, dan imidazolinones. c. mengganggu membran sel, seperti p-nitrodiphenyl eter, N-phenylamides, dan oxadiazoles. d. menghambat sintesis lipid, seperti asam alkali aryloxyphenoxy e. mengambat sintesis selulosa, seperti dichlobenil f. menghambat pembelahan sel, seperti fosfor amida dan dinitroanilin g. menghambat sintesis klorofil, seperti phiridazinones, fluoridon, dan difluninon h. menghambat sintesis folat, seperti metilkarbamat i. menghambat pertumbuhan tunas, seperti metachlor j. mengatur perkembangan, seperti asam pikolinat dan asam benzoat. 2.8.3.1 Paraquat. Herbisida paraquat merupakan herbisida kontak dari golongan bipiridilium yang digunakan untuk mengendalikan gulma yang diaplikasikan pasca-tumbuh. Herbisida tersebut digunakan secara luas untuk mengendalikan gulma musiman khususnya rerumputan (Tjitrosoedirdjo et al. 1984). Paraquat (C12H14N2Cl2) adalah nama dagang untuk 1,1'-dimethyl-4,4'-bipyridinium dichloride, salah satu yang paling banyak digunakan di dunia herbisida. Paraquat, yang viologen, bersifat cepat bereaksi dan nonselektif, membunuh tanaman hijau pada jaringan kontak. Paraquat juga bersifat racun bagi mahluk hidup bila terakumulasi didalam tubuh. Herbisida paraquat bekerja dalam kloroplas. Kloroplas merupakan bagian dalam proses fotosintesis, yang mengabsorbsi cahaya matahari yang digunakan untuk menghasilkan gula.
Gambar 2. Senyawa paraquatdiklorida Herbisida paraquat (Gambar 2) merupakan bagian dari kelompok senyawa bioresisten yang sulit terdegradasi secara biologis dan relatif stabil pada suhu, tekanan dan pH normal. Hal ini memungkinkan paraquat teradsorpsi sangat kuat oleh partikel tanah yang menyebabkan senyawa ini dapat bertahan lama di dalam tanah (Sastroutomo 1992). Paraquat diketahui sebagai senyawa yang sangat toksik, dan keberadaannya di dalam tanah sebesar 20 ppm mampu menghambat perkembangan dan aktivitas bakteri Azotobacter dan Rhizobium yang berperan dalam fiksasi nitrogen (Martani et al. 2001).
2.8.3.2 Glifosat. Glifosat (Gambar 3) dengan rumus kimia C3H8NO5P adalah herbisida berspektrum luas dapat mematikan sebagian besar tipe tanaman. Glifosat dapat mengendalikan gulma semusim maupun tahunan di daerah tropis pada waktu pascatumbuh (Woodburn 2000). Cara kerja herbisida ini adalah dengan menghambat enzim 5-enolpiruvil-shikimat-3-fosfat sintase (EPSPS) yang berperan dalam pembentukan asam amino aromatik, seperti triptofan, tirosin, dan fenilalanin. Tumbuhan akan mati karena kekurangan asam amino yang penting untuk melakukan berbagai proses hidupnya. Glifosat dapat masuk ke dalam tumbuhan karena penyerapan yang dilakukan tanaman dan kemudian diangkut ke pembuluh floem.
Gambar 3. Senyawa Glifosat Paparan glifosat pada manusia akan menyebabkan beberapa gejala, seperti iritasi mata, penglihatan menjadi kabur, kulit terbakar atau gatal, mual, sakit tenggorokan, asma, kesulitan bernapas, sakit kepala, mimisan, dan pusing. Sedangkan pada tanaman gejala keracunan terlihat agak lambat, dimana daun akan terlihat layu menjadi coklat dan akhirnya mati. Gejala akan terlihat 1-3 minggu setelah aplikasi (Djojosumarto 2008). 2.8.4
Insektisida. Insektisida merupakan pestisida yang cukup besar diproduksi dan digunakan
pada sektor pertanian di Indonesia selain herbisida dan fungisida. Ada tiga golongan insektisida yang terkenal sebelum dan selama ini, yaitu 1) golongan organoklorin, 2) golongan organofosfat, dan 3) golongan karbamat. Golongan pestisida organoklorin ini mempunyai tiga sifat utama, yaitu merupakan racun yang universal, degradasinya berlangsung sangat lambat, dan larut dalam lemak. Pestisida ini merupakan senyawa yang tidak reaktif, bersifat stabil, dan persisten, serta terkenal sebagai ’broad spectrum insectisides’, yaitu jenis pestisida yang paling banyak menimbulkan masalah. Oleh karena itu pestisida golongan organokhlorin di Indonesia tidak diperkenankan lagi untuk dipergunakan pada sektor pertanian. Jenis organoklorin yang dikenal sebelum ini yaitu DDT, endrin, dieldrin, lindane, aldrin, chlondane. 2.8.4.1 Karbamat. Pestisida golongan karbamat merupakan derivat asam karbonik dengan rumus umum RHNCOOR (Gambar 4). Sifat pestisida ini mirip dengan pestisida golongan
organofosfat, tidak berakumulasi dalam sistem kehidupan, serta agak cepat menurun konsentrasinya di alam. Karbamat merupakan insektisida yang bersifat sistemik dan berspektrum luas sebagai nematosida dan akarisida (Bonner et al. 2005; Tejada et al. 1990; Cogger et al. 1998). Golongan karbamat pertama kali disintesis pada tahun 1967 di Amerika Serikat dengan nama dagang Furadan (Cornell University 2001). Umumnya karbamat digunakan untuk membasmi hama tanaman pangan dan buah-buahan pada padi, jagung, jeruk, alfalfa, ubi jalar, kacang-kacangan dan tembakau (Bonner et al. 2005. Tejada et al. 1990). Dengan dilarangnya sebagian besar pestisida golongan organoklorin (OC) di Indonesia (Mentan 2001), maka pestisida golongan organofosfat (OP) dan karbamat menjadi alternatif bagi petani di dalam mengendalikan hama penyakit tanaman di lapangan. Penggunaan pestisida ini sudah cukup luas, baik pada bidang pertanian maupun bidang kesehatan masyarakat. Jenis golongan karbamat antara lain furadan, ferban, baygon, carbaryl. Sadjusi dan Lukman (2004) melaporkan bahwa insektisida golongan karbamat yang banyak digunakan di lapangan terdiri dari jenis karbofuran, karbaril dan aldikarb. Sementara itu, beberapa jenis pestisida golongan karbamat yang umum digunakan pada lahan sawah irigasi dan tadah hujan di Jawa Tengah antara lain karbaril (Sevin™), karbofuran (Furadan™ dan Curater™), tiodikarb (Larvin™) dan BPMC/Butyl Phenyl-n-Methyl Carbamate (Bassa™, Dharmabas™ dan Baycarb™) (Jatmiko et al. 1999).
Gambar 4. Senyawa karbamat (R= aril / alkil) Keracunan karbamat merupakan efek nikotinik dan parasimpatetik yang dihasilkan akibat hambatan asetilkolinesterase di dalam sistem syaraf somatik dan autonom perifer (Baron dan Merriam 1988; Baron 1994; WHO 1991). Keracunan karbamat bersifat akut yang dapat terjadi melalui inhalasi, gastrointestinal (oral) atau kontak kulit. Karbamat dapat menimbulkan efek neurotoksik melalui hambatan enzim asetilkholinesterase (AchE) pada sinapsis syaraf dan myoneural junctions yang bersifat reversibel (Baron 1994; Risher et al. 1987; Ipcsintox 1985). Gejala Proses keracunan sel oleh pestisida dikarenakan terhambatnya enzim asetilkolestrase. Karbamat
merupakan insektisida antikolinestrase. Inhibisi antikolinestrasi karbamat (Gambar 5) melalui tahapan : interaksi active site asetilkolinetrase membentuk ikatan kompleks yang tidak stabil, kemudian terjadi hidrolisis senyawa kompleks dengan melepaskan ikatan Z atau R substitusi yang menghasilkan Carbamylated (ester karbamat) terinhibisi dan menjadi non reaktif, selanjutnya terjadi dekarbamilasi menghasilkan AchE bebas, sehingga kembali mampu memutuskan asetilkolin (Ach) sebagai transmitter (Soemirat 2009)
Gambar 5. Skema interaksi karbamat dengan enzim Asetikolinestrase. 2.8.4.2 Deltametrin. Deltamethrin (Gambar 6) adalah insektisida pyrethroids yang mematikan bagi serangga terutama bila masuk ke dalam saluran pencernaan dan bekerja dengan cara melumpuhkan system saraf serangga (ETN 1995). Pyrethroids memiliki bahan aktif yang dapat menyebabkan iritasi dan alergi. Deltamethrin merupakan racun saraf yang menyerang akson pada saraf pusat dan juga saraf tepi dengan menghambat pompa natrium di mamalia atau serangga (WHO 1999).
Gambar 6. Senyawa deltametrin (WHO 1999). Deltamethrin termasuk dalam insektisida pyrethroid yang sangat luas digunakan karena terbukti letal bagi serangga, baik melalui pencernaan maupun hanya sekedar kontak tubuh. Insektisida ini digunakan untuk mengontrol berbagai jenis serangga penggerek, ngengat, ulat, dan kutu pada tanaman
perkebunan maupun pertanian
(Willoughby 1994). Deltamethrin dikenal sangat toksik bagi hewan akuatik dan pemakaiannya harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena bahan ini juga cukup toksik bagi hewan terestrial, termasuk manusia. Paparan akut bagi manusia dapat
menyebabkan ataksia, kelumpuhan otot, dermatitis, diare, pusing, kejang-kejang, muntah-muntah, alergi, sampai kematian akibat gangguan sistem pernafasan (Hallenbeck dan Cunningham 1985). 2.8.5
Dampak Pestisida.
2.8.5.1 Dampak Pestisida terhadap Pengguna Pestisida. Risiko bagi keselamatan pengguna adalah kontaminasi pestisida secara langsung, yang dapat mengakibatkan keracunan, baik akut maupun kronis. Keracunan akut dapat menimbulkan gejala sakit kepala, pusing, mual, muntah, dan sebagainya. Beberapa pestisida dapat menimbulkan iritasi kulit, bahkan dapat mengakibatkan kebutaan. Keracunan pestisida yang akut berat dapat menyebabkan penderita tidak sadarkan diri, kejang-kejang, bahkan meninggal dunia. Keracunan kronis lebih sulit dideteksi karena tidak segera terasa, tetapi dalam jangka panjang dapat menimbulkan gangguan kesehatan (Djojosumarto 2004). Sering kali orang tidak menyadari bahwa mereka keracunan pestisida karena gejala-gejalanya mirip dengan masalah kesehatan lainnya misalnya pusing dan kudis. Kebanyakan gejala-gejala ini tidak muncul dengan cepat, seperti gangguan sistem syaraf atau kanker, orang tidak menyadari bahwa penyakit mereka mungkin disebabkan oleh pestisida (Quijano et al. 1999). 2.8.5.2 Dampak Pestisida terhadap Hasil Pertanian. Risiko bagi konsumen adalah keracunan residu (sisa-sisa) pestisida yang terdapat dalam hasil pertanian. Risiko bagi konsumen dapat berupa keracunan langsung karena memakan produk pertanian yang tercemar pestisida atau lewat rantai makanan. Meskipun bukan tidak mungkin konsumen menderita keracunan akut, tetapi risiko konsumen umumnya dalam bentuk keracunan kronis, tidak segera terasa dan dalam jangka panjang mungkin menyebabkan gangguan kesehatan (Djojosumarto 2004). 2.8.5.3 Dampak Pestisida terhadap Lingkungan Perairan. Dibalik manfaatnya yang besar, pestisida memiliki dampak yang cukup merugikan pada pemakaiannya. Pestisida dapat merusak ekosistem air yang berada di sekitar lahan pertanian. Jika pestisida digunakan, akan menghasilkan sisa-sisa air (run off) yang mengandung pestisida dan mengalir melalui sungai atau aliran irigasi. Penggunaan pestisida oleh petani dapat tersebar di lingkungan sekitarnya; air permukaan, air tanah, tanah dan tanaman. Sifat mobil yang dimiliki akan berpengaruh terhadap kehidupan organisme non sasaran, kualitas air, kualitas tanah dan udara. Pestisida sebagai salah satu agen pencemar ke dalam lingkungan baik melalui udara, air
maupun tanah dapat berakibat langsung terhadap komunitas hewan, tumbuhan terlebih manusia. Pestisida yang masuk ke dalam lingkungan melalui beberapa proses baik pada tataran permukaan tanah maupun bawah permukaan tanah. Penurunan kualitas air tanah serta kemungkinan terjangkitnya penyakit akibat pencemaran air merupakan implikasi langsung dari masuknya pestisida ke dalam lingkungan. Aliran permukaan seperti sungai, danau dan waduk yang tercemar pestisida akan mengalami proses dekomposisi bahan pencemar. Pada tingkat tertentu, bahan pencemar tersebut akan terakumulasi pada lingkungan. 2.9
Biota Akuatik sebagai Bioindikator Pencemaran Lingkungan Perairan. Pencemaran yang terjadi pada suatu badan air terjadi akibat dari adanya
pemasukan bahan organik maupun anorganik, dari substansi lingkungan yang kemudian dapat menimbulkan berbagai macam dampak. Sumber pencemaran perairan dapat berupa logam berat, bahan beracun, pestisida, tumpahan minyak, sampah, dan lain-lain. Akibat pencemaran tersebut kualitas air dapat menurun hingga tidak memenuhi persyaratan peruntukan yang ditetapkan. Penurunan kualitas air akibat pencemaran, seperti yang terjadi di badan air dapat mengubah struktur komunitas organisme akuatik yang hidup. Dampak pencemaran senyawa organik, padatan tersuspensi, nutrien berlebih, substansi toksik, limbah industri dapat menyebabkan gangguan kualitas air dan menyebabkan perubahan keanekaragaman dan komposisi organisme akuatik di perairan. Jika lingkungan berada di bawah suatu tekanan maka keaneka-ragam biota akuatik jenis akan menurun pada suatu komunitas. Pencemaran kualitas air dapat diketahui dari kondisi komunitas biota akuatik di dalam badan perairan tersebut. Hal ini berarti biota akuatik dapat dijadikan sebagai indikator biologi, karena memiliki sifat sensitif terhadap keadaan pencemaran tertentu sehingga dapat digunakan sebagai alat untuk menganalisis pencemaran air. Keuntungan yang didapat dari indikator biologi adalah dapat merefleksikan keseluruhan kualitas ekologi dan mengintegrasikan berbagai akibat yang berbeda, memberikan pengukuran yang akurat mengenai pengaruh komunitas biologi dan pengukuran fluktuasi lingkungan. Untuk menilai kualitas suatu lingkungan kita dapat memanfaatkan organisme yang ada disekitarnya. Keberadaan organisme pada lingkungan dapat dijadikan sebagai parameter kualitas lingkungan. Biota yang dapat dijadikan sebagai petunjuk keadaan lingkugan umum disebut sebagai bioindikator atau indikator biologis. Jenis bioindikator dibedakan dalam tiga organisme, yaitu : (a). Organisme indikator, dengan melihat
keberadaan spesies tertentu pada lingkungan, misalnya dengan indeks diversitas sebagai organisme penentu kualitas lingkungan ; (b). Organisme pemantau, baik secara aktif maupun pasif, dengan menempatkan atau mengukur tingkat kerusakan yang dialami oleh suatu organisme ; (c). Organisme uji, yaitu organisme yang digunakan untuk menguji akumulasi dan reaksi suatu substansi kimia baik dalam laboratorium maupun di lapangan. Indikator
biologi
(bioindikator)
memberikan
gambaran
nyata
kondisi
lingkungan tersebut secara ekologis, berbeda dengan indikator kimia terhadap pencemaran perairan yang hanya menggambarkan kondisi sesaat, dan parsial suatu lingkungan. Beberapa referensi menyatakan bahwa dampak pencemar air dapat mempengaruhi struktur dan fungsi suatu ekosistem, baik hewan maupun tumbuhan. Juga kenyataan bahwa setiap spesies mempunyai batas antara toleransi terhadap suatu faktor yang ada di lingkungannya (teori toleransi Shelford). Perbedaan batas toleransi antara dua jenis populasi terhadap faktor-faktor lingkungan mempengaruhi kemampuan berkompetisi, jika sebagai akibat suatu pencemaran limbah industri terhadap suatu lingkungan adalah berupa penurunan atau berkurangnya kadar oksigen terlarut dalam air, maka spesies yang mempunyai toleransi terhadap kondisi itu akan meningkat populasinya karena spesies kompetisinya berkurang. 2.10
Ganggang Mikro sebagai Bioindikator. Bioindikator dari organisme digunakan untuk memonitor kesehatan dari suatu
lingkungan ataupun suatu ekosistem. Banyak organisme ataupun sekumpulan / komunitas organisme yang dapat digunakan untuk menentukan integritas ekosistem maupun lingkungan. Beberapa organisme dapat dimonitor dalam perubahannya (kimia, fisiologis, maupun perilaku) yang menandakan adanya permasalahan di dalam ekosistemnya. Ganggang mikro memiliki kemampuan mengadsorpsi logam berat yang cukup tinggi, karena mengandung gugus fungsional yang mampu mengikat logam. Ganggang mikro dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator karena ganggang mikro membutuhkan logam sebagai nutrien alami. Logam-logam (seperti Cu, Zn, Mg, Mo, dan B) sebagai unsur hara (trace element) dibutuhkan dalam proses metabolisme. Lingkungan yang tercemar mengandung logam berat melebihi jumlah yang diperlukan ganggang mikro mengakibatkan pertumbuhan ganggang mikro terhambat. Dalam keadaan tersebut keberadaan logam dalam lingkungan merupakan polutan bagi ganggang mikro. Ganggang mikro dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator apabila memiliki kepekaan tinggi terhadap logam berat atau senyawa pencemar lainnya. Ganggang mikro memiliki
kelemahan dalam menyerap ion-ion logam seperti, ukurannya sangat kecil, berat jenisnya rendah dan mudah rusak karena terdegradasi oleh mikroorganisme lain. Persyaratan lain untuk pemanfaatan ganggang mikro sebagai bioindikator adalah ganggang mikro yang dipilih berasal dari lokasi setempat, hidup di lokasi tersebut, dan diketahui radius aktivitasnya. Selain itu ganggang mikro terpilih mampu hidup di berbagai tempat, supaya dapat dibandingkan terhadap ganggang mikro yang berasal dari lokasi lain, komposisi makanannya diketahui, populasinya stabil, pengumpulan ganggang mikro mudah dilakukan, relatif mudah dikenali di alam, masa hidupnya cukup lama, sehingga keberadaannya memungkinkan untuk merekam kualitas lingkungan di sekitarnya (Bachtiar 2007). Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa berbagai spesies ganggang mikro baik dalam keadaan hidup (sel hidup) maupun dalam bentuk sel mati (biomassa) dan biomassa terimmobilisasi dapat digunakan untuk mengadsorpsi ion logam. (Tabel 5) Tabel 5. Spesies ganggang mikro yang potensial sebagai bioindikator. Spesies Ganggang mikro Cladophora glomerata Galaxaura rugosa Elodea canadensis Padina boergesenii Sargassum sp. Chaetocerus sp.
Logam Berat Teradsorpsi Ni, V, Cd, Pb, Cr Cu, Zn Cu, Zn, Cd, and Pb Pb Pb, Cd, Cu Pb, Ni, V, Cd, Pb, Cr
Sumber Rujukan Chmielewska dan Medved (2001) Rivai dan Supriyanto (2000) Kautsky (2005) Mamboya et al. 1999 Buhani (2003) Noegrohati (1995)