SELEKSI DAN KARAKTERISASI GANGGANG MIKRO INDIGEN AIR TAWAR SEBAGAI PENGHASIL KARBOHIDRAT UNTUK ENERGI TERBARUKAN
SRI MUMPUNI NGESTI RAHAJU
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “Seleksi dan Karakterisasi Ganggang Mikro Indigen Air Tawar sebagai Penghasil Karbohidrat untuk Energi Terbarukan” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutif dari karya tulis yang diterbitkan atau tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor,
Juli 2013
Sri Mumpuni Ngesti Rahaju NRP: P062080201
ABSTRACT SRI MUMPUNI NGESTI RAHAJU, Selection and Characterization of Indigeneous Freshwater Micro Algae as the Carbohydrates Producer for Renewable Energy. Supervised by: Dwi Andreas Santosa, Mohamad Yani and Surjono H. Sutjahjo
The objective of this research is to explore and isolate indigenous micro algae that have a high carbohydrate producer as potentially for bioethanol production. The exploration from indigenous fresh water fifteen micro algae carried out in a BG 11 media and resulted four different types of micro algae such as ICBB-CC (9111, 9112, 9114 and 6354 PLB). By morpholgical identification, they were identified as Crucigenia quadrata, Scenedesmus bijuga, Chlorella vulgaris, and Chlorella vulgaris respectively. They were cultivated in a 5 L reactor using three types media of BG 11, MBM and PHM. The fastest growing isolate was ICBB 9111 of C. quadrata in MBM medium. The production biomassa of four isolates were developed in the raceway of 90-100L using MBM modifications medium with TSP aims , because of media has a value of optical density (OD) which increased from 0.09 to 0,200 within 3 (three) days. Harvesting is done from the OD value ≥ 0.6 continuously and harvesting stopped at OD values ≤ 0.5. Harvesting by means of filtration and drying naturally at room temperature. Temperature micro algae in ponds ranging channel 30-35 oC and maintained volume in such a way as early cultivation (by adding water to take advantage of existing nutrients). Production of dried-biomass/L/d and the results of the proximate analysis of carbohydrates into four isolates : Crucigenia quadrata ICBB 9111, Scenedesmus bijuga ICBB 9112, Chlorella vulgaris ICBB 9114 and Chlorella vulgaris PLB 6354) is 0,038 (42.27% dry weight), 0,035 (21.30% dry weight), 0.019 (16.66% dry weight) and 0,018 (17.22% dry weight). Production of dry biomass / L / day and the results of the proximate analysis of carbohydrates into four isolates ICBB-CC (9111, 9112, 9114 and 6354 PLB) is 0,038 (42.27% dry weight), 0,035 (21.30% dry weight), 0.019 (16.66% dry weight) and 0,018 (17.22% dry weight). Result of the selection of four types of micro algae ICBB-CC (9111, 9112, 9114 and 6354 PLB,) with modifications MBM TSP aims to get local micro algae isolates that have high carbohydrate content potentially for the production of ethanol.Optimal conditions for hydrolysis process 48 hours using a commercial enzyme that includes two stages: liquefaction process using enzymes α-amylase 600U at 95 ° C with a pH of 6 while for the saccharification process using enzymes amiloglukosidase 145U at a temperature of 60 ° C, pH 4.5 and 120 rpm rotation .Ethanol content of 40-hour fermented using S. Cerevisiae each sample, namely: 9111 amounted to 50.47 ppm, 105.86 ppm for 9112, 9114 amounted to 53.38 ppm and 41.17 ppm of PLB 6354. Keywords: micro algae, biomss, carbohydrate, ethanol
RINGKASAN SRI MUMPUNI NGESTI RAHAJU, Seleksi dan Karakterisasi Ganggang Mikro Indigen Air Tawar Sebagai Penghasil Karbohidrat untuk Energi Terbarukan. Dibawah Bimbingan: Dwi Andreas Santosa, Surjono H. Sutjahjo, M.Yani. Peningkatan pertumbuhan ekonomi serta populasi dengan segala aktivitasnya akan meningkatkan kebutuhan energi disemua sektor pengguna energi. Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (2006) mencatat terjadinya pertumbuhan yang cukup substansial dalam permintaan energi final (termasuk biomassa) di Indonesia pada kurun waktu 1990-2005, yaitu dengan rata-rata pertumbuhan konsumsi sebesar 4,08% per tahun. Energi memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, karena energi merupakan parameter penting bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Hampir semua sektor kehidupan (industri, rumah tangga, transportasi, jasa, dan lain-lain) tidak bisa dipisahkan dari sektor energi. Peningkatan kebutuhan energi tersebut harus didukung adanya pasokan energi jangka panjang secara berkesinambungan, terintegrasi dan ramah lingkungan. Mengingat potensi sumberdaya minyak bumi semakin menurun dan kapasitas kilang di dalam negeri yang terbatas maka perlu bahan bakar alternatif untuk substitusi Bahan Bakar Minyak (BBM). Biofuel yang sudah dikembangkan sebagai substitusi BBM saat ini adalah biodiesel dan bioetanol. Bioetanol adalah bahan bakar substitusi bensin (gasolin) yang berasal dari pengolahan (hidrolisis dan fermentasi) glukosa atau karbohidrat. Penggunaan Bahan Bakar Nabati (BBN) di Indonesia dan pemasarannya secara umum sudah mulai dilakukan sejak tahun 2006. Indonesia negara yang dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati dunia, mempunyai potensi sumber bahan bakar alam (biofuel) berpeluang untuk mengembangkan energi alternatif terbarukan antara lain bioetanol. Target penggunaan gasohol tahun 2011-1015 sebesar 3 % dari konsumsi bensin dan ditingkatkan menjadi 5 % pada periode tahun 2016-2025. Pencapaian target 5 % tersebut harus didukung dengan penelitian dan pengembangan bahan biomassa dengan kadar pati yang potensial diantaranya ganggang mikro sebagai bahan baku bioetanol dan bahan bakar (ESDM 2005). Potensi ganggang mikro yang berada dalam perairan baik tawar maupun asin masih banyak yang belum terkuak. Makhluk hidup yang digolongkan sebagai tumbuhan tingkat rendah berklorofil dan membentuk koloni ini diyakini mempunyai kandungan minyak yang sangat besar. Penelitian ini telah dilaksanakan di Indonesian Center for Biotechnology and Biodiversity (ICBB), Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI sedangkan proses produksi bioetanol di laboratorium Bioindustri Teknologi Industri Pertanian IPB. mulai bulan Desembar 2009 sampai bulan Desember 2012. Sampel Ganggang mikro air tawar dari koleksi Indonesian Center for Biotechnology and Biodiversity Culture Collection of Microorganisms (ICBB-CC) bertujuan: (1) Mendapatkan isolat gangang mikro lokal yang memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi. (2) Mengembangkan media dan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan ganggang mikro terseleksi potensial sebagai sumber karbohidrat. (3) Mengembangkan teknologi konversi karbohidrat dari ganggang mikro menjadi bioetanol sebagai energi terbarukan. Penelitian yang dilakukan terdiri dari 5 tahapan. Tahap pertama peremajaan dan penyediaan stok ganggang mikro media BG 11. Tahap kedua yaitu kultivasi pada skala lab dan di scale up pada skala lapang pada kolam kanal dalam media terpilih. Tahap ketiga prosedur pemanenan dan pengeringan.Tahap empat produksi biomassa ganggang mikro, tahap lima proses pembuatan bioetanol dari biomassa ganggang mikro terpilih. Penyiapan kutlur ganggang mikro dilakukan peremajaan kultur dalam media BG 11. Pertumbuhan dan produktivitas ganggang mikro terpilih ICBB-CC (9111, 9112, 9114 dan PLB 6354). dilakuan terhadap media BG 11, MBM dan PHM. Media yang menghasilkan laju tumbuh dan
kandungan biomassa paling cepat yang dipilih untuk dikembangkan di kolam kanal. Media MBM kombinasi pupuk TSP dilakukan karena TSP merupakan sumber fosfat yang murah dan mudah didapatkan. Pemanenan biomassa ganggang mikro dilakukan secara gravitasi dimulai dengan nilai OD ≥ 0,5 secara terus-menerus sampai OD < 0,5 (konsentrasi nutrien pada media pertumbuhan menurun dan hasil panen semakin menurun). Identifikasi dilakukan untuk mengetahui jenis ganggang mikro yang terseleksi, yaitu : (1) Dengan pengamatan morfologi menggunakan mikroskop perbesaran 400 x dan buku identifikasi Toshiniko Mizuno “Halustrations of The Fresh water Plankton of Japan”,1970 di Limnologi LIPI – Cibinong. Hasil identifikasi. (2) Analisis DNA. ). Hasil identifikasi morfologi ke empat isolat terpilih ICBB-CC (9111, 9112, 9114 dan PLB 6354) masing-masing sebagai Crucigenia quadrata, Scenedesmus bijuga, Chlorella vulgaris, dan Chlorella vulgaris. Penanaman isolat ICBB 9111 di kolam kanal dengan volume 95 L dan dilakukan pemanenan pertama setelah 5 hari penanaman menghasilkan 8,7186 g biomassa kering dengan OD = 0,62. Pemanfaatan media yang digunakan kultivasi di kolam kanal selama 28 hari dengan total biomassa kering yang dihasilkan 80,3947 g. Penanaman isolat ICBB 9112, ICBB 9114 dan PLB 6354 di kolam kanal 100 L dan pemanenan setelah 5 hari penanaman menghasilkan biomassa kering dan OD masing-masing 12,0150 g (OD = 0,68), 12,8925 g (OD = 0,61) dan 6,2746 g (OD = 0,63). Pemanfaatan media yang digunakan kultivasi 3 isolat (ICBB 9112, ICBB 9114 dan PLB 6354) di kolam kanal volume 100 L dengan totalbiomassa kering yang dihasilkan masing-masing adalah 45 hari (158,7069 g), 54 hari (101,3850 g) dan 54 hari (95,4182 g). Karbohidrat tertinggi tertinggi Crucigenia quadrata ICBB 9111. Hal ini dikarenakan terjadinya proses akumulasi karbohidrat terutama pada dinding sel sebagai respon terhadap kondisi lingkungan serta indikasi tingginya proses fotosintesis Crucigenia quadrata, ICBB 9111 di kolam kanal. Karbohidrat yang terkandung dalam biomassa ganggang mikro dapat diproses menjadi bioetanol. Pada ganggang mikro air tawar ini kandungan glukosa juga meningkat sebagai reaksi terhadap kenaikan tekanan osmotik medium. Produksi biomassa tertinggi Scenedesmus bijuga, ICBB 9112, hal ini dikarenakan kemampuan ganggang mikro dalam memanfaatkan hara pada kultur biakannya dan energi untuk menjalankan fotosintesis. Kulutr Crucigenia quadrata ICBB 9111 memberikan respons yang berbeda untuk menyerap unsur hara yang ada pada media, dimana TSP yang mengandung unsur phosphat dan sulfur yang tinggi memacu pembentukan protein yang lebih tinggi. Setelah diperoleh biomassa isolat ganggang mikro dalam kolam kanal, maka biomassa dikeringkan untuk dilakukan analisis proksimat. Analisis proksimat dilakukan sesuai dengan prosedur standar dalam AOAC (2005) meliputi kadar air dengan oven (gravimetri), abu dengan tanur (gravimetri), protein dituentukan dengan metoda Kjedahl (titrimetri), karbohidrat dengan metoda Phenol Sulfat (spektrofotometri) dan lemak dengan metoda Soxhlet. Kandungan karbohidrat empat ganggang mikro terpilih ICBB 9111 (42,27 % w/w), ICBB 9112 (21,30 % w/w), ICBB 9114 (16,66 % w/w) dan PLB 6354 (17,22 % w/w). Dengan media MBM kombinasi dan berdasarkan karakteristik laju pertumbuhan serta komponen utama yang dikandungnya gangang mikro indigen perairan tawar koleksi ICBB – CC yaitu : Crucigenia quadrata., ICBB 9111, Scenedesmus bijuga, ICBB 9112, Chlorella vulgaris, ICBB 9114 dan Chlorella vulgaris, PLB6354 dapat digunakan sebagai bahan baku bioetanol. Proses hidrolisis merupakan konversi karbohidrat menjadi glukosa dibagi dua tahap, yaitu tahap likuifikasi dan tahap sakarifikasi. Katalis yang digunakan pada proses hidrolisis ini adalah enzim karena mempunyai tingkat konversi tinggi dibandingkan katalis asam. Enzim α amilase (Termamyl) yang digunakan pada likuifikasi dan enzim amiloglukosidase (AMG) dari produksi PT.Puncak Gunung Mas (PGM). Pada proses hidrolisis selama 48 jam dengan suhu 60 oC , pH 4,5 dan 120 rpm. Biomassa ganggang mikro pada proses hidrolisis berukuran 35 mesh, karena partikel dengan ukuran 20-40 mesh memiliki penyerapan air
yang konsisten menghasilkan sifat mekanis dan fisik terhadap perlakuan pemanasan. Proses sakarifikasi menghasilkan gula monomer yang kemudian difermentasi untuk menghasilkan etanol dan karbondioksida dengan bantuan mikrooanisme. Hasil Volume filtrat dari proses hidrolisis rata-rata berkurang 25% dan mempunyai pH 7-8, hal ini menunjukkan jumlah total padatan gula terlarut dalam filtrat semakin meningkat. Enzim yang bekerja pada proses tersebut menaikkan angka pH. Sakarifikasi dan fermentasi biomassa ganggang mikro dilakukan melalui separate hidrolisis and fermentation (SHF) dengan menggunakan yeast Saccharomyces cerevisiae. Filtrat yang dihasilkan dari proses sakarifikasi ditambah inokulum (S.cerevisiae) 10 % fraksi volume yang dihasilkan dari proses sakarifikasi. S.cerevisiae sudah teruji mampu mengkonversi glukosa menjadi etanol sampai tingkat aplikasi di industri. Proses fermentasi berlangsung pada suhu 30 oC selama 40 jam dan 160 rpm. Pada akhir fermentasi sampel 9111 masih ada sisa gula, hal ini menandakan fermentasi belum berlangsung optimal. Glukosa yang tersisa terdeteksi dengan HPLC pada sampel 9111 sebesar 0,03 % . Total asam dihitung pada akhir proses fermentasi untuk mengetahui kadar asam yang terbentuk. Komponen asam organik merupakan hasil samping dari proses fermentasi yang terdeteksi adalah asam butirat pada sampel 9111 sebesar 13,44%. Pengujian kadar etanol menggunakan Gas Chromatography (GC) dari hasil fermentasi empat sampel terpilih ICBB-CC (9111, 9112, 9114 dan PLB 6354) masing-masing : 50,47 ppm, 105,86 ppm, 53,38 ppm dan 41,17 ppm.
Kata kunci : ganggang mikro, biomassa, karbohidrat, etanol
© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Judul Disertasi
: Seleksi dan Karakterisasi Ganggang Mikro Indigen Air Tawar sebagai Penghasil Karbohidrat untuk Energi Terbarukan.
Nama
: Sri Mumpuni Ngesti Rahaju
NRP
: P062080201
Disetujui: Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dwi Andreas Santosa, MS. Ketua
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS.
Dr. Ir. Mohamad Yani, M.Eng.
Anggota
Anggota
Diketahui: Ketua Program Studi Pengelolaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
NIP.1961102121985011001
NIP. 196508141990021001
Tanggal Ujian: 21 Juni 2013
Tanggal Lulus:
31 Juli 2013
Confidentia
I.
P ENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Peningkatan pertumbuhan ekonomi serta populasi dengan segala
aktivitasnya akan meningkatkan kebutuhan energi disemua sektor pengguna energi. Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (2006) mencatat terjadinya pertumbuhan yang cukup substansial dalam permintaan energi final (termasuk biomassa) di Indonesia pada kurun waktu 1990-2005, yaitu dengan rata-rata pertumbuhan konsumsi sebesar 4,08% per tahun Energi memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat karena energi merupakan parameter penting bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Hampir semua sektor kehidupan (industri, rumah tangga, transportasi, jasa, dan lain-lain) tidak bisa dipisahkan dari sektor energi. Melihat tantangan yang besar bagi sektor pasokan energi Indonesia, maka simulasi neraca permintaan dan pasokan energi yang dikembangkan harus mempostulatkan pengembangan dan diversifikasi semua opsi energi termasuk energi baru dan terbarukan. Pertumbuhan yang substansial dalam permintaan energi nasional ini tentu akan menjadi tantangan besar bagi sektor pasokan energi Indonesia. Minyak menjadi jenis energi yang dominan dalam pasokan energi pada kurun waktu 1990-2005, disusul oleh biomassa dan gas. Pada akhir tahun 2005, pasokan energi untuk industri akan mendominasi, jika biomassa tidak diperhitungkan karena pasokan minyak tercatat 524.045 ribu SBM (Setara Barel Minyak), gas sebesar 212.790 ribu SBM dan biomassa sebesar 270.122 ribu SBM. Peningkatan kebutuhan energi tersebut harus didukung adanya pasokan energi jangka panjang secara berkesinambungan, terintegrasi dan ramah lingkungan. Mengingat potensi sumberdaya minyak bumi semakin menurun dan kapasitas kilang di dalam negeri yang terbatas maka perlu bahan bakar alternatif untuk substitusi Bahan Bakar Minyak (BBM).
1
Confidentia
Sejalan dengan permasalahan tersebut, pemerintah melalui Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional bertujuan untuk mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri. Kebijakan energi nasional ini juga upaya untuk melakukan diversifikasi dalam pemanfaatan energi. Usaha diversifikasi ini ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No.1 Tahun
2006
tentang
penyediaan
danpemanfaatan
bahan
bakar
nabati
(biofuel) sebagai bahan bakar lain. Dalam mendukung kebijakan ini pemerintah juga mengeluarkan cetak biru Pengelolaan Energi Nasional. Biofuel yang sudah dikembangkan sebagai substitusi BBM saat ini adalah biodiesel dan bioetanol. Biodiesel adalah bahan bakar substitusi solar/diesel yang berasal dari pengolahan (esterifikasi dan transesterifikasi) minyak nabati. Bioetanol adalah bahan bakar substitusi bensin (gasolin) yang berasal dari pengolahan (hidrolisis dan fermentasi) glukosa atau karbohidrat. Penggunaan Bahan Bakar Nabati (BBN) di Indonesia dan pemasarannya secara umum sudah mulai dilakukan sejak tahun 2006. BBN yang digunakan dan dipasarkan tersebut adalah campuran 5 % bio-diesel dengan 95 % minyak solar, disebut B5 (Bio solar), serta campuran 5 % bio-etanol dengan 95 % premium, disebut E5 (Bio premium). Indonesia negara yang dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati dunia, mempunyai potensi sumber bahan bakar alam (biofuel) berpeluang untuk mengembangkan energi alternatif terbarukan antara lain bioetanol. Keuntungan penggunaan gasohol yaitu mengurangi penggunaan bahan bakar tidak terbarukan, mengurangi gas rumah kaca, memiliki keseimbangan energi yang positif, membentuk kemandirian energi, dan mengurangi kemiskinan (Kim dan Dale 2007, Nguyen et al. 2007, Zhang et al. 2003). Target penggunaan gasohol tahun 2011-1015 sebesar 3 % dari konsumsi bensin dan ditingkatkan menjadi 5 % pada periode tahun 2016-2025. Pencapaian target 5 % tersebut harus didukung dengan penelitian dan pengembangan bahan biomassa dengan kadar pati yang potensial diantaranya ganggang mikro sebagai bahan baku bioetanol dan bahan bakar (ESDM 2005). Potensi ganggang mikro yang berada dalam perairan baik tawar maupun asin masih banyak yang belum terkuak. Makhluk hidup yang digolongkan sebagai tumbuhan tingkat rendah berklorofil 2
Confidentia
dan membentuk koloni ini diyakini memiliki potensial besar untuk menghasilkan bahan bakar nabati (BBN). Kelebihan ganggang mikro dibandingkan dengan sumber bahan baku BBN yang lain (misalnya : bahan berpati, berselulosa atau bergula) antara lain : (1) Dapat diproduksi tanpa tanah karena ditumbuhkan di dalam reaktor dan kolam, sehingga tidak menimbulkan kompetisi dengan lahan untuk kegiatan bercocok tanam. (2) Proses budidaya cepat dengan produktivitas tinggi dan pengambilan hasil panen yang kontinyu (Soerawidjaja 2006) (3) Tidak dipakai untuk memenuhi kebutuhan pangan. Hal ini tidak seperti tanaman lainnya yang minyak atau biomasanya mempunyai kegunaan tinggi untuk pangan dibandingkan untuk bahan bakar. (4) Bermanfaat bahan baku industri makanan, kosmetik, farmasi dan lainlain.
Ganggang mikro memiliki kelebihan karena dapat dibudidayakan dan dimanfaatkan sebagai penghasil BBN. Ganggang mikro memiliki laju pertumbuhan yang tinggi dan tidak berkompetisi dengan bahan pangan. Baik proses fisik maupun kimia dapat digunakan untuk menghasilkan etanol dari galur ganggang yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi, dengan demikian maka eksplorasi ganggang mikro sebagai sumber BBN dari berbagai wilayah di Indonesia menjadi pilihan yang penting dan strategis. Ketersediaan bahan pati dari ganggang mikro yang melimpah belum diikuti dengan pertumbuhan industri etanol karena beberapa kendala terutama teknologi. Kajian dalam skala laboratorium telah banyak dilakukan untuk produksi biofuel dari bahan baku ganggang mikro, namun kendala sekaligus tantangan yang dihadapi dalam penerapan skala lapangan adalah mengenai teknologi pemanenan dan ekstraksi. Hal ini merupakan salah satu aspek bidang bioteknologi dari produksi biomassa mikroorganisme fotosintesis, proses memisahkan sel dari media kultur merupakan faktor penting dalam penentuan biaya dan kualitas produk (Pushparaj et al. 1993). Proses alternatif pemanenan yang sudah dikembangkan adalah filtrasi (Rossignol et al. 1999), flokulasi 3
Confidentia
(Millamena et al 2005, Poelman et al. 1997) dan electro coagulation (Uduman et al. 2011). Hidrolisis dan fermentasi juga masih menghadapi kendala teknologi yang menyebabkan biaya produksi tinggi. Hidrolisis dapat dilakukan dengan katalis enzim atau kimiawi dan dapat dilakukan secara terpisah atau simultan dengan fermentasi. Komponen selulosa dan hemiselulosa pada ganggang mikro dapat dihindrolisis dengan enzim yang dihasilkan mikroorganisme seperti Trichoderma reesei, T viridie (Harun dan Danquah 2011). Pada proses hidrolisis enzim terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi seperti jenis substrat, aktivitas enzim, suhu dan pH. Hidrolisis secara enzimatik akan berjalan spesifik dan efisien sehingga produk yang akan dihasilkan lebih tinggi. Kelemahan hidrolisis enzimatik antara harga enzim selulase masih sangat mahal, konsentrasi enzim yang dibutuhkan tinggi dan enzim sulit didaur ulang. Pada tahap fermentasi umumnya menggunakan mikroorganisme Saccharomyces cerevisiae, yang sering digunakan dalam fermentasi etanol karena sangat tahan dan toleran terhadap kadar etanol yang tinggi (12-18 % v/v), tahan pada kadar gula yang cukup tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-32 oC. S.cerevisiae mempunyai aktivitas optimum pada suhu 30 – 35 oC dan tidak aktif pada suhu lebih dari 40 oC. Pengembangan teknologi proses produksi etanol harus memenuhi beberapa kriteria yaitu tambahan energi total, keuntungan lingkungan, kompetitif secara ekonomi, dapat diproduksi dalam jumlah besar tanpa bersaing dengan pangan (Hill et al. 2006). Besarnya potensi yang terdapat pada ganggang mikro sebagai bahan baku penghasil etanol maka penelitian ini akan mengintegrasikan aspek teknis, ekonomis, dan lingkungan. Output penelitian adalah kultivasi dan karakterisasi biokonversi karbohidrat dan biomassa menjadi etanol. Outcome yang diharapkan adalah akselerasi pertumbuhan industri dalam mendukung penyediaan energi terbarukan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. 1.2.
Rumusan Masalah Keberlanjutan pengembangan bioetanol sebagai energi terbarukan
memerlukan tiga pilar yaitu ketersediaan bahan baku, manfaat ekonomis bagi stakeholders, dan dampak positif terhadap lingkungan.
Indonesia memiliki 4
Confidentia
potensi bahan bahan pati dari ganggang mikro yang melimpah untuk etanol sehingga perlu didukung dengan teknologi yang kompetitif dari sisi ekonomi dan lingkungan. Dalam rangka pengembangan produksi etanol berbasis bahan baku lokal Indonesia yaitu ganggang mikro yang telah di karakterisasi dan diketahui kemampuan produksi karbohidratnya sebagai salah satu organisme yang berpotensi sebagai penghasil bahan bakar alternatif, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : 1.
Bagaimana ketersediaan bahan baku dan kultivasi ganggang mikro ?
2.
Bagaimana memodifikasi media dan lingkungan untuk mempercepat laju pertumbuhan mengingat keragaman jenis ganggang mikro ?
3.
Bagaimana konversi konversi ganggang mikro yang telah di karakterisasi
menjadi karbohidrat dan biomasa untuk dapat
meningkatkan nilai tambah etanol yang pemanfaatannya sebagai energi terbarukan ?
1.3.
Tujuan penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang akan dicapai di dalam
penelitian ini adalah : 1. Mendapatkan isolat ganggang mikro lokal yang memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi. 2. Mengembangkan
media
dan
lingkungan
yang
sesuai
untuk
pertumbuhan ganggang mikro terseleksi potensial sebagai sumber karbohidrat. 3. Mengukur konversi karbohidrat dari ganggang mikro menjadi etanol sebagai energi terbarukan.
1.4.
Kerangka Pemikiran Bahan bakar minyak atau dikenal dengan BBM merupakan salah satu
bahan pokok untuk kehidupan manusia. BBM termasuk sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (non renewable). Masyarakat Indonesia selama ini
5
Confidentia
mempunyai ketergantungan terhadap minyak bumi, sehingga menjamin pasokan energi dalam negeri merupakan salah satu fokus pemikiran pemerintah Indonesia sekarang ini. Diperlukan banyak objek kajian mengenai sumber-sumber hayati yang dapat dimanfaatkan sebagai energi alternatif penghasil BBN, sebagaimana Indonesia dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati dunia yang sangat kaya akan energi biomasa sebagai energi terbarukan (renewable).
BBN dapat
dihasilkan secara langsung dari tanaman yang dikenal sebagai BBN generasi pertama atau secara tidak langsung dari limbah. BBN generasi pertama adalah bahan bakar yang terbuat dari gula, minyak sayur atau lemak hewan dengan menggunakan teknologi konvensional. BBN generasi kedua adalah sejumlah tanaman yang tidak digunakan untuk konsumsi manusia dan hewan, diantaranya adalah limbah industri, komersial, domestik, atau pertanian. BBN generasi kedua yang sedang dikembangkan adalah biohidrogen dan biometanol. Sumber energi alternatif lain yang sekarang
intensif diteliti di Indonesia adalah BBN yang
berasal dari organisme renik yaitu ganggang mikro yang dikenal dengan BBN generasi ketiga. Ganggang mikro merupakan organisme yang hampir dapat ditemui di berbagai lokasi di Indonesia. Habitat hidup ganggang mikro adalah di dalam air, baik air tawar maupun air laut, atau setidak-tidaknya kehidupannya terikat pada tempat-tempat yang basah di darat.
Secara teoritis ada banyak kelebihan
ganggang mikro dibandingkan tanaman lain. Selain kelimpahannya, pemilihan jenis tanaman penghasil BBN juga atas pertimbangan penggunaan sehari-hari hasil tanaman tersebut, antara lain pilihan antara untuk pangan atau pakan dan lainnya. Berdasarkan hal ini maka BBN dari ganggang mikro memiliki beberapa kelebihan. Kelebihan yang dimiliki ganggang mikro dibandingkan dengan tanaman lainnya karena tanaman ini hanya memiliki sedikit fungsi lain dan persaingan penggunaanya juga terbatas sehingga pemanfaatannya secara berkelanjutan dapat dilakukan secara optimal. Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan etanol dari bahan pati isolat ganggang mikro koleksi ICBB-CC yang dapat meningkatkan nilai tambah dan ramah lingkungan. Peningkatan produksi etanol dilakukan dengan fermentasi baik gula dalam bentuk heksosa maupun
pentosa. Proses
fermentasi
6
Confidentia
dikembangkan untuk dapat mengkonversi gula menjadi etanol dengan menggunakan yeast Saccharomyces cereviceae. Gambar 1 di bawah ini merupakan kerangka pemikiran dari rencana penelitian kultivasi, karakterisasi serta konversi karbohidrat dan biomassa ganggang mikro untuk etanol
. Kebutuhan Sumber Energi Untuk Industri, Transportasi, Rumah Tangga dan lain-lain
Bahan Bakar Fosil
Bahan Bakar
Terbatas
Tidak Terbatas
Seleksi ganggang mikro
Kultivasi
Identifikasi dan karakterisasi
Galur Terpilih Produksi dan pemanenan
Karakterisasi komponen karbohidrat Potensi gula sederhana untuk produksi etanol
Karakterisasi etanol
Gambar 1. Kerangka pemikiiran penelitian
7
Confidentia
Pengembangan produksi etanol ini diharapkan menghasilkan paket yang memiliki kelayakan ekonomi dan memberikan dampak negatif yang lebih kecil terhadap lingkungan. Oleh karena itu penelitian ini dibagi menjadi empat bagian.yaitu : (1) kultivasi, identifikasi, karakterisasi, pemanenan – pengeringan ganggang mikro, (2) hidrolisis (3) produksi etanol dan (4) karakterisasi etanol.
1.5.
Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini adalah : 1.
Terdapat isolat ganggang mikro indigenous yang memiliki potensi sebagai penghasil bahan bakar nabati serta memilki karakteristik yang berbeda-beda.
2.
Terdapat perbedaan pertumbuhan isolat ganggang mikro pada media kultivasi yang berbeda
3. Ganggang mikro mengandung karbohidrat tinggi berpotensi yang dapat dikonversi menjadi etanol.
1.6.
Kebaruan (Novelty) Penelitian ini akan memberikan kontribusi yang baru dalam hal : 1.
Diperolehnya koleksi ganggang mikro indigenous dari berbagai ekositem perairan Indonesia yang menghasilkan karbohidrat optimum.
2. Ditemukan kultivasi dan pemanenan ganggang mikro yang efisien. 3. Ditemukan ganggang mikro yang menghasilkan karbohidrat dengan komposisi dan karakter tertentu. 4. Ditemukan konversi karbohidrat dan/atau biomassa ganggang mikro menjadi etanol.
8
Confidentia
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Ganggang mikro Ganggang mikro merupakan mikroorganisme atau jasad renik dengan
tingkat organisasi sel termasuk dalam tumbuhan tingkat rendah yang hidup di air, baik air tawar maupun air laut (dari permukaan laut sampai pada kedalaman dengan intensitas cahaya yang masih memungkinkan terjadinya proses fotosintesis (Tjitrosoepomo 2005). Tumbuhan ini dikelompokan dalam filum Thallophyta karena tidak memiliki akar, batang dan daun sejati, namun memiliki zat pigmen klorofil yang meliputi bermacam-macam organism. Ganggang mikro memiliki klorofil sehingga mampu melakukan fotosintesis dengan bantuan air, CO2 dan sinar matahari, serta menggunakan bahan anorganik seperti NO3, NH4-, dan PO4-, sehingga menghasilkan energi kimiawi dalam bentuk biomassa seperti karbohidrat, lemak, protein, dan lain-lain. Kemudian energi tersebut digunakan untuk biosintesis sel, pertumbuhan dan pertambahan sel, bergerak dan berpindah serta reproduksi (Kabinawa 2001). Gangang mikro merupakan dasar mata rantai pada siklus makanan di perairan baik laut maupun tawar karena merupakan pakan alami bagi zooplankton dan ikan - ikan kecil. n CO2
+ n H2O Cn (H2O)n
+ n O2
Sumber karbon utama ganggang mikro ialah karbondioksida. Sumber karbon tersebut diperoleh dari udara bebas yang dapat berupa hasil respirasi mahluk hidup ataupun dari penggunaan bahan bakar fosil. Ganggang mikro mengandung minyak, karbohidrat dan senyawa bioaktif lainnya yang digunakan untuk produk-produk komersil. Hingga saat ini perhatian khusus ditujukan untuk mengembangkan ganggang mikro sebagai penghasil bahan bakar nabati. Minyak yang dihasilkan oleh ganggang mikro 10-100 kali dari hasil pertanian lainnya. Sebagai contoh ganggang mikro yang mengandung 50% lipid dan produksi biomassa kering 50 g/m2/hari menghasikan 10.000 galon minyak/are/tahun (Pienkos 2007), dibandingan kedelai yang hanya menghasilkan 48 galon minyakl/are/tahun (Tabel 1).
9
Confidentia
Tumbuhan ini umumnya terdiri dari satu sel atau berbentuk seperti benang yang merupakan hasil pembuahan sel betina oleh sel jantan hanya akan tumbuh sesudah keluar dari alat kelamin betina (Mubarak 1981). Dari luar ganggang mikro sering telah menampakkan suatu perbedaan, sehingga terlihat menyerupai kormus tumbuhan tinggi, akan tetapi dari segi anatomi sel-selnya belum menunjukkan perbedaan yang mendalam. Ganggang berukuran sangat beragam dari yang berukuran sangat kecil dalam skala µm
sampai beberapa meter
panjangnya. Dominasi kelompok ganggang mikro tertentu dapat meyebabkan perairan tampak berwarna indah sesuai dengan zat warna atau pigmen yang dikandungnya. Warna hijau muda disebabkan oleh Dunaliella sp dan Chlorella sp. Ada juga warna kuning kecoklatan yang disebabkan oleh Chaetoceros sp, Skletonema s., Nitzschia sp, serta berbagai jenis lainnya. Tabel 1. Perbandingan produksi minyak ganggang mikro dengan produk pertanian lain Sumber Nabati
Produksi minyak (Galon /are)
Jagung
18
Kapas
35
Kedelai
48
Bunga Matahari
102
Kanola
127
Jarak
202
Kelapa sawit
635
Ganggang mikro 10 g/m²/hari, 15 % minyak
1.200
50 g/m²/hari, 50 % minyak
10.000
Sumber : Pienkos (2007)
Ganggang mikro mengandung bahan-bahan organik seperti polisakarida, hormon, vitamin, mineral dan juga senyawa bioaktif. Potensi ganggang mikro sangat besar sebagai sumber berbagai produk, diantaranya (1) sebagai sumber protein yang dapat diperoleh dari Chlorella dan Dunaliella, (2) produksi pigmen, sebagai bahan pewarna dari Spirulina dan
Haematococcus (Borowitzka dan
Borowitzka 1988), (3) sebagai pakan larva ikan dan non ikan, diperoleh dari 10
Confidentia
Tetraselmis dan Chaetoceros (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995), serta (4) produksi antimikroba, dihasilkan Chlorella vulgaris, Chaetoceros gracilis. Secara umum ada beberapa divisi ganggang utama yang dikenal di dunia dari warna (pigmen) yang terkandung di dalamnya dan sifat morfologi selnya yaitu : 2.1.1. Divisi Chlorophyta Chlorophyta berukuran antara 3 – 30 µm, memiliki alat gerak (flagella) dan motil kecuali selama fase reproduksi. Setiap sel mempunyai satu nukleus dan satu kloroplas besar yang berbentuk mangkuk. Spesies Chlorophyta yang bersel tunggal ada yang dapat berpindah tempat, tetapi ada pula yang menetap. Chlorophyta merupakan golongan terbesar dari ganggang dan merupakan kelompok ganggang yang paling beragam, karena
ada yang bersel tunggal,
berkoloni, dan bersel banyak. Ganggang ini banyak terdapat di danau, kolam, laut, dan kebanyakan hidup di air tawar (Bold dan Wynne 1985). Chlorophyta atau yang lebih umum disebut ganggang hijau pada selselnya mempunyai kloroplas yang berwarna hijau dan mengandung selulosa, mengandung klorofil a dan b serta karotenoid. Chlorophyta pada kloroplasnya terdapat butiran padat yang disebut pirenoid yang berfungsi untuk pembentukan tepung dan minyak. Perkembangbiakannya secara seksual dan aseksual. Secara seksual dengan isogami (peleburan dua gamet yang bentuk dan ukurannya sama), anisogami (peleburan dua gamet, yaitu yang ukurannya tidak sama) dan oogami (peleburan dua gamet, yaitu sperma dan sel telur). Sedangkan secara aseksual dengan zoospore dengan 3 – 4 flagela dan mempunyai dua vakuola kontraktil yang berguna untuk memaksa kelebihan air keluar dari selnya. Suatu bintik mata merah (stigma) yang merupakan situs persepsi cahaya dan mengendalikan respon fototaktik (gerak menuju cahaya) ganggang ini (Tjitrosoepomo 2005). Klasifikasi Chlorophyta berdasarkan bentuk dan dapat tidaknya bergerak, digolongkan menjadi beberapa genus, yaitu : a. Ganggang hijau bersel satu tidak bergerak, contoh : Chlorococcum (bulat dan mempunyai pirenoid), Chlorella (bulat, kloroplas berbentuk mangkuk, mempunyai
pirenoid sebagai sumber protein sel tunggal).
11
Confidentia
b. Ganggang hijau bersel satu dapat bergerak, contoh : Chlamydomonas (bulat telur, berflagella dua ujung depan, kloroplas berbentuk antara mangkuk dan pita serta terdapat stigma (bintik mata). c. Ganggang hijau berkoloni tidak bergerak, contoh : Hydrodiction ( koloni berbentuk jala inti dan mempunyai pirenoid banyak). d. Ganggang hijau berkoloni bergerak, contoh : Volvox (koloni bulat, berisi beribu ribu sel). e. Ganggang hijau berbentuk benang (filamen), contoh : (1) Spyrogira (benang tidak bercabang, inti tunggal, kloroplas berbentuk pita tersusun spiral dan mempunyai pirenoid banyak), (2) Oedogonium (benang tidak bercabang, inti tunggal, kloroplas berbentuk jala, pirenoid banyak dan inti satu besar). f. Ganggang hijau berbentuk benang (filamen), contoh : (1) Spyrogira (benang tidak bercabang, inti tunggal, kloroplas berbentuk pita tersusun spiral dan mempunyai pirenoid banyak), (2) Oedogonium (benang tidak bercabang, inti tunggal, kloroplas berbentuk jala, pirenoid banyak dan inti satu besar) g. Ganggang hijau berbentuk thalus, contoh : Ulva lactua (berbentuk lembaran seperti daun).
2.1.2. Divisi Chrysophyta Sebagian besar Chrysophyta bersel tunggal, membentuk koloni atau benang dan dinding sel mengandung silika, tetapi beberapa diantaranya ameboid oleh adanya perluasan pseudopodial protoplasmanya. Bentuk ameboid yang bugil ini dapat mengambil makanan berbentuk partikel dengan bantuan pseudopodia. Ganggang ini memiliki warna khas krisofit yang disebabkan karena klorofilnya tertutup pigmen-pigmen berwarna coklat. Reproduksi Chrysophyta pada umumnya dengan cara pembelahan biner tetapi dapat juga secara seksual dengan isogami (Pelczar dan Chan 1986).
12
Confidentia
Salah satu genus dari Chrysophyta adalah Diatomeae. Sel Diatomeae mempunyai inti dan kromatofora berwarna kuning-coklat yang mengandung klorofil a, karotin, santofil dan karotinoid lainnya yang sangat menyerupai fikosantin. Ada beberapa jenis Diatomeae tidak mempunyai zat warna bersifat heterotrof dan hidupnya sebagai saprofit. Diatomeae memproduksi vitamin A dan D. Kerangka Diatomeae tersusun atas molekul SiO2 dan organisme Diatomeae semasa hidupnya aktif melakukan metabolisme silikon. Unsur Si bersifat esensial bagi pertumbuhan dan perkembangan mahluk hidup. Pada mahluk hidup, kandungan silikon di kulit, tulang dan jaringan pengikat mencapai 0,01 – 0,04% (Angka dan Suhartono 2000). Dalam sel-sel Diatomeae terdapat pirenoid dan hasil asmilasi ditimbun diluar
kromatofora
berupa
tetes
minyak
dalam
plasma.
Diatomeae
berkembangbiak dengan tiga cara yaitu dengan vegetatif melalui pembelahan sel, vegetatif melalui auksospora (zigot) dan secara generatif melalui oogami. Diatom mendominasi fitoplankton dalam lautan serta perairan air tawar (Tjitrosoepomo 2005). 2.1.3. Divisi Rhodophyta Rhodophyta
berwarna
merah
sampai
ungu,
kadang-kadang
juga
lembayung atau kemerah-merahan. Kromatofora berbentuk cakram atau suatu lembaran, mengandung klorofil-a dan karo tenoid, tetapi warna ini tertutup oleh zat warna merah yang berfluoresen, yaitu fikoetrin dan pada jenis-jenis tertentu terdapat fikosianin. Ganggang ini bersifat uniseluler, berfilamen dan ada yang membentuk struktur daun. Material utama pada ganggang merah adalah suatu polisakarida yang dinamakan tepung florida yang merupakan hasil polimerisasi dari glukosa, berbentuk bulat, tidak larut dalam air dan seringkali berlapis-lapis. Tepung ini tidak terdapat pada kromatofora tetapi pada permukaannya. Selain tepung florida terdapat juga floridosid yaitu persenyawaan gliserin dan galaktosa serta minyak. Dinding sel dari ganggang merah in juga terdiri atas dua lapis, di dalam terdiri atas selulosa dan dinding luar terdiri atas pectin yang berlendir. Habitat hidup ganggang merah adalah laut atau ekosistem payau (Atlas dan Bartha 1981). 13
Confidentia
Reproduksi dapat secara aseksual, yaitu dengan pembentukan spora, dapat pula secara seksual (oogami). 2.1.4. Divisi Cyanophyta Cyanophyta berwarna hijau-kebiruan, karena memiliki pigmen tambahan selain klorofil dan karotenoid. Beberapa dari kelas ini berwarna kuning, merah, ungu, atau warna lain. Pigmen-pigmen yang beragam menghasilkan kisaran sangat luas terhadap warna tumbuhan ini. Kelompok spesies Cyanophyta hingga saat ini diperkirakan terdapat 1500 spesies yang dapat ditemukan di berbagai habitat mengandung air, maupun di dalam tanah serta bebatuan. Secara umum Cyanophyta lebih mendominasi pada habitat dengan kemasaman netral atau sedikit alkali. Ganggang ini hidup sebagai plakton dan bentos (Bold dan Wyne 1985). Cyanophyta bersel tunggal atau berbentuk benang dengan struktur tubuh yang masih sederhana, bersifat autotrof dimana kromatofora dan inti tidak ditemukan. Dinding sel mengandung pektin, hemiselulosa dan selulosa yang kadang-kadang berupa lendir, di tengah-tengah sel terdapat bagian yang tidak berwarna yang mengandung asam deoksi– ribonukleat. Ganggang ini tidak memiliki flagela sebagai alat geraknya dan umumnya gerakan ganggang ini karena adanya kontraksi tubuh dan dibantu dengan perantara lendir dengan demikian terbentuk kelompok-kelompok atau koloni. Beberapa ganggang hijaubiru dapat menangkap nitrogen dariudara, sifat yang tidak dimiliki ganggang lain . Sebagai zat makanan ditemukan glikogen dan butir-butir sianofisin (lipo-protein) (Tjitrosoepomo 2005).
2.1.5. Divisi Euglenophyta Euglenophyta merupakan organisme uniseluler yang aktif (motil) karena berflagel dan bereproduksi melalui pembelahan sel. Sel euglena tidak kaku dan tidak memiliki dinding sel yang berisikan selulosa. Euglena merupakan bagian dari Chlorophyta karena adanya klorofil-a dan b dalam kloroplas, Membran luar lentur dan dapat digerakkan. Beberapa spesies tertentu memiliki bentik mata merah yang jelas. Vakuola kontraktil dan fibril juga dijumpai dalam sel. 14
Confidentia
Fotosintetis dilakukan di dalam kloroplas dan bersifat autotrofik fakultatif. Euglena tersebar luas di tanah maupun dalam air (Pelczar dan Chan 1986).
2.1.6. Divisi Phaeophyta Phaeophyceae adalah ganggang yang berwarna dalam kromatoforanya terkandung klorofil a, karotin dan santofil yang tertutup oleh fikosantin, sehingga menyebabkan ganggang kelihatan berwarna pirang. Sebagai hasil asimilasi dan sebagai zat makanan cadangannya tidak pernah ditemukan zat tepung, tetapi sampai 50% dari berat keringnya terdiri atas minyak dan laminarin yaitu sejenis karbohidrat yang lebih dekat dengan selulosa dari pada tepung. Dinding selnya terdiri atas selulosa di bagian dalam dan pektin di bagian luar. Di bawah pektin terdapat algin, suatu zat yang menyerupai gelatin dari asam alginat (Atlas dan Bartha 1981). Sebagian besar Phaeophyceae hidup di air laut dan beberapa macam hidup di air tawar (Tjitrosoepomo 2005). Ukuran dan bentuk talusnya sangat besar di lautan dengan iklim sedang atau dingin. Phaeophyceae tergolong ke dalam ganggang bentik yang melekat pada batu-batu atau kayu dan sel-selnya hanya memiliki satu inti.
2.2.
Pertumbuhan ganggang mikro Pertumbuhan dalam siklus ganggang mikro terdiri lima fase (Fogg 1975),
yaitu : 1. Fase lag Merupakan fase awal dalam pertumbuhan ganggang mikro. Pada fase ini biasanya terjadi stress fisiologi karena terjadi perubahan kondisi lingkungan media hidup dari satu media ke media yang baru. Populasi yang baru ditransfer mengalami penurunan tingkat metabolisme, hal ini juga dipengaruhi oleh kelarutan dari nutrien dan mineral yang lebih banyak pada media sebelumnya, sehingga mempengaruhi sintetis metabolik dari konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi. Dari perubahan perubahan ini sel mikroalga akan beradaptasi.
15
Confidentia
2. Fase eksponensial (logarimik) Pada fase ini percepatan pertumbuhan dan perbandingan konsentrasi komponen biokimia menjadi konstan. 3. Fase deklinasi Pada fase ini mengalami pengurangan kecepatan pertumbuhan sampai mencapai fase awal pertumbuhan yang stagnan. Hal ini terjadi karena nutrien yang ada pada media pertumbuhan ganggang mikro semakin berkurang. 4. Fase stasioner Fase dimana tingkat pertumbuhan kelimpahan sel mengalami pertumbuhan konstan akibat dari keseimbangan katabolisme dan metabolise sel. Pada fase ini merupakan akhir dari produksi biomassa dan ditandai dengan rendahnya tingkat nutrien dalam sel. Pada fase ini laju reproduksi sama dengan laju kematian 5. Fase kematian Fase kematian pada sel terjadi karena perubahan kualitas air yang semakin memburuk, penurunan nutrien pada media kultur dan kemampuan sel yang sudah tua untuk melakukan metabolism. Hal ini ditandai dengan penurunan produksi biomassa.
2.3.
Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pertumbuhan Ganggang Mikro Pertumbuhan suatu jenis fitoplankton sangat erat kaitannya dengan faktor
ketersediaan unsur hara makro dan mikro serta dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yaitu: 1.
Hara Makro dan Mikro Pada kultur fitoplankton sangat dibutuhkan berbagai senyawa anorganik baik hara makro yaitu nitrogen (N), fosfor (P), sulfur (S), kalium (Cl), natrium (Na), kalsium (Ca) dan karbon (C) maupun unsur hara mikro yaitu besi (Fe), mangan (Mn), seng (Zn) iodium (I), boron (Br), silikon (Si), tembaga (Cu), molybdenum (Mo), dan kobalt (Co).
16
Confidentia
Setiap unsur hara memiliki fungsi fungsi khusus yang tercermin pada pertumbuhan dan kepadatan yang dicapai, tanpa mengesampingkan pengaruh kondisi lingkungan. Unsur nitrogen (N), fosfor (P), dan sulfur (S) penting untuk pembentukan protein, sedangkan kalium (Cl) berfungsi sebagai metabolism karbohidrat. Besi (Fe) dan natrium (Na) berperan untuk pembentukan klorofil, kemudian silikon (Si) dan kalsium (Ca) merupakan bahan untuk pembentukan dinding sel. Vitamin B12 banyak digunakan untuk memacu pertumbuhan melalui rangsangan fotosintetik (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). 2. Suhu Suhu dapat berpengaruh secara langsung terhadap metabolisme sel. Suhu minimum yang diperlukan Chlorella sp untuk tumbuh adalah 5 oC, sedangkan suhu optimumnya adalah 20 – 35 oC. Jika suhu di bawah 5 oC maka pertumbuhan akan terhambat dan menurunkan kelarutan karbondioksida (CO2) dan oksigen (O2) serta akan menggeser keseimbangan reaksi respirasi dan fotosintesis. Sedangkan jika suhu kultur di atas 35 oC akan menyebabkan kematian sel. Enzimenzim yang bekerja dalam proses fotosintesis hanya dapat bekerja pada suhu optimalnya. Umumnya laju fotosintensis meningkat seiring dengan meningkatnya suhu hingga batas toleransi enzim. 3. Cahaya Cahaya merupakan sumber energi yang dibutuhkan oleh tumbuhan termasuk ganggang mikro untuk melakukan fotosíntesis yang berguna untuk pembentukan senyawa karbon organik. Mc Kinney (2004) menyatakan bahwa ganggang mikro menggunakan cahaya sebagai sumber energi untuk sintesis sel protoplasma. Sumber energi ganggang mikro di laboratorium biasanya memakai lampu fluoresen yang memiliki keunggulan antara lain hemat energi karena seluruh energi listrik diubah menjadi energi cahaya, tidak menghasilkan panas yang tinggi sehingga dapat mempengaruhi kultur ganggang mikro. Intensitas cahaya dalam lampu flouresen sebesar 40 Watt = 4000 lux.
17
Confidentia
Intensitas cahaya yang tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan sel yang pesat pada awal pertumbuhan, tetapi kemudian sel mati (Paramita 2008). Kebutuhan akan cahaya bervariasi tergantung kedalaman kultur dan kepadatannya. Intensitas cahaya yang terlalu tinggi dapat menyebabkan fotoinbihisi dan pemanasan. Intensitas cahaya 1000 lux cocok untuk kultur dalam erlenmeyer, sedangkan intensitas 5000-10000 lux untuk volume yang lebih besar Proses fotosintesis pada Chlorella membutuhkan intensitas cahaya yang relatif rendah, berkisar 4.000-30.000 luks, sesuai dengan strain. (OhHama dan Miyachi 1988). 4. Derajat Keasamaan (pH) Salah satu faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan ganggang adalah pH medium biakan (Becker 1994). Rentang pH yang baik untuk pertumbuhan fitoplankton adalah 6-9. Ganggang umumnya hidup dengan baik pada pH netral (Syahri 2009). Perubahan pH medium dapat menyebabkan perubahan kelarutan ion misalnya garam-garam besi (Fe), seng (Zn), mangan (Mn), dan kalsium (Ca) menjadi sukar larut sehingga menyebabkan terhambatnya proses fotosintesis. pH juga berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas. Semakin tinggi pH maka semakin tingi pula nilai alkalinitas dan semakin rendah kadar karbondioksida (CO2) bebas padahal kebutuhan organisme produsen akan karbondioksida (CO2) cukup tinggi untuk melakukan proses fotosintetis. 2.4.
Komposisi Kimia Sel Ganggang Mikro Komposisi kimia sel semua jenis ganggang umumnya terdiri dari protein,
karbohidrat, dan lemak (fatty acids) atau lipid. Perbedaan komposisi lipid pada ganggang seringkali memperlihatkan sebagai hasil dari variasi pada lingkungan atau kondisi media biakan. Komposisi kimia ganggang dalam persen bobot kering disajikan pada Tabel 2.
18
Confidentia
Tabel 2. Komposisi kimia ganggang dalam persen bobot kering Komposisi kimia (% bobot kering) Protein 50-56
Karbohidrat 10-17
Lemak 12-14
47
-
1.9
8-18
21-52
16-40
48
17
21
51-58
12-17
14-22
57
26
2
6-20
33-64
11-21
Dunaliella salina
57
32
6
Euglena gracilis
39-61
14-18
14-20
Porphyridium cruentum
28-39
40-57
9-14
Spirulina platensis
46-63
8-14
4–9
Spirulina maxima
60-71
13-16
6-7
63
15
11
Ganggang Scenedesmus obliquus Scenedesmus quadricauda Scenedesmus dimorphus Chlamydomonas rheinhardii Chlorella vulgaris Chlorella pyrenoidosa Spirogyra sp
Synechoccus sp Sumber : Becker (1994)
Jenis gula yang menyusun karbohidrat Spirulina termasuk ramnosa (19 %), glukan (1,5 %), silitol berfosfat (2,5 %), hlukosamin dan asam muramat (2 %), glikogen (0,5 %), serta asam sialat (0,5 %). Bold dan Wynne (1985), menambahkan bahwa 1.7 % dari berat dinding sel Pleurotaenium adalah lipid, 0.32 % adalah nitrogen dan selebihnya adalah glukosa, galaktosa, xylosa dan arabinosa. Ganggang adalah tumbuhan yang dapat berfotosintesis. Gula merupakan karbohidrat paling sederhana yang dihasilkan dari fotosintesis.
2.5.
Identifikasi Ganggang Mikro Pendekatan identifikasi ganggang mikro dilakukan dengan mengacu pada
Bold dan Wynne (1985) dalam “Introduction to The Ganggange Structure and Reproduction” dan indentifikasi Toshiniko Mizuno (1970) “Halustrations of The Fresh water Plankton of Japan”. Identifikasi ganggang mikro yang utama didasarkan pada karakteristik morfologi serta sifat-sifat selular seperti: sifat
19
Confidentia
pigmen fotosintetik, struktur sel dan flagela yang dibentuk oleh sel-sel yang bergerak . 2.5.1. Karakteristik Morfologi Banyak spesies ganggang terdapat sebagai sel tunggal yang dapat berbentuk bola, batang, gada atau kumparan. Ganggang memiliki ukuran sangat beragam. Ganggang ada yang memiliki flagela ada yang tidak. Bersifat uniseluler tetapi spesies tertentu membentuk koloni-koloni multiseluler. Beberapa koloni merupakan agregasi (kumpulan) sel-sel tunggal identik yang saling melekat setelah pembelahan. Ganggang sebagaimana protista eukariotik yang lain, mengandung nukleus yang membatasi membran yang mengandung pati, tetesan minyak dan vakuola. Setiap sel mengandung satu atau lebih kloroplas, yang dapat berbentuk pita, di dalam matriks kloroplas terdapat gelembung-gelembung pipih bermembran yang dinamakan tilakoid. Membran tilakoid berisikan klorofil dan pigmen-pigmen pelengkap yang merupakan situs reaksi cahaya fotosintesis. 2.5.2. Sistem pigmen Pigmen terdapat dalam kloroplas. Kloroplas di dalam sel letaknya mengikuti bentuk dinding sel (parietal). Kloroplas kerap berisi masa protein cadangan, yang disebut pirenoid. Tubuh ganggang terdapat zat warna (pigmen), yaitu: - Fikosianin
: warna biru
- Klorofil
: warna hijau
- Fikosantin
: warna coklat
- Fikoeritrin
: warna merah
- Karoten
: warna keemasan
- Xantofil
: warna kuning
2.5.3. Sifat bahan cadangan Cadangan makanan ganggang umumnya merupakan amilum yang tersusun sebagai rantai glukosa tidak bercabang yaitu amilosa dan rantai yang bercabang 20
Confidentia
amilopektin.
Amilum tersebut seringkali terbentuk dalam granula bersama
dengan badan protein dalam plastida disebut pirenoid. Pirenoid umumnya diliputi oleh butiran-butiran pati, pirenoid ini berasal dari hasil asimilasi berupa tepung dan lemak (lipid) tetapi beberapa jenis tidak mempunyai pirenoid. 2.5.4. Struktur Sel dan Flagela. Struktur tubuh ganggang sangat bervariasi. Beberapa spesies yang bersel tunggal dapat bergerak atas kekuatan sendiri (motil), sedangkan sebagian lagi non motil. Koloni ganggang dapat berupa benang-benang (filamen). Koloni yang tidak membentuk filamen biasanya merupakan kumpulan sel berbentuk bundar atau pipih tanpa alat lekat (holdfast). Dua tipe pergerakan fototaksis pada ganggang yaitu: 1. Pergerakan dengan flagela Pada umumnya sel ganggang dijumpai adanya flagela. Flagela dihubungkan dengan struktur yang sangat luas disebut aparatus neuromotor, merupakan granula pada pangkal dari tiap flagela disebut blepharoplas. Flagela tersebut dikelilingi oleh selubung plasma. 2. Pergerakan dengan sekresi lendir Beberapa divisi ganggang juga terdiri dari anggota bersel satu yang tidak mempunyai flagela atau tidak mempunyai alat gerak yang lain. Mekanisme daya penggerak disebabkan adanya stimulus cahaya yang diduga oleh adanya sekresi lendir melalui porus dinding sel pada bagian apikal dari sel. Daya penggerak lain oleh modifikasi khusus gerak ameboid. Gerakan ditimbulkan oleh arus sitoplasmik yang terarah di dalam kanal rafe, yang mendorong sel diatas substrat (Stanier et al. 1982). Berdasarkan uraian diatas maka divisi taksonomi ganggang utama berdasarkan sifat-sifat seluler disajikan pada Tabel 3.
21
Confidentia
Tabel 3. Divisi taksonomi ganggang utama berdasarkan sifat-sifat seluler Nama Umum
Sistem pigmen
Sifat Bahan Cadangan
Struktur Sel dan Flagela
(Divisi)
Ganggang Hijau (Chlorophyta)
Klorofil, karoten, xantofil
Pati, minyak
Kebanyakan non motil (kecuali satu ordo), tetapi beberapa sel reproduktif dapat berflagela
Ganggang Keemasan dan Diatom (Chrysophyta)
Karoten
Karbohidrat seperti pati; minyak
Flagela: 1 atau 2 sama atau tidak sama; pada beberapa permukaannya tertutup oleh sisik-sisik khas
Ganggang Merah
Fikoeritrin; karoten dan xantofil
Pati floridean (seperti glikogen)
Nonmotil; agar dan keragen dalam dinding sel
Fikosianin; fikoeritrin
Glikogen dan minyak
Nonmotil; selulosa dan pektin dalam dinding sel
Klorofil; karoten; xantofil
Karbohidrat seperti pati; minyak
Flagela: 1, 2, atau 3 yang sama, agak apikal ; ada kerongkongan ; tidak ada dinding sel tetapi mempunyai pelikel elastik
Fikosantin
Laminarin dan lipid
Flagela: 2 lateral, tak sama; asam alginat dalam dinding sel
(Rhodophyta) Ganggang Hijau Biru (Cyanophyta) Euglenoid (Euglenophyta)
Ganggang Coklat (Phaeophyta)
Sumber : Pelczar dan Chan (1986)
2.6.
Etanol Etanol atau etil alkohol (C2H5OH) atau sering juga disebut dengan grain
alcohol yang dihasilkan dari proses fermentasi biomasa yang mengandung komponen pati atau selulosa dengan mennggunakan yeast Saccharomyces cereviceae atau bakteri Zymomonas mobillis. Produksi biomassa yang rendah Etanol berbentuk cair, bening tidak berwarna, bersifat mudah terbakar, larut dalam air dan eter, mempunyai panas pembakaran 328 Kkal dan mempunyai bau khas
22
Confidentia
serta mempunyai sifat fisika – kimia seperti pada Tabel 5. Reaksi pembuatan bioetanol dari sukrosa adalah : C12H22O11 + H2O
bioenzim
2C2H5OH + 2 CO2
Produksi etanol biasanya dilakukan dalam tiga langkah : (1) memperoleh larutan gula yang dapat difermentasi, (2) fermentasi gula menjadi etanol dan (3) pemisahan etanol dilanjutkan pemurnian, biasanya dengan distilasi (Demirbas 2005). Etanol terbagi dalam tiga grade, yaitu grade industri dengan kadar alkohol 90 - 94 %, netral dengan kadar alkohol 96 - 99,5 % umumnya digunakan untuk minuman keras atau bahan baku farmasi dan grade bahan bakar dengan kadar alkohol diatas 99,5 % . Tabel 4. Sifat fisika – kimia etanol Parameter Densitas
Kuantifikasi 0,789 g/cm3
Fase
Likuid
Kelarutan dalam air
Tinggi
Titik leleh
-114,3 oC (158,8 K)
Titik didih
78,4 oC (351,6 K)
Viskositas
1.200 cP pada 20 oC
Sumber : Rutz and Janssen (2007)
Satu dekade ini pengembangan etanol terus dilakukan hal ini didorong oleh (Musatto et al. 2010) : (1) ketersediaan cadangan minyak yang terus berkurang dan harganya yang melonjak, (2) Emisi yang disebabkan bahan bakar fosil (3) Persyaratan Protokol Kyoto dan Bali Road Map (4) Alternatif baru bagi produsen pertanian.
Etanol dapat diproduksi dari berbagai biomassa hasil pertanian, namun secara tradisional bahan hasil pertanian yang digunakan adalah yang mengandung 23
Confidentia
gula dan pati. Gula sederhana dapat langsung digunakan oleh khamir, sedangkan pati dapat dengan mudah dikonversi dahulu menjadi glukosa oleh enzim atau asam, kemudian difermentasi oleh khamir menjadi etanol. Varga et al. (2004) memproduksi etanol dari jagung, limbah jagung dan tongkol jagung dan melibatkan kemampuan Saccharomyces cerevisiae dalam menggunakan fraksi hemiselulosa sebagai sumber karbon untuk fermentasi etanol. Setelah etanol diperoleh dari proses fermentasi selanjutnya etanol di distilasi untuk mendapatkan etanol sebesar 95%. Agar dapat digunakan sebagai bahan bakar terlebih dahulu dimurnikan kembali dengan proses dehidrasi atau purifikasi agar konsentrasi etanol menjadi 99%. Adapun spesifikasi standar etanol tersaji pada Tabel 5. Tabel 5. Spesifikasi standar bioetanol (SNI 7390:2008) NO 1
Sifat Kadar etanol
2 3 4
Kadar methanol Kadar air Kadar denaturan
5 6 7
Kadar tembaga (Cu) Keasaman sebagai CH3COOH Tampakan
8 9 10 11
2.7.
Unit, min/max %-v, min
mg/L, max %-v, max %-v, min %-v, max mg/kg, max mg/L, max
Kadar ion klorida (Cl-) mg/L, max Kandungan belerang (S) mg/L, max Kadar getah (gum), dicuci mg/100 ml, max pH Sumber : Standar Nasional Indonesia. 2008. SNI 7390:2008
Spesifikasi 99,5 (sebelum denaturasi)2) 94,0 (setelah denaturasi) 300 1 2 5 0,1 30 Jernih dan terang, tidak ada endapan dan kotor 40 50 5,0 6,5 - 9,0
Potensi Ganggang Mikro sebagai Etanol Ganggang mikro merupakan kelompok organisme yang mampu tumbuh
dengan cepat, terdiri pada kelompok eukariotik dan prokariotik. Contoh organisme prokariotik adalah Cyanobacter (cyanophyceae) dan eukariotik meliputi
ganggang
mikro
gree
ganggange
(Chlorophyta)
dan
diatom
(Bacillariophyceae) (Li et al. 2008). Ganggang mikro mampu mengkonversi cahaya matahari menjadi komponen kimia terutama lipid, karbohidrat dan protein. Memanfaatkan ganggang mikro sebagai bahan bakar nabati (etanol) bukan
24
Confidentia
merupakan ide baru, namun kini merupakan salah satu solusi seiring dengan meningkatnya harga dan berkurangnya cadangan fosil fuel. Ganggang mikro adalah mikroorganisme fotosintetik, potensi ganggang mikro sebagai bahan kebutuhan pangan atau industri saat ini masih terus diteliti, ganggang mikro dapat bersaing dengan tumbuhan pertanian dikarenakan produksi biomassanya. Keuntungan lain dari ganggang mikro adalah dapat dipanen sepanjang musim, pemanfaatan air tidak sebesar tanaman teresterial, budidaya ganggang mikro tidak memerlukan herbisida atau aplikasi pestisida (Brennan dan Owende 2010). Beberapa jenis ganggang mikro memiliki kemampuan menghasilkan karbohidrat tingkat tinggi sebagai polimer cadangan.
Spesies tersebut yang
menjadi kandidat ideal untuk produksi bio-etanol. Karbohidrat dari ganggang mikro dapat diekstraksi untuk menghasilkan gula yang dapat difermentasi. Kandungan karbohidrat ganggang mikro tergantung pada spesies dan kondisi lingkungan hidupnya (Basmal 2008). Karbohidrat pada ganggang mikro di dinding sel dan sitoplasma. Sekitar 4 – 7 % dalam bentuk selulosa dan sekitar 51 – 60 % dalam bentuk gula netral non selulosa. Keunggulan ganggang mikro sebagai bahan baku etanol dari bahan baku lain yaitu keberlanjutan bahan baku ganggang mikro lebih terjamin dikarenakan kecepatan produksi biomassa yang tinggi, dapat dibudidayakan tanpa lahan. Ada sekitar 38 jenis ganggang mikro beberapa jenis ganggang mikro telah diteliti dan diprediksi memilki kandungan karbohidrat yang cukup potensial sebagai sumber bahan baku etanol (Jhon et al. 2011). Parmar et al. (2011), menambahkan bahwa ganggang mikro divisi Cyanophyta dapat digunakan sebagai bahan baku produksi, biodiesel, etanol, biomethane disamping pemanfaatannya sebagai produk farmasi dan pangan. Kegiatan pembiakan tumbuhan produsen primer ini sangat menghemat ruang (save space), dapat memanfaatkan ruang terbuka luas atau ruang terbatas, memiliki efisiensi dan efektivitas tinggi. Ganggang mikro dapat menghasilkan produk minimal 30 kali lebih banyak dibandingkan tumbuhan darat persatuan luas lahan dan waktu yang sama (Tabel 6). Pengembangan
etanol
dari
kelompok
cyanobacter
telah
banyak
dikembangkan. Cyanobacter mampu mensekresikan glukosa dan sukrosa yang
25
Confidentia
mampu dimanfaatkan sebagai substrat dalam fermentasi etanol, hal tersebut diharapkan dapat memberikan alternatif dalam kebutuhan energi yang terus meningkat (Parmar et al. 2011). Hasil penelitian Rodjaroen et al (2007), 14 jenis ganggang mikro kelompok green ganggang dan 11 ganggang mikro kelompok cyanobacter yang memiliki potensi sebagai biomassa penghasil karbohidrat. Tabel 6. Perbandingan produksi minyak, penggunaan lahan dan produksi biodiesel ganggang mikro dengan sumber produk pertanian lain Sumber Tanaman
Jagung Rami Kedelai Jarak Canola/Rapeseed Bunga matahari Kelapa sawit Ganggang mikro (low oil content) Ganggang mikro (medium oil cont) Ganggang mikro (high oil content)
Kandungan minyak biji (% minyak/brt dlm biomass) 44 33 18 28 41 40 36 30
Hasil minyak (L minyakl/ha tahun) 172 363 636 741 974 1070 5366 58.700
Penggunaan lahan (m2thn/kg biodiesel) 66 31 18 15 12 11 2 0,2
Produksi biodiesel (kg biodiesel/ha tahun) 152 321 562 656 809 946 4747 51.927
50
97800
0,1
86.515
70
136.900
0,1
121.104
Sumber : Oilgae (2008). Penelitian yang dilakukan oleh Harun et al. 2009 menunjukkan bahwa ganggang mikro jenis Chlorococum sp. dapat digunakan sebagai substrat untuk produksi etanol dengan Saccharomyces bayanus. Konsentrasi etanolyang dihasilkan sebesar 3,83 g/Lyang didapatkan dari 10 g/L ganggang mikro yang sudah diekstrak minyaknya. 2.8.
Metode Produksi Biomassa Ganggang Mikro pada Skala Lapang Untuk produksi biomassa maksimum pada skala lapang dapat dilakukan
dengan sistem terbuka (kolam kanal) dan sistem tertutup (fotobioreaktor) (Chisti 2007). Pengembangan konsep kolam kanal pertama kali dikenalkan oleh Jerman setelah perang dunia ke-2 awal tahun 1970, kemudian diikuti israel dan jepang. Awal pengembangannya, ganggang mikro selama beberapa periode, lebih
26
Confidentia
dikembangkan sebagai makanan sehat dan ditumbuhkan di kolam terbuka (Ugwu et al. 2008). Kolam kanal dibuat dari saluran resirkulasi rangkaian tertutup, yang biasanya mempunyai kedalaman 0,3 m. Pencampuran dan sirkulasi diperoleh dari suatu roda penggerak (seperti turbin). Aliran diarahkan di sekitar cekungan, yang ditempatkan di saluran aliran. Roda penggerak beroperasi sepanjang waktu untuk mencegah sedimentasi (pengendapan). Desain tampak depan sebuah kolam kolam kanal disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Desain kolam raceways di skala lapang (Sumber: Jonathan 2010)
Pada kolam kolam kanal pendinginan diperoleh melalui penguapan. Suhu berfluktuasi seiring dengan siklus harian dan musiman. Sistem kolam kanal dapat memanfaatkan karbon dioksida lebih efisien daripada fotobioreaktor. Kelemahan dari metode ini adalah produktivitas ganggang mikro bisa dipengaruhi oleh kontaminasi dan mikroorganisme pemakan ganggang. Konsentrasi biomassa masih rendah karena campuran nutrisi pada sistem kolam kanal sedikit dan tidak dapat bertahan pada zona optik yang gelap. Namun, kelebihan dari metode kultivasi kolam dianggap lebih ekonomis serta membutuhkan sedikit biaya untuk membangun dan mengoperasikannya. Kultivasi ganggang mikro dapat berlangsung pada sistem fotobioreaktor, untuk jangka waktu yang lama bisa dikembangkan skala laboratorium maupun industri, tergantung tujuan yang dinginkan. Kultivasi ganggang mikro dengan metode ini mempunyai beberapa kelebihan antara lain: lebih mudah dikontrol, biomassa yang dihasilkan tinggi serta kemungkinan terjadinya kontaminasi oleh 27
Confidentia
mikroorganisme lain lebih kecil. Beberapa kelemahannya yaitu biaya produksi untuk pembuatan instalasi serta perawatan mekanisasinya cukup mahal bila akan dikembangkan dalam skala besar (Ugwu et al. 2008). Fotobioreaktor tubular tubular merupakan suatu sistem kultivasi yang bisa diterapkan pada skala lapang, terdiri atas sebuah larikan lurus berupa tabung transparan yang terbuat dari plastik atau kaca. Larikan tubular, atau kolektor surya, adalah ruang dimana sinar matahari ditangkap. Tabung kolektor surya umumnya berdiameter 0,1 m atau kurang. Diameter tabung terbatas karena cahaya tidak bisa menembus terlalu dalam ke biakan yang padat. Media ganggang mikro dialirkan dari reservoir (yaitu kolom degassing) ke kolektor surya dan kembali ke reservoir. Sebuah desain fotobioreaktor disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Fotobioreaktor di Pusat Produksi Ganggang Algomed, Klötze, Jerman (Sumber: Santosa 2010, tidak dipublikasikan).
Fotobioreaktor memerlukan pendinginan sepanjang hari. Pengendalian suhu sangat dibutuhkan pada malam hari, sehingga kehilangan biomassa dapat diperkecil. Tabung luar fotobioreaktor didinginkan dengan menggunakan pengatur suhu. Kumparan pengatur suhu ditempatkan pada kolom degassing.
2.9.
Metode Pemanenan Ganggang mikro
2.9.1.
Sentrifus Sentrifus adalah proses pemisahan dengan menggunakan kekuatan
sentrifugal untuk memadatkan padatan dan memisahkan dengan cairan. Pemisahan ini berdasarkan pada ukuran partikel dan perbedaan kerapatan
28
Confidentia
komponen medium. Sifat dari partikel kecil dalam sistem ini memilki efek terbesar dalam proses pemisahan. Sentrifugasi dengan kecepatan tinggi merupakan metode terbaik dalam pemanenan ganggang mikro. Hasil penelitian Heasmen et al. 2000, melakukan pengujian dengan tiga sentrifus dengan kecepatan yang berbeda yaitu 1300 g, 6000 g dan 13000 g. Hasil yang diperoleh adalah efisiensi lebih 95% ketika kecepatan sentrifugasi maksimum (13000 g), yang kemudian menurun menjadi 60% pada 6000 g dan 40% pada 1300 g. Meskipun sentrifugasi merupakan metode yang efektif untuk pemisahan ganggang mikro, kelemahan membutuhkan energi yang cukup besar. Uduman (2010) mengatakan bahwa energi yang diperlukan sebesar 8kWh/m3 kultur ganggang mikro.
2.9.2. Filtrasi Filtrasi merupakan metode pemisahan memanfaatkan media permeabel. Media permeabel mempertahankan padatan dan melewatkan cairan. Penyaringan melibatkan suspensi yang melewati sebuah pemisah dengan ukuran pori-pori tertentu. Partikel-partikel padat yang lebih besar dari ukuran pori-pori pemisah dipertahankan, sementara fase cair melewati membran. Ukuran membran (kain saring) tergantung pada ukuran ganggang mikro. Lebih besar ukuran ganggang mikro maka bukaan membran akan semakin besar dan proses penyaringan akan lebih cepat dan biaya yang digunakan akan lebih murah. Dalam proses filtrasi memerlukan tekanan yang akan diterapkan di seluruh sistem untuk memaksa cairan melalui membran. Besarnya tekanan tergantung dengan jenis pendorongnya seperti vakum, gravitasi dan sentrifugal. Kelemahan dalam metode filtrasi adalah media ganggang mikro cenderung akan ikut bercampur sehingga perlu pembilasan atau pencucian kembali. Kajian mengenai pemanenan biomassa ganggang mikro telah banyak dilakukan, Grima et al. 2003, melakukan metode pemanenan yang dioperasikan dibawah tekanan sesuai pada ganggang mikro yang berukuran besar dan tidak sesuai bila diaplikasikan pada ukurun ganggang mikro yang ukurannya mendekati dimensi bakteri.
29
Confidentia
Metode filtrasi yang menjanjikan dalam proses pemanenan dalam skala besar adalah metode tangensial flow filtrasion (filtrasi aliran tangensial), dalam metode TFF medium mengalir melintasi membran, kemudian di resirkulasi ke membran untuk menjaga sel-sel dan meminimalkan fouling atau penumpukan pada layar filtrasi. Partikel dengan ukuran lebih kecil dari pori-pori membran dapat melewati. Sementara yang lebih besar tetap bertahan. Hasil penelitian Petruevski et al. 1994, menggunakan ultrafiltrasi dengan ukuran pori-pori membran 0.45μm meghasilkan biomassa ganggang mikro berkisar 70-89 %. Metode pemanenan dengan cara filtrasi disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Metode tangensial flow filtrasion (Uduman et al, 2010)
2.9.3. Flokulasi Flokulasi adalah proses penghilangan stabilitas partikel koloid sehingga perkembangan partikel dapat terjadi sebagai akibat dari benturan partikel. Sedangkan flokulasi adalah proses dimana ukuran partikel meningkat dikarenakan oleh benturan partikel. Proses koagulasi biasanya diikuti oleh proses flokulasi. Biasanya proses koagulasi flokulasi dilakukan dengan menambahkan bahan kimia pembantu yang biasanya dikenal sebagai koagulan dan flokulan. Koagulan dan flokulan yang biasanya digunakan adalah polimer, garam logam seperti alum atau ferric sulfat (Metcalf dan Eddy 2004). Ganggang mikro yang berukuran 5-50 μm (Tenney et al. 1969), dapat membentuk suspensi stabil dengan reaksi kimia reaktif pada permukaan seluler yang memiliki muatan permukaan akibat ionisasi gugus fungsi. Stabilitas suspensi
30
Confidentia
ganggang mikro tergantung pada kekuatan yang berinteraksi antara partikel ganggang mikro dan partikel-partikel dengan air. (Tenney et al. 1969) Pemanenan dengan metode flokulasi merupakan salah satu metode pemanenan yang dapat diandalkan karena dapat diaplikasikan pada berbagai spesies ganggang mikro. Hasil penelitian, Pushparaj et al. 1992 pada ganggang mikro Tetraselmis suecica, Spirulina platensis dan Rhodopseudomonas palustris dengan menggunakan flokulan mampu memisahkan biomassa pada media hidupnya sebesar 80% pada ganggang mikro Tetraselmis suecica dan 70% pada ganggang mikro Spirulina platensis dan Rhodopseudomonas palustris. Terdapat dua jenis flokulan yaitu flokulan anorganik dan flokulan organik. Flokulan yang telah diaplikasikan pada ganggang mikro dan jenis flokulan tersaji pada Tabel 7 Tabel 7. Jenis, dosis dan pH optimal flokulan Tipe Flokulan
Jenis Flokulan
Alumunium sulfat/ Tawas Ferric Sulfat Kapur Purifloc Zetag 51 Dow 21M Organik Dow C-31 Chitosan Sumber : Shelef et al 1984. Anorganik
Dosis optimal (mg/L) 80-250 50-90 500-700 35 10 10 1–5 100
pH Optimal 5.3-5.6 3.0-9.0 10.5-11.5 3.5 >9 4.0–7.0 2.0–4.0 8.4
Jenis flokulan alumunium sulfat merupakan salah satu flokulan terbaik yang digunakan sebagai metode pemanenan ganggang mikro. Lee et al. 1998 menambahkan bahwa penggunaan flokulan jenis alumunium sulfat pada ganggang mikro Botryococcus braunii dengan pH 11 pada minggu kedua memilki kandungan lipid terbaik. Menurut Oswald (1988) koagulan dan flokulan yang paling efektif untuk memisahkan ganggang adalah aluminium sulfat dan ferri sulfat.
Keberhasilan
dalam
pemanenan
dengan
menggunakan
flokulan
dipengaruhi oleh beberapa hal seperti, luas permukaan ganggang mikro akan menentukan dosis flokulan yang digunakan, Komposisi kimia ganggang mikro dan kondisi pH optimum (Oswald 1988)
2.9.4. Teknik Elektroflotasi
31
Confidentia
Setiap metode pemanenan memiliki kelebihan dan kekurangan dalam aplikasinya. Penggunaan bahan kimia dalam metode pemanenan akan meningkatkan konsentrasi zat terlarut didalam medium dan memungkinkan meningkatkan resiko kontaminan pada ganggang mikro. Metode pemanenan dengan teknik elektrolitik diharapkan dapat menjadi solusi akan resiko yang dihadapi metode pemanenan menggunakan bahan kimia. Teknik elektrolitik dapat digunakan karena ganggang mikro dapat menjadi partikel koloid dan dipisahkan dari media air dengan aliran medan listrik. Kelebihan menggunakan teknik elektrolitik yaitu ramah lingkungan, efisien, lemih aman, ekonomis dan selektif (Mollah et al 2004). Terdapat tiga jenis teknik elektrolitik yaitu koagulasi elektrolitik, flotasi elektrolitik, dan flokulasi elektrolitik. Teknik koagulasi elektrolitik melibatkan bahan kimia dan mekanisme fisik untuk memisahkan ganggang mikro dari air. Elektroda reaktif seperti besi atau alumunium yang biasa digunakan. Elektroda tersebut menghasilkan ion logam yang menyebabkan koagulasi biomassa ganggang mikro. Jumlah logam yang terlarut untuk membentuk ion tergantung pada listrik yang melewati larutan elektrolit. Teknik koagulasi elektrolitik tersajii pada Gambar 5.
Gambar 5. Teknik Koagulasi elektrolitik (Uduman et al. 2011).
Hasil penelitian Uduman et al (2011), dengan menggunakan teknik koagulasi elektrolitik pada ganggang mikro Tetraselmis sp dan Chlorococcum sp,
32
Confidentia
mampu memisahkan ganggang mikro dengan efisiensi 98-99% dengan daya optimal listrik 9.16 kWh/kg untuk Tetraselmis sp dan 4,44 kWh / kg untuk Chlorococcum sp selama 15 menit. Mekanisme teknik elektrolitik yaitu; 1) pembentukan koagulan oleh oksidasi elektrolitik yang berasal dari elektroda, 2) Destabilisation dari kontaminan, suspensi partikulat, dan melanggar emulsi. Langkah ini termasuk kompresi lapisan ganda menyebar di sekitar spesies dibebankan oleh interaksi ion yang dihasilkan oleh oksidasi dari anoda korban, netralisasi muatan (menghasilkan muatan total nol) dari spesies ion hadir di media oleh ion kontra dihasilkan oleh elektrokimia pembubaran anoda korban dan pembentukan flok sebagai akibat dari partikel bridging, 3) Agregasi dari fase stabil untuk membentuk gumpalan (Uduman et al. 2011).
2.10. Hidrolisis Asam Hidrolisis asam umumnya sering diartikan sebagai pre-treatment, yang merupakan tahapan pemecahan dinding sel ganggang mikro, untuk mengeluarkan karbohidrat yang terperangkap. Proses pre-treatment merupakan tahapan yang penting karena akan menghasilkan gula yang nantinya difermentasi menjadi etanol. Prosedur pre-treatment efisien, harus hemat energi, hemat biaya,mudah diaplikasikan dan tidak menurunkan kadar gula farmentasi (Rebelo et al. 2009). Biomassa dapat dipre-treatment dengan tiga cara; fisik, biologi dan kimia. Metode pre-treatment kimia menggunakan hidrolisis asam (H2SO4) dan hidrolisis basa (NaOH), tentunya metode ini memiliki keuntungan yaitu tinggi dalam mengkonversi hemiselulosa, selulosa dan membutuhkan waktu yang singkat, namun proses konversi dapat berjalan dengan lambat apabila dalam suhu dan tekanan yang rendah (Conde-Meija et al. 2011). Hasil penelitian Harun et al. (2011) pada ganggang mikro Chlorococcum infusionum, dengan hidrolisis basa menggunakan NaOH 0.75% b/v menghasilkan gula pereduksi 350 mg/g dengan suhu 120oC selama 30 menit. Proses hirdrolisis asam umumnya menggunakan asam sulfat (H2SO4) dan asam klorida (HCl) merupakan asam yang sering digunakan sebagai katalis kimia. Hidrolisis asam dikelompokkan menjadi dua yaitu hidrolisis asam dengan konsentrasi tinggi dan dengan konsentrasi rendah (Taherzadeh dan Karimi 2007).
33
Confidentia
Penggunaan H2SO4 dan HCl sebagai katalis dalam hidrolisis asam menghasilkan gula sederhana yang berbeda, dimana konsentrasi dan waktu hidrolisis yang sama, H2SO4 memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan HCl. Menurut Choi dan Mathews (1996) hidrolisis pati dengan H2SO4 selama 40 menit pada suhu 132oC menghasilkan 92% gula pereduksi, sedangkan penggunaan HCl 2% dengan waktu dan suhu yang sama menghasilkan 82% gula pereduksi. Penggunaan asam pekat pada hidrolisis mempunyai banyak persoalan teknik dan ekonomi misalnya penggunaan peralatan yang harus tahan terhadap asam, recovery asam dan menghasilkan produk samping yang dapat menghambat proses fermentasi (Safitri et al. 2009).
2.11. Hidrolisis Enzim Selain
menggunakan
asam,
hidrolisis
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan katalis enzim. Enzim adalah sekelompok protein yang berfungsi sebagai katalisator untuk berbagai reaksi kimia dalam sistem biologik. Penggunaan katalis enzim tentunya memiliki perbedaan dalam mengkonversi gula pereduksi karena kinerja enzim lebih spesifik. Hidrolisis menggunakan enzim memiliki laju hidrolisis yang rendah namun lebih disukai karena lebih ramah lingkungan. Selain itu hidrolisis enzim dapat dilakukan pada suhu ruang dan tekanan rendah, yang artinya tidak memerlukan penggunaan energi, juga produk yang dihasilkan lebih spesifik (Irawati. 2006). Hidrolisis enzim umumnya menggunakan mikroorganisme seperti fungi/ Actinomycetes untuk mendegradasi komponen selulosa pada ganggang mikro. Mikroorganisme
yang
mendegradasi selulosa
dapat
menghasilkan
enzim
selulase
yang dapat
seperti Tricoderma viride atau Tricoderma reesei.
Mikroorganisme selulolitik mampu menghasilkan selulase kompleks, yaitu suatu campuran beberapa jenis selulase yang berbeda. Selulase kompleks mampu menghidrolisis kristal selulosa menjadi gula-gula terlarut secara efisien. Beberapa spesies bakteri yang dapat memproduksi enzim selulase dan hemiselulase adalah Clostridium,
Cellumonas,
Thermomonospora,
Bacillus,
Bacteriodes,
Ruminococcus, Erwinia, Acetovibrio, Microbispora dan Streptomyces, dan jamur seperti Tricoderma, Penicillium, Fusarium, Phanerochaete, Humicola dan
34
Confidentia
Schizophillum sp. Walaupun enzim selulase dapat diproduksi oleh berbagai macam mikroorganisme, enzim selulase dari T. reesei atau T viride telah banyak dipelajari dan mempunyai karakteristik yang paling baik. Proses produksi etanol menggunakan T. reesei pada tahap proses sakarifikasi. Dengan konsentrasi enzim yang sama namun kondisi substrat yang berbeda-beda, diperoleh hasil bahwa kandungan glukosa meningkat secara signifikan. Hasil glukosa tertinggi ~ 64% ditemukan di 0,02 g enzim / g substrat dan hasil terendah ~ 26% adalah di enzim ~ 0,1 g / g substrat (Harun dan Danquah, 2011). Selanjutnya Choi et al. 2011, menjelaskan bahwa, penggunaan katalis enzim pada hidrolisis pati dengan menggunakan α-amylase dan amyloglucosidase yang dihasilkan mikroorganisme B. licheniformis dan Aspergillus niger
dapat mengkonversi pati menjadi gula pereduksi pada
ganggang mikro Chlamydomonas reinhardtii .
2.12.
Enzim Penghidrolisis Pati
2.12.1 Alfa Amilase Alfa amilase merupakan enzim ekstraselular yang dapat diperoleh antara lain dari kapang Aspergillus oryzae (Iskandar 1994). Enzim α-amilase dapat berasal dari tanaman seperti dari malt dan dari air ludah dan pankreas manusia (Judoamidjojo et al. 1989). Enzim α-amilase menghidrolisis ikatan 1,4-glikosidik pada amilosa dan amilopektin secara acak. Enzim α-amilase memiliki gugus karboksil dan nitrogen pada sisi aktifnya. Substrat membentuk komplek adsorpsi dengan enzim dimana posisi ikatan glukosidik dalam posisi saling berhadapan dengan gugus karboksil dan kelompok imidazol. Karboksil anion menyerang bagian nukleofil C (1) dari substrat yang bertujuan untuk menetralkan rantai ion amidazol. Pada reaksi deglukosilasi, kelompok imidazol menjadi dasar untuk memisahkan komponen air pada posisi C (1) (Naz 2002). Aktivitas enzim αamilase dapat diukur berdasarkan penurunan kadar pati yang larut atau jumlah gula pereduksi yang terbentuk (Judoamidjojo et al. 1989). Enzim α-amilase dari Bacillus licheniform memiliki kisaran pH optimum pada 5 - 7 dan suhu optimum antara 90 – 105 °C (Naz 2002). Hasil penelitian Wibisono (2004) memperlihatkan bahwa pH optimum α-amilase adalah 5,2 dan suhu optimum 95 °C.
35
Confidentia
2.12.2. Amiloglukosidase (AMG) Enzim sakarifikasi yang digunakan amiloglukosidase (AMG) simultan. Amiloglukosidase (AMG) merupakan nama dagang dari glukoamilase yang diproduksi oleh NOVO. Glukoamilase merupakan enzim yang diperoleh dari mikroba yaitu kapang dan khamir. Enzim komersial ini biasanya berasal dari Aspergillus niger (Naz 2002). AMG dikenal dengan nama lain α-1,4-glukan glukohidrase atau EC 3.2.1.3. AMG memecah ikatan polimer monosakarida pada bagian luar dan menghasilkan unit-unit glukosa dari ujung non pereduksi rantai polimer pati. Walaupun hidrolisis oleh AMG lambat, namun meningkat bersamaan panjang rantai dari substrat. Produk akhir dari AMG adalah glukosa dalam konfigurasi β (Naz 2002). Menurut Naz (2002), AMG memiliki pH optimum 4,0 – 4,4 dan stabil pada rentang pH 3,5 – 5,5. Enzim ini stabil pada suhu 40 – 65 °C dan untuk menghidrolisis pati suhu dan pH optimumnya adalah suhu 58 – 65 °C dan pH 4,2. AMG memiliki pH optimum sekitar 4 - 5 (Judoamidjojo et al. 1989). Berdasarkan penelitian Akyuni (2004), suhu dan pH optimum glukoamilase adalah 60°C dan pH 4,5.
2.13.
Proses Fermentasi Proses fermentasi dimaksudkan untuk mengubah glukosa menjadi etanol
(alkohol) dengan menggunakan yeast. Alkohol yang diperoleh umumnya mempunyai konsentrasi 8 - 10% volume. Proses fermentasi etanol dimulai dengan kesetimbangan masa energi, dan bioreaktor yang sesuai diperlukan dalam pelaksanaanya. Beberapa unsur yang diperlukan dalam fermentasi etanol meliputi substrat yang berupa glukosa, nutrisi atau suplemen serta mikroorganisme Pada tahap awal, yeast memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya. Selanjutnya terjadi proses akumulasi CO2 dan reaksi berubah menjadi anerob. Pada kondisi anaerob, yeast memanfaatkan glukosa menjadi etanol, dan diakhir proses fermentasi dihasilkan gas-gas antara lain CO2 dan aldehid. Gas CO2 mencapai 35% volume. Dalam rangka menghasilkan etanol yang berkualitas, gasgas tersebut harus dihilangkan sehingga dapat diperoleh etanol dengan kemurnian
36
Confidentia
sekitar 30-40% (Prescott dan Dunn 1981). Reaksi fermentasi yang terjadi pada proses produksi etanol secara sederhana dapat dilihat pada reaksi berikut: C6H12O6 → 2C2H5OH + 2CO2 Pada reaksi di atas, 70% energi bebas yang dihasilkan dibebaskan sebagai panas. Secara teoritis 51,5% karbohidrat diubah menjadi etanol dan 48,9% menjadi CO2. Khamir yang sering digunakan pada tahap fermentasi etanol adalah Saccharomyces cereviceae, karena jenis ini dapat berproduksi tinggi, toleran terhadap etanol yang cukup tinggi (12-18% v/v), tahan terhadap kadar gula tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4 - 32 0C (Harrison dan Graham 1970). Secara umum khamir dapat tumbuh dan memproduksi etanol secara efisien pada pH 3,5 - 6,0 dan suhu 28 - 35oC. Konsentrasi khamir yang digunakan pada proses fermentasi sebesar 5 g/L bahan kering (Sassner, 2008). Laju awal produksi etanol dengan menggunakan khamir akan meningkat pada suhu yang lebih tinggi, namun produktifitas keseluruhan menurun karena adanya pengaruh peningkatan etanol yang dihasilkan (Ratledge 1991). Produksi etanol dari substrat gula oleh khamir Saccharomyces cereviseae merupakan proses fermentasi dengan kinetika sangat sederhana karena hanya melibatkan satu fasa pertumbuhan dan produksi. Pada fase tersebut glukosa diubah secara simultan. menjadi biomassa, etanol dan CO2. Terdapat dua parameter yang mengendalikan pertumbuhan dan methabolisme khamir dalam keadaan anaeorobik, yaitu konsentrasi gula dan etanol. Secara kinetik glukosa berperan ganda, pada konsentrasi rendah (kurang dari 1 g/l) merupakan substrat pembatas, sedangkan pada konsentrasi tinggi (lebih dari 300 g/l) akan menjadi penghambat (Mangunwidjaja 1994). Selama proses fermentasi juga menimbulkan panas, bila tidak dilakukan pendinginan, maka suhu akan terus meningkat sehingga proses fermentasi terhambat (Oura 1983). Hasil penelitian Harun et al (2009), dengan ganggang mikro jenis Chlorococum sp dalam produksi etanol menggunakan khamir Saccharomyces bayanus dibawah kondisi fermentasi yang berbeda menghasilkan etanol dengan konsentrasi 3,83 g/L dengan biomassa 10 g/ L. Proses fermentasi penelitian ini menggunakan Saccharomyces cerevisiae merupakan salah satu spesies khamir yang memiliki daya konversi gula menjadi
37
Confidentia
etanol sangat tinggi. Mikroba ini biasanya dikenal dengan baker’s yeast dan metabolismenya telah dipelajari dengan baik. Khamir ini bersifat fakultatif anaerobik. Saccharomyces cerevisiae tumbuh optimum suhu 30oC dan pH 4,0 4,6
III. METODE PENELITIAN 3.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian Ganggang mikro air tawar yang digunakan dalam penelitian ini adalah
koleksi Indonesian Center for Biotechnology and Biodiversity Culture Collection of
Microorganisms
(ICBB-CC)
Bogor.
Karakterisasi
dan
pengamatan
pertumbuhan ganggang mikro dilakukan di ICBB. Identifikasi dilakukan di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI-Cibinong sedangkan proses produksi bioetanol di laboratorium Bioindustri Teknologi Industri Pertanian IPB. Penelitian ini berlangsung mulai bulan Desembar 2009 sampai bulan Desember 2012. 3.2.
Alat dan Bahan
3.2.1. Alat Peralatan yang akan digunakan
dalam isolasi, kultivasi, identifikasi,
karakterisasi ganggang mikro adalah tabung reaksi, bunsen, erlenmeyer, gelas ukur, pipet gondok, pH meter, labu ukur, spektrofotometer, mikroskop fluorence, milipore sentrifus, oven,inkubator goyang (shaker incubator) dan timbangan. Proses bioetanol menggunakan seperangkat alat produksi bioetanol skala laboratorium. Karakteristik etanol menggunakan GC-MS, HPLC, dan lain-lain.
3.2.2. Bahan
38
Confidentia
Bahan yang digunakan adalah koleksi ganggang mikro ICBB-CC air tawar (kawasan fresh water di Jawa tengah dan Jawa Barat). Bahan media yang digunakan sebagai media kultur ganggang mikro Blue Green 11 (BG 11), Modification Bristol Medium (MBM) dan Phospat Hidrogen Medium (PHM) adalah : NaNO3, KNO3, K2HPO4, MgSO4 7H2O, CaCl2 2H2O, C6H8O7, C6H8FeNO7, EDTA, Na2CO3, NaCl, FeCl2 6H2O pupuk TSP, H3BO3, MnCl2.4H2O, ZnSO4..7H2O, Na2MoO4.2H2O, CuSO4.5H2O, Co(NO3)2.6H2O, CoCl2.6H2O dan yeast Saccharomyces cerevisiae 3.3.
Rancangan Penelitian Rancangan proses produksi bioetanol dari biomasa ganggang mikro terdiri
dari: (1) kultivasi, identifikasi, karaketisasi, pemanenan – pengeringan ganggang mikro, (2) hidrolisis (3) produksi bioetanol dan (4) karakterisasi bioetanol. Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 6.
Ganggang mikro ICBB
Seleksi media
Kultivasi
Penentuan kurva tumbuh
Identifikasi dan karakterisasi
Produksi dan pemanenan
Galur Terpilih
Karakterisasi komponen karbohidrat Enzim α amilase
Enzim AMG
Likufikasi
Analisis total gula
Sakarifikasi
Potensi gula sederhana untuk produksi etanol
39
Confidentia
Karakterisasi etanol
Gambar 6. Diagram alir penelitian Pelaksanaan Penelitian Penelitian yang akan dilakukan terdiri dari 5 tahapan. Tahap yang pertama peremajaan dan penyediaan stok ganggang mikro media BG 11. Tahap kedua yaitu kultivasi pada skala laboratorium dan di scale up pada skala lapang pada kolam kanal dalam media terpilih. Tahap ketiga pemanenan dan pengeringan. Tahap empat produksi biomassa ganggang mikro, tahap lima proses pembuatan etanol dari karbohidrat ganggang mikro terpilih dan tahap enam proses pembuatan etanol dari biomassa ganggang mikro terpilih. 3.3.1. Seleksi dan Peremajaan Ganggang Mikro Seleksi ganggang mikro ICBB-CC air tawar bertujuan untuk mendapatkan jenis ganggang mikro dari alam untuk dikultivasi secara murni. Tahapan peremajaan diawali dengan mempersiapkan media BG 11 (Hu et al. 2000) tersaji pada Tabel 8.
Tabel 8. Komposisi media BG 11 Media BG 11 NaNO3 p.a K2HPO4 p.a MgSO4.7H2O p.a CaCl2.2H2O p.a Citric Acid p.a Fe ammonium Citrate EDTA p.a Na2CO3 p.a Trace Metal Komposisi Trace Metal H3BO3 MnCl2.4H2O ZnSO4.7H2O Na2MoO4.2H2O CuSO4.5H2O
Komposisi (g/L) 1.5 0.04 0.02 0.036 0.006 0.006 0.001 0.075 1 ml 2.86 1.81 0.222 0.079 0.39
40
Confidentia
Co(NO3)2.6H2O
0.049
Sebanyak 2 ml isolat ganggang mikro diinokulasikan ke dalam 50 ml media BG11 dalam botol bening berukuran ± 100 ml. Selanjutnya dilakukan proses inkubasi selama 3 minggu dengan cara digoyang (shaker) untuk mencegah pengendapan sel dan diberi cahaya lampu TL (tube lamp) 40 Watt secara terus menerus serta suhu ruangan 27-30oC. Selama inkubasi dilakukan pengukuran kadar biomassa pertumbuhan dengan cara mengukur optik density (OD) menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm (OD620nm). Seleksi ganggang mikro berdasarkan kecepatan tumbuh dan kondisi pertumbuhan. Peremajaan untuk mendapatkan ganggang mikro terseleksi pada penelitian tahap 1 tersaji pada Gambar 7.
Ganggang mikro ICBB
Peremajaan ganggang mikro dalam media BG 11
Seleksi ganggang mikro
Gambar 7. Penelitian tahap 1 peremajaan ganggang mikro
3.3.2. Tahapan Kultivasi Kultivasi ganggang mikro diawali seleksi media dengan tujuan mendapatkan media yang mempunyai laju pertumbuhan terbaik. Media yang digunakan adalah BG 11, PHM dan MBM. Tahapan kultivasi ini dilakukan agar ganggang mikro terseleksi dapat tumbuh dengan baik untuk mendapatkan biomassa yang cukup untuk digunakan pada tahap uji selanjutnya. Kultur biakan ganggang mikro diberi aerasi supaya tidak terjadi pengendapan dan diberi cahaya
41
Confidentia
lampu TL 2 x 40 Watt terus menerus. Komposisi media PHM (Borowitzka 1988) dan media MBM tersaji pada Tabel 9. Pertumbuhan sel untuk mendapatkan jumlah biomassa diukur berdasarkan OD (optical density) setiap 24 jam dengan menggunakan spektrofotometer PharmaSpec UV-1700 SHIMADZU pada panjang gelombang 660 nm (Lee et al. 1998). Kultivasi dilakukan dengan memindahkan 20% kultur segar ganggang mikro ke dalam 50 ml media BG 11, PHM dan MBM. Kultivasi dilakukan pada tiga media (BG 11, PHM dan MBM) pada suhu ruang di bawah penyinaran lampu pada selang 500-2000 lux dengan pemberian aerasi. Produktivitas biomassa diukur berdasarkan nilai OD, selama periode pertumbuhan hingga 27 hari, yang menghasilkan nilai OD 0.5, pada panjang gelombang 620 nm.
Tabel 9. Komposisi media PHM dan MBM Media PHM KNO3 K2HPO4 MgSO4.7H2O FeCl2.6H2O Citric Acid C6H8FeNO7 EDTA Na2CO3 p.a Trace Metal Komposisi trace metal H3BO3 MnCl2.4H2O ZnSO4.7H2O Na2MoO4.2H2O CuSO4.5H2O CoCl2.6H2O
Komposisi (mg/L) 1000 200 200 0,025 0,019 1 ml 0,016 0,038 0,002 0.006 0.006
Media MBM (NH4)2SO4 K2HPO4 MgSO4 7H2O CaCl2 NaCl C6H8FeNO7 EDTA TSP Trace Metal Komposisi Trace Metal H3BO3 MnCl2.4H2O ZnSO4.7H2O Na2MoO4.2H2O CuSO4.5H2O Co(NO3)2.6H2O
Komposisi (mg/L) 2500 75 75 1000 100 6 1 245 1 ml 2860 1810 222 79 390 49
3.3.3. Identifikasi Ganggang Mikro Penelitian tahap 2, identifikasi dilakukan untuk mengetahui galur ganggang mikro terpilih yang digunakan selama proses penelitian (Gambar 8). Identifikasi ganggang mikro yang utama didasarkan pada karakteristik morfologi umum menggunakan mikroskop perbesaran 400 x serta sifat-sifat selular seperti: sifat pigmen fotosintetik; struktur sel dan flagela yang dibentuk oleh sel-sel yang
42
Confidentia
bergerak. Proses identifikasi dilakukan dengan mengacu pada Bold dan Wynne (1985) dalam buku “ Introduction to The Ganggange Structure and Reproduction” dan Toshiniko Mizuno (1970) dalam buku “Halustrations of The Fresh water Plankton of Japan”.
Identifikasi ganggang mikro
Pengukuran pertumbuhan sel (OD)
Kultivasi ganggang mikro terpilih
Penentuan kurva pertumbuhan
Gambar 8. Penelitian tahap 2 penentuan kurva pertumbuhan dan umur panen 3.3.4. Produktivitas dan pemanenan Media yang menghasilkan laju tumbuh dan kandungan biomassa paling cepat yang dipilih untuk dikembangkan di kolam kanal. Pemanenan biomassa ganggang mikro dilakukan secara gravitasi dimulai dengan nilai OD ≥ 0,5 secara terus-menerus sampai OD < 0,5 (konsentrasi nutrien pada media pertumbuhan menurun dan hasil panen semakin menurun). Selanjutnya biomassa basah di keringkan, biomassa kering kemudian ditimbang. Prosedur pemanenan penelitian tahap 3 disajikan pada Gambar 9.
Ganggang mikro terpilih
Kultivasi pada media terpilih
Pemanenan
Filtrasi
Biomassa basah
Dikeringkan
43
Confidentia
Biomassa kering
Gambar 9. Penelitian tahap 3 prosedur pemanenan dan pengeringan
Untuk produktivitas biomassa ganggang mikro terseleksi, dikembangkan di kolam kanal dengan media MBM kombinasi. Modifikasi pupuk dilakukan karena TSP merupakan sumber fosfat yang murah dan mudah didapatkan. Kultivasi ganggang mikro pada media MBM kombinasi di kolam kanal dengan volume 150 L untuk produksi biomassa yang lebih banyak setelah terpilih media terbaik pada skala labroratoium. Produksi biomassa ganggang mikro terpilih pada media terpilh di kolam kanal tersaji pada Gambar 10. Pada tahap produksi dan pemanenan biomassa ganggang mikro di skala lapang, dilakukan secara terus menerus pada interval 3 - 5 hari. Laju pertumbuhan ganggang mikro direpresentasikan oleh nilai kerapatan optik (OD) minimum yang mencapai 0.5. Penentuan penambahan volume untuk setiap isolat berdasarkan persamaan linier dari kurva laju pertumbuhan ganggang mikro (Kabinawa dan Miyamoto 1988). Pemanenan ganggang mikro dengan metode filtrasi (Uduman et al. 2010) menggunakan metode pemanenan TFT (tangensial flow filtrasi) dengan pori-pori membran berkisar 0.45 μm. Pengeringan biomassa basah ganggang mikro secara alami.
Ganggang mikro terpilih
Kultivasi ganggang mikro terpilih pada media terpilih di kolam kanal
Pemanenan pada fase pertumbuhan dan metode pemanenan terbaik
Biomassa basah
44
Confidentia
Pengeringan Analisis Kadar Air Analisis Karbohidrat Analisis Kadar Abu Analisis Kadar protein Analisis kadar lemak
Biomassa basah
Gambar 10. Penelitian tahap 4 produksi biomassa ganggang mikro Setelah diperoleh biomassa ganggang mikro dalam kolam kanal, maka biomassa dikeringkan untuk dilakukan analisis proksimat. Analisis proksimat dilakukan sesuai dengan prosedur standar dalam AOAC (2005) meliputi kadar air dengan oven (gravimetri), abu dengan tanur (gravimetri), N-Total dan protein ditentukan dengan metoda Kjedahl (titrimetri), karbohidrat dengan metoda Phenol Sulfat (spektrofotometri), lemak dengan metoda Soxhlet.dan total gula dengan metode Luff Schrool (titrimetri). Hasil analisis karbohidrat biomassa ganggang terpilih dilanjutkan ke penelitian tahap 5, yaitu proses pembuatan etanol pada Gambar 11. Analisis karbohidrat biomassa ganggang mikro terpilih
Hidrolisis enzim
Glukosa (monomer)
Fermentasi
Etanol
Gambar 11. Penelitian tahap 5 proses pembuatan etanol dari karbohidrat biomassa ganggang mikro terpilih
45
Confidentia
3.3.5. Hidrolisis enzim ganggang mikro terpilih (Choi et al (2011)) Tahap hidrolisis enzim dilakukan dengan mnggunakan biomassa ganggang mikro yang telah dikeringkan. Pada tahap hidrolisis terdiri dari 2 tahap, yaitu: (1) Likuifikasi : pada proses ini dilakukan dengan menambahkan enzim α amilase (termamyl) pada pH 6 dan suhu 95 oC ke dalam 5g bubuk ganggang mikro yang berukuran 35 mesh, sesuai dengan perlakuan yang digunakan) dan (2) Sakarafikasi : pada proses ini dilakukan dengan menambahkan enzim amiloglukosidase (AMG) Selanjutnya diatur pH dan Suhu sesuai perlakuan (pH 4,5 dan suhu 60 oC), kemudian dimasukkan ke dalam waterbath shaker selama 48 jam dengan suhu 60 oC pada 120 rpm.
3.3.6. Fermentasi Dalam proses ini yeast kultur yang digunakan adalah S. cerevisiae. Gula pereduksi yang dihasilkan di pre-treatment asam dan enzim. Berdasarkan hasil terbaik pada penelitian tahap ke lima. Selanjutnya dilakukan fermentasi setelah itu dilakukan pengukuran kadar etanol menggunakan gas chromatography (GC).
3.3.6.1. Kultur S. Cerevisiae Isolat S. cerevisiae diremajakan pada media PDA dan diinkubasi selama dua hari. Setelah itu isolat ditumbuhkan lagi pada 50 ml media YMGP yang terdiri dari ekstrak yeast
5 g/l, malt 5 g/l, glukosa 10 g/l dan pepton 5 g/l di
dalam erlenmeyer 200 ml. Inkubasi dilakukan pada shaker berkecepatan 125 rpm dengan suhu 30 °C selama 24 jam.
3.3.7.
Prosedur Pengujian
3.3.7.1. Analisis biokimia ganggang mikro Analisis biokimia ganggang mikro terdiri dari : Analisis kadar lemak (AOAC 2007) Sampel sebanyak 0,5 gram ditimbang dan dibungkus dengan kertas saring dan diletakkan pada alat ekstraksi soxhlet yang dipasang di atas kondensor serta labu lemak di bawahnya. Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya sesuai dengan ukuran soxhlet yang digunakan dan dilakukan refluks
46
Confidentia
selama minimal 16 jam sampai pelarut turun kembali ke dalam labu lemak. Pelarut di dalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama lima jam. Labu lemak kemudian didinginkan dalam desikator selama 20-30 menit dan ditimbang. Kadar lemak dapat dihitung berdasarkan rumus: % Lemak = Berat lemak (g) Berat sampel (g)
X 100
Berat lemak = (berat labu + lemak)-berat labu
Analisis N-Total dan Protein Penetapan N-total pada ganggang mikro dilakukan dengan menggunakan metode Kjeldahl (Apriantono et al. 1989). Serbuk ganggang mikro kering 0,5 gram dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 25 ml, lalu ditambahkan 1,9 gram campuran Se, CuSO4 dan Na2SO4. Larutan 5 ml H2SO4 pekat ditambahkan ke dalam labu, digoyangkan perlahan-lahan, kemudian lima tetes paraffin cair ditambahkan dan dipanasi, sambil digoyang perlahan-lahan, kemudian perlahanlahan api diperbesar hingga diperoleh cairan berwarna terang (hijau biru), panasi 15 menit lalu didinginkan. Kemudian aquades ditambahkan kira-kira sebanyak 50 ml, lalu isi labu dipindahkan ke dalam labu destilasi dan ditambahkan 5 ml NaOH 50%. Destilat dititrasi dengan HCl 0,0999 N hingga terjadi perubahan warna dari hijau ke merah muda. Penetapan blanko juga dilakukan dengan cara yang sama seperti di atas namun tanpa sampel. Kadar protein dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut : % Nitrogen = VHCL x NHCL x BMN x 14.007 x fp X 100 % Bobot sampel (g) %% % Protein = % N x Faktor konversi Faktor konversi = 6,25
Analisis kadar air (AOAC 2007)
47
Confidentia
Cawan kosong yang akan digunakan dikeringkan terlebih dahulu pada suhu 105-110oC selama 15 menit atau sampai berat konstan, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Sampel kira-kira sebanyak 2 gram ditimbang dan diletakkan dalam cawan kemudian dipanaskan dalam oven selama 3-4 jam pada suhu 105-110 oC. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator dan setelah dingin ditimbang kembali. Persentase kadar air (berat basah) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
B2 – B1 X 100 %
% Kadar air = B
Keterangan: B = Berat sampel (gram) B1 = Berat (sampel + cawan) sebelum dikeringkan B2 = Berat (sampel + cawan) setelah dikeringkan
Analisis kadar abu (AOAC 2007) Preparasi sampel biomassa ganggang mikro untuk zat mineral adalah dengan menghilangkan seluruh bahan asing dari sampel, terutama tanah yang melekat atau pasir, namun untuk mencegah terjadinya pelepasan, maka tidak mencuci sampel secara berlebihan. Sampel segera dikeringkan untuk mencegah dekomposisi atau kehilangan berat. Sampel sebanyak dua gram ditempatkan dalam wadah porselin kemudian dimasukkan dalam oven dengan suhu 60-105 oC selama delapan jam. Kemudian sampel yang sudah kering dibakar menggunakan hotplate sampai tidak berasap selama ± 20 menit. Kemudian diabukan dalam tanur bersuhu 600 oC selama tiga jam lalu ditimbang. Kadar abu dapat dihitung dengan rumus berikut:
Kadar Abu (%) = (bobot cawan + bobot sampel sebelum dioven) - (bobot cawan + bobot sampel setelah dioven) (gram) / bobot sampel awal (gram) x 100% 48
Confidentia
Analisis kadar karbohidrat Analisis karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu hasil pengurangan dari
100 % dengan kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar
lemak, sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangannya. Hal ini karena karbohidrat sangat berpengaruh terhadap zat gizi lainnya. Analisis karbohidrat dapat dihitung dengan menggunakan rumus: % Kadar karbohidrat = 100% - (kadar air + kadar abu + kadar lemak + kadar protein) Total gula metode Phenol H2SO4 (Dubois et al. 1956) atau HPLC Sebelum melakukan pengujian sampel maka perlu diketahui kurva standar fenol yang digunakan. Pembuatan kurva standar fenol adalah sebagai berikut : 2 ml larutan glukosa standar yang mengandung 0, 10, 20, 30, 40 dan 60 μg glukosa masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 1 ml larutan fenol 5 % dan dikocok. Selanjutnya 5 ml asam sulfat pekat ditambahkan dengan cepat. Biarkan selama 10 menit, kocok lalu tempatkan dalam penanggas air selama 15 menit. Absorbansinya diukur pada 490 nm. Pengujian sampel sama dengan pembuatan kurva standar fenol, hanya 2 ml larutan glukosa diganti dengan 2 ml sampel.
Total gula pereduksi metode DNS (Miller, 1959) Prinsip metode ini adalah dalam suasana alkali gula pereduksi akan mereduksi asam 3,5–dinitrolisilat (DNS) membentuk senyawa yang dapat diukur absorbansinya pada panjang gelombang 550 nm.
Penyiapan Pereaksi DNS Pereaksi DNS dibuat dengan melarutkan 10,6 g asam 3,5 dinitrolisilat dan 19,8 NaOH ke dalam 1416 ml air. Setelah itu ditambahkan 306 g Na-K Tatrat, 7,6 g fenol yang dicairkan pada suhu 50 oC dan 8,3 g NaMetabisulfit. Larutan ini diaduk rata, kemudian 3 ml larutan ini dititrasi dengan HCl 0,1 N dengan indikator fenolftalein. Banyaknya titran berkisar
49
Confidentia
5 – 6 ml. Jika kurang dari itu harus ditambahkan 2 g NaOH untuk setiap ml kekurangan HCl 0,1 N.
Penentuan Kurva Standar Kurva standar dibuat dengan mengukur mengetahui nilai gula pereduksi pada glukosa pada selang 0,2 – 0,5 mg/l. Kemudian nilai gula pereduksi dicari dengan metode DNS. Hasil yang didapatkan diplotkan dalam grafik secaara linear.
Penetapan Total Gula Pereduksi Pengujian gula pereduksi menggunakan kurva standar DNS adalah sebagai berikut : 1 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 3 ml pereaksi DNS. Larutan tersebut ditempatkan dalam air mendidih selama 5 menit. Biarkan sampai dingin pada suhu ruang. Ukur absorbansi pada panjang gelombang 550 nm.
Kadar Etanol % (v/v) Setelah
proses
farmentasi
dilanjutkan
dengan
proses
pengujian
menggunakan kromatografi gas (GC). Kromatografi gas merupakan metode yang tepat dan cepat untuk memisahkan senyawa organik yang mudah menguap. Kelebihan kromatografi gas, diantaranya dapat menggunakan kolom lebih panjang untuk menghasilkan efisiensi pemisahan yang tinggi. Gas dan uap mempunyai viskositas yang rendah, demikian juga kesetimbangan partisi antara gas dan cairan berlangsung cepat, sehingga analisis relatif cepat dan sensitifitasnya tinggi. lembam seperti helium, nitrogen, argon bahkan hidrogen digerakkan dengan tekanan melalui pipa yang berisi fase diam. Perhitungan Rendemen etanol % (w/w) Rendemen etanol =
3.3.7.2. Isolasi DNA
50
Confidentia
Isolasi DNA dilakukan dengan menggunakan metode CTAB (Cetil Trimetil Amonium Bromida) menurut Doyle dan Doyle (1990) yang dimodifikasi oleh Manoj et al. (2007). Sebanyak 0,1g biomassa ganggang mikro ditambahkan nitrogen cair kemudian digerus dalam mortar sampai menjadi serbuk lalu dimasukkan kedalam tabung ependorf yang berisi 600 µl campuran buffer ekstrak [2 % (b/v) CTAB, 0,02M EDTA, 1M Tris HCl pH 8, 1,4 M NaC dan 2 % PolyVinil Pyrllidon]. Ekstrak diinkubasi pada suhu 65 oC selama 30 menit. Pemurnian dilakukan di dalam campuran larutan kloroform dan isoamil alkohol (CIAA) dengan perbandingan 24 : 1 sebanyak satu kali volume ekstrak. Suspensi dibolak-baliksecara perlahan. Suspensi disentrifiugasi pada kecepatan 10.000 rpm pada suhu 4oC selama 20 menit. Supernatan yang diperoleh ditambahkan dengan satu kali volume campuran larutan PCI (Phenol : Khloroform : Isoamil alkohol) dengan perbandingan 25 : 24 : 1 lalu dibolak-balik. Campuran disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm pada suhu 4 oC selama 20 menit. Supernatan diendapkan dengan sodium asetat 2 M pH 5,2 sebanyak 0,1 kali volume dan etanol absolut sebanyak dua kali volume kemudian disentrifugasi 10.000 rpm pada suhu kemudian dikeringkan dengan vakum, lalu disuspensikan dengan 50 µl aquabidest. Selanjutnya ditambahkan 0,1 kali RNAse (10mg/ml),diinkubasi semalam pada suhu 37oC dan dipanaskan pada suhu 70oC selama 30 detik. Kuantitas DNA total
dianalisis dengan
menggunakan spektrofotometer,
absorbansi diukur pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm. Keutuhan DNA total dianalisis secara kualitatif menggunakan metode elektroforesis, dengan memigrasikan DNA pada gel agarosa 1% (b/v) di dalmbuffer TAE IX.
51
Confidentia IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Eksplorasi dan Seleksi Ganggang Mikro Persyaratan ganggang mikro yang berpotensi sebagai etanol selain kandungan karbohidrat yang tinggi adalah karakteristik pertumbuhannya yang menentukan jumlah dan lamanya pemanenan.
Karakteristik pertumbuhan
ganggang mikro yang diamati pertumbuhan relatif dan waktu mencapai puncak populasi. 15 isolat anggang mikro air tawar (Tabel 7) koleksi Indonesian Center for Biotechnology and Biodiversity Culture Collection of Microorganisms (ICBBCC) dari beberapa perairan tawar yang digunakan dalam penelitian ini. Tabel 10. Sumber Isolat ganggang mikro koleksi ICBB-CC Kode Isolat 155
Sumber Isolat Pekunden Kuto Winangun, Kebumen
52
Confidentia
160 183 195 205 227 238 248 9111 9112 PLB 6354 9114 293 346 Sumber : ICBB-CC
Batas Purworejo - Jogyakarta Pakis, Delanggu - Klaten Sitokaton, Siwali, Gondangrejo - Karanganyar Ngadul, Sumbu Lawang – Sragen Mayahan,Tawangharjo Bledug Kuwu - Grobogan Bledug Kuwu - Grobogan Gunung Salak- Bogor Singa Jaya – Indramayu Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo Telaga Warna – Puncak Banyudono, Kaliori – Rembang Pargan, Kedung Haur - Indramayu
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan selama 21 hari pada proses kultur puncak pertumbuhan (fase eksponensial) rata-rata pada hari ke 14 dengan media BG 11 diperoleh perkembangan pertumbuhan 15 isolat ganggang mikro, seperti terlihat pada Gambar 12.
53
Confidentia Gambar 12. Pertumbuhan 15 isolat lokal ganggan mikro
Pada kurva pertumbuhan fase lag tiga isolat : ICBB 238, ICBB 248 dan ICBB 273 terjadi stress fisiologi terlihat dari penurunan kerapatan densitynya (OD) yang cukup drastis sampai hari ke lima dibandingkan dengan tiga belas isolat yang lain. Pada fase lag ini stress fisiologi terjadi karena perubahan kondisi lingkungan media hidup dari satu media ke media yang baru. Hal ini juga dipengaruhi oleh kelarutan dari nutrient dan mineral yang lebih banyak pada media sebelumnya, sehingga mempengaruhi sintetis metabolik dari konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi. Fase deklinasi pada hari ke 21, walaupun kelimpahan sel masih bertambah namun nilai nutrisi dalam sel mengalami penurunan dan terjadi kenaikan pH media. Dilihat dari laju pertumbuhan ganggang mikro lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan tanaman tingkat tinggi yang diproleh dengan budidaya pertanian. Oleh karena itu produksi puncak memenuhi kebutuhan populasi akan
54
Confidentia
lebih cepat tercapai oleh ganggang mikro dan tingkat produksi tersebut dapat dipertahankan lebih lama. Berdasarkan laju pertumbuhan relatif tinggi kerapatan optiknya dan waktu mencapai puncak yang cepat, dipilih empat isolat dengan kode isolat ganggang mikro ICBB 9111, ICBB 9112, ICBB 9114 dan PLB 6354. Menurut Sutomo (2005), pada awal pertumbuhan nilai laju pertumbuhan relatif yang tinggi menunjukkan ganggang mikro cepat memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan kultur yang baru dan menunjukkan bahwa ganggang mikro tersebut mengalami daya adaptasi yang cukup singkat dan langsung tumbuh dengan cepat. 4.2. Pertumbuhan Isolat Hasil Pengamatan sampling empat kultur sel di akuarium 5 L dengan tiga media (BG11, MBM dan PHM) pada umumnya berbentuk kurva “S” yang ditandai oleh adanya fase adaptasi, fase tumbuh eksponensial, dan fase stasioner. Pertumbuhan isolat ICBB 9111, ICBB 9112, ICBB 9114 dan PLB 6354 pada tiga media tersaji pada Gambar 13 (a,b,c dan d). Pada Gambar 13 memperlihatkan fase adaptasi tiga isolat relatif lama pada kultur dengan media BG 11 dibanding media MBM dan PHM, namun pertumbuhan kultur pada hari ke 21 pada media BG 11 masih menunjukan pertumbuhan meskipun nutrisi yang ada pada media pertumbuhan ganggang mikro semakin berkurang terutama nitrogen dan fosfat. Capaian kepadatan optik (OD620nm) optimum (Gambar 13a – d) pada hari ke 17 dengan 3 media (BG 11,MBM dan PHM) untuk isolat 9111 masing-masing sebesar : 0,678; 1,055; 0,816 , isolat 9112 sebesar : 0,448; 1,207; 1,093, isolat 9114 sebesar : 0,957; 1,038; 1,968 dan isolat PLB 6354 sebesar : 0,773; 1,027; 1,326. Perbedaan laju pertumbuhan dalam kultur ganggang mikro dipengaruhi oleh perbedaan daya adaptasi terhadap lingkungannnya, meskipun sudah dilakukan pengambilan inokulum pada kondisi fase logaritmik. Hal ini terlihat pada kurva laju pertumbuhan isolat 9111 (Gambar 13a) dengan media BG11 fase lag lebih lama sampai hari ke 5 dibandingkan dengan media MBM dan PHM. Fase logaritmik (eksponensial) mulai hari ke 6 – 12, fase penurunan laju tumbuh
55
Confidentia
hari 13 – 17, fase stasioner hari 18 – 21 dan fase kematian mulai hari 22. Daya adaptasi isolat 9112 pada media BG 11 hampir sama dengan isolat 9111.
Gambar 13. Pertumbuhan isolat ICBB 9111 (a), ICBB 9112 (b), ICBB 9114 (c) dan PLB 6354 (d) dengan 3 media BG11, MBM dan PHM
Laju pertumbuhan isolat ICBB 9114 dan isolat PLB 6354 (Gambar 13c dan 13d) dengan
3 media daya adaptasi terhadap lingkungan sangat cepat,
perkembangan sel dalam kultur ganggang mikro yang terdiri 5 fase serempak. Isolat 9114 dan PLB 6354 pada media PHM mempunyai nilai OD tinggi (Gambar 13c dan 13d), namun fase penurunan laju tumbuh dan fase stasioner media MBM masih lebih panjang. Fase logaritmik yang cepat sehingga populasi bertambah
56
Confidentia
pada ke dua isolat secara signifikan, ini diduga karena dapat memanfaatkan nutrien optimum. Kandungan KH2PO4 di media MBM tidak terdapat pada 2 media (BG 11 dan PHM) sangat mempengaruhi pertumbuhan ganggang mikro. Unsur hara makro untuk pertumbuhan ganggang mikro pada media MBM sangat terpenuhi terutama unsur K dan P. Kebutuhan akan besarnya kandungan dan jenis nutrien ganggang mikro sangat tergantung pada klas atau jenis ganggang mikro itu sendiri disamping jenis perairan dimana ganggang mikro tersebut hidup. Menurut Pomeroy (1999), laju pertumbuhan ganggang mikro tergantung pada ketersediaan nutrien yang ada dan akan sebanding dengan meningkatnya konsentrasi nutrien hingga mencapai suatu konsentrasi yang saturasi. Setelah keadaan ini, pertumbuhan ganggang mikro tidak tergantung lagi pada konsentrasi nutrien. Fosfor merupakan unsur esensial bagi pertumbuhan ganggang mikro, sehingga menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan ganggang mikro akuati Fosfor yang telah diserap oleh sel akan menjadi bagian dari komponen struktural sel dan berperan pula dalam proses-proses pengalihan energi di dalam sel. fosfor ditemukan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut (ortofosfat dan polifosfat) dan senyawa organik yang berupa partikulat di perairan. Ortofosfat merupakan produk ionisasi dari asam ortofosfat yang paling sederhana dan dapat dimanfaatkan secara langsung oleh ganggang mikro (Boyd, 1992). Kandungan nutrien P yang berlebih maupun kurang dapat berdampak negatif pada pertumbuhan sel. Konsentrasi P berlebih maka akan menghambat proses asimilasi senyawa P bagi pertumbuhan, bila konsentrasi P rendah akan mengganggu proses pembentukan ATP sehingga pertumbuhan sel terbatas. Ganggang mikro tidak dapat memanfaatkan fosfor yang berikatan dengan ion besi dan kalsium pada kondisi aerob karena bersifat mengendap (Jeffries dan Mills 1996). Kalium
di dalam
ganggang mikro mendorong pembelahan sel dan
mendorong untuk pembentukan karbohidrat, memelihara kandungan air, mendorong pembelahan sel, mendorong proses fotosintesis, pembentukan dan transportasi gula. Kecepatan pertumbuhan ganggang mikro denga tiga media 57
Confidentia
dilakukan di akuarium 5L yang diberi aerasi dan cahaya buatan lampu TL 40 Watt secara terus menerus tersaji pada Gambar 14.
Gambar 14. Kecepatan pertumbuhan biomassa selama tujuh hari isolat ganggang mikro (ICBB 9111, ICBB 9112, ICBB 9114 dan PLB 6354) dalam tiga media BG11, PHM dan MBM Gambar 14 memperlihatkan kecepatan pertumbuhan pada media BG 11 yang paling tinggi pada isolat ICBB 9111 adalah 0,152 g-biomassa/L/hari. Pada media PHM kecepatan pertumbuhan yang paling tinggi pada isolat 9112 adalah 0,161 g-massa/L/hari, sedangkan untuk media MBM yang paling tinggi pada isolat 9112 adalah 0,203 g-massa/L/hari. Tingginya kecepatan pertumbuhan ke empat isolat berkaitan erat dengan karakter spesifik tiap jenis ganggang mikro. 4.3. Identifikasi Isolat Hasil identifikasi ganggang mikro menggunakan kunci indentifikasi Toshiniko Mizuno “Halustrations of The Fresh Water Plankton of Japan”,1970. Berdasarkan karakterisasi morfologi sel dan sifat sel yang menempel berbentuk koloni, maka
empat isolat yang telah di identifikasi
termasuk kelas
chlorophyceae, tersaji pada Tabel 11. Identifikasi ganggang mikro yang utama didasarkan pada karakteristik morfologi serta sifat-sifat selular seperti : sifat pigmen fotosintetik dan struktur sel. Karakteristik morfologi spesies ganggang mikro terdapat sebagai sel tunggal yang dapat berbentuk bola, batang, gada atau kumparan. Ganggang mikro memiliki ukuran sangat beragam. Ganggang mikro ada yang memiliki flagela ada
58
Confidentia
yang tidak. Beberapa koloni merupakan agregasi (kumpulan) sel-sel tunggal identik yang saling melekat setelah pembelahan. Tabel11. Karakterisasi morfologi ganggang mikro ICBB 9111, ICBB 9112, ICBB 9114 dan PLB 6354 dibawah mikroskop dengan perbesaran 400x No
Strain
Kelas - spesies
Sifat pigmen
Struktur sel
1
ICBB
Chlorophyceae - Crucigenia quadrata
klorofil a,b, c, d dan pyrenoid
Bulat dengan ukuran panjang 3-7 µm dan lebar 3-6 µm
Chlorophyceae - Scenedesmus bijuga
klorofil a,b, karoten (α,β,γ) dan beberapa xantofil
Silinder yang meruncing dengan ukuran panjang 12-25 µm dan lebar 3-9 µm
Chlorophyceae - Chlorella vulgaris
Hijau
Bulat lonjong (ellipsoidal) dengan garis tengah sel antara 2-8 µm
Chlorophyceae – Chlorella vulgaris
Hijau
Bulat
9111
2
ICBB 9112
3
ICBB 9114
4
PLB 6354
Morfologi
Ganggang mikro sebagaimana protista eukariotik yang lain, mengandung nukleus yang membatasi membran yang mengandung pati, tetesan minyak dan vakuola. Setiap sel mengandung satu atau lebih kloroplas, yang dapat berbentuk pita, di dalam matriks kloroplas terdapat gelembung – gelembung pipih yang
59
Confidentia
bermembran dinamakan tilakoid. Membran tilakoid berisikan klorofil dan pigmen-pigmen pelengkap yang merupakan situs reaksi cahaya fotosintesis. 4.4.
Analisis Proksimat Hasil analisis proksimat yang diperoleh pada penelitian ini dengan media kultur
MBM, Crucigenia quadrata ICBB9 111 memiliki kandungan karbohidrat dan protein tertinggi sebesar 42,27 % dan 31,54 % jika dibandingkan dengan Scenedesmus bijuga ICBB 9112, Chlorella vulgaris ICBB 9114 dan Chlorella vulgaris PLB 6354). Hasil
indentifikasi isolat ganggang mikro dan analisis proksimat (% berat kering) tersaji pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil indentifikasi isolat ganggang mikro dan analisis proksimat (% berat kering) Nama Isolat Kode Isolat
Karbohi drat
Lemak
Protein
Kadar Abu
Kadar Air
Media
Referensi
Crucigenia quadrata
ICBB 9111
42,27
0,20
31,54
17,57
9,20
MBM
Penelitian ini
Scenedesmus bijuga
ICBB 9112
21,30
0,16
23,73
43,23
11,26
MBM
Penelitian ini
Chlorella vulgaris
ICBB 9114
16,66
0,20
14,80
62,64
6,48
MBM
Penelitian ini
Chlorella vulgaris
PLB 6354
17,22
0,17
20,09
56,07
7,29
MBM
Penelitian ini
Chlorella vulgaris
-
20,70
2,54
23,20
-
-
Walne
Sukesi et al.(2009)
Walne
Guerrero (2010)
Chlorella vulgaris
10,3 – 44,0
Brown et al. (1997) menjelaskan bahwa pada saat kultur berada pada fase stasioner, komposisi ganggang mikro berubah secara signifikan karena terbatasnya kandungan nitrat pada media kultur yang mengakibatkan kandungan karbohidrat meningkat hingga dua kali lipat dari kandungan protein. Menurut Chu et al. (1982), kandungan karbohidrat total meningkat sesuai dengan umur dari kultur ganggang mikro. Namun demikian kandungan karbohidrat Chlorella vulgaris ICBB 9114 sebesar 16,66 % dan kandungan karbohidrat Chlorella 60
Confidentia
vulgaris PLB 6354 kandungan karbohidrat sebesar 17,22 % lebih kecil, jika dibandingkan dengan Chlorella vulgaris hasil penelitian Sukesi et al. (2009), yang mengandung karbohidrat kurang lebih 20,70 %. Perbedaan kandungan karbohidrat bisa disebabkan lingkungan (asal) ganggang mikro maupn media kulturnya. Faktor lingkungan peraiaran berasalnya ganggang mikro dapat mempengaruhi besarnya biomassa maupun struktur komunitas ganggang mikro, baik faktor yang bersifat memacu (unsur hara mineral) maupun yang menghambat (polutan). Perbedaan komposisi media MBM (Tabel 9) dan media Walne (Lampiran 14), yaitu pada media MBM tidak ada unsur Fe, Na2EDTA dan vitamin B12. Unsur Fe berperan untuk pembentukan klorofil, Na2EDTA sebagi pengkelat logam dan vitamin B12 digunakan untuk memacu pertumbuhan melalui ransangan fotosintetik. Hasil penelitian ini kandungan karbohidrat berat kering spesies Chlorella vulgaris PLB 6354 yang berasl dari Kecamatan Garung, Kab Wonosobo dan Telaga Warna, Puncak : 16,66 % dan 17,22 % masih diatas range bawah dari hasil penelitian Guerrero (2010), yaitu: 10,3 – 44 % dengan media Walne. Hal ini menunjukkan dominasi jenis ganggang mikro lingkungan peraiaran dapat memberikan ciri tersendiri selain media kultur.. Potensi kemungkinan untuk ditingkatkan kandungan karbohidrat ganggang mikro dari Kecamatan Garung, Kab Wonosobo dan Telaga Warna, Puncak spesies Chlorella vulgaris masih bisa. Komposisi media MBM memiliki komposisi nutrien yang berbeda, pH dan suhu serta tempat pengambilan isolat juga berpengaruh untuk cepat beradaptasi. 4.5.
Sampling Ganggang Mikro di Kolam Kanal Pertumbuhan empat kultur sel pada umumnya berbentuk kurva “S” yang
ditandai oleh adanya fase adaptasi, fase tumbuh eksponensial, dan fase stasioner. Kepadatan optik (OD) ganggang mikro terseleksi di kolam kanal dengan media MBM kombinasi dicapai ≥ 1 tidak sama. Ganggang mikro berinteraksi dengan faktor lingkungan (fisiologis) untuk melangsungkan kehidupannya seperti radiasi matahari, konsentrasi CO2, temperatur, dan sebagainya. Secara umum ganggang mikro tumbuh lebih cepat pada radiasi matahari dan temperatur yang tinggi (Yang et al. 2010).
61
Confidentia
Laju pertumbuhan Crucigenia quadrata
ICBB 9111, Scenedesmus bijuga
ICBB 9112, Chlorella vulgaris ICBB 9114 dan Chlorella vulgaris PLB 6354 di kolam kanal selalu dipantau untuk mengetahui tingkat adaptasi terhadap lingkungan habitatnya. Laju pertumbuhan di kolam kanal jauh lebih cepat dibandingkan pada saaat kultur di laboratorim, perbedaan ini disebabkan antara lain CO2 dan intensitas cahaya. CO2 sebagai sumber karbon utama bagi proses fotosintesis ganggang mikro cukup tersedia sehingga proses metabolisme dapat berlangsung cepat dan kerapatan sel meningkat. Ganggang mikro mampu memanfaatkan CO2 dari atmosfer (Sydney et al. 2010;) dan akan mengubah CO2 menjadi biomassa (Tang et al. 2010) Cahaya memiliki pengaruh yang besar terhadap komposisi kimia ganggang mikro pada saat fotosintesis. Umumnya penurunan intensitas cahaya akan meningkatkan klorofil a dan pigmen yang lain (klorofil b, klorofil c, fikobilliprotein, dan karotenoid) sedangkan intensitas cahaya yang tinggi akan menurunkan klorofil a dan pigmen yang lain (Richmond 2004). Kombinasi nutrien pada media MBM kombinasi adalah penambahan pupuk TSP. Chen et al. (2010) menambahkan energi matahari memiliki spektrum energi cahaya dengan jumlah besar dan penggunaan filter ultra violet akan membantu dalam penyerapan panjang gelombang yang sesuai, sehingga pertumbuhan sel ganggang mikro tinggi dan target produksi tercapai. Jumlah energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan biomassa ganggang mikro sebesar 468 kJ/mol (Walker 2009). Produksi biomassa kering ganggang mikro skala lapang disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Produktivitas biomassa dan kandungan karbohidrat isolat dalam kultivasi di kolam kanal dengan media MBM kombinasi Isolat
ICBB 9111 ICBB 9112 ICBB 9114 PLB 6354
Volume kolam kanal (L) 95 100 100 100
Lama kultivasi (hari) 28 45 54 54
Total biomassa kering (g) 80,3947 158,7069 101,3850 95,4182
Produktivitas (gbiomassa kering/L/hari) 0,038 0,035 0,019 0,018
Karbohidrat (% berat kering) 42,27 21,30 16,66 17,22
62
Confidentia
Media MBM kombinasi pada kolam kanal
mampu mengahasilkan
kerapatan optik (OD) = 2, yaitu Chlorella vulgaris PLB 6354 dan yang mampu menghasilkan panen paling banyak Crucigenia quadrata ICBB 9112 sampai 45 hari, dengan total hasil panen : 138,6489 g. Suhu ganggang mikro pada kolam kanal berkisar 30 – 35 oC dan volume
tetap dijaga sedemikian rupa seperti awal
kultivasi (dengan cara menambah air untuk memanfaatkan nutrien yang ada). Sampling ganggang mikro Crucigenia quadrata ICBB 9111 di kolam kanal dengan volume 95L dan dilakukan pemanenan pertama setelah
lima hari
menghasilkan biomassa kering 8,7186 g dengan OD = 0,62 Pemanfaatan media yang digunakan di kolam kanal selama 28 hari dengan total biomassa kering yang dihasilkan sebanyak 80,3947 g. Penanaman ganggang mikro Scenedesmus bijuga ICBB 9112 di kolam kanal dengan volume 100 L dan dilakukan pemanenan pertama setelah lima hari pananaman menghasilkan biomassa kering biomasaa kering 3,3145 g dalam 10 L dengan OD= 0,672 dan panen yang dihasilkan setelah
dua belas hari penanaman
OD yang dicapai 1,433 dalam 100 L
menghasilkan biomassa kering sebanyak 30,1546 g. Pemanfaatan media yang digunakan di kolam kanal selam 50 hari dengan total biomassa kering yang dihasilkan sebanyak 139,6489g. Ganggang mikro Chlorella vulgaris ICBB 9114 setelah sembilan hari penanaman OD yang dicapai 1,412 dan Ganggang mikro Chlorella vulgaris Scenedesmus bijug PLB 6354 setelah empat belas hari penanaman OD yang dicapai 1,211. Lamanya hasil pemanenan biomassa kering tidak sama. Ganggang mikro Crucigenia quadrata 9111 pemanenan selama 28 hari dan biomassa kering yang dihasilkan
80,48 g. Ganggang mikro Scenedesmus
bijuga 9112 pemanenan selama 47 hari dan biomassa kering yang dihasilkan
139,70 g . Ganggang mikro Chlorella vulgaris 9114 pemanenan selama 54 hari dan biomassa kering yang dihasilkan 101,46 g . Ganggang mikro Chlorella vulgaris PLB 6354 pemanenan selama 54 hari dan biomassa kering yang dihasilkan 101,46 g . Pada Tabel 13 produksi biomassa tertinggi Scenedesmus bijuga ICBB 9112, hal ini dikarenakan kemampuan ganggang mikro dalam memanfaatkan hara pada kultur biakannya (Becker, 1984) dan energi untuk menjalankan fotosintesis (Kersey dan Munger 2009). Tingginya produksi biomassa ganggang mikro 63
Confidentia
merupakan kemampuan ganggang mikro untuk memproduksi komposisi kimia selnya berupa karbohidrat, protein dan lipid dapat diketahui. Keberhasilan teknik kultur bergantung pada kesesuaian antara jenis ganggang mikro yang dibudidayakan dan beberapa faktor lingkungan seperti cahaya, suhu maupun pH (Kersey dan Munger 2009). Pola pemanenan ganggang mikro pada penelitian ini dilakukan secara gravitasi dengan memakai kain saring ukuran 200 mesh. Hasil pemanenan pada pada saat OD ≥ 1 lebih maksimal dibanding dengan OD ≤ 0,5. Ganggang mikro Chlorella vulgaris PLB 6354 pada saat pananaman di kolam kanal (hari 0) OD = 0,020 hari ke 8 di kolam kanal OD yang dicapai 0,660 dalam 5 liter menghasilkan 1,7282 g bobot kering (lama pengeringan secara alami selama 2 hari. Hasil panen pada OD = 2 (pada hari ke 14) hasil panen dalam 50L menghasilkan 32,6206 g. Karbohidrat tertinggi Crucigenia Quadrata ICBB 9111, karena terjadinya proses akumulasi karbohidrat terutama pada dinding sel sebagai respon terhadap kondisi lingkungan serta indikasi tingginya proses fotosintesis di kolam kanal. Karbohidrat yang terkandung dalam biomassa ganggang mikro dapat diproses menjadi etanol. Pada ganggang mikro air tawar ini kandungan glukosa juga meningkat sebagai reaksi terhadap kenaikan tekanan osmotik medium. Dengan demikian dapat disimpulkan Crucigenia quadrata ICBB 9111 memberikan respons yang cepat untuk menyerap unsur hara yang ada pada media, dimana TSP yang mengandung unsur phosphat dan sulfur yang tinggi memacu pembentukan protein yang lebih tinggi dibanding Scenedesmus bijuga ICBB 9112, Chlorella vulgaris ICBB 9114 dan Chlorella vulgaris PLB 6354, hal ini dikarenakan kemampuan ganggang mikro dalam memanfaatkan hara pada kultur biakannya (Becker, 1984) dan energi untuk menjalankan fotosintesis (Kersey dan Munger, 2009). Kekurangan unsur P akan menurunkan protein, klorofil –a, RNA dan DNA serta meningkatkan kadar karbohidrat (Richmond 1990). Hasil analisa proksimat karbohidrat Crucigenia quadrata ICBB 9111 yang tinggi (42,27 %) dikarenakan terjadinya proses akumulasi karbohidrat terutama pada dinding sel sebagai respon terhadap kondisi lingkungan (Richmond 1988) serta indikasi tingginya proses fotosintesis pada skala lapang.
64
Confidentia
4.6.
Proses Hidrolisis Proses hidrolisis dilakukan dengan tujuan untuk menyediakan glukosa
yang akan dipergunakan sebagai substrat S. cerevisiae dalam proses fermentasi. hidrolisis adalah memutuskan rantai polimer bahan menjadi unit-unit monomer yang lebih sederhana. Pemutusan rantai polimer pada penelitian ini secara enzimatis. Keuntungan hidrolisis enzimatis akan memutus rantai polimer secara spesifik pada percabangan tertentu. Menghasilkan produk yang lebih spesifik sesuai dengan yang diinginkan, kondisi proses dapat dikontrol dan lebih sedikit menghasilkan produk samping. Proses hidrolisis secara enzimatik meliputi proses likuifikasi dan sakarifikasi. Enzim α amilase (termamyl) yang digunakan pada likuifikasi dari PT. Puncak Gunung Mas (PGM) yang dapat bekerja sampai suhu 110 oC serta mempunyai kisaran pH 6 – 6,4. Karakteristik enzim α amilase (Termamyl) pada proses likuifikasi pada penelitian ini menggunakan suhu 95oC (Akyuni 2004) Ukuran biomassa ganggang mikro pada penelitian ini 35 mesh karena menurut Zhongli et al.(2007), partikel dengan ukuran 10-20 mesh terlalu besar untuk dijadikan suatu slurry karena akan mengakibatkan kontak yang lemah antara partikel dengan air dan pori diantara partikel-partikel mudah dilihat sehingga akan susah dihidrolisis oleh enzim. Partikel dengan ukuran 20-40 mesh memiliki penyerapan air dan thickness swelling yang konsisten menghasilkan sifat mekanis dan fisik terhadap perlakuan pemanasan. Nilai pH proses likuifikasi pada penelitian ini sesuai keaktifan dan kestabilan enzim α amilase (termamyl) produksi PT. PGM yaitu 6. Termamyl lebih stabil pada pH 6,5 daripada pH 6, namun pH yang tinggi akan menghasilkan produk sampingan berupa maltosa (Olsen 1995). Dalam rangka mendapatkan nilai pH 6 pada proses likuifikasi ini, ditambahkan H2SO4 karena nilai pH slurry biomassa ganggang mikro 7,5. Slurry 5% (b/v) yang dikenai panas dengan pH 6 ditambahkan enzim α amilase (termamyl) 600 U merupakan titik batas kejenuhan enzim dengan substratnya (Choi et al. 2012). Uji aktivitas enzim α amilase PT. PGM digunakan baik pada likuifikasi 6,74 x 102 U/ml (Akyuni 2004) pada pH 6 dan suhu 95 oC 65
Confidentia
(Sitanggang 2011). Apabila suhu telah mencapai 95 oC dan pH 6 dilakukan pemanasan
selama 30 menit, untuk mengubah slurry menjadi gel dan
mempermudah kerja enzim α amilase dalam memecah ikatan α-1,4 glikosida dan menurunkan viskositas larutan. Pada proses likuifikasi tidak dilakukan pengujian total gula dan gula pereduksi. Perlakuan pendahuluan pemanasan terjadi gelatinisasi menandakan rusaknya struktur pati dan larutnya pati pada air sehingga memudahkan enzim masuk dan menghidrolisis. Masih adanya air pada slurry setelah pemanasan juga terkait dengan memudahkan kinerja enzim. Ketersediaan air pada campuran yang telah tergelatinisasi menunjukkan pemanasan berlangsung di bawah suhu 110 °C. Di atas suhu tersebut, pasta mengalami kehilangan air hingga terjadi pemekatan (Safitri et al. 2009). Waktu pemanasan yang terlalu singkat juga menyebabkan kurangnya absorbsi air sehingga proses gelatinisasi berlangsung tidak sempurna. Proses pencoklatan atau browning terjadi saat likuifikasi akibat suhu optimum enzim α-amilase yang tinggi (95 °C). Hal ini juga menghambat kinerja enzim dalam menghidrolisis substrat. Setelah dilakukan pemanasan 30 menit, dilakukan proses sakarifikasi dimulai dengan penambahan enzim amiloglukosidase (AMG) 30 U dengan menurunkan suhu 60 oC dan pH diatur 4,5. Uji aktivitas enzim AMG digunakan baik pada sakarifikasi 145 U/mL (Derosya 2010) pada suhu optimum 60 oC dan pH optimum 4,5 (Akyuni, 2004). Pada proses sakarifikasi hidrolisat dimasukkan ke dalam waterbath shaker selama 48 jam dengan suhu
60 oC pada 120 rpm.
Enzim AMG mengkonversi komponen maltosa menjadi glukosa dan memutus ikatan α-1,6 pada dekstrin. Volume filtrat dari proses hidrolisis rata-rata berkurang 25% dan mempunyai pH 7 - 8, hal ini menunjukkan jumlah total padatan gula terlarut dalam filtrat semakin meningkat. Enzim yang bekerja pada proses tersebut menaikkan angka pH. Efektivitas kerja konsorsium enzim dalam menghidrolisis substrat dapat dilihat pada total gula yang dihasilkan semakin naik setelah sakarifikasi (Tabel 14)
66
Confidentia
Tabel 14. Hasil Proses Hidrolisis Sampel
pH
Bobot residu Kering (g)
9111
8
4,0721
9112
7
3,7689
4,47
6,26
9114
8
4,2595
4,07
5.29
PLB 6354
8
3,6679
4,53
5,89
4.7
Gula total sebelum proses hidrolisis (w/v) 3,69
Gula total setelah proses hidrolisis (w/v) 4,80
Proses Fermentasi Pembuatan etanol pada umumnya dilakukan melalui proses fermentasi.
Fermentasi merupakan proses untuk mengkonversi glukosa menjadi etanol dan CO2 yang bersifat anaerob. Pada proses fermentasi menggunakan yeast Saccharomyces cerevisiae sebanyak 10% fraksi volume substrat yang dihasilkan dari proses hidrolisis. Proses fermentasi berlangsung pada suhu 30 oC selama 40 jam dan 160 rpm. S. cerevisiae yang digunakan pada proses fermentasi untuk ganggang mikro mempunyai kemampuan untuk tumbuh pada substrat dan mudah beradaptasi dengan lingkungannnya serta berfungsi sebagai pemecah sukrosa menjadi monosakarida (glukosa dan fruktosa), selanjutnya mengubah glukosa menjadi etanol.. Pada akhir fermentasi sampel Crucigenia quadrata ICBB 9111 masih ada sisa gula, hal ini menandakan fermentasi belum berlangsung optimal. Glukosa yang tersisa terdeteksi dengan HPLC pada sampel Crucigenia quadrata ICBB 9111 sebesar 0,03 % (Lampiran 17). Total asam dihitung pada akhir proses fermentasi untuk mengetahui kadar asam yang terbentuk. Komponen asam organik merupakan hasil sampang dari proses fermentasi, pada penelitian ini yang diuji asam organik hanya Crucigenia quadrata ICBB 9111 dan Scenedesmus bijuga ICBB 9112. Alasan pengujian tersebut karena Crucigenia quadrata ICBB 9111 masa kultivasi dikolam kanal sangat cepat (28 hari) dengan produksi biomassa kering (80,3947 g) dan Scenedesmus bijuga ICBB 9112 masa kultivasi panjang (45 hari) dengan produksi biomassa paling tinggi diantara empat strain sebesar 158,7069 g. Hasil pengujian asam organik yang terdeteksi pada strain Crucigenia quadrata ICBB 9111 hanya
67
Confidentia
asam butirat sebesar 13,44 %. sedangkan untuk strain Scenedesmus bijuga ICBB 9112 tidak terdeteksi. Hal ini menunjukkan tidak ada penumpukkan asam berarti S. cerevisiae mampu untuk mengubah asam piruvat menjadi etanol. Hasil Uji etanol tersaji pada Tabel 15. Kandungan karbohidrat tinggi berdasrkan analisa proksimat pada sampel Crucigenia quadrata ICBB 9111 sebesar 42,27% w/w ternyata pada hasil fermentasi tidak menghasilkan kadar etanol tinggi. Pada sampel Scenedesmus bijuga ICBB 9112 yang mempunyai kandungan karbohidrat 21,30 % w/w setelah proses fermentasi mempunyai kadar etanol tertinggi sebesar 105,86ppm. Sampel Chlorella vulgaris ICBB 9114 yang mempunyai kandungan karbohidrat sebesar 16,66 % w/w lebih rendah dibanding kandungan karbohidrat Chlorella vulgaris PLB 6354 sebesar 17,22 % w/w ternyata memiliki kadar etanol lebih tinggi. Diduga terdapat udara pada proses fermentasi maka etanol yang dihasilkan lebih sedikit karena terjadi respirasi yang mengakibatkan terjadinya konversi gula menjadi sel, karbondioksida, dan air (Barnett et al. 1999) Tabel 15. Hasil Uji Etanol Sampel
Satuan
Hasil
Metode UJI
9111
ppm
50,47
GC
9112
ppm
105,86
GC
9114
ppm
53,38
GC
PLB 6354
ppm
41,17
GC
Waktu kultivasi di kolam kanal dan hasil biomassa sangat berpengaruh pada hasil fermentasi. Kandungan karbohidrat dari biomassa yang dihasilkan tidak mempengaruhi hasil fermentasi. Semakit cepat waktu kultivasi di kolam kanal tidak mudah memecah karbohidrat untuk menjadi gula sederhana. Hal ini terlihat pada Tabel 12,13 dan 15. Strain Crucigenia quadrata ICBB 9111 kandungan karbohirat paling tinggi (42,27) diantara empat strain pada penelitian ini, waktu kultivasi (28 hari) pada kolam kanal paling cepat dan kadar etanol 50,47ppm dibandingkan dengan Strain Scenedesmus bijuga ICBB 9112 kandungan karbohirat (21,30), waktu kultivasi (45 hari) pada kolam kanal dan kadar etanol 68
Confidentia
105,86 ppm. Tingginya kadar etanol yang dihasikan pada strain Scenedesmus bijuga ICBB 9112 diduga strain tersebut mampu memanfaatkan substrat secara maksimal pada saat proses fermentasi. Jumlah gula yang terkonsumsi tinggi, efisiensi penggunaan substrat tinggi sehingga konsentrasi sel semakin banyak dan jumlah gula yang terkonsumsi semakin tinggi, efisiensi penggunaan substrat semakin tinggi, konsentrasi sel semakin banyak, konsentrasi etanol yang dihasilkan semakin tinggi konsentrasi etanol yang dihasilkan semakin tinggi.
69
Confidentia
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1.
Kesimpulan Ganggang mikro ICBB 9111, ICBB 91132, ICBB 9114 dan PLB 6354
merupakan ganggang mikro hasil seleksi berdasarkan laju pertumbuhan dengan menggunakan tiga media (BG 11, PHM dan MBM). Identifikasi karakteristik morfologi ganggang mikro menunjukkan bahwa ICBB 9111 adalah Crucigenia quadrata., ICBB 9112 adalah Scenedesmus bijuga., ICBB 9114 adalah Chlorella vulgaris dan PLB 6354 adalah Chlorella vulgaris. Kualitas ganggang mikro dominan dipengaruhi oleh media timbuh. Crucigenia quadrata ICBB 9111 memberikan respons yang berbeda untuk menyerap unsur hara yang ada pada media dan mengandung karbohidrat yang paling tinggi yaitu 42,27 % dibanding tiga isolat lainnya. Dengan media MBM kombinasi dan berdasarkan karakteristik laju pertumbuhan serta komponen utama yang dikandungnya ganggang mikro indigen perairan tawar koleksi ICBB – CC yaitu : Crucigenia quadrata ICBB 9111, Scenedesmus bijuga ICBB 9112, Chlorella vulgaris ICBB 9114 dan Chlorella vulgaris PLB 6354 dapat digunakan sebagai bahan baku etanol. Proses hidrolisis berlangsung selama 48 jam menggunakan enzim komersial yang meliputi dua tahap yaitu: proses likuifikasi menggunakan enzim α amilase 600 U pada suhu 95 oC dengan pH 6 sedangkan untuk proses sakarifikasi menggunakan enzim amiloglukosidase 145 U pada suhu 60 oC dengan pH 4,5. Kadar etanol dari hasil fermentasi menggunakan Saccharomyces cerevisiae masing-masing sampel, yaitu : Crucigenia quadrata ICBB 9111 sebesar 50,47 ppm, Scenedesmus bijuga ICBB 9112 sebesar 105,86 ppm, Chlorella vulgaris ICBB 9114 sebesar 53,38 ppm dan Chlorella vulgaris PLB 6354 sebesar 41,17 ppm.
5.2.
Saran Pada penelitian selanjutnya perlu ditingkatkan lamanya kultivasi ganggang
mikro untuk dapat meningkatkan produktivitas biomassa sehingga dapat dikembangkan proses produksi dari konversi biomasa ganggang mikro menjadi 70
Confidentia
bahan baku etanol mengingat potensi yang dimilikinya sangat besar. Selain itu, ganggang mikro merupakan sumberdaya alam terbarukan yang tergolong biomasa dengan biodiversitas tinggi. Perlu dilakukan optimasi proses fermemtasi dan perhitungan gas CO2 , karena laju pembentukan etanol setara pembentukan CO2 .
71
Confidentia
DAFTAR PUSTAKA Akyuni D 2004. Pemanfaatan pati sagu (Metroxylon sp.) untuk pembuatan sirup glukosa menggunakan α-amilase dan amiloglukosidase [Skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. [AOAC]. Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington: The Association of Official Analytical Chemist, Inc. Andersen R A. 2005. Algal culturing techniques. United Kingdom Elsevier Inc Angka SL, Suhartono MT. 2000. Bioteknologi Hasil-Hasil Laut. IPB: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Agustini, .Kabinawa N, Susilaningsih D, .Handayani R, Permana DR, Afriastini, Rahman A, Yudidi. 1977. Produksi Ganggang mikro. Laporan Teknik Proyek Penelitian Bioteknologi. Puslitbang Bioteknologi. Cibinong (ID): LIPI. Ardiles S. 2011. Produksi lipid dan karbohidrat ganggang mikro asal sawah dan perairan tawar yang dikultivasi pada skala lapang. [SKRIPSI]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Arisanti D. 2012. Produksi karbohidrat, protein, dan lipid mikroganggang terseleksi pada kolam sistem raceway: penggunaan kombinasi Za-NaNO3 dan SP-36-K2HPO4 sebagai unsur Hara N dan P. [Tesis]. Bogor. Institut Pertanian Bogor.
. Atlas RM. Bartha R. 1981. Microbial Ecology. Fundamental and Applications. Philippines: Addison - Wesley Publishing Company Inc Barianti L, Gualtieri P. 2006. Ganggange Anatomy, Biochemestry and Biotechology. USA: CRC Taylor & Francis Group. Basmal J. 2008. Peluang dan tantangan pemanfaatan mikroganggang sebagai biofuel. Squalen 3 (1): 34 – 39. Becker EW. 1994. Microalgae Biotechnology and Microbiology. New York (US) Cambridge Univ Pr. Bennet. AR, Rowe I,.Soch N, Eckhert CD. 1999. Boron Simulates Yeast (Saccharomyces cereviceae) Growth. Department of enviromental Health sciences. Los Angels (US): University of California. Bidwell RGS. 1974. Plant Physiology. Ed ke-2. New York (US): Mac Millan Pub Co. Bold HC, Wynne MJ. 1985. Introduction to Algae. USA: Prentice Hall, Inc.
72
Confidentia
Borowitzaka MA dan Borowitzaka LJ. 1988. Dunaliella. Dalam Borowitzaka MA dan Borowitzaka LJ. (Eds). Microalgal Biotechnology. Cambridge (US): Cambridge Univ Pr. Borowitzka M.A. “Culturing Microalgae In Outdoor Ponds”. (2005) dalam Andersen R.A. (ed) “Algal Culturing Techniques”. Amsterdam (GB): Elsevier Acad Pr. Boyd CE. 1992. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Department of Fisheries and Allied Aguacultures. Alabama: Agricultural Experiment Station Auburn.. Bransby DI. 2007. Cellulosic Biofuel Technologies. 202 Funchess Hall, Aurburn Univ. Brennan L, Owende P. 2010. Biofuels from microalgae a review of technologies for production, processing, and extractions of biofuels and co-products. Renew. Sustain. Energy Rev 14: 557–577. Brown M. R., 2002. Nutritional value of microganggange for aquculture. In: Cruz-Suárez, L. E., Ricque-Marie, D., Tapia-Salazar, M., GaxiolaCortés, M. G., Simoes, N. (Eds.). Avances en Nutrición Acuícola VI. Memorias del VI Simposium Internacional de Nutrición Acuícola. Cancún. Quintana Roo. México. 3 al 6 de Septiembre del 2002. Campbell NA, Reece BJ, Mitchell GL. 2002. Biologi. Ed ke-5 jilid 1. Jakarta (ID): Erlangga Pr. Carman KR, Thistle D, Ertman SC, Foy M. 1991. Nile Red as a Probe for LipidStrorage Products in Benthic Copepods. J Mar Ecol Prog Ser 74: 307311. Chang HF, Page M. 1995. Influence of Light dan Three Nitrogen Source on Growth of Heterrosigma carterae (Raphidophiceae). J Mar Freshwater Res 29: 229-304. Chen, C.Y., Yeh, K.L., Aisyah, R., Lee, D.J,dan Chang, J.S., (2011), “Cultivation, photobioreactordesign and harvesting of microalgae forbiodiesel production: A critical review”, BioresourceTechnology, 102: 71–81. Christi Y. 2007. Biodiesel from microalgae. Biotechnology Advances 25: 294–306 Choi SP, Nguyen MT, Sim SJ. 2011.Enzymatic pretreatment of Chlamydomonas reinhardtii biomass for etanol production. Bioresource Technology 101: 5330–5336 Choi CH, Mathews AP. 1996. Two step acid hydrolysis process kinetics in the saccharification of low-grade biomassa: 1. Experimental studies on the
73
Confidentia
formation and degradation of sugars. J, Bioresource Technol. 58: 101106 Colman B, Gehl KA. 1983. Effect of External pH on the Internal pH of Chlorella saccharophila. J Plant Physiol 77 (4): 917-921. Claassen PAM et al. 1999. Utilisation of biomassa for the supply of energy carrier. Applied microbiology and biotechnology 52: 741-755.
. Grima EM, Belarbia EH, Acie´n FG, Medinaa AR, Chisti Y. 2003. Recovery of microalgal biomass and metabolites: process options and economics. Biotechnology Advances 20: 491–515. Han YJ, Chen HZ. 2007. Synergism between corn stover protein and cellulose. J Enzyme and microbial technology 41: 638-645. Demirbas A. 2005. Bio-etanol from cellulosic materials: a renewable motor fuel from biomass. Energy Source 27: 327–37. [Departemen ESDM] Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. 2008. http://www. djlpe esdm.go.id [12 Desember 2008].
.
Dunstan GA, John KV, Stephanie MB, Jeannie ML, Jeffrey SW. 1993. Essential Polyunsaturated Fatty Acids From 14 Species of Diatom (Bacilliariophyceae). J Phytochem 35 (1): 155-161. [ESDM] Energi dan Sumber Daya Mineral. 2005. Blueprint Pengelolaan Energi nasional 2005-2025. Jakarta (ID). Fogg GE. 1975. Algal Cultures and Phytoplankton Ecology.Madison.Milwauker. London (GB): The Univer of Wisconsin Pr. Goldman CR dan Horne R. 1983. Limnology. New York (US): McGraw Hill. Guerrero MG. 2010. Etanol from microganggange. Fotosmica Fotosííntesisntesi. Instituto Bioquíímica Vegetaly Sevilla (US):..26. Grima EM, Belarbia EH, Acie´n Ferna´ndeza FG, Medinaa AR, Chisti Y. 2003. Recovery of microganggangl biomass and metabolites: process options and economics. Biotechnology Advances 20 : 491–515. Halme JD, Peck H. 1993. Analytical Biochemistry. Ed ke-2. New York (US): John Willey and Sons Inc. Hickling CF. 1971. Fish Culture Faber and Faber. London (GB). Champman & Hall
74
Confidentia
Han YJ, Chen HZ. 2007. Synergism between corn stover protein and cellulose. J Enzyme and microbial technology 41: 638-645. Harun R, Danquah M K dan Fordea G M. Microganggangl biomass as a fermentation feedstock for etanol production. 2009. J Chem Technol Biotechnol 85: 199–203. Harun R, Danquah M K. 2011. Influence of acid pre-treatment on microganggangl biomass for etanol production. Process Biochemistry 46: 304–309. . 2011. Enzymatic hydrolysis of microganggangl biomass for etanol production. Chemical Engineering Journal 168 ; 1079–1084. Harun R, Jason WSY, Cherrington T, Danquah MK. 2011. Exploring alkaline pretreatment of microganggangl biomass for etanol production. Applied Energy 88; 3464–3467. Heasman M, Diemar J, O’ Connor W, Sushames T, Foulkes L, Nell JA.2000 Development of extended shelf-life microganggange concentrate diets harvested by centrifugation for bivalve molluscs—a summary. Aquacult Res: 31(8 – 9): 637– 59. Hill J, Nelson E, Tlman D, Polasky S, Tiffany D. 2006. Environmental, economic, and energetic costs and benefits of biodiesel and ethanol biofuels. www.pnas.org./cgi/doi/10.1073/pnas. 0604600103, pp 11206-11210.. Irawati D. 2006. Pemanfaatan serbuk kayu untuk produksi etanol. [Tesis]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Isnansetyo A, Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton. Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut. Yogyakarta (ID): Kanisius Pr.. Jeffries M, Mills D. 1996. Freshwater Ecology. Principles and Aplications. Chichester: John Willey & Sons Inc. John RP, Anisha GS, Nampoothiri KM, Pandey A. 2011. Micro and macroganggangl biomass: A renewable source for bioethanol. Bioresource Technology 102 : 186–193l. Khotimchenko SV, Yakovleva IM. 2004. Lipid Composition of The Red Ganggang Tichocarpus crinitus Exposed to Different of Photon Irradiance. J Phytochem 66: 73-79 Kabinawa INK. 2001. Ganggang mikro sebagai Sumber Daya Hayati dalam Propektif Bioteknologi. Bogor (ID): Pusbitbang Bioteknologi-LIPI.
75
Confidentia
Kim S, Dale BE. 2005. Life Cycle Assessment of various cropping systems utilized for producing biofuels : etanol and biodiesel. Biomass and Bioenergy 29 : 426-439. Kristanto P. 2002. Ekologi Industri. Jakarta (UI): Indonesia Univ Pr. Lambardi AY, Wangersky PJ. 1991. Influence of Phospons dan Silicon on Lipid Class Production by the Marine Diatoms Chaetoceros gracilis Grown in Turbidostat Large Cultures. J Mar Ecol 77: 39-47. Lee SJ, Yoon BD, Oh HM. 1998. Rapid Methods for Determination of Lipid from the Green Botryococcus braunii. J Biotechnol 12:553-556. Lee SJ, Kim SB, Kim JE, Kwon GS, Yoon BD, Oh HM. 1998. Effects of harvesting method and growth stage on the flocculati on of the green ganggang Botryococcus braunii. Letters in Applied Microbiology 27: 14– 18. Lee YL, Kim Bo K, Lee Bo H, Jo Kang I, Lee NK, Chung CH, Lee YC, Lee JW. 2008. Purifiction and characterization of cellulose produced by Bacillus amyoliquefaciens DL-3 utilizing rice hull. J Bioresource Technology 99: 378396. Li Y, Horsman M, Wu N, Lan CQ, Dubois-Calero N. 2008. Biofuels from microganggange. Biotechnol Prog ;24 : 815–20. Mata, T.M., Martins, A.A, Caetano, N.S. 2010. Microganggange for biodiesel production and other applications: a review. Renew. Sustain. Energy Rev 14: 217–232. Metcalf , Eddy .2004. Wastewater Engineering Treatment and Reuse. Ed ke-4. New York (US): McGraw- Hill. Milala MA, Shugaba A, Gidado A, Ene AC and Wafar JA. 2005. Studies on the Use of Agricultural Wastes for Cellulase Enzyme Production by Aspegillus niger. Res J of Agric and Bio Sci 1: 325-328. Mollah MYA, Morkovsky P, Gomes JAG, Kesmez M, Parga J, Cocke DL. . 2004. Fundamentals, present and future perspectives of electrocoagulation. J of Hazardous Materials B 114; 199–210 Mubarak, H. 1981. Budidaya Rumput Laut 1. Training workshop on Seafarming. Denpasar.Bali.(ID):http://www.fao.org/docrep/field/003/AB873E02 html [Diakses : 20 oktober 2010].
. Mulyadi A. 1999. Pertumbuhan dan Daya Serap Nutrien dari Ganggang Mikro Dunaliella tertiolecta yang Dipelihara pada Limbah Domestik. J Nat Indones 2 (1): 65-68. 76
Confidentia
Musa M. 1992. Komposisi, Biomasa dan Produktivitas Fitoplankton Serta Hubungannya Terhadap Fisika Kimia Perairan di Waduk Selorejo Malang.Jawa Timur [Tesis]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Mussatto SI, Dragone G, Guimarães PMR, Silva JPA, Carneiro LM, Roberto IC, Vicente A, Domingues L,. Teixeira JA. 2010. Technological trends, global market, and challenges of bio-etanol production. Biotechnology Advances 28: 817–830. Nguyen LT, Gheewala SH, Garivait S. 2007. Energy balance and GHG-abatement cost of cassava utilization for fuel ethanol in Thailand. Energy Polycy 35: 4585-4596. Nieduszynski IA, Preston RD. 1970. Crystallite size in natural cellulose. Nat 225: 273-274. Nybakken JW. 1993. Marine Biology. An Ecological Approach. Ed ke-3. New York (US): Harper Collins Coll Publ. Odum,E.P. 1971. Fundamental of Ecology. Ed ke-3. WB. Saunders Comp. Phil. Oh-Hama T, Miyachi S. 1988. Chlorella. Di dalam Borowitzaka MA dan Borowitzaka LJ (ed). Micro Biotechnology. Cambridge (US): Cambridge Univ Pr. Oswald WJ. 1988. Large-scale ganggangl culture systems (engineering aspect). In Borowitzka MA and Borowitzkia LJ, editors. Micro-ganggangl biotechnology. New York: Cambridge Univ Pr. Parmar A., Singh N K, Pandey A., Gnansounou E, Madamwar D. 2011. Cyanobacteria and microganggange: A positive prospect for biofuels. Bioresource Technology 102: 10163–10172. Pelczar MJ, Chan MJ. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jilid 1. Jakarta (ID): UI Pr. Petruevski B, Bolier G, Van Breemen A. N dan Alaerts G. J..1994. Tangential Flow Filtration: A Method To Concentrate Freshwater Ganggange. War. Res 29 (5): 1419-1424. Patil V, Tran, KQ, Giselrod HR. 2008. Towards sustainable production of biofuels from microganggange. Int. J. Mol. Sci 9: 1188 – 1195 Pienkos PT. 2007.
Potential for Biofuels from Algae. Nat Renew Energy.
NREL/PR-510-42414
77
Confidentia
Poelman .E, De Pauw N, Jeurissen. B. 1997. Potential of electrolytic flocculation for recovery of micro-ganggange. Resources, Conservation and Recycling 19; 1-10. Pushparaj B, Pelosi E, Torzillo G, Materassi R. 1993. Microbial biomass recovery using a synthetic cationic polymer. Bioresource Technol; 43: 59– 62. Rabelo SC, Filho RM dan Costa AC. 2009. Lime pretreatment of sugarcane bagasse for etanol production. Appl Biochem Biotechnol 153: 139–50. Rajoka MI, Malik KA. 1997. Cellulase production by Cellulomonas biazotea cultured in media containing different cellulosic substrates. J Biores Technol 59:21-27. Regnault A, Daisy C, Antoine C, Francoise P, Regis C, Paul M. 1995. Lipid Composition of Euglena gracilis In Relation to Carbon-Nitrogen Balance. J Phytochem 40(3): 725-733. Reynolds CS. 1990. The Ecology of Fresh Water Phytoplankton. New York (US): Cambridge Univ Pr. Richmond A. 2004. Biotechnology and Applied Phycology. Handbook of Microganggangl Culture. Oxford (GB):. Blackwell Science. Rossignol N, Vandanjon L, Jaouen P, Quemeneur F. 1999. Membrane technology for the continuous separation microalgae/culture medium: compared performances of cross-flow microfiltration and ultrafiltration. Aquacult Eng 20: 191– 208. Rutz D, Janssen R. 2007. Biofuel Technology Handbook. Jerman (GE): WIP Renewable Energies. Sylvensteinstr. Salisbury FB, Cleon WR. 1992. Fisiologi dan Biokimia Tumbuhan. Bandung (ID): ITB Pr.
[SNI] Standar Nasional Indonesia.2008. Standar Nasional Indonesia SNI 7390- 2008 Alkohol Teknis. Jakarta: Dewan Standar Nasional Indonesia. Suhandono S. 2009. produksi bioetanol satu tahap menggunakan bakteri Clostridium thermocellum dari limbah produksi agar-agar Gracillaria sp. (http://septians09.student.ipb.ac.id/2010/05/15/produksi-bioetanol-satutahap-menggunakan-bakteri-clostridium-thermocellum-dari-limbahproduksi-agar-agar-gracillaria-sp/.31 Maret 2011). [SBRC] Surfactant and Bioenergy Research Center. 2008. Mikroalga Potensi Masa Depan Biodiesel Indonesia. Di dalam: Pengembangan Bahan
78
Confidentia
Bakar Berbasis CPO dan Mikroalga Sebagai Penyokong Ketahanan Energi di Indonesia. Seminar Bioenergi. Bogor (ID): Perhimpunan Mahasiswa Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Shelef G, Sukenik .A, Green M, 1984. Microganggange Harvesting and Processing: A Literature Review. Haifa, Israel. Tech Resch and Develop Found ltd. Soerawidjaja TH. 2006. Skenario-Skenario Struktur Perindustrian Biodiesel. Di dalam: Hambali E, Suryani A, Setyaningsih D, Soerawidjaja TH, Brojonegoro TP, Prawita T, Mujdalipah S, editor. Prosiding Simposium Biodiesel Indonesia. Jakarta. 5-6 September 2006. Suradikusumah E. 1989. Kimia Tumbuhan. Bogor (ID).PAU.Institut Pertanian Bogor. Stoppok W, Rapp PW, Wagner F. 1982. Formation, location and regulation of endo-l.4- p-glucanases and p-glucosidases from Cellulomonas uda. Appl Environ Microbiol 44: 44-53. Stanier R, Adelberg EA, Ingraham J. 1982. Dunia Mikrobe . Gunawan AW, Angka SL, Lioe KG, Hastowo, Lay B, penerjemah; Tjitrosomo SS. (ed). Jakarta (ID): Bhratara Karya Aksara Pr. Steel PGD, Torrie JH. 1981. Principles and Procedures of Statistics. Abiometrical Approach. Tokyo: McGraw Hill Book Co. Inc.. Sutomo. 1990. Pengaruh Salinitas dan pH terhadap Pertumbuhan Chorella sp. Di dalam: Buku Panduan dan Kumpulan Abstrak Seminar Ilmiah Nasional Lustrum VII. Yogyakarta.. Takagi M, Karseno, Yoshida T. 2005. Effect of Salt Consentration on Intraselular Accumulation of Lipids dan Triacyglyceride in Marine Microganggange Dunaliella cell. J Biosci 101 (3): 223-226. Tenney MW, Echelberger WF, Schuessler RG, Joseph L, Pavoni. 1969. Ganggangl Flocculation With Synthetic Organic Polyelectrolytes. American Society for Microbiology 18(6): 965-971. Tjitrosoepomo G. 1994. Taksonomi Tumbuhan. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ Pr. Tjitrosoepomo G. 2005. Taksonomi Tumbuhan Obat - Obatan. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ Pr. Uduman N, Bourniquel V, Danquah M K, Hoadley AFA. 2011 A parametric study of electrocoagulation as a recovery process of marine
79
Confidentia
microganggange for biodiesel production. Chemical Engineering Journal 174: 249– 257. Ugwu CU, Aoyagi H, Uchiyama H. 2008. Photobioreactors for mass cultivation of algae. Bioresource technol 99: 4021-4028. Vander Gheynst J. 2008. The future of microganggange in clean technologies. Davis. California (US): California Univ Pr. Varga E, Szengyel Z, Réczey K. 2002. Chemical pretreatments of corn stover for enhancing enzymatic digestibility. Appl Biochem Biotechnol 98: 73-88. Wahyudi B. 2006. Kebijakan Industri biodiesel dan bioetanol di Indonesia. Prosiding Workshop Nasional bisnis biodiesel dan etanol di Indonesia. Jakarta, 21 November 2006. Wang D, X Wu, S Bean, JP Wilson. 2006. Etanol production from pearl millet using Saccharomycess cereviseae. Cereal Chem. 83 (2): 127-131. Welch PS. 1980. Limnology. New York: McGraw Hill Book Co. Inc. Widianingsih, Ridho A., Hartati. R., Harmoko. 2008. Kandungan nutrisi Spirulina Platensis yang dikultur pada media yang berbeda. Ilmu Kelautan.13(3): 167-170 Wignyanto, Suarjono, dan Novita. 2001. Pengaruh Konsentasi Gula Reduksi Sari Hari Nanas dan Inokulum Saccharomyces cerevisiae Pada Fermentasi Etanol. Jurnal Teknologi Pertanian 2: 1. Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta (ID). Gramedia Pustaka Utama. Wong, S. D. 1995. Food Enzyme, Structure and Mechanism. New York (US)> Chapman & Hall Publ. Xiang Q,Lee YY Petterson PO, Torget RW, 2003, Heterogeneous aspects of acid hydrolysis of alpha-cellulose. Appl Biochem Biotechnol:105-108, 505514. Yang J, Xu M, Zhang X, Hu Q, Sommerfeld M, Chen Y. 2010. Life-cycle analysis on biodiesel production from microalgae: Water footprint an nutrients balance. Biores Technol. 102: 159–165. Yoo C, Jun SY, Lee JY, Ahn CY, Oh HM. 2010. Selection of microalgae for lipid production under high levels carbon dioxide. Biores. Technol 101:71–74.
80
Confidentia
Yolanda, F.S. 2009. Isolasi, Seleksi dan Optimasi Pertumbuhan Ganggang mikro yang potensial sebagai Penghasil Bahan Bakar Nabati. [Tesis]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Zhang, M., C. Eddy, K. Dedana M. Finkelstein, Picataggio S. 1995. Metabolic engineering of a pentose metabolism pathway in etanologenic Zymomonas mobilis. Science. 267: 240−243
81