PEMANFAATAN GANGGANG MIKRO SEBAGAI BIOINDIKATOR PERAIRAN YANG TERCEMAR
MASDIANTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “Pemanfaatan Ganggang Mikro Sebagai Bioindikator Perairan yang Tercemar” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutif dari karya tulis yang diterbitkan atau tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor,
Juli 2013
Masdianto NRP: P062080111
© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Judul Disertasi
: Pemanfaatan Ganggang Mikro sebagai Bioindikator Perairan yang Tercemar.
Nama
: Masdianto
NRP
: P062080111
Disetujui: Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dwi Andreas Santosa, MS. Ketua
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS.
Dr. Ir. Mohamad Yani, M.Eng.
Anggota
Anggota
Diketahui: Ketua Program Studi Pengelolaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
NIP.1961102121985011001
NIP. 196508141990021001
Tanggal Ujian: 24 Juli 2013
Tanggal Lulus:
31 Juli 2013
ABSTRAK MASDIANTO. Pemanfaatan Ganggang Mikro sebagai Bioindikator Perairan yang Tercemar. Dibimbing oleh DWI ANDREAS SANTOSA, SURJONO H. SUTJAHJO dan MOHAMAD YANI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sensitivitas beberapa ganggang mikro perairan air tawar asal Indonesia terhadap pencemar logam berat (Hg, Cd, As dan Pb) dan pestisida. Hasil seleksi sepuluh isolat ganggang mikro yang ditumbuhkan dalam media BG 11 diperoleh tiga strain yang memiliki laju pertumbuhan tercepat yaitu: ICBB 9111, ICBB 9113 dan ICBB 9114. Ketiga strain ganggang mikro terseleksi tersebut berhasil diidentifikasi sebagai : Synechoccus sp. ICBB 9111 (asal situ di Gunung Salak, Bogor), Chlamydomonas sp. ICBB 9113 (asal persawahan Ciomas – Bogor) dan Chlorella vulgaris ICBB 9114 (asal Telaga Warna, Puncak, Bogor). Untuk menguji sensitivitas ganggang mikro terhadap logam berat, tiga isolat terpilih tersebut ditumbuhkan dalam media mengandung logam berat Cd, Hg, As dan Pb pada konsentrasi 1,25 ppm, 2,50 ppm, 5,00 ppm dan 10,00 ppm. Pengamatan terhadap kerapatan optik (Optical Density) dilakukan pada 30 menit pertama hingga 96 jam. Berdasarkan hasil pengamatan visual selama periode tersebut diperoleh bahwa 2 strain ganggang mikro terhenti pertumbuhannya. Kedua strain ganggang mikro tersebut adalah Synechococcus sp. ICBB 9111 dan Chlamydomonas sp. ICBB 9113. Sebaliknya untuk Chlorella vulgaris ICBB 9114 masih bertahan hidup terutama pada medium yang mengandung ion logam Cd dan Pb, sedangkan dalam medium mengandung Hg dan As strain tersebut tidak mampu bertahan hidup. Tahap penelitian berikutnya adalah analisis kadar logam yang tidak terserap oleh biomassa ganggang mikro. Dari hasil analisis diperoleh bahwa Hg dan As hampir seluruhnya diabsorpsi oleh ganggang mikro dan kandungan di dalam media masing-masing tersisa <0,001ppm dan <0,002ppm. Sedangkan untuk Cd dan Pb hanya sebagian kecil yang diabsorpsi oleh ganggang mikro. Berdasarkan hasil tersebut daya tahan masing-masing ganggang mikro di dalam media mengandung logam berat berbeda-beda. Strain Chlorella vulgaris ICBB 9114 mempunyai daya tahan dan adaptasi yang lebih tinggi terhadap logam berat dibanding strain Chlamydomonas sp. ICBB 9113. Sedangkan Synechococcus sp. ICBB 9111 memiliki kepekaan yang paling tinggi terhadap keempat logam yang diujikan. Selain diuji terhadap logam berat, tiga strain tersebut juga diuji sensitivitasnya terhadap herbisida isoprofilamina glifosat dan paraquat diklorida serta insektisida butilfenilmetilkarbamat (BPMC) dan deltametrin dengan variasi konsentrasi sebagai berikut : 5ppm, 10ppm, 20ppm dan 40ppm. Hasil pengamatan pertumbuhan ganggang mikro menunjukkan bahwa ketiga strain tersebut mampu bertahan hingga 24 jam dalam media yang mengandung pestisida yang diujikan. Setelah 24 jam ketiganya mulai menunjukan tanda-tanda penurunan populasi. Pada pengamatan 96 jam semua ganggang mikro mati. Besaran konsentrasi pestisida berkisar antara 10-20ppm yang merupakan konsentrasi kritis bagi daya tahan dan adaptasi ganggang mikro. Dari keseluruhan perlakuan dan pengamatan dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa beberapa ganggang mikro memiliki batas toleransi terhadap polutan (logam berat atau pestisida) yang masuk ke lingkungan perairan. Kemampuan adsorpsi dan adaptasi ganggang mikro tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator dalam monitoring dan evaluasi kondisi lingkungan perairan terhadap bahan pencemar logam berat dan pestisida. Kata kunci : ganggang mikro, logam berat, pestisida, bioindikator
ABSTRACT MASDIANTO. Utilization of Microalgae as bio-indicators of Contaminated Water. Supervised by DWI ANDREAS SANTOSA, SURJONO H. SUTJAHJO and MOHAMAD YANI. This study aimed to determine the sensitivity of some freshwater microalgae from Indonesia to the heavy metal contaminants (Hg, Cd, As and Pb) and pesticides. Result of the selection of ten isolates of microalgae grown in BG 11 medium obtained three strains which have the fastest growth rate: ICBB 9111, ICBB ICBB 9113 and 9114. Third is selected microalgae strains were identified as: Synechoccus sp. ICBB 9111 (originally there in Mt Salak, Bogor), Chlamydomonas sp. ICBB 9113 (paddy field of Ciomas - Bogor) and Chlorella vulgaris ICBB 9114 (origin Telaga Warna, Puncak, Bogor). To test the sensitivity of microalgae to heavy metals, three selected bacteria are grown in a medium containing heavy metals Cd, Hg, As and Pb at a concentration of 1.25 ppm, 2.50 ppm, 5.00 ppm and 10.00 ppm. Observation of the optical density (OD) performed on the first 30 minutes up to 96 hours. Based on visual observations obtained during this period that two strains of micro-algae growth stalled. Both strains of microalgae are Synechococcus sp. ICBB 9111 and Chlamydomonas sp. ICBB 9113. In contrast to Chlorella vulgaris ICBB 9114 still survive, especially in the medium containing metal ions Cd and Pb, whereas in medium containing Hg and As these strains are not able to survive. The next stage of research is the analysis of metal content, which is not absorbed by the micro algae biomass. From the analysis found that Hg and As are almost entirely absorbed by algae and micro-media content in each of the remaining <0.001 ppm and <0,002 ppm. Whereas for Cd and Pb only a small portion is absorbed by microalgae. Based on the results of the durability of each micro algae in media containing different heavy metals. ICBB Chlorella vulgaris strain 9114 has the durability and adaptability to heavy metals higher than the strain Chlamydomonas sp. ICBB 9113. While Synechococcus sp. ICBB 9111 had the highest sensitivity of all four metals tested. In addition to heavy metals tested, three strains were also tested sensitivity to the herbicide; isoprophylamine glyphosate and paraquat dichloride and insecticide ; buthylphenylmethylcarbamate (BPMC) and deltamethrin with variations of the following concentrations: 5ppm, 10ppm, 20ppm and 40ppm. Microalgae growth observations showed that all three strains are able to survive up to 24 hours in media containing pesticides tested. After 24 hours, the three began to show signs of decline. At the 96-hour observation of all micro algae die. The amount of pesticide concentrations ranged from 10-20ppm concentration which is critical to the durability and adaptability of microalgae. Of the overall treatment and observation can be drawn a conclusion that some micro algae have tolerance to pollutants (heavy metals or pesticides) that enter the aquatic environment. Adsorption capacity and adaptation of micro algae can be used as bio-indicators in monitoring and evaluation of marine environmental impacts of the heavy metal pollutants and pesticides. Keywords: microalgae, heavy metals, pesticides, bio-indicators
I. 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Air merupakan komponen yang penting bagi manusia dan makhluk hidup
lainnya. Air diperlukan untuk proses hidup dalam tubuh manusia, tumbuhan, dan hewan. Sebagian tubuh manusia, tumbuhan dan hewan terdiri dari air. Disamping itu air juga diperlukan untuk berbagai keperluan untuk berbagai keperluan rumah tangga, pengairan, pertanian, industri, rekreasi, dan lain-lain. Kebutuhan akan air bersih menjadi tema penting di berbagai belahan dunia. Apalagi kebutuhan air bersih untuk minum dan mengolah bahan makanan kian mengundang perhatian lebih ketimbang kebutuhan air bersih untuk mandi dan cuci. Artinya keperluan akan air bersih memiliki standar sesuai peruntukannya. Air dikatakan bersih secara fisik setidaknya jika terlihat jernih, tidak berwarna, tawar, dan tidak berbau. Secara kimiawi air yang kualitasnya baik adalah yang memiliki pH netral dan tidak mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) dan ion-ion logam, serta bahan organik. Sedangkan bersih secara biologis dalam arti tidak mengandung mikroorganisme seperti bakteri baik yang patogen atau menyebabkan penyakit atau yang apatogen. Pencemaran adalah suatu penyimpangan dari keadaan normalnya. Jadi pencemaran air tanah adalah suatu keadaan air tersebut telah mengalami penyimpangan dari keadaan normal. Keadaan normal air tergantung pada faktor penentu, yaitu kegunaan air itu sendiri dan asal sumber air. Pencemar air dikelompokkan dalam, pencemar bahan buangan organik, pencemar bahan buangan an organik, dan bahan buangan zat kimia. (Harmayani 2007). Pencemaran air berhubungan dengan masalah limbah yang tergantung pada sifat-sifat kontaminan yang memerlukan oksigen, memacu pertumbuhan algae, penyakit dan zat toksik. Pencemaran terhadap sumber daya air dapat terjadi secara langsung dari saluran pembuangan atau buangan industri dan secara tidak langsung melalui pencemaran air dan limpasan dari daerah pertanian dan perkotaan (non-point sources). Menurut Effendi (2003), bahan pencemar memasuki sungai dapat melalui atmosfer, tanah, limpasan pertanian, limbah domestik dan perkotaan, pembuangan limbah industri, dan lain-lain. Pencemaran perairan saat ini menjadi salah satu perhatian utama persoalan lingkungan, dan
menimbulkan
permasalahan yang cukup serius yaitu terjadinya penurunan kualitas air yang disebabkan oleh kegiatan antropogenik. Usaha kegiatan pembangunan dengan motif peningkatan pembangunan dan ekonomi sering menjadi alasan utama.
Kerusakan
lingkungan terutama perairan banyak disumbangkan oleh usaha-usaha seperti pertambangan,
pertanian,
perkebunan,
industri
dan
kegiatan
domestik
yang
menghasilkan limbah dan buangan industri yang mengandung bahan- bahan organik, logam berat, pestisida dan bahan mikro polutan lainnya. Keberadaan logam berat tersebut telah diketahui dapat memberikan dampak negatif bagi kesehatan manusia dan kehidupan biota akuatik membentuk senyawa toksik dan mengganggu sistem metabolisme makhluk hidup (Shakla dan Srivastava 1992). Berbagai logam berat yang sering terdapat dalam pencemaran air antara lain raksa (Hg), timbal (Pb), cadmium (Cd), krom (Cr), arsen (As), nikel (Ni), dan seng (Zn). (Whitton 1984). Berbagai kasus pencemaran logam berat di perairan seperti kasus tailing logam berat di Newmont - Minahasa dan pencemaran oleh tailing tambang Freeport, Papua. Di bidang pertanian, penggunaan pestisida telah dirasakan manfaatnya untuk meningkatkan produksi. Sebab dengan bantuan pestisida, petani meyakini dapat terhindar dari kerugian akibat serangan jasad pengganggu tanaman yang terdiri dari kelompok hama, penyakit maupun gulma. Keyakinan tersebut, cenderung memicu pengunaan pestisida dari waktu ke waktu meningkat dengan pesat yang menyebabkan kebutuhan akan pestisida bertambah banyak, baik jumlah maupun jenisnya. Secara ekonomi penggunaan pestisida
relatif menguntungkan, tetapi dibalik manfaat dan
keuntungannya dampak yang ditimbulkan cukup besar terhadap kesehatan manusia serta kualitas lingkungan. Selain itu penggunaan pestisida yang berlebihan dan terus menerus dapat mengakibatkan resistensi hama, terbunuhnya musuh alami sehingga pada akhirnya justru meningkatkan populasi jasad penganggu tanaman tersebut. Keberadaan logam berat dan pestisida dalam perairan menjadi salah satu parameter penurunan kualitas air, karena bersifat toksik pada biota seperti ikan, tumbuhan air, binatang dan manusia yang menggunakannya. Polutan tersebut juga akan mempengaruhi mikroorganisme lainnya seperti ganggang mikro. Polutan yang masuk kedalam perairan dapat mengakibatkan kematian berbagai organisme. Meskipun demikian beberapa jenis ganggang mikro mampu melakukan metabolisme terhadap polutan tersebut dan menjadikannya sumber nutrien / mineral. Karena kepekaan ganggang mikro terhadap berbagai jenis polutan, ganggang mikro dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator dalam menilai kualitas lingkungan. Pemanfaatan ganggang mikro sebagai bioindikator dikarenakan faktor sebagai berikut yaitu: kemudahan menyebar, ukuran renik sehingga peka terhadap perubahan di
sekitarnya, waktu hidup yang pendek, keberadaannya di berbagai ekosistem perairan, kemampuannya menumpuk logam-logam serta relatif mudah diidentifikasi (Whitton 1984). Pengukuran logam-logam berat yang diserap ataupun dijerap oleh organisme bioindikator lebih menggambarkan tingkat pencemaran lingkungan yang terjadi dibandingkan dengan pengukuran konsentrasi logam dalam sampel air atau sedimen. Secara umum, keuntungan pemanfaatan ganggang mikro sebagai bioindikator adalah : a. Ganggang mempunyai kemampuan yang cukup tinggi dalam mengabsorpsi logam berat karena di dalam ganggang terdapat gugus fungsional yang dapat melakukan pengikatan dengan ion logam. Gugus fungsional tersebut terutama adalah gugus karboksil, hidroksil, amina, sulfudril, imadazol, sulfat dan sulfonat yang terdapat dalam dinding sel dalam sitoplasma, b. Kepekaan terhadap logam berat dan senyawa-senyawa pencemar perairan lainnya, c. Populasinya mudah dikuantifikasi sehingga bisa menggambarkan dampak pencemaran secara kuantitatif, d. Perubahan morfologis yang terjadi juga mudah diamati. Selain sebagai bioindikator, ganggang mikro di sisi lainnya dapat juga digunakan sebagai agen bioremediasi karena memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut: a. Bahan bakunya mudah didapat dan tersedia dalam jumlah banyak, b. Biaya operasional yang rendah, c. Sludge yang dihasilkan sangat minim, d. Tidak perlu nutrisi tambahan. Ganggang mikro merupakan salah satu komponen biota yang berada dalam perairan baik tawar maupun laut memiliki banyak potensi yang belum terkuak. Ganggang mikro merupakan makhluk hidup yang digolongkan sebagai tumbuhan tingkat rendah yang berklorofil dan membentuk koloni serta strukturnya jauh lebih sederhana, seperti tidak mempunyai akar, daun, dan batang. Sel ganggang mikro tumbuh dan tersebar di dalam air dan mempunyai akses yang efisien untuk mengasimilasi air, nutrien seperti nitrogen, fosfor, kalium, dan karbon dioksida termasuk polutan yang ada. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, karena kepekaan ganggang mikro terhadap perubahan lingkungan dan memiliki laju pertumbuhan yang tinggi, membuat ganggang mikro dapat digunakan untuk mengukur pencemaran logam berat dalam
lingkungan air tawar dan laut (Maeda dan Sakaguchi 1990; Haritonidis dan Malea 1999). Beberapa spesies ganggang hijau seperti Enteromorpha atau Cladophora telah dimanfaatkan untuk mengukur tingkat kontaminasi perairan oleh logam berat di beberapa negara seperti Kroasia (Chmielewska dan Medved 2001), Italia (Storelli et al. 2001), dan Polandia (Zbikowski et al. 2007). Beberapa studi juga telah dilakukan di Saudi Arabia dengan mengukur tingkat akumulasi logam berat dalam ganggang hijau, coklat dan merah yang hidup di perairan pantai Laut Merah Saudi ( El-Naggar dan AlAmoudi 1989). Studi lain (Al-Homaidan 2007) menggunakan ganggang hijau Chaetomorpha aerea, Enteromorpha clathrata dan Ulva lactuca untuk mengukur tingkat pencemaran logam besi (Fe), nikel (Ni), tembaga (Cu) seng (Zn), kadmium (Cd) dan timbal (Pb) pada tiga lokasi di pantai Teluk Arab. Studi lain mengukur tingkat kandungan Nikel (Ni) dari 12 spesies ganggang hijau, coklat dan merah yang dikoleksi dari pantai Teluk Arab di Dammam (Al-Homaidan 2008). Indonesia sebagai negara yang mempunyai wilayah perairan yang luas, memiliki kekayaan hayati yang berlimpah termasuk ganggang mikro. Ekplorasi dan ekploitasi ganggang mikro menjadi sesuatu yang menarik dan menjanjikan. Dalam berbagai penelitian ganggang mikro mempunyai potensi sebagai bahan bakar nabati (BBN) baik sebagai bioetanol maupun biodiesel. Selain itu ganggang mikro ternyata berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai agen bioremediasi dan bioindikator. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan beberapa ganggang mikro perairan air tawar sebagai bioindikator pencemaran logam berat (Hg, Cd, As dan Pb) dan pestisida. Diharapkan hasil yang diperoleh dapat menjadi sumbangsih pengembangan pemanfaatan ganggang mikro sebagai bioindikator untuk lingkungan perairan. 1.2
Rumusan Masalah Perkembangan industri yang demikian pesat dewasa ini selain memberikan
dampak positif juga memberikan dampak negatif dan hampir seluruh bahan kimia yang mencemari lingkungan adalah hasil dari aktivitas manusia. Dampak positif kegiatan berupa perluasan lapangan pekerjaan dan pemenuhan kebutuhan hidup manusia, sedangkan dampak negatif yang muncul adalah penurunan kualitas lingkungan akibat buangan limbah (pencemaran) yang melampaui ambang batas, serta dapat menurunkan kesehatan masyarakat dikarenakan pergeseran keseimbangan tatanan lingkungan dari bentuk asal ke bentuk baru yang cenderung menimbulkan pencemaran lingkungan.
Berkaitan dengan pencemaran terhadap wilayah perairan, limbah yang dihasilkan dari industri sangat bervariasi tergantung dari jenis dan ukuran industri, pengawasan pada proses industri, derajat penggunaan air, dan derajat pengolahan air limbah yang ada. Menurut Palar (1994), pada limbah industri seringkali terdapat bahan pencemar yang sangat membahayakan seperti logam berat. Dampak negatif dari terpapar logam berat bisa berupa: terganggunya proses fisiologis, kecacatan, hingga menyebabkan kematian (Luoma dan Carter 1991). Dalam perspektif yang lebih luas, adanya kematian dari biota tersebut dapat secara langsung berpengaruh pada menurunnya keanekaragaman biota dan integritas biologi perairan. Sensitifitas dari masing-masing organisme dalam merespon bahan polutan toksik mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai indikator biologi perairan guna mendeteksi adanya stress yang ditimbulkan oleh kontaminasi logam dan polutan lainnya (Meregalli et al. 2004). Logam berat yang masuk ke dalam perairan akan mencemari laut. Selain mencemari air, logam berat juga akan mengendap di dasar perairan yang mempunyai waktu tinggal (residence time) sampai ribuan tahun dan logam berat akan terkonsentrasi ke dalam tubuh makhluk hidup dengan proses bioakumulasi dan biomagnifikasi melalui beberapa jalan yaitu: melalui saluran pernapasan, saluran makanan dan kulit (Darmono 2001). Selain logam berat, residu pestisida salah satu polutan yang cukup signifikan dalam menyumbangkan dampak negatif bagi lingkungan. Pestisida merupakan racun yang dibuat oleh manusia untuk membunuh organisme pengganggu tanaman, termasuk serangga (Soemirat 2003). Penggunaan pestisida di Indonesia cukup tinggi mengingat Indonesia adalah negara agraris yang mengandalkan sektor pertanian. Penggunaan pestisida bermanfaat untuk meningkatkan produksi pertanian dengan melindungi tanaman dan hasil tanaman, ternak maupun ikan, dari kerugian yang ditimbulkan oleh berbagai jasad pengganggu. Dengan menggunakan pestisida, petani yakin dapat terhindar dari kerugian akibat serangan jasad pengganggu tanaman yang terdiri dari kelompok hama, penyakit maupun gulma (Girsang 2009). Secara umum peningkatan konsentrasi logam berat dan pestisida tersebut berkaitan dengan adanya perkembangan industri, pertanian dan pemukiman yang berakibat pada peningkatan aktivitas antropogenik. Penilaian kualitas lingkungan ataupun pencemaran lingkungan dengan hanya mengukur baik kandungan logam berat maupun pestisida di lingkungan kurang menggambarkan kondisi yang sesungguhnya terjadi di organisme penerima. Berkaitan dengan hal tersebut maka perlu dikembangkan
metode penilaian kualitas lingkungan lainnya dengan menggunakan organisme sebagai bioindikator. Ganggang mikro sangat potensial untuk dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator dalam menilai kualitas lingkungan. Berkaitan dengan hal tersebut permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : a. Seberapa tinggi tingkat kepekaan ganggang mikro terhadap berbagai jenis logam berat dan pestisida? b. Seberapa besar kemampuan berbagai jenis ganggang mikro air tawar dalam menyerap pencemar / polutan logam berat (Hg, Pb, As dan Cd) dan pestisida? 1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini dilakukan dengan tujuan
untuk : a. Mengukur kepekaan ganggang mikro terhadap logam berat dan pestisida pada lingkungan perairan yang tercemar. b. Mengetahui kemampuan beberapa ganggang mikro perairan tawar sebagai bioindikator yang dapat dimanfaatkan dalam monitoring dan evaluasi kondisi lingkungan perairan. 1.4
Kerangka Pemikiran Pencemaran air permukaan telah menjadi permasalah utama bagi lingkungan,
pencemaran tersebut telah merusak ekosistem perairan. Masuknya bahan organik dan anorganik kedalam ekosistem (sungai, danau, situ dan laut serta air tanah) mengakibatkan penurunan kualitas perairan / badan air yang akan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan manusia serta mahluk hidup lainnya. Berbagai upaya dilakukan untuk menurunkan tingkat pencemaran perairan, mulai dari pemantauan kualitas air hingga pengolahan limbah cair yang berasal dari kegiatan industri, pertanian, pertambangan serta aktivitas domestik. Upaya pemantauan tingkat pencemaran perairan didasarkan penentuan bahan / senyawa pencemar yang masuk, antara lain ; bahan organik, logam-logam berat, pestisida serta senyawa lainnya. Kualitas air dipantau dengan melihat sifat-sifat fisika dan kimia serta material biologi. Pemantauan parameter fisika dan kimia pada dasarnya hanya menggambarkan kondisi lingkungan secara kuantitatif dan bersifat parsial dan tidak menggambarkan kondisi kualitas lingkungan secara menyeluruh. Di sisi lain parameter fisika dan kimia
membutuhkan suatu perlakuan dan instrument khusus untuk dilakukan analisis. Hal lain yang tidak menguntungkan bagi lingkungan karena parameter fisika / kimia hanya dapat dipantau dan diidentifikasi setelah terjadi pencemaran. Berdasarkan lama waktu yang dibutuhkan dalam menganalisis parameter kimia/fisika, sangat bervariasi. Parameter biologi merupakan alternatif dalam pemantauan pencemaran perairan, dengan mengamati keberadaan biota / organisme yang berada di lingkungan tersebut, dapat diperkirakan apakah lingkungan tersebut telah mengalami
kerusakan/
pencemaran. Misalnya dengan memperhatikan pertumbuhan beberapa spesies tanaman air serta mikroba E. coli. Keberadaan spesies tersebut dapat memberikan indikasi bahwa perairan tersebut tidak dapat digunakan untuk keperluan masak atau sebagai sumber air minum. Ganggang mikro merupakan mikroorganisme berukuran renik yang dapat menyebabkan pencemaran perairan (kasus blomming) yang menyebabkan kematian ikan serta beberapa biota akuatik lainnya. Di sisi lainnya, ganggang mikro peka terhadap berbagai agen pencemar perairan. Semakin tinggi konsentrasi beberapa pencemar tertentu maka pertumbuhan ganggang mikro tertekan dan populasi menurun. Dengan demikian ganggang mikro dapat juga digunakan sebagai bioindikator kualitas lingkungan. Ganggang mikro merupakan kelompok tumbuhan berukuran renik, baik sel tunggal maupun koloni yang hidup di seluruh wilayah perairan air tawar dan laut. Ganggang mikro lazim disebut fitoplankton. Sistem reproduksi utama ganggang mikro secara vegetatif (asexual), walaupun beberapa spesies bereproduksi secara seksual. Seperti halnya tumbuhan tingkat tinggi, ganggang mikro mempunyai kemampuan melakukan fotosintesa dengan bantuan cahaya matahari merubah karbondioksida menjadi hidrokarbon dan melepaskan oksigen dalam air dan merupakan dasar mata rantai pada siklus makanan di perairan baik laut maupun tawar dimana fitoplankton merupakan pakan alami bagi zooplankton dan ikan – ikan kecil. Ganggang mikro digunakan sebagai bioindikator karena keberadaannya yang cukup tersebar pada berbagai perairan (perairan tawar maupun laut), serta pertumbuhannya yang relatif cepat dan tingkat kepekaan terhadap perubahan lingkungan yang sensitif terhadap masuknya berbagai polutan di perairan. Pemilihan atau penentuan jenis ganggang mikro yang akan digunakan sebagai bioindikator penting dilakukan, karena ganggang mikro tersebut harus sesuai dengan tujuan maupun target akhir yaitu mampu sebagai bioindikator logam berat (Hg, Cd, As dan Pb) dan pestisida (insektisida dan herbisida) di perairan dengan beberapa pertimbangan bahwa ganggang
mikro yang terpilih memiliki kriteria-kriteria sebagai berikut: (1) laju pertumbuhan yang cukup tinggi, (2) kepekaannya yang tinggi terhadap logam berat (Hg, Cd, As dan Pb) dan pestisida. Penelitian ini dilakukan sebagai tindak lanjut pemanfaatan ganggang mikro air tawar sebagai salah satu indikator ekosistem lingkungan perairan akibat masuknya berbagai bahan pencemar, sebagai dampak pesatnya pertumbuhan ekonomi dan industri yang menimbulkan efek samping seperti pembuangan logam berat sebagai sisa proses kimia dari industri, limbah rumah tangga dan pemakaian pestisida dari pertanian ke lingkungan. Berdasarkan data dari United State Environmetal Agency (EPA 1973), logam berat yang merupakan polutan perairan yang berbahaya diantaranya adalah antimon (Sb), arsenik (As), berilium (Be), kadmium (Cd), kromium (Cr), tembaga (Cu), timbal (Pb), merkuri (Hg), nikel (Ni), selenium (Se), kobalt (Co), dan seng (Zn). Logam berat ini berbahaya karena tidak dapat didegradasi oleh tubuh, memiliki sifat toksisitas (racun) pada mahluk hidup walaupun pada konsentrasi yang rendah, dan dapat terakumulasi dalam jangka waktu tertentu. Diharapkan dengan menggali potensi ganggang mikro yang banyak terdapat di berbagai lingkungan perairan, akan memperkaya pengetahuan serta menggali potensi ganggang mikro selain sebagai sumber pakan bagi rantai makanan dan sumber energi alternatif dan terbarukan. Gambar 1. merupakan kerangka pemikiran dari penelitian sensitivitas berbagai ganggang mikro perairan air tawar terhadap beberapa pencemar logam berat dan pestisida.
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian 1.5
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain sebagai
berikut : 1. Memberikan sumbangan pengetahuan tentang kepekaan beberapa ganggang mikro terhadap logam berat tertentu ( Hg, As, Cd dan Pb) serta beberapa pestisida. 2. Memberikan kontribusi ilmu pengetahuan tentang jenis ganggang mikro yang memiliki kemampuan menyerap logam berat dan pestisida pada perairan yang tercemar.
1.6
Novelty (Kebaruan) Dalam penelitian ini diperoleh sumbangan kebaruan ilmu pengetahuan (novelty)
yaitu : 1. Ditemukannya strain ganggang mikro indigeneous sebagai bioindikator terhadap polutan logam berat dan pestisida yang masuk ke lingkungan perairan. 2. Pemanfaatan bioindikator ganggang mikro dalam memantau tingkat pencemaran perairan secara cepat, akurat dan ekonomis.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Ganggang Mikro.
Ganggang mikro merupakan kelompok tumbuhan berukuran renik, baik sel tunggal maupun koloni yang hidup di seluruh wilayah perairan air tawar dan laut. Ganggang mikro lazim disebut fitoplankton. Sistem reproduksi utama ganggang mikro secara vegetatif (asexual), walaupun beberapa spesies bereproduksi secara seksual. Seperti halnya tumbuhan tingkat tinggi, ganggang mikro mempunyai kemampuan melakukan fotosintesis dengan bantuan cahaya matahari merubah karbondioksida menjadi hidrokarbon dan melepaskan oksigen dalam air. Gangang mikro merupakan dasar mata rantai pada siklus makanan di perairan baik laut maupun tawar karena merupakan pakan alami bagi zooplankton dan ikan - ikan kecil. nCO2
+ nH2O Cn (H2O)n
+ nO2
Sumber karbon utama ganggang mikro ialah karbondioksida. Sumber karbon tersebut diperoleh dari udara bebas yang dapat berupa hasil respirasi mahluk hidup ataupun dari penggunaan bahan bakar fosil. Ganggang mikro mengandung minyak, karbohidrat dan senyawa bioaktif lainnya yang digunakan untuk produk-produk komersil. Hingga saat ini perhatian khusus ditujukan untuk mengembangkan ganggang mikro sebagai penghasil bahan bakar nabati. Ganggang mikro juga memiliki beberapa potensi yang menguntungkan bagi lingkungan, seperti mitigasi gas rumah kaca dengan fiksasi gas CO2 di atmosfir (fotosintesis gas CO2 menjadi sumber energi), agen bioremediasi limbah cair dengan menyerap nitrogen, fosfor dan logam berat. Selain itu, ganggang mikro juga dapat digunakan sebagai indikator kesuburan suatu perairan dimana semakin tinggi bahan organik di suatu perairan, maka pertumbuhan ganggang mikro juga semakin tinggi. Namun ganggang mikro tertentu dapat juga berperan menurunkan kualitas perairan apabila jumlahnya berlebihan. Sebagai contoh, kelas Dinoflgellata bagian tubuhnya memiliki chromatophora yang menghasilkan toksin (racun) yang apabila dalam keadaan
blooming dapat mengganggu aktivitas
metabolisme ikan dan biota perairan lainnya yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian pada ikan dan biota perairan tersebut. Dalam pengolahan limbah logam berat, fitoplankton juga dapat digunakan untuk mengikat logam berat dari badan air dan mengendapkannya pada dasar kolam sehingga logam berat dalam air menjadi berkurang.
2.2
Morfologi dan Klasifikasi Ganggang Mikro.
Ganggang mikro adalah mikroorganisme fotosintetik dengan morfologi sel yang bervariasi, baik uniselular maupun multiselular (membentuk koloni kecil). Sebagian besar ganggang mikro tumbuh secara fototrofik, meskipun tidak sedikit jenis yang mampu tumbuh secara heterotrofik. Ganggang mikro merupakan kelompok organisme yang sangat beragam dengan mampu menghasilkan senyawa kimia yang besar dan masih banyak yang belum diketahui. Produk yang dihasilkan antara lain karoten, fikobilin, asam lemak, polisakarida, vitamin, sterol, enzim dan senyawa bioaktif lainnya. Ganggang mikro umumnya bersel satu atau berbentuk benang, sebagai tumbuhan dan dikenal sebagai fitoplankton. Fitoplankton memiliki zat hijau daun (klorofil) yang berperan dalam fotosintesis untuk menghasilkan bahan organik dan oksigen dalam air. Sebagai dasar mata rantai pada siklus makanan di laut, fitoplankton menjadi makanan alami bagi zooplankton baik masih kecil maupun yang dewasa. Selain itu ganggang mikro juga dapat digunakan sebagai indikator kesuburan suatu perairan. Ganggang mikro merupakan kelompok tumbuhan berukuran renik dengan diameternya antara 3-30 μm, baik sel tunggal maupun koloni yang hidup di seluruh wilayah perairan tawar maupun laut. Organisme ini mengandung pigmen hijau (klorofil) serta pigmenpigmen lain seperti: pigmen coklat (fikosantin), biru kehijauan (fikobilin), dan merah (fikoeritrin) untuk melangsungkan proses fotosintesis. Morfologi ganggang mikro berbentuk uniseluler atau multiseluler tetapi belum ada pembagian tugas yang jelas pada sel-sel komponennya. Hal itulah yang membedakan ganggang mikro dari tumbuhan tingkat tinggi (Romimohtarto 2004). Menurut Barianti dan Gualtieri (2006), ganggang mikro merupakan tanaman yang paling efisien dalam menangkap dan memanfaatkan energi matahari dan CO2 untuk keperluan fotosintesis. Fotosintesis didefinisikan sebagai suatu proses di mana terjadi sintesa karbohidrat tertentu dari karbon dioksida dan air yang dilakukan oleh sel-sel yang berklorofil dengan bantuan cahaya matahari. Ganggang mikro termasuk tumbuhan talus (Thallophyta). Secara umum ada beberapa divisi ganggang yang diklasifikasi berdasarkan pigmennya, yaitu: Divisi Chlorophyta, Chrysophyta, Rhodophyta, Cyanophyta, Euglenophyta dan Phaeophyta. 2.2.1
Divisi Chlorophyta. Klas
: Chlorophyceae
Ordo
: Volvocales, Tetrasporales, Chlorococcales, Chlorosarcinales, Ulotrichales, Sphaeropleales, Chaetophorales, Trentepohliales, Oedogoniales, Ulvales, Cladophorales, Acrosiphoniales, Caulerpales, Siphonocladales, Dasycladales, dan Zygnematales
Chlorophyta berukuran antara 3-30 μm, memiliki alat gerak (flagela) dan motil kecuali selama fase reproduksi. Pada reproduksi aseksual, individu yang berenang bebas menjadi nonmotil karena flagela menghilang. Dalam beberapa kasus, sel-sel anak tidak membentuk flagela melainkan sel-sel terus saja memperbanyak diri. Masa sel yang terbentuk dinamakan stadia palmeloid. Stadia ini terdapat pada banyak ganggang sebagai fase perkembangan predominan (Pelczar dan Chan 1986). Setiap sel mempunyai satu nukleus dan satu kloroplas besar yang berbentuk mangkuk. Spesies Chlorophyta yang bersel tunggal ada yang dapat berpindah tempat, tetapi ada pula yang menetap. Chlorophyta merupakan golongan terbesar dari ganggang dan merupakan kelompok ganggang yang paling beragam, karena ada yang bersel tunggal, berkoloni, dan bersel banyak. Ganggang ini banyak terdapat di danau, kolam, laut dan kebanyakan hidup di air tawar (Bold dan Wynne 1985). Chlorophyta atau yang lebih umum disebut ganggang hijau pada selnya mempunyai kloroplas yang berwarna hijau dan mengandung selulosa, mengandung klorofil a dan b serta karotenoid. Chlorophyta pada kloroplasnya terdapat butiran padat yang disebut pirenoid yang berfungsi untuk pembentukan tepung dan minyak. Perkembangbiakannya secara aseksual dan seksual. Secara seksual dengan anisogami dan secara aseksual dengan zoospora dengan 3-4 flagela dan mempunyai 2 vakuola kontraktil yang berguna untuk memaksa kelebihan air keluar dari selnya. Suatu bintik mata merah (stigma) yang merupakan situs persepsi cahaya dan mengendalikan respon fototaktik (gerak menuju cahaya) ganggang ini (Tjitrosoepomo 2005). 2.2.2
Divisi Chrysophyta.
Klas
: Chrysophyceae dan Bacillariophyceae
Ordo
: Ochromonadales, Chrysamoebidales, Chrysocapsales, Chrysosphaerales, Phaeothamniales, Sarcinochrysidales, Pedinellales, Dictyochales. Sebagian besar Chrysophyta memiliki flagela, tetapi beberapa diantaranya
ameboid oleh adanya perluasan pseudopodial protoplasmanya. Bentuk ameboid yang bugil ini dapat mengambil makanan berbentuk partikel dengan bantuan pseudopodia. Divisi Chlorophyta juga tercakup kokoid dan bentuk filamen yang nonmotil. Kebanyakan ganggang yang termasuk ke dalam divisi ini adalah uniseluler, tetapi
beberapa membentuk koloni. Ganggang ini memiliki warna khas krisofit yang disebabkan karena klorofilnya tertutup pigmen-pigmen berwarna coklat. Reproduksi Chlorophyta pada umumnya dengan cara pembelahan biner tetapi dapat juga secara seksual dengan isogami (Pelczar dan Chan 1986). Diatom adalah ganggang pada klas Bacillariophyceae yang bersifat uniseluler, diatom memiliki ukuran bervariasi antara 5 μm hingga 5 mm, beberapa diatom merupakan koloni dengan bentuk yang bermacam-macam. Sel diatom mempunyai inti dan kromatofora yang berwarna kuning coklat, dalam kromatofora terkandung beberapa macam zat warna, klorofil a, karoten, santofil dan fikosantin dan ada yang tidak memiliki zat warna. Diatom memproduksi vitamin A dan D. Kerangka diatom tersusun atas molekul SiO2. Organisme diatom semasa hidupnya aktif melakukan metabolisme silikon. Unsur Si bersifat esensial bagi pertumbuhan dan perkembangan mahluk hidup. Pada makhluk hidup, kandungan silikon di kulit, tulang dan jaringan pengikat mencapai (0.01-0.04)% (Angka dan Suhartono 2000). Diatom adalah autotrof, hanya yang tidak mempunyai zat warna yang bersifat heterotrof dan hidup sebagai saprofit. Diatom berkembang biak dengan tiga cara yaitu dengan vegetatif melalui pembelahan sel, vegetatif melalui auksospora (zigot) dan secara generatif melalui oogami. Diatom mendominasi fitoplakton dalam lautan serta perairan air tawar. Lapisan-lapisan tanah yang banyak mengandung sisa-sisa diatom dinamakan tanah diatom (terra silicea). Diatom memiliki anggota sekitar 100.000 spesies diseluruh dunia. Sel-sel diatom menyimpan karbon dalam berbagai bentuk. Diatom menyimpan karbon dalam bentuk minyak alamiah atau sebagai polimer karbohidrat yang dikenal sebagai chrysolaminarin. Beberapa spesies lain kaya akan minyak (Tjitrosoepomo 2005). 2.2.3
Divisi Rhodophyta.
Klas
: Bangiophycidae
Ordo : Porphyridiales, Compsopogonales, dan Bangiales. Rhodophyta berwarna merah sampai ungu. Kromatofora berbentuk cakram atau suatu lembaran, mengandung klorofil a dan karotenoid, tetapi warna ini tertutup oleh zat warna merah yang berfluoresen, yaitu fikoeritrin dan pada jenis-jenis tertentu terdapat fikosianin. Ganggang ini bersifat uniseluler, berfilamen dan ada yang membentuk struktur daun. Material utama pada ganggang merah adalah suatu polisakarida yang dinamakan tepung florida yang merupakan hasil polimerisasi dari glukosa, berbentuk bulat, tidak larut dalam air, dan seringkali berlapis-lapis. Tepung ini
tidak terdapat pada kromatofora tetapi pada permukaannya. Selain tepung florida terdapat juga floridosida yaitu persenyawaan gliserin dan galaktosa serta minyak. Dinding sel dari ganggang merah ini juga terdiri atas dua lapis, di dalam terdiri atas selulosa dan dinding luar terdiri atas pektin yang berlendir. Habitat hidup ganggang merah adalah laut atau ekosistem payau (Atlas dan Bartha 1981). 2.2.4
Divisi Cyanophyta.
Klas
: Cyanophyceae
Ordo : Chroococcales, Chamaesiphonales, dan Oscillatoriales Cyanophyta bersel tunggal atau berbentuk benang dengan struktur tubuh yang masih sederhana. Bersifat autotrof dimana kromatofora dan inti tidak ditemukan. Dinding sel mengandung pektin, hemiselulosa dan selulosa yang kadang-kadang berupa lendir, di tengah-tengah sel terdapat bagian yang tidak berwarna yang mengandung asam deoksiribonukleat dan asam ribonukleat. Sel-sel yang telah tua tampak vakuola. Ganggang ini tidak memiliki flagela sebagai alat geraknya. Umumnya gerakan ganggang ini karena adanya kontraksi tubuh dan dibantu dengan pembentukan lendir. Setelah pembelahan sel-sel tetap bergandengan dengan perantara lendir tadi, dan dengan demikian terbentuk kelompok kelompok atau koloni. Sebagai zat makanan ditemukan glikogen dan butirbutir sianofisin (Tjitrosoepomo 1994). Hingga saat ini diperkirakan terdapat 2000 spesies Cyanophyta yang dapat ditemukan di berbagai habitat yang mengandung air, maupun di dalam tanah serta di bebatuan. Secara umum Cyanophyta lebih mendominasi pada habitat dengan keasaman netral atau sedikit alkali. Ganggang ini hidup sebagai plakton dan bentos (Bold dan Wynne 1985). 2.2.5 Divisi Euglenophyta. Klas
:Euglenophyceae
Ordo :Eutreptiales, Euglenales, dan Heteronematales Euglena merupakan bagian dari Chlorophyta karena adanya klorofil a dan b dalam kloroplas, ganggang ini bersifat uniselular dan bergerak secara aktif dengan flagela. Sel euglena tidak kaku dan tidak memiliki dinding sel yang berisikan selulosa. Membran luar lentur dan dapat digerakkan. Beberapa spesies tertentu memiliki bintik mata merah yang jelas, vakuola kontaktil dan fibril juga dijumpai dalam sel. Fotosintesis dilakukan di dalam kloroplas dan bersifat autotrofik fakultatif. Euglena tersebar luas di tanah maupun dalam air (Pelczar dan Chan 1986).
2.2.6
Divisi Phaeophyta.
Klas
: Phaeophyceae
Ordo
: Ectocarpales, Chordariales, Sporochnales, Desmarestiales, Cutleriales, Sphacelariales, Tilopteridales, Dictyotales, Dictyosiphonales, Scytosiphonales, Laminariales, Fucales, dan Durvillaeales.
Phaeophyta dalam kromatoforanya terkandung fikosantin. Sebagai hasil asimilasi dan sebagai zat makanan cadangannnya tidak pernah ditemukan zat tepung, tetapi sampai 50% dari berat keringnya terdiri atas minyak dan laminarin yaitu sejenis karbohidrat yang lebih dekat dengan selulosa dari pada tepung. Dinding selnya terdiri atas selulosa di bagian dalam dan bagian luar pektin. Sel-selnya hanya memiliki satu inti. Kebanyakan jenis ganggang ini hidup dalam air laut, sebagian lainnya di air tawar (Tjitrosoepomo 1994). 2.3
Komposisi Kimia Sel Ganggang Mikro.
Komposisi kimia sel semua jenis ganggang umumnya terdiri dari protein, karbohidrat, lemak (fatty acids) atau lipid
dan asam nukleat. Perbedaan komposisi lipid pada
ganggang seringkali memperlihatkan sebagai hasil dari variasi pada lingkungan atau kondisi media biakan. Komposisi kimia ganggang dalam persen bobot kering disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia ganggang dalam persen bobot kering Ganggang Scenedesmus obliquus Scenedesmus quadricauda Scenedesmus dimorphus Chlamydomonas rheinhardii Chlorella vulgaris Chlorella pyrenoidosa Spirogyra sp. Dunaliella bioculata Dunaliella salina Euglena gracilis Prymnesium parvum Tetraselmis maculata Porphyridium cruentum Spirulina platensis Spirulina maxima Synechoccus sp. Anabaena cylindrical
Protein 50-56 47 8-18 48 51-58 57 6-20 49 57 39-61 28-45 52 28-39 46-63 60-71 63 43-56
Komposisi Kimia (% bobot kering) Karbohidrat Lemak Asam nukleat 10-17 12-14 3-6 1.9 21-52 16-40 17 21 12-17 14-22 4-5 26 2 33-64 11-21 4 8 32 6 14-18 14-20 25-33 22-38 1-2 15 3 40-57 9-14 8-14 4–9 2-5 13-16 6-7 3-4.5 15 11 5 25-30 4-7 -
Sumber : Becker (1994)
Lemak merupakan unsur terbanyak ketiga yang terdapat di dalam organisme hidup. Lemak terdapat pada sel-sel organ vegetatif tumbuhan di dalam protoplasma. Lemak
adalah salah satu bentuk lipid yang merupakan bentuk simpanan dari karbon, hidrogen dan oksigen. Angka dan Suhartono (2000), menemukan bahwa pada ganggang hijau biru Spirulina kaya akan asam lemak tak jenuh. Salah satu jenis yang utama adalah asam linolenat yang mencapai 20% dari total lipid. Jenis gula yang menyusun karbohidrat Spirulina termasuk ramnosa (19%), glukan (1.5%), silitol berfosfat (2.5%), glukosamin dan asam muramat (2%), glikogen (0.5%), serta asam sialat (0.5%). Bold dan Wynne (1985), menambahkan bahwa 1.7% dari berat dinding sel Pleurotaenium adalah lipid, 0.32% adalah nitrogen dan selebihnya adalah glukosa, galaktosa, xylosa dan arabinosa. Ganggang adalah tumbuhan yang dapat berfotosintesis. Gula merupakan karbohidrat paling sederhana yang dihasilkan dari fotosintesis. Pertumbuhan ganggang mikro sendiri terdiri dari tiga fase utama, yaitu fase lag, eksponensial dan stasioner. Budidaya ganggang mikro memiliki berbagai keuntungan diantaranya adalah siklus hidup yang pendek, beberapa spesies hanya membutuhkan waktu beberapa jam untuk menyelesaikan siklusnya, seluruh organ dapat dipanen dan dimanfaatkan, diperbanyak sesuai target, serta biaya pemeliharaan yang rendah (Poelman et al. 1997). 2.4
Pendekatan Identifikasi Ganggang Mikro
Pendekatan identifikasi ganggang mikro dilakukan dengan mengacu pada Bold dan Wynne (1985). Identifikasi ganggang mikro yang utama didasarkan pada karakteristik morfologi serta sifat-sifat selular seperti: sifat pigmen fotosintetik; struktur sel dan flagela yang dibentuk oleh sel-sel yang bergerak, serta lipid sebagai bahan cadangan organik yang dihasilkan sel. 2.4.1
Karakteristik Morfologi.
Banyak spesies ganggang terdapat sebagai sel tunggal yang dapat berbentuk bola, batang, gada atau kumparan. Ganggang memiliki ukuran sangat beragam. Ganggang ada yang memiliki flagela ada yang tidak. Bersifat uniseluler tetapi spesies tertentu membentuk
koloni-koloni
multiseluler.
Beberapa
koloni
merupakan
agregasi
(kumpulan) sel-sel tunggal identik yang saling melekat setelah pembelahan. Ganggang sebagaimana protista eukariotik yang lain, mengandung nukleus yang membatasi membran yang mengandung pati, tetesan minyak dan vakuola. Setiap sel mengandung satu atau lebih kloroplas, yang dapat berbentuk pita, di dalam matriks kloroplas terdapat gelembung-gelembung pipih bermembran yang dinamakan tilakoid. Membran tilakoid
berisikan klorofil dan pigmen-pigmen pelengkap yang merupakan situs reaksi cahaya fotosintesis. 2.4.2
Sistem pigmen.
Pigmen terdapat dalam kloroplas. Kloroplas di dalam sel letaknya mengikuti bentuk dinding sel (parietal). Kloroplas kerap berisi masa protein cadangan, yang disebut pirenoid. Tubuh ganggang terdapat zat warna (pigmen), yaitu: - Fikosianin
: warna biru
- Klorofil
: warna hijau
- Fikosantin
: warna coklat
- Fikoeritrin
: warna merah
- Karoten
: warna keemasan
- Xantofil
: warna kuning
2.4.3
Sifat Bahan Cadangan.
Cadangan makanan ganggang umumnya merupakan amilum yang tersusun sebagai rantai glukosa tidak bercabang yaitu amilosa dan rantai yang bercabang amilopektin. Seringkali amilum tersebut terbentuk dalam granula bersama dengan badan protein dalam plastida disebut pirenoid. Pirenoid umumnya diliputi oleh butiran-butiran pati, pirenoid ini berasal dari hasil asimilasi berupa tepung dan lemak (lipid) tetapi beberapa jenis tidak mempunyai pirenoid. 2.4.4
Struktur Sel dan Flagela.
Struktur tubuh ganggang sangat bervariasi. Beberapa spesies yang bersel tunggal dapat bergerak atas kekuatan sendiri (motil), sedangkan sebagian lagi non motil. Koloni ganggang dapat berupa benang-benang (filamen). Koloni yang tidak membentuk filamen biasanya merupakan kumpulan sel berbentuk bundar atau pipih tanpa alat lekat (holdfast). Dua tipe pergerakan fototaksis pada gangang yaitu: a. Pergerakan dengan flagela. Pada umumnya sel ganggang dijumpai adanya flagela. Flagela dihubungkan dengan struktur yang sangat luas disebut aparatus neuromotor, merupakan granula pada pangkal dari tiap flagela disebut blepharoplas. Flagela tersebut dikelilingi oleh selubung plasma. b. Pergerakan dengan sekresi lendir.
Beberapa divisi ganggang juga terdiri dari anggota bersel satu yang tidak mempunyai flagela atau tidak mempunyai alat gerak yang lain. Mekanisme daya penggerak disebabkan adanya stimulus cahaya yang diduga oleh adanya sekresi lendir melalui porus dinding sel pada bagian apikal dari sel. Daya penggerak lain oleh modifikasi khusus gerak ameboid. Gerakan ditimbulkan oleh arus sitoplasmik yang terarah di dalam kanal rafe, yang mendorong sel diatas substrat (Stanier et al. 1982). Berdasarkan uraian diatas maka divisi taksonomi ganggang utama berdasarkan sifatsifat seluler disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Divisi taksonomi ganggang utama berdasarkan sifat-sifat seluler Nama Umum (Divisi) Ganggang Hijgg Ganggang Hijau (Chlorophyta) ( Ganggang Keemasan dan Diatom (Chrysophyta) Ganggang Merah (Rhodophyta) Ganggang Hijau Biru (Cyanophyta) Euglenoid (Euglenophyta) Ganggang Coklat (Phaeophyta)
Sistem pigmen
Sifat Bahan Cadangan
Struktur Sel dan Flagela
Klorofil; karoten; xantofil
Pati, minyak
Kebanyakan non motil (kecuali satu ordo), tetapi beberapa sel reproduktif dapat berflagela
Karoten
Karbohidrat seperti pati; minyak
Fikoeritrin; karoten dan xantofil Fikosianin; fikoeritrin Klorofil; karoten; xantofil
Pati floridean (seperti glikogen)
Flagela: 1 atau 2 sama atau tidak sama; pada beberapa permukaannya tertutup oleh sisiksisik khas Nonmotil; agar dan keragen dalam dinding sel
Fikosantin
Laminarin dan lipid
Glikogen dan minyak Karbohidrat seperti pati; minyak
Nonmotil; selulosa dan pektin dalam dinding sel Flagela: 1, 2, atau 3 yang sama, agak apikal ; ada kerongkongan ; tidak ada dinding sel tetapi mempunyai pelikel elastik Flagela: 2 lateral, tak sama; asam alginat dalam dinding sel.
Sumber : Pelczar dan Chan (1986)
2.5
Fisiologis Ganggang Mikro. Secara umum komunitas ganggang baik di perairan maupun darat dipengaruhi
oleh kondisi lingkungan yang ada seperti intensitas cahaya, suhu, salinitas, pH, konsentrasi zat hara organik dan anorganik. 2.5.1
Intensitas Cahaya dan Suhu. Ganggang adalah organisme fotoautotropik atau fototropik. Cahaya menjadi
faktor pembatas fotosintesis pada intensitas yang rendah. Pada keadaan ini laju dari keseluruhan fotosintesis ditentukan oleh laju suplai energi cahaya. Laju difusi CO2 ke
dalam sel juga dapat mengontrol laju fotosintesis secara keseluruhan. Keadaan jenuh cahaya kemungkinan dicapai karena CO2 menjadi faktor pembatas. Jika intensitas cahaya atau konsentrasi CO2 menjadi faktor pembatas fotosintesis, maka suhu akan sangat kecil pengaruhnya. Laju fotosintesis baru bersifat tanggap terhadap suhu pada keadaan dimana cahaya bukan merupakan faktor pembatas. Nilai maksimum kecepatan proses fotosintesis terjadi pada kisaran suhu 25-400C (Reynolds 1990). Ganggang memiliki berbagai jenis pigmen dalam kloroplasnya, maka panjang gelombang cahaya yang diserapnya menjadi lebih bervariasi. Laju pertumbuhan Chaetoceros gracilis naik pada intensitas penyinaran 50010.000 klux. Skeletonema costatum banyak dipengaruhi oleh periode penyinaran dengan 10-12 jam gelap merupakan periode penyinaran yang optimum untuk pertumbuhannya. Sehingga dengan peningkatan intensitas sinar dari 500-12.000 klux dapat meningkatkan pertumbuhan jenis ganggang ini, akan tetapi akan menurun jika intensitas melebihi 12.000 klux. Intensitas sinar sebesar 4000-5000 klux merupakan kisaran intensitas sinar optimal untuk pembentukan auksospora diatom (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Menurut Borowitzka dan Borowitzka (1988), Dunaliella spp. memiliki toleransi yang tinggi terhadap suhu. Hal ini dimungkinkan oleh adanya dinding sel yang terdiri atas protein. Pada suhu diatas 400C Dunaliella tertiolecta mulai mengeluarkan gliserol pada komponen plasma membran sebagai bentuk penyesuaian terhadap perubahan lingkungan. Setiap jenis ganggang membutuhkan cahaya dan suhu tertentu untuk pertumbuhan maksimumnya. Welch (1980), menyatakan bahwa diatom akan mendominasi perairan pada saat intensitas cahaya tinggi dan suhu rendah. Chlorohyta melimpah pada kondisi intensitas cahaya tinggi dan suhu tinggi, sedangkan Cyanophyta akan mendominasi perairan apabila intensitas cahaya rendah dan suhu tinggi. 2.5.2
Salinitas dan pH. Salinitas dan pH merupakan parameter oseanografi yang penting. Salinitas
adalah salah satu faktor yang berpengaruh terhadap organisme air dalam mempertahankan tekanan osmotik dalam protoplasma dengan air sebagai lingkungan hidupnya. Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), ganggang Phaeodactylum sp. bertoleransi terhadap kadar garam 20-700/00 dan mengalami pertumbuhan optimal pada kisaran salinitas 350/00. Chaetoceros sp. memiliki toleransi terhadap kisaran salinitas sangat tinggi yaitu 6-500/00, dengan kisaran salinitas 17-250/00 sebagai salinitas optimum
untuk pertumbuhannya. Sedangkan pada Skletonema costatum salinitas yang optimal untuk pembentukan auksospora adalah 20-350/00. Menurut Takagi et al. (2005), penambahan 0,5 M NaCl selama kultivasi ganggang mikro laut Dunaliella memberikan peningkatan pertumbuhan dan kandungan lipid. Konsentrasi ion hidrogen (H+) dalam cairan sel dan protoplasma sangat penting bagi fisiologis ganggang. Ganggang umumnya hidup dengan baik pada pH netral ( pH 7). Colman dan Gehl (1983), menyatakan bahwa aktivitas fotosintesis akan turun menjadi maximum 33% ketika pH turun pada 5. Pertumbuhan ganggang laut jenis Chlorella sp. sangat baik pada kisaran pH 6- 8 dan kisaran salinitas 20-40ppt (Sutomo 1990). Perairan yang berkondisi asam dengan pH kurang dari 6 dapat menyebabkan ganggang tidak dapat hidup dengan baik. Perairan dengan nilai pH lebih kecil dari 4 merupakan perairan yang sangat asam dan dapat menyebabkan kematian organisme air, sedangkan pH lebih dari 9,5 merupakan perairan yang sangat basa dan dapat mengurangi produktivitas organisme air termasuk ganggang (Wardoyo 1982). Air yang bersifat basa dan netral menjadikan organisme yang hidup di dalamnya lebih produktif untuk tumbuh dan berkembang dibandingkan dengan air yang bersifat asam (Hickling 1971). 2.5.3
Unsur Hara. Unsur hara anorganik utama yang dibutuhkan ganggang mikro untuk tumbuh
dan berproduksi adalah N dan P. Gas nitrogen, nitrat, nitrit, ammonium, dan bentuk nitrogen organik adalah bentuk nitrogen dalam air (Boyd 1992). Gas nitrogen (N2) tidak dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik dan harus mengalami fiksasi terlebih dahulu menjadi amonia (NH3), amonium (NH4+) dan nitrat (NO3-). Namun beberapa jenis Cyanophyta dapat memanfaatkan gas N2 secara langsung dari udara (Effendi 2003). Unsur hara nitrogen yang dibutuhkan ganggang dalam pertumbuhannya adalah nitrogen dalam bentuk nitrat (NO3-) (Nybakken 1993). Ditambahkan oleh Mulyadi (1999), bahwa ketersediaan nitrat dalam media akan mempengaruhi kecepatan serap ammonium oleh ganggang Dunaliella tertiolecta. Pemanfaatan ammonium meningkat seiring dengan semakin berkurangnya kandungan nitrat dalam media hidupnya. Kecepatan serap ganggang hijau ini bervariasi antara 0,041 - 0,085 mg/l. Rata-rata nitrogen yang dibutuhkan oleh banyak ganggang adalah antara 5-10% dari berat kering atau 5-50 mM (Becker et al. 1994).
Fosfor (P) merupakan unsur esensial bagi pertumbuhan ganggang, sehingga menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan ganggang akuatik. Fosfor ditemukan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut (ortofosfat dan polifosfat) dan senyawa organik yang berupa partikulat di perairan. Ortofosfat merupakan produk ionisasi dari asam ortofosfat yang paling sederhana dan dapat dimanfaatkan secara langsung oleh ganggang (Boyd 1992). Ganggang tidak dapat memanfaatkan fosfor yang berikatan dengan ion besi dan kalsium pada kondisi aerob karena bersifat mengendap (Jeffries dan Mills 1996). Menurut Musa (1992), perairan dengan kandungan fosfat rendah 0,00 - 0,02ppm akan didominasi oleh diatom, pada 0,02 – 0,05ppm didominasi oleh Chlorophyta dan pada konsentrasi tinggi yaitu > 0,10ppm akan didominasi oleh Cyanophyta. Selain hara anorganik utama, hara lainnya juga dibutuhkan untuk pengkayaan sejumlah ganggang tertentu seperti Si, Zn, Mn, Mo, Na, Cl, Cu, Co, dan B. Unsur hara mikro berperan dalam sistem enzim, proses oksidasi dan reduksi dalam metabolisme ganggang mikro serta digunakan untuk
memproduksi klorofil (Garcia dan Garcia 1985). Walaupun
unsur hara anorganik dan organik hanya dibutuhkan dalam jumlah kecil tetapi harus dipenuhi untuk melengkapi daur hidup ganggang (Nybakken 1993). 2.6
Logam Berat. Logam berasal dari kerak bumi berupa bahan-bahan murni organik dan
anorganik. Secara alami siklus perputaran logam adalah dari kerak bumi ke lapisan tanah, ke mahluk hidup, ke dalam air, selanjutnya mengendap dan akhirnya kembali ke kerak bumi (Darmono 1995). Istilah logam secara fisik mengandung arti suatu unsur yang merupakan konduktor listrik yang baik dan mempunyai konduktivitas panas, mempunyai rapatan, mudah ditempa, kekerasan dan keelektropositifan yang tinggi. Menurut Connell dan Miller (1995), logam berat adalah suatu logam dengan berat jenis lebih besar. Logam ini memiliki karakter seperti berkilau, lunak atau dapat ditempa, mempunyai daya hantar panas dan listrik yang tinggi dan bersifat kimiawi, yaitu sebagai dasar pembentukan reaksi dengan asam. Selain itu logam berat adalah unsur yang mempunyai densitas lebih besar dari 5 g/cm3, mempunyai nomor atom lebih besar dari 21 dan terdapat di bagian tengah daftar unsur-unsur periodik. Secara umum logam berat dikelompokkan sebagai logam dan metaloid dengan densitas lebih besar dari 5 g/cm3, terutama pada unsur seperti Cd, Cr, Cu, Hg, Ni, Pb dan Zn. Unsur-unsur ini biasanya erat kaitannya dengan masalah pencemaran dan toksisitas. Logam berat secara alami ditemukan pada batu-
batuan dan mineral lainnya, maka dari itu logam berat secara normal merupakan unsur dari tanah, sedimen, air dan organisme hidup serta akan menyebabkan pencemaran bila konsentrasinya telah melebihi batas normal. Jadi konsentrasi relatif logam dalam media adalah hal yang paling penting (Alloway dan Ayres 1993). 2.7
Pencemaran Logam Berat. Menurut keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup
No.02/MENKLH/I/1988 yang dimaksud dengan polusi atau pencemaran air dan udara adalah masuk dan dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air/udara dan atau berubahnya tatanan (komposisi) air/udara oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas air/udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air/udara menjadi kurang atau tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Bahan pencemar (polutan) adalah material atau energi yang dibuang ke lingkungan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan baik abiotik maupun biotik (Quano 1993). Berdasarkan sumber pencemaran dapat dibagi menjadi dua kelompok (Soegiharto 1976), yakni : a. Dari laut, misalnya tumpahan minyak baik dari sumbernya langsung maupun hasil pembuangan kegiatan pertambangan di laut, sampah dan air ballast dari kapal tanker. b. Kegiatan darat melalui udara dan terbawa oleh arus sungai yang akhirnya bermuara ke laut. Pencemaran logam berat terhadap lingkungan perairan terjadi karena adanya suatu proses yang erat hubungannya dengan penggunaan logam tersebut dalam kegiatan manusia, dan secara sengaja maupun tidak sengaja membuang berbagai jenis limbah beracun termasuk di dalamnya terkandung logam berat ke dalam lingkungan perairan. Sumber utama pemasukan logam berat berasal dari kegiatan pertambangan, cairan limbah rumah tangga, limbah dan buangan industri, serta limbah pertanian (Connell dan Miller 1995). Menurut Bryan (1976) secara alamiah logam berat juga masuk ke dalam perairan dapat digolongkan sebagai: (1) pasokan dari daerah pantai, yang meliputi masukan dari sungai-sungai dan erosi yang disebabkan oleh gerakan gelombang dan gletser, (2) pasokan dari laut dalam, yang meliputi logam-logam yang dilepaskan gunung berapi di laut dalam dan dari partikel atau endapan oleh adanya proses kimiawi, (3) pasokan yang melampaui lingkungan dekat pantai yang meliputi logam yang diangkut ke dalam atmosfer sebagai partikel-partikel debu atau sebagai aerosol dan juga
bahan yang dihasilkan oleh erosi gletser di daerah kutub dan diangkut oleh es yang mengambang. Logam berat termasuk sebagai zat pencemar karena sifatnya yang tidak dapat diuraikan secara biologis dan stabil, sehingga dapat tersebar jauh dari tempatnya semula (Dewi 1996). Selanjutnya dikatakan bahwa ada dua hal yang menyebabkan logam berat digolongkan sebagai pencemar yang berbahaya, yaitu (1) tidak dihancurkan oleh mikroorganisme yang hidup di lingkungan dan (2) terakumulasi dalam komponenkomponen lingkungan, terutama air dengan membentuk senyawa kompleks bersama bahan organik dan anorganik secara adsorpsi dan kombinasi. 2.7.1
Logam berat dalam perairan. Banyak logam berat yang bersifat toksik maupun esensial terlarut dalam air dan
mencemari air tawar maupun air laut. Sumber pencemaran ini banyak berasal dari pertambangan, peleburan logam dan jenis industri lainnya, dan juga dapat berasal dari lahan pertanian yang menggunakan pupuk atau anti hama yang mengandung logam (Darmono 2001). Pencemaran logam berat dapat merusak lingkungan perairan dalam hal stabilitas, keanekaragaman dan kematangan ekosistem. Dari aspek ekologis, kerusakan ekosistem perairan akibat pencemaran logam berat dapat ditentukan oleh faktor kadar dan kesinambungan zat pencemar yang masuk dalam perairan, sifat toksisitas dan bioakumulasi. Pencemaran logam berat dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur komunitas perairan, jaringan makanan, tingkah laku, efek fisiologi, genetik dan resistensi (Racmansyah et al. 1998). Logam-logam berat yang terlarut dalam badan perairan pada konsentrasi tertentu akan berubah fungsi menjadi sumber racun bagi kehidupan. Pada tingkat lanjutan, keadaan tersebut tentu saja dapat menghancurkan satu tatanan ekosistem perairan (Palar 1994). Secara alamiah, beberapa unsur logam berat terdapat di seluruh alam (Tabel 3), namun dalam kadar yang sangat rendah (Hutagalung 1984). Kadar logam dapat meningkat bila limbah perkotaan, pertambangan, pertanian dan perindustrian yang banyak mengandung logam berat masuk ke dalam perairan alami melalui saluran pembuangan. Logam berat yang sangat beracun ini tahan lama dan sangat banyak terdapat di lingkungan. Logam berat tersebut adalah raksa (Hg), timah hitam (Pb), arsen (As), kadmium (Cd), kromium (Cr) dan nikel (Ni). Tabel 3. Konsentrasi logam berat di dalam hidrosfer. Logam
Air Tawar (µg/l)
Air laut (µg/l)
Hg
0,001 – 3,5
0,03 – 2,7
Pb
0,02 – 27
0,13 – 13
Cr
0,1 – 6
0,2 – 50
As
0,001 – 3,5
0,03 – 2,7
Cd
0,01 – 3
0,01 – 4
Ni
0,03 - 10
4 – 10
Sumber : Alloway dan Ayres (1993). 2.7.2
Logam Berat dalam Sedimen. Sedimen berasal dari kerak bumi yang diangkut melalui proses hidrologi dari
suatu tempat ke tempat lain, baik secara vertikal ataupun horizontal (Friedman dan Sanders 1978). Sedimen terdiri dari beberapa komponen dan banyak sedimen merupakan pencampuran dari komponen-komponen tersebut. Komponen tersebut bervariasi, tergantung dari lokasi, kedalaman dan geologi dasar (Forstner dan Wittman 1983). Sedimen terdiri dari bahan organik dan bahan anorganik yang berpengaruh negatif terhadap kualitas air. Bahan organik berasal dari biota atau tumbuhan yang membusuk lalu tenggelam ke dasar dan bercampur dengan lumpur. Bahan anorganik umumnya berasal dari pelapukan batuan. Sedimen hasil pelapukan batuan terbagi atas: kerikil, pasir, lumpur dan liat. Butiran kasar banyak dijumpai dekat pantai, sedangkan butiran halus banyak di perairan dalam atau perairan yang relatif tenang. Hutabarat dan Evans (1985), telah membagi sedimen berdasarkan ukuran diameter butiran, yaitu batuan (boulders), kerikil (gravel), pasir sangat kasar (very coarse sand), pasir kasar (coarse sand), pasir halus (fine sand), pasir sangat halus (very fine sand), pasir (medium sand), lumpur (silt), liat (clay) dan bahan terlarut (dissolved material). Bahan partikel yang tidak terlarut seperti pasir, lumpur, tanah dan bahan kimia anorganik dan organik menjadi bahan yang tersuspensi di dalam air, sehingga bahan tersebut menjadi penyebab pencemaran tertinggi dalam air. Keberadaan sedimen pada badan
air mengakibatkan
peningkatan
kekeruhan
perairan
yang
selanjutnya
menghambat penetrasi cahaya yang dapat menghambat daya lihat (visibilitas) organisme air, sehingga mengurangi kemampuan ikan dan organisme air lainnya untuk memperoleh makanan, pakan ikan menjadi tertutup oleh lumpur. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya kerja organ pernapasan seperti insang pada organisme air dan akan mengakumulasi bahan beracun seperti pestisida dan senyawa logam. Hingga saat ini, Indonesia tidak memiliki baku mutu yang dapat diacu untuk logam berat dalam sedimen sungai. Sementara itu, kehadiran logam berat dalam
sedimen sungai sangat krusial. Kandunganlogam berat dalam sedimen
akan
mempengaruhi organisme yang tinggal di dasar air, benthos. Hasil penelitian (Tabel 4). menemukan beberapa elemen logam terkonsentrasi pada sedimen di beberapa lokasi pengambilan sampel daerah aliran sungai Citarum. Konsentrasi yang lebih tinggi dari unsur Cr, Cu dan Pb menunjukkan input yang berasal dari area industri, khususnya industri tekstil. Telah diketahui bahwa industri tekstil menggunakan berbagai macam logam berat dalam prosesnya, terutama dalam proses “dyeing” dan “printing”. Akibatnya, mereka membuang sejumlah logam berat ke lingkungan. Sunardi dan Ariyanti (2009) telah menunjukkan bahwa sedimen yang terkontaminasi logam akan bersifat toksik terhadap organisme benthos. Tabel 4. Kandungan logam berat pada sedimen sungai Citarum
Hg Cd (ppb) (ppm) Cisanti 133 1,35 Majalaya 118,92 0,990 Rancaekek 140,54 1,005 Cisirung 978 1,95 Margaasih 356,76 0,765 Batu Jajar 172,97 0,765 Cihaur 118,92 0,900 Jatiluhur 140,54 0,885 Bekasi 140,54 0,960 Sumber : Sunardi dan Ariyanti (2009). Lokasi
Cr (ppm) 117 99,3 58,8 324 51,4 30,6 48,6 35,1 48,4
Cu (ppm) 43 49,2 42,0 131 62,7 159,5 30,2 20,6 156,2
Pb (ppm) 12 26,8 11,8 29 79,3 40,7 13,9 25,7 18,2
Pada sedimen terdapat hubungan antara ukuran partikel sedimen dengan kandungan bahan organik. Pada sedimen yang halus, persentase bahan organik lebih tinggi dari pada sedimen yang kasar. Hal ini berhubungan dengan kondisi lingkungan yang tenang, sehingga memungkinkan pengendapan sedimen lumpur yang diikuti oleh akumulasi bahan organik ke dasar perairan. Sedangkan pada sedimen yang kasar, kandungan bahan organiknya lebih rendah karena partikel yang lebih halus tidak mengendap. Demikian pula dengan bahan pencemar, kandungan bahan pencemar yang tinggi biasanya terdapat pada partikel sedimen yang halus. Hal ini diakibatkan adanya daya tarik elektrokimia antara partikel sedimen dengan partikel mineral. 2.7.3
Logam Berat dalam Organisme Air. Pertumbuhan organisme air sangat dipengaruhi oleh keberadaan logam berat di
dalam air, terutama pada konsentrasi yang melebihi batas normal. Organisme air mengambil logam berat dari badan air atau sedimen dan memekatkannya ke dalam tubuh hingga 100-1000 kali lebih besar dari lingkungan. Akumulasi melalui proses ini disebut bioakumulasi. Kemampuan organisme air dalam menyerap (absorpsi) dan
mengakumulasi logam berat dapat melalui beberapa cara, yaitu melalui saluran pernapasan (insang), saluran pencernaan dan difusi permukaan kulit (Hutagalung 1991; Darmono 2001). Namun sebagian besar logam berat masuk ke dalam tubuh organisme air melalui rantai makanan dan hanya sedikit yang diambil dari air (Waldichuck 1974). Akumulasi dalam tubuh organisme air dipengaruhi oleh konsentrasi bahan pencemar dalam air, kemampuan akumulasi, sifat organisme (jenis, umur dan ukuran) dan lamanya pernapasan. 2.7.4
Raksa (Hg). Logam merkuri bernomor atom 80, berat atom 200,59, titik didih 356,9 oC, dan
massa jenis 13,6 g/ml (Reilly 1991). Merkuri dalam perairan dapat berasal dari buangan limbah industri kelistrikan dan elektronik, baterai, pabrik bahan peledak, fotografi, pelapisan cermin, pelengkap pengukur, industri bahan pengawet, pestisida, industri kimia, petrokimia, limbah kegiatan laboratorium dan pembangkit tenaga listrik yang menggunakan bahan baku bakar fosil (Suryadiputra 1995). Merkuri terdapat dalam bentuk Hg (murni), Hg anorganik dan Hg organik (Darmono 1995). Merkuri di alam umumnya terdapat sebagai metil merkuri yaitu bentuk senyawa organik (alkil merkuri atau metil merkuri) dengan daya racun tinggi dan sukar terurai dibandingkan zat asalnya. Bila terakumulasi metil merkuri dalam tubuh, akan mengakibatkan keracunan yang bersifat akut maupun kronis (Darmono 1995). Akibat dari keracunan akut antara lain adalah mual, muntah-muntah, diare, kerusakan ginjal, bahkan dapat mengakibatkan kematian. Keracunan kronis ditandai oleh peradangan mulut dan gusi, pembengkakan kelenjar ludah dan pengeluaran ludah secara berlebihan, gigi menjadi longgar dan kerusakan pada ginjal. Kadar maksimum merkuri untuk keperluan air baku air minum kurang dari 0,001 mg/L dan untuk kegiatan perikanan yang diperbolehkan kurang dari 0,002 mg/L (Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001). Merkuri yang masuk ke dalam perairan dapat masuk dan terakumulasi pada ikan-ikan dan makhluk air lainnya, termasuk ganggang dan tumbuhan air. Mekanisme masuknya merkuri ke dalam tubuh hewan air adalah melalui penyerapan pada permukaan kulit, melalui insang dan rantai makanan, sedangkan pengeluaran dari tubuh organisme perairan bisa melalui pemukaan tubuh atau insang atau melalui isi perut dan urine. Merkuri dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui tiga cara yaitu pernafasan (inhalasi), permukaan kulit dan paling banyak melalui makanan. Hal ini terjadi karena ikan-ikan yang telah terkontaminasi senyawa merkuri tersebut dikonsumsi oleh manusia sehingga merkuri terakumulasi dalam tubuh manusia. Penyerapan merkuri dalam
manusia cenderung terkonsentrasi di dalam hati dan ginjal, karena di dalam organ tersebut terdapat protein yang terdiri dari asam amino sistein (Fardiaz 1992). Logam berat Hg berbahaya karena bersifat biomagnifikasi sehingga dapat terakumulasi dalam jaringan tubuh organisme melalui rantai makanan. Organisme yang berada pada rantai yang paling tinggi (top carnivora) memiliki kadar merkuri yang lebih tinggi dibanding organisme di bawahnya. Logam berat dalam jumlah berlebihan dapat bersifat racun. Hal ini disebabkan karena terbentuknya senyawa merkaptida antara logam berat dengan gugus –SH yang terdapat dalam enzim. Akibatnya aktifitas enzim tidak berlangsung. Toksisitas merkuri terhadap organisme perairan tergantung pada jenis, kadar efek sinergis-antagonis dan bentuk fisika kimianya (Hutagalung 1989). Merkuri yang paling toksik adalah bentuk alkil merkuri yaitu metil dan etil merkuri yang paling banyak digunakan untuk mencegah timbulnya jamur. Alkil merkuri, terakumulasi dalam hati dan ginjal yang dikeluarkan melalui cairan empedu. 2.7.5
Timbal (Pb). Timbal atau timah hitam adalah sejenis logam lunak berwarna cokelat dengan
nomor atom 82, berat atom 207,19, titik cair 327,5º C, titik didih 1725º C, dan berat jenis 11,4 gr/ml (Reilly 1991). Logam ini mudah dimurnikan sehingga banyak digunakan oleh manusia pada berbagai kegiatan misalnya pertambangan, industri dan rumah tangga. Pada pertambangan timbal berbentuk senyawa sulfida (PbS). Timbal (Pb) secara alami banyak ditemukan dan tersebar luas pada bebatuan dan lapisan kerak bumi. Di perairan logam Pb ditemukan dalam bentuk Pb2+, PbOH+, PbHCO3+, PbSO4 dan PbCO+ (Rohilan 1992). Pb2+ di perairan bersifat stabil dan lebih mendominasi dibandingkan dengan Pb4+. Masuknya logam Pb ke dalam perairan melalui proses pengendapan yang berasal dari aktivitas di darat seperti industri, rumah tangga dan erosi, jatuhan partikel-partikel dari sisa proses pembakaran yang mengandung tetraetil Pb, air buangan dari pertambangan bijih timah hitam dan buangan sisa industri baterai (Palar 1994). Logam Pb bersifat toksik pada manusia dan dapat menyebabkan keracunan akut dan kronis. Keracunan akut biasanya ditandai dengan rasa terbakar pada mulut, adanya rangsangan pada sistem gastrointestinal yang disertai dengan diare. Sedangkan gejala kronis umumnya ditandai dengan mual, anemia, sakit di sekitar mulut, dan dapat menyebabkan kelumpuhan (Darmono 2001). Fardiaz (1992) menambahkan bahwa daya racun dari logam ini disebabkan terjadi penghambatan proses kerja enzim oleh ion-ion Pb2+. Penghambatan tersebut menyebabkan terganggunya pembentukan hemoglobin darah. Hal ini disebabkan adanya bentuk ikatan yang kuat (ikatan kovalen) antara ion-
ion Pb2+ dengan gugus sulfur di dalam asam-asam amino. Untuk menjaga keamanan dari keracunan logam ini, batas maksimum timbal dalam makanan laut yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI dan FAO adalah sebesar 2,0 ppm. Pada organisme air kadar maksimum Pb yang aman dalam air adalah sebesar 50 ppb (EPA 1973). 2.7.6
Kadmium (Cd). Kadmium adalah logam yang berwarna putih keperakan, lunak dan tahan korosi.
Kadmium didapat pula pada limbah berbagai jenis pertambangan logam yang tercampur kadmium seperti timah hitam dan seng. Dengan demikian, kadmium dapat ditemukan di dalam perairan, baik di dalam sedimen maupun di dalam penyediaan air minum (Soemirati 1994). Logam kadmium sangat banyak digunakan dalam kehidupan seharihari manusia. Antara lain sebagai bahan stabilisasi, bahan pewarna dalam industri plastik dan pada elekrtoplating dan juga digunakan untuk solder dan baterai (Palar 1994). Senyawa kadmium juga digunakan sebagai bahan fotografi, pembuatan tabung TV, cat, karet, kembang api, percetakan tekstil dan pigmen untuk gelas dan email gigi. Kadmium dalam tubuh terakumulasi dalam hati dan terutama terikat sebagai metalotionein mengandung unsur sistein, dimana Cd terikat dalam gugus sufhidril (-SH) dalam enzim seperti karboksil sisteinil, histidil, hidroksil, dan fosfatil dari protein purin. Kemungkinan besar pengaruh toksisitas Cd disebabkan oleh interaksi antara Cd dan protein tersebut, sehingga menimbulkan hambatan terhadap aktivitas kerja enzim dalam tubuh ( Darmono 2001). 2.7.7
Arsen (As). Arsen, adalah bahan metaloid yang terkenal beracun dan memiliki tiga bentuk
alotropik; kuning, abu-abu dan hitam (Norman 1998). Senyawa arsenik digunakan sebagai pestisida dan dalam alloy. Arsenik secara kimiawi memiliki karakteristik yang serupa dengan fosfor dan sering dapat digunakan sebagai pengganti dalam berbagai reaksi biokimia dan juga beracun. Ketika dipanaskan, arsenik akan cepat teroksidasi menjadi oksida arsenik, yang berbau seperti bau bawang putih. Arsenik dan beberapa senyawa arsenik juga dapat langsung tersublimasi, berubah dari padat menjadi gas tanpa menjadi cairan terlebih dahulu. Zat dasar arsenik ditemukan dalam dua bentuk padat yang berwarna kuning dan metalik, dengan berat jenis 1,97 g/cm3 dan 5,73 g/cm3 (Holleman et al. 1985). Sebagian besar arsen di alam merupakan bentuk senyawa dasar yang berupa senyawa inorganik sebagai arsenat, berbentuk kristal, tidak berwarna dan tidak berbau seperti
oksida As2O3 (arsen putih) dan As2O5. Oksida ini bersifat higroskopis dan mudah larut dalam air membentuk asam. Asam yang terbentuk dari arsen (V) merupakan asam lemah, dalam bentuk garamnya arsenik dapat mencemari air tanah. Senyawa arsen inorganik terpapar pada manusia melalui kontak langsung dengan air atau gas yang mengandung arsenik. Beberapa tempat di bumi mengandung arsen yang cukup tinggi sehingga dapat merembes ke air tanah. Arsenik dalam air tanah bersifat alami, dan dilepaskan dari sedimen ke dalam air tanah karena tidak adanya oksigen pada lapisan di bawah permukaan tanah. Arsenat sintetik seperti Paris Green [tembaga (II) asetoarsenik], kalsium arsenat, dan timbal hidrogenarsenat digunakan sebagai insektisida dan racun hama (Rahman et al. 2004). Timbal hydrogen arsenat digunakan sebagai insektisida umum pada tanaman buah (Peryea 1998). Penelitian Stolz et al. (2006) menemukan beberapa spesies bakteri menggunakan arsenic bebagai bahan bahan mendapatkan energi metabolism, bakteri tersebut mereduksi arsenat menjadi arsenik, dengan memanfaatkan enzim arsenat reduktase (ArrE). 2.8
Pestisida
2.8.1
Pengertian Pestisida. Pestisida (Inggris: pesticide) berasal dari kata pest yang berarti hama dan cide
yang berarti mematikan/racun. Jadi pestisida adalah racun hama. Secara umum pestisida dapat didefenisikan sebagai bahan yang digunakan untuk mengendalikan populasi jasad yang dianggap sebagai pest (hama) yang secara langsung maupun tidak langsung merugikan kepentingan manusia. Menurut Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1973 (PP No. 7 tahun 1973) tentang pengawasan atas peredaran, penyimpanan dan penggunaan pestisida, pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk : a.
Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang merusak tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian.
b.
Memberantas rerumputan.
c.
Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan.
d.
Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman tidak termasuk pupuk.
e.
Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan piaraan atau ternak.
f.
Memberantas atau mencegah hama-hama air.
g.
Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam rumah tangga, bangunan dan dalam alat-alat pengangkutan.
h.
Memberantas
atau
mencegah
binatang-binatang
yang
dapat
menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah atau air. Menurut The United States Federal Insecticide, Fungicide, and Rodenticide Act (FIFRA), pestisida adalah sebagai berikut : a.
Semua zat atau campuran zat yang khusus digunakan untuk mengendalikan, mencegah, atau menangkis gangguan serangga, binatang pengerat, nematoda, gulma, virus, bakteri, jasad renik yang dianggap hama, kecuali virus, bakteri atau jasad renik lainnya yang terdapat pada manusia dan binatang.
b.
Semua zat atau campuran zat yang digunakan untuk mengatur pertumbuhan tanaman atau pengering tanaman (Djojosumarto 2004).
2.8.2
Penggolongan Pestisida. Pestisida mempunyai sifat-sifat fisik, kimia dan daya kerja yang berbeda-beda,
karena itu dikenal banyak macam pestisida. Pestisida dapat digolongkan menurut berbagai cara tergantung pada kepentingannya, antara lain: berdasarkan sasaran yang akan dikendalikan, berdasarkan cara kerja, berdasarkan struktur kimianya dan berdasarkan bentuknya. Penggolongan pestisida berdasarkan sasaran yang akan dikendalikan yaitu : a.
Insektisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang bisa mematikan semua jenis serangga.
b.
Fungisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun dan bisa digunakan untuk memberantas dan mencegah fungi/cendawan.
c.
Bakterisida, disebut bakterisida karena senyawa ini mengandung bahan aktif beracun yang bisa membunuh bakteri.
d.
Nematisida, digunakan untuk mengendalikan nematoda/cacing.
e.
Akarisida atau sering juga disebut dengan mitisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang digunakan untuk membunuh tungau, caplak, dan laba-laba.
f.
Rodentisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang digunakan untuk mematikan berbagai jenis binatang pengerat.
g.
Moluskisida adalah pestisida untuk membunuh moluska, yaitu siput telanjang, siput setengah telanjang, sumpil, bekicot, serta trisipan yang banyak terdapat di tambak.
h.
Herbisida adalah bahan senyawa beracun yang dapat dimanfaatkan untuk membunuh tumbuhan pengganggu yang disebut gulma.
2.8.3
Herbisida. Herbisida merupakan suatu bahan atau senyawa kimia yang digunakan untuk
menghambat
pertumbuhan
atau
mematikan
tumbuhan.
Herbisida
ini
dapat
mempengaruhi satu atau lebih proses-proses (seperti pada proses pembelahan sel, perkembangan jaringan, pembentukan klorofil, fotosintesis, respirasi, metabolisme nitrogen, aktivitas enzim dan sebagainya) yang sangat diperlukan tumbuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Pengertian tersebut mengandung arti bahwa herbisida berasal dari metabolit, hasil ekstraksi, atau bagian dari suatu organisme. Di samping itu herbisida bersifat racun terhadap gulma atau tumbuhan penganggu juga terhadap tanaman. Herbisida yang diaplikasikan dengan dosis tinggi akan mematikan seluruh bagian yang dan jenis tumbuhan. Pada dosis yang lebih rendah, herbisida akan membunuh tumbuhan sasaran dan tidak merusak tumbuhan yang lainnya. Dari cara kerjanya herbisida ada 2 macam, herbisida kontak dan herbisida sistemik. Herbisida kontak adalah herbisida yang berguna untuk menyiang gulma dengan cara langsung mengganggu tanaman untuk berfotositensis, gulma yang secara langsung terkena herbisida kontak akan mati. Herbisida sistemik adalah herbisida yang cara kerjanya dengan mengganggu enzim yang berperan dalam membentuk asam amino yang dibutuhkan tanaman, dan mudah menyerap ke seluruh jaringan tanaman, gulma akan mati sampai akar-akarnya. Pada umumnya herbisida bekerja dengan mengganggu proses anabolisme senyawa penting seperti pati, asam lemak atau asam amino melalui kompetisi dengan senyawa yang "normal" dalam proses tersebut. Herbisida menjadi kompetitor karena memiliki struktur yang mirip dan menjadi kosubstrat yang dikenali oleh enzim yang menjadi sasarannya. Cara kerja lain adalah dengan mengganggu keseimbangan produksi bahan-bahan kimia yang diperlukan tumbuhan. Sebagai contoh: (a). Glifosat (dari Monsanto) mengganggu sintesis asam amino aromatik karena berkompetisi dengan fosfoenol piruvat ; (b). Fosfinositrin mengganggu asimilasi nitrat dan ammonium karena menjadi substrat dari enzim glutamin sintase. (Schopfer dan Brennicke 2006).
Berdasarkan mekanisme kerjanya herbisida pada tanaman di antaranya: a. menghambat
proses
fotosintesis,
seperti
anilides,
uracils,
benzimidazoles,
biscarmabates, pyridazinones, triazines, quinones, dan triazinones. b. menghambat sintesis asam amino, seperti glyphosate, sulfonilures, bialaphos, dan imidazolinones. c. mengganggu membran sel, seperti p-nitrodiphenyl eter, N-phenylamides, dan oxadiazoles. d. menghambat sintesis lipid, seperti asam alkali aryloxyphenoxy e. mengambat sintesis selulosa, seperti dichlobenil f. menghambat pembelahan sel, seperti fosfor amida dan dinitroanilin g. menghambat sintesis klorofil, seperti phiridazinones, fluoridon, dan difluninon h. menghambat sintesis folat, seperti metilkarbamat i. menghambat pertumbuhan tunas, seperti metachlor j. mengatur perkembangan, seperti asam pikolinat dan asam benzoat. 2.8.3.1 Paraquat. Herbisida paraquat merupakan herbisida kontak dari golongan bipiridilium yang digunakan untuk mengendalikan gulma yang diaplikasikan pasca-tumbuh. Herbisida tersebut digunakan secara luas untuk mengendalikan gulma musiman khususnya rerumputan (Tjitrosoedirdjo et al. 1984). Paraquat (C12H14N2Cl2) adalah nama dagang untuk 1,1'-dimethyl-4,4'-bipyridinium dichloride, salah satu yang paling banyak digunakan di dunia herbisida. Paraquat, yang viologen, bersifat cepat bereaksi dan nonselektif, membunuh tanaman hijau pada jaringan kontak. Paraquat juga bersifat racun bagi mahluk hidup bila terakumulasi didalam tubuh. Herbisida paraquat bekerja dalam kloroplas. Kloroplas merupakan bagian dalam proses fotosintesis, yang mengabsorbsi cahaya matahari yang digunakan untuk menghasilkan gula.
Gambar 2. Senyawa paraquatdiklorida Herbisida paraquat (Gambar 2) merupakan bagian dari kelompok senyawa bioresisten yang sulit terdegradasi secara biologis dan relatif stabil pada suhu, tekanan dan pH normal. Hal ini memungkinkan paraquat teradsorpsi sangat kuat oleh partikel tanah yang menyebabkan senyawa ini dapat bertahan lama di dalam tanah (Sastroutomo 1992). Paraquat diketahui sebagai senyawa yang sangat toksik, dan keberadaannya di dalam tanah sebesar 20 ppm mampu menghambat perkembangan dan aktivitas bakteri Azotobacter dan Rhizobium yang berperan dalam fiksasi nitrogen (Martani et al. 2001).
2.8.3.2 Glifosat. Glifosat (Gambar 3) dengan rumus kimia C3H8NO5P adalah herbisida berspektrum luas dapat mematikan sebagian besar tipe tanaman. Glifosat dapat mengendalikan gulma semusim maupun tahunan di daerah tropis pada waktu pascatumbuh (Woodburn 2000). Cara kerja herbisida ini adalah dengan menghambat enzim 5-enolpiruvil-shikimat-3-fosfat sintase (EPSPS) yang berperan dalam pembentukan asam amino aromatik, seperti triptofan, tirosin, dan fenilalanin. Tumbuhan akan mati karena kekurangan asam amino yang penting untuk melakukan berbagai proses hidupnya. Glifosat dapat masuk ke dalam tumbuhan karena penyerapan yang dilakukan tanaman dan kemudian diangkut ke pembuluh floem.
Gambar 3. Senyawa Glifosat Paparan glifosat pada manusia akan menyebabkan beberapa gejala, seperti iritasi mata, penglihatan menjadi kabur, kulit terbakar atau gatal, mual, sakit tenggorokan, asma, kesulitan bernapas, sakit kepala, mimisan, dan pusing. Sedangkan pada tanaman gejala keracunan terlihat agak lambat, dimana daun akan terlihat layu menjadi coklat dan akhirnya mati. Gejala akan terlihat 1-3 minggu setelah aplikasi (Djojosumarto 2008). 2.8.4
Insektisida. Insektisida merupakan pestisida yang cukup besar diproduksi dan digunakan
pada sektor pertanian di Indonesia selain herbisida dan fungisida. Ada tiga golongan insektisida yang terkenal sebelum dan selama ini, yaitu 1) golongan organoklorin, 2) golongan organofosfat, dan 3) golongan karbamat. Golongan pestisida organoklorin ini mempunyai tiga sifat utama, yaitu merupakan racun yang universal, degradasinya berlangsung sangat lambat, dan larut dalam lemak. Pestisida ini merupakan senyawa yang tidak reaktif, bersifat stabil, dan persisten, serta terkenal sebagai ’broad spectrum insectisides’, yaitu jenis pestisida yang paling banyak menimbulkan masalah. Oleh karena itu pestisida golongan organokhlorin di Indonesia tidak diperkenankan lagi untuk dipergunakan pada sektor pertanian. Jenis organoklorin yang dikenal sebelum ini yaitu DDT, endrin, dieldrin, lindane, aldrin, chlondane. 2.8.4.1 Karbamat. Pestisida golongan karbamat merupakan derivat asam karbonik dengan rumus umum RHNCOOR (Gambar 4). Sifat pestisida ini mirip dengan pestisida golongan
organofosfat, tidak berakumulasi dalam sistem kehidupan, serta agak cepat menurun konsentrasinya di alam. Karbamat merupakan insektisida yang bersifat sistemik dan berspektrum luas sebagai nematosida dan akarisida (Bonner et al. 2005; Tejada et al. 1990; Cogger et al. 1998). Golongan karbamat pertama kali disintesis pada tahun 1967 di Amerika Serikat dengan nama dagang Furadan (Cornell University 2001). Umumnya karbamat digunakan untuk membasmi hama tanaman pangan dan buah-buahan pada padi, jagung, jeruk, alfalfa, ubi jalar, kacang-kacangan dan tembakau (Bonner et al. 2005. Tejada et al. 1990). Dengan dilarangnya sebagian besar pestisida golongan organoklorin (OC) di Indonesia (Mentan 2001), maka pestisida golongan organofosfat (OP) dan karbamat menjadi alternatif bagi petani di dalam mengendalikan hama penyakit tanaman di lapangan. Penggunaan pestisida ini sudah cukup luas, baik pada bidang pertanian maupun bidang kesehatan masyarakat. Jenis golongan karbamat antara lain furadan, ferban, baygon, carbaryl. Sadjusi dan Lukman (2004) melaporkan bahwa insektisida golongan karbamat yang banyak digunakan di lapangan terdiri dari jenis karbofuran, karbaril dan aldikarb. Sementara itu, beberapa jenis pestisida golongan karbamat yang umum digunakan pada lahan sawah irigasi dan tadah hujan di Jawa Tengah antara lain karbaril (Sevin™), karbofuran (Furadan™ dan Curater™), tiodikarb (Larvin™) dan BPMC/Butyl Phenyl-n-Methyl Carbamate (Bassa™, Dharmabas™ dan Baycarb™) (Jatmiko et al. 1999).
Gambar 4. Senyawa karbamat (R= aril / alkil) Keracunan karbamat merupakan efek nikotinik dan parasimpatetik yang dihasilkan akibat hambatan asetilkolinesterase di dalam sistem syaraf somatik dan autonom perifer (Baron dan Merriam 1988; Baron 1994; WHO 1991). Keracunan karbamat bersifat akut yang dapat terjadi melalui inhalasi, gastrointestinal (oral) atau kontak kulit. Karbamat dapat menimbulkan efek neurotoksik melalui hambatan enzim asetilkholinesterase (AchE) pada sinapsis syaraf dan myoneural junctions yang bersifat reversibel (Baron 1994; Risher et al. 1987; Ipcsintox 1985). Gejala Proses keracunan sel oleh pestisida dikarenakan terhambatnya enzim asetilkolestrase. Karbamat
merupakan insektisida antikolinestrase. Inhibisi antikolinestrasi karbamat (Gambar 5) melalui tahapan : interaksi active site asetilkolinetrase membentuk ikatan kompleks yang tidak stabil, kemudian terjadi hidrolisis senyawa kompleks dengan melepaskan ikatan Z atau R substitusi yang menghasilkan Carbamylated (ester karbamat) terinhibisi dan menjadi non reaktif, selanjutnya terjadi dekarbamilasi menghasilkan AchE bebas, sehingga kembali mampu memutuskan asetilkolin (Ach) sebagai transmitter (Soemirat 2009)
Gambar 5. Skema interaksi karbamat dengan enzim Asetikolinestrase. 2.8.4.2 Deltametrin. Deltamethrin (Gambar 6) adalah insektisida pyrethroids yang mematikan bagi serangga terutama bila masuk ke dalam saluran pencernaan dan bekerja dengan cara melumpuhkan system saraf serangga (ETN 1995). Pyrethroids memiliki bahan aktif yang dapat menyebabkan iritasi dan alergi. Deltamethrin merupakan racun saraf yang menyerang akson pada saraf pusat dan juga saraf tepi dengan menghambat pompa natrium di mamalia atau serangga (WHO 1999).
Gambar 6. Senyawa deltametrin (WHO 1999). Deltamethrin termasuk dalam insektisida pyrethroid yang sangat luas digunakan karena terbukti letal bagi serangga, baik melalui pencernaan maupun hanya sekedar kontak tubuh. Insektisida ini digunakan untuk mengontrol berbagai jenis serangga penggerek, ngengat, ulat, dan kutu pada tanaman
perkebunan maupun pertanian
(Willoughby 1994). Deltamethrin dikenal sangat toksik bagi hewan akuatik dan pemakaiannya harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena bahan ini juga cukup toksik bagi hewan terestrial, termasuk manusia. Paparan akut bagi manusia dapat
menyebabkan ataksia, kelumpuhan otot, dermatitis, diare, pusing, kejang-kejang, muntah-muntah, alergi, sampai kematian akibat gangguan sistem pernafasan (Hallenbeck dan Cunningham 1985). 2.8.5
Dampak Pestisida.
2.8.5.1 Dampak Pestisida terhadap Pengguna Pestisida. Risiko bagi keselamatan pengguna adalah kontaminasi pestisida secara langsung, yang dapat mengakibatkan keracunan, baik akut maupun kronis. Keracunan akut dapat menimbulkan gejala sakit kepala, pusing, mual, muntah, dan sebagainya. Beberapa pestisida dapat menimbulkan iritasi kulit, bahkan dapat mengakibatkan kebutaan. Keracunan pestisida yang akut berat dapat menyebabkan penderita tidak sadarkan diri, kejang-kejang, bahkan meninggal dunia. Keracunan kronis lebih sulit dideteksi karena tidak segera terasa, tetapi dalam jangka panjang dapat menimbulkan gangguan kesehatan (Djojosumarto 2004). Sering kali orang tidak menyadari bahwa mereka keracunan pestisida karena gejala-gejalanya mirip dengan masalah kesehatan lainnya misalnya pusing dan kudis. Kebanyakan gejala-gejala ini tidak muncul dengan cepat, seperti gangguan sistem syaraf atau kanker, orang tidak menyadari bahwa penyakit mereka mungkin disebabkan oleh pestisida (Quijano et al. 1999). 2.8.5.2 Dampak Pestisida terhadap Hasil Pertanian. Risiko bagi konsumen adalah keracunan residu (sisa-sisa) pestisida yang terdapat dalam hasil pertanian. Risiko bagi konsumen dapat berupa keracunan langsung karena memakan produk pertanian yang tercemar pestisida atau lewat rantai makanan. Meskipun bukan tidak mungkin konsumen menderita keracunan akut, tetapi risiko konsumen umumnya dalam bentuk keracunan kronis, tidak segera terasa dan dalam jangka panjang mungkin menyebabkan gangguan kesehatan (Djojosumarto 2004). 2.8.5.3 Dampak Pestisida terhadap Lingkungan Perairan. Dibalik manfaatnya yang besar, pestisida memiliki dampak yang cukup merugikan pada pemakaiannya. Pestisida dapat merusak ekosistem air yang berada di sekitar lahan pertanian. Jika pestisida digunakan, akan menghasilkan sisa-sisa air (run off) yang mengandung pestisida dan mengalir melalui sungai atau aliran irigasi. Penggunaan pestisida oleh petani dapat tersebar di lingkungan sekitarnya; air permukaan, air tanah, tanah dan tanaman. Sifat mobil yang dimiliki akan berpengaruh terhadap kehidupan organisme non sasaran, kualitas air, kualitas tanah dan udara. Pestisida sebagai salah satu agen pencemar ke dalam lingkungan baik melalui udara, air
maupun tanah dapat berakibat langsung terhadap komunitas hewan, tumbuhan terlebih manusia. Pestisida yang masuk ke dalam lingkungan melalui beberapa proses baik pada tataran permukaan tanah maupun bawah permukaan tanah. Penurunan kualitas air tanah serta kemungkinan terjangkitnya penyakit akibat pencemaran air merupakan implikasi langsung dari masuknya pestisida ke dalam lingkungan. Aliran permukaan seperti sungai, danau dan waduk yang tercemar pestisida akan mengalami proses dekomposisi bahan pencemar. Pada tingkat tertentu, bahan pencemar tersebut akan terakumulasi pada lingkungan. 2.9
Biota Akuatik sebagai Bioindikator Pencemaran Lingkungan Perairan. Pencemaran yang terjadi pada suatu badan air terjadi akibat dari adanya
pemasukan bahan organik maupun anorganik, dari substansi lingkungan yang kemudian dapat menimbulkan berbagai macam dampak. Sumber pencemaran perairan dapat berupa logam berat, bahan beracun, pestisida, tumpahan minyak, sampah, dan lain-lain. Akibat pencemaran tersebut kualitas air dapat menurun hingga tidak memenuhi persyaratan peruntukan yang ditetapkan. Penurunan kualitas air akibat pencemaran, seperti yang terjadi di badan air dapat mengubah struktur komunitas organisme akuatik yang hidup. Dampak pencemaran senyawa organik, padatan tersuspensi, nutrien berlebih, substansi toksik, limbah industri dapat menyebabkan gangguan kualitas air dan menyebabkan perubahan keanekaragaman dan komposisi organisme akuatik di perairan. Jika lingkungan berada di bawah suatu tekanan maka keaneka-ragam biota akuatik jenis akan menurun pada suatu komunitas. Pencemaran kualitas air dapat diketahui dari kondisi komunitas biota akuatik di dalam badan perairan tersebut. Hal ini berarti biota akuatik dapat dijadikan sebagai indikator biologi, karena memiliki sifat sensitif terhadap keadaan pencemaran tertentu sehingga dapat digunakan sebagai alat untuk menganalisis pencemaran air. Keuntungan yang didapat dari indikator biologi adalah dapat merefleksikan keseluruhan kualitas ekologi dan mengintegrasikan berbagai akibat yang berbeda, memberikan pengukuran yang akurat mengenai pengaruh komunitas biologi dan pengukuran fluktuasi lingkungan. Untuk menilai kualitas suatu lingkungan kita dapat memanfaatkan organisme yang ada disekitarnya. Keberadaan organisme pada lingkungan dapat dijadikan sebagai parameter kualitas lingkungan. Biota yang dapat dijadikan sebagai petunjuk keadaan lingkugan umum disebut sebagai bioindikator atau indikator biologis. Jenis bioindikator dibedakan dalam tiga organisme, yaitu : (a). Organisme indikator, dengan melihat
keberadaan spesies tertentu pada lingkungan, misalnya dengan indeks diversitas sebagai organisme penentu kualitas lingkungan ; (b). Organisme pemantau, baik secara aktif maupun pasif, dengan menempatkan atau mengukur tingkat kerusakan yang dialami oleh suatu organisme ; (c). Organisme uji, yaitu organisme yang digunakan untuk menguji akumulasi dan reaksi suatu substansi kimia baik dalam laboratorium maupun di lapangan. Indikator
biologi
(bioindikator)
memberikan
gambaran
nyata
kondisi
lingkungan tersebut secara ekologis, berbeda dengan indikator kimia terhadap pencemaran perairan yang hanya menggambarkan kondisi sesaat, dan parsial suatu lingkungan. Beberapa referensi menyatakan bahwa dampak pencemar air dapat mempengaruhi struktur dan fungsi suatu ekosistem, baik hewan maupun tumbuhan. Juga kenyataan bahwa setiap spesies mempunyai batas antara toleransi terhadap suatu faktor yang ada di lingkungannya (teori toleransi Shelford). Perbedaan batas toleransi antara dua jenis populasi terhadap faktor-faktor lingkungan mempengaruhi kemampuan berkompetisi, jika sebagai akibat suatu pencemaran limbah industri terhadap suatu lingkungan adalah berupa penurunan atau berkurangnya kadar oksigen terlarut dalam air, maka spesies yang mempunyai toleransi terhadap kondisi itu akan meningkat populasinya karena spesies kompetisinya berkurang. 2.10
Ganggang Mikro sebagai Bioindikator. Bioindikator dari organisme digunakan untuk memonitor kesehatan dari suatu
lingkungan ataupun suatu ekosistem. Banyak organisme ataupun sekumpulan / komunitas organisme yang dapat digunakan untuk menentukan integritas ekosistem maupun lingkungan. Beberapa organisme dapat dimonitor dalam perubahannya (kimia, fisiologis, maupun perilaku) yang menandakan adanya permasalahan di dalam ekosistemnya. Ganggang mikro memiliki kemampuan mengadsorpsi logam berat yang cukup tinggi, karena mengandung gugus fungsional yang mampu mengikat logam. Ganggang mikro dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator karena ganggang mikro membutuhkan logam sebagai nutrien alami. Logam-logam (seperti Cu, Zn, Mg, Mo, dan B) sebagai unsur hara (trace element) dibutuhkan dalam proses metabolisme. Lingkungan yang tercemar mengandung logam berat melebihi jumlah yang diperlukan ganggang mikro mengakibatkan pertumbuhan ganggang mikro terhambat. Dalam keadaan tersebut keberadaan logam dalam lingkungan merupakan polutan bagi ganggang mikro. Ganggang mikro dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator apabila memiliki kepekaan tinggi terhadap logam berat atau senyawa pencemar lainnya. Ganggang mikro memiliki
kelemahan dalam menyerap ion-ion logam seperti, ukurannya sangat kecil, berat jenisnya rendah dan mudah rusak karena terdegradasi oleh mikroorganisme lain. Persyaratan lain untuk pemanfaatan ganggang mikro sebagai bioindikator adalah ganggang mikro yang dipilih berasal dari lokasi setempat, hidup di lokasi tersebut, dan diketahui radius aktivitasnya. Selain itu ganggang mikro terpilih mampu hidup di berbagai tempat, supaya dapat dibandingkan terhadap ganggang mikro yang berasal dari lokasi lain, komposisi makanannya diketahui, populasinya stabil, pengumpulan ganggang mikro mudah dilakukan, relatif mudah dikenali di alam, masa hidupnya cukup lama, sehingga keberadaannya memungkinkan untuk merekam kualitas lingkungan di sekitarnya (Bachtiar 2007). Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa berbagai spesies ganggang mikro baik dalam keadaan hidup (sel hidup) maupun dalam bentuk sel mati (biomassa) dan biomassa terimmobilisasi dapat digunakan untuk mengadsorpsi ion logam. (Tabel 5) Tabel 5. Spesies ganggang mikro yang potensial sebagai bioindikator. Spesies Ganggang mikro Cladophora glomerata Galaxaura rugosa Elodea canadensis Padina boergesenii Sargassum sp. Chaetocerus sp.
Logam Berat Teradsorpsi Ni, V, Cd, Pb, Cr Cu, Zn Cu, Zn, Cd, and Pb Pb Pb, Cd, Cu Pb, Ni, V, Cd, Pb, Cr
Sumber Rujukan Chmielewska dan Medved (2001) Rivai dan Supriyanto (2000) Kautsky (2005) Mamboya et al. 1999 Buhani (2003) Noegrohati (1995)
III. METODE PENELITIAN 3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium Indonesian Center for Biotechnology and
Biodiversity (ICBB) Cilubang Nagrak, Situgede, Bogor. Identifikasi ganggang mikro dilakukan di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI. Analisis logam dilakukan di laboratorium Pengujian departemen Teknologi Industri Pertanian IPB Bogor. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari 2011 sampai bulan Maret 2013. 3.2
Bahan dan Alat
3.2.1
Bahan Bahan ganggang mikro yang digunakan adalah koleksi ganggang mikro ICBB-
CC (Indonesian Center for Biodiversity and Biotechnology-Culture Collection of Microorganisms) dari air tawar berbagai kawasan perairan di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Bahan media yang digunakan media Blue Green 11 (BG 11) setiap liternya mengandung 1,5g NaNO3 ; 0,04g K2HPO4; 0,02g MgSO4.7H2O; 0,036g CaCl2.2H2O; 0,006g C6H8O7; 0,006g C6H8FeNO7; 0,001g EDTA; 0,075g Na2CO3 dan larutan trace metal 1,0 ml. Setiap liter larutan trace metal mengandung 2,86 g H3BO3; 1,81g MnCl2.4H2O; 0,22g ZnSO4.7H2O; 0,39g Na2MoO4.2H2O; 0,08g CuSO4.5H2O; 0,05g Co(NO3)2.6H2O. Larutan standar 1000 ppm logam Hg, As, Cd dan Pb yang diperoleh dari Pusat Laboratorium Forensik Polri, Jakarta. Pestisida jenis Roundup 486SL, Gulmaxone 276SL, Baycarb 500EC dan Decis 25EC diperoleh dari Toko Dramaga Tani Bogor. 3.2.2
Alat Peralatan yang digunakan dalam kultivasi, identifikasi, karakterisasi ganggang
mikro adalah
peralatan gelas, pH meter, spektrofotometer (Mapada), mikroskop
(Leica). Untuk mengukur kadar logam digunakan spektroskopi serapan atom (AASPerkin Elmer). 3.3
Rancangan Penelitian Penelitian ini meliputi tiga tahap : tahap pertama seleksi ganggang mikro dengan
penentuan kurva pertumbuhan ganggang mikro, tahap kedua uji sensitivitas ganggang mikro terseleksi dengan media yang dikontaminasi dengan logam berat dan tahap ketiga uji sensitivitas ganggang mikro terseleksi dengan media yang dikontaminasi dengan pestisida 1
Isolat ganggang mikro koleksi ICBB-CC
Inokulasi 5 mL isolat ganggang mikro ke dalam 50 mL media BG 11 (Kultivasi selama 14 hari, digoyang, aerasi, suhu kamar,lampu neon 40 Inokulasi 50 mL isolat ganggang mikro ke dalam 500 mL media BG 11
Sampling Galur terpilih/Ganggang mikro terseleksi berdasarkan perttumbuhan kepadatan optik dan identifikasi
Pengembangan ganggang mikro terseleksi di akuarium 25 liter
Sampling ganggang mikro terseleksi untuk dikembangkan dengan media yang telah dikontaminasi logam berat dan pestisida
Penentuan kerapatan optik dan konsentrasi logam kontaminan
Gambar 7. Diagram alir penelitian. 3.3.1
Seleksi Ganggang Mikro Pada tahap penyiapan kultur ganggang mikro dilakukan peremajaan kultur
dalam media BG 11. Pertama-tama dibuat kultur sebanyak 50 mL, dengan cara 5 mL isolat ganggang mikro diinokulasikan ke dalam 45 mL media BG 11 di dalam botol kaca bening berukuran ± 100 mL. Kultur diinkubasikan selama dua minggu pada inkubator goyang (shaker incubator) dengan kecepatan 120 rpm. Setelah dikultivasi selama 2 minggu, kultur ganggang mikro ditingkatkan secara bertahap yaitu mengambil ganggang mikro sebanyak 50 mL di inokulasi ke dalam botol kaca 500 mL yang dilengkapi dengan aerasi dengan media BG 11 selama 2 minggu. Sumber cahaya didapat dari 2 buah lampu TL 40 Watt dengan intensitas cahaya pada permukaan botol kultur 10.000 luks. Pemberian aerasi bertujuan untuk mensuplai CO2 yang diperlukan untuk pertumbuhan ganggang mikro, mencegah pengendapan sel menstabilkan pH dan supaya unsur hara di dalam media kultur dapat menyebar rata. Suhu ruang percobaan dipertahankan sekitar 29 – 32 oC dan pH kultur sekitar 5,5 – 8,0. Seleksi tahap pertama 2
dengan memperhatikan kurva tumbuh berdasarkan kepadatan optik (optic density; OD). Kepadatan optik diamati menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 620nm (OD620nm). 3.3.2
Identifikasi Ganggang Mikro Tahapan Identifikasi dilakukan untuk mengetahui jenis ganggang mikro yang
terseleksi. identifikasi ganggang mikro dilakukan dengan mikroskop perbesaran hingga 1000x berdasarkan karakteristik morfologi umum serta sifat-sifat selular seperti jenis pigmen fotosintetik serta struktur sel dan flagela dengan mengacu pada buku Bold dan Wynne (1985) dan Round (1990). 3.3.3
Pengembangan Ganggang Mikro Terpilih Ganggang mikro yang terpilih berdasarkan tingginya laju pertumbuhan dan daya
tahan serta serta kandungan biomassa yang tinggi dipilih untuk dikembangkan pada volume yang lebih besar (50L). Pengembangan ganggang mikro hingga kerapatan optik ≥ 0,5, kemudian dilakukan sampling masing-masing ganggang mikro untuk dilanjutkan dengan perlakuan kontaminasi logam berat. 3.3.4
Perlakuan ganggang mikro terpilih dengan logam berat. Sampel dari ganggang mikro yang terpilih, diambil masing-masing 150 ml dan
ditambahkan logam berat dengan kadar 1,25 ppm, 2,5 ppm, 5,0 ppm dan 10 ppm serta blanko. Kemudian diukur kerapatan optiknya dimulai hari ke-0, 1 dan seterusnya hingga laju pertumbuhan terhenti. Selanjutnya setelah fase kematian setiap sampel diukur kadar logam yang tersisa dengan spektroskopi serapan atom (SSA). 3.3.5
Perlakuan ganggang mikro terpilih dengan pestisida. Sampel dari ganggang mikro yang terpilih, diambil masing-masing 150 ml dan
ditambahkan pestisida dengan kadar 5 ppm, 10 ppm, 20 ppm dan 40 ppm serta blanko. Kemudian diukur kerapatan optiknya dimulai hari dari setelah 60 menit pertama dan diukur lagi setelah 24 jam dan 96 jam. 3.3.6
Pengolahan Data Data pertumbuhan ganggang mikro diolah secara deskriptif dan dihitung laju
pertumbuhannya (OD) pada fase logaritmiknya. Dari 3 isolat ganggang mikro terbaik dipilih untuk dilanjutkan pada pengujian logam berat dan pestisida. Data pertumbuhan 3 isolat ganggang mikro dalam media BG11 dengan pemberian logam berat /pestisida dianalisa secara deskriptif terhadap penyerapan logam berat dan toksisitas pestisida terhadap pertumbuhan ganggang mikro.
3
Confidential 4.1
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Seleksi Ganggang Mikro. Seleksi isolat ganggang mikro dilakukan dengan menumbuhkan 10 sampel isolat
ganggang mikro. Isolat ditumbuhkan dalam media BG-11. Kurva pertumbuhannya ditentukan berdasarkan kecepatan tumbuh, kondisi pertumbuhan, dan keanekaragaman pigmennya selama masa inkubasi (Gambar 8). Pengamatan pertumbuhan kultur dilakukan selama 21 hari. Hasil seleksi diperoleh tiga isolat strain ganggang mikro yaitu ICBB 9111, ICBB 9113 dan ICBB 9114 yang selanjutnya dikembangkan dan akan digunakan pada tahapan uji sensitivitas ganggang mikro. 0.600
0.500 160 183
0.400 OD 620nm
205 238
0.300
9111 9112
0.200
9113 9114 293
0.100
346
0.000 0
3
6
9
12
15
18
21
Hari ke-
Gambar 8. Kurva pertumbuhan 10 isolat ganggang mikro koleksi ICBB-CC Seleksi isolat ganggang mikro dilakukan berdasarkan laju pertumbuhan dan kepadatan sel pada media pertumbuhan yang ditentukan. Penentuan laju pertumbuhan dilakukan dengan mengamati kurva pertumbuhan selama masa kultivasi, hingga hari ke 21. Berdasarkan kurva pertumbuhan masing-masing isolat, terpilih tiga isolat yaitu : ICBB 9111, ICBB 9113 dan ICBB 9114 yang selanjutnya dikembangkan dan digunakan pada tahapan uji sensitivitas ganggang mikro terhadap logam berat dan pestisida. Isolat yang dipilih masing45
Confidential
masing isolat ganggang mikro berasal dari situ Gunung Salak, Bogor (ICBB 9111), persawahan Ciomas Permai, Bogor (ICBB 9113) dan Telaga Warna, Puncak Bogor (ICBB 9114) (Tabel 5). Tabel 6. Daftar 10 Isolat Ganggang Mikro Koleksi ICBB-CC.
Kode Isolat 160 183 205 238 9111 9112 9113 9114 293 346
4.1.1
Sumber Isolat Batas Purworejo - Jogyakarta Pakis, Delanggu - Klaten Ngadul, Sumbu Lawang - Sragen Bledug Kuwu - Grobogan Gunung Salak- Bogor Singa Jaya – Indramayu Ciomas Permai – Bogor Telaga Warna – Puncak Banyudono, Kaliori – Rembang Pargan, Kedung Haur Indramayu
Identifikasi Synechococcus sp. Chlamydomonas sp. Chlamydomonas sp. Chlorella vulgaris -
Referensi
Arisanti (2012) Arisanti (2012) Arisanti (2012) Rahayu (2013)
Laju Pertumbuhan Ganggang Mikro Isolat ICBB 9111, ICBB 9113 dan ICBB 9114 memiliki koefisien laju pertumbuhan
eksponensial 0.0315, 0,0804 dan 0,1233. Untuk isolat ICBB 9111 dan ICBB 9113 walaupun nilai koefisien pertumbuhan kecil, namun
ditinjau dari tren kurva linear pertumbuhan
menunjukan slope positif (α > 0) yaitu 0,0118, 0,0192 (Gambar 9). ICBB
9113
telah
diidentifikasi
masing-masing
adalah
Isolat ICBB 9111 dan
Synechococcus
sp.
dan
Chlamydomonas sp. (Arisanti 2012), sedangkan isolat ICBB 9114 teridentifikasi sebagai Chlorella vulgaris (Rahayu 2013).
(a) (b) (c)
Gambar 9. Pertumbuhan isolat ICBB 9111(a), ICBB 9113(b) dan ICBB 9114 (c) dalam media BG11. 46
Confidential
4.1.2
Hubungan Kerapatan Optik dengan Kepadatan Sel. Pertumbuhan sel dapat didefinisikan sebagai pertambahan jumlah atau volume serta
ukuran sel. Pada mikroorganisme seperti bakteri, ganggang mikro pertumbuhan merupakan pertambahan volume, ukuran sel dan juga sebagai pertambahan jumlah sel. Pengukuran pertumbuhan dapat dilakukan secara mikroskopis yaitu dengan menghitung jumlah mikroba dalam satuan isi yang sangat kecil (cfu/ml). Alat yang digunakan adalah Petroff-Hauser Chamber atau Haemocytometer. Pertumbuhan sel mikroalga juga dapat diamati dengan pengukuran tidak langsung dengan metode plate count, MPN maupun dengan pengukuran
turbiditas dengan menggunakan spektrofotometer. Spektrofotometer digunakan untuk mengukur kerapatan optik padatan sel pada panjang gelombang (λ) tertentu. Untuk mencari korelasi antara kerapatan optik (OD) dengan kepadatan sel (cfu/ml)
dapat dilakukan pengukuran terhadap kerapatan optik dan pertumbuhan sel pada waktu tertentu sebagai standar. Zarkasyi (2008) meneliti kaitan antara OD dan populasi bakteri (cfu/ml) dianalisa secara statistik dengan menggunakan korelasi pearson untuk melihat korelasi keduanya. Analisis statistik korelasi antara OD dan kepadatan sel memberikan korelasi positif (R=1). Penelitian lain (Wijihastuti 2011) senada memberikan korelasi yang positif berkaitan pengukuran antara nilai OD dengan kepadatan sel. Hal ini berarti semakin tinggi jumlah populasi maka nilai OD sel-selnya semakin membesar. Untuk itu dalam uji selanjutnya digunakan parameter OD untuk mengetahui kepekaan / toleransi ganggang mikro terpilih terhadap berbagai logam berat dan pestisida. 4.2
Identifikasi Ganggang Mikro
4.2.1
Isolat ICBB 9111 Hasil identifikasi menunjukkan bahwa isolat ICBB 9111 didominasi oleh
Synechococcus sp., termasuk ke dalam divisi Cyanophyta pada ordo Chroococalles; bewarna hijau kebiru-biruan oleh adanya pigmen klorofil-a, karatenoid dan dua macam kromoprotein yaitu fikosianin yang berwarna biru dan fikoeritrin yang berwarna merah; tidak memiliki flagela; dan teramati adanya butir-butir sianofisin (Gambar 10). Synechococcus sp. merupakan ganggang mikro yang tumbuh baik pada media BG11 (Bold dan Wynne 1985). Ukuran selnya bervariasi dari 0,8 μm - 1,5 μm. Synechoccus banyak dijumpai pada dijumpai pada air permukaan yang banyak mendapat sinar matahari, kelimpahannya sangat besar umumnya antara 1.000 hingga 200.000 sel per milliliter air (Palenik et al. 2003). Menurut 47
Confidential
Partensky (1999) Synechococcus juga banyak dijumpai pada daerah dengan lingkungan yang memiliki salinitas rendah dan/atau pada suhu rendah.
Gambar 10. Foto mikroskop ganggang mikro Synechococcus sp. (a = chloroplast, b = pigmen fikosianin, c = pigmen klorofil dan d = butir sianofisin). (Sumber : Arisanti 2012).
4.2.2 Isolat ICBB 9113 Hasil identifikasi menunjukkan bahwa isolat ICBB 9113 adalah kelompok
Chlamydomonas sp.. Chlamydomonas adalah salah satu genus ganggang hijau bersel tunggal dan memiliki flagella. Ganggang tersebut termasuk dalam
klas Chlorophyceae ; ordo
Volvocales: famili Chlamydomonadaceae, mempunyai pigmen klorofil yang menghasilkan warna hijau serta stigma (Gambar 11). Flagela pada isolat tidak tampak. Hal ini disebabkan ketiganya sedang berada pada fase reproduksi aseksual. Pada fase reproduksi aseksual, individu menjadi nonmotil karena flagela menghilang (Pelczar dan Chan 1986). Chlamydomonas dipakai sebagai model organisme dalam studi biologi molekuler, terutama dalam studi motilitas flagella, dinamika kloroplas, biogenesis dan genetika.
Gambar 11. Foto mikroskop ganggang mikro genus Chlamydomonas sp. ( Sumber : Arisanti 2012).
48
Confidential
Secara morfologi Chlamydomonas
umumnya berbentuk oval, dinding sel terdiri dari
glikoprotein dan polisakarida non selulosa, dua flagella terletak pada anterior. Kloroplas umumnya berbentuk mangkok dan memiliki bintik mata pada bagian anterior kloroflas, setiap sel dapat memiliki dua atau tiga tersusun secara paralel. 4.2.3 Isolat ICBB 9114 Isolat ICBB 9114 tergolong genus Chlorella sp. (Bold dan Wynne 1985) pada Gambar
12. Berdasarkan kajian morfologi isolat ini teridentifikasi sebagai spesies Chlorella vulgaris. Chlorella merupakan ganggang hijau bersel tunggal, termasuk dalam filum Chlorophyta. Gangang mikro ini berbentuk bulat, dengan diameter antara 2 µm - 10 µm, dan tidak memiliki flagela. Chlorella mengandung pigmen fotosintesis hijau klorofil-a dan-b dalam
kloroplasnya. Ganggang ini berkembang biak dengan cepat, hanya membutuhkan karbon dioksida, air, sinar matahari, dan sejumlah kecil mineral untuk bereproduksi. Dinding selnya keras terdiri atas selulosa dan pektin. Sel ini mempunyai protoplasma yang berbentuk cawan. Chlorella bersifat kosmopolit yang dapat tumbuh dimana-mana, kecuali pada tempat
yang sangat kritis bagi kehidupan. Alga ini dapat tumbuh pada salinitas 0-35 ppt, Salinitas 10-20 ppt merupakan salinitas optimum untuk pertumbuhan alga ini. Alga ini tidak tumbuh pada suhu 400C, tetapi masih dapat bertahan hidup pada suhu tersebut. Kisaran suhu 25o300C merupakan kisaran suhu yang optimal. Alga ini bereproduksi secara aseksual dengan pembelahan sel, tetapi juga dapat dengan pemisahan utospora dari sel induknya. Reproduksi sel ini diawali dengan pertumbuhan sel yang membesar. Periode selanjutnya adalah terjadinya peningkatan aktivitas sintesa sebagai bagian dari persiapan pembentukan sel anak, yang merupakan tingkat pematangan awal. Tahap selanjutnya terbentuk sel induk muda yang merupakan tingkat pematangan akhir, yang akan disusul dengan pelepasan sel anak.
Gambar 12. Foto mikroskop ganggang mikro genus Chlorella vulgaris
49
Confidential
.Chlorella telah banyak dikonsumsi sebagai suplemen kesehatan terutama di Amerika
Serikat, Kanada dan sebagai suplemen makanan di Jepang. Karena kemampuannya untuk mengikat merkuri, timbal, dan kadmium, Chlorella vulgaris telah semakin banyak digunakan
dalam pengobatan alternatif untuk detoksifikasi tubuh logam berat tertentu (Shim et al. 2008). Beberapa studi menunjukkan bahwa Chlorella memiliki kemampuan untuk menarik logam beracun yang menumpuk di saluran pencernaan serta usus. (Inthorn et al. 2002; Blas et
al. 2010). 4.3 Analisa Kandungan Protein, Karbohidrat dan Lipid. Synechoccus sp. ICBB 9111, Chlamydomonas sp. ICBB 9113 dan Chlorella vulgaris
ICBB 9114 kaya akan karbohidrat dan protein. Menurut Rahayu (2013) isolat Synechoccus sp. ICBB 9111 memiliki karbohidrat tertinggi yaitu sebesar 42,27% bobot biomassa kering (Tabel 7) dibandingkan isolat lain, Hasil penelitian yang mirip juga diperoleh oleh Arisanti (2012), ganggang mikro tersebut mengandung karbohidrat sebesar 43,95% bobot biomassa kering (Tabel 8). Peneliti lain, (Becker 1994) menemukan Synechoccus sp hanya mengandung karbohidrat sebesar 15% bobot biomassa kering (Tabel 9). Perbedaan kandungan karbohidrat pada genus tersebut kemungkinan disebabkan karena adanya perbedaan media biakan, intensitas cahaya serta asal isolat. Chlamydomonas sp. ICBB 9113 memiliki kandungan karbohidrat dan lipid cukup tinggi yaitu sebesar masing-masing 33,67% dan 32%
(Arisanti 2012). Penelitian lain
mendapatkan Chlamydomonas rheinhardii mengandung karbohidrat dan lipid yang lebih rendah yaitu sebesar 17% dan 21%. Kemampuan ganggang mikro memproduksi karbohidrat dan lipid tergantung dari jenis spesies/strain, media dan faktor lingkungan pertumbuhan. Tabel 7. Kandungan protein, karbohidrat dan lipid (dalam % bobot kering) Isolat
ICBB 9111 ICBB 9114
Protein 31,54 14,80
Karbohidrat
42,27 16,66
Lipid 0,20 0,20
Sumber : Rahayu (2013)
Analisa kandungan protein, karbohidrat dan lipid untuk Chlorella vulgaris ICBB 9114 berturut-turut 14,80%; 16,66% dan 0,20%. (Rahayu 2013). Sedangkan Arisanti (2012) menemukan untuk galur yang sama adalah 22,09%; 35,33% dan 25%.
50
Confidential
Tabel 8. Kandungan protein, karbohidrat dan lipid (dalam % bobot kering) Isolat Synechoccus sp. ICBB 9111
Chlamydomonas sp. ICBB 9113 Chlorella vulgaris ICBB 9114
Protein
Karbohidrat
Lipid
23,21 20,80 29,09
43,95 33,67 35,33
21,00 32,00 25,00
Sumber : Arisanti (2012)
Menurut Becker (1994) kandungan protein, karbohidrat dan lipid Chlorella vulgaris
sebesar 51-58%; 12-17% dan 14-22%. Dari hasil kajian kedua peneliti tersebut terlihat bahwa Chlorella vulgaris ICBB 9114 memiliki cadangan karbohidrat maupun lipid tinggi sehingga berpotensi dikembangkan sebagai bahan baku bioethanol dan biodiesel Tabel 9. Kandungan protein, karbohidrat dan lipid (dalam % bobot kering)
Synechoccus sp Chlamydomonas rheinhardii Chlorella vulgaris Chlorella pyrenoidosa
Protein
Karbohidrat
Lipid
63 48 51-58 57
15 17 12-17 26
11 21 14-22 2
Sumber: Becker (1994)
4.4
Perlakuan Ganggang mikro dengan Logam Berat.
4.4.1
Perlakuan Ganggang Mikro dengan Logam Berat Cd . Penambahan kontaminan logam berat Cd ke dalam media pertumbuhan ganggang
mikro Synechoccus sp. ICBB 9111, Chlamydomonas sp. ICBB 9113 dan Chlorella vulgaris ICBB 9114 menunjukkan pengaruh yang berbeda-beda. Dari ketiga isolat tersebut hanya strain ICBB 9114 yang memiliki daya tahan serta mampu beradaptasi terhadap logam Cd yang ada di dalam media (Tabel 10 dan Gambar 14). Strain tersebut mampu bertahan sampai hari ke 4 untuk semua variasi konsentrasi Cd yang diujikan (Gambar 13). Sedangkan pada strain Synechoccus sp. ICBB 9111 dan Chlamydomonas sp. ICBB 9113 penambahan kontaminan logam Cd menyebabkan warna hijau mulai memudar setelah 30 – 60 menit setelah penambahan logam Cd. Hal tersebut menunjukkan populasi ganggang mikro yang menurun akibat kematian sel. Hal ini menunjukkan jenis ganggang mikro sangat berpengaruh terhadap hasil akhir, kapasitas serapan maupun kepekaannya terhadap logam berat. Selain jenis gangang mikro, konsentrasi logam juga berpengaruh terhadap kapasitas serapan logam oleh ganggang mikro. Pada permukaan penyerap (biomassa ganggang mikro) terdapat sejumlah sisi aktif yang proporsional dengan luas permukaan penyerap. Semakin 51
Confidential
besar konsentrasi logam dalam larutan maka serapan logam akan meningkat secara linier hingga konsentrasi tertentu. 0.45 0.4
Opt. Densiti
0.35 0.3
1,25 ppm
0.25
2,50 ppm
0.2
5 ppm
0.15
10ppm
0.1
Blanko
0.05 0 0
1
2
3
4
5
Hari ke-
Gambar 13. Pengaruh penambahan logam berat Cd terhadap pertumbuhan Chlorella vulgaris ICBB 9114 Waktu kontak antara adsorbat (logam) dengan adsorben selama proses adsorpsi
berlangsung sangat berpengaruh karena proses adsorpsi tergantung pada banyaknya tumbukan yang terjadi antara partikel-partikel adsorbat dan adsorben. Karakteristik dari adsorben antara lain : ukuran partikel dan luas permukaan adsorben. Keduanya akan mempengaruhi proses adsorpsi. Semakin kecil ukuran partikel akan semakin cepat proses adsorpsi yang terjadi. Selain itu penyerapan absorbat ke absorben akan semakin merata apabila luas permukaan semakin besar. Tabel 10. Pengamatan visual pengaruh penambahan logam berat terhadap pertumbuhan Chlorella vulgaris ICBB 9114. Kontaminan jenis logam Logam Cd Logam Hg Logam As Logam Pb Blanko Ket :
1 ++ ++ ++ ++
1 - konsentrasi 1,25 ppm 2 - konsentrasi 2,50 ppm
Hari ke-0 2 3 + + + + ++ + ++ ++ ++
4 + + + ++
1 + + + +
Hari ke- 1 2 3 + + + + + ++
3 - konsentrasi 5 ppm 4 – Konsentrasi 10ppm
4 + +
1 + + + +
Hari ke- 4 2 3 + + + + +
4 + +
+++ + : hidup (hijau) - : mati (pudar)
52
Confidential
Tabel 11. Pengamatan visual pengaruh penambahan logam berat terhadap pertumbuhan Synechoccus sp. ICBB 9111.
Kontaminan jenis logam Logam Cd Logam Hg Logam As Logam Pb Blanko
1 + + + +
Hari ke-0 2 3 + + + +
+ + + +
4
1
+ + + +
-
Hari ke- 1 2 3 -
+
-
4
1
-
-
Hari ke- 4 2 3 -
+
-
4 -
++
Tabel 12. Pengamatan visual pengaruh penambahan logam berat terhadap pertumbuhan Chlamydomonas sp. ICBB 9113.
Kontaminan jenis logam Logam Cd Logam Hg Logam As Logam Pb Blanko Ket :
1 + + + +
1 - konsentrasi 1,25 ppm 2 - konsentrasi 2,50 ppm
Hari ke-0 2 3 + + + +
+ + + +
4
1
+ + + +
-
Hari ke- 1 2 3 -
+
-
4
1
-
-
+
3 - konsentrasi 5 ppm 4 – Konsentrasi 10ppm
Hari ke- 4 2 3 -
-
4 -
++
+ : hidup (hijau) - : mati (pudar)
Gambar 14. Pengamatan secara visual pengaruh penambahan logam berat terhadap ganggang mikro strain Synechoccus sp. ICBB 9111, Chlamydomonas sp. ICBB 9113 dan Chlorella vulgaris ICBB 9114. Melalui pengukuran kerapatan optik (optical density) terhadap ketiga strain ganggang mikro. Penambahan logam berat menyebabkan penurunan populasi ganggang mikro yang cukup tajam mulai hari ke 0. Penurunan populasi diukur melalui penurunan nilai OD (Gambar 15) mulai terjadi pada rentang waktu 0-30 menit yang penurunannya berkisar antara satuan skala 0,01-0,05. Besarnya tingkat penurunan tergantung konsentrasi logam yang ditambahkan serta jenis strain yang digunakan. Semakin tinggi konsentrasi logam terjadi penurunan kerapatan optik yang semakin besar yaitu pada skala 0.05 – 0.12.
53
0.200 OD 620nm
Confidential
0.250
0.150 9111 ICBB 0.100
9113 ICBB 9114 ICBB
0.050 0.000 blanko
0'
5'
10'
15'
30'
60'
Waktu (menit)
Gambar 15. Pengaruh logam berat Cd terhadap pertumbuhan strain Synechoccus sp. ICBB 9111, Chlamydomonas sp. ICBB 9113 dan Chlorella vulgaris ICBB 9114 pada waktu ke 0 hingga 60 menit setelah penambahan logam berat Persentase penurunan populasi ganggang mikro (dalam nilai OD) akibat penambahan
logam Cd berbeda-beda antar strain. Untuk strain Synechoccus sp. ICBB 9111 penurunan OD sebesar 0.0152 atau 5,7%, strain Chlamydomonas sp. ICBB 9113 sebesar 0.0158 atau 6,92% dan untuk strain Chlorella vulgaris ICBB 9114 sebesar 0.0095 atau 2,78%. Hasil ini menunjukkan pertumbuhan ketiga strain menurun seiring dengan lamanya waktu kontak dengan logam. Hal ini mengindikasikan bahwa toksisitas Cd cukup tinggi sehingga menghambat pertumbuhan ketiga strain tersebut. Ganggang mikro umumnya memiliki mekanisme perlindungan terhadap logam beracun untuk mempertahankan kehidupannya. Mekanisme ini melibatkan pembentukan kompleks logam dengan protein dalam membran sel sehingga logam dapat terakumulasi dalam sel tanpa mengganggu pertumbuhannya. Jika konsentrasi logam demikian tinggi, akumulasi dapat menghambat pertumbuhan sel karena sistem perlindungan organisme tidak mampu lagi mengimbangi efek toksik logam (Arifin et al. 1997). Ganggang mikro memiliki permukaan yang bermuatan negatif tinggi sehingga dapat menarik logam berat yang memiliki muatan positif yang kuat. Melalui tingginya tingkat resirkulasi di perairan, logam berat terserap oleh alga dan mendiami tempat yang bersifat fakultatif atau di bawah kondisi lingkungan normal (Oswald 1988). Dari ketiga strain ganggang mikro, maka strain Chlorella vulgaris ICBB 9114 relatif lebih tahan terhadap logam Cd dan potensial digunakan sebagai bioindikator pencemaran perairan oleh logam Cd. 54
Confidential
Strain tersebut mampu bertahan hingga konsentrasi Cd sampai 10 ppm. 4.4.2
Perlakuan Ganggang Mikro dengan Logam Berat Hg Penambahan kontaminan logam berat Hg pada berbagai konsentrasi yang diujikan
berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ketiga strain ganggang mikro tersebut. Diantara ketiganya hanya strain Chlorella vulgaris ICBB 9114 (Tabel 10) yang memiliki sifat daya
tahan serta mampu beradaptasi terhadap tekanan lingkungan sampai hari ke 4 (Gambar 16) pada konsentrasi Hg sebesar 1,25 ppm. Strain Chlorella vulgaris ICBB 9114 memiliki sifat
adaptasi yang lebih baik dibandingkan Synechococcus sp ICBB 9111 dan Chlamydomonas sp
Opt. densiti
ICBB 9113 terhadap ion Hg di dalam cairan.
0.45 0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0
1,25 ppm 2,50 ppm 5 ppm 10ppm Blanko 0
1
2
3
4
5
Hari ke-
Gambar 16. Pengaruh penambahan logam berat Hg terhadap pertumbuhan Chlorella vulgaris ICBB 9114. Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa perbedaaan jenis mikroalga sebagai adsorben (Synechococcus sp., Chlamydomonas sp. dan Chlorella vulgaris) dan jenis logam berat sebagai adsorbat (Cd, Hg, As dan Pb) dapat mempengaruhi kapasitas serapan dari masing-masing ion logam berat. Perbedaan diduga karena tiap sel mikroalga memiliki daya serap yang berbeda-beda, tergantung dari kandungan gugus fungsional dari dinding sel dan pertukaran ion yang terjadi pada permukaan selnya.
55
0.200 OD 620nm
Confidential
0.250
0.150 0.100
9111 ICBB
0.050
9113 ICBB
0.000
9114 ICBB
Waktu (menit)
. Gambar 17. Pengaruh logam berat Hg terhadap pertumbuhan strain Synechoccus sp. ICBB 9111, Chlamydomonas sp. ICBB 9113 dan Chlorella vulgaris ICBB 9114 pada Hari ke 0. Pertumbuhan ganggang mikro mengalami tren penurunan akibat penambahan logam
Hg seperti halnya pada penambahan logam Cd, hal ini terlihat pada hasil pengukuran OD terhadap ketiga strain tersebut pada hari ke 0. Untuk strain Synechococcus sp. ICBB 9111 terjadi penurunan OD (Gambar 17) sebesar 0.0301 atau 12,67%, untuk strain Chlamydomonas sp. ICBB 9113 penurunan OD sebesar 0.0325 atau 13,77% dan untuk strain Chlorella vulgaris ICBB 9114 penurunan OD sebesar 0.0235 atau 7,19%. 4.4.3. Perlakuan Ganggang Mikro dengan Logam Berat As Sebagaimana terhadap logam-logam lain yang diujikan, hanya strain Chlorella
vulgaris ICBB 9114 (Tabel 10) yang memiliki sifat daya tahan serta mampu beradaptasi terhadap tekanan lingkungan sampai hari ke 4 pada konsentrasi As sebesar 1,25 ppm dan 2,5 ppm (Gambar 18).
Gambar 18. Pengaruh penambahan logam berat As terhadap pertumbuhan Chlorella vulgaris ICBB 9114. 56
Confidential
Penurunan OD (Gambar 19) yang disebabkan penambahan logam berat As sangat
signifikan, dengan rentang waktu yang cepat 30-60 menit setelah penambahan logam. Selama periode tersebut terjadi penurunan nilai OD untuk strain Synechoccus sp. ICBB 9111 sebesar 0.0123 atau 4,85%, strain Chlamydomonas sp. ICBB 9113 sebesar 0.0159 atau 6,57% dan untuk strain Chlorella vulgaris ICBB 9114 penurunan sebesar 0.0119 atau 3,51%. 0.250
OD 620nm
0.200 0.150 9111 ICBB 0.100
9113 ICBB 9114 ICBB
0.050 0.000 blanko
0'
5'
10'
15'
30'
60'
waktu ( menit )
Gambar 19. Pengaruh logam berat As terhadap pertumbuhan strain Synechoccus sp. ICBB 9111, Chlamydomonas sp. ICBB 9113 dan Chlorella vulgaris ICBB 9114 pada waktu ke 0 hingga 60 menit setelah penambahan logam berat. Dibanding strain-strain yang lainnya, strain Chlorella vulgaris ICBB 9114 diduga memiliki kemampuan mengakumulasi ion As2+ yang lebih tinggi. Kemampuan Chlorella vulgaris tersebut sangat potensial untuk dimanfaatkan baik sebagai agen bioremediasi maupun bioindikator. Keadaan ini dimungkinkan karena ukuran ganggang mikro tersebut relatif kecil (7-12 m), sehingga mempunyai luas permukaan yang besar untuk berinteraksi dengan ion logam. Luas permukaan bidang sentuhan tersebut dapat mempercepat proses serapan antara ion logam As2+ dengan protein membran, dinding sel maupun komponen lain yang dimiliki ganggang mikro. Berdasarkan Gambar 19 terlihat Chlorella vulgaris mengakumulasi ion logam As2+ mulai menit ke 5, hingga menit ke 30. Pada periode tersebut kemungkinan Chlorella vulgaris ICBB 9114 sudah menjerap sebagian ion logam As2+ yang ada di dalam media, tetapi penjerapan tersebut belum mengganggu sistem metabolisme ganggang mikro 57
Confidential
tersebut. Populasi ganggang mikro pada periode tersebut masih stabil dan belum memperlihatkan penurunan. 4.4.4. Perlakuan Ganggang Mikro dengan Logam Berat Pb Strain Chlorella vulgaris ICBB 9114 juga memiliki sifat daya tahan yang lebih tinggi
terhadap Pb dibanding strain lain yang diuji (Tabel 10). Strain tersebut mampu bertahan sampai hari ke 4 (Gambar 20) untuk semua konsentrasi Pb yang diujikan yaitu sebesar 1,25ppm, 2,5 ppm, 5ppm dan 10 ppm meskipun terjadi penurunan populasi.
Gambar 20. Pengaruh penambahan logam berat Pb terhadap pertumbuhan Chlorella vulgaris ICBB 9114 Penambahan logam Pb memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan semua strain ganggang mikro yang diuji. Gambar 21 memperlihatkan kecenderungan penurunan pertumbuhan ganggang mikro akibat penambahan Pb sebagaimana yang terjadi akibat penambahan logam lainnya yaitu Cd, Hg dan As. Penurunan besaran OD untuk masingmasing strain adalah sebagai berikut : Synechoccus sp. ICBB 9111 sebesar 0.0154 atau 5,71%, Chlamydomonas sp. ICBB 9113 : sebesar 0.0185 atau 7,11% dan Chlorella vulgaris ICBB 9114 sebesar 0.0012 atau 0,34%. Berdasarkan hasil tersebut nampak bahwa Chlorella vulgaris ICBB 9114 memiliki ketahanan yang lebih tinggi terhadap Pb dibanding dengan kedua strain lainnya.
58
Confidential 4.5
Gambar 21. Pengaruh logam berat Pb terhadap pertumbuhan strain Synechoccus sp. ICBB 9111, Chlamydomonas sp. ICBB 9113 dan Chlorella vulgaris ICBB 9114 pada waktu ke 0 hingga 60 menit setelah penambahan logam berat. Pengukuran Konsentrasi Logam dalam Media Pertumbuhan yang Tidak Terabsorpsi. Hasil pengukuran konsentrasi logam yang dimasukkan pada
media setelah fase
kematian ganggang mikro adalah merupakan sisa logam yang tidak diadsorpsi
oleh
ganggang mikro. pengukuran ini bertujuan untuk mengetahui kapasitas serapan ganggang mikro terhadap logam secara tidak langsung. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan spektroskopi serapan atom (AAS). Hasil yang diperoleh (Gambar 22) menunjukan logam berat Hg dan As hampir diserap secara sempurna oleh sel Chlamydomonas sp ICBB 9113 maupun Chlorella vulgaris ICBB 9114.
Chlamydomonas sp ICBB 9113 memiliki kapasitas
penyerapan logam berat lebih besar dibandingkan Chlorella vulgaris ICBB 9114 untuk jenis logam As dan Hg . Sel ganggang mikro Chlorella vulgaris ICBB 9114 memiliki kapasitas serapan terendah terhadap logam berat Cd dan Pb. Kultivasi menggunakan polutan logam berat memperlihatkan bahwa sel Chlorella memiliki daya kemampuan adaptasi lebih baik dan lebih toleran dibandingkan sel Synechococcus dan Chlamydomonas. Penelitian sejenis telah dilakukan oleh Fauziah (2011) yang menggunakan Scenedesmus dimorpus untuk menyerap logam Cr(IV) dan Cd. Peneliti lain Endang et al. (2010) menggunakan Nannochloropsis sp. untuk menyerap logam Pb.
59
Confidential
(b)
(a) 6.0
konsentrasi (ppm)
konsentrasi (ppm)
7.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 Cd
Hg
As
Pb
8.0 7.0 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 Cd
Jenis logam 1.25 ppm
2.5 ppm
5 ppm
10 ppm
Gambar 22.
Hg
As
Pb
Jenis logam 1.25 ppm
2.5 ppm
5 ppm
10 ppm
Konsentrasi logam berat yang tidak terserap pada cairan yang mengandung Strain Chlamydomonas sp. ICBB 9113 (a) dan Strain Chlorella vulgaris ICBB 9114 (b)
Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa Chlamydomonas sp. ICBB 9113 lebih toleran terhadap Cd dibandingkan Chlorella vulgaris ICBB 9114 dan Scenedesmus dimorpus hasil penelitian Fauziah (2011). Untuk logam Pb, Chlorella vulgaris ICBB 9114 dan Chlamydomonas sp. ICBB 9113 lebih toleran dibandingkan dengan Nannochloropsis sp. (Tabel 13). Tabel 13. Persentase Konsentrasi Logam yang Tidak Terserap pada Media Pertumbuhan Ganggang mikro Nama Strain
Chlamydomonas sp ICBB 9113 Chlorella vulgaris ICBB 9114 Scenedesmus dimorpus Nannochloropsis sp
Jenis Logam Cd Pb Cd Pb Cr (VI) Cd Pb
Konsentrasi in take (ppm)
1,25 2,5 2,5 2,5 0,1 5 0,1
(%) Tidak Terserap 53,44 19,28 1,28 21,28 5,76 34,09 11,07
Referensi
Penelitian ini Penelitian ini Fauziah (2011) Endang, et al. (2010)
4.5.1
Adsorpsi Logam Cd Hasil penelitian menunjukkan Chlorella vulgaris ICBB 9114 mempunyai daya
adaptasi terhadap logam Cd paling tinggi. Sisa logam Cd yang tidak terserap Chlorella vulgaris sampai hari ke 4 sebesar 1,28% pada konsentrasi 2,5 ppm. Sebaliknya 60
Confidential
Chlamydomonas sp. ICBB 9113 memiliki ketahanan yang terhadap logam Cd yang rendah. Pada pemberian Cd dengan konsentrasi 1,25ppm sisa logam yang tidak terjerap sebesar 53,44%. Diduga pada konsentrasi tersebut sebagian besar sel Chlamydomonas sp. ICBB 9113
sudah mengalami kematian sehingga menyisakan logam Cd di dalam media cukup banyak. Sisa logam yang tidak terjerap dan tingginya konsentrasi yang diserap diduga Chlorella vulgaris memanfaatkan Cd untuk menggantikan fungsi Zn (Hunter dan Boyd 1997). Selain itu juga karena kemampuannya
melakukan mekanisme detoksifikasi ekstraseluler yang
terjadi akibat interaksi Cd dengan gugus hidroksil pada selulosa yang melapisi dinding sel Chlorella vulgaris. Penyerapan Cd oleh dinding sel dapat mencegah Cd masuk kedalam sel
(Rusmin 2005), sehingga akan mengurangi tingkat keracunan pada konsentrasi tinggi (konsentrasi 10 ppm) sehingga Chlorella vulgaris dapat terus tumbuh. Hasil penelitian Fauziah (2011) menunjukkan bahwa logam Cd pada konsentrasi 5
ppm yang tidak terserap oleh Scenedesmus dimorpus (koleksi Limnologi-LIPI, Cibinong) sebesar 34,09%. Sedangkan pada strain ICBB 9114 (Chlorella vulgaris), pada hari ke 4 logam Cd pada konsentrasi 5 ppm yang tidak terserap sebesar 80%. Kedua hasil tersebut sulit dibandingkan dan disimpulkan karena perbedaan populasi awal ganggang mikro yang digunakan serta perbedaan kondisi pertumbuhan, Jumlah sel mempengaruhi kemampuan penyerapan karena setiap sel memiliki fasefase tertentu. Pada akhir fase eksponensial jumlah sel akan mencapai maksimal. Semakin banyak jumlah sel kemampuan penyerapan logam Cd semakin tinggi (Nontji, 2006). Penurunan penyerapan karena sebagian Cd mengalami pengendapan dan sebagian lainnya mulai meracuni sel sehingga menurunkan kemampuan penyerapan. Semakin tinggi konsentrasi Cd semakin bertambah jumlah ion logam Cd yang terserap dan akan terjadi penurunan OD. Hal ini disebabkan keterbatasan sel dalam beradaptasi terhadap kondisi lingkungan karena tingginya konsentrasi Cd yang diberikan pada media. Standar baku mutu EPA untuk Cd adalah sebesar 1 mg/l. Mekanisme ikatan Cd pada dinding sel Chlorella vulgaris mencapai kira-kira 80% dari total akumulasinya di sel (Vilchez et al. 1997). Pengambilan ion logam berat oleh Chlorella vulgaris secara selektif dikarenakan oleh adanya ikatan yang kuat antara pasangan ion logam berat dan komponen sel, khususnya protein (Nakajima et al. 1981). Pada saat ganggang mikro dibiakkan pada medium yang mengandung Cd, cysteine-rich protein disintesis oleh sel Chlorella vulgaris, tetapi ketika ganggang mikro dibiakkan pada medium yang mengandung arsenik, methallothionen - like protein tidak disintesis (Maeda et al, 1998). Metalotionein mengandung asam amino sistein, dimana Cd terikat dengan gugus sulfhidril 61
Confidential
(-SH) dalam enzim karboksil sisteinil, histidil, hidroksil dan fosfatil dari protein dan purin. Kemungkinan besar pengaruh toksisitas Cd disebabkan oleh interaksi antara Cd dan protein tersebut, sehingga menimbulkan hambatan terhadap aktivitas kerja enzim. Kadmium lebih beracun bila terhisap melalui saluran pernafasan daripada saluran pencernaan. Kasus keracunan akut kadmium kebanyakan dari menghisap debu dan uap kadmium, terutama kadmium oksida (CdO). Logam kadmium (Cd) dan bermacam-macam bentuk persenyawaannya dapat masuk
ke lingkungan, terutama sekali merupakan efek samping dari aktivitas yang dilakukan manusia. Logam kadmium (Cd) juga akan mengalami proses biotransformasi dan bioakumalasi dalam organisme hidup. Logam ini masuk ke dalam tubuh bersama makanan yang dikonsumsi, tetapi makanan tersebut telah terkontaminasi oleh logam Cd dan atau persenyawaannya. Dalam tubuh biota perairan jumlah logam yang terakumulasi akan terus mengalami peningkatan dengan adanya proses biomagnifikasi di badan perairan.
Tabel 14. Sisa logam berat yang tidak terserap pada Strain Chlorella vulgaris ICBB 9114 dan Strain Chlamydomonas sp. ICBB 9113 Strain ICBB 9113 (%)
Konsentrasi
Strain ICBB 9114 (%)
(ppm)
Cd
Hg
As
Pb
Cd
Hg
As
Pb
1,25
53,44
0,08
0,16
30,64
0,72
0,08
0,16
54,72
2,5
80,00
0,04
0,08
19,28
1,28
0,04
0.08
21,28
5
74,80
0,02
0,04
42,40
80,00
0,02
0,04
41,20
10
66,60
0,01
0,02
40,10
69,91
0,01
0,02
62,26
4.5.2
Adsorpsi Logam Hg Dari hasil percobaan dengan menambahkan logam Hg, dari ketiga strain sampai hari
ke 4 menunjukkan hanya strain Chlorella vulgaris ICBB 9114 yang secara visual memperlihatkan warna medium yang tidak pudar pada konsentrasi Hg sebesar 1,25 ppm. Sisa logam yang tidak terserap oleh strain tersebut sebesar 0,01 % (Tabel 14). Secara umum semua strain yang diuji mampu menyerap habis logam Hg. Ion logam Hg berinteraksi dengan berbagai komponen sel ganggang mikro. Kemungkinan Hg dalam bentuk ion bebas dengan cepat terjerap oleh protein baik yang ada di dalam membran sel atau protein penyusun komponen sel lainnya. Secara umum ion Hg2+ juga bisa mengalami detoksifikasi membentuk HgO oleh enzim merkuri reduktase. Belum ada laporan bahwa ganggang mikro mampu melakukan detoksifikasi enzimatis melalui mekanisme tersebut.
62
Confidential
Toksisitas Hg dapat disebabkan oleh dua bentuk senyawa kimia yaitu inorganik
merkuri dan organik merkuri. Dalam air, Hg terutama terikat dengan Cl dan senyawanya berbentuk (HgCl)+, (HgCl4)-2, HgCl2 dan (HgCl3)- (Reilly 1980). Bentuk senyawa kimia dari merkuri ada dua yaitu : organik
(fenil-Hg, metoksi-Hg dan alkil-Hg) dan inorganik
(Hg+(HgCl) dan Hg2+). Merkuri organik mempunyai daya racun yang lebih tinggi dari
merkuri inorganik (Hutagalung 1984) dan menurut Lasut (2000) diperkirakan 4-31 kali lebih beracun dibanding bentuk merkuri inorganik. Kasus pencemaran lingkungan banyak disebabkan oleh toksisitas merkuri organik, dimana Hg berikatan dengan rantai alkil yang pendek yaitu etilmerkuri dan metil-merkuri. Senyawa tersebut sangat stabil dalam proses metabolisme dan mudah menginfiltrasi jaringan yang sukar ditembus oleh senyawa lain, misalnya otak dan plasenta. Senyawa tersebut mengakibatkan kerusakan jaringan yang irreversible baik pada orang dewasa maupun anak.
H g
0
20 % P a ru -p a ru / In sa n g
8 0 % , d a ra h S el H g H g
C H
P e n c e rn a a n C H
3
H g
0
o k s id a s i k a ta la s e
2+
3H g
Ik a ta n k o v a le n dengan gugus s is te in & G S H
+
H g
2+
+
~ 95%
d e m e tila s i
Gambar 23. Absorbsi Hg elemen (Hg0) dan MeHg pada sel Merkuri dalam bentuk logam tidak begitu berbahaya, karena hanya 15% yang bisa terserap tubuh manusia. Tetapi begitu terpapar ke alam, dalam kondisi tertentu ia bisa bereaksi dengan metana yang berasal dari dekomposisi senyawa organik membentuk metil merkuri yang bersifat toksis. 4.5.3
Adsorpsi Logam Pb Berdasarkan hasil penelitian ini Chlorella vulgaris ICBB 9114 merupakan adsorben
yang paling cocok untuk adsorbat logam berat Pb. Pada konsentrasi Pb sebesar 2,5 ppm Chlorella vulgaris ICBB 9114 mampu menyerap logam Pb sebesar 78,72% bahkan pada konsentrasi 10 ppm mampu menyerap logam Pb hampir 40% (Tabel 14). Di perairan air tawar, timbal membentuk senyawa kompleks yang memiliki sifat kelarutan rendah dengan beberapa anion, misalnya hidroksida, karbonat, sulfida, dan sulfat. Perairan tawar alami
63
Confidential
biasanya memiliki kadar timbal < 0,05 mg/l
dan perairan laut kadar timbal sekitar
0,025 mg/l. Senyawa Pb yang ada dalam badan perairan dapat ditemukan dalam bentuk ion-ion
divalen atau ion-ion tetravalen (Pb2+, Pb4+). Ion Pb tetravalen mempunyai daya racun yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan ion Pb divalen dan dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa ion Pb divalen lebih berbahaya dibandingkan dengan ion Pb tetravalen. 4.6
Perlakuan Ganggang mikro dengan Pestisida.
4.6.1
Penambahan Pestisida sebagai Kontaminan pada Media. Respon ganggang mikro strain Synechoccus sp ICBB 9111 (Gambar 24) terhadap
pestisida cukup beragam, pemberian herbisida (Gambar 24a) dan (Gambar 24b) menurunkan kerapatan optik (OD) lebih besar dibandingkan pemberian insektisida (Gambar 25a) dan (Gambar 25b). Pada konsentrasi rendah (5, 10 dan 20 ppm) walaupun terjadi penurunan OD setelah pemberian kontaminan, 24 jam selanjutnya ganggang mikro ICBB9111 masih dapat hidup, kecuali pada pemberian deltametrin. Hal ini disebabkan ganggang mikro Synechoccus sp. ICBB 9111 masih toleran terhadap pestisida glifosat. Pada konsentrasi yang lebih tinggi
(a)
(b)
0.35
0.35
0.30
0.30
0.25
0.25 OD620nm
OD 620nm
(40ppm) terjadi penurunan OD yang besar sejak awal pemberian,
0.20 0.15
0.20 0.15
0.10
0.10
0.05
0.05
0.00
0.00 0
1
2 Hari ke-
3
4
0
1
2
3
4
Hari ke-
Ket :
Gambar 24 . Kerapatan optik ganggang mikro strain Synechoccus sp ICBB 9111 terhadap pemberian (a) paraquat diklorida, (b) glifosat dengan variasi konsentrasi Pada 24 jam kemudian seluruh ganggang mikro mati. Hal ini disebabkan ganggang mikro tidak mampu melakukan metabolisme kontaminan pestisida. Disini terjadi penghambatan 64
Confidential
adsorpsi yang melampaui kapasitas sel, sehingga kontaminan yang masuk sudah merupakan toksin bagi sel. Proses keracunan sel oleh pestisida dikarenakan terhambatnya enzim
OD620nm
asetilkolestrase. Karbamat merupakan insektisida antikolinestrase.
(a) 0.35 0.30 0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00 0
1
2
3
4
Hari ke-
Ket :
Gambar25. Kerapatan optik ganggang mikro strain Synechoccus sp. ICBB 9111 terhadap pemberian (a) karbamat, (b) deltametrin dengan variasi konsentrasi.
Gambar 26. Pengaruh pemberian pestisida terhadap ganggang mikro strain Synechoccus sp ICBB 9111. Inhibisi antikolinestrasi karbamat (Gambar 27) melalui tahapan : interaksi active site asetilkolinetrase membentuk ikatan kompleks yang tidak stabil, kemudian terjadi hidrolisis senyawa kompleks dengan melepaskan ikatan Z atau R substitusi yang menghasilkan carbamylated (karbamat ester) terinhibisi dan menjadi non reaktif, selanjutnya terjadi dekarbamilasi menghasilkan AchE bebas, sehingga kembali mampu memutuskan asetilkolin (Ach) sebagai transmitter (Soemirat 2009). 65
Confidential Ket :
Gambar 27. Kerapatan optik ganggang mikro strain Chlamydomonas sp ICBB 9113 terhadap pemberian (a) paraquat diklorida, (b) glifosat dengan variasi konsentrasi. Respon ganggang mikro strain Chlamydomonas sp ICBB 9113 (Gambar 27) terhadap
pestisida cukup beragam, pemberian karbamat (Gambar 28a) dan deltametrin (Gambar 28b) menurunkan kerapatan optik (OD) lebih besar dibandingkan pemberian paraquat (Gambar 27a). Pada pemberian awal 30 menit hingga 24 jam selanjutnya ganggang mikro strain Chlamydomonas sp ICBB9113 masih dapat hidup, kecuali pada pemberian deltametrin. Ini disebabkan strain Chlamydomonas sp ganggang mikro ICBB 9113 masih toleran terhadap pestisida tersebut.
Ket :
Gambar 28 . Kerapatan optik ganggang mikro strain Chlamydomonas sp ICBB 9113 terhadap pemberian (a) karbamat, (b) deltametrin dengan variasi konsentrasi. 66
Confidential
Pada konsentrasi yang lebih tinggi (40 ppm) penyerapan terjadi sejak awal pemberian.
Pada 24 jam seluruh ganggang mikro mati. Berdasarkan hasil penelitian ini ganggang mikro Chlamydomonas sp. ICBB 9113 mempunyai daya tahan terhadap paraquat (Gambar 27a) Herbisida paraquat merupakan bagian dari kelompok senyawa bioresisten yang sulit terdegradasi secara biologis dan relatif stabil pada suhu, tekanan dan pH normal. Hal ini memungkinkan paraquat teradsorpsi sangat kuat oleh partikel tanah yang menyebabkan senyawa ini dapat bertahan lama di dalam tanah (Sastroutomo 1992). Paraquat diketahui sebagai senyawa yang sangat toksik, dan keberadaannya di dalam tanah sebesar 20 ppm mampu menghambat perkembangan dan aktivitas bakteri Azotobacter dan Rhizobium yang berperan dalam fiksasi N2 (Martani et al. 2001). Herbisida paraquat bila terdisosiasi akan membentuk kation dalam larutan tanah dan
akan difiksasi oleh pertukaran kation pada muatan negatif permukaan koloid tanah. Sebagai herbisida kationik, paraquat akan terionisasi sempurna dalam larutan tanah membentuk kation divalen dengan muatan positif terdistribusi di sekeliling molekul, dan paraquat akan segera teradsorpsi dan menjadi tidak aktif ketika kontak dengan koloid tanah.
Ket :
Gambar 29. Kerapatan optik ganggang mikro Chlorella vulgaris ICBB 9114 terhadap pemberian (a) paraquat diklorida, (b) glifosat dengan variasi konsentrasi.
67
Confidential Ket :
Gambar 30 . Kerapatan optik ganggang mikro strain Chlorella vulgaris ICBB 9114 terhadap pemberian (a) karbamat, (b) deltametrin dengan variasi konsentrasi. Pemberian karbamat (Gambar 30a) pada konsentrasi rendah 5 ppm pada media
mengandung ganggang mikro strain Chlorella vulgaris ICBB 9114 (Gambar 29) memberikan respon berupa penurunan nilai OD yang rendah terutama pada 30 menit pertama. Sedangkan untuk pemberian paraquat (Gambar 29a), (Gambar 29b), dan deltametrin (Gambar 30b) menurunkan kerapatan optik (OD) lebih besar. Dua puluh empat jam berikutnya terjadi penurunan OD yang besar, terutama untuk deltametrin, hal yang menarik untuk Chlorella vulgaris ICBB9114 pemberian karbamat (Gambar 30a) setelah 24 jam pada konsentrasi (540) ppm ternyata masih hidup dengan OD sekitar 0,20. Diperkirakan ganggang mikro Chlorella vulgaris
ICBB 9114 mempunyai kemampuan adaptasi terhadap karbamat.
Kemungkinan karbamat (BMPC) mengalami degradasi dan menjadi nutrient bagi ganggang mikro Chlorella vulgaris ICBB 9114. Pada konsentrasi yang lebih tinggi (40 ppm) terjadi penyerapan terjadi sejak awal pemberian. Pada 24 jam kemudian seluruh ganggang mikro mati. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa ganggang mikro Chlorella vulgaris ICBB 9114 mempunyai daya tahan terhadap karbamat (Gambar 30a) dan sangat sensitif terhadap paraquat dan deltametrin. Dari pembahasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan untuk strain Synechoccus sp. ICBB 9111 sangat sensitif terhadap ke empat pestisida. Terlihat penurunan OD setelah pemberian pestisida. Setelah 24 jam kemudian penambahan insektisida deltametrin menyebabkan penurunan OD yang tajam. Strain Chlamydomonas sp. ICBB 9113 relatif 68
Confidential
toleran terhadap paraquat, hal ini kemungkinan karena proses adsorpsi yang tidak segera berlanjut ketahapan metabolisme enzimatis. Tetapi pada waktu 24 jam kemudian mulai terjadi peracunan paraquat terhadap ganggang mikro tersebut. Strain Chlorella vulgaris ICBB 9114 sangat sensitif terhadap paraquat dan deltametrin. Dilaporkan oleh Udiarto dan Setiawati (2007) nilai konsentrasi letal 50 (LC50) terhadap P. xylostella paling tinggi
dibandingkan dengan firfonil, amabektin dan profenofos 4.7
Perlakuan Ganggang Mikro pada 60 Menit Pertama Pemberian Pestisida dengan Variasi Konsentrasi. Untuk mengukur tingkat kepekaan ganggang mikro terhadap pemberian pestisida,
pengamatan dilakukan terhadap penurunan OD pada 60 menit setelah pemberian pestisida terhadap ganggang mikro dengan variasi konsentrasi. Pengukuran kepekaan dapat diamati dengan melihat tren penurunan OD strain akibat pemberian pestisida. Diperoleh bahwa pemberian paraquat memberikan penurunan yang tajam pada strain Chlamydomonas sp.
ICBB 9113 (Gambar 31a) diikuti oleh strain Synechoccus sp. ICBB 9111 dan Chlorella
vulgaris ICBB 9114 (slope α = -0.0251 ; -0,0183 dan -0,0157). Berdasarkan hasil tersebut Chlamydomonas sp. ICBB 9113 paling sensitif terhadap herbisida paraquat. Hal yang sama dilaporkan oleh Franquiera et al. (1999) bahwa Chlamydomonas sudah mengalami peracunan oleh paraquat pada konsentrasi yang cukup rendah yaitu sebesar 0,15uM.
Ket :Galur
Gambar 31. Pengaruh (a) paraquat diklorida (b) glifosat terhadap OD ganggang mikro dengan variasi konsentrasi pada 60 menit setelah pemberian. 69
Confidential
Herbisida glifosat memberikan pengaruh negatif yang besar terhadap ketiga strain
ganggang mikro pada semua konsentrasi glifosat yang diujikan. Penurunan OD yang paling tajam dialami oleh strain Synechoccus sp. ICBB 9111 diikuti Chlorella vulgaris ICBB 9114 dan Chlamydomonas sp. ICBB 9113 (Gambar 31b) ( slope α = -0.0385 ; -0,0287 dan 0,0153). Herbisida yang berbahan aktif, glifosat bersifat tidak selektif. Herbisida ini dapat mengendalikan semua gulma melalui beragam mekanisme seperti reduksi klorofil dan karotenoid. Glifosat bersifat sistemik, yaitu pestisida ini dapat terserap ke dalam jaringan. Synechoccus sp. ICBB 9111 adalah golongan Synechoccus yang lebih mudah terpapar dibandingkan spesies ganggang mikro yang lain. Synechoccus sp. bersifat sel tunggal dan memiliki karetenoid yang memungkinkan penyerapan glifosat melalui dinding sel lebih cepat.
Ket :Galur
Gambar 32.
Pengaruh (a) karbamat (b) deltametrin terhadap OD ganggang mikro dengan variasi konsentrasi pada 60 menit setelah pemberian.
Pemberian karbamat (Gambar 32a) pada strain Synechoccus sp. ICBB 9111 menyebabkan pengaruh negatif yang ditunjukan dengan dengan terjadinya penurunan OD mulai pada konsentrasi sebesar 20 ppm. Uuntuk Chlamydomonas sp. ICBB 9113 pengaruh negatif sudah dimulai pada konsentrasi pemberian sebesar 5 ppm dan terjadi penurunan tajam ketika konsentrasi karbamat ditingkatkan hingga 40 ppm. Sedangkan pada Chlorella vulgaris ICBB 9114 respon penurunan OD baru terjadi pada konsentrasi 20 ppm. Ditinjau dari laju penurunan OD, Synechoccus sp. ICBB 9111 menampakkan penurunan yang paling tajam diikuti oleh Chlamydomonas sp. ICBB 9113 dan Chlorella vulgaris ICBB 9114 ( slope α = 0.0351 ; -0,0259 dan -0,013), 70
Confidential
Pemberian deltametrin (Gambar 31b) menyebabkan penurunan tajam OD strain
Synechoccus sp. ICBB 9111 mulai pada konsentrasi 5 ppm, demikian juga halnya untuk Chlamydomonas sp. ICBB 9113. Pada Chlorella vulgaris ICBB 9114 penurunan tajam mulai
terjadi pada konsentrasi 10 ppm. Secara umum penurunan paling tajam dialami oleh ICBB 9113, ICBB 9111 dan kemudian ICBB 9114 ( slope α = -0.047 ; -0,0261 dan -0,0166). Deltametrin merupakan racun kontak dan tidak bersifat sistemik, efektifitas toksik hanya berdasarkan luas bidang permukaan. Semakin kecil luas permukaan semakin cepat penyerapan.
Keberadaan ganggang mikro yang bebas lebih cepat merespon polutan
dibandingkan ganggang mikro yang dalam keadaan berkoloni. Strain Synechococcus sp.
ICBB 9111 lebih dominan sebagai sel tunggal dibandingkan Chlorella vulgaris ICBB 9114 yang lebih banyak berbentuk koloni. Hal ini menyebabkan Chlorella vulgaris ICBB 9114 lebih toleran terhadap deltametrin. 4.8
Pemanfaatan Potensi Ganggang Mikro dalam Pemantauan dan Evaluasi Pencemaran Perairan. Air adalah molekul yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Air
mempertahankan suhu tubuh, mendistribusikan nutrisi ke seluruh tubuh, melembabkan persendian, dan membantu pencernaan makanan. Air juga merupakan unsur alam terpenting kedua bagi kehidupan makhluk hidup setelah oksigen, maka air harus selalu tersedia dalam jumlah yang cukup, mudah didapatkan dan memenuhi persyaratan untuk dikonsumsi. Manusia mendapatkan air dari sumber-sumber air, baik yang ada dipermukaan tanah maupun air yang ada dalam tanah. Meskipun jumlah air di bumi relatif tetap sebesar ± 1,4 miliar km3, namun 97,1% berada di laut yang merupakan air yang mengandung kadar garam cukup tinggi, sekitar 2,15% tersimpan dalam bentuk es dan yang mempunyai potensi untuk dipergunakan manusia secara langsung maupun tidak langsung hanya 0.617%, dan 0.017% terdapat di sungai dan danau serta 0.600% berupa air tanah. Menurut Machbub (1999), indeks ketersediaan air rata-rata (Average Water Availability Index, WAI) dunia adalah 7.6 (1000 m3/kapita/tahun), sementara di Asia hanya 4.0. WAI Indonesia adalah 16.8 lebih tinggi dari nilai rata-rata WAI Asia, namun penyebarannya tidak merata. Pulau Jawa yang luasnya mencapai tujuh persen dari total daratan wilayah Indonesia hanya mempunyai 4.5% dari total potensi air tawar nasional, namun pulau ini dihuni oleh sekitar 65% total penduduk Indonesia. Kondisi ini menggambarkan potensi kelangkaan air di Pulau Jawa sangat besar. Jika dilihat ketersediaan air per kapita per tahun, di Pulau Jawa hanya tersedia 1750 m3 per 71
Confidential
kapita per tahun, masih di bawah standar kecukupan yaitu 2000 m3 per-kapita per-tahun.
Jumlah ini akan terus menurun sehingga pada tahun 2020 diperkirakan hanya akan tersedia sebesar 1200 m3. Secara alamiah sumber-sumber air merupakan kekayaan alam yang dapat diperbaharui dan mempunyai daya generasi, namun akibat peningkatan beban pencemaran oleh berbagai sumber akibat pertumbuhan penduduk, industri, peternakan dan pertanian serta kegiatan lainnya telah menyebabkan pencemaran per kapita per tahun sumber-sumber air. Untuk menentukan tingkat kondisi mutu air yang menunjukkan kondisi tercemar atau kondisi baik suatu sumber air dalam waktu tertentu dilakukan dengan membandingkan baku mutu air yang ditetapkan. Menurut Peraturan Pemerintah nomor 20 tahun 1990, sumber air menurut kegunaan/peruntukannya digolongkan menjadi empat, yaitu: 1. Golongan A, yaitu air yang digunakan sebagai air minum secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu; 2. Golongan B, yaitu air yang dapat dipergunakan sebagai air baku untuk diolah sebagai air minum dan keperluan rumah tangga; 3. Golongan C, yaitu air yang dapat dipergunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan; dan 4. Golongan D, yaitu air yang dapat dipergunakan untuk keperluan pertanian, dan dapat dimanfaatkan untuk usaha perkotaan, industri dan listrik negara. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001, mutu air diklasifikasikan menjadi empat kelas, yaitu: a. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; b. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; c. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan air yang sama dengan kegunaan tersebut; d. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi, pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Pencemaran air berhubungan dengan masalah limbah yang tergantung pada sifat-sifat kontaminan yang memerlukan oksigen, memacu pertumbuhan ganggang, penyakit dan zat toksik. Pencemaran terhadap sumber daya air dapat terjadi secara langsung dari saluran pembuangan atau buangan industri dan secara tidak langsung melalui pencemaran air dan limpasan dari daerah pertanian dan perkotaan. Menurut Effendi (2003), bahan pencemar memasuki sungai dapat melalui atmosfer, tanah, limpasan pertanian, limbah domestik dan 72
Confidential
perkotaan, pembuangan limbah industri, dan lain-lain. Sumber pencemaran yang masuk ke badan perairan, dibedakan atas pencemaran yang disebabkan oleh alam (misal letusan gunung berapi, tanah longsor, banjir) dan pencemaran karena kegiatan manusia. Pencemaran air sungai dapat berasal dari berbagai sumber pencemar antara lain dari
limbah industri, limbah rumah tangga, limbah pertanian dan lain-lain. Limbah-limbah dimaksud dapat berupa zat, energi, dan atau komponen lain yang dikeluarkan atau dibuang akibat sesuatu kegiatan baik industri maupun non-industri. Menurut Effendi (2003), pencemaran air diakibatkan oleh masuknya bahan pencemar berupa gas, bahan-bahan terlarut, dan partikulat, sedangkan menurut Simonovic (2006) sumber pencemar air di dunia yang paling dominan adalah limbah manusia, limbah industri dan bahan kimia, dan limbah pertanian (pestisida dan pupuk). Bentuk-bentuk bahan pencemar tersebut mencakup bahan organik industri, bahan asiditas, logam berat, amonia, nitrat, dan fosfat dan residu pestisida dari pertanian. Limbah industri dapat berupa bahan sintetik, logam, dan bahan beracun berbahaya
yang sulit diurai oleh proses biologi. Pada umumnya air limbah industri mengandung air, pelarut organik, minyak, padatan terlarut, dan senyawa kimia terlarut. Kandungan kimia limbah dapat berupa bahan organik atau anorganik, dari air kotor yang tidak berbahaya hingga mengandung logam beracun dan endapan organik. Limbah industri juga dapat mengandung logam dan cairan asam yang berbahaya, misalnya limbah yang dihasilkan industri pelapisan logam yang mengandung tembaga dan nikel serta cairan asam sianida, asam borat, asam kromat, asam nitrat dan asam fosfat. Limbah tersebut bersifat korosif dan dapat mematikan tumbuhan dan hewan air. Selain itu, limbah industri yang lebih berbahaya adalah yang mengandung logam berat seperti merkuri (Hg), kromium (Cr), timbal (Pb), kadmium (Cd), dan arsen (As). Logam berat tersebut bersifat menetap dan mudah mengalami biomagnifikasi. Apabila logam berat mencemari air yang selanjutnya terkonsumsi oleh organisme, seperti ikan dan biota perairan lainnya, maka akan mengumpul dalam waktu yang lama yang bersifat sebagai racun yang akumulatif. Kualitas air terkait dengan sifat air dan kandungan makhluk hidup, zat, energi atau komponen lain di dalam air. Kualitas air juga menggambarkan kesesuaian air untuk penggunaan tertentu, misalnya untuk air minum, perikanan, irigasi, industri, rekreasi, dan sebagainya. Kualitas air dinyatakan dengan beberapa parameter, yaitu parameter fisika, kimia, dan biologi. Setiap penggunaan air memiliki persyaratan kualitas air tertentu. Oleh 73
Confidential
karena itu, pada umumnya kualitas air ditunjukkan dengan adanya beberapa kombinasi parameter kualitas air. Karakteristik fisik yang biasa digunakan untuk menentukan kualitas air meliputi suhu,
konduktivitas, padatan terlarut, padatan tersuspensi, salinitas, dan lain-lain. Karakteristik kimia yang biasa digunakan untuk menentukan kualitas air meliputi pH, DO, BOD, COD, NH3, NO3-, NO2-, PO43-, Oksigen terlarut (DO) merupakan kebutuhan vital bagi kelangsungan hidup organisme suatu perairan. Oksigen terlarut dimanfaatkan oleh organisme perairan melalui respirasi untuk pertumbuhan, reproduksi, dan kesuburan (Salmin 2005). kadar logam berat, dan lain-lain. Untuk parameter biologi digunakan keberadaan E. coli . hal yang menjadi krusial untuk penentuan kualitas perairan menurut parameter fisik, kimia dan biologi kurang mendapatkan gambaran pencemaran perairan secara komprehensif. Hasil analisis menunjukan kondisi sesaat. Dan dari segi waktu dan biaya tidak efisien, karena membutuhkan instrumen analisis. Keberadaan ganggang mikro memberikan peluang untuk mengatasi masalah ini.
Sensitivitas ganggang mikro terhadap berbagai bahan pencemar memberikan alternatif dalam melakukan monitoring dan evaluasi pencemaran. Kemampuan respon yang cepat terhadap bahan pencemar menjadikan ganggang mikro sebagai bioindikator terhadap bahan pencemar (senyawa organik maupun anorganik). Pada penelitian ini ditemukan kepekaan ganggang mikro Synechococcus sp. ICBB 9111, Chlamydomonas sp. ICBB 9113 dan Chlorella vulgaris ICBB 9114 terhadap logam Hg, As, Cd dan Pb serta pestisida (paraquat, glifosat, karbamat dan deltametrin). Penelitian juga menunjukan bahwa Synechococcus sp. ICBB 9111 dan Chlamydomonas sp. ICBB 9113 sangat peka terhadap logam Hg, As, Cd dan Pb serta ICBB 9114 hanya peka terhadap logam Hg dan As tetapi toleran terhadap Cd dan Pb. Dapat disimpulkan bahwa Synechococcus sp. ICBB 9111, Chlamydomonas sp. ICBB 9113 merupakan bioindikator logam Hg, As, Cd dan Pb. Sedangkan Chlorella vulgaris ICBB 9114 selain sebagai bioindikator logam Hg dan As juga berfungsi sebagai bioakumulator terhadap logam Cd dan Pb. Penemuan ini juga membuka potensi pemanfaatan Synechococcus sp. ICBB 9111 dan Chlamydomonas sp. ICBB 9113 untuk digunakan dalam uji cepat (rapid test) keberadaan logam berat disuatu perairan tercemar. Dengan menggunakan kedua strain ganggang mikro tersebut pencemaran perairan oleh logam berat tertentu dapat diketahui dalam waktu hanya 515 menit. Aplikasi uji cepat pencemaran logam dengan mengamati perubahan warna media 74
Confidential
biakan ganggang mikro setelah ditambahkan contoh air yang diduga tercemar logam. Perubahan warna hijau media menjadi hijau muda atau memudar menandakan adanya logam dalam air contoh. Dalam hal ini media biakan yang berisi strain ganggang mikro harus dilakukan kalibrasi untuk tingkat kepadatan selnya dengan mengukur kerapatan optik (OD), sebagai media standar. Aplikasi ini sangat menguntungkan karena metode sederhana, murah dan cepat. Berbeda dengan pengukuran pemeriksaan secara kimia yang membutuhkan perlakuan serta bahan kimia tertentu, selain biaya reagensia yang cukup mahal. Chlorella vulgaris ICBB 9114 relatif tahan terutama terhadap Cd dan Pb, dengan
demikian kurang dapat digunakan pada uji cepat logam berat dalam perairan. Strain tersebut sangat potensial digunakan dalam bioremediasi perairan tercemar logam Cd dan Pb, karena kemampuannya menyerap logam berat tersebut. Dalam aplikasinya bisa dibuat kolam khusus yang diberi biakan Chlorella vulgaris ICBB 9114, kemudian air tercemar limbah logam berat Cd dan Pb dialirkan ke dalam kolam tersebut sehingga terjai proses detoksifikasi.
75
Confidential
V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1
Simpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut : 1.
Ganggang mikro Synechococcus sp. ICBB 9111 (Arisanti 2012), Chlamydomonas
sp.ICBB
9113
(Arisanti
2012),
dan
Chlorella
vulgaris.ICBB 9114 (Rahayu 2013) merupakan ganggang mikro seleksi berdasarkan laju pertumbuhan dengan media BG 11. 2.
Uji sensitivitas ganggang mikro terhadap logam raksa (Hg), arsen (As), kadmium (Cd) dan timbal (Pb), dengan variasi konsentrasi logam (1.25 ppm, 2.50 ppm, 5.0 ppm dan 10.00 ppm). Hasil pengamatan visual diperoleh 2 strain ganggang mikro terhenti pertumbuhannya selama periode uji yaitu Synechococcus sp. ICBB 9111dan Chlamydomonas sp. ICBB 9113. Sedangkan untuk Chlorella vulgaris. ICBB 9114 masih mampu bertahan hidup dalam media yang mengandung logam Cd dan Pb.
3.
Uji sensitivitas strain Synechococcus sp. ICBB 9111, Chlamydomonas sp. ICBB 9113 serta Chlorella vulgaris ICBB 9114 terhadap logam berat memberikan penurunan kerapatan optik pada rentang (0.01-0.03 satuan), respon yang besar ditunjukan oleh semua strain terhadap logam Hg dan As. Ganggang mikro Chlorella vulgaris ICBB 9114 memberikan respons yang rendah terhadap logam Cd dan Pb, dari hasil pengamatan Chlorella vulgaris ICBB 9114 memiliki daya kemampuan tumbuh dan adaptasi yang lebih baik dibandingkan sel Synechococcus ICBB 9111 dan Chlamydomonas ICBB 9113.
4.
Daya tahan terhadap logam yang diujikan dilakukan dengan menganalis kadar logam yang tidak terabsorpsi oleh ganggang mikro, hasil analisis menunjukan bahwa ion logam Hg dan As hampir seluruhnya diabsorpsi oleh ganggang mikro dengan sisa konsentrasi logam dalam media sebesar <0.001ppm dan <0.002ppm. Sedangkan untuk Cd dan Pb hanya sebagian kecil yang diabsorpsi oleh ganggang mikro.
5.
Tingkat daya tahan masing-masing ganggang mikro terhadap logam yang diuji berturut-turut adalah Chlorella vulgaris ICBB 9114 > Chlamydomonas sp. ICBB 9113 > Synechococcus sp. ICBB 9111.
6.
Uji sensitivitas ganggang mikro dilakukan terhadap pestisida (glifosat, 76
Confidential
paraquatdiklorida, karbamat dan deltametrin) pada konsentrasi (5 ppm, 10ppm, 20ppm dan 40ppm), menunjukan penurunan populasi ganggang. Pertumbuhan ganggang mikro relatif tidak terpengaruh oleh pestisida hingga 24 jam pertama. Setelah 24 jam terjadi penurunan populasi dan pada 96 jam semua ganggang mikro mati. Besaran konsentrasi pestisida berkisar antara 10-20 ppm merupakan konsentrasi kritis bagi daya tahan dan adaptasi ganggang mikro. 7.
Ganggang mikro Synechococcus sp. ICBB 9111, Chlamydomonas sp. ICBB 9113 dan Chlorella vulgaris ICBB 9114 masing-masing memiliki sensitivitas yang berbeda-beda terhadap polutan (logam berat atau pestisida) yang masuk ke lingkungan perairan. Synechococcus sp. ICBB 9111, Chlamydomonas sp. ICBB 9113 sangat sensitif terhadap semua logam berat, sedangkan Chlorella vulgaris ICBB 9114 bersifat toleran terhadap logam Cd dan Pb.
8.
Sensitifitas Synechococcus sp. ICBB 9111, Chlamydomonas sp. ICBB 9113 menunjukkan bahwa strain tersebut merupakan bioindikator terhadap logam Hg, As, Cd dan Pb. Sedangkan Chlorella vulgaris ICBB 9114 bersifat toleran terhadap logam Cd dan Pb menunjukan bahwa strain ini bersifat sebagai bioakumulator Cd dan Pb sekaligus bioindikator Hg dan As.
9.
Pengujian pestisida terhadap strain Synechococcus sp. ICBB 9111, Chlamydomonas sp. ICBB 9113, Chlorella vulgaris ICBB 9114 tidak menunjukan sensitifitas yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa ganggang mikro tersebut bukanlah bioindikator terhadap pestisida.
5.2
Saran Perlu dilakukan penelitian lanjut Uji sensitifitas strain Synechococcus sp.
ICBB 9111, Chlamydomonas sp. ICBB 9113 dan Chlorella vulgaris ICBB 9114 dengan logam berat, pestisida atau senyawa organik lain. Untuk mengetahui tingkat sensitifitas ganggang mikro sebagai bioindikator, uji lapangan diperlukan untuk validasi tes sehingga diperoleh formulasi yang tepat. Perlu pengembangan pengujian untuk mendapatkan waktu letal ganggang mikro terhadap berbagai polutan.Hasil pengembangan tersebut dapat dijadikan alternatif uji konvensional melalui analisis kimia air.
77
Confidential
DAFTAR PUSTAKA [EPA]
Environmental Protection Agency. 1973. Water Qualitiy Criteria. EPA. Ecology Research Series. Washington.
[ETN] Extension Toxicology Network. 1995. Deltamethrin: Pesticide Information Profiles. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1997. Pesticide residues in food – 1997. Report. http://www.fao.org/docrep/w8a4e/w8141le0j.htm. (16 Mei 2008). [MENKLH] 1988. Keputusan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor : 02/MENKLH/1988, tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Sekretariat MENKLH. Jakarta. [Mentan] Menteri Pertanian Republik Indonesia. 2001. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 434.1/Kpts/TP.270/7/2001 tentang Syarat dan Tatacara Pendaftaran Pestisida. [WHO] World Health Organization. 1991. Aldicarb. Environmental Health Criteria No. 21. International Programme on Chemical Safety. [WHO] World Health Organization. 1999. Environmental Health Criteria. Geneva. Al-Homaidan AA. 2007. Heavy Metal Concentrations in Three Species of Green Algae from The Saudi Coast of The Arabian Gulf. J. Food Agri. Environ. 5: 354-358. Al-Homaidan AA. 2008. Accumulation of Nickel by Marine Macroalgae from The Saudi Coast of The Arabian Gulf. J. Food Agri. Environ. 6: 148151. Alloway BJ, and Ayres DC. 1993. Organic pollutants. Chemical Principles of Environmental Pollution. 1st edition. Chapman and Hall Publishers. India, 201. Angka SL, Suhartono MT. 2000. Bioteknologi Hasil-Hasil Laut. IPB: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Arisanti D. 2012. Produksi Karbohidrat, Protein dan Lipid Ganggang Mikro Pada Kolam Sistem Raceway: Penggunaan Kombinasi ZA-NaNO3 dan SP 36K2HPO4 sebagai Sumber Hara N dan P. [tesis]. Sekolah Pascasarjana. IPB Bogor Atlas RM. Bartha R. 1981. Microbial Ecology. Fundamental and Applications. Philippines: Addison-Wesley Publishing Company Inc. Bachtiar E. 2007. Penelusuran sumber daya hayati laut (alga) sebagai biotarget industri [skripsi]. Jatinangor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, 78
Confidential
Universitas Padjadjaran. Barianti L, Gualtieri P. 2006. Algae Anatomy, Biochemestry and Biotechology. USA: CRC Taylor & Francis Group. Baron RL, and TL Merriam. 1988. Toxicology of Aldicarb. Exptl. Contam. Toxicol. 105: 1 – 70. Baron, RL. 1994. A Carbamate insecticide: a case study of Aldicarb. Environ. Health Perspect. 102: 27 – 27. Becker EW, Baddiley SJ, Carey NH, Higgins IJ, Potter WG, editor. 1994. Microalgae. Biotechnology and Microbiology. New York: Cambridge University Press. Blas V. Vanessa, Ortiz B, Rocio PR, Marisol, Hernández G, Adelaida, Cano E, Edgar 2010. "Chlorella vulgaris administration prevents HgCl2-caused oxidative stress and cellular damage in the kidney". J. App Phycol 23: 53–8. Boehm PD. 1987. Transport and transformation process regarding hydrocarbon and metal pollution in offshore sedimenary environment in: Long term effect of shore oil and gas development. DF Boesch and NN Rabalai. Elsivier applied science. London. Bold HC. Wynne MJ. 1985. Introduction to the Algae. Structure and Reproduction. Ed ke-2. New Jersey: Prentice-Hall Inc. Englewood Cliffs. Bonner MR, Lee WJ, Sandler DP, Hoppin JA, Dosemeci M, & Alavanja MC. 2005. Occupational exposure to carbofuran and the incidence of cancer in the Agricultural Health Study. Environmental Health Perspectives, 113(3), 285. Borowitzka MA, Borowitzka LJ. 1988. Micro-algal Biotechnology. New York: Cambridge University Press. Boyd CE. 1992. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Department of Fisheries and Allied Aguacultures. Alabama: Agricultural Experiment Station Auburn. Bryan GW. 1976. Heavy metal contamination in the sea. R. Johnston (Ed.) Effects of Pollutants on Aquatic Organisms. Cambridge University press, Cambridge. Buhani. 2003. Adsorpsi Ion Logam Cu(II), Cd(II) dan Pb(II), Pada Biomassa Alga Yang Diimobilisasi Silika Gel, Jurnal Sains dan Teknologi. FMIPA Unila, Vol, 9 No. 2. Chmielewska E, and Medved J. 2001. “Bioaccumulation of Heavy Metals by Green Algae Cladophora glomerata in a Refinery Sewage Lagoon”, 79
Confidential
Croatia Chem Act, 74, 135-145. Cogger CG, Stark JD, Bristow PR, Getzin LW, & Montgomery M. 1998. Transport and persistence of pesticides in alluvial soils: II. Carbofuran.Journal of environmental quality, 27(3), 551-556. Connel DW, & Miller GJ. 1995. Kimia dan ekotoksikologi pencemaran. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Cornell University. 2001. Carbofuran (Furadan). Chemical Fact Sheet 6/84.5123. Cornstock Hall, Cornell University, Ithaca, New York. http : // www.u / profiles / insect-mite / cadusafos.cyromazine / carbofuran / insect.prof.carbofuran.html. (26 Mei 2013). Darmono D. 1995. Logam Dalam Sistem Mahluk Hidup. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Hubungannya dengan Toksikologi Senyawa Logam. Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), Jakarta. 10430: 109 – 111. Dewi KSP. 1996. Tingkat Pencemaran Logam Berat (Hg, Pb Dan Cd) di Dalam Sayuran, Air Minum dan Rambut di Denpasar, Gianyar dan Tabanan. [tesis]. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Djojosumarto P. 2004. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Kanisius. Yogyakarta. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air, bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. El-Naggar ME, and Al-Amoudi OA. 1989. Heavy Metal Levels in Several Species Of Marine Algae from The Red Sea Of Saudi Arabia. J.K.A.U.: Sci., 1: 5-13. Fardiaz S. 1992. Polusi air dan udara. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Fauziah. 2011. Efektivitas Penyerapan Logam Kromium (CrVI) dan Kadmium (Cd) oleh Scenedesmus dimorphus. (Skripsi) Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Forstner U, dan GTW Wittman. 1983. Metal Pollution in The Aquatic Environment. Berlin Heidelberg, New York, Tokyo, Berlin. SpringerVerlag. Franquiera D, Cid A, Torres E, Orosa M, Herrero C. 1999. A Comparison Of The Relative Sensitivity Of Structural And Functional Cellular Responses In The Alga Chlamydomonas Eugametos Exposed to The Herbicide Paraquat. Arc. Env. Contamination and Tox. 36.264-269. Friedman GM, and Sanders JE. 1978. Principles of Sedimentology: New YorkChichester-Brisbane-Toronto, John Wiley and Sons. Fritioff Å. Kautsky L, & Greger M. 2005. Influence of temperature and salinity on 80
Confidential
heavy metal uptake by submersed plants. Environmental Pollution, 133(2), 265-274. Garcia WU, and Garcia RU. 1985. Prawn Farming Made Simplex with Fertilex 1st ed. Manila. Gehl KA, & Colman B. 1985. Effect of external pH on the internal pH of Chlorella saccharophila. Plant physiology, 77(4), 917-921. Girsang W. 2009. Dampak Negatif Penggunaan Pestisida. Pematang Siantar : [disertasi]. Universitas Simalungun. Hallenbeck WH, and KM Cunningham-Burns. 1985. Pesticides and Human Health Springer-Verlag, Berlin. Haritonidis S, and Malea P. 1999. Bioaccumulation of metals by the green alga Ulva rigida from Thermaikos Gulf, Greece. Environ. Pollut., 104: 365372. Harmayani KD, dan Konsukartha IG. 2007. Pencemaran Air Tanah akibat Pembuangan Limbah Domestik di Lingkungan Kumuh. Jurnal Natah, 5(2). Hickling CF. 1971. Fish Culture. Faber and Faber. London. Holleman AF, Wiberg E, Wiberg N. 1985. "Arsen". Lehrbuch der Anorganischen Chemie. 91–100. Hutabarat S, dan Stewart ME. 1985. Pengantar oseanografi. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Hutagalung HP. 1989. Mercury and Cadmium Content in Green Mussels, Mytilus viridis L. from Onrust Waters, Jakarta Bay. Environ. Contam. Toxicol. Hutagalung HP. 1984. Logam berat dalam Lingkungan Laut. Pewarta Oceana IX No. 1 tahun 1984. Hutagalung HP. 1991. Pencemaran Laut oleh Logam Berat in P3O – LIPI.Jakarta. Inthorn D, Sidtitoon N, Silapanuntakul S, Incharoensakdi A .2002. "Sorption of mercury, cadmium and lead by microalgae". ScienceAsia 28 (3): 253– 61. doi:10.2306/scienceasia1513-1874.2002.28.253. IPCSINTOX 1985. Carbofuran. Data Sheet on Pesticide No. 56. http :// www.intox.org/ databank / chemical / carbofur / pest56_e.htm. (28 April 2013). Isnansetyo A. Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton. Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut. Yogyakarta: Kanisius. Jatmiko SY, Harsanti ES, dan Ardiwinata AN. 1999. Pencemaran pestisida pada agroekosistem lahan sawah irigasi dan tadah hujan di Jawa Tengah. Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi Gas Rumah Kaca dan Peningkatan Produktivitas Padi di Lahan Sawah. Bogor 24 April 1999. 81
Confidential
Balit Tanaman Pangan, Bogor. hlm. 106 – 118. Jeffries M, Mills D. 1996. Freshwater Ecology. Principles and Aplications. Chichester: John Willey and Sons Inc. Luoma SN, & Carter JL. 1991. Effects of trace metals on aquatic benthos. Metal Ecotoxicology, Concepts and Applications, 261-300. Machbub D. 2000. Pengelolaan sumberdaya air berwawasan lingkungan pada pengembangan wilayah. : Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah. Jakarta. Maeda S, & Sakaguchi T. 1990. Accumulation and detoxification of toxic metal elements by algae. Introduction to Appl. Phycol, 109-136. Mamboya FA, Pratap HB, Mtolera M, Bjork M. 1999. “The Effect Of Copper on The Daily Growth Rate and Photosynthetic Efficiency of The Brown Macroalga Padina boergesenii.” In: Richmond MD, Francis J (eds) Proceedings of the conference on advances on marine sciences, Tanzania, pp 185–192. Martani E, Wibowo K, Radjagukguk B, & Margino S. 2001. Influence of paraquat herbicide on soil bacteria, Rhizobium sp. (Pengaruh Paraquat terhadap Bakteri Tanah, Rhizobium sp.). J. Manusia dan Lingkungan, 8:82-90. Meregalli G. AC Vermeullen, F Ollivier. 2004. The Use of Chironomid in An in situ Test for Sediment Toxicity. Ecotox. and Environ. Safety 47, 231238 Mulyadi A. 1999. Pertumbuhan dan Daya Serap Nutrien dari Ganggang Mikro Dunaliella tertiolecta yang Dipelihara pada Limbah Domestik. J. Nat. Indonesia 2 (1):65-68. Musa M. 1992. Komposisi, Biomasa dan Produktivitas Fitoplankton Serta Hubungannya Terhadap Fisika Kimia Perairan di Waduk Selorejo Malang. Jawa Timur [tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Noegrohati S. 1995. “Heavy metals bioaccumulation Pattern of Bivalve Geloina sp. and Crustaceans Penaeus marguensis and Scylla serrata from the Southern Central Java Ocean Margin, and Its Consumer's Safety.” Indonesian Food and Nutrition. 12(1) Norman NC. 1998. Chemistry of Arsenic, Antimony and Bismuth. Springer. Nybakken JW. 1993. Marine Biology. An Ecological Approach. Ed ke-3. New York: Harper Collins College Publishers. Oswald WJ. 1988. Role of Microalgae in Liquid Waste Treatment and Reclamation. Algae and Human Affairs. Cambridge University Press New York. 1988. p 255-281. Palar H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi logam Berat. Rineka Cipta, Jakarta. 82
Confidential
Palenik B, Brahamsha B, Larimer FW, Land M, Hauser L, Chain P, Lamerdin J, Regala W, Allen EE, McCarren J, Paulsen I, Dufresne A, Partensky F, Webb EA, & Waterbury J. (2003). The genome of a motile marine Synechococcus.Nature, 424(6952), 1037-1042. Partensky F, Blanchot J, & Vaulot D. 1999. Differential distribution and ecology of Prochlorococcus and Synechococcus in oceanic waters: a review. Bull. Institut Oceanographique Monaco-NS, 457-476. Pelczar MJ, & Chan ECS. 1986. Dasar-dasar mikrobiologi. Jilid I. Diterjemahkan oleh Hadioetomo R. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 106-118. Pemerintah Republik Indonesia. 1973. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973 Tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida. Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1973 nomor 12. Tanggal 17 Maret 1973. (ID) : Sekretariat Negara. Pemerintah Republik Indonesia. 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153 Tanggal 14 Desember 2001. (ID) : Sekretariat Negara. Peryea FJ. 1998. "Historical use of lead arsenate insecticides, resulting in soil contamination and implications for soil remediation". 16th World Congress of Soil Science. Montpellier, France. Poelman E, Pauw N, Jeurisssen B. 1997. Potential of electrolytic flocculation for recovery of microalgae. Resource Conserv Recycl 19:1-10. Quano. 1993. Training Manual on Assesment of The Quality and Type of Land Based Pollution Discharges Into The Marine and Coastal Environment. UNEP. Bangkok. Quijano R, Mourin J, Rengam SV, & Macfarlane R. 1999. Profiting from poison: a community pesticide action on the pesticides industry, taking action locally. Rachmansyah, P. R., & Dalfiah, P. T, Ahmad. 1998. Uji toksisitas logam berat terhadap benur udang windu dan nener bandeng. Jurnal Perikanan Indonesia,4(1), 55-56. Rahayu SMN. 2013. Seleksi dan Karakterisasi Ganggang Mikro Indigen Air Tawar Sebagai Penghasil Karbohidrat untuk Energi Terbarukan. [disertasi]. Sekolah Pascasarjana. IPB Bogor. Rahman FA, Allan DL, Rosen CJ, Sadowsky MJ. 2004. "Arsenic availability from chromated copper arsenate (CCA)-treated wood". J. Environ. Qual, 33 (1): 173–80. Reilly C. 1991. Metal Contamination Food. Second edition. Elsevier Science 83
Confidential
Publisher LTD. London and New York. Reynolds CS. 1990. The Ecology of Fresh Water Phytoplankton. New York : Cambridge University Press. Risher JF. FL Mink, and JF Stara. 1987. The toxicologic effects of the carbamate insecticide Aldicarb in mammals: a review. Environ. Health Perspect. 72: 267 – 281. Rivai dan Supriyanto. 2000. "Determination of Copper and Zinc Concentrations in Various Marine Algae of Kalianda Beach, Lampung Province." In International Symposium on Marine Biotechnology (ISMB 2000): 29-31 May 2000, Jakarta. Indonesia, p. 123. Center for Coastal and Marine Resources Studies, IPB. Faculty of Fisheries and Marine Science. Rohilan I. 1992. Keadaan Sifat Fisika dan Kimia Perairan di Pantai Zona Industri Krakatau Steel Cilegon. [skripsi]. Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan, IPB. Bogor. Romimohtarto K. 2004. Meroplankton Laut : Larva Hewan Laut yang Menjadi Plankton. Djambatan : Jakarta. Round FE, Crawford RM, Mann DG. 1990. The diatoms: the biology and morphology of the genera. Cambridge University Press. Sadjusi, dan EI Lukman. 2004. Penggunaan pestisida ditinjau dari segi pengamanan lingkungan. Pros. Seminar Nasional Parasitologi dan Toksikologi Veteriner. Balai Penelitian Veteriner dan Department for International Development. 20 - 21 April 2004. Bogor. hlm: 85 – 96. Salmin. 2005. Oksigen terlarut (DO) dan kebutuhan oksigen biologi (BOD) sebagai salah satu indikator untuk menentukan kualitas perairan. Oseana. 30(3): 21-26. Sastroutomo SS. 1992. Pestisida, Dasar-dasar dan Dampak Penggunaannya. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Schopfer P and Brennicke A. 2006. Pflanzenphysiologie. Spektrum Akademischer Verlag, München. Shakla SK, and PR Srivastava. 1992. Introduction: in Water Pollution and Toxicology, Commonwealth Publishers New Delhi. Shim JY, Shin HS, Han JG, Park HS, Lim BL, Chung KW, Om AS. 2008. "Protective Effects of Chlorella vulgaris on Liver Toxicity in CadmiumAdministered Rats". Journal of Medicinal Food 11 (3): 479–85. Simonovic SP. 1992. Reservoir systems analysis: closing gap between theory and practice. Journal of Water Resources Planning and Management, 118(3), 262-280. Soegiharto A. 1976. Sumber-sumber Pencemaran. Seminar Pencemaran Laut. 84
Confidential
LON – LIPI. ISOI. Jakarta. Soemirat J. 2003. Toksikologi Lingkungan. Yogyakarta: UGM Press. Soemirati S. 1994. Kesehatan Lingkungan, Jurusan Teknik Lingkungan-ITBBandung. Stanier R, Adelberg EA, Ingraham J. 1982. Dunia Mikrobe I. Gunawan AW, Angka SL, Lioe KG, Hastowo, Lay B, penerjemah; Tjitrosomo SS, editor. Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara. Stolz JF. Partha B. Joanne MS. Oremland. Ronald S. 2006. "Arsenic and Selenium in Microbial Metabolism". Annual Review of Microbiology 60: 107–30. Storelli M.M., A. Storelli and G.O. Marcotrigiano, 2001. Heavy metals in the aquatic environment of the Southern Adriatic Sea, Italy. Macroalgae, and benthic species. Environ. Inter. 26: 505-509. Sunardi dan Ariyanti. 2009. Toksisitas sedimen sungai Citarum terhadap larva Hydrophsyche sp. Jurnal Biotika, vol 7 No. 2, hal.108 – 117. Sutomo. 1990. Pengaruh Salinitas dan pH terhadap Pertumbuhan Chorella sp. Di dalam: Buku Panduan dan Kumpulan Abstrak Seminar Ilmiah Nasional Lustrum VII. Yogyakarta: Fakultas Biologi UGM. Takagi M, Karseno, Yoshida T. 2005. Effect of Salt Consentration on Intraselular Accumulation of Lipids dan Triacyglyceride in Marine Microalgae Dunaliella cell. J Biosci 101 (3):223-226. Tejada AW. SMF Calumpang, and ED Magallona. 1990. The fate of carbofuran in rice-fish and livestock farming. Trop. Pest. Manage 36(3): 237 – 243. Tjitrosoepomo G. 1994. Taksonomi Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Tjitrosoepomo G. 2005. Taksonomi Tumbuhan Obat - Obatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Udiarto BK dan W Setiawati. 2007. Suseptibilitas dan Kuantifikasi Resistensi 4 Strain Plutella xylostella L. terhadap Beberapa Insektisida. J. Hort. 17(3):277-284. Waldichuk M. 1974 Some biological concern in metals pollution. In "Pollution and physology of marine organisms" (Vernberg & Vernberg eds.) Acad. Press. London. Waldichuk M. 1974. Some biological concerns in heavy metals pollution. Pollution and physiology of marine organisms. Wardoyo STH. 1982 Kriteria Kualitas Air untuk Keperluan Pertanian dan Perikana. Training Analisis Dampak Lingkungan: PPLH UNDP - PUSDI –PSL. Bogor: Institut Pertanian Bogor. 85
Confidential
Welch PS. 1980. Limnology. New York: McGraw Hill Book Co. Inc. Whitton BA. 1984. Algae as Monitors of Heavy Metals in Freshwaters. In: L.E. Shubert, Algae as Ecological Indicators. Academic Press, Inc., pp: 257280. Wijihastuti RS. 2011. Optimasi Lingkungan Tumbuh Mikroalga dari Kawahratu Sukabumi yang Berpotensi sebagai Sumber Biodiesel. (skripsi). Dep. Biologi FMIPA IPB Bogor. Willoughby OH. 1994. Farm Chemicals Handbook. Meister Publishing Co. Woodburn A. 2000. Glyphosate: production, pricing and use world wide. Pest Manage. Zarkasyi H. 2008. Biosorpsi Logam Merkuri (Hg) oleh Bacillus megaterium asal Hilir Sungai Cisadane (skripsi) Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Żbikowski R, Szefer P, & Latała A. 2007. Comparison of green algae Cladophora sp. and Enteromorpha sp. as potential biomonitors of chemical elements in the southern Baltic. Science of the Total Environment, 387(1), 320332.
86