PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM ( Studi Kasus : Perusahaan Deddy Fish Farm)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MAUPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK
LAIN
KECUALI
SEBAGAI
DINYATAKAN DALAM NASKAH.
BAHAN
RUJUKAN
YANG
RINGKASAN INTAN DYAH MASTUTI. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usaha Pembenihan Ikan Patin Siam (Studi Kasus : Perusahaan Deddy Fish Farm). Dibimbing oleh NOVINDRA. Tahun 2005, pemerintah merencanakan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan dengan tujuan untuk mengoptimalkan hasil produksi sebagai salah satu langkah mengatasi krisis perikanan tahun 2002. Salah satu komoditas yang menjadi unggulan yaitu ikan patin. Akan tetapi pada kenyataannya, program revitalisasi tersebut belum mampu meningkatkan ekspor patin. Indonesia masih kalah saing dengan Vietnam dalam hal kuantitas output maupun efisiensi biaya produksi. Melihat dari kenyataan tersebut, maka pemerintah memiliki target untuk mewujudkan Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar tahun 2015. Salah satu cara untuk mencapai target tersebut yaitu dengan meningkatkan pengadaan benih patin sebagai upaya untuk meningkatkan ekspor patin. Deddy Fish Farm merupakan salah satu pihak yang berperan dalam pengadaan benih ikan patin. Memasuki era globalisasi dan perdagangan bebas, muncul tantangan-tantangan yang dihadapi DFF. Tantangan itu antara lain munculnya pesaing baru dan inflasi. Melihat kenyataan tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini yaitu apakah DFF memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif sehingga layak untuk diusahakan serta menganalisis pengaruh kebijakan pemerintah dan faktor eksternal lainnya terhadap usaha pembenihan patin DFF. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif usaha pembenihan patin DFF serta menganalisis kebijakan pemerintah dan faktor eksternal lainnya terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif DFF. Hasil analisis matriks kebijakan menunjukkan bahwa usaha pembenihan ikan patin Deddy Fish Farm memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif baik pada tahun 2008 maupun 2009. Hal ini dilihat dari nilai PP dan SP yang positif, serta PCR dan DRC yang kurang dari satu. Akan tetapi, dalam kurun waktu tersebut ditunjukkan bahwa baik keunggulan komparatif maupun kompetitif mengalami penurunan. Selanjutnya dapat disimpulkan juga bahwa pada tahun 2008 usaha pembenihan ikan patin memiliki keunggulan kompetitif lebih tinggi dibandingkan keunggulan komparatif, sedangkan tahun 2009 menunjukkan hal sebaliknya. Hal ini ditunjukkan pada tahun 2008 nilai PCR lebih kecil dibandingkan DRC karena biaya sosial produksi lebih besar dibandingkan biaya finansialnya. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemeritah berjalan efektif sehingga keunggulan kompetitif lebih tinggi daripada keunggulan komparatif. Nilai PCR yang lebih besar dari nilai DRC pada tahun 2009 menunjukkan hal sebaliknya, bahwa kebijakan yang ada tidak berjalan efektif sehingga pengorbanan untuk mendapatkan satu satuan output pada analisis privat lebih besar dibandingkan analisis sosial. Analisis sensitivitas yang dilakukan berupa naiknya UMR 7%, naiknya harga input 4%, melemahnya nilai tukar 6%, menurunnya harga output 20%, pengurangan subsidi BBM, penghapusan PPN pakan 10%, adanya kelembagaan,
ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM (Studi Kasus : Perusahaan Deddy Fish Farm)
INTAN DYAH MASTUTI
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
serta analisis gabungan. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa naiknya UMR 7%, naiknya harga input 4%, menurunnya harga output 20%, dan pengurangan subsidi BBM akan menurunkan keunggulan kompetitif. Penurunan keunggulan kompetitif terbesar ditunjukkan pada analisis sensitivitas jika harga privat benih patin menurun sebesar 20%. Adapun hasil analisis sensitivitas dengan melemahnya nilai tukar 6% membuat keunggulan komparatif mengalami penurunan. Hasil analisis gabungan menunjukkan bahwa penurunan keunggulan kompetitif yang disebabkan oleh naiknya UMR 7%, naiknya harga input 4%, dan menurunnya harga output 20% dapat ditanggulangi dengan kebijakan pemerintah berupa penghapusan PPN pakan sebesar 10% dan adanya kelembagaan yang berfungsi sebagai penampung benih. Hal itu dapat dilihat dari penurunan nilai PCR. Sedangkan penurunan keunggulan komparatif yang disebabkan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika dapat ditanggulangi dengan kebijakan pemerintah yang berupa kelembagaan seperti koperasi. Kata kunci: keunggulan komparatif, keunggulan kompetitif, sensitivitas, benih ikan patin.
ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM (Studi Kasus : Perusahaan Deddy Fish Farm)
INTAN DYAH MASTUTI H44052122
Skripsi
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul Skripsi : Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usaha Pembenihan Ikan Patin Siam (Studi Kasus : Perusahaan Deddy Fish Farm Nama : Intan Dyah Mastuti NRP : H44052122
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Novindra, SP. NIP. 19811102 200701 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen,
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT. NIP. 19660717 199203 1 003
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di kota Purworejo, 19 Mei 1987, anak keenam dari enam bersaudara dari pasangan Masum, BA. dan Marwiyah. Tahun 1999 penulis lulus dari SD Negeri Kemiri dan pada tahun 2002 penulis lulus dari SMP Negeri 3 Purworejo. Tahun 2004 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Purworejo, dan tahun yang sama melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor (IPB), Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Tahun 2006, penulis beralih departemen yaitu Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama masa kuliah penulis pernah mengikuti PKM Kewirausahaan.
Selain itu, selama kuliah penulis juga bekerja di sebuah
bimbingan belajar di wilayah Kabupaten Bogor.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena hanya dengan rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini yang merupakan salah satu persyaratan kelulusan pada Program Sarjana Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Tugas akhir ini mengambil judul Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usaha Pembenihan Ikan Patin Siam (Studi Kasus : Perusahaan Deddy Fish Farm). Penelitian ini berisi analisis mengenai apakah suatu usaha memiliki keunggulan komparatif maupun kompetitif. Penelitian ini juga memaparkan bagaimana analisis dilakukan dengan metode-metode yang sudah ada. Penulis berharap, isi penelitian ini bisa menjadi masukan bagi pembaca, pengambil kebijakan, dan para pengusaha. Sebagaimana manusia yang tidak luput dari kesalahan, penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung termasuk penulis pribadi. Selain itu, penulis juga mengharapkan masukan-masukan agar karya ilmiah ini dapat menjadi lebih baik. Jazakumullah khairan katsiira. Bogor, Januari, 2011
Intan Dyah Mastuti
UCAPAN TERIMAKASIH Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penelitian ini, antara lain kepada: 1. Allah SWT, karena dengan rahmat dan bimbingan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Orangtua tercinta, Ayahanda Masum B.A almarhum dan Ibunda Marwiyah atas segala doa, kasih sayang, dan dukungan baik moral maupun spiritual yang telah diberikan selama ini, serta kepada kelima kakak tercinta yang selalu memberi semangat kepada penulis. 3. Bapak Novindra, SP. yang senantiasa dengan penuh ketekunan dan kesabaran membimbing penulis hingga selesainya penulisan karya ilmiah ini serta atas kesediaan beliau menjadi moderator dan dosen penguji dalam sidang skripsi. 4. Bapak Ir. Ujang Sehabudin dan Bapak Rizal Bahtiar S.Pi, M.Si. atas kesediaan beliau menjadi dosen penguji dalam sidang skripsi. 5. Bapak Deddy sebagai pemilik perusahaan Deddy Fish Farm dan kepada seluruh pegawai Deddy Fish Farm atas izin dan bantuan kepada penulis selama penelitian. 6. Adhieputra, Riyant, Ais, Novi, Pipit, Ira, Rista, dan teman-teman seperjuangan lain yang yang selalu memberi dukungan kepada penulis selama penelitian ini. 7. Mi-Chan, Oreo, Maze, Onji, Titin, Mong-Mong, Lala, Tete, Tenina, Bon-Bon, Oski, Candy, Edu, Momo, Plato, Oin, Oscar, Utu, Iti, dan Uthuk yang selalu menemani penulis selama ini dan memberi keceriaan pada hari-hari penulis.
8. Tak lupa rasa terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh keluarga besar ESL yang selama ini menjadi tempat afiliasi penulis serta kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi besar selama pengerjaan penelitian ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Bogor, Januari 2011
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
xvii
I. PENDAHULUAN ..............................................................................
1
1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1.2. Perumusan Masalah ..................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian ......................................................................... 1.4. Manfaat Penelitian ....................................................................... 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................
1 5 10 11 11
II. TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................
12
2.1. Gambaran Umum Ikan Patin ....................................................... 2.1.1. Klasifikasi dan Jenis-Jenis Ikan Patin ................................. 2.1.2. Ciri Fisik ............................................................................ 2.1.3. Kandungan Gizi dan Pemanfaaatan ................................... 2.1.4. Sentra Perikanan ................................................................ 2.1.5. Persyaratan Lokasi ............................................................. 2.1.6. Pedoman Teknis Budidaya ................................................ 2.1.7. Pakan Patin ......................................................................... 2.1.8. Hama dan Penyakit ............................................................ 2.1.9. Pemasaran .......................................................................... 2.1.10. Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Ikan Patin .... 2.2. Kajian Penelititan terdahulu ...........................................................
12 12 13 13 14 14 15 15 16 18 19 20
III. KERANGKA PEMIKIRAN .............................................................
22
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Kebijakan Pemerintah ........................................................ 3.1.1.1. Kebijakan Pemerintah terhadap Output ................ 3.1.1.2. Kebijakan Pemerintah terhadap Input .................. 3.1.2. Tinjauan Konseptual Keunggulan Komparatif dan Kompetitif .......................................................................... 3.1.2.1. Keunggulan Komparatif ....................................... 3.1.2.2. Keunggulan Kompetitif ........................................ 3.1.2.3. Hubungan Keunggulan Komparatif dan Kompetitif dengan Analisis Kelayakan Finansial dan Ekonomi ......................................................... 3.1.3. Policy Analysis Matrix (Matriks Analisis Kebijakan) ....... 3.1.4. Analisis Sensitivitas ........................................................... 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional .................................................
22 22 24 28
IV. METODE PENELITIAN ..................................................................
39
4.1. Lokasi dan Waktu ......................................................................... 4.2. Jenis dan Sumber Data ..................................................................
39 39
31 31 33
33 34 35 37
xi
4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data ......................................... 4.3.1. Metode Pengolahan Data ................................................... 4.3.2. Metode Analisis Data . ........................................................ 4.4. Penentuan Input dan Output .......................................................... 4.4.1. Alokasi Biaya ke dalam Komponen Domestik dan Asing . 4.4.2. Penentuan Harga Bayangan Input Output .......................... 4.5. Policy Analysis Matrix (PAM) ..................................................... 4.5.1. Perhitungan Analisis PAM ................................................ 4.5.2. Pengambilan Keputusan untuk Menentukan Nilai Ekonomi ............................................................................ 4.6. Analisis Sensitivitas ......................................................................
40 40 40 41 42 45 52 53
V. GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN ..........................................
64
5.1. 5.2. 5.3. 5.4. 5.5.
59 62
Sejarah Lokasi .............................................................................. Struktur Organisasi ....................................................................... Deskripsi Produk, Konsumen, dan Rantai Pemasaran ................. Fasilitas Pembenihan .................................................................... Manajemen Budidaya Ikan Patin .................................................. 5.5.1. Manajemen Induk .............................................................. 5.5.1.1. Umur dan Ukuran Induk ....................................... 5.5.1.2. Manajemen Harian ............................................... 5.5.2. Pemijahan Buatan .............................................................. 5.5.2.1. Persiapan Pemijahan Buatan ................................ 5.5.2.2. Seleksi Induk ........................................................ 5.5.2.3. Penyuntikan Hormon ............................................ 5.5.2.4. Striping ................................................................. 5.5.2.5. Inseminasi (Pembuahan) ...................................... 5.5.2.6. Pengamatan Perkembangan Telur dan Larva ....... 5.5.3. Pemeliharaan Larva ............................................................ 5.5.3.1. Persiapan Wadah Pemeliharaan ........................... 5.5.3.2. Pemberian Pakan .................................................. 5.5.3.3. Perawatan Larva ................................................... 5.5.3.4. Penyiponan ........................................................... 5.5.3.5. Penggantian Air .................................................... 5.5.4. Panen dan Pascapanen ........................................................ 5.5.4.1. Panen Benih .......................................................... 5.5.4.2. Menghitung Benih ................................................ 5.5.4.3. Transportasi Benih ................................................
64 65 67 68 70 70 70 71 71 71 72 73 74 75 75 76 76 76 77 77 77 78 78 78 80
VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM ........................................................................
83
6.1. Analisis Keuntungan .................................................................... 6.1.1. Analisis Keuntungan Privat ............................................... 6.1.2. Analisis Keuntungan Sosial ............................................... 6.2. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif ........................ 6.2.1. Rasio Biaya Privat (PCR) .................................................. 6.2.2. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) .......................
84 84 85 86 86 86
xii
6.3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah ...................................... 6.3.1. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Output ............... 6.3.1.1. Transfer Output (OT) ........................................... 6.3.1.2. Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) ....... 6.3.1.3. Tingkat Proteksi Output Nominal (NPRO) .......... 6.3.2. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input ................. 6.3.2.1. Transfer Input (IT) ................................................ 6.3.2.2. Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) ........... 6.3.2.3. Nilai Tingkat Proteksi Input Nominal (NPRI) ..... 6.3.2.4. Transfer Faktor (FT) ............................................. 6.3.3. Dampak Kebijakan Pemerintah pada Input dan Output ..... 6.3.3.1. Koefisien Proteksi Efektif (EPC) ......................... 6.3.3.2. Tingkat Proteksi Efektif (EPR) ............................ 6.3.3.3. Koefisien Proteksi (PC) ........................................ 6.3.3.4. Transfer Bersih (NT) ............................................ 6.3.3.5. Rasio Subsidi Produsen (SRP) .............................
87 87 87 88 88 88 88 89 89 89 90 90 90 90 91 91
VII. ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PADA KOMODITAS BENIH IKAN PATIN ..........................................
92
7.1. Kerangka Skenario Perubahan Harga Input dan Output ........... 7.2. Analisis Sensitivitas pada Keunggulan Komparatif dan Kompetitif .................................................................................. 7.2.1. Analisis Sensitivitas bila terjadi Kenaikan Upah Tenaga Kerja .............................................................................. 7.2.2. Analisis Sensitivitas bila terjadi Kenaikan Harga Input 7.2.3. Analisis Sensitivitas bila Nilai Tukar terhadap Dollar Amerika Melemah ........................................................ 7.2.4. Analisis Sensitivitas bila Terjadi Penurunan Harga Privat Komoditas Benih Ikan Patin ............................... 7.2.5. Analisis Sensitivitas bila Terjadi Kenaikan Harga BBM ......................................................................................... 7.2.6. Analisis Sensitivitas bila PPN Pakan Ikan sebesar 10% Dihapuskan .................................................................... 7.2.7. Analisis Sensitivitas dengan Kebijakan Pemerintah Berupa Kelembagaan ..................................................... 7.2.8. Analisis Gabungan .........................................................
92
98 100
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 8.1. Kesimpulan .............................................................................. 8.2. Saran ........................................................................................
102 102 103
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
106
LAMPIRAN ..............................................................................................
108
92 92 93 94 95 96 97
xiii
DAFTAR TABEL Nomor 1.
Halaman Perkembangan Produksi Perikanan Budidaya Menurut Komoditas, 2002-2005 (Ton) .......................................................
2
2.
Rencana Pengembangan Patin 2006-2009 . ....................................
3
3.
Hasil Produksi Ikan Patin 2005-2009 (Ton) . .................................
4
4.
Produksi Ikan Patin Menurut Wilayah Tahun 2005-2007 (Ton) . ..
4
5.
Hasil Produksi Ikan Patin Budidaya di Pulau Jawa Tahun 20052007 (Ton) .....................................................................................
4
6.
Volume dan Nilai Impor Tepung Ikan Indonesia ..........................
5
7.
Hasil Produksi Benih Patin Kabupaten Bogor ...............................
7
8.
Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditas ........................................
22
9.
Alokasi Biaya Produksi ke dalam Komponen Domestik dan Asing pada Sistem Usahatani Pembenihan Ikan Patin di Lokasi Penelitian, Tahun 2008 dan 2009 ...................................................
43
10. Perhitungan Standart Conversion Factor dan Shadow Price Exchange Rate 2008-2009 (Milyar Rp) .........................................
52
11. Matriks Analisis Kebijakan ............................................................
53
12. Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF tahun 2008 (Rp/Tahun) ............................................................................
83
13. Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF tahun 2009 (Rp/Tahun) ..........................................................................
83
14. Indikator-indikator dari Policy Analysis Matrix ............................
84
15. Analisis Sensitivitas Usaha Pembenihan Ikan Patin dengan Kenaikan UMR Sebesar 7% (Rp/Tahun) ........................................
93
16. Analisis Sensitivitas Usaha Pembenihan Ikan Patin dengan Kenaikan Harga Input Sebesar 4% (Rp/Tahun) ..............................
94
17. Analisis Sensitivitas Usaha Pembenihan Ikan Patin jika Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar Amerika Melemah Sebesar 6% (Rp/Tahun) ......................................................................................
95
18. Analisis Sensitivitas Usaha Pembenihan Ikan Patin dengan Penurunan Harga Privat Benih Patin Sebesar 20% (Rp/Tahun) .....
96
19. Analisis Sensitivitas Usaha Pembenihan Ikan Patin dengan Kenaikan Harga Premium 40% dan Minyak Tanah 200% (Rp/Tahun) ......................................................................................
97
20. Analisis Sensitivitas Usaha Pembenihan Ikan Patin dengan Penghapusan PPN Pakan Sebesar 10% (Rp/Tahun) .......................
97
xiv
21. Analisis Sensitivitas Usaha Pembenihan Ikan Patin dengan Peran Kelembagaan – Pengaruhnya pada Harga Privat Benih (Rp/Tahun) ......................................................................................
98
22. Analisis Sensitivitas Usaha Pembenihan Ikan Patin dengan Peran Kelembagaan - Pengaruhnya pada Harga Sosial Input Sebesar 10% (Rp/Tahun) ..............................................................................
99
23. Analisis Sensitivitas Gabungan – Pengaruh pada Harga Privat (Rp/Tahun) ......................................................................................
100
24. Analisis Sensitivitas Gabungan – Pengaruh pada Harga Sosial (Rp/Tahun) ......................................................................................
101
xv
DAFTAR GAMBAR Nomor 1.
Halaman Dampak Subsidi Positif terhadap Konsumen dan Produsen pada Barang Ekspor dan Impor ...............................................................
26
2.
Restriksi Perdagangan pada Barang Impor ......................................
27
3.
Subsidi dan Pajak pada Input .........................................................
30
4.
Dampak Subsidi dan Pajak terhadap Input Nontradable ................
30
5.
Kerangka Pemikiran Sistem Komoditas Deddy Fish Farm ...........
37
6.
Bagan A. Diagram Pengambilan Keputusan untuk Menentukan Nilai Ekonomi : Langkah-langkah Utama ....................................
60
Bagan B. Diagram Pengambilan Keputusan untuk Menentukan Nilai Ekonomi : Pembayaran Transfer Langsung .........................
61
Bagan C. Diagram Pengambilan Keputusan untuk Menentukan Nilai Ekonomi : Komoditas yang Diperdagangkan. ........................
61
Bagan D. Diagram Pengambilan Keputusan untuk Menentukan Nilai Ekonomi : Komoditas yang Tidak Diperdagangkan. ..............
62
7.
Struktur Organisasi Deddy Fish Farm ...........................................
66
8.
Rantai Pemasaran Benih Ikan Produksi Deddy Fish Farm ............
68
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1.
Halaman Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun 2009 (Analisis Sensitivitas UMR Naik 7%) ..................................
109
Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun 2009 (Analisis Sensitivitas Harga Input Naik 4%) ........................
109
Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun 2009 (Analisis Sensitivitas Nilai Tukar Melemah 6%) ..................
109
Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun 2009 (Analisis Sensitivitas Harga Output Turun 20%) .................
109
Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun 2009 (Analisis Sensitivitas Harga Premium Naik 40% dan Minyak Tanah naik 200%)...............................................................
109
Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun 2009 (Analisis Sensitivitas PPN Pakan Dihapuskan 10%) ...........
110
Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun 2009 (Analisis Sensitivitas Kelembagaan – Pengaruhnya pada Harga Privat Benih) .......................................................................
110
Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun 2009 (Analisis Kelembagaan – Pengaruhnya pada Harga Sosial Input) ..............................................................................................
110
Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun 2009 (Analisis Sensitivitas Gabungan – Pengaruhnya pada Harga Privat) .............................................................................................
110
10. Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun 2009 (Analisis Sensitivitas Gabungan - Pengaruhnya pada Harga Sosial) ............................................................................................
110
11. Indikator-indikator dari Policy Analysis Matrix ............................
111
12. Struktur Biaya Produksi DFF Tahun 2008 (Rp) ............................
113
13. Struktur Biaya Produksi DFF Tahun 2009 (Rp) ............................
115
14. Struktur Biaya Finansial dan Ekonomi Deddy Fish Farm (Rp) ......
117
15. Perhitungan Harga Sosial (Paritas Impor) Induk Patin ..................
119
16. Perhitungan Harga Sosial (Paritas Impor) Artemia Tahun 2008 ...
119
17. Perhitungan Harga Sosial (Paritas Impor) Artemia Tahun 2009 ...
119
18. Perhitungan Harga Sosial (Paritas Impor) Garam Tahun 2008 .....
120
19. Perhitungan Harga Sosial (Paritas Impor) Garam Tahun 2009 .....
120
20. Gambar Kegiatan Usaha Pembenihan Ikan Patin DFF ..................
121
2. 3. 4. 5.
6. 7.
8.
9.
xvii
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Selama ini pasokan ikan dunia termasuk Indonesia sebagian besar berasal
dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di sejumlah negara dan perairan internasional saat ini dilaporkan telah berlebih. Data FAO 2002 (DKP, 2005) menunjukkan bahwa pasokan ikan dari kegiatan penangkapan di laut oleh sebagian negara, diperkirakan tidak dapat ditingkatkan lagi. Demikian pula kecenderungan ini terjadi pada usaha penangkapan ikan di perairan Indonesia. Oleh karena itu, alternatif pemasok hasil perikanan diharapkan berasal dari perikanan budidaya (akuakultur). Akuakultur bermula dari penerapan teknologi yang sangat sederhana dan hanya sebagai subsisten (sampingan). Akhir abad 20, akselerasi perkembangan perikanan
budidaya
menunjukkan
kecenderungan
industrialisasi
dengan
penerapan teknologi maju. Perikanan budidaya bukan lagi budidaya konvensional, tetapi kegiatan ekonomi dengan manajemen modern yang berimplikasi besar pada berbagai sektor. Produk akualkultur telah membawa perubahan besar bagi industri pangan yaitu menawarkan pasokan yang konsisten, tingkat harga yang relatif rendah, dan jenis produk yang lebih sesuai dengan selera konsumen baik dari segi jumlah maupun mutu (DKP, 2005). Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia yang mendukung akuakultur (Soegiarto dan Polunin, 1981 dalam DKP, 2005). Kelompok ikan yang ada di perairan Indonesia lebih dari 2000 spesies. Potensi lahan perikanan budidaya secara nasional diperkirakan sebesar 15,59 juta hektar, namun pada kenyataannya sampai tahun 2004
1
pemanfaatannya belum dilakukan secara maksimal. Masing-masing baru mencapai 10,1% untuk budidaya air tawar, 40% untuk budidaya air payau, dan 0,01% untuk budidaya laut (DKP, 2005). Melihat dari kenyataan tersebut, maka pada tahun 2005, pemerintah merencanakan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Program tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengoptimalkan hasil produksi salah satunya pada bidang perikanan. Upaya revitalisasi di bidang perikanan khususnya berupa pengembangan akuakultur. Salah satu komoditas yang menjadi sasaran revitalisasi tersebut yaitu ikan patin. Komoditas tersebut menjadi salah satu unggulan dalam revitalisasi perikanan budidaya karena merupakan jenis ikan yang teknologi budidayanya sudah dikuasai dan sudah berkembang di masyarakat. Selain itu, komoditas patin memiliki peluang pasar ekspor yang tinggi dan tingkat serapan pasar dalam negeri yang cukup besar, tingkat permodalan yang relatif rendah, dan penyerapan tenaga kerja yang cukup tinggi (DKP, 2005). Data produksi ikan patin dan ikan lainnya di Indonesia dari tahun 2002 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perkembangan Produksi Perikanan Budidaya Menurut Komoditas 2002-2005 (Ton) No.
Jenis Budidaya
2002
2003
2004
2005
1
Udang
159.997
192.912
238.857
280.629
2
Kerapu
7.057
8.637
6.552
6.493
3
Nila
60.437
71.947
98.102
151.363
4
Ikan Mas
199.632
219.385
192.461
216.924
5
Bandeng
222.317
227.854
241.438
254.067
6
Kakap
30.984
5.508
4.663
2.935
7
Patin
10.264
12.904
23.962
32.575
8
Lele
39.193
58.614
55.691
69.386
9
Gurame
16.438
22.666
25.948
25.442
10
Rumput Laut
223.080
233.156
397.964
866.383
Total
969.399
1.053.583
1.285.638
1.906.197
Sumber: DKP (2007) 2
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa produksi perikanan didominasi oleh rumput laut, bandeng, dan udang. Hasil produksi ikan patin masih jauh lebih rendah dari rumput laut, bandeng, udang maupun dari beberapa ikan lainnya. Oleh karena itu, pemerintah bermaksud meningkatkan hasil produksi patin mulai dari tahun 2006 hingga 2009. Rencana pemerintah dalam peningkatan produksi patin ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Rencana Pengembangan Patin 2006-2009 Tahun
Parameter 2005 Produksi (ton)
2006 16.500
2007 20.000
2008 25.300
2009 30.300
· Lokal
14.850
18.000
20.240
24.240
· Ekspor
1.650
2.000
5.060
6.060
Kebutuhan Benih (x1000 ekor)
55.000
66.670
84.300
101.000
Kebutuhan Induk (ekor)
5.500
6.670
8.430
10.100
Sumber: DKP (2005) Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa pemerintah menginginkan agar produksi ikan patin terus meningkat dari tahun ke tahun baik untuk konsumsi masyarakat (lokal) maupun ekspor. Caranya tentu saja melalui peran akuakultur dalam meningkatkan jumlah produksi ikan. Peran akuakultur di sini termasuk usaha budidaya pembenihan. Hal itu dapat dilihat dari target kebutuhan benih dari tahun 2006 sampai 2009 yang semakin meningkat sejalan dengan target peningkatan produksi ikan patin. Berdasarkan target pemerintah yang digambarkan dalam Tabel 2, pada kenyataannya menunjukkan kenaikan produksi patin sesuai dengan yang diharapkan. Kenaikan produksi bahkan jauh lebih tinggi dari perkiraan. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 3.
3
Tabel 3. Hasil Produksi Ikan Patin 2005-2009 (Ton) 2005
2006
2007
2008
2009*)
Kenaikan Rata-rata (%)
32.575
31.489
36.755
102.021
132.600
55,23
Tahun
Jenis Ikan Patin - Catfish
* Data Sementara Sumber : DKP (2009) Tabel 3 menunjukkan bahwa hasil produksi ikan patin secara nasional rata-rata menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Hasil produksi memperlihatkan bahwa program revitalisasi pemerintah untuk meningkatkan produksi ikan patin tercapai. Tabel 4 menunjukkan kuantitas produksi tiap wilayah di Indonesia. Tabel 4. Produksi Ikan Patin Menurut Wilayah Tahun 2005-2007 (Ton) Wilayah
2005
2006
2007
Sumatera
20.224
16.992
15.990
Jawa
5.503
7.808
11.532
2
-
3
6.840
6.687
9.231
6
3
-
32.575
31.489
36.755
Bali-Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Total
Sumber : DKP (2007) Tabel 5. Hasil Produksi Ikan Patin Budidaya di Pulau Jawa Tahun 20052007 (Ton) Hasil Produksi
Wilayah 2005
2006
2007
Banten
242
252
271
DKI Jakarta
64
27
16
Jawa Barat
4.621
6.891
10.525
99
98
168
-
-
-
477
540
552
5.503
7.808
11.532
Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Total
Sumber: DKP (2007) Tabel 4 menunjukkan produksi terbesar dihasilkan di pulau Sumatera diikuti oleh Kalimantan dan Jawa. Hasil produksi patin tiap wilayah rata-rata mengalami peningkatan. Khusus untuk pulau Jawa, data hasil produksi
4
diperlihatkan pada Tabel 5. Tabel 5 menunjukkan bahwa hasil produksi ikan patin terbesar dihasilkan di Jawa Barat. 1.2.
Perumusan Masalah Program
revitalisasi
pemerintah
dalam
bidang
perikanan
yang
menunjukkan peningkatan ternyata tidak menjamin ekspor patin meningkat. Indonesia memang mengembangkan ekspor ke negara-negara lain seperti Timur Tengah, tapi untuk ekspor ke Amerika dan Eropa lebih rendah dibandingkan Vietnam. Kebutuhan di dalam negeri juga belum dapat dipenuhi oleh sistem budidaya yang ada1. Penyebab Indonesia kalah saing dengan Vietnam yaitu karena harga ikan patin di dalam negeri cukup tinggi misalnya tahun 2008 sekitar Rp 11.000/kg sedangkan dari Vietnam hanya Rp 9.000/kg. Mahalnya harga patin di Indonesia karena tingginya biaya produksi yang salah satunya disebabkan karena harga pakan yang tinggi. Hal itu karena tepung ikan sebagai bahan baku pembuat pakan ikan (pelet) masih diimpor dari negara lain2. Volume impor tepung ikan di Indonesia ditunjukkan oleh Tabel 6. Tabel 6. Volume dan Nilai Impor Tepung Ikan Indonesia Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
Total
Volume (Ton)
82.788
88.852
55.685
67.596
42.521
337.442
Nilai (US$)
54.953
76.527
49.923
42.401
24.732
248.536
Sumber : DKP (2009) Tabel 6 menunjukkan bahwa volume impor terbesar terjadi pada tahun 2005 dan 2006. Mulai tahun 2007, Indonesia sudah mulai menurunkan impor tepung ikan. Hal ini karena sepanjang 2007, sebanyak 70% dari kebutuhan tepung ikan sudah bisa dipenuhi oleh tepung ikan lokal. Para pengolah tepung ikan lokal 1
2
http://www.beritadaerah.com/ diakses tanggal 20 Juli 2010 http//www.trobos.com/ diakses tanggal 15 Juli 2010
5
telah
mampu
meningkatkan
produksi
dan
kualitas
tepung
ikan
yang
dihasilkannya. Indonesia juga kalah saing dengan Vietnam dalam hal kuantitas produksi patin. Tahun 2008 Vietnam mampu menghasilkan 1,2 juta ton ikan patin dan mengekspor 633.000 ton ke 107 negara di dunia3. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan hasil produksi patin Indonesia yang pada tahun 2008 hanya mencapai 102.021 ton. Melihat dari kenyataan tersebut, pemerintah memiliki target untuk mewujudkan Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar tahun 2015. Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan perikanan budidaya sebagai ujung tombak penghasil produk perikanan untuk mewujudkan target tersebut4. Salah satu produk ikan yang diandalkan yaitu ikan patin. Direktur Pemasaran Luar Negeri, Ditjen P2HP DKP Saut Parulian Hutagalung mengatakan, ikan patin merupakan komoditas yang sangat prospektif untuk dikembangkan, selain permintaannya tinggi di dalam negeri, patin juga merupakan salah satu komoditas budidaya air tawar yang mempunyai pasar yang sangat bagus di Uni Eropa, Amerika Serikat, Eropa Timur, dan Timur Tengah5. Salah satu cara untuk mencapai target tersebut yaitu dengan menekan ongkos produksi akibat mahalnya harga pakan. Pemerintah berencana membangun pabrik baru untuk memproduksi pakan ikan. Pakan itu berbahan baku maggot kelapa sawit, bukan tepung ikan yang saat ini digunakan. Pemerintah mengharapkan dengan melakukan substitusi bahan baku itu, harga pakan ikan dapat ditekan hingga 10-20% dari harga saat ini. Selain itu pemerintah akan 3
http:// www.globefish.org/ diakses tanggal 3 Mei 2010 http://www.indofisheries.org/ diakses tanggal 20 Juli 2010 5 http://www.foodreview.biz/ diakses tanggal 21 Juli 2010 4
6
meningkatkan inovasi teknologi sektor perikanan, khususnya teknologi pengadaan bibit atau benih unggul dan teknik budidaya, guna mengejar target pertumbuhan produksi perikanan6. Berkaitan dengan pengadaan benih, salah satu sentra produksi benih ikan patin yang potensial di Jawa Barat yaitu Kabupaten Bogor. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pengusaha pembesaran ikan patin atau pengusaha ikan patin konsumsi yang berasal dari luar daerah yang membeli benih ikan patin dari Kabupaten Bogor karena kualitas benih yang relatif baik dibandingkan daerah lain seperti Sumatera7. Tingkat mortalitas benih patin dari Bogor juga relatif rendah, kurang dari 0,02%8. Hasil produksi benih patin Kabupaten Bogor ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7 menunjukkan bahwa hasil produksi benih di Kabupaten Bogor mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tabel 7. Hasil Produksi Benih Patin Kabupaten Bogor Tahun
Hasil produksi (ekor)
2006
37.394.810
2007
58.126.000
2008
79.893.000
Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor (2010) Salah satu daerah pembenihan ikan patin di Kabupaten Bogor yaitu Ciampea. Petani pembenihan di Ciampea salah satunya aitu Deddy Fish Farm (DFF). Selain pembenihan patin, DFF juga menekuni pembenihan ikan lainnya seperti ikan hias sebagai usaha sampingan. Usaha ini sudah berdiri sejak tahun 1999. Selama ini produk DFF sudah dipasarkan ke berbagai daerah baik Jawa maupun luar Jawa seperti Solo, Palembang, dan Banjarmasin. Berdasarkan ratarata jumlah benih yang dihasilkan yang mencapai hampir 2 juta dan larva 6
http://www.indonesia.go.id/ diakses tanggal 17 Juli 2010 http:/www.trubus-online.com/ diakses tanggal 3 Juli 2010 8 http://www.bi.go.id / diakses tanggal 18 Juli 2010 7
7
mencapai 600.000 per tahun, DFF mengambil peran yang cukup besar dalam peningkatan produksi patin di Indonesia. Memasuki era globalisasi dan perdagangan bebas serta berkembangnya isu-isu internasional akhir-akhir ini, muncul tantangan-tantangan yang dihadapi dalam pengembangan usaha akuakultur, termasuk DFF sendiri. Tantangan itu antara lain: (1) perdagangan global yang sangat kompetitif, (2) ketatnya syarat mutu dan keamanan pangan yang ditetapkan oleh negara pengimpor, dan (3) iklim usaha yang kurang kondusif terutama mengenai jaminan kepastian dan keamanan usaha. Beberapa permasalahan lain juga dihadapi oleh DFF seperti munculnya pesaing baru dan inflasi. Awalnya daerah Bogor Barat merupakan sentra penampungan benih ikan patin, kemudian muncul calon sentra baru yaitu Parung yang mengakibatkan bertambahnya saingan bagi DFF. Produsen patin di Parung menggunakan tenaga kerja berpengalaman (dulunya petani ikan lele), sedangkan DFF menggunakan tenaga kerja belum berpengalaman. Dengan menggunakan tenaga kerja berpengalaman, produksi benih patin di Parung lebih efisien daripada DFF. Sebagai akibatnya, jika benih ikan dijual dengan harga yang sama, pengusaha ikan patin di Parung mendapatkan keuntungan yang lebih besar dibandingkan DFF. Salah satu strategi DFF untuk menghadapi persaingan ini yaitu dengan meningkatkan kualitas benih ikan yang dihasilkan. Hal itu dilakukan DFF dengan cara memproduksi ikan dengan warna yang lebih jernih sehingga tingkat mortalitas ikan lebih rendah dibandingkan dengan warna ikan yang kurang jernih. Daya tumbuh benih ikan yang diproduksi DFF mencapai 90%, sedangkan yang di Parung daya tumbuh benih ikan hanya 60-80% karena tingkat mortalitasnya
8
tinggi. Selain itu, DFF mampu menghasilkan benih dengan ukuran yang seragam sedangkan petani di Parung masih menghasilkan benih dengan ukuran tidak seragam. DFF mampu menghadapi persaingan dengan petani ikan di parung dengan keunggulan yang dimiliki. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, petani pembenihan patin di Parung semakin mampu menghasilkan benih patin dengan kualitas seperti benih patin hasil produksi DFF. Petani pembenihan di Parung mampu menghasilkan benih dengan ukuran yang lebih seragam dan lebih besar dibandingkan dengan ukuran benih yang dihasilkan DFF. Akibatnya, DFF menghadapi persaingan yang semakin sulit. Inflasi juga berpengaruh terhadap usaha DFF. Inflasi di Indonesia yang berfluktuasi mengakibatkan harga-harga input cenderung meningkat tiap tahunnya sedangkan harga jual benih ikan dari tahun ke tahun cenderung stabil bahkan saatsaat tertentu harga benih turun. Hal ini berdampak pada keuntungan riil yang diperoleh tidak sebesar keuntungan riil saat inflasi sedang rendah. Kebijakan pemerintah di bidang pertanian khususnya perikanan yang diterapkan selama ini diharapkan bisa menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha agribisnis perikanan terutama usaha pembenihan ikan patin. Akan tetapi, kebijakan pemerintah tersebut seringkali mengakibatkan perbedaan harga input maupun output yang diterima produsen dan konsumen yang berdampak pada besar keuntungan yang diperoleh. Pemberlakuan PPN pada barang input misalnya, akan membuat harga barang menjadi semakin mahal. PP Nomor 7 tahun 2007, yang berisi mengenai penghapusan PPN pakan ternak termasuk pakan ikan
9
ternyata tidak diberlakukan sebagaimana mestinya. Pakan ikan masih dikenai PPN sehingga harganya tetap mahal. Keuntungan yang diperoleh suatu usaha agribisnis akan menentukan apakah usaha tersebut memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif yang berdampak pada kelangsungan usaha. Banyak bidang usaha yang memiliki keunggulan kompetitif jika perhitungan biaya dan keuntungan didasarkan pada harga pasar. Akan tetapi jika perhitungan didasarkan pada harga sosial, maka belum tentu setiap perusahaan memiliki keunggulan komparatif. Misalnya, saat inflasi sedang cukup tinggi, apakah DFF masih memiliki keunggulan kompetitif maupun komparatif dibandingkan saat inflasi sedang rendah. Berdasarkan uraian di atas, perumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini yaitu: 1) Bagaimanakah keunggulan komparatif dan kompetitif dari pengusahaan benih patin. 2) Bagaimanakah dampak perubahan kebijakan pemerintah dan faktor lainnya terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif pengusahaan benih ikan patin. 1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan dari
penelitian ini yaitu: 1) Menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif pengusahaan benih ikan patin Deddy Fish Farm. 2) Menganalisis dampak perubahan kebijakan pemerintah dan faktor lainnya terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif pengusahaan benih ikan patin.
10
1.4.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1) Bagi para peneliti, diharapkan penelitian ini dapat digunakan dalam pengembangan ilmu pertanian khususnya perikanan. 2) Bagi perusahaan yang bersangkutan (DFF), penelitian ini dapat memberikan informasi yang berguna dalam melakukan evaluasi dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. 3) Rujukan bagi peneliti yang ingin melakukan studi lainnya yang berhubungan dengan perikanan, terutama perikanan budidaya. 1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan pada Deddy Fish Farm, sebuah perusahaan
agribisnis yang bergerak di bidang pembenihan ikan patin yang berlokasi di Ciampea. Ciampea merupakan salah satu daerah yang banyak terdapat petani pembenihan ikan patin dan DFF merupakan salah satu perusahaan yang cukup baik dalam menghasilkan benih patin sehingga dapat mewakili perusahaanperusahaan pembenihan patin lainnya di daerah Bogor. Komoditas yang diteliti yaitu benih ikan patin yang merupakan hasil produksi DFF. Kualitas benih patin yang dihasilkan oleh DFF termasuk baik, dilihat dari rendahnya tingkat mortalitas benih. Data yang dikumpulkan yaitu data dari tahun 2008-2009.
11
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Gambaran Umum Ikan Patin Gambaran umum berisi mengenai beberapa hal yang berhubungan dengan
ikan patin. Diantaranya klasifikasi ikan patin, jenis, ciri fisik, kandungan gizi, dan pemanfaatan. Selain itu juga terdapat penjelasan mengenai sentra perikanan, syarat lokasi dan pedoman budidaya, pakan, hama dan penyakit, serta pemasaran. 2.1.1. Klasifikasi dan Jenis-jenis Ikan Patin Klasifikasi ikan patin yaitu sebagai berikut9: Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Actinopterygii
Ordo
: Siluriformes
Famili
: Pangasiidae
Genus
: Pangasius
Spesies
: Pangasius sp.
Jenis ikan patin di Indonesia cukup banyak, diantaranya (Prahasta dan Masturi, 2008) : 1) Patin lokal dengan nama ilmiah Pangasius sp. Terdapat beberapa jenis ikan patin yang populer di Indonesia. Salah satu jenis populer yang berpeluang menjadi komoditas ekspor adalah patin djambal (Pangasius djambal). 2) Patin siam (Pangasius hypopthalmus atau Pangasius sutchi) yaitu patin bangkok karena asalnya dari Bangkok (Thailand). Patin jenis ini banyak dibudidayakan oleh petani di Indonesia karena ukurannya yang relatif lebih 9
http://id.m.wikipedia.org/ diakses tanggal 2 Februari 2010
12
besar, relatif mudah untuk dibudidayakan, dan memiliki laju perumbuhan yang lebih cepat jika dibandingkan patin lokal. 3) Pangasius polyuranodo (ikan juaro), Pangasius macronema (ikan rios, riu, lancang), Pangasius micronemus (wakal, rius caring), Pangasius nasutus (pedado) dan Pangasius nieuwenbuissii (ikan lawang) yang penyebarannya hanya di Kalimantan Timur. 4) Patin bocourti yang terdapat di perairan umum di Vietnam dan merupakan komoditas ekspor ke Amerika Serikat, Eropa, dan beberapa negara Asia. 2.1.2. Ciri Fisik Ciri morfologi ikan patin yaitu memiliki kepala yang melebar ke arah punggung. Mata berukuran sedang pada sisi kepala, lubang hidung relatif besar. Mulut relatif kecil dan melebar ke samping serta memiliki gigi yang tajam. Ikan patin berwarna putih perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Panjang tubuh bisa mencapai lebih dari satu meter. Kepala ikan patin relatif kecil, dengan mulut terletak di ujung kepala agak di sebelah bawah (merupakan ciri khas golongan catfish) dan memiliki dua pasang kumis atau antena pendek yang berfungsi sebagai peraba (Prahasta dan Masturi, 2008). 2.1.3. Kandungan Gizi dan Pemanfaatan Daging ikan patin memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi (protein 65%, lemak 2%, dan kalori 48%). Rasa dagingnya khas, enak, lezat dan gurih. Ikan patin dinilai lebih aman untuk kesehatan karena kadar kolesterolnya lebih rendah dibandingkan dengan daging ternak10. Produk olahan patin diantaranya nugget, empek-empek, dan kerupuk kulit ikan patin. 10
http://www.samarinda.go.id/ diakses tanggal 1 Juli 2010
13
2.1.4. Sentra Perikanan Daerah yang merupakan sentra perikanan ikan patin di Indonesia meliputi Kalimantan, Sumatera, dan Jawa. Daerah Kalimantan yang menjadi sentra produksi patin yaitu Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Daerah Sumatera yang menjadi sentra produksi patin yaitu Riau, Jambi, Lampung, dan Sumatera Selatan, sedangkan di Jawa yaitu Jawa Barat11. 2.1.5. Persyaratan Lokasi Budidaya pembesaran ikan patin dapat dilakukan dengan sistem kolam, sistem karamba/karamba jaring apung, dan sistem Fence. Jenis kolam yang biasa digunakan yaitu kolam irigasi, kolam tadah hujan, dan kolam rawa. Lokasi pemasangan karamba bisa di kolam, danau, waduk atau di pinggir sungai dengan kedalaman tertentu. Pembesaran dengan sistem Fence dilakukan di pinggir sungai atau rawa dengan membuat pagar-pagar keliling yang ditanam di dasar sungai atau rawa dengan kedalaman tertentu. Perbedaan cara budidaya ini terkait dengan skala usaha (Prahasta dan Masturi, 2008). Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi jika petani ingin melakukan pemeliharaan di kolam yaitu12: 1) Tanah yang baik untuk kolam pemeliharaan yaitu jenis tanah liat/lempung dan tidak berporos. Jenis tanah tersebut dapat menahan massa air yang besar dan tidak bocor sehingga dapat dibuat pematang/dinding kolam. 2) Kemiringan tanah yang baik untuk pembuatan kolam berkisar antara 3-5% untuk memudahkan pengairan kolam secara gravitasi.
11 12
http://www.dkp.go.id/ diakses tanggal 5 April 2010 http://www.bappenas.go.id/ diakses tanggal 5 April 2010
14
3) Untuk pemeliharaan larva, kualitas air untuk pemeliharaan ikan patin harus bersih, tidak terlalu keruh, dan tidak tercemar bahan-bahan kimia beracun maupun minyak/limbah pabrik. Suhu air yang baik pada saat penetasan telur menjadi larva di akuarium yaitu antara 260-280C. Pada daerah-daerah yang suhu airnya relatif rendah diperlukan heater (pemanas) untuk mencapai suhu optimal yang relatif stabil. 4) Keasaman air berkisar antara 6,5-7. 2.1.6. Pedoman Teknis Budidaya Budidaya ikan patin meliputi beberapa kegiatan, secara garis besar dibagi menjadi dua kegiatan yaitu pembenihan dan pembesaran13. Kegiatan pembenihan merupakan upaya untuk menghasilkan benih pada ukuran tertentu. Produk akhir dari kegiatan pembenihan berupa benih berukuran tertentu, yang umumnya merupakan benih selepas masa pendederan. Secara garis besar usaha pembenihan ikan patin meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut: (1) pemilihan calon induk siap pijah (2) persiapan hormon perangsang (3) kawin suntik (induced breeding) (4) pengurutan (striping) (5) penetasan telur (6) perawatan larva (7) pendederan dan (8) pemanenan. Sementara kegiatan pembesaran merupakan upaya membesarkan benih sampai dewasa untuk kemudian dijual. 2.1.7. Pakan Patin Pakan merupakan kebutuhan primer untuk mempercepat pertumbuhan ikan. Ikan patin termasuk salah satu jenis ikan air tawar yang lahap mengonsumsi pakan. Pakan ikan patin terdiri dari dua macam yaitu pakan alami dan pakan buatan (Prahasta dan Masturi, 2008). 13
http://www.bappenas.go.id/ diakses tanggal 5 April 2010
15
1) Pakan Alami Pakan alami mengandung komposisi gizi yang baik diantaranya protein, lemak, karbohidrat, dan mineral. Pakan alami seperti infori, dapnia, dan artemia, dan cacing sutra (Tubifex) dibutuhkan dalam proses pembenihan karena pakan dapat bergerak aktif dan merangsang larva ikan untuk memakannya. Selain itu, ukurannya yang sangat kecil sesuai dengan ukuran mulut larva. 2) Pakan Buatan Pakan buatan berbentuk pelet, bisa berupa pelet buatan pabrik maupun buatan sendiri yang dibuat dari campuran ikan asin, dedak, ampas tahu, dan lainlain. Ada dua cara pembuatan pakan ramuan sendiri yaitu dengan direbus lebih dahulu dan tanpa direbus. 2.1.8. Hama dan Penyakit Salah satu kendala yang sering dihadapi dalam dunia agribisnis perikanan adalah hama dan penyakit yang menyerang ikan. Hama dan penyakit tersebut bisa diatasi tapi tidak jarang pula yang menyebabkan kematian ikan secara massal. Berikut adalah beberapa hama dan penyakit yang sering terdapat pada ikan patin (Prahasta dan Masturi,2008): 1) Hama Hama yang mengganggu diantaranya yaitu predator dan kompetitor. Pada pembesaran ikan patin di jaring apung, sistem sekat, dan karamba, hama yang mungkin menyerang antara lain lingsang, kura-kura, biawak, ular air, dan burung. Karamba yang ditanam di dasar perairan relatif aman dari serangan hama. Pada pembesaran ikan patin di jala apung (sistem sangkar) ada hama berupa ikan buntal (Tetraodon sp.) yang merusak jala dan memangsa ikan. Ikan-ikan kecil yang
16
masuk kedalam wadah budidaya akan menjadi pesaing ikan patin dalam hal mencari makan dan memperoleh oksigen. 2) Penyakit a) Penyakit Parasit Penyakit white spot (bintik putih) disebabkan oleh parasit dari bangsa protozoa dari jenis Ichthyoptirus Multifilis Foquet. Penyakit ini menyerang benih berumur 1-6 minggu. Ciri-ciri : adanya bintik-bintik putih di lapisan lendir kulit, sirip, dan lapisan insang. Penyakit ini menyebabkan kematian benih secara masal. b) Penyakit Jamur Penyakit jamur biasanya terjadi akibat adanya luka pada badan ikan. Penyebab penyakit jamur adalah Saprolegnia sp. dan Achlya sp. Pada kondisi air yang jelek, kemungkinan patin terserang jamur lebih besar. Ciri-ciri ikan patin yang terserang jamur adalah luka di bagian tubuh, terutama pada tutup insang, sirip, dan bagian punggung. Bagian-bagian tersebut ditumbuhi benang-benang halus seperti kapas berwarna putih hingga kecoklatan. c) Penyakit Bakteri Bakteri yang sering menyerang patin yaitu Aeromonas sp. dan Pseudomonas sp. Ikan yang terserang akan mengalami pendarahan pada bagian tubuh terutama di bagian dada, perut, dan pangkal sirip. Gejalanya lendir di tubuh ikan berkurang dan terasa kasar saat diraba. Penyakit akibat bakteri mudah menular, sehingga ikan yang terserang dan keadaannya cukup parah harus segera dimusnahkan. Sementara yang terinfeksi tetapi belum parah dapat dicoba dengan beberapa cara pengobatan.
17
d) Penyakit Noninfeksi (Keracunan dan Kurang Gizi) Keracunan disebabkan oleh banyak faktor seperti pada pemberian pakan yang berjamur dan berkuman atau karena pencemaran lingkungan perairan. Gejala keracunan yaitu ikan akan lemah, berenang tersengal-sengal di permukaan air. Pada kasus keracunan yang berbahaya, ikan berenang terbalik dan mati. Penyakit noninfeksi lainnya disebabkan karena kurang gizi. Gejala yang sering timbul adalah kurangnya nafsu makan terutama pada musim kemarau. Ikan tampak kurus dan kepala terlihat lebih besar tidak seimbang dengan ukuran tubuh, kurang lincah, dan berkembang tidak normal. 2.1.9. Pemasaran Ikan patin dikenal sebagai komoditas yang berprospek cerah karena memiliki harga jual yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan ikan patin mendapat perhatian dan diminati oleh para pengusaha untuk membudidayakannya (Prahasta dan Masturi, 2008). Walaupun permintaan di tingkal pasaran lokal akan ikan patin dan ikan air tawar lainnya selalu mengalami pasang surut, namun dilihat dari jumlah hasil penjualan secara rata-rata selalu mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Apabila pasaran lokal ikan patin mengalami kelesuan, maka akan sangat berpengaruh terhadap harga jual baik di tingkat petani maupun di tingkat grosir di pasar ikan. Di luar hal tersebut, penjualan benih ikan patin dapat dikatakan hampir tak ada masalah, prospeknya cukup baik. Selain adanya potensi pendukung dan faktor permintaan komoditas perikanan untuk pasaran lokal, maka sektor perikanan merupakan salah satu peluang usaha bisnis yang cerah14.
14
http://www.bappenas.go.id/ diakses tanggal 5 April 2010
18
2.1.10. Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Ikan Patin Industri akuakultur saat ini menjadi salah satu andalan masyarakat dunia, karena selain bergizi tinggi, juga sebagai sumber ekonomi yang bernilai tinggi. Kebutuhan pasar akan produk akuakultur pun meningkat sejalan dengan turunnya produksi ikan hasil tangkapan dan meningkatnya jumlah populasi dunia yang mulai sadar pentingnya makan ikan untuk menjaga kesehatan. Direktur Pemasaran Dalam Negeri Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Departemen Perikanan dan Kelautan (DKP) Saadullah Muhdi mengatakan bahwa salah satu tantangan yang dihadapi yaitu banyaknya produk impor. Di samping itu, kontinuitas pasokan ikan juga menjadi kendala tersendiri15. Beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mengatasi ketersediaan pasokan baik untuk domestik maupun ekspor yaitu (1) pengadaan benih unggul yang disertai ketersediaan pasar (2) menciptakan sinergitas yang erat antara swasta, masyarakat, dan pemerintah, termasuk melalui kelembagaan lokal yang berkewajiban memonitoring produksi kelompok pembudidaya, mengumpulkan hasil produksi, dan mengatur transportasi produk, dan (3) ketersediaan pakan yang murah. Ketersediaan pasar dan kelembagaan lokal terkait dengan pendapatan petani ikan. Harga ikan berfluktuasi tergantung permintaan. Adanya pasar dan kelembagaan lokal berperan dalam penciptaan harga yang stabil karena petani ikan harus mendapatkan pendapatan yang pasti, salah satunya dengan kestabilan harga16. Kaitannya dengan pakan, harga pakan pabrik menjadi kendala yang lain. Industri pakan ikan dan udang akan menurun akibat pemberlakuan pajak 15 16
http://www.foodreview.biz/ diakses tanggal 12 Oktober 2010 http://www.kpbptpn.co.id/ diakses tanggal 20 Oktober 2010
19
pertambahan nilai (PPN) atas bahan baku pakan maupun pakan itu sendiri. Bahan baku pakan berupa bungkil dan kedelai serta tepung ikan masih impor. Kebutuhan impor yang tinggi menyebabkan harga pakan tidak kompetitif. Karena itulah diperlukan langkah untuk menurunkan harga pakan ikan sehingga bisa menurunkan biaya produksi17. 2.2.
Kajian Penelitian terdahulu Policy Analysis Matrix (PAM) merupakan metode yang diperkenalkan
oleh Eric A. Monke dan Scott E. Pearson pada tahun 1989 yang merupakan penyempurnaan dari metode-metode sebelumnya dalam menganalisis keunggulan komparatif, kompetitif, dan dampak kebijakan pemerintah. Metode ini telah banyak digunakan dalam penelitian-penelitian untuk menganalisis kebijakan pemerintah terhadap suatu komoditas. Penelitian-penelitian terdahulu yang menghitung
keunggulan
komparatif,
kompetitif,
dan
dampak
kebijakan
pemerintah terhadap suatu komoditas antara lain telah dilakukan oleh Rina Oktaviani (1991), Eka Kaysmir (1994), dan Dewi Gustiani (2004). Rina Oktaviani melakukan penelitian mengenai efisiensi ekonomi dan dampak kebijakan insentif pertanian pada produksi komoditas pangan di Indonesia yaitu padi (1984 dan 1989), jagung (1984 dan 1989), dan ubi kayu (1984). Daerah penelitian meliputi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan dengan pertimbangan bahwa keenam daerah tersebut merupakan penghasil pangan utama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara finansial, pada tahun 1984 padi lebih efisien ditanam di Sulawesi Selatan, sedangkan pada tahun 1989 lebih efisien 17
http://www.indonesia.go.id/ diakses tanggal 12 Oktober 2010
20
ditanam di Lampung. Secara ekonomi, padi lebih efisien ditanam di Lampung (1984) dan Sulawesi Selatan (1989). Komoditas jagung secara finansial dan ekonomi memiliki efisiensi tertinggi di Lampung baik pada tahun 1984 maupun 1989. Demikian pula dengan ubi kayu, memiliki efisiensi finansial dan ekonomi tertinggi di Nusa Tenggara Barat, Lampung, dan Sulawesi Selatan. Eka Kasymir meneliti mengenai keunggulan komparatif dan dampak kebijakan pada komoditas kopi dan lada pada tahun 1992 di wilayah Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komoditas kopi dan lada (biji kering asalan di tingkat petani, kopi biji grade IV, dan lada mutu ASTA di tingkat eksportir) berdasar harga tahun 1991, secara finansial hanya komoditas kopi yang layak diusahakan. Secara ekonomi, kedua komoditas tidak memiliki keunggulan komparatif terutama bagi komoditas lada. Dewi Gustiani meneliti keunggulan kompetitif dan komparatif dari komoditas kain tenun sutera alam hasil produksi Kabupaten Garut. Penelitiannya menunjukkan bahwa komoditas kain tenun sutera alam tersebut memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Hal ini dilihat dari nilai PCR dan DCR yang lebih kecil dari satu yaitu masing-masing sebesar 0,95 dan 0,53. Analisis sensitivitas juga dilakukan dalam penelitian tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa pengusahaan kain tenun sutera alam memiliki stabilitas yang cukup tinggi terhadap perubahan harga output, upah tenaga kerja, harga BBM, nilai tukar rupiah, dan gabungan dari keempatnya .
21
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1.
Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis terdiri dari dua hal. Pertama, kebijakan
pemerintah terhadap output dan input. Kedua, konsep keunggulan komparatif dan kompetitif dalam hubungannya dengan perdagangan. 3.1.1. Kebijakan Pemerintah Intervensi pemerintah terhadap suatu komoditas antara lain berupa kebijakan harga dan kebijakan perdagangan. Kebijakan tersebut menimbulkan perbedaan harga pada input dan output pada kondisi finansial dan ekonomi. Pengaruh kebijakan pemerintah terhadap komoditas digambarkan pada Tabel 8. Tabel 8. Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditas Instrumen
Dampak terhadap produsen
Dampak terhadap konsumen
Kebijakan subsidi: a. Tidak mengubah harga pasar domestik b. Mengubah harga pasar domestik
Subsidi kepada produsen a. Pada barang impor (S+PI; S-PI) b. Pada barang ekspor (S+PE; S-PE)
Subsidi kepada konsumen a. Pada barang impor (S+CI; S-CI) pasar domestik b. Pada barang ekspor (S+CE; S-CE) pasar domestik
Kebijakan perdagangan (semua mengubah harga pasar domestik)
Hambatan pada barang-barang impor (TPI)
Hambatan pada barang-barang ekspor (TCE) mengubah harga domestik
Keterangan: S : Kebijakan Subsidi T : Kebijakan Perdagangan PE : Produsen Barang Orientasi Ekspor PI : Produsen Barang Substitusi Impor CE : Konsumen Barang Orientasi Ekspor CI : Konsumen Barang Substitusi Impor TCE : Hambatan Barang Ekspor TPI : Hambatan Barang Impor
Sumber : Monke dan Pearson (1989) Berdasarkan Tabel 8, kebijakan harga dapat dibedakan dalam tiga kriteria yaitu tipe instrumen, penerimaan atau keuntungan yang diperoleh (produsen dan konsumen), dan tipe komoditas (impor atau ekspor). Pelaksanaan dari kebijakan tersebut dapat memengaruhi kemampuan suatu negara untuk memanfaatkan peluang ekspor suatu komoditas. 22
1) Tipe Instrumen Dibedakan pengertian antara subsidi dan kebijakan perdagangan dalam tipe instrumen ini. Menurut Salvatore (1997), subsidi adalah pembayaran dari atau untuk pemerintah. Pajak atau subsidi negatif merupakan pembayaran kepada pemerintah, sedangkan pembayaran dari pemerintah disebut subsidi positif. Efek dan tujuan subsidi yaitu menciptakan harga domestik yang berbeda dengan harga dunia, kadang-kadang kebijakan menciptakan harga domestik yang terpisah antara konsumen dan produsen. Kebijakan perdagangan adalah suatu pembatasan terhadap barang impor atau ekspor (Monke dan Pearson, 1989). Pembatasan dapat berupa pajak perdagangan atau pun kuota perdagangan. Tujuannya yaitu untuk mengurangi jumlah perdagangan internasional dan untuk menciptakan perbedaan harga di pasar internasional dengan harga domestik. Kebijakan ekspor bertujuan untuk melindungi konsumen dalam negeri karena harga domestik yang lebih rendah dibandingkan harga dunia. Kebijakan impor dilakukan untuk melindungi produsen karena harga di pasar dunia lebih murah dibandingkan harga domestik. Pada subsidi terdapat delapan tipe yaitu S+PI, S-PI, S+PE, S-PE, S+CI, SCI, S+CE, dan S-CE, sedangkan pada kebijakan perdagangan hanya ada dua tipe dasar yaitu TPI dan TPE. Subsidi positif yang diterapkan kepada produsen maupun konsumen akan membuat harga yang diterima produsen menjadi lebih tinggi dan pada konsumen menjadi lebih rendah. Kondisi ini lebih baik dibandingkan saat sebelum adanya kebijakan subsidi positif. Subsidi negatif akan mengakibatkan harga yang diterima produsen menjadi lebih rendah dan pada
23
konsumen menjadi lebih tinggi. Kondisi ini lebih buruk dibandingkan saat sebelum adanya kebijakan subsidi negatif. 2) Kelompok Penerimaan Klasifikasi kelompok penerimaan adalah kebijakan yang dikenakan pada produsen dan konsumen. Subsidi atau kebijakan perdagangan mengakibatkan terjadinya transfer di antara produsen, konsumen, dan pemerintah. Anggaran pemerintah tidak dibayarkan seluruhnya untuk transfer, hal ini mengakibatkan produsen mengalami keuntungan dan konsumen mengalami kerugian. Akan tetapi, dengan adanya transfer yang diikuti efisiensi ekonomi yang hilang akan menyebabkan keuntungan yang diperoleh lebih kecil dari kerugian yang diterima. 3) Tipe Komoditas Klasifikasi ini bertujuan untuk membedakan harga barang impor dan ekspor. Jika tidak ada kebijakan ini, maka harga domestik sama dengan harga dunia, dimana untuk ekspor digunakan harga fob (free on board) dan untuk impor digunakan harga cif (cost freight and insurance). Adanya kebijakan komoditas menyebabkan harga domestik berbeda dengan harga fob dan cif. 3.1.1.1. Kebijakan Pemerintah terhadap Output Kebijakan yang ditetapkan pada output dapat berupa kebijakan subsidi (subsidi positif dan negatif) dan kebijakan hambatan perdagangan. Kebijakan subsidi produsen barang sustitusi impor (S+PI) akan menguntungkan bagi produsen lokal barang substitusi impor karena dengan adanya kebijakan subsidi bagi produsen barang substitusi impor, penerimaan produsen lokal akan meningkat. Kebijakan subsidi konsumen barang substitusi impor (S+CI) akan
24
menguntungkan konsumen barang substitusi impor. Kebijakan subsidi positif baik pada barang ekspor maupun impor ditunjukkan pada Gambar 1. Gambar 1 hanya untuk dampak subsidi positif, sedangkan untuk subsidi negatif adalah kebalikannya. Gambar (a) menunjukkan subsidi positif untuk produsen pada barang impor di mana harga yang diterima produsen lebih tinggi dari harga dunia. Hal ini mengakibatkan output produksi dalam negeri meningkat dari Q1 ke Q2 sedangkan konsumsi tetap di Q3. Subsidi ini mengakibatkan jumlah impor turun dari Q3 - Q1 menjadi Q3 - Q2. Tingkat subsidi peroutput sebesar (Pd Pw) pada output Q2, maka transfer total dari pemerintah ke produsen sebesar Q2 (Pd - Pw) atau PdABPw. Pembiayaan ini akan menghilangkan efisiensi ekonomi karena pemerintah memilih untuk tidak mengalokasikan sumberdaya pada harga dunia (Pw). Subsidi mengakibatkan barang yang sebelumnya diimpor menjadi diproduksi sendiri dengan biaya yang dikorbankan Q1CAQ2, sedangkan opportunity cost jika barang tersebut dimpor adalah sebesar Q1CBQ2 sehingga efisiensi yang hilang sebesar CAB. Gambar (c) menunjukkan subsidi positif pada konsumen untuk output yang diimpor. Kebijakan subsidi sebesar Pw - Pd mengakibatkan produksi turun dari Q1 ke Q2 dan konsumsi naik dari Q3 ke Q4 sehingga impor meningkat dari Q3 - Q1 menjadi Q4 - Q2. Transfer yang terjadi terdiri dari dua bagian yaitu transfer dari pemerintah ke konsumen sebesar ADEB dan transfer dari produsen kepada konsumen sebesar PwABPd. Dengan demikian kehilangan efisiensi ekonomi terjadi baik pada produksi maupun konsumsi. Di sisi produksi turunnya output dari Q1 ke Q2 mengakibatkan terjadinya kehilangan pendapatan sebesar Pw (Q1 Q2) atau Q2ACQ1. Dengan berkurangnya output, input dapat dihemat sebesar
25
Q2BCQ1 sehingga efisiensi ekonomi yang hilang sebesar ACB. Dilihat pada sisi konsumsi, opportunity cost dari peningkatan konsumsi adalah Pw (Q4 - Q3) atau Q3FDQ4, sedangkan kemampuan membayar konsumen sebesar Q3FEQ4 sehingga efisiensi yang hilang sebesar FDE.
P
P
S
S E
Pd
F
D
Pw
B C
A
A
Pd Pw
B
C
D
Q1
D Q
Q2
Q2
Q3
(a) S+ PI
Q1
Q3
Q
Q4
(b) S+ PE P
P
S
S B
Pw Pd Pw Pd
A
C
F
C
A
D
B
E D
D Q2 Q1
Q3
Q4
Q
(c) S+ CI
Q Q1
Q2
(d) S+ CE
Keterangan: Pw : Harga di pasar dunia Pd : Harga domestik S+ PI : Subsidi kepada produsen untuk barang impor S+ PE : Subsidi kepada produsen untuk barang ekspor S+ CI : Subsidi kepada konsumen untuk barang impor S+ CE : Subsidi kepada konsumen untuk barang ekspor Sumber : Monke dan Pearson (1989)
Gambar 1. Dampak Subsidi Positif terhadap Konsumen dan Produsen pada Barang Ekspor dan Impor
26
P
P
A S
A
S B
Pw Pd Pd Pw
F
D
A
E
B
Q2
Q3
F
E
G
H
J C D
Q1
C
D
Q4
K
D Q1 Q2
(a) TPI
Q3
Q4
Q
(b) TCE
Keterangan: TPI : Hambatan perdagangan pada produsen untuk barang impor TCE : Hambatan perdagangan pada konsumen untuk barang impor Sumber : Monke dan Pearson (1989)
Gambar 2. Restriksi Perdagangan pada Barang Impor Selain kebijakan subsidi pada output, pemerintah juga memberlakukan kebijakan restriksi (hambatan) perdagangan pada barang-barang impor. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar (a) menunjukkan adanya hambatan tarif pada barang impor di mana terdapat tarif sebesar Pd - Pw sehingga menaikkan harga di dalam negeri baik untuk produsen maupun konsumen. Output domestik meningkat dari Q1 ke Q2 dan konsumsi turun dari Q4 ke Q3. Dengan demikian impor turun dari Q4 - Q1 menjadi Q3 - Q2. Terdapat transfer penerimaan dari konsumen sebesar PdABPw yaitu kepada produsen sebesar PdDEPw dan kepada pemerintah sebesar EDAB. Efisiensi ekonomi yang hilang dari konsumen adalah perbedaan antara opportunity cost konsumen dalam mengubah konsumsi sebesar Q4BCQ3 dengan kemampuan membayar yang sama Q3ACQ4 sehingga didapatkan efisiensi ekonomi yang hilang pada konsumen sebesar ABC dan pada produsen sebesar DEF. 27
Gambar (b) menunjukkan pada situasi perdagangan bebas harga yang diterima oleh produsen output dan konsumen dalam negeri sama dengan harga dunia yaitu sebesar Pw. Dengan tingkat harga sebesar Pw, output yang dihasilkan produsen adalah sebesar Q4 dan konsumsi sebesar Q1, sehingga terjadi ekses suplai di dalam negeri sebesar segitiga BHJ. Terjadinya ekses suplai tersebut membuat output yang dihasilkan harus diekspor ke luar negeri yaitu sebesar Q4 - Q1. Besarnya surplus konsumen adalah ABPw, sedangkan surplus produsen sebesar PwHK. Adanya subsidi negatif pada produsen output (NPCO negatif), mengakibatkan perubahan harga dalam negeri yaitu harga yang diterima produsen dan konsumen (harga finansial) menjadi lebih rendah dari harga pasar dunia (Pd < Pw). Dengan tingkat harga sebesar ini, mengakibatkan konsumsi dalam negeri meningkat dari Q1 menjadi Q2, penurunan produksi dari Q4 menjadi Q3, penurunan ekspor dari Q4 – Q1 menjadi Q3 - Q2, terjadi perubahan surplus produsen yaitu sebesar PwHGPd, perubahan surplus konsumen sebesar PdEBPw, dan besarnya transfer output atau transfer pajak kepada pemerintah sebesar DFGE. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah sebesar BDE dan FGH yang merupakan kesempatan yang hilang dari produsen untuk memperoleh keuntungan dan juga tidak ditransfer baik kepada konsumen maupun pemerintah. 3.1.1.2. Kebijakan Pemerintah terhadap Input Kebijakan terhadap input dapat diterapkan pada input tradable dan input nontradable. Pada kedua input tersebut kebijakan dapat berupa subsidi positif maupun negatif, sedangkan kebijakan hambatan perdagangan tidak diterapkan pada input domestik (nontradable) karena input domestik hanya untuk komoditas
28
yang diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri. Kebijakan pemerintah terhadap input ditunjukkan pada Gambar 3. Berdasarkan Gambar 3, Gambar (a) menunjukkan efek pajak terhadap input tradable yang digunakan. Pajak pada input menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga pada tingkat harga output yang sama, output domestik turun dari Q1 ke Q2 dan kurva suplai (S) bergeser ke atas. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah ABC, yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang Q1CAQ2 dengan ongkos produksi Q2BCQ1. Gambar (b) menunjukkan dampak subsidi input mengakibatkan harga input dan biaya produksi lebih rendah sehingga kurva suplai (S) bergeser ke bawah dan produksi naik dari Q1 ke Q2. Adanya peningkatan
produksi
menyebabkan
terjadinya
peningkatan
penggunaan
sumberdaya yaitu sebesar Q1ACQ2 dan meningkatnya penerimaan menjadi sebesar Q1ABQ2. Efisiensi ekonomi yang hilang dari produksi adalah ABC yang merupakan pengaruh perbedaan antara biaya produksi setelah output meningkat dengan nilai dari output yang meningkat. Intervensi pemerintah berupa hambatan perdagangan pada input yang nontradable tidak tampak karena input nontradable hanya diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri. Intervensi pemerintah adalah subsidi positif dan subsidi negatif (pajak) yang dapat dijelaskan pada Gambar 4. Pada Gambar (a) adanya pajak (Pc - Pp) mengakibatkan produk yang dihasilkan turun menjadi Q2. Efisiensi ekonomi yang hilang dari produsen sebesar DBA dan dari konsumen sebesar BCA. Gambar (b) menunjukkan adanya subsidi mengakibatkan produk meningkat dari Q1 ke Q2, harga yang diterima produsen naik menjadi Pp dan harga yang diterima konsumen turun menjadi Pc. Kehilangan efisiensi dapat
29
dilihat dari perbandingan antara peningkatan nilai output dengan meningkatnya ongkos produksi dan meningkatnya keinginan konsumen untuk membayar. S’
P
P
S
S
S’
C C
A
Pw
A
Pw
B D
B Q Q2
Q Q1
Q1
(a) S- II
Q2
(b) S+ II
Keterangan: S- II : Pajak untuk input impor S+ II : Subsidi untuk input impor Sumber : Monke dan Pearson (1989)
Gambar 3. Subsidi dan Pajak pada Input
P
P
Pc
S
C B
Pd Pp
Pp
C A
A D
D
S
Pp’
Pd
B
Pc
D
D
O Q3
Q2
Q1
Q
(a) S- N
Q Q1
Q2
(b) S+ N
Keterangan: S- N : Pajak untuk barang nontradable S+ N : Subsidi untuk barang nontradable Sumber : Monke dan Pearson (1989)
Gambar 4. Dampak Subsidi dan Pajak terhadap Input Nontradable
30
3.1.2. Tinjauan Konseptual Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Terkait dengan konsep keunggulan komparatif yaitu kelayakan ekonomi, dan terkait dengan keunggulan kompetitif yaitu kelayakan finansial. Kelayakan finansial melihat manfaat proyek atau aktivitas ekonomi dari sudut lembaga atau individu yang terlibat dalam aktivitas tersebut. Kelayakan ekonomi menilai suatu aktivitas atas manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan (Kadariah et al., 1978). Secara umum komoditas pertanian memiliki keunggulan komparatif dan sekaligus keunggulan kompetitif, namun parameter keunggulan komparatif lebih rendah dibandingkan keunggulan kompetitifnya. Hal ini mengandung makna bahwa petani membayar harga input produksi lebih tinggi dari yang seharusnya dan atau menerima harga output lebih rendah dari yang seharusnya. Faktanya dewasa ini produk pertanian tetap mengalami kesulitan untuk dapat bersaing dan akses terhadap pasar internasional karena masalah kualitas, kontinuitas pasokan, tingginya kerusakan dalam pengangkutan, serta kondisi sosial politik dalam negeri yang belum kondusif (Saptana et al., 2001). 3.1.2.1.Keunggulan Komparatif Konsep keunggulan komparatif pertama kali dikemukakan oleh David Ricardo. Konsep tersebut dikenal dengan nama hukum keunggulan komparatif (the law of comparative advantage) atau Model Ricardian Ricardo. Menurut beliau, perdagangan internasional terjadi bila ada perbedaan keunggulan komparatif antar negara. Keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara mampu memproduksi barang dan jasa lebih banyak dengan biaya yang lebih murah daripada negara lainnya. Akan tetapi, sekalipun suatu negara mengalami kerugian atau ketidakunggulan absolut dalam memproduksi suatu komoditas jika
31
dibandingkan
dengan
negara
lain,
namun
perdagangan
yang
saling
menguntungkan masih dapat berlangsung. Negara yang kurang efisien akan berspesialisasi dalam produksi dan mengekspor komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif, sebaliknya negara tersebut akan mengimpor komoditas yang mempunyai kerugian komparatif (Salvatore, 1997). Teori keunggulan komparatif Ricardian Ricardo kemudian disempurnakan oleh Harberler (1936) yang mengemukakan konsep keunggulan komparatif berdasarkan Teori Biaya Imbangan (Opportunity Cost Theory). Harberler menyatakan bahwa biaya dari suatu komoditas adalah jumlah komoditas terbaik yang harus dikorbankan untuk memperoleh sumberdaya yang cukup untuk memproduksi satu unit tambahan komoditas pertama. Negara yang memiliki biaya opportunitas lebih rendah dalam memproduksi sebuah komoditas akan memiliki keunggulan komparatif dalam komoditas tersebut dan memiliki kerugian komparatif dalam komoditas kedua (Salvatore, 1997). Teori keunggulan yang lebih modern yaitu teori Heckschser dan Ohlin (1933). Menurut teori H-O, basis terjadinya perdagangan yaitu perbedaan di dalam pre trade relative commodity prices, yang dapat disebabkan oleh perbedaan dari faktor endowment, technology, ataupun tastes dari kedua negara yang bersangkutan. Akibat perbedaan tersebut, akan mendorong perbedaan atas biaya produksi dan atau harganya. Suatu negara akan mengadakan spesialisasi produksi yang mempunyai faktor produksi relatif melimpah yang berarti biayanya juga akan murah dan dalam waktu bersamaan negara tersebut akan mengimpor komoditas yang produksinya memerlukan sumberdaya yang relatif langka dan mahal di negara itu (Salvatore, 1997).
32
3.1.2.2. Keunggulan Kompetitif Keunggulan kompetitif pada awalnya dikembangkan oleh Porter pada tahun 1980 sebagai perluasan dari teori keunggulan komparatif dengan bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan perdagangan internasional. Menurut Porter (1991), keunggulan perdagangan antar negara di dalam perdagangan internasional secara spesifik untuk produk-produk tertentu sebenarnya tidak ada. Pada kenyataannya yang ada yaitu persaingan antar kelompok kecil industri di suatu negara dengan negara lainnya, bahkan antar kelompok industri yang ada dalam satu negara. Porter juga mengemukakan tentang tidak adanya korelasi langsung antara dua faktor produksi (sumber daya alam yang melimpah dan sumber daya manusia yang murah) yang dimiliki suatu negara, yang dimanfaatkan menjadi keunggulan daya saing dalam perdagangan internasional. Keunggulan kompetitif tidak bergantung pada kondisi alam suatu negara, namun lebih ditekankan pada produktivitasnya. Porter menyebutkan bahwa peran pemerintah sangat penting dalan peningkatan daya saing selain faktor produksi. Selain itu, menurut Porter, salah satu esensi dari keunggulan kompetitif adalah bagaimana menciptakan produk atau layanan serta seluruh proses yang menyertainya sedemikian sehingga sulit ditiru oleh pesaing. Untuk meraih keunggulan kompetitif di dalam lingkungan persaingan yang ketat, suatu perusahaan perlu mengadopsi strategi yang tepat. Ada dua jenis strategi yaitu diferensiasi dan produksi biaya rendah (low cost production).
33
3.1.3. Policy Analysis Matrix (Matriks Analisis Kebijakan) Policy Analysis Matrix merupakan suatu alat yang digunakan untuk menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem komoditas. Sistem komoditas yang dapat dipengaruhi meliputi empat aktivitas yaitu (Monke dan Pearson, 1989) : (1) tingkat usaha tani (farm production); (2) penyampaian dari usaha tani ke pengolah; (3) pengolahan; dan (4) pemasaran. Metode PAM membantu pengambil kebijakan baik di pusat maupun daerah untuk menelaah tiga isu sentral analisis kebijakan pertanian. Isu pertama berkaitan dengan apakah sebuah sistem usahatani memiliki dayasaing pada tingkat harga dan teknologi yang ada, yaitu apakah ada keuntungan pada tingkat harga aktual (dengan menghitung perbedaan antara harga privat antara sebelum ada kebijakan dengan sesudah ada kebijakan). Isu kedua yaitu dampak investasi publik (dalam bentuk pembangunan infrastruktur baru) terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani. Efisiensi dihitung berdasarkan tingkat keuntungan sosial. Isu ke tiga yaitu dampak investasi baru dalam bentuk riset atau teknologi pertanian terhadap tingkat efisiensi sistem usaha tani (Pearson et al., 2005). Tujuan utama dari metode PAM ada tiga, yaitu pertama memberikan informasi dan analisis untuk membantu pengambil kebijakan pertanian dalam ketiga isu di atas. Kedua, menghitung tingkat keuntungan sosial dari sebuah usahatani. Ketiga, menghitung efek transfer sebagai dampak dari sebuah kebijakan (dengan membandingkan biaya dan pendapatan). Input yang digunakan dalam proses produksi pada analisis PAM dapat dipisahkan menjadi tradable goods dan nontradable goods (faktor domestik). Barang tradable merupakan barang yang dapat diperdagangkan secara
34
internasional dimana produsen dalam negeri cukup efisien sehingga tidak ada hambatan perdagangan (peraturan/kebijakan), oleh karena itu harga fob memberikan rangsangan yang efektif untuk mengekspor. Barang nontradable merupakan barang yang tidak dapat diperdagangkan secara internasional (dapat dipenuhi oleh produksi setempat pada harga di bawah nilai cif-nya, sedangkan harga fob (yang selalu lebih rendah dari harga cif) terlalu rendah untuk merangsang ekspor). Hasil Analisis PAM dapat menunjukkan pengaruh individual maupun kolektif dari kebijakan harga dan kebijakan faktor domestik. PAM juga memberikan informasi dasar yang penting bagi Benefit-Cost Analysis untuk kegiatan investasi di bidang pertanian (Pearson et al., 2005). 3.1.4. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat apa yang terjadi terhadap hasil analisis proyek jika ada sesuatu kesalahan atau perubahan dalam dasar-dasar perhitungan biaya atau manfaat (Kadariah et al., 1978). Analisis sensitivitas merupakan suatu teknik analisis untuk menguji perubahan kelayakan suatu kegiatan ekonomi (proyek) secara sistematis jika terjadi kejadian-kejadian yang berbeda dengan perkiraan yang telah dibuat dalam perencanaan. Dalam proyek-proyek pertanian ada empat masalah utama yang perlu diperhatikan, yaitu: 1) Perubahan harga yang menyebabkan perubahan penerimaan. Umumnya harga produk pertanian berfluktuasi karena produksinya sesuai dengan musimnya. Perubahan harga menyebabkan perubahan terutama pada harga output (terutama pada proyek ukuran besar di mana harga relatif turun karena umur ekonomisnya panjang).
35
2) Keterlambatan pelaksanaan yang biasanya terjadi karena berbagai sebab, misalnya: a. Terlambat dalam pemesanan/penerimaan alat baru b. Masalah administrasi yang tidak terhindarkan c. Teknik bercocok tanam/budidaya baru (memerlukan adaptasi terhadap teknik baru tersebut) 3) Kenaikan biaya (cost overrun) yang sewaktu-waktu bisa terjadi dalam pelaksanaan suatu proyek. Kenaikan biaya misalnya kenaikan harga peralatan dan bahan bangunan. 4) Kesalahan dalam perkiraan hasil (produksi) dalam pelaksanaan proyek, misalnya karena penggunaan mesin yang memiliki kapasitas lebih besar, tenaga kerja lebih baik, dan serangan hama penyakit. Kelemahan analisis sensitivitas yaitu: 1) Analisis sensitivitas tidak digunakan untuk pemilihan proyek, karena merupakan analisis parsial yang hanya mengubah satu parameter pada suatu saat tertentu. 2) Analisis sensitivitas hanya mencatat apa yang akan terjadi jika variabel berubah-ubah dan bukan untuk menentukan layak atau tidaknya suatu proyek.
36
3.2.
Kerangka Pemikiran Operasional Kebijakan Pemerintah dan Faktor Eksternal : 1. Nilai UMR 2. Nilai Mata Uang (Rp) 3. Harga BBM 4. Lain-lain
Biaya dan Harga Faktor Produksi: 1. Tenaga Kerja 2. Pakan/lahan 3. Input lainnya
Usaha Pembenihan Ikan Patin Siam Deddy Fish Farm
Policy Analysis Matrix (PAM)
Analisis Sensitivitas
Dampak Kebijakan: 1. Transfer Output 2. Transfer Input 3. Transfer Faktor 4. Transfer Bersih 5. Koefisien Proteksi 6. Koefisien Keuntungan 7. Rasio Subsidi Produsen
Keunggulan Komparatif: 1. Keuntungan Ekonomi 2. Biaya Sumberdaya Domestik
Keunggulan Kompetitif: 1. Keuntungan Finansial 2. Rasio Biaya Finansial
Alternatif Kebijakan
Keterangan : : Hubungan Antar Variabel : Alat Analisis Sumber : Penulis (2009)
Gambar 5. Kerangka Pemikiran Sistem Komoditas Deddy Fish Farm Usaha pembenihan ikan dalam perkembangannya tidak terlepas dari kebijakan pemerintah dan faktor eksternal lainnya seperti naik turunnya harga BBM, nilai tukar, dan kebijakan lainnya. Kebijakan tersebut nantinya akan
37
menimbulkan perbedaan harga input dan output yang berpengaruh pada biaya produksi dan harga jual. Peningkatan biaya produksi dan harga jual nantinya akan mengakibatkan perubahan pada penerimaan (keuntungan) perusahaan. Analisis tingkat efisiensi dan dampak kebijakan pemerintah dilakukan dengan menggunakan model Policy Analysis Matrix. Dengan model ini akan diperoleh nilai-nilai yang menunjukkan keunggulan komparatif dan kompetitif serta alternatif kebijakan. Analisis keunggulan komparatif ditunjukkan oleh nilai keuntungan sosial/ekonomi dan rasio biaya sumberdaya domestik, sedangkan keunggulan kompetitif dapat ditunjukkan dengan nilai keuntungan finansial dan nilai rasio biaya privat/finansial. Kita dapat mengetahui apakah suatu komoditas dapat atau tidak
bersaing di pasar regional maupun internasional dari nilai
keuntungan tersebut. Pemerintah
sering
memberlakukan
kebijakan-kebijakan
dalam
perdagangan yang dibuat dengan tujuan tertentu. Analisis sensitivitas digunakan untuk menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif suatu komoditas jika terjadi perubahan harga input dan output baik perubahan yang diakibatkan oleh kebijakan pemerintah tersebut maupun lainnya. Analisis sensitivitas dapat memengaruhi matriks PAM sehingga keunggulan komparatif dan kompetitif yang diperoleh akan mengalami perubahan.
38
IV. METODE PENELITIAN 4.1.
Lokasi dan Waktu Studi kasus penelitian mengenai “Analisis Keunggulan Komparatif dan
Kompetitif Usaha Pembenihan Ikan Patin Siam (Studi Kasus : Perusahaan Deddy Fish Farm)” dilaksanakan di lokasi usaha yang bersangkutan yaitu di daerah Cibanteng Sawah, Ciampea, Bogor. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang sudah lama bergerak di bidang pembenihan ikan patin dan sudah mengirimkan produknya ke berbagai daerah diantaranya Solo, Palembang, dan Banjarmasin. Pengumpulan data untuk keperluan penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan Januari 2011. 4.2.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara dengan pemilik usaha dan data sekunder berupa data cashflow perusahaan selama dua tahun (2008-2009). Selain itu, data sekunder juga diperoleh dari beberapa lembaga baik nasional maupun internasional seperti BPS, Kementerian Perikanan dan Kelautan, United Nation Commodity Trade Statistic Database (UNComtrade), Globefish, serta informasi lainnya yang diperoleh dari buku-buku literatur, dan media elektronik. Data sekunder dari perusahaan berupa data-data yang digunakan dalam analisis keunggulan komparatif dan kompetitif serta dampak divergensi pemerintah. Data dan informasi yang diperlukan mencakup : asupan usaha tani baik sarana produksi maupun tenaga kerja dan modal, tingkat produksi usaha tani, harga-harga dari komoditas pertanian terkait, harga-harga sarana produksi, tingkat
39
upah tenaga kerja, dan tingkat bunga yang mencerminkan biaya atas modal yang digunakan. 4.3.
Metode Pengolahan dan Analisis Data Metode pengolahan data meliputi metode kuantitatif dan kualitatif. Metode
kuantitatif dilakukan dengan cara mengumpulkan dan mengolah data dari perusahaan, sedangkan metode kualitatif berupa penyajian data dengan cara mengintepretasikan dan mendeskripsikan data kuantitatif. Perhitungan metode kuantitatif yaitu dengan mengolah data menggunakan komputer melalui program Microsoft Excel. Tabel Input-Output tahun 2005 juga digunakan untuk mengalokasikan biaya ke dalam komponen tradable dan nontradable. Selanjutnya matriks PAM disusun dan dilakukan perhitungan untuk mendapatkan hasil tertentu sebagai indikator pengaruh kebijakan pemerintah terhadap input dan output. Metode
analisis
data berupa
analisis
daya
saing
dan
dampak
kebijakan/divergensi pemerintah terhadap usaha agribisnis dengan menggunakan alat analisis matriks kebijakan pemerintah (PAM) yang dikembangkan oleh Monke dan Pearson (1989). Analisis kemampuan perusahaan dalam menghadapi perubahan ekonomi yang berimbas pada proyek digunakan analisis sensitivitas. Terdapat empat tahapan yang dilakukan dalam penyusunan PAM ini. Keempat tahapan tersebut mengacu pada pendapat Monke dan Pearson (1989), yakni : 1) Penentuan input output fisik secara lengkap dari aktivitas ekonomi yang dianalisis.
40
2) Pemisahan seluruh biaya ke dalam komponen domestik dan asing yang didasarkan atas Tabel Input-Output tahun 2005. 3) Penentuan harga privat dan penafsiran harga bayangan input-output. 4) Tabulasi dan analisis berbagai indikator yang dihasilkan tabel PAM. Beberapa asumsi yang mendasari penyusunan PAM ini antara lain : 1) Perhitungan berdasarkan harga privat (harga yang benar-benar terjadi dan diterima oleh produsen dan konsumen atau harga yang terjadi setelah adanya kebijakan. 2) Perhitungan berdasarkan harga sosial. Pada komoditas tradable, harga bayangan yaitu harga yang terjadi di pasar internasional. Penentuan harga bayangan komoditas nontradable yaitu harga yang terjadi pada kondisi Pasar Persaingan Sempurna (PPS) atau harga yang terjadi bila tidak ada kebijakan. 3) Masa produksi benih (output) dihitung dalam satu tahun. 4) Nilai tukar resmi yaitu nilai tukar rata-rata yang berlaku pada tahun 2008 dan 2009 yakni masing-masing sebesar Rp 9.771,67 dan Rp 10.356,17 per US Dollar. 5) Eksternalitas positif dan negatif dianggap saling meniadakan. 4.4. Penentuan Input dan Output Input yang dimaksud dalam penelitian ini adalah induk ikan patin, pakan, obat-obatan, perlengkapan dan peralatan dalam pemeliharaan induk dan larva, penyuntikan, penetasan, dan pemanenan larva, garam, BBM, tenaga kerja, lahan (sewa lahan), dan input lainnya. Output yang dimaksud dalam penelitian ini adalah benih ikan patin ukuran larva, ¾ inchi, dan 1 inchi.
41
4.4.1. Alokasi Biaya ke dalam Komponen Domestik dan Asing Menurut Pearson et al. (1976) dalam Saptana et al. (2001), ada dua pendekatan yang digunakan untuk mengalokasikan biaya ke dalam komponen domestik dan asing, yaitu pendekatan total dan pendekatan langsung. Pendekatan langsung mengasumsikan bahwa seluruh biaya input tradable, baik diimpor maupun produksi domestik dinilai sebagai komponen biaya asing. Pendekatan ini digunakan apabila tambahan permintaan input tradable baik barang yang diimpor maupun produksi domestik dapat dipenuhi dari perdagangan internasional. Pendekatan total mengasumsikan bahwa setiap biaya dari input tradable produksi domestik dibagi ke dalam komponen biaya domestik dan asing, dan penambahan input tradable dapat dipenuhi dari produksi domestik jika input itu memiliki kemungkinan untuk diproduksi dalam negeri. Pendekatan ini lebih tepat digunakan dalam analisis dampak kebijakan pemerintah
atau untuk
memperkirakan biaya ekonomi atau sosial dari struktur proteksi yang dilakukan oleh pemerintah. Analisis daya saing atau keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas ikan patin pada penelitian ini mengggunakan pendekatan total. 1) Alokasi Biaya Produksi Biaya produksi adalah seluruh biaya yang dikeluarkan secara tunai maupun yang diperhitungkan untuk menghasilkan komoditas akhir yang siap dipasarkan atau dikonsumsi. Penentuan alokasi biaya produksi ke dalam komponen asing (tradable) dan domestik (nontradable) didasarkan atas jenis input dan penilaian biaya input tradable dan nontradable dalam total biaya input. Alokasi biaya produksi ke dalam komponen domestik dan asing disajikan dalam Tabel 9.
42
Tabel 9. Alokasi Biaya Produksi ke dalam Komponen Domestik dan Asing pada Sistem Usahatani Pembenihan Ikan Patin di Lokasi Penelitian, Tahun 2008 dan 2009. Keterangan
Domestik (%)
Asing (%)
1. Pelet
7,6
92,4
2. Penyusutan Jaring Induk
100
0
a. Jaring Induk
100
0
b. Induk
93,5
6,5
3. TK Tetap
100
0
1. Ovaprim
39,5
60,5
2. Alat Suntik
42,3
57,7
3. Tenaga Kerja
100
0
1. Artemia
7,6
92,4
2. Cacing Tubifex
100
0
3. Pelet
7,6
92,4
4. Minyak Tanah
64,92
35,08
5. Bensin
64,92
35,08
6. Blitz ICH
39,5
60,5
7. Batu Aerasi
88,4
11,6
8. Corong
86,33
13,67
9. Serokan larva
100
0
10. TK Tukang
100
0
Biaya Pemeliharaan Induk
Biaya Penyuntikan
Pemeliharaan Larva
11. Penyusutan Peralatan a. Akuarium
100
0
b. Blower
38
62
c. Selang
86,33
13,67
e. Genset
85
15
f. Hi Blow
38
62
g. Rak Kayu
100
0
h. Kompor
100
0
i. Terpal
100
0
j. Jet Pam
38
62
1. Garam
100
0
2. Penyusutan Ember
100
0
Penetasan Artemia
43
Tabel 9. Lanjutan Pemanenan Larva 1. Serokan
100
0
a. Tabung gas
100
0
b. Baskom
100
0
c. Fiber
100
0
1. Telepon
100
0
2. Listrik
100
0
3. Sewa Rumah + lahan
100
0
BUNGA MODAL
100
0
100
0
2.. Penyusutan Peralatan
BIAYA OPERASIONAL
BIAYA TATANIAGA Penanganan
Sumber : Tabel Input-Output (2005), diolah Metode perhitungan komponen domestik-asing dengan Tabel Input Output 2005: % komponen asing % komponen asing Keterangan: Tabel 2 Tabel 4 Kolom Baris
nilai komponen produk domestik x 100% nilai komponen total nilai komponen produk asing x 100% nilai komponen total
: Transaksi Total Atas Dasar Produsen – mencari komponen asing (nilai total - nilai domestik) : Transaksi Domestik Atas Dasar produsen – mencari komponen domestik : Input yang digunakan dalam usahatani : Bidang usahatani
2) Alokasi Biaya Tataniaga Biaya tataniaga adalah biaya yang dikeluarkan untuk menambah nilai atau kegunaan suatu barang, yaitu kegunaan tempat, bentuk, dan waktu. Biaya tataniaga terbagi atas biaya biaya pengangkutan (transportasi) dan penanganan. Biaya pengangkutan merupakan biaya yang dikeluarkan untuk mengangkut barang dari produsen atau petani sampai ke eksportir, dimana pihak perusahaan tidak mengeluarkan biaya pengangkutan karena hasil produksi diambil oleh broker langsung di perusahaan. Biaya penanganan meliputi kegiatan sortir benih
44
dan pengepakan. Alokasi biaya tataniaga (penanganan) dimasukkan ke dalam komponen domestik 100% dan komponen asing 0% (Tabel Input Output, 2005). 4.4.2. Penentuan Harga Bayangan Input Output Harga bayangan adalah harga yang terjadi dalam suatu perekonomian apabila pasar berada dalam kondisi persaingan sempurna dan dalam kondisi keseimbangan (Gittiger, 1986). Dalam pasar yang bersaing, biaya oportunitas suatu barang akan menjadi harga bayangan barang tersebut. Akan tetapi sulit menentukan harga oportunitas suatu barang. Oleh karena itu, untuk memperoleh nilai yang mendekati biaya imbangan bayangan atau harga bayangan perlu dilakukan penyesuaian terhadap harga yang berlaku di pasar, diantaranya dengan mengurangkan pajak tidak langsung atau menambahkan subsidi dari harga yang berlaku di pasar. Menurut Monke dan Pearson (1989), cara untuk menentukan harga internasional dari suatu barang yang tradable yaitu dengan menggunakan harga paritas ekspor (fob) untuk barang yang exportable dan harga paritas impor (cif) untuk barang yang importable. Fob merupakan syarat penyerahan barang dimana penjual hanya menanggung biaya pengangkutan sampai dengan pelabuhan muat penjual, sisanya ditanggung pembeli. Cif adalah syarat penyerahan barang dimana penjual harus menanggung biaya pengangkutan dan asuransi atas suatu komoditas. Ada beberapa cara untuk menentukan harga paritas yaitu: (i) nilai fob atau cif dari publikasi statistik atau statistik perdagangan internasional (ii) bila data tidak dapat diperoleh dari pusat statistik dalam negeri, bisa diperoleh dari publikasi statistik negara tetangga, kelompok industri, atau lembaga-lembaga
45
internasional seperti IMF, World Bank, ADB, dan lainnya (iii) bila diketahui kegagalan pasar tidak terjadi dan semua kebijakan diketahui dengan jelas dan dampaknya bisa diukur, maka harga sosial bisa dihitung dengan mengurangkan dampak divergensi dari harga privat. Penentuan harga bayangan barang-barang nontradable, menurut Monke dan Pearson, 1989 berdasarkan langkah-langkah berikut: (i) menghitung opprtunity cost dari barang nontradable tersebut, namun cara ini sulit dilakukan, (ii) mengoreksi ada tidaknya divergensi baik yang disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah yang distorsif, ada tidaknya kegagalan pasar seperti struktur pasar monopoli, monopsoni, dan lain-lain; eksternalitas negatif atau positif, dan ketidaksempurnaan kelembagaan, (ii) apabila dampak divergensi tidak dapat diestimasi maka menggunakan harga barang substitusinya, (iii) jika langkah tersebut juga sulit untuk dilakukan maka gunakan harga barang/substitusinya di negara tetangga. 1) Menentukan Harga Bayangan Output Pasar benih patin mendekati pasar persaingan sempurna. Hal ini karena harga benih patin ditentukan oleh penawaran dan permintaan pasar, antar petani benih patin saling bersaing dalam harga, banyaknya jumlah produsen maupun konsumen benih patin. Oleh karena itu,harga sosial benih patin sama dengan harga finansialnya.
46
2) Menentukan Harga Bayangan input a) Induk Harga bayangan induk patin didekati dengan fob Vietnam sebesar US$ 830/ton18 ditambahkan dengan freight (biaya pengapalan) sebesar 10% dan biaya transportasi 0,5%19 sehingga harga cif Indonesia atas ikan patin tersebut yaitu US$ 917,57/ton. Selanjutnya nilai ini dikalikan dengan SER tahun 2008 sehingga nilai induk ikan masing-masing tahun yaitu Rp 8.997.798/ton dan Rp 9.544.713/ton. Nilai-nilai tersebut ditambahkan dengan biaya tataniaga dan penanganan sehingga menghasilkan harga bayangan induk sebesar Rp 9.249,45/kg. Bobot tiap induk ikan patin rata-rata 3 kg, sehingga tiap ekor induk memiliki harga bayangan Rp 27.748 (Lampiran 15). b) Harga Bayangan Pakan Harga bayangan untuk komponen pakan berupa pelet berdasarkan harga privat di lokasi penelitian. Hal ini didasari asumsi bahwa border price hanya pada komponen atau bahan baku pembuatan pelet yaitu tepung ikan sehingga sulit menentukan harga bayangan berdasarkan border price bahan baku. Oleh karena itu, harga bayangan pakan diperoleh dari harga finansial dikurangkan dengan PPN sebesar 10%. Harga bayangan pakan cacing tubifex juga didekati dengan harga finansial karena cacing tubifex diperoleh secara domestik dan tidak terdapat border price. Harga bayangan pakan berupa artemia berdasarkan border price. Artemia merupakan produk impor sehingga digunakan harga cif. Patokan harga artemia dengan daya tetas 80% adalah harga fob Beijing yaitu 18 19
http://www.fao.org/ diakses tanggal 4 Mei 2010 http://www.pajak.go.id/ diakses tanggal 4 Mei 2010
47
US$ 54.117,62/ton, ditambahkan dengan freight sebesar 10% dan biaya transportasi 0,5% sehingga harga CIF Indonesia atas produk tersebut adalah US$ 59.827,03/ton. Selanjutnya nilai ini dikalikan dengan SER tahun 2008 dan
2009
sehingga
nilai
artemia
masing-masing
tahun
yaitu
Rp
586.674.016/ton dan Rp 622.333.916/ton. Nilai-nilai tersebut ditambahkan dengan biaya tataniaga dan penanganan sehingga menghasilkan harga bayangan artemia sebesar Rp 586.926/kg dan Rp 622.586/kg. Berat artemia perkaleng adalah 425 gram, sehingga setelah dikonversi, harga tiap kaleng artemia masing-masing tahun yaitu Rp 249.443 dan Rp 264.599 (Lampiran 16 dan 17). c) Harga Bayangan Garam Indonesia merupakan negara pengimpor garam dalam jumlah besar20. Oleh karena itu harga bayangan yang digunakan adalah border price yaitu sebesar US$ 43,11/ton pada tahun 2008 dan US$ 53,52/ton pada tahun 2009. Kemudian ditambahkan dengan freight 10% dan biaya transportasi 0,5% menghasilkan cif 2008 sebesar US$ 49,79/ton dan cif 2009 sebesar US$ 61,82/ton. Selanjutnya nilai ini dikalikan dengan SER tahun 2008 dan 2009 sehingga nilai garam masing-masing tahun yaitu Rp 488.262/ton dan Rp 643.026/ton. Nilai-nilai tersebut ditambahkan dengan biaya tataniaga dan penanganan sehingga menghasilkan harga bayangan garam sebesar Rp 740/kg dan Rp 895/kg. Tiap bungkus garam berbobot 2,5 kg sehingga harga perbungkus yaitu Rp 1.850 dan Rp 2.237 (Lampiran 18 dan 19).
20
http://www.comtrade.un.org/ diakses tanggal 13 Juni 2010
48
d) Harga Bayangan Obat-obatan Harga dunia untuk hormon dan obat-obatan dalam perikanan seperti Ovaprim, Blitz Ich tidak ada. Oleh karena itu penentuan harga bayangan hormon dan obat-obatan didekati dengan harga finansial. Perhitungannya yaitu harga finansial dikurangkan dengan PPN sebesar 10%. e) Harga Bayangan Perlengkapan dan Peralatan Harga pasar peralatan dihitung berdasarkan harga penyusutan peralatan selama satu tahun dengan Metode Garis Lurus dengan formulasi sebagai berikut : Penyusutan
Nilai Beli Nilai Sisa Umur Ekonomis
Harga bayangan peralatan dan perlengkapan seperti generator set, blower, jet pump, kompor, fiber, corong, serokan larva, selang, terpal, baskom, batu aerasi, ember, jaring, rak kayu, dan lainnya ditentukan berdasarkan harga finansial karena tidak ada harga dunia untuk barang-barang tersebut. Perhitungan harga bayangan dilakukan dengan mengurangkan harga finansial dengan PPN sebesar 10%. f) Harga bayangan listrik dan telepon Listrik dan telepon merupakan input nontradable. Menurut PP No. 7 tahun 2007, listrik dibebaskan dari PPN. Harga bayangan listrik dan telepon didekati berdasarkan harga finansialnya. g) Harga bayangan BBM Harga bayangan BBM ditentukan dari harga di tingkat bunker yaitu harga sebelum subsidi yang diperoleh dari Pertamina. Pada tahun 2008 harga
49
bensin adalah Rp 8.339/L dan harga minyak tanah adalah Rp 10.000/L, sedangkan tahun 2009 harga bensin adalah Rp 4.413/L dan harga minyak tanah adalah Rp 5.052/L21. h) Harga Bayangan Tenaga Kerja Tenaga kerja merupakan input nontradable. Tenaga kerja yang digunakan dalam usaha pembenihan ikan patin Deddy Fish Farm adalah tenaga kerja pria tidak terdidik. Perhitungan harga sosial tenaga kerja dalam penelitian ini berdasarkan upah tenaga kerja jika negara dalam keadaan full employment (diasumsikan tidak terdapat pengangguran). Penentuan harga sosial tenaga kerja yaitu menambahkan 100% dengan persentase tingkat pengangguran di wilayah penelitian (Jawa Barat) dikalikan dengan harga finansialnya. Tingkat angka pengangguran terbuka pada tahun 2008 dan 2009 masing-masing sebesar 11,85% dan 10,57%22. Oleh karena itu, harga bayangan tenaga kerja tidak terdidik tahun 2008 dan 2009 ditetapkan sebesar 111,85% dan 110,57% dari upah finansialnya. i) Harga Bayangan Lahan Biaya oportunitas lahan adalah nilai neto dari produksi yang hilang bila penggunaan tanah diubah dari penggunaan tanpa proyek menjadi penggunaan dengan proyek (Gittinger, 1986). Akan tetapi, sulit menentukan besarnya harga oprtunitas dari lahan. Salah satu pendekatan lain yang dipakai yaitu menggunakan sewa lahan karena ada sewa pasaran yang agak tesebar luas dan bersaing. Perhitungan harga bayangan lahan dalam penelitian ini
21 22
http://www.pertamina.go.id (harga sementara) diakses tanggal 16 Juli 2010 http://www.depnakertrans.go.id/ diakses tanggal 3 Mei 2010
50
menggunakan sewa tanah karena aktivitas sewa menyewa lahan di tempat penelitian cukup banyak. j) Harga Bayangan Suku Bunga Modal Deddy Fish Farm menggunakan modal sendiri dalam melakukan usahanya. Penentuan tingkat suku bunga modal kerja berdasarkan tingkat suku bunga deposito yang berlaku di bank BRI. Bank BRI merupakan bank yang lokasinya paling dekat dengan lokasi penelitian dengan bunga sebesar 6%. Harga bayangan bunga modal kerja berdasarkan tingkat bunga deposito di negara yang tingkat perkembangan perekonomiannya sama dengan Indonesia yaitu negara Malaysia23 sebesar 3,47% pada tahun 2008 dan 2,09% pada tahun 200924. k) Harga Bayangan Nilai Tukar Harga sosial nilai tukar rupiah adalah harga uang domestik kaitannya dengan mata uang asing dalam kondisi pasar persaingan sempurna. Keseimbangan nilai tukar terjadi bila semua pembatas dan subsidi terhadap ekspor dan impor dihilangkan. Keseimbangan tersebut dapat didekati dengan SCF (Standard Conversion Factor). Rumus yang digunakan menurut Squire dan van der Tax (1975) dalam Gittinger (1986) yaitu:
OERt = Nilai tukar resmi (Official Exchange Rate) pada tahun t SERt = Nilai tukar bayangan (Shadow Exchange Rate) pada tahun t Keterangan : t dimaksud yaitu tahun 2008-2009
SCF dapat dihitung dengan rumus seperti yang telah digunakan oleh para peneliti yang lain, yaitu dengan membandingkan semua nilai impor dan 23 24
http://www.bappenas.go.id/ diakses tanggal 19 Juli 2010 http:// www.tradingeconomics.com/ diakses tanggal 2 Agustus 2010
51
ekspor (berdasarkan harga batas) dengan nilai-nilai berdasarkan harga domestik. Secara matematis formulasi untuk mencari nilai SCF tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut (Rosegrant, 1987 dalam Novianti, 2003):
Keterangan: SCFt Mt Xt Mxt Txt
= Faktor konversi baku untuk tahun t = Nilai impor pada tahun t = Nilai ekspor pada tahun t = Pajak impor pada tahun t = Pajak ekspor pada tahun t
Tabel 10. Perhitungan Standart Conversion Factor dan Shadow Price Exchange Rate 2008-2009 (Milyar Rp) Tahun
Xt
Mt
Txt
Mxt
OER
SCFt
SER
2008
1.338.918,7
1.262.475,9
13578,3
22.763,8
9.771,67
0,996
9.806,17
2009
1.206.389,9
1.003.055,8
9335,6
19.160,4
10.356,17
0,996
10.402,218
Sumber : Departemen Perdagangan (2010) Hasil perhitungan yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10menunjukkan bahwa nilai tukar bayangan pada tahun 2008 sebesar Rp 9.806,70 dan pada tahun 2009 Rp 10.402,22. Nilai tukar bayangan lebih besar daripada nilai tukar resmi karena SCF yang merupakan pembagi besarnya kurang dari satu. 4.5.
Policy Analysis Matrix (PAM) PAM
merupakan
matriks
informasi
mengenai
kebijakan
pertanian/sumberdaya alam dan ketidaksempurnaan pasar dari faktor domestik terkait. Matriks ini disusun dengan membandingkan neraca sistem usahatani atau penggunaan lahan yang dihitung dengan harga finansial (berdasarkan harga aktual pasar lokal) di satu sisi dan neraca yang dihitung dengan estimasi harga ekonomisnya atau harga sosial (yang mencerminkan efisiensi penggunaan
52
sumberdaya) di sisi yang lain. Secara sederhana kerangka Matriks Analisis Kebijakan disajikan dalam Tabel 11. Tabel 11. Matriks Analisis Kebijakan Keterangan
Biaya
Penerimaan
Harga finansial/harga privat
A
Tradable Inputs B
Harga ekonomi/harga sosial
E I
F J
Dampak kebijakan dan distorsi pasar Keterangan: A : Penerimaan Privat B : Biaya Privat Input Tradable C : Biaya Privat Input Nontradable D : Keuntungan Privat E : Penerimaan Sosial F : Biaya Sosial Input Tradable
G H I J K L
Profit Nontradable C
D
G K
H L
: Biaya Sosial Input Nontradable : Keuntungan Sosial : Transfer Output : Transfer Input : Transfer Faktor : Transfer Bersih
Sumber: Monke dan Pearson (1989) 4.5.1. Perhitungan Analisis PAM Dari Tabel PAM, dapat dilakukan analisis sebagai berikut (Pearson et al., 2005): 1) Analisis Keuntungan a) Keuntungan Privat (Privat Profitability - PP) Keuntungan privat mengacu pada penerimaan dan pengeluaran aktual, menunjukkan daya saing dari suatu sistem. Jika nilai PP > nol, berarti sistem memperoleh keuntungan. Sebaliknya jika nilai PP < nol, berarti sistem komoditas tidak mendapatkan keuntungan. PP diperoleh dengan rumus: Keuntungan Privat (D) = A – (B + C)
b) Keuntungan Sosial (Social Profitability – SP) Keuntungan sosial adalah perhitungan untung-rugi dengan menggunakan harga ekonomi/sosial yang mencerminkan tingkat efisiensi dari suatu sistem usahatani atau penggunaan lahan. Sebuah negara akan mencapai pertumbuhan ekonomi
yang
tinggi
dengan
mengedepankan
aktivitas-aktivitas
yang 53
menghasilkan keuntungan sosial yang tinggi. Jika nilai SP > nol, maka sistem memperoleh keuntungan. Sebaliknya, jika SP < nol, maka sistem komoditas tidak memperoleh keuntungan. SP diperoleh dengan rumus: Keuntungan Sosial (H) = E – (F + G)
2) Analisis Daya Saing melalui Keunggulan Komparatif dan Kompetitif a) Rasio Biaya Privat (Privat Cost Ratio – PCR) PCR adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah dalam harga privat. Nilai PCR mencerminkan kemampuan sistem komoditas membiayai faktor domestik pada harga privat. Nilai ini juga digunakan sebagai ukuran efisiensi secara finansial dan menjadi satu indikator keunggulan kompetitif. Nilai PCR diusahakan kurang dari satu karena untuk meningkatkan nilai tambah sebesar satu satuan diharapkan tambahan biaya faktor domestik kurang dari satu. Semakin kecil nilai PCR maka semakin besar tingkat keunggulan kompetitif yang dimiliki. PCR dapat diperoleh dari rumus: Rasio Biaya Privat (PCR) = C / (A - B)
b) Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (Domestic Resource Cost - DRC) DRC adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah dalam harga bayangan. Nilai ini digunakan sebagai ukuran efisiensi secara ekonomi dan menjadi satu indikator keunggulan komparatif. Suatu kegiatan ekonomi juga diharapkan memiliki nilai DRC yang kurang dari satu agar terjadi efisiensi secara ekonomi
(menunjukkan
keunggulan
komparatif).
Apabila
nilai
DRC>1
menunjukkan semakin besar penggunaan sumberdaya atau terjadi pemborosan sumberdaya domestik. DRC dapat diperoleh dari rumus: Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) = G / (E - F)
54
3) Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah a) Kebijakan Output i.
Transfer Output (Output Transfer – OT) Analisis OT dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kebijakan
pemerintah mampu memberikan intensif kepada pelaku ekonomi. Nilai OT positif menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah pada output menyebabkan harga privat output lebih besar dibandingkan harga bayangan output, yang menunjukkan besarnya intensif masyarakat atau konsumen terhadap produsen, dimana konsumen membayar lebih tinggi dari harga yang seharusnya dibayarkan. Nilai OT yang negatif menunjukkan bahwa dengan adanya distorsi kebijakan pemerintah, akan menyebabkan harga privat output menjadi lebih rendah dibandingkan harga bayangan output. Nilai OT negatif juga menunjukkan adanya kebijakan pemerintah pada harga output berupa subsidi negatif. Formula dari OT: Transfer Ouput (I) = A – E
ii. Koefisien Proteksi Output Nominal (Nominal Protection Coefficient on Tradable Output - NPCO) NPCO merupakan rasio yang dibuat untuk mengukur transfer output. Rasio ini menunjukkan seberapa besar harga domestik (privat) berbeda dengan harga sosial. Nilai NPCO yang lebih kecil dari satu (NPCO<1) menunjukkan adanya kebijakan pemerintah untuk menghambat ekspor komoditas dengan pajak atau hambatan ekspor. Hal ini menyebabkan harga output domestik lebih rendah dari harga dunia yang berarti harga output domestik didisproteksi. Jika NPCO>1 berarti harga domestik lebih tinggi dari harga dunia dan sistem usahatani menerima proteksi. Besarnya persentase NPCO
55
yang timbul akibat kebijakan pemerintah terhadap produsen output komoditas benih ikan patin ditunjukkan oleh nilai NPRO . Formula untuk NPCO dan NPRO: Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) = A / E Tingkat Proteksi Output Nominal (NPRO) = (NPCO – 1) x 100%
b) Kebijakan Input i. Transfer Input (Input Transfer – IT) IT merupakan selisih antar input yang diperdagangkan pada harga privat dan input yang diperdagangkan pada harga bayangan. Apabila nilai IT positif berarti terdapat kebijakan subsidi negatif atau pajak pada input produksi (menyebabkan transfer sumberdaya keluar dari sistem), sebaliknya jika nilai IT negatif menunjukkan adanya kebijakan subsidi pada input (menyebabkan transfer sumberdaya ke dalam sistem). Formula untuk IT: Transfer Input Asing = Transfer input tradable (J) = B – F
ii. Koefisien Proteksi Input Nominal (Nominal Protection Coefficient in Tradable Input – NPCI) NPCI merupakan rasio untuk mengukur besarnya transfer input tradable. NPCI menunjukkan tingkat proteksi atau distorsi yang dibebankan pemerintah pada input tradable bila dibandingkan tanpa adanya kebijakan. Nilai NPCI yang lebih besar dari 1 (NPCI>1) berarti terdapat kebijakan proteksi terhadap produsen input, sehingga biaya input domestik lebih mahal daripada biaya input pada tingkat harga dunia, seolah-olah sistem dibebani pajak oleh kebijakan yang ada. Sebaliknya jika nilai NPCI lebih kecil dari 1 (NPCI<1) berarti terdapat subsidi terhadap input tersebut yang menyebabkan biaya input domestik lebih rendah daripada biaya input pada tingkat harga
56
dunia. Besarnya persentase NPCI yang timbul akibat kebijakan pemerintah terhadap konsumen input ditunjukkan oleh nilai NPRI. Formula untuk NPCI dan NPRI: Koefisien Input Nominal (NPCI) = B / F Tingkat Proteksi Input Nominal (NPRI) = (NPCI – 1) x 100%
iii. Trasfer Faktor (Factor Transfer – FT) FT menunjukkan kebijakan pemerintah terhadap input domestik. FT merupakan selisih antara biaya produksi privat nontradable dengan biaya produksi nontradable yang dihitung pada harga bayangan. Jika nilai FT positif menunjukkan bahwa terjadi subsidi negatif pada input non tradable. Sedangkan jika nilai FT negatif , berarti terdapat subsidi positif pada input nontradable. Rumus dari FT: Transfer Input Domestik = Transfer Faktor (K) = C – G
c) Kebijakan Input-Output i. Koefisien Proteksi Efektif (Effective Protection Coefficient - EPC) EPC digunakan untuk menunjukkan dampak transfer gabungan yang disebabkan oleh sebuah kebijakan (policy transfer), baik transfer output tradable maupun transfer input tradable. Nilai EPC menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah mampu melindungi atau menghambat produksi domestik secara efektif. EPC merupakan rasio antara selisih penerimaan dan biaya input tradable yang dihitung pada harga privat (nilai tambah pada tingkat harga domestik) dengan selisih penerimaan dan biaya input tradable yang dihitung pada harga bayangan (nilai tambah pada tingkat harga dunia). Nilai EPC lebih besar dari satu menunjukkan berarti kebijakan yang
57
melindungi produsen domestik berjalan efektif, sedangkan jika nilai EPC lebih kecil dari satu menunjukkan bahwa kebijakan yang melindungi produsen domestik tidak berjalan efektif. EPR merupakan bentuk lain dari EPC, menunjukkan distorsi perdagangan. Formulasi dari EPC dan EPR: Koefisien Proteksi Efektif (EPC) = (A - B) / (E - F) Tingkat Proteksi Efektif (EPR) = (EPC - 1) x 100%
ii. Transfer Bersih atau Net Transfer (NT) NT digunakan untuk melihat besarnya tambahan surplus produsen atau berkurangnya surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah. NT merupakan penjumlahan dari semua dampak transfer (transfer output, transfer input tradable, dan transfer faktor) baik positif maupun negatif. Transfer bersih juga menunjukkan selisih antara keuntungan privat dan keuntungan sosial. Nilai NT yang positif menjukkan bahwa adanya kebijakan insentif membuat surplus produsen bertambah, sedangkan nilai NT yang negatif mengakibatkan surplus produsen berkurang. Rumus dari NT: Transfer Bersih (L) = I – (K + J) = D – H
iii. Koefisien Keuntungan (Profitability Coefficient - PC) PC digunakan untuk mengukur dampak dari seluruh transfer atas keuntungan privat. Nilai PC menunjukkan pengaruh gabungan pada output, input tradable, dan input nontradable. Rasio PC digunakan untuk melihat dampak kebijakan yang menunjukkan perbedaan tingkat keuntungan privat dan keuntungan sosial. Nilai PC juga menunjukkan pengaruh keseluruhan dari kebijakan yang menyebabkan keutungan privat berbeda dengan keuntungan sosial. Formulasi dari PC:
58
Koefisien Keuntungan (PC) = D / H
iv. Rasio Subsidi Produsen (Subsidy Ratio to Producer – SRP) SRP adalah rasio yang digunakan untuk mengukur seluruh dampak transfer. SRP merupakan ukuran proteksi yang disetarakan dengan tarif atas output. SRP yang bernilai negatif artinya kebijakan pemerintah menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi lebih besar dari biaya sosial (opportunity cost) untuk berproduksi. Formulasi dari SRP: Rasio Subsidi Bagi Produsen (SRP) = L / (E)
4.5.2. Pengambilan Keputusan untuk Menentukan Nilai Ekonomi Penggunaan harga pasar dan harga sosial dalam matriks PAM menunjukkan bahwa matriks PAM mencakup baik analisis finansial maupun analisis ekonomi. Selain perbedaan dalam penggunaan harga, perbedaan kedua analisis tersebut yaitu (Gittinger, 1986): 1) Biaya, dalam analisis ekonomi, biaya input adalah manfaat yang hilang bagi perekonomian karena input tersebut digunakan (opprtunity cost bagi input). 2) Pembayaran Transfer a) Pajak, dalam analisis ekonomi pembayaran pajak tidak dikeluarkan dari manfaat kegiatan karena merupakan bagian dari hasil neto proyek yang diserahkan kepada pemerintah untuk digunakan bagi kepentingan masyarakat keseluruhan, oleh karena itu tidak dianggap biaya. b) Subsidi, dalam analisis finansial subsidi mengurangi biaya proyek, sedangkan pada analisis ekonomi subsidi menurunkan harga barangbarang sehingga besarnya subsidi harus ditambahkan pada harga pasar untuk mendapatkan harga sosial.
59
c) Bunga, dalam analisis ekonomi bunga modal tidak dipisahkan atau dikurangkan dari hasil bruto. Sedangkan pada analisis finansial dibedakan antara (a) bunga yang dibayarkan kepada orang-orang dari luar yang meminjamkan uangnya kepada proyek dianggap sebagai biaya, dan (b) bunga atas modal proyek tidak dianggap sebagai biaya karena merupakan bagian dari pengembalian yang diterima oleh modal proyek. Penyesuaian harga-harga dari analisis finansial ke analisis ekonomi dapat dilihat pada Gambar 6 (Gittinger, 1986). Diagram pengambilan keputusan digunakan dengan cara mengambil paket komoditas untuk dinilai di dalam proyek pertanian. Selanjutnya diikuti sepanjang diagram sampai akhir dari diagram tersebut tercapai, dimana saran penilaian untuk paket komoditas tersebut diperoleh.
Pembayaran transfer langsung
Bagan B
Berwujud Termasuk sumber nyata yang digunakan
Komoditas yang dinilai
Tidak berwujud
Diperdagangkan
Bagan C
Tidak diperdagangkan
Bagan D
Tidak dinilai
Sumber : Gittinger, 1986
Gambar 6. Bagan A. Diagram Pengambilan Keputusan untuk Menentukan Nilai Ekonomi : Langkah-langkah Utama
60
Pembayaran kepada/dari pemerintah Pembayaran transfer langsung Transaksi kredit
Diabaikan
Pajak
Subsidi
Diabaikan
Penerimaan pinjaman
Diabaikan
Pembayaran kembali pokok
Diabaikan
Pembayaran bunga
Diabaikan
Hutang
Sumber : Gittinger, 1986
Gambar 6. Bagan B. Diagram Pengambilan Keputusan untuk Menentukan Nilai Ekonomi : Pembayaran Transfer Langsung
Input proyek
Diimpor dengan proyek
Harga varietas impor
Diekspor tanpa proyek
Harga varietas ekspor
Diperdagangkan Output proyek
Substitusi impor
Ekspor
Harga varietas impor Harga varietas ekspor
Sumber : Gittinger, 1986
Gambar 6. Bagan C. Diagram Pengambilan Keputusan untuk Menentukan Nilai Ekonomi : Komoditas yang Diperdagangkan
61
Biaya oportunitas: - Sewa - Harga beli - Perkiraan langsung
Tanah Tidak diproduksi Bekerja penuh tanpa proyek
Upah pasaran
Tidak bekerja penuh tanpa proyek
NPM TK yang bekerja penuh tanpa proyek
TK
Input proyek
Diproduksi domestik Tidak diperdagangkan
Output proyek
Memenuhi permintaan industri yang beroperasi dengan kapasitas penuh
Harga pasar dari input
Memenuhi permintaan industri yang memiliki kelebihan kapasitas
Biaya marjinal memproduksi input
Mengganti posisi barang lain di pasar
Memenuhi permintaan baru
Sumber‐sumber yang dihemat dari produksi lainnya
Proyek besar dalam hubungannya dengan harga; harga jatuh Proyek kecil dalam hubungannya dengan pasar; harga tidak terpengaruh
(Harga tanpa+harga dengan)/2
Harga pasar tanpa proyek
Sumber : Gittinger, 1986
Gambar 6. Bagan D. Diagram Pengambilan Keputusan untuk Menentukan Nilai Ekonomi : Komoditas yang Tidak Diperdagangkan 4.6.
Analisis Sensitivitas Menurut Kadariah et al. (1978), analisis sensitivitas dilakukan dengan:
1) Mengubah besarnya variabel-variabel yang penting, masing-masing terpisah atau beberapa dalam kombinasi dengan suatu presentase dan menentukan seberapa peka hasil perhitungan terhadap perubahan-perubahan tersebut. 2) Menentukan dengan berapa suatu variabel harus berubah sampai ke hasil perhitungan yang membuat proyek tidak diterima.
62
Analisis proyek membantu menentukan unsur-unsur kritikal yang berperan dalam menentukan hasil dan proyek. Analisis sensitivitas dilakukan dengan mengubah suatu unsur atau kombinasi unsur kemudian menentukan pengaruh dari perubahan tersebut terhadap hasil analisis. Proyek cenderung sensitif terhadap kenaikan biaya oleh karena itu analisis sensitivitas terhadap biaya paling sering dilakukan. Analisis sensitivitas yang akan dilakukan pada penelitian ini yaitu: 1. Kenaikan UMR sebesar 7% terhadap upah tenaga kerja 2. Kenaikan inflasi sebesar 4% terhadap harga input 3. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika sebesar 6% 4. Penurunan permintaan terhadap harga output sebesar 20% 5. Pengurangan subsidi BBM terhadap kenaikan harga premium sebesar 40% dan minyak tanah sebesar 200% 6. Penghapusan PPN pakan ikan sebesar 10% 7. Adanya kelembagaan pemerintah 8. Analisis gabungan
63
V. GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 5.1.
Sejarah Lokasi Usaha pembenihan ikan patin Deddy Fish Farm (DFF) pada awalnya
bernama Deddy-Budi Fish Farm (DBFF). DBFF didirikan tahun 1999 oleh kakak beradik Bapak Budi dan Bapak Deddy. Usaha ini dilakukan dengan menyewa rumah yang terletak di jalan Matoa Blok C No. 10A Komplek BTN Darmaga Permai, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Awalnya usaha DBFF masih bersifat sebagai pengumpul telur dari petani ikan di sekitar Bogor yang kemudian ditetaskan dan dipelihara hingga menjadi ukuran siap jual. Hal ini dikarenakan pada saat itu DBFF masih belum memiliki modal yang cukup untuk membeli sarana dan prasarana yang memadai untuk melakukan usaha pembenihan. Tahun 2000, DBFF mampu memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk untuk melaksanakan usaha pembenihan ikan patin, sehingga pada tahun yang sama DBFF mengalihkan usahanya dari pengumpul telur menjadi pembenih ikan. Alasan utama DBFF memilih ikan patin sebagai produk usahanya karena pada saat itu ikan patin konsumsi merupakan komoditas yang banyak dicari oleh masyarakat terutama dari Sumatera dan Kalimantan. Selain itu, ikan patin merupakan ikan yang baru bisa dibudidayakan secara intensif sehingga peluang pasarnya memiliki prospek yang besar untuk dikembangkan lebih lanjut. Selain ikan Patin, DBFF juga melakukan usaha sampingan yaitu beternak ikan hias seperti Tiger Catfish, Sinodontis, Discus, Stenopoma, dan Agamycus. Bulan Agustus 2003, DBFF pindah lokasi ke Jalan Matoa Blok D No. 8A dan Blok A No. 10A Cihideung Hilir Komplek BTN Darmaga Permai, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Hal ini disebabkan oleh naiknya
64
permintaan benih terhadap DBFF sehingga DBFF memilih untuk pindah ke kedua lokasi tersebut untuk meningkatkan volume produksinya. Awalnya kedua lokasi digunakan untuk seluruh kegiatan pembenihan mulai dari pemeliharaan induk hingga pemeliharaan larva sampai siap jual. Akan tetapi pada tahun 2007, rumah yang berlokasi di Blok A No. 10A hanya digunakan untuk pemeliharaan larva hingga siap jual, sedangkan rumah yang berlokasi di Blok D No. 8A digunakan sebagai tempat memelihara induk, pemijahan, pendederan benih yang tertunda penjualannya, dan sebagai basecamp usaha. Tahun 2006 akhir, Bapak Budi meninggalkan DBFF karena membuka usaha yang sama di daerah Kalimantan sehingga DBFF dipegang sepenuhnya oleh Bapak Deddy dan berganti nama menjadi Deddy Fish Farm. Tahun 2007 DFF menghentikan kontrak rumah yang terletak di Blok D No. 8A dan berpindah ke daerah Cibanteng Sawah, Cihideung Hilir. Di lokasi baru ini DFF melakukan kegiatan mulai dari pemeliharaan induk hingga pemeliharaan larva sampai siap jual, sedangkan rumah yang berlokasi di
Blok A No. 10A tetap digunakan
sebagai tempat pemeliharaan larva hingga siap jual. Di lokasi Cibanteng Sawah ini DFF memiliki kolam yang khusus digunakan untuk pemeliharaan induk dan pendederan. Di lokasi ini juga DFF mulai mengintensifkan pembenihan ikan bawal yang sebelumnya juga sudah digeluti. 5.2.
Struktur Organisasi Deddy Fish Farm merupakan badan usaha milik swasta yang dipimpin
oleh seorang manajer. Sebelumnya DBFF berbentuk firma, namun setelah berganti menjadi DFF berubah menjadi perusahaan perseorangan. Struktur organisasi DFF dapat dilihat pada Gambar 7.
65
Manajer Tenaga Kerja Hitung Benih
Tenaga Kerja I
Tenaga Kerja Penyuntikan
Tenaga Kerja II
Tenaga Kerja III
Keterangan : : Tenaga Kerja Tetap : Tenaga Kerja Tidak Tetap Sumber: Perusahaan DFF (2009)
Gambar 7. Struktur Organisasi Deddy Fish Farm Struktur organisasi DFF terdiri dari manajer, tenaga kerja utama I, II, III, dan tenaga kerja tambahan untuk penyuntikan dan hitung benih. Manajer dipegang oeh Bapak Deddy sendiri sebagai pemilik. Tenaga kerja I, II, dan III merupakan tenaga kerja tetap DFF. Tenaga kerja I dan II memegang bagian pembenihan ikan patin dari tahap awal sampai akhir, sedangkan tenaga kerja III memegang pembenihan ikan bawal. Saat penyuntikan induk maupun hitung benih yang akan dijual, DFF mengambil tenaga kerja dari luar. Bagian penyuntikan dipegang oleh satu orang, sedangkan bagian hitung benih dipegang oleh dua sampai tiga orang. Adapun tugas dari masing-masing bagian yaitu sebagai berikut: 1) Manajer Manajer bertugas mengawasi pelaksanaan kegiatan dari awal sampai akhir, mengoordinasikan
masing-masing bawahan, memberikan petunjuk, serta
apabila terjadi penyimpangan dan kendala segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan.
66
2) Tenaga Kerja I, II, dan III Tenaga kerja memegang peranan dalam keseluruhan kegiatan berupa pemeliharaan induk dan pemeliharaan larva (pemberian pakan, penyiponan, penggantian air, pemberian antibiotik, packing, dan lain-lain). 3) Tenaga Kerja Penyuntikan Bertanggung jawab terhadap semua rangkaian kegiatan penyuntikan, mulai dari pemeriksaan tingkat kematangan gonad induk patin, penyuntikan, hingga proses stripping. 4) Bagian Hitung Benih Bertugas untuk menghitung benih sebelum packing sesuai jumlah permintaan konsumen. 5.3.
Deskripsi Produk, Konsumen, dan Rantai Pemasaran Ukuran benih yang dihasilkan DFF bervariasi, yaitu ukuran larva, ½, ¾, 1,
1½, hingga 2 inchi. Akan tetapi, DFF lebih terfokus pada benih dengan ukuran larva, ¾ inchi, dan 1 inchi. Benih dengan ukuran 1½ dan 2 inchi biasanya merupakan benih yang tertunda penjualannya saat periode sebelumnya. Benih tersebut dipindahkan ke kolam pendederan dan dipelihara sampai ukuran 1½-2 inchi untuk dijual kembali pada periode penjualan berikutnya.
Konsumen DFF terdiri dari pembesar, pengumpul, dan supplier ikan yang
berasal dari berbagai daerah mulai dari Palembang, Tulung Agung Solo, Jatiluhur, Kalimantan, dan petani-petani pembesaran ikan di sekitar Bogor. Banyaknya konsumen disebabkan karena benih ikan patin di Bogor relatif lebih berkualitas dibandingkan benih ikan patin yang dihasilkan di daerah lain. Rantai pemasaran produk DFF ditunjukkan pada Gambar 8:
67
DFF
Pedagang Pengumpul (Broker)
Pedagang Besar
Pedagang Pengecer
Petani Pembesaran Ikan
Konsumen
Sumber: Perusahaan DFF (2009)
Gambar 8. Rantai Pemasaran Benih Ikan Produksi Deddy Fish Farm 5.4.
Fasilitas Pembenihan
Deddy Fish Farm merupakan usaha pembenihan yang masih berskala
menengah sehingga peralatan yang digunakan masih sederhana. Fasilitas tersebut terdiri dari: 1) Wadah a) Kolam Kolam yang dimiliki DFF berdiri dari dua kolam kecil dan tiga buah kolam besar dan yang semuanya berbentuk persegi panjang dengan ukuran masing-masing 2mx1x0,9m dan 4mx3mx1,8m. Kolam yang kecil digunakan untuk induk jantan. Kolam besar dibagi menjadi dua bagian tidak sama besar yang dibatasi dengan pagar bambu. Bagian yang besar untuk pemeliharaan induk betina, sedangkan bagian yang kecil digunakan untuk menampung induk betina yang siap ovulasi. b) Tandon Tandon berfungsi sebagai wadah penampungan dan treatment air sebelum digunakan dalam kegiatan pembenihan. DFF memiliki dua buah
68
tandon air yaitu satu tandon untuk masing-masing unit farm. Tandon air seperti kolam tetapi dibatasi dengan semen dan diberi aerasi. Aerasi berfungsi untuk menaikkan pH air sampai netral sehingga ikan/larva tidak mati karena kondisi air yang terlalu asam. c) Fiber Fiber merupakan wadah penampungan yang berfungsi seperti kolam. Fiber yang digunakan berbentuk tabung dengan ukuran diameter 1 m dan tinggi 70 cm. Fiber digunakan untuk penampungan sementara induk yang akan diovulasikan serta penampungan benih yang akan dihitung untuk dijual. d) Akuarium Pada tahun 2006, DFF masih menggunakan akuarium dengan ukuran 90x50x35cm berjumlah 120 unit. Tahun 2007 semua akuarium diganti dengan ukuran yang lebih besar yaitu (120x50x40cm) berjumlah 68 unit agar lebih efisien. Akuarium-akuarium tersebut ditata rapi di atas rak kayu. Fungsi akuarium yaitu sebagai tempat pemeliharaan larva dari menetas hingga siap jual. e) Wadah kultur pakan alami Pakan alami yang digunakan DFF yaitu Artemia sp dan cacing sutra. Pakan yang berupa artemia, tidak langsung diberikan kepada larva melainkan dikulturkan lebih dahulu agar menetas. Wadah yang digunakan untuk mengulturkan artemia adalah ember yang totalnya 16 buah. f) Fasilitas lain Selain fasilitas di atas, DFF juga memiliki fasilitas lain yang digunakan dalam pembenihan. Fasilitas lain yang dimiliki DFF misalnya jaring (untuk
69
menangkap induk), corong, serokan, baskom, kompor, selang, pompa air, hi blow, blower, dan generator set. 2) Pengairan Air yang digunakan oleh DFF dalam proses pembenihan berasal dari dua sumber yaitu sungai kecil di sekitar farm dan sumur bor. Air sungai digunakan dalam pemeliharaan induk sedangkan air sumur digunakan untuk pemeliharaan larva di akuarium. Distribusi air sumur tersebut menggunakan pompa listrik standar (pompa hisap). 5.5.
Manajemen Budidaya Ikan Patin Manajemen budidaya terdiri dari beberapa hal. Pertama manajemen induk.
Kedua, pemijahan buatan. Ketiga, pemeliharaan larva. Keempat, panen, perhitungan, dan transportasi benih. 5.5.1. Manajemen Induk
Manajemen induk terdiri dari dua hal. Pertama menentukan umur dan
ukuran induk. Kedua, manajemen harian yang berupa manajemen kolam induk dan pemberian pakan. 5.5.1.1. Umur dan Ukuran Induk Induk patin yang digunakan dalam pemijahan yaitu induk dengan umur > 3 tahun dan berat ± 2,5 kg. Induk ukuran ini mudah ditangani, memerlukan sedikit hormon, dan tingkat ovulasinya relatif tinggi. Jika bobot ikan tidak memenuhi syarat (terlalu ringan) maka ovum yang dihasilkan juga lebih sedikit dibandingkan ikan dengan bobot normal.
70
5.5.1.2. Manajemen Harian Manajemen Kolam Pemeliharaan Induk Beberapa kegiatan manajemen harian yang dilakukan yaitu memperbaiki saluran inlet jika terjadi masalah. Misalnya mengencerkan air jika kualitas air menurun (penggantian air), memasang saringan di inlet dan outlet, dan untuk meningkatkan kadar oksigen, dipasang kincir air dan aerasi dari blower. Pemberian Pakan Pakan yang diberikan yaitu pelet komersial. Pakan sebaiknya diberikan dalam dosis yang tepat. Jika pakan terlalu banyak akan mengakibatkan turunnya kualitas air dan menimbulkan stres pada induk ikan. 5.5.2. Pemijahan Buatan
Pemijahan buatan terdiri dari beberapa hal. Sebelum pemijahan perlu
persiapan berupa estimasi jumlah induk dan persiapan bahan serta peralatan. Selanjutnya dilakukan seleksi induk, penyuntikan hormon, striping, inseminasi, serta pengamatan perkembangan telur dan larva. 5.5.2.1. Persiapan Pemijahan Buatan Estimasi Jumlah Induk Estimasi jumlah induk yang akan disuntik harus dilakukan. Membuat target pada kegiatan pemijahan sangat penting untuk menjaga produksi yang stabil dan efektif. Faktor utama yang membatasi jumlah induk yang disuntik yaitu jumlah larva yang diinginkan dan kapasitas akuarium sebagai tempat pemeliharaan larva. Selain itu, faktor yang menentukan apakah induk boleh diovulasikan yaitu kematangan gonad. Kematangan gonad dilihat dari letak oosit yang berada di pinggir ovum. Ovum yang matang akan cenderung berwarna
71
bening yang berarti ovum memasuki fase sempurna untuk dibuahi. Kondisi induk juga menentukan siap atau tidaknya induk diovulasi. Misalnya induk yang baru dipindahkan dari daerah lain cenderung stres. Induk tersebut belum boleh diovulasikan karena ikan yang stres tidak akan berovulasi, kalaupun berovulasi telur yang keluar cenderung berwarna putih (kurang baik untuk dibuahi). Jumlah induk jantan lebih sedikit daripada induk betina karena sperma yang dihasilkan satu induk jantan cukup untuk membuahi ovum dari beberapa induk betina. Persiapan Bahan dan Peralatan Setelah diketahui berapa induk yang akan disuntik, maka empat hari sebelum diseleksi induk dipuasakan (minimal 24 jam sebelum seleksi). Pemberian pakan pada induk dapat menyebabkan induk stres. Langkah-langkah dalam persiapan meliputi perencanaan, pengecekan kondisi peralatan, dan inkubasi induk. 5.5.2.2. Seleksi Induk Seleksi induk betina harus dilakukan lebih dahulu daripada induk jantan, sebab biasanya induk betina lebih sulit mencapai kematangan dibandingkan induk jantan. Seleksi induk dilakukan dengan menangkap induk terlebih dahulu menggunakan jaring. Kegiatan penangkapan induk harus dilakukan dengan hatihati untuk meminimalisir stres pada induk. Induk yang tertangkap dengan jaring harus diangkat dan dimasukkan ke wadah penanganan yang lebih kecil (kolam pemberokan). Saat diangkat maupun dipindahkan, induk ditutupi dengan kain agar induk tidak berontak. Induk ditempatkan di kolam pemberokan selama satu hari dan tidak diberi pakan.
72
Setelah satu hari, induk diperiksa apakah sudah siap ovulasi atau belum. Siap atau tidaknya induk untuk diovulasikan bisa dilihat melalui pengamatan visual. Ciri-ciri induk yang baik yaitu bagian perut besar dan mengembang, alat kelaminnya berwarna merah, apabila bagian bawah perut diraba maka terasa lembut dan apabila ditekan maka akan kembali seperti semula. Cara lainnya yaitu dengan kanulasi. Ovum (telur) dicek menggunakan selang (kateter). Kateter dimasukkan ke dalam alat kelamin induk untuk diambil telurnya, kemudian kateter dihisap dan ditarik secara perlahan. Telur yang diperoleh dicek apakah bentuk dan ukurannya sudah seragam atau belum. Jika sudah, berarti induk siap diovulasikan. Induk tersebut dipindahkan ke dalam fiber untuk selanjutnya dilakukan penyuntikan. 5.5.2.3. Penyuntikan Hormon Ovulasi tidak bisa terjadi tanpa stimulasi hormon buatan, sehingga penyuntikan hormon pada induk betina harus dilakukan. Bahan untuk merangsang ovulasi pada ikan patin yaitu pada awalnya menggunakan hipofisa ikan mas (sebagai donor). Kemudian DFF beralih ke hormon buatan yaitu ovaprim karena lebih murah dibandingkan hipofisa ikan mas. Tetapi karena ovaprim bukan hormon alami maka memiliki kelemahan yaitu dosis yang disuntikkan harus dibatasi karena bisa mengakibatkan overegg. Hormon disuntikkan pada punggung atas kanan/kiri (intramuscular) atau di bawah sirip dada (intrapheriptonial). Penyuntikan dilakukan dua kali dengan jarak antar penyuntikan yaitu jika musim penghujan 20 jam, jika musim kemarau 24 jam (bila kondisi tidak bagus bisa lebih dari itu). Penyuntikan pertama dilakukan sore hari menjelang malam dengan tujuan agar penetasan larva terjadi pada pagi hari yang akan
73
mempermudah proses pemeliharaan larva ke depan. Setelah penyuntikan pertama, induk betina diletakkan di kolam kecil bersama dengan induk jantan sampai tahap penyuntikan berikutnya. Jika induk siap ovulasi sebelum waktu yang telah ditentukan maka penyuntikan kedua tidak perlu dilakukan. 5.5.2.4. Striping Striping merupakan pengecekan ovulasi, dilakukan dengan cara mengurut perut induk dengan pijatan yang lembut pada bagian abdomen dari arah kepala ke lubang genital. Jika tidak bisa diovulasikan dengan striping yang lembut atau dengan kata lain membutuhkan pijatan yang kuat pada abdomen, berarti ovulasi belum terjadi. Proses striping harus dihentikan dan induk harus dikembalikan ke wadah inkubasi induk dan ditunggu sekitar satu jam lagi. Striping yang dipaksakan menyebabkan sel telur yang diovulasikan tidak total atau parsial, lebih lanjut menyebabkan ikan sangat stres dan akhirnya mati. Jika waktu striping optimum (tepat), maka sel telur keluar dengan lancar sehingga waktu striping dan handling menjadi lebih singkat dan induk segar kembali dengan stres yang minimal. Selanjutnya dilakukan striping pada induk jantan. Ciri induk jantan yang siap membuahi yaitu mengeluarkan cairan sperma putih kental dengan mudah. Setelah diketahui kualitas sperma bagus maka dilakukan striping pada induk jantan untuk mengambil spermanya. Striping dilakukan dengan pijatan tangan sepanjang posisi testis pada abdomen jantan. Spema yang keluar langsung ditampung pada wadah yang sudah berisi sel telur.
74
5.5.2.5. Inseminasi (Pembuahan) Sel telur dan sperma yang sudah terkumpul dicampur dengan NaCl dan diaduk secara perlahan menggunakan sendok. Tujuannya untuk mengencerkan sperma agar sperma dan sel telur tercampur lebih merata. Setelah diaduk secara merata, maka langkah selanjutnya adalah pembuahan. Sel telur yang telah dibuahi sperma akan menjadi telur yang berwarna putih. Telur-telur tersebut kemudian dipindahkan ke akuarium yang telah disiapkan. Telur yang baik akan menempel di dasar akuarium, sedangkan telur yang jelek akan melayang di dalam air. Selanjutnya ke dalam akuarium yang telah berisi telur-telur tadi dimasukkan antibiotik dengan tujuan untuk mencegah telur
terserang jamur yang bisa
menyebabkan telur gagal menetas. 5.5.2.6. Pengamatan Perkembangan Telur dan Larva Setelah pembuahan, perubahan bentuk (transfomasi) drastis terjadi pada telur dan akhirnya didapatkan larva menetas setelah 20-24 jam dari pembuahan. Selama proses transformasi, beberapa telur atau larva tidak dapat berkembang secara normal. Kondisi ini disebabkan oleh penyebab internal dan atau eksternal yang mengakibatkan rendahnya derajat pembuahan atau kelangsungan hidup larva. Oleh karena itu sangat penting untuk mengamati telur dan larva secara hatihati selama proses transformasi. Hal itu bertujuan untuk mengevaluasi kualitas larva/telur dan sebagai bahan pertimbangan untuk perbaikan teknik pemeliharaan larva. Telur yang akan menetas berwarna bening/transparan sedangkan telur yang gagal menetas berwarna putih. Telur menetas tidak bersamaan tetapi secara bertahap.
75
5.5.3. Pemeliharaan Larva Pemeliharaan larva terdiri dari beberapa hal. Pertama persiapan wadah. Kedua, pemberian pakan dan perawatan larva. Ketiga, penyiponan dan penggantian air untuk menjaga kualitas air. 5.5.3.1. Persiapan Wadah Pemeliharaan Pemeliharaan larva patin dilakukan dalam ruangan tertutup. Larva yang baru menetas dipindahkan ke akuarium lain yang berisi air bersih. Padat penebaran yaitu 10.000-15.000 ekor/akuarium. Akuarium dipasangi aerator untuk memberikan suplai oksigen. Suhu optimum untuk pemeliharaan yaitu 29-32ºC. Di dalam ruangan diberi kompor minyak atau heater untuk menaikkan suhu. 5.5.3.2. Pemberian Pakan Larva patin yang baru menetas memiliki tubuh yang transparan dan panjang total sekitar 4 mm. Fungsi-fungsi untuk menangkap makanan, seperti mata dan sirip belum berkembang. Oleh karena itu larva belum mampu memanfaatkan pakan dari luar. Larva yang baru menetas menggunakan kuning telur yang terletak di bagian abdomen sebagai pakan internal untuk mempertahankan hidupnya. Selama proses penyerapan kuning telur, beberapa fungsi tubuh untuk menangkap pakan terbentuk. Jika larva tidak dapat menangkap pakan setelah kuning telur habis, maka larva tidak bisa tumbuh dan berkembang lebih lanjut dan akhirnya mati. Pemberian pakan pertama pada waktu yang tepat merupakan hal yang sangat mendasar dalam pemeliharaan larva. Pemberian makan pertama sekitar 36 jam setelah menetas, larva mulai diberi pakan artemia sampai umur 3 hari. Frekuensi pemberian pakan yaitu 3 kali sehari. Jika sudah memungkinkan,
76
larva umur 4 hari mulai diberi pakan cacing sutra (Tubifex). Cacing yang diberikan harus dicincang sampai halus. Cacing terebut diberikan secara bertahap, awalnya masih dicampur dengan artemia, lama-kelamaan baru diberikan cacing murni. Frekuensi pemberian pakan cacing yaitu 3 kali sehari. Setelah ikan berukuran ¾" (kira-kira umur 15 hari), pemberian pakan beralih ke pelet. Awalnya pelet yang diberikan dicampur dengan cacing. Transisi 2-3 hari baru diberikan murni pelet. Pelet diberikan secara bertahap menurut ukuran pelet. Pelet berbentuk butiran berukuran 0,5 mm diberikan selama 1 minggu, kemudian beralih ke pelet yang berukuran 2 mm. 5.5.3.3. Perawatan Larva Selama pemeliharaan, ke dalam akuarium diberikan antibiotik. Antibiotik yang biasa digunakan adalah Blitz ICH. Tujuannya yaitu untuk mencegah larva maupun benih terkena penyakit misalnya jamur. 5.5.3.4. Penyiponan Penyiponan bertujuan untuk membuang kotoran, pakan yang tidak dimakan, dan larva yang mati. Penyiponan dilakukan menggunakan selang sipon. Penyiponan dilakukan setelah pemberian pakan. Caranya yaitu ujung selang dimasukkan ke dalam air, ujung yang lain dihisap agar kotoran dan sisa pakan tertarik keluar. 5.5.3.5. Penggantian Air Penggantian air dilakukan 1-2 hari sekali. Biasanya penggantian air dilakukan pada siang hari. Caranya yaitu menggunakan selang yang diberi corong dengan ujung corong diberi jaring. Air disedot dengan menggunakan selang tersebut. Fungsi jaring yaitu mencegah larva ikut tersedot (ukuran lubang jaring
77
disesuaikan dengan ukuran larva). Air di akuarium disisakan 1/3-1/2nya tergantung ukuran ikan dan kebutuhan. Setelah air dikurangi, dinding akuarium dibersihkan dengan kain lap. Penggantian air harus dilakukan dengan hati-hati. Suhu air lama dengan air baru tidak boleh berbeda ≥ 1º karena bisa menyebabkan larva menjadi stres. 5.5.4. Panen dan Pascapanen Tahap panen merupakan tahap ketika larva atau benih sudah cukup umur dan siap dijual. Tahap pascapanen terdiri dari dua hal. Pertama, perhitungan larva atau benih. Kedua, transportasi larva atau benih. 5.5.4.1. Panen Benih Setelah benih berumur 15 hari, ukurannya sekitar ¾ inchi, jika dipelihara sampai umur 30 hari ukurannya sudah mencapai 1 inchi. Dua ukuran inilah yang umumnya DFF panen untuk dijual. Cara panen: benih dipindahkan ke dalam fiber, kemudian diayak dengan baskom yang berlubang-lubang dengan diameter tertentu. Benih yang ukurannya terlalu kecil akan lolos dari lubang sehingga yang tersisa dalam baskom hanya benih yang berukuran besar. 5.5.4.2. Menghitung Benih Sistem penghitungan benih pada DDF ada dua macam yang masingmasing disesuaikan dengan kondisi benih. Sistem penghitungan yang dilakukan yaitu menghitung secara manual dan menghitung dengan sistem takar. Menghitung Satu-persatu (Manual) Cara ini digunakan bila ukuran benih kurang seragam, misalnya jika terdapat 3 atau lebih tipe ukuran benih atau bila warna benih tidak seragam karena ada benih yang sebelum dipanen terkena penyakit. Caranya yaitu benih yang
78
sudah disaring memakai baskom berlubang tadi dipindahkan ke baskom berisi air yang telah dipasangi jaring di bagian atasnya. Jaring tersebut sebagian dimasukkan ke dalam air baskom sehingga benih masih bisa berenang di atas jaring. Benih-benih tersebut diambili dengan menggunakan centong dan dihitung lalu dipindahkan ke baskom lain yang berisi air. Benih yang ukurannya terlalu besar maupun terlalu kecil namun belum terseleksi oleh baskom berlubang dimasukkan ke ember terpisah. Benih yang terlalu besar akan dikembalikan lagi ke akuarium atau dimasukkan ke kolam pendederan, sedangkan benih yang terlalu kecil akan dimasukkan kembali ke akuarium untuk dipelihara sampai ukurannya memenuhi syarat. Cara ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan cara ini yaitu jumlah benih dapat dihitung secara tepat. Kelemahannya yaitu tidak efisien karena harus menghitung satu persatu, membutuhkan tenaga kerja lebih banyak dibandingkan menghitung dengan cara takar yaitu sekitar 2-3 orang serta memakan waktu lama. Menghitung dengan Sistem Takar Cara ini digunakan bila ukuran dan warna benih cenderung seragam (±80%). Caranya yaitu benih dipindahkan dari akuarium ke fiber. Tiap fiber berisi kira-kira 30.000-50.000 benih. Benih diayak dan dimasukkan ke dalam takaran. Dalam tiap takaran dengan tinggi tertentu dihitung berapa ekor benih yang ada. Misalnya 500 ekor per takaran dengan tinggi yang sudah ditetapkan. Ulangi sampling sampai 3 kali. Setelah diperoleh rata-rata jumlah benih per takaran (A), maka jumlah semua benih adalah A x jumlah takaran.
79
Penghitungan larva umur 1 hari juga menggunakan sistem takar. Caranya yaitu menggunakan tutup botol air minum 1,5 liter. Larva dimasukkan ke dalam tutup botol (tanpa air), 1 tutup botol diperkirakan berisi 10.000 larva. Menghitung dengan sistem takar juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan cara ini yaitu lebih efisien, lebih sedikit tenaga kerja yang diperlukan, dan menghemat waktu. Kelemahannya yaitu jumlah benih tidak bisa dipastikan secara tepat karena hanya menggunakan perkiraan. 5.5.4.3. Transportasi Benih Persiapan Benih Benih yang akan dipacking harus dipuasakan terlebih dahulu. Bila tidak dipuasakan, benih akan muntah dan mengeluarkan kotoran sehingga dapat menurunkan kualitas air. Benih tersebut dipuasakan selama 48 jam. Benih yang akan dipacking juga harus dalam keadaan sehat agar tetap hidup sampai tujuan. Transportasi Benih 1) Cara Terbuka Cara ini biasanya digunakan untuk jarak dekat atau jalan yang ditempuh adalah jalan darat. Wadah yang digunakan biasanya drum plastik (gentong plastik) atau fiber glass. Benih yang diangkut menggunakan drum jauh-jauh hari sebelum pengangkutan sudah dihitung dan dimasukkan ke dalam drum, sehingga ketika hari pengangkutan tiba, drum tinggal dipindahkan ke mobil pengangkut. Tiap mobil dapat mengangkut 8 buah drum. Kelebihan cara ini yaitu bila pengangkutan tertunda satu hari, namun aerasi masih berjalan maka benih masih dalam kondisi baik.
80
Tahapan: a) Isi drum palstik atau fiber glass dengan air bersih sampai penuh sehingga pada saat pengangkutan tidak terjadi goncangan yang dapat menyebabkan ikan stres. Tiap satu drum berisi sekitar 30.000 ekor benih (untuk ikan patin siam harus ada rongga disekitar tutup wadah pengangkutan karena ikan patin siam perlu mengambil oksigen dari udara). b) Larutkan antibiotik (untuk mencegah terjadinya infeksi oleh bakteri). Antibiotik yang sering digunakan adalah tetracycline dengan dosis 5-10 ppm. c) Pasang aerasi oksigen murni pada wadah pengangkutan. Alirkan oksigen murni ke dalam wadah tersebut. d) Masukkan ikan yang akan diangkut. e) Masukkan es yang sudah dibungkus dengan plastik (untuk menurunkan suhu selama pengangkutan). 2) Cara Tertutup Cara ini paling sering dilakukan karena mudah dan aman untuk jarak dekat maupun jauh. Ikan dimasukkan ke dalam kantong plastik berukuran 40x60 cm yang diisi air dan oksigen murni. Tahapan: a) Kantong plastik yang digunakan harus dua lapis. b) Tampung ikan ke dalam ember sebelum dipacking. c) Masukkan ikan ke dalam plastik, untuk larva umur 1 hari per plastik berisi 10.000 ekor, untuk
benih ukuran ¾” dan 1” per plastik diisi 1000
ekor/kantong atau jika pengangkutan jarak jauh 500 ekor/kantong.
81
d) Tambahkan air bersih ke dalam kantong plastik sampai volumenya 1/3 dari volume kantong plastik. e) Buang udara yang ada di dalam kantong plastik tersebut. f) Isi kantong plastik tersebut dengan oksigen murni sampai kantong menggelembung dengan perbandingan volume air dan oksigen murni 1:2. g) Simpulkan ujung kantong plastik tesebut dan ikat dengan karet. h) Masukkan kantong plastik tersebur ke dalam styrofoam lalu diberi 1 atau 2 bungkus es. i) Tutup styrofoam dan lakban sambungan antara tutup dengan bagian bawah styrofoam dengan rapat. Langkah h dan i digunakan untuk pengangkutan jarak jauh menggunakan pesawat terbang. Packing cara ini dilakukan beberapa jam sebelum pengangkutan. Ketika akan diangkut, plastik packing tersebut diganti airnya, diberi elbazu untuk mencegah ikan stres, dan diberi oksigen murni. Pemberian oksigen kedua ini bertujuan agar ikan tidak kekurangan oksigen. 3) Transportasi Larva Satu Hari Prinsip dasar transportasi larva satu hari sama dengan transportasi benih dengan cara tertutup, yaitu minimal 2/3 bagian plastik diisi oksigen murni. Larva satu hari yang sudah diketahui jumlahnya dikemas dengan menggunakan plastik ukuran yang sama seperti pengemasan benih. Tiap kantong berisi 10.000 larva. Di dalam kantong dimasukkan elbazu untuk mencegah larva stres.
82
VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta kemampuan usaha pembenihan ikan patin dalam bersaing dan memanfaatkan peluang pasar internasional. Alat analisis yang digunakan adalah Matriks Analisis Kebijakan (PAM) yang disusun berdasarkan data penerimaan, biaya produksi, dan biaya tataniaga yang dibagi dalam dua bagian yaitu harga finansial (privat) dan harga ekonomi (sosial). Masing-masing biaya produksi pada harga finansial dan ekonomi dibagi menjadi tradable (asing) dan nontradable. Hasil perhitungan dari penerimaan, biaya produksi, dan tataniaga dapat dilihat pada Lampiran 14. Setelah perhitunganperhitungan tersebut dilakukan, maka disusunlah matriks PAM yang dapat dilihat pada Tabel 12 dan Tabel 13. Tabel 12. Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun 2008 (Rp/Tahun) Keterangan Harga finansial Harga ekonomi Dampak kebijakan
Penerimaan 166.500.000 166.500.000 0
Biaya Tradable Inputs Nontradable 23.899.010 78.106.910 23.331.944 81.176.567 567.067 -3.069.657
Profit 64.494.080 61.991.489 2.502.591
Sumber : Pengolahan Data (2010) Tabel 13. Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF tahun 2009 (Rp/Tahun) Keterangan Harga finansial Harga ekonomi Dampak kebijakan
Penerimaan 156.750.000 156.750.000 0
Biaya Tradable Inputs Nontradable 24.426.140 79.059.180 22.158.616 76.958.262 2.267.524 2.100.918
Profit 53.264.680 57.633.122 -4.368.442
Sumber : Pengolahan Data (2010) Setelah tabel PAM disusun, maka dilakukan perhitungan untuk mendapatkan nilai-nilai yang akan menjadi indikator tingkat keuntungan yang
83
diperoleh dari ekspor komoditas benih ikan patin pada kondisi finansial dan ekonomi, nilai keunggulan komparatif dan kompetitif, serta nilai untuk mengukur pengaruh kebijakan pemerintah pada output dan input. Berdasarkan Tabel 12 dan Tabel 13, diperoleh indikator-indikator Policy Analysis Matrix yang disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Indikator-indikator dari Policy Analysis Matrix Indikator Keuntungan Privat - PP (Rp) Rasio Biaya Privat – PCR Keuntungan Sosial - SP (Rp) Biaya Sumberdaya Domestik - DRC Transfer Output - OT (Rp) Koefisien Proteksi Output Nominal – NPCO Tingkat Proteksi Ouput Nominal - NPRO (%) Transfer Input - IT (Rp) Koefisien Proteksi Input Nominal – NPCI Tingkat Proteksi Input Nominal - NPRI (%) Transfer Faktor - FT (Rp) Koefisien Proteksi Efektif - EPC Persentase EPC - EPR (%) Transfer Bersih - NT (Rp) Koefisien Keuntungan – PC Rasio Subsidi Produsen – SRP
2008 64.494.080 0,548 61.991.489 0,567 0 1 0 567.067 1,024 2,4 -3.069.657 0,996 -0,4 2.502.591 1,04 0,015
2009 53.264.680 0,597 57.633.122 0,572 0 1 0 2.267.524 1,102 10,2 2.100.918 0,983 -1,7 -4.368.442 0,924 -0,028
Sumber : Pengolahan Data (2010) 6.1.
Analisis Keuntungan Analisis keuntungan terdiri dari keuntungan privat dan keuntungan sosial.
Keuntungan privat dilihat berdasarkan harga yang terjadi di pasaran. Keuntungan sosial dilihat berdasarkan harga bayangan. 6.1.1. Analisis Keuntungan Privat Tabel PAM menunjukkan besarnya keuntungan privat yang diperoleh tahun
2008
dan
2009
yaitu
sebesar
Rp
64.494.080/tahun
dan
Rp 53.264.680/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa usaha pembenihan ikan patin memiliki keuntungan privat. Tingkat keuntungan privat yang positif disebabkan karena hasil penerimaan perusahaan lebih besar dibandingkan dengan biaya yang 84
dikeluarkan dalam proses produksi komoditas benih ikan patin. Keuntungan privat tahun 2008 lebih besar dibandingkan tahun 2009. Hal ini disebabkan harga benih patin tahun 2008 lebih tinggi dibandingkan 2009 sehingga penerimaan tahun 2008 lebih besar daripada tahun 2009 walaupun kuantitas antara kedua tahun sama. Penurunan harga benih patin pada 2009 disebabkan karena permintaan konsumen terhadap benih patin berkurang sehingga petani harus menurunkan harga. Selain itu biaya tahun 2009 lebih tinggi daripada 2008 karena harga-harga input tahun 2009 mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya akibat adanya inflasi. 6.1.2. Analisis Keuntungan Sosial Tabel 12 dan 13 menunjukkan keuntungan sosial yang diperoleh tahun 2008 dan 2009 sebesar Rp 61.991.489/tahun dan Rp 57.633.122/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa usaha pembenihan ikan patin memiliki keuntungan sosial. Keuntungan sosial yang bernilai positif tersebut karena penerimaan sosial lebih besar dibandingkan dengan biaya produksi sosial. Selisih keuntungan sosial antara kedua tahun tidak besar karena walaupun penerimaan tahun 2008 lebih besar dibandingkan 2009, biaya sosial produksi tahun 2008 seperti bunga modal, garam, obat-obatan, dan pakan juga lebih besar daripada 2009. Tingkat keuntungan sosial pada tahun 2008 lebih kecil dibandingkan tingkat keuntungan finansial tahun 2008. Hal ini disebabkan lebih tingginya harga sosial beberapa input seperti BBM dan upah tenaga kerja. Hal sebaliknya terjadi pada tahun 2009, tingkat keuntungan sosial pada tahun 2009 lebih besar dibandingkan tingkat keuntungan finansial tahun 2009. Hal ini disebabkan harga sosial beberapa input seperti induk patin, obat-obatan, pakan, peralatan, dan perlengkapan lebih rendah dibandingkan harga finansialnya.
85
6.2.
Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Analisis keunggulan kompetitif dilihat dari Rasio Biaya Privat (PCR).
Analisis keunggulan komparatif dilihat dari Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (BSD). Suatu usahatani diharapkan memiliki nilai PCR maupun DRC kurang dari satu agar memiliki keunggulan kompetitif maupun komparatif. 6.2.1. Rasio Biaya Privat (PCR) Tabel 14 memperlihatkan bahwa nilai PCR yaitu sebesar 0,548 dan 0,597. Nilai tersebut menunjukkan bahwa untuk meningkatkan nilai tambah benih patin sebesar 100% diperlukan biaya faktor domestik sebesar 54,8% dan 59,7%. Nilai PCR kurang dari satu mencerminkan bahwa usaha pembenihan ikan patin DFF efisien secara privat dan memiliki keunggulan kompetitif. Nilai PCR tahun 2008 lebih rendah dibandingkan 2009 karena biaya finansial produksi tahun 2008 lebih kecil dibandingkan 2009 dan penerimaan privat 2008 lebih besar daripada 2009. 6.2.2. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) Tabel 14 memperlihatkan nilai DRC tahun 2008 sebesar 0,567 dan tahun 2009 sebesar 0,572. Ini berarti untuk meningkatkan nilai benih patin sebesar 100% diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar 56,7% pada 2008 dan 57,2% pada 2009. Berdasarkan nilai DRC tersebut, maka usaha pembenihan ikan patin efisien secara ekonomi dan memiliki keunggulan komparatif. Nilai DRC tahun 2008 lebih rendah dibandingkan 2009. Hal ini disebabkan faktor penyebut (penerimaan sosial dikurangkan dengan biaya sosial input tradable) pada tahun 2008 lebih besar dibandingkan 2009. Tahun 2008 nilai PCR lebih kecil dibandingkan DRC karena biaya sosial produksi lebih besar dibandingkan biaya finansialnya. Artinya tahun 2008
86
keunggulan kompetitif lebih tinggi daripada keunggulan komparatif (kebijakan pemerintah berjalan efektif). Nilai PCR yang lebih besar dari nilai DRC pada 2009 disebabkan biaya sosial produksi lebih kecil dibandingkan biaya finansial produksi. Artinya keunggulan kompetitif lebih rendah dibandingkan keunggulan komparatif yang menggambarkan bahwa kebijakan yang ada tidak berjalan efektif. Hal ini mengakibatkan pengorbanan untuk mendapatkan tambahan satu satuan output pada analisis privat lebih besar dibandingkan analisis sosial. 6.3.
Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Analisis dampak kebijakan pemerintah berpengaruh terhadap beberapa
hal. Pertama kebijakan yang memengaruhi harga output. Kedua, kebijakan yang memengaruhi harga input. Ketiga, kebijakan yang memengaruhi baik harga input maupun output. 6.3.1. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Output Kebijakan pemerintah terhadap output dilihat dari beberapa hal. Pertama dari Transfer Output (OT). Kedua, dari Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO). Ketiga, dari Tingkat Proteksi Output Nominal (NPRO) 6.3.1.1.Transfer Output (OT) Tabel 14 menunjukkan nilai OT yaitu sebesar 0. Nilai nol diperoleh karena tidak terdapat perbedaan antara penerimaan sosial dengan penerimaan privat. Nilai ini menunjukkan tidak terdapat kebijakan pemerintah yang memengaruhi harga benih patin agar harganya lebih tinggi sehingga petani bisa mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
87
6.3.1.2.Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) Berdasarkan Tabel 14, nilai NPCO sebesar 1 menunjukkan bahwa tidak terdapat kebijakan pemerintah yang memengaruhi
harga benih patin. Petani
mendapatkan penerimaan yang sama dengan yang seharusnya diterima bila tidak ada kebijakan. Kondisi ini mengakibatkan petani tidak mendapatkan insentif untuk meningkatkan produksinya karena tidak ada kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan. 6.3.1.3.Tingkat Proteksi Output Nominal (NPRO) Nilai NPRO masing-masing tahun yaitu 0%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah menyebabkan harga yang diterima sama dengan yang seharusnya diterima tanpa ada kebijakan. Hal ini mengindikasikan tidak ada kebijakan pemerintah yang menguntungkan maupun merugikan petani. 6.3.2. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input Dampak kebijakan pemerintah terhadap input dilihat dari beberapa indikator. Pertama, dilihat dari transfer input (IT). Kedua, dari Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI). Ketiga, dilihat dari Nilai Tingkat Proteksi Input Nominal (NPRI). Keempat, dari Transfer Faktor (FT). 6.3.2.1. Transfer Input (IT) Berdasarkan Tabel 14 diperlihatkan bahwa nilai IT adalah sebesar Rp 567.067/tahun pada 2008 dan Rp 2.267.524/tahun pada 2009. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat subsidi negatif/pajak pada input yang menyebabkan biaya privat input tradable seperti pakan dan induk patin lebih tinggi dari biaya sosial input tradable. Artinya kebijakan pemerintah merugikan petani karena harus mengeluarkan biaya lebih tinggi dibandingkan saat tidak ada kebijakan.
88
6.3.2.2. Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) Berdasarkan Tabel 14, dapat dilihat bahwa besarnya NPCI yang diperoleh masing-masing tahun yaitu 1,024 dan 1,102. Nilai yang lebih besar dari 1 menunjukkan bahwa pemerintah melindungi produsen input. Biaya privat input tradable yang dibayarkan oleh petani lebih tinggi 2,4% pada 2008 dan 10,2% pada 2009 dibandingkan biaya sosial input tradable. 6.3.2.3. Nilai Tingkat Proteksi Input Nominal (NPRI) Nilai Tingkat Proteksi Input Nominal (NPRI) dihitung berdasarkan nilai NPCI. Nilai yang diperoleh yaitu tahun 2008 sebesar 2,4% dan tahun 2009 sebesar 10,2%. Nilai NPRI yang positif menunjukkan bahwa dengan adanya kebijakan pemerintah maka petani pembenihan ikan patin akan membayar input tradable sebesar 2,4% dan 10,2% lebih tinggi dibandingkan input tradable secara sosial. 6.3.2.4. Transfer Faktor (FT) Berdasarkan Tabel 12 dan 13, nilai TF sebesar negatif Rp 3.069.657/tahun pada 2008 dan positif Rp 2.100.918/tahun pada 2009. Hasil negatif menunjukkan bahwa biaya input nontradable yang dikeluarkan pada tingkat harga privat lebih rendah dibandingkan dengan biaya input nontradable pada harga bayangan. Petani membayar input nontradable lebih rendah
dari yang seharusnya
dibayarkan, sehingga petani mendapatkan keuntungan sebesar Rp 3.069.657/tahun pada 2008. Pada 2009 terjadi sebaliknya, nilai TF yang positif mengindikasikan bahwa terdapat pajak atau transfer dari petani kepada pemerintah dan produsen input domestik, sehingga petani harus membayar input domestik lebih tinggi dari harga sosialnya.
89
6.3.3. Dampak Kebijakan Pemerintah pada Input dan Output Dampak kebijakan pemerintah terhadap input-output dilihat dari beberapa indikator. Pertama, Koefisien Proteksi Efektif (EPC). Kedua, Tingkat Proteksi Efektif (EPR). Ketiga, Koefisien Proteksi (PC). Keempat, Transfer Bersih (NT). Kelima, Rasio Subsidi Produsen (SRP). 6.3.3.1. Koefisien Proteksi Efektif (EPC) Berdasarkan Tabel 14 diperoleh nilai EPC tahun 2008 dan 2009 masingmasing sebesar 0,996 dan 0,983. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa nilai tambah yang diperoleh petani (privat) sedikit lebih rendah daripada nilai tambah yang seharusnya diterima (sosial), yaitu sekitar 99,6% dan 98,3%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kebijakan yang ada tidak/kurang berpengaruh terhadap petani. Kebijakan proteksi yang diterapkan tidak berjalan efektif sehingga biaya privat input tradable sedikit lebih besar dibandingkan biaya sosial input tradable (sementara nilai penerimaan privat sama dengan penerimaan sosial). 6.3.3.2. Tingkat Proteksi Efektif (EPR) EPR yang dihitung berdasarkan nilai EPC yang diperoleh masing-masing tahun 2008 dan 2009 yaitu -0,4% dan -1,7%. Nilai negatif menunjukkan terdapat ketidakefektifan kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input tradabel maupun output yaitu sebesar -0,4% dan -1,7%. Petani mengalami kerugian 0,4% dan 1,7% lebih besar dibandingkan jika tidak ada kebijakan. 6.3.3.3. Koefisien Proteksi (PC) Nilai PC yang diperoleh tahun 2008 dan 2009 masing-masing sebesar 1,04 dan 0,924. Artinya keuntungan produsen bila ada intervensi dari pemerintah sebesar 1,04 kali dan 0,924 kali atau petani menerima keuntungan sebesar 4%
90
lebih tinggi pada tahun 2008 dan 7,6% lebih rendah pada 2009 dibandingkan keuntungan yang diterima petani tanpa adanya campur tangan pemerintah. Tahun 2008 kebijakan pemerintah berjalan dengan efektif karena dapat memberikan keuntungan yang benar-benar diterima petani lebih tinggi dibandingkan keuntungan sosial sedangkan pada 2009 terjadi hal sebaliknya. 6.3.3.4. Transfer Bersih (NT) Berdasarkan Tabel 14, nilai NT berturut-turut yaitu Rp 2.502.591/tahun dan negatif Rp 4.368.442/tahun. Nilai positif diperoleh karena keuntungan privat lebih besar dibandingkan keuntungan sosial yang menunjukkan bahwa petani diuntungkan. Hal itu terjadi karena dengan adanya kebijakan pemerintah, surplus produsen/petani menjadi bertambah. Sebaliknya nilai negatif diperoleh karena keuntungan privat lebih kecil dibandingkan keuntungan sosial. Petani mengalami kerugian karena dengan adanya kebijakan pemerintah, surplus petani menjadi berkurang. 6.3.3.5. Rasio Subsidi Produsen (SRP) Nilai SRP yang diperoleh yaitu 0,015 dan -0,028. Nilai 0,015 menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku menyebabkan petani mengeluarkan biaya produksi 1,5% lebih kecil daripada biaya imbangan untuk berproduksi. Jadi kebijakan pemerintah secara keseluruhan menguntungkan produsen pembenihan ikan patin. Sedangkan nilai -0,028 ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan petani pembenihan ikan patin mengeluarkan biaya produksi 2,8% lebih besar daripada biaya imbangan untuk berproduksi. Jadi kebijakan pemerintah merugikan petani pembenihan ikan patin.
91
VII. ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PADA USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN 7.1. Kerangka Skenario Perubahan Harga Input dan Output Perubahan-perubahan
dalam
faktor
eksternal
maupun
kebijakan
pemerintah dapat menyebabkan perubahan struktur biaya maupun keuntungan yang diterima petani. Analisis sensitivitas perlu dilakukan untuk melihat dampak dari perubahan-perubahan tersebut. PAM mempunyai keterbatasan yaitu merupakan analisis yang bersifat statis sehingga memerlukan simulasi kebijakan untuk mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi di dalam sistem perekonomian yang dinamis. Analisis sensitivitas yang dilakukan pada penelitian meliputi kenaikan upah tenaga kerja, kenaikan harga input, melemahnya nilai tukar, penurunan harga output, pengurangan subsidi BBM, penghapusan PPN pakan, adanya kelembagaan, serta analisis gabungan. Sensitivitas ini didasarkan pada analisis PAM tahun 2009 dengan pertimbangan tahun terakhir sebagai acuan. 7.2.
Analisis Sensitivitas pada Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Analisis sensitivitas memperlihatkan bila terjadi perubahan, suatu
usahatani akan mengalami penurunan atau kenaikan keunggulan komparatif maupun kompetitif. Dalam beberapa perubahan yang terjadi, bisa menyebabkan usahatani tidak lagi memiliki keunggulan komparatif maupun kompetitif. Diharapkan, hasil analisis sensitivitas memperlihatkan bahwa suatu usahatani memiliki kestabilan yang tinggi dalam menghadapi perubahan yang terjadi. 7.2.1. Analisis Sensitivitas bila Terjadi Kenaikan Upah Tenaga Kerja Analisis sensitivitas dilakukan bila terjadi perubahan pada upah tenaga kerja dengan asumsi faktor yang lain tetap. Skenario peningkatan UMR yang terjadi yaitu UMR naik 7%. Hal ini sesuai dengan kenaikan UMR Jawa Barat dari
92
tahun 2008 ke 2009 sebesar 7%. Tabel 15 memperlihatkan hasil dari analisis kenaikan UMR sebesar 7%. Tabel 15. Analisis Sensitivitas Usaha Pembenihan Ikan Patin dengan Kenaikan UMR Sebesar 7% (Rp/Tahun) Nilai Keuntungan Privat – PP (Rp) Keuntungan Sosial – SP (Rp) Rasio Biaya Privat - PCR Biaya Sumberdaya Domestik - DRC Koefisien Keuntungan - PC
Sebelum 53.264.680 57.633.122 0,597 0,572 0,924
Setelah 52.285.240 57.633.122 0,605 0,572 0,907
Perubahan (%) -1,84 1,24 -1,86
Sumber : Pengolahan Data (2010) Kenaikan UMR sebesar 7% menyebabkan keuntungan privat menurun sebesar 1,84%. Nilai PCR yang meningkat menjadi 0,605 menunjukkan bahwa keunggulan kompetitif usaha pembenihan ikan patin menurun. Keuntungan sosial maupun keunggulan komparatif tidak berubah karena kebijakan UMR hanya memengaruhi harga privat. Perbandingan antara keuntungan privat dengan keuntungan sosial (PC) mengalami penurunan sebesar 1,86% . Hal ini disebabkan biaya privat meningkat sehingga keuntungan privat semakin lebih rendah dibandingkan keuntungan sosial. 7.2.2. Analisis Sensitivitas bila Terjadi Kenaikan Harga Input Analisis sensitivitas dilakukan bila terjadi kenaikan harga input yang disebabkan oleh inflasi sebesar 4% dengan asumsi faktor lain tidak berubah. Kenaikan 4% dilakukan atas dasar pertimbangan tingkat inflasi di Indonesia sebesar 4% selama tahun 2008 dan 2009. Tabel 16 memperlihatkan hasil dari analisis kenaikan harga input sebesar 4%
93
Tabel 16. Analisis Sensitivitas Usaha Pembenihan Ikan Patin dengan Kenaikan Harga Input Sebesar 4% (Rp/Tahun) Nilai
Sebelum
Setelah
Perubahan (%)
Keuntungan Privat – PP (Rp) Keuntungan Sosial – SP (Rp) Rasio Biaya Privat - PCR Biaya Sumberdaya Domestik - DRC Koefisien Keuntungan - PC
53.264.680 57.633.122 0,597 0,572 0,924
50.249.267 57.633.122 0,617 0,572 0,872
-5,66 3,34 -5,65
Sumber : Pengolahan Data (2010) Kenaikan harga input sebesar 4% menyebabkan keuntungan privat menurun sebesar 5,66%. Nilai PCR menjadi 0,617 menunjukkan bahwa keunggulan kompetitif usaha pembenihan ikan patin menurun. Keuntungan sosial maupun keunggulan komparatif tidak berubah karena kenaikan harga yang disebabkan oleh inflasi hanya akan memengaruhi harga di pasar domestik (privat) dan tidak memengaruhi harga di tingkat internasional. Perbandingan antara keuntungan privat dengan keuntungan sosial (PC) mengalami penurunan sebesar 5,65% karena biaya privat yang semakin meningkat. 7.2.3. Analisis Sensitivitas bila Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Melemah Analisis sensitivitas dilakukan bila nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika melemah dengan asumsi faktor lain tidak berubah. Skenario yang dibuat yaitu bila nilai tukar rupiah melemah sebesar 6% dari nilai tukar sebelumnya. Perubahan ini dilakukan karena nilai tukar rupiah yang melemah 6% dari 2008 ke 2009. Tabel 17 memperlihatkan hasil dari analisis melemahnya nilai tukar rupiah terhada dollar Amerika sebesar 6%.
94
Tabel 17. Analisis Sensitivitas Usaha Pembenihan Ikan Patin jika Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar Amerika Melemah Sebesar 6% (Rp/Tahun) Nilai
Sebelum
Setelah
Keuntungan Privat – PP (Rp) Keuntungan Sosial – SP (Rp) Rasio Biaya Privat - PCR Biaya Sumberdaya Domestik - DRC Koefisien Keuntungan - PC
53.264.680 57.633.122 0,597 0,572 0,924
53.264.680 51.999.855 0,597 0,601 1,024
Perubahan (%) -9,77 5,03 10,83
Sumber : Pengolahan Data (2010) Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika hanya menaikkan harga sosial input tradable seperti induk patin, artemia, dan garam. Hal itu menyebabkan biaya sosial produksi mengalami kenaikan. Kenaikan biaya sosial produksi menyebabkan keuntungan sosial menurun sebesar 9,77%, sedangkan keuntungan privat tetap karena harga privat tidak terpengaruh oleh nilai tukar. Keunggulan komparatif menurun dilihat dari nilai DRC yang semakin besar akibat kenaikan harga input sosial tradable yang tidak dimbangi dengan harga sosial benih ikan patin yang merupakan output nontradable. Perbandingan antara keuntungan privat dengan keuntungan sosial (PC) mengalami kenaikan sebesar 10,83%. Nilai PC yang meningkat menunjukkan bahwa rasio keuntungan yang diterima petani terhadap keuntungan sosialnya meningkat. 7.2.4. Analisis Sensitivitas bila Terjadi Penurunan Harga Privat Komoditas Benih Ikan Patin Analisis ini dilakukan bila terjadi penurunan harga privat benih ikan patin dengan asumsi faktor lain tidak berubah. Harga benih ikan patin produksi DFF dari tahun-tahun sebelumnya rata-rata terjadi penurunan sebesar 20% yang disebabkan menurunnya permintaan konsumen terhadap benih patin. Skenario yang dilakukan yaitu bila harga benih tahun 2010 juga mengalami penurunan
95
20%. Tabel 18 memperlihatkan hasil dari analisis penurunan harga benih patin sebesar 20%. Tabel 18. Analisis Sensitivitas Usaha Pembenihan Ikan Patin dengan Penurunan Harga Privat Benih Patin Sebesar 20% (Rp/Tahun) Nilai
Sebelum
Setelah
Perubahan (%)
Keuntungan Privat – PP (Rp) Keuntungan Sosial – SP (Rp) Rasio Biaya Privat - PCR Biaya Sumberdaya Domestik - DRC Koefisien Keuntungan - PC
53.264.680 57.633.122 0,597 0,572 0,924
21.914.680 57.633.122 0,783 0,572 0,380
-58,86 31,05 -58,88
Sumber : Pengolahan Data (2010) Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, menurunnya harga benih patin menyebabkan keuntungan privat menurun sebesar 58,86%. Keunggulan kompetitif juga menurun ditunjukkan dengan nilai PCR yang meningkat menjadi 0,783. Menurunnya nilai PP dan PCR disebabkan oleh menurunnya penerimaan privat. Nilai SP dan DRC tidak mengalami perubahan karena harga sosial benih tidak ikut terpengaruh. Perbandingan antara keuntungan privat dengan keuntungan sosial (PC) mengalami penurunan sebesar 58,88%. 7.2.5. Analisis Sensitivitas bila Terjadi Kenaikan Harga BBM Analisis ini dilakukan bila subsidi premium dikurangi sebesar 40% dan harga minyak tanah naik 200% dengan asumsi faktor lain tidak berubah. Skenario yang dilakukan berdasarkan kebijakan pemerintah untuk menghapuskan subsidi premium sebesar 40% tahun 2005 dan kenaikan harga minyak tanah sebesar 200% pada tahun 2010. Tabel 19 memperlihatkan hasil dari analisis akibat kenaikan harga BBM.
96
Tabel 19. Analisis Sensitivitas Usaha Pembenihan Ikan Patin dengan Kenaikan Harga Premium 40% dan Minyak Tanah 200% (Rp/Tahun) Nilai
Sebelum
Setelah
Perubahan (%)
Keuntungan Privat – PP (Rp) Keuntungan Sosial – SP (Rp) Rasio Biaya Privat - PCR Biaya Sumberdaya Domestik - DRC Koefisien Keuntungan - PC
53.264.680 57.633.122 0,597 0,572 0,924
4.7186.640 57.633.122 0,638 0,572 0,819
-11,41 6,77 -11,41
Sumber : Pengolahan Data (2010) Pengurangan subsidi BBM menyebabkan keuntungan privat menurun sebesar 11,41%. Nilai PCR menjadi 0,638 menunjukkan bahwa keunggulan kompetitif usaha pembenihan ikan patin menurun. Keuntungan sosial maupun keunggulan komparatif tidak berubah karena kenaikan harga BBM hanya akan memengaruhi harga di pasar domestik (privat). Perbandingan antara keuntungan privat dengan keuntungan sosial (PC) mengalami penurunan sebesar 11,41% karena biaya privat yang semakin meningkat. 7.2.6. Analisis Sensitivitas bila PPN Pakan Ikan Sebesar 10% Dihapuskan PP Nomor 7 tahun 2007 berisi mengenai penghapusan PPN untuk beberapa beberapa produk salah satunya pakan ikan. Akan tetapi pada kenyataannya pemerintah masih memberlakukan PPN sebesar 10% untuk pakan ikan. Dalam simulasi ini, akan dilihat dampak dari penghapusan PPN pakan sebesar 10%. Tabel 20 memperlihatkan hasil dari analisis penghapusan PPN pakan sebesar 10%. Tabel 20. Analisis Sensitivitas Usaha Pembenihan Ikan Patin dengan Penghapusan PPN Pakan Sebesar 10% (Rp/Tahun) Nilai
Sebelum
Setelah
Perubahan (%)
Keuntungan Privat – PP (Rp) Keuntungan Sosial – SP (Rp) Rasio Biaya Privat - PCR Biaya Sumberdaya Domestik - DRC Koefisien Keuntungan - PC
53.264.680 57.633.122 0,597 0,572 0,924
54.314.080 57.633.122 0,592 0,572 0,942
1,97 -0,86 1,97
Sumber : Pengolahan Data (2010)
97
Berdasarkan hasil analisis, jika penghapusan PPN pakan ikan sebesar 10% diberlakukan, maka keuntungan privat dan keunggulan kompetitif akan meningkat.
Akan tetapi tidak ada perbedaan dalam keuntungan sosial dan
keunggulan komparatif karena penghapusan PPN pakan ikan hanya berlaku untuk analisis privat. Dilihat dari nilai PC, penghapusan PPN 10% ternyata menyebabkan perbandingan antara keuntungan privat dengan keuntungan sosial (PC) mengalami kenaikan sebesar 1,97%. 7.2.7. Analisis Sensitivitas Kelembagaan
dengan
Kebijakan
Pemerintah
Berupa
Pemerintah bermaksud untuk meningkatkan sektor perikanan salah
satunya dengan kelembagaan. Selama ini, harga benih patin berfluktuasi sesuai dengan permintaan konsumen. Selama 2008 dan 2009 harga benih terus mengalami penurunan karena permintaan konsumen juga menurun. Untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan kelembagaan yang berperan untuk menampung/membeli benih dari petani sehingga harga benih bisa stabil. Diharapkan, dengan adanya kelembagaan, harga privat benih patin bisa meningkat sebesar 36% seperti pada tahun 2007. Tabel 21. Analisis Sensitivitas Usaha Pembenihan Ikan Patin dengan Peran Kelembagaan – Pengaruhnya pada Harga Privat Benih (Rp/Tahun) Nilai Keuntungan Privat – PP (Rp) Keuntungan Sosial – SP (Rp) Rasio Biaya Privat - PCR Biaya Sumberdaya Domestik - DRC Koefisien Keuntungan - PC
Sebelum 53.264.680 57.633.122 0,597 0,572 0,924
Setelah 97.139.680 57.633.122 0,449 0,572 1,685
Perubahan (%) 82,37 -24,90 82,32
Sumber : Pengolahan Data (2010) Berdasarkan hasil analisis, peran kelembagaan pada harga privat benih patin yaitu meningkatkan keuntungan privat sebesar 82,37% dan keunggulan
98
kompetitif menjadi 0,449. Akan tetapi tidak ada perbedaan dalam keuntungan sosial dan keunggulan komparatif karena harga sosial benih patin tidak berubah. Dilihat dari nilai PC, adanya kelembagaan ternyata menyebabkan perbandingan antara keuntungan yang diterima petani dengan keuntungan sosial meningkat sebesar 82,32%. Peran kelembagaan yang lain, seperti misalnya penyedia kredit usaha maupun penyedia input-input perikanan misalnya koperasi, diharapkan bisa menurunkan harga sosial input sehingga bisa mengurangi biaya produksi. Analisis sensitivitas ini dilakukan bila terjadi penurunan harga sosial input sebesar 10%. Hasil analisis kelembagaan terhadap harga sosial input ditunjukkan pada Tabel 22. Tabel 22. Analisis Sensitivitas Usaha Pembenihan Ikan Patin dengan Peran Kelembagaan - Pengaruhnya pada Harga Sosial Input Sebesar 10% (Rp/Tahun) Nilai
Sebelum
Setelah
Perubahan (%)
Keuntungan Privat – PP (Rp) Keuntungan Sosial – SP (Rp) Rasio Biaya Privat - PCR Biaya Sumberdaya Domestik - DRC Koefisien Keuntungan - PC
53.264.680 57.633.122 0,597 0,572 0,924
53.264.680 62.172.478 0,597 0,542 0,857
7,88 -5,21 -7,27
Sumber : Pengolahan Data (2010) Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, peran kelembagaan dalam pengaruhnya terhadap harga sosial input akan meningkatkan keuntungan sosial sebesar 7,88%, sedangkan keuntungan privat tetap karena harga privat tidak terpengaruh.
Keunggulan komparatif meningkat dilihat dari nilai DRC yang
semakin kecil. Perbandingan antara keuntungan privat dengan keuntungan sosial (PC) mengalami penurunan sebesar 7,27% . Nilai PC yang menurun menunjukkan bahwa rasio keuntungan yang diterima petani terhadap keuntungan sosialnya menurun.
99
7.2.8. Analisis Gabungan
Analisis sensitivitas gabungan merupakan penggabungan beberapa analisis
sensitivitas di atas antara faktor-faktor yang berdampak negatif terhadap keunggulan kompetitif dan komparatif dari usaha pembenihan ikan patin dengan kebijakan pemerintah atau faktor lainnya yang mampu mengatasi dampak negatif tersebut. Sensitivitas yang digabungkan yaitu kenaikan UMR, kenaikan harga input, penurunan harga output, penghapusan PPN pakan, dan adanya kelembagaan. Analisis sensitivitas gabungan ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu analisis yang bertujuan untuk meningkatkan keunggulan kompetitif dan analisis yang bertujuan untuk meningkatkan keunggulan komparatif. Hasil analisis sensitivitas gabungan untuk meningkatkan keunggulan kompetitif dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23. Analisis Sensitivitas Gabungan – Pengaruh pada Harga Privat (Rp/Tahun) Nilai
Sebelum
Setelah
Perubahan (%)
Keuntungan Privat – PP (Rp) Keuntungan Sosial – SP (Rp) Rasio Biaya Privat - PCR Biaya Sumberdaya Domestik - DRC Koefisien Keuntungan - PC
53.264.680 57.633.122 0,597 0,572 0,924
71.018.987 57.633.122 0,536 0,572 1,232
33,33 -10,36 33,33
Sumber : Pengolahan Data (2010)
Tabel 22 menunjukkan penurunan keunggulan kompetitif akibat kenaikan
UMR dan kenaikan harga input dapat diimbangi dengan kebijakan berupa penghapusan PPN pakan ikan sebesar 10%, sedangkan penurunan harga output sebesar 20% dapat diimbangi dengan peran kelembagaan yang menstabilkan harga (peningkatan harga sebesar 36%) sehingga terjadi peningkatan harga benih patin sebesar 16%. Apabila keadaan tersebut terjadi, maka petani akan memperoleh keuntungan sebesar Rp 71.018.987. Hal ini juga berdampak pada
100
peningkatan keunggulan kompetitif yang ditunjukkan dengan nilai PCR yang semakin kecil. Petani juga memperoleh keuntungan privat yang lebih besar dilihat dari nilai PC yang semakin besar.
Analisis sensitivitas gabungan lainnya yang berpengaruh terhadap analisis
sosial merupakan gabungan antara melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang menurunkan keunggulan komparatif dengan adanya kelembagaan yang bisa menurunkan harga sosial input sebesar 10%. Hasil dari sensitivitas gabungan kedua kondisi tersebut dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Analisis Sensitivitas Gabungan – Pengaruh pada Harga Sosial (Rp/Tahun) Nilai
Sebelum
Setelah
Perubahan (%)
Keuntungan Privat – PP (Rp) Keuntungan Sosial – SP (Rp) Rasio Biaya Privat - PCR Biaya Sumberdaya Domestik - DRC Koefisien Keuntungan - PC
53.264.680 57.633.122 0,597 0,572 0,924
53.264.680 106.047.478 0,597 0,41 0,502
84 -28,34 -45,65
Sumber : Pengolahan Data (2010) Berdasarkan hasil analisis, keuntungan sosial mengalami peningkatan sebesar 84%. Begitu juga dengan keunggulan komparatif meningkat dengan menurunnya nilai DRC menjadi sebesar 0,41. Dilihat dari nilai PC, analisis ini menyebabkan perbandingan keuntungan yang diterima petani dengan keuntungan sosial menurun sebesar 45,65%.
101
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1.
Kesimpulan Berdasarkan hasil perhitungan dan analisis yang telah dilakukan, dapat
ditarik kesimpulan: 1) Hasil analisis matriks kebijakan menunjukkan bahwa usaha pembenihan ikan patin Deddy Fish Farm memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif baik pada tahun 2008 maupun 2009. Hal ini dilihat dari nilai PP dan SP yang positif, serta PCR dan DRC yang kurang dari satu. Namun dalam kurun waktu tersebut ditunjukkan bahwa baik keunggulan komparatif maupun kompetitif mengalami penurunan. Selanjutnya dapat disimpulkan juga bahwa pada tahun 2008 usaha pembenihan ikan patin memiliki keunggulan kompetitif lebih tinggi
dibandingkan
keunggulan
komparatif,
sedangkan
tahun
2009
menunjukkan hal sebaliknya. Hal ini ditunjukkan pada tahun 2008 nilai PCR lebih kecil dibandingkan DRC karena biaya sosial produksi lebih besar dibandingkan biaya finansialnya. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemeritah berjalan efektif sehingga keunggulan kompetitif lebih tinggi daripada keunggulan komparatif. Nilai PCR yang lebih besar dari nilai DRC pada tahun 2009 menunjukkan hal sebaliknya, bahwa kebijakan yang ada tidak berjalan efektif sehingga pengorbanan untuk mendapatkan satu satuan output pada analisis privat lebih besar dibandingkan analisis sosial. 2) Analisis sensitivitas yang dilakukan berupa naiknya UMR 7%, naiknya harga input 4%, melemahnya nilai tukar 6%, menurunnya harga output 20%, pengurangan subsidi BBM, penghapusan PPN pakan 10%, adanya kelembagaan, serta analisis gabungan yang disertai dengan simulasi kebijakan.
102
Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa naiknya UMR 7%, naiknya harga input 4%, menurunnya harga output 20%, dan pengurangan subsidi BBM akan menurunkan keunggulan kompetitif. Penurunan keunggulan kompetitif terbesar ditunjukkan pada analisis sensitivitas jika harga privat benih patin menurun sebesar 20%. Adapun hasil analisis sensitivitas dengan melemahnya nilai tukar 6% membuat keunggulan komparatif mengalami penurunan. Hasil analisis gabungan menunjukkan bahwa penurunan keunggulan kompetitif yang disebabkan oleh naiknya UMR 7%, naiknya harga input 4%, dan menurunnya harga output 20% dapat ditanggulangi dengan kebijakan pemerintah berupa penghapusan PPN pakan sebesar 10% dan adanya kelembagaan yang berfungsi sebagai penampung benih. Hal ini dapat dilihat dari penurunan nilai PCR. Sedangkan penurunan keunggulan komparatif yang disebabkan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika dapat ditanggulangi dengan kebijakan pemerintah yang berupa kelembagaan seperti koperasi. 8.2.
Saran
1) Produksi, produktivitas, dan kualitas benih ikan patin produksi DFF harus ditingkatkan agar dapat memberikan keuntungan yang lebih besar. Selain itu, peningkatan produksi benih juga diharapkan akan meningkatkan produksi patin dewasa untuk memperbesar peluang ekspor. Untuk meningkatkan atau memperkuat dayasaing, dapat dilakukan melalui peningkatan kompetensi lokal maupun membangun usaha melalui pendekatan sistem agribisnis misalnya pola kemitraan usaha.
103
2) Kebijakan pemerintah yang telah ada dapat terus dipertahankan, karena usaha pembenihan ikan patin menguntungkan baik secara finansial maupun ekonomi. Akan tetapi, melihat dari kondisi perekonomian Indonesia yang belum stabil, seperti nilai tukar yang merosot dan inflasi yang tinggi, pemerintah diharapkan mampu untuk menciptakan kondisi yang stabil baik dalam bidang ekonomi maupun politik agar harga input output tetap stabil. Selain itu, walaupun sudah menguntungkan baik dari segi keunggulan komparatif maupun kompetitif, pemerintah perlu memberikan kebijakan yang bertujuan untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi agribisnis perikanan. Misalnya dari segi harga input, pakan merupakan faktor yang banyak memakan biaya. Menurut PP Nomor 7 Tahun 2007 tentang perikanan, pakan ikan dibebaskan dari PPN, namun pada kenyataannya, PPN masih diberlakukan untuk pakan ikan sehingga harga pakan menjadi mahal. Hendaknya pemerintah benar-benas menghapus PPN untuk pakan agar biaya produksi bisa berkurang. 3) Pemerintah juga perlu meningkatkan produksi barang-barang input agar Indonesia tidak tergantung pada impor sehingga diharapkan biaya yang dikeluarkan untuk input dapat diperkecil. Hal ini akan berdampak pada efisiensi usaha yang akan membuat harga output lebih rendah sehingga bisa bersaing di pasaran internasional. Seperti misalnya, artemia merupakan produk impor dari negara Cina dan Kanada, sekarang Indonesia sudah mampu menghasilkan artemia sendiri. Input lainnya seperti pakan, hendaknya pemerintah memberikan insentif agar pakan berbahan baku alternatif seperti
104
magot kelapa sawit dan bungkil bisa diproduksi secara massal karena harganya lebih murah. 4) Dilihat dari sisi harga output, petani ikan, dalam hal ini DFF, masih menghadapi kendala berhubungan dengan harga output. Mengingat ikan merupakan produk pertanian yang harganya fluktuatif, wajar jika harga output turun naik. Akan tetapi pemerintah bisa memberikan insentif agar harga benih patin bisa dinaikkan sehingga penerimaan petani lebih besar. Misalnya dengan adanya kelembagaan lokal, sehingga stabilitas harga akan tercapai. Selain itu, diperlukan kelembagaan yang menyediakan kredit usaha, penyedia barangbarang input, dan lainnya agar biaya produksi dapat diperkecil.
105
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2005. Tabel Input Output Indonesia. Volume III. Jakarta. Departemen Perdagangan. 2010. Perkembangan Ekspor Impor Indonesia, Jakarta. Departemen Perdagangan. 2007. Produksi Perikanan Budidaya Menurut komoditas Utama 2007, Jakarta. Departemen Perikanan dan Kelautan. 2005. Revitalisasi Perikanan Budidaya 2006-2009, Jakarta. _____________________________. 2007. Data Potensi, Ekspor/Impor Kelautan dan Perikanan 2007, Jakarta.
Produksi
dan
Departemen Perikanan dan Kelautan. 2009. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2009, Jakarta. Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor. 2010. Perkembangan Produksi Benih Ikan di Kabupaten Bogor Tahun 2006-2008, Jakarta. Gittinger, J.P. 1986. Analisis Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Diterjemahkan oleh Sutomo dan Mangiri. Edisi II. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Gustiani, D. 2004. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Kain Tenun Sutera Alam Produksi Kabupaten Garut. Skripsi. Faperta IPB, Bogor. Kadariah, L., Karlina, dan C. Gray. 1978. Evaluasi Proyek Analisis Ekonomi. Edisi 1. FE UI Press, Jakarta. Kasymir, E. 1994. Keunggulan Komparatif dan Dampak Kebijaksanaan pada Komoditas Kopi dan Lada dalam Pengembangan Wilayah Kab. Lampung Barat, Prop. Lampung. Tesis Magister Sains. Program Pasca Sarjana IPB, Bogor. Monke, E.A., and S.R. Pearson. 1989. The Policy Analysis Matrix for Agriculture Development. Cornell University Press, Italia and London. Novianti, T. 2003. Analisis dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing Komoditas Unggulan Sayuran. Tesis. IPB, Bogor. Pearson, S., C. Gotsch, dan S. Bahri. 2005. Aplikasi Policy Analysis Matrix pada Pertanian Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Porter, M.E. 1991. Strategi Bersaing. Agus M, penerjemah. Erlangga, Jakarta. Terjemahan dari Competitive Strategy. Prahasta, A., dan H. Masturi. 2008. Budidaya – Usaha – Pengolahan Agribisnis Ikan Patin. CV Pustaka Grafika, Bandung. Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi V. Munandar H, penerjemah. Prentice Hall-Erlangga, Jakarta. Terjemahan dari International Economic. Saptana, Sumaryanto, dan S. Friyatno. 2001. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Komoditas Kentang dan Kubis di Wonosobo Jawa Tengah. Jurnal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian, Bogor.
106
Suryana, A. 1980. Keuntungan Komparatif dan Kompetitif dalam Produksi Ubikayu dan Jagung di Jawa Timur dan Lampung dengan Analisa Penghematan Biaya Sumberdaya Domestik (BSD). Tesis. IPB, Bogor.
107
LAMPIRAN
108
Lampiran 1. Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun 2009 (Analisis Sensitivitas UMR Naik 7%) Biaya Keterangan Penerimaan Profit Tradable Inputs Nontradable Harga finansial 156.750.000 24.426.140 80.038.620 52.285.240 Harga ekonomi 156.750.000 22.158.616 76.958.262 57.633.122 Dampak kebijakan 0 2.267.524 3.080.358 -5.347.882 Sumber : Pengolahan Data (2010)
Lampiran 2. Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun 2009 (Analisis Sensitivitas Harga Input Naik 4%) Biaya Keterangan Penerimaan Profit Tradable Inputs Nontradable Harga finansial 156.750.000 25.403.185 81.097.547 50.249.267 Harga ekonomi 156.750.000 22.158.616 76.958.262 57.633.122 Dampak kebijakan 0 3.244.570 4.139.285 -7.383.855 Sumber : Pengolahan Data (2010)
Lampiran 3. Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun 2009 (Analisis Sensitivitas Nilai Tukar Melemah 6%) Biaya Keterangan Penerimaan Profit Tradable Inputs Nontradable Harga finansial 156.750.000 24.426.140 79.059.180 53.264.680 Harga ekonomi 156.750.000 26.572.681 78.177.463 51.999.855 Dampak kebijakan 0 -2.146.542 881.717 1.264.825 Sumber : Pengolahan Data (2010)
Lampiran 4. Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun 2009 (Analisis Sensitivitas Harga Output Turun 20%) Biaya Keterangan Penerimaan Profit Tradable Inputs Nontradable Harga finansial 125.400.000 24.426.140 79.059.180 21.914.680 Harga ekonomi 156.750.000 22.158.616 76.958.262 57.633.122 Dampak kebijakan -31.350.000 2.267.524 2.100.918 -35.718.442 Sumber : Pengolahan Data (2010)
Lampiran 5. Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun 2009 (Analisis Sensitivitas Harga Premium Naik 40% dan Minyak Tanah naik 200%) Biaya Keterangan Penerimaan Profit Tradable Inputs Nontradable Harga finansial 156.750.000 26.437.627 83.125.733 47.186.640 Harga ekonomi 156.750.000 22.158.616 76.958.262 57.633.122 Dampak kebijakan 0 4.279.011 6.167.471 -10.446.482 Sumber : Pengolahan Data (2010)
109
Lampiran 6. Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun 2009 (Analisis Sensitivitas PPN Pakan Dihapuskan 10%) Biaya Keterangan Penerimaan Profit Tradable Inputs Nontradable Harga finansial 156.750.000 23.511.380 78.924.540 54.314.080 Harga ekonomi 156.750.000 22.158.616 76.958.262 57.633.122 Dampak kebijakan 0 1.352.764 1.966.278 -3.319.042 Sumber : Pengolahan Data (2010)
Lampiran 7. Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun 2009 (Analisis Sensitivitas Kelembagaan – Pengaruhnya pada Harga Privat Benih) Biaya Keterangan Penerimaan Profit Tradable Inputs Nontradable Harga finansial 200.625.000 24.426.140 79.059.180 97.139.680 Harga ekonomi 156.750.000 22.158.616 76.958.262 57.633.122 Dampak kebijakan 43.875.000 2.267.524 2.100.918 39.506.558 Sumber : Pengolahan Data (2010)
Lampiran 8. Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun 2009 (Analisis Kelembagaan – Pengaruhnya pada Harga Sosial Input) Biaya Keterangan Penerimaan Profit Tradable Inputs Nontradable Harga finansial 156.750.000 24.426.140 79.059.180 53.264.680 Harga ekonomi 156.750.000 20.960.831 73.616.692 62.172.478 Dampak kebijakan 0 3.465.309 5.442.489 -8.907.798 Sumber : Pengolahan Data (2010)
Lampiran 9. Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun 2009 (Analisis Sensitivitas Gabungan – Pengaruhnya pada Harga Privat) Biaya Keterangan Penerimaan Profit Tradable Inputs Nontradable Harga finansial 177.030.000 24.122.521 81.888.491 71.018.987 Harga ekonomi 156.750.000 22.158.616 76.958.262 57.633.122 Dampak kebijakan 20.280.000 1.963.906 4.930.229 13.385.865 Sumber : Pengolahan Data (2010)
Lampiran 10. Matriks Analisis Kebijakan Pembenihan Ikan Patin DFF Tahun 2009 (Analisis Sensitivitas Gabungan - Pengaruhnya pada Harga Sosial) Biaya Keterangan Penerimaan Profit Tradable Inputs Nontradable Harga finansial 156.750.000 24.426.140 79.059.180 53.264.680 Harga ekonomi 200.625.000 20.960.831 73.616.692 106.047.478 Dampak kebijakan -43.875.000 3.465.309 5.442.489 -52.782.798 Sumber : Pengolahan Data (2010)
110
Lampiran 11. Indikator-indikator dari Policy Analysis Matrix Indikator PP (Rp) PCR
Sebelum Perubahan
UMR Naik 7%
Biaya Input Naik 4%
Nilai Tukar Melemah 6%
2008
2009
2009
2009
2009
64.494.080
53.264.680
52.285.240
50.249.267
53.264.680
0,548
0,597
0,605
0,617
0,597
61.991.489
57.633.122
57.633.122
57.633.122
51.999.855
0,567
0,572
0,572
0,572
0,601
OT (Rp)
0
0
0
0
0
NPCO
1
1
1
1
1
NPRO (%)
0
0
0
0
0
567.067
2.267.524
2.267.524
3.244.570
-2.146.542
1,024
1,102
1,102
1,146
0,919
2,4
10,2
10,2
14,6
-8,1
-3.069.657
2.100.918
3.080.358
4.139.285
881.717
0,996
0,983
0,983
0,976
1,016
EPR (%)
-0,4
-1,7
-1,7
-2,4
1,6
NT (Rp)
2.502.591
-4.368.442
-5.347.882
-7.383.855
1.264.825
SP (Rp) DRC
IT (Rp) NPCI NPRI (%) FT (Rp) EPC
PC
1,04
0,924
0,907
0,872
1,024
SRP
0,015
-0,028
-0,034
-0,047
0,008
Lampiran 11. Lanjutan Harga Output Turun 20%
Harga Premium Naik 40% dan Minyak Tanah 200%
PPN Pakan 10% Dihapuskan
Kelembagaan (Privat)
2009
2009
2009
2009
21.914.680
47186640 0,638
54.314.080
97.139.680
0,783
0,592
0,449
57.633.122
57633122
57.633.122
57.633.122
0,572
0,572
0,572
0,572
-31.350.000
0
0
43.875.000
NPCO
0,8
1,000
1
1,28
NPRO (%)
-20
0
0
28
2.267.524
4279011
1.352.764
2.267.524
1,102
1,193
1,061
1,102
10,2
19,300
6,1
10,2
2.100.918
6167471
1.966.278
2.100.918
0,750
0,968
0,990
1,309
EPR (%)
-25
-3,200
-1
30,9
NT (Rp)
-35.718.442
-10446482
-3.319.042
39.506.558
0,380
0,819
0,942
1,685
-0,228
-0,067
-0,021
0,252
Indikator PP (Rp) PCR SP (Rp) DRC OT (Rp)
IT (Rp) NPCI NPRI (%) FT (Rp) EPC
PC SRP
111
Lampiran 11. Lanjutan Indikator PP (Rp) PCR SP (Rp)
Kelembagaan (Sosial)
Gabungan (Privat)
Gabungan (Sosial)
2009
2009
53.264.680
71.018.987
2009 53.264.680
0,597
0,536
0,597
57.633.122
106.047.478
62.172.478 0,542
0,572
0,41
OT (Rp)
0
20.280.000
-43.875.000
NPCO
1
1,129
0,781
DRC
NPRO (%) IT (Rp) NPCI
-21,9
12,9
-21,9
3.465.309
1.963.906
3.465.309
1,165
1,089
1,165
16,5
8,9
16,5
5.442.489
4.930.229
5.442.489
0,974
1,136
0,737
EPR (%)
-2,6
13,6
-26,3
NT (Rp)
-8.907.798
13.385.865
-52.782.798
0,857
1,232
0,502
0,085
-0,263
NPRI (%) FT (Rp) EPC
PC SRP
-0,057
Sumber : Pengolahan Data (2010)
112
Lampiran 12. Struktur Biaya Produksi DFF Tahun 2008 (Rp) Keterangan A.
Satuan
Banyak
Harga Privat
Total
Harga Sosial
Total
Benih Ikan Patin (3/4")
975000
62,5
60937500
62,5
60937500
Benih Ikan Patin (1")
975000
77,5
75562500
77,5
75562500
Larva
6000000
5
30000000
5
30000000
PENERIMAAN OUTPUT
TOTAL B.
166500000
166500000
PENGELUARAN BIAYA PRODUKSI (INPUT) Biaya Pemeliharaan Induk 1. Pelet
kg
800
5500
4400000
4950
3960000
a. Jaring Induk
unit
2
60000
120000
54000
108000
b. Induk
ekor
100
8600
860000
3964,5
396450
4. TK Tetap
orang
2
6000000
12000000
5289000
10578000
1. Ovaprim
botol
20
200000
4000000
180000
3600000
2. Alat Suntik
unit
16
1000
16000
900
14400
3. Tenaga Kerja
hari
4
50000
200000
44075
176300
kaleng
30
330000
9900000
249443,4081
7483302,24
takar
3500
7000
24500000
7000
24500000
kg
400
12500
5000000
11250
4500000
4. Minyak Tanah
liter
1100
2500
2750000
10000
11000000
5. Bensin
liter
130
5000
650000
8339
1084070
6. Blitz ICH
botol
270
7000
1890000
6300
1701000
7. Batu Aerasi
unit
100
4000
400000
3600
360000
8. Corong
unit
6
7000
42000
6300
37800
9. serokan larva
unit
4
2000
8000
1800
7200
10. TK Tukang
hari
20
50000
1000000
44075
881500
a. Akuarium
unit
68
25000
1700000
22500
1530000
b. Blower
unit
2
120000
240000
108000
216000
c. Selang
unit
2
5000
10000
4500
9000
e Genset
unit
2
250000
500000
225000
450000
f. Hi Blow
unit
3
120000
360000
108000
324000
2
300000
600000
270000
540000
4
12500
50000
11250
45000
2
750000
1500000
675000
1350000
2
600000
1200000
540000
1080000
2. Penyusutan
Biaya Penyuntikan
Pemeliharaan Larva 1. Artemia 2. Cacing Tubifex 3. Pelet
11. Penyusutan Peralatan
g. Rak Kayu h. Kompor
unit
j. Terpal k. Jet Pam
unit
113
Lampiran 12. Lanjutan Penetasan Artemia 1. Garam
bungkus
550
3000
1650000
1849,779107
1017378,51
unit
32
5000
160000
4500
144000
unit
4
1500
6000
1350
5400
a. Tabung gas
unit
2
120000
240000
108000
216000
b. Baskom
unit
20
5000
100000
4500
90000
c. Fiber
unit
5
60000
300000
54000
270000
1. Telepon
bulan
12
75000
900000
75000
900000
2. Listrik
bulan
12
700000
8400000
700000
8400000
unit
1
4250000
4250000
4250000
4250000
2. Penyusutan Ember Pemanenan Larva 1. Serokan 2.. Penyusutan Peralatan
BIAYA OPERASIONAL
3. Sewa Rumah + lahan BUNGA MODAL
4104720
9437635,29
7020000
7020000
BIAYA TATANIAGA penanganan
Sumber : Pengolahan Data (2010)
114
Lampiran 13. Struktur Biaya Produksi DFF Tahun 2009 (Rp) Keterangan A.
Satuan
Banyak
Harga pasar
Total
harga sosial
Total
Benih Ikan Patin (3/4")
975000
55
53625000
55
53625000
Benih Ikan Patin (1")
975000
75
73125000
75
73125000
Larva
6000000
5
30000000
5
30000000
PENERIMAAN OUTPUT
TOTAL B.
156750000
156750000
PENGELUARAN BIAYA PRODUKSI (INPUT) Biaya Pemeliharaan Induk 1. Pelet
kg
750
6000
4500000
5400
4050000
a. Jaring Induk
unit
2
60000
120000
54000
108000
b. Induk
ekor
100
8600
860000
3964,5
396450
4. TK Tetap
orang
2
6000000
12000000
5365800
10731600
1. Ovaprim
botol
20
200000
4000000
180000
3600000
2. Alat Suntik
unit
16
1500
24000
1350
21600
3. Tenaga Kerja
hari
4
50000
200000
44715
178860
kaleng
30
330000
9900000
264598,87
7937966
takar
3500
7000
24500000
7000
24500000
3. Pelet
kg
400
13500
5400000
12150
4860000
4. Minyak Tanah
liter
1100
2500
2750000
5052
5557200
5. Bensin
liter
130
4500
585000
4413
573690
6. Blitz ICH
botol
270
7500
2025000
6750
1822500
7. Batu Aerasi
buah
100
4000
400000
3600
360000
8. Corong
buah
6
8000
48000
7200
43200
9. serokan larva
unit
4
3000
12000
2700
10800
10. TK Tukang
hari
20
50000
1000000
44715
894300
a. Akuarium
unit
68
25000
1700000
22500
1530000
b. Blower
unit
2
120000
240000
108000
216000
c. Selang
unit
2
8000
16000
7200
14400
2. Penyusutan
Biaya Penyuntikan
Pemeliharaan Larva 1. Artemia 2. Cacing Tubifex
11. Penyusutan Peralatan
e Genset
unit
2
250000
500000
225000
450000
f. Hi Blow
unit
3
120000
360000
108000
324000
2
300000
600000
270000
540000
4
12500
50000
11250
45000
2
750000
1500000
675000
1350000
2
600000
1200000
540000
1080000
g. Rak Kayu h. Kompor
unit
j. Terpal k. Jet Pam
unit
115
Lampiran 13. Lanjutan Penetasan Artemia 1. Garam
bungkus
550
3000
1650000
2236,6903
1230179,6
unit
32
5000
160000
4500
144000
unit
4
2000
8000
1800
7200
a. Tabung gas
unit
2
120000
240000
108000
216000
b. Baskom
unit
20
5000
100000
4500
90000
c. Fiber
unit
5
60000
300000
54000
270000
2. Penyusutan Ember Pemanenan Larva 1. Serokan 2.. Penyusutan Peralatan
BIAYA OPERASIONAL 1. Telepon
bulan
12
75000
900000
75000
900000
2. Listrik
bulan
12
700000
8400000
700000
8400000
unit
1
4250000
4250000
4250000
4250000
3. Sewa Rumah + lahan BUNGA MODAL
4095000
5212171,6
7820000
7820000
BIAYA TATANIAGA (Penanganan) penanganan
Sumber : Pengolahan Data (2010)
116
117
Lampiran 14. Struktur Biaya Finansial dan Ekonomi Deddy Fish Farm (Rp) ANALISIS FINANSIAL 2008 Keterangan A.
Domestik
Asing
Domestik
Asing
Keterangan A.
Domestik
Asing
Total
ANALISIS EKONOMI 2009 Domestik
Asing
Total
PENERIMAAN OUTPUT
Benih Ikan Patin (3/4")
60937500
96037500
Benih Ikan Patin (3/4")
53625000
91162500
Benih Ikan Patin (1")
75562500
115537500
Benih Ikan Patin (1")
73125000
110662500
Larva
30000000
30000000
Larva
30000000
30000000
166500000
241575000
156750000
231825000
PENGELUARAN
TOTAL B.
PENGELUARAN
BIAYA PRODUKSI
BIAYA PRODUKSI
Biaya Pemeliharaan Induk
Biaya Pemeliharaan Induk
1. Pelet
334400
4065600
4400000
300960
3659040
3960000
2. Penyusutan a. Jaring Induk b. Induk 3. TK Tetap
1. Ovaprim 2. Alat Suntik 3. Tenaga Kerja
120000
0
120000
108000
0
804100 12000000
108000
a. Jaring Induk
55900
860000
370680,75
0
12000000
10578000
25769,25
396450
b. Induk
0
10578000
2. Cacing Tubifex
342000
4158000
4500000
307800
3742200
4050000
120000
0
120000
108000
0
108000
3. TK Tetap
804100
55900
860000
370680,75
25769,25
396450
12000000
0
12000000
10731600
0
10731600
1580000
2420000
4000000
1422000
2178000
3600000
Biaya Penyuntikan 1580000
2420000
4000000
1422000
2178000
3600000
6768
9232
16000
6091,2
8308,8
14400
2. Alat Suntik
10152
13848
24000
9136,8
12463,2
21600
200000
0
200000
176300
0
176300
3. Tenaga Kerja
200000
0
200000
178860
0
178860
752400
9147600
9900000
603285,414
7334681
7937965,98
Pemeliharaan Larva 1. Artemia
1. Pelet 2. Penyusutan
Biaya Penyuntikan
ANALISIS FINANSIAL 2009
Total
PENERIMAAN OUTPUT
TOTAL B.
Total
ANALISIS EKONOMI 2008
1. Ovaprim
Pemeliharaan Larva 752400
9147600
9900000
568730,97
6914571,3
7483302,24
1. Artemia
24500000
0
24500000
24500000
0
24500000
2. Cacing Tubifex
24500000
0
24500000
24500000
0
24500000
3. Pelet
380000
4620000
5000000
342000
4158000
4500000
3. Pelet
410400
4989600
5400000
369360
4490640
4860000
4. Minyak Tanah
1785300
964700
2750000
7141200
3858800
11000000
4. Minyak Tanah
1785300
964700
2750000
3607734,24
1949466
5557200
5. Bensin
421980
228020
650000
703778,24
380291,76
1084070
5. Bensin
379782
205218
585000
372439,548
201250,5
573690
6. Blitz ICH
746550
1143450
1890000
671895
1029105
1701000
6. Blitz ICH
799875
1225125
2025000
719887,5
1102613
1822500
7. Batu Aerasi
353600
46400
400000
318240
41760
360000
7. Batu Aerasi
353600
46400
400000
318240
41760
360000
8. Corong
36258,6
5741,4
42000
32632,74
5167,26
37800
8. Corong
41438,4
6561,6
48000
37294,56
5905,44
43200
9. Serokan larva
8000
0
8000
7200
0
7200
9. Serokan larva
12000
0
12000
10800
0
10800
10. TK Tukang
1000000
0
1000000
881500
0
881500
10. TK Tukang
1000000
0
1000000
894300
0
894300
118
Lampiran 14. Lanjutan 11. Penyusutan Peralatan a. Akuarium
11. Penyusutan Peralatan 1700000
0
1700000
1530000
0
1530000
a. Akuarium
1700000
0
1700000
1530000
0
1530000
b. Blower
91200
148800
240000
82080
133920
216000
b. Blower
91200
148800
240000
82080
133920
216000
c. Selang
8633
1367
10000
7769,7
1230,3
9000
c. Selang
13812,8
2187,2
16000
12431,52
1968,48
14400
e. Genset
425000
75000
500000
382500
67500
450000
e. Genset
425000
75000
500000
382500
67500
450000
f. Hi Blow
136800
223200
360000
123120
200880
324000
f. Hi Blow
136800
223200
360000
123120
200880
324000
g. Rak Kayu
600000
0
600000
540000
0
540000
g. Rak Kayu
600000
0
600000
540000
0
540000
h. Kompor
50000
0
50000
45000
0
45000
h. Kompor
50000
0
50000
45000
0
45000
i. Terpal
1500000
0
1500000
1350000
0
1350000
i. Terpal
1500000
0
1500000
1350000
0
1350000
j. Jet Pam
456000
744000
1200000
410400
669600
1080000
j. Jet Pam
456000
744000
1200000
410400
669600
1080000
1. Garam
1650000
0
1650000
1230179,7
0
1230179,7
2. Penyusutan Ember
160000
0
160000
144000
0
144000
8000
0
8000
7200
0
7200
Penetasan Artemia
Penetasan Artemia
1. Garam
1650000
0
1650000
1017378,5
0
1017378,5
2. Penyusutan Ember
160000
0
160000
144000
0
144000
Pemanenan Larva 1. Serokan
Pemanenan Larva 6000
0
6000
5400
0
5400
1. Serokan
2.. Penyusutan Peralatan
2.. Penyusutan Peralatan
a. Tabung gas
240000
0
240000
216000
0
216000
a. Tabung gas
240000
0
240000
216000
0
216000
b. Baskom
100000
0
100000
90000
0
90000
b. Baskom
100000
0
100000
90000
0
90000
c. Fiber
300000
0
300000
270000
0
270000
c. Fiber
300000
0
300000
270000
0
270000
BIAYA OPERASIONAL
C.
BIAYA OPERASIONAL
1. Telepon
900000
0
900000
900000
0
900000
1. Telepon
900000
0
900000
900000
0
900000
2. Listrik
8400000
0
8400000
8400000
0
8400000
2. Listrik
8400000
0
8400000
8400000
0
8400000
3. Sewa Rumah + lahan
4250000
0
4250000
4250000
0
4250000
3. Sewa Rumah + lahan
4250000
0
4250000
4250000
0
4250000
BUNGA MODAL
4104720
0
4104720
9437635,3
0
9437635,3
BUNGA MODAL
4140120
0
4140120
5243948,6
0
5243948,6
7820000
0
7820000
7820000
0
7820000
24426140
102458120
77608279
22158616
99766894
BIAYA TATANIAGA penanganan TOTAL
C. 7020000
0
7020000
7020000
0
7020000
77127710
23899010
101026720
84350492
23331944
107682436
Sumber : Pengolahan Data (2010)
BIAYA TATANIAGA penanganan TOTAL
78031980
117
Lampiran 14. Struktur Biaya Finansial dan Ekonomi Deddy Fish Farm (Rp) ANALISIS FINANSIAL 2008 Keterangan A.
Domestik
Asing
Domestik
Asing
Keterangan A.
Domestik
Asing
Total
ANALISIS EKONOMI 2009 Domestik
Asing
Total
PENERIMAAN OUTPUT
Benih Ikan Patin (3/4")
60937500
96037500
Benih Ikan Patin (3/4")
53625000
91162500
Benih Ikan Patin (1")
75562500
115537500
Benih Ikan Patin (1")
73125000
110662500
Larva
30000000
30000000
Larva
30000000
30000000
166500000
241575000
156750000
231825000
PENGELUARAN
TOTAL B.
PENGELUARAN
BIAYA PRODUKSI
BIAYA PRODUKSI
Biaya Pemeliharaan Induk
Biaya Pemeliharaan Induk
1. Pelet
334400
4065600
4400000
300960
3659040
3960000
2. Penyusutan a. Jaring Induk b. Induk 3. TK Tetap
1. Ovaprim 2. Alat Suntik 3. Tenaga Kerja
120000
0
120000
108000
0
804100 12000000
108000
a. Jaring Induk
55900
860000
370680,75
0
12000000
10578000
25769,25
396450
b. Induk
0
10578000
2. Cacing Tubifex
342000
4158000
4500000
307800
3742200
4050000
120000
0
120000
108000
0
108000
3. TK Tetap
804100
55900
860000
370680,75
25769,25
396450
12000000
0
12000000
10731600
0
10731600
1580000
2420000
4000000
1422000
2178000
3600000
Biaya Penyuntikan 1580000
2420000
4000000
1422000
2178000
3600000
6768
9232
16000
6091,2
8308,8
14400
2. Alat Suntik
10152
13848
24000
9136,8
12463,2
21600
200000
0
200000
176300
0
176300
3. Tenaga Kerja
200000
0
200000
178860
0
178860
752400
9147600
9900000
603285,414
7334681
7937965,98
Pemeliharaan Larva 1. Artemia
1. Pelet 2. Penyusutan
Biaya Penyuntikan
ANALISIS FINANSIAL 2009
Total
PENERIMAAN OUTPUT
TOTAL B.
Total
ANALISIS EKONOMI 2008
1. Ovaprim
Pemeliharaan Larva 752400
9147600
9900000
568730,97
6914571,3
7483302,24
1. Artemia
24500000
0
24500000
24500000
0
24500000
2. Cacing Tubifex
24500000
0
24500000
24500000
0
24500000
3. Pelet
380000
4620000
5000000
342000
4158000
4500000
3. Pelet
410400
4989600
5400000
369360
4490640
4860000
4. Minyak Tanah
1785300
964700
2750000
7141200
3858800
11000000
4. Minyak Tanah
1785300
964700
2750000
3607734,24
1949466
5557200
5. Bensin
421980
228020
650000
703778,24
380291,76
1084070
5. Bensin
379782
205218
585000
372439,548
201250,5
573690
6. Blitz ICH
746550
1143450
1890000
671895
1029105
1701000
6. Blitz ICH
799875
1225125
2025000
719887,5
1102613
1822500
7. Batu Aerasi
353600
46400
400000
318240
41760
360000
7. Batu Aerasi
353600
46400
400000
318240
41760
360000
8. Corong
36258,6
5741,4
42000
32632,74
5167,26
37800
8. Corong
41438,4
6561,6
48000
37294,56
5905,44
43200
9. Serokan larva
8000
0
8000
7200
0
7200
9. Serokan larva
12000
0
12000
10800
0
10800
10. TK Tukang
1000000
0
1000000
881500
0
881500
10. TK Tukang
1000000
0
1000000
894300
0
894300
118
Lampiran 14. Lanjutan 11. Penyusutan Peralatan a. Akuarium
11. Penyusutan Peralatan 1700000
0
1700000
1530000
0
1530000
a. Akuarium
1700000
0
1700000
1530000
0
1530000
b. Blower
91200
148800
240000
82080
133920
216000
b. Blower
91200
148800
240000
82080
133920
216000
c. Selang
8633
1367
10000
7769,7
1230,3
9000
c. Selang
13812,8
2187,2
16000
12431,52
1968,48
14400
e. Genset
425000
75000
500000
382500
67500
450000
e. Genset
425000
75000
500000
382500
67500
450000
f. Hi Blow
136800
223200
360000
123120
200880
324000
f. Hi Blow
136800
223200
360000
123120
200880
324000
g. Rak Kayu
600000
0
600000
540000
0
540000
g. Rak Kayu
600000
0
600000
540000
0
540000
h. Kompor
50000
0
50000
45000
0
45000
h. Kompor
50000
0
50000
45000
0
45000
i. Terpal
1500000
0
1500000
1350000
0
1350000
i. Terpal
1500000
0
1500000
1350000
0
1350000
j. Jet Pam
456000
744000
1200000
410400
669600
1080000
j. Jet Pam
456000
744000
1200000
410400
669600
1080000
1. Garam
1650000
0
1650000
1230179,7
0
1230179,7
2. Penyusutan Ember
160000
0
160000
144000
0
144000
8000
0
8000
7200
0
7200
Penetasan Artemia
Penetasan Artemia
1. Garam
1650000
0
1650000
1017378,5
0
1017378,5
2. Penyusutan Ember
160000
0
160000
144000
0
144000
Pemanenan Larva 1. Serokan
Pemanenan Larva 6000
0
6000
5400
0
5400
1. Serokan
2.. Penyusutan Peralatan
2.. Penyusutan Peralatan
a. Tabung gas
240000
0
240000
216000
0
216000
a. Tabung gas
240000
0
240000
216000
0
216000
b. Baskom
100000
0
100000
90000
0
90000
b. Baskom
100000
0
100000
90000
0
90000
c. Fiber
300000
0
300000
270000
0
270000
c. Fiber
300000
0
300000
270000
0
270000
BIAYA OPERASIONAL
C.
BIAYA OPERASIONAL
1. Telepon
900000
0
900000
900000
0
900000
1. Telepon
900000
0
900000
900000
0
900000
2. Listrik
8400000
0
8400000
8400000
0
8400000
2. Listrik
8400000
0
8400000
8400000
0
8400000
3. Sewa Rumah + lahan
4250000
0
4250000
4250000
0
4250000
3. Sewa Rumah + lahan
4250000
0
4250000
4250000
0
4250000
BUNGA MODAL
4104720
0
4104720
9437635,3
0
9437635,3
BUNGA MODAL
4140120
0
4140120
5243948,6
0
5243948,6
7820000
0
7820000
7820000
0
7820000
24426140
102458120
77608279
22158616
99766894
BIAYA TATANIAGA penanganan TOTAL
C. 7020000
0
7020000
7020000
0
7020000
77127710
23899010
101026720
84350492
23331944
107682436
Sumber : Pengolahan Data (2010)
BIAYA TATANIAGA penanganan TOTAL
78031980
Lampiran 15. Perhitungan Harga Sosial (Paritas Impor) Induk Patin Fob Vietnam ($/ton) freight & Insurance ($/ton) Cif Indonesia ($/ton) Nilai Tukar (Rp/$) Premium Nilai tukar Nilai tukar keseimbangan (Rp/$) Cif Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/ton) Faktor konversi berat (kg/ton) Cif Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/kg) Biaya transportasi ke pedagang besar (Rp/kg) Biaya distribusi di tingkat petani (Rp/kg) Harga paritas di tingkat petani (rp/kg)
830 87,565 917,565 9.771,67 0,996 9.806,17 8.997.798,376 1.000 8.997,798 1,65 250 9.249,448
Sumber : Pengolahan Data (2010) Lampiran 16. Perhitungan Harga Sosial (Paritas Impor) Artemia Tahun 2008 Fob Cina ($/ton) freight & Insurance ($/ton) Cif Indonesia ($/ton) Nilai Tukar (Rp/$) Premium Nilai tukar Nilai tukar keseimbangan (Rp/$) Cif Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/ton) Faktor konversi berat (kg/ton) Cif Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/kg) Biaya transportasi ke pedagang besar (Rp/kg) Biaya distribusi di tingkat petani (Rp/kg) Harga paritas di tingkat petani (Rp/kg)
54.117,62 5.709,409 59.827,03 9.771,67 0,996 9.806,17 586.674.016,1 1.000 586.674,016 1,65 250 586.925,666
Sumber : Pengolahan Data (2010) Lampiran 17. Perhitungan Harga Sosial (Paritas Impor) Artemia Tahun 2009 Fob Cina ($/ton) freight & Insurance ($/ton) Cif Indonesia ($/ton) Nilai Tukar (Rp/$) Premium Nilai tukar Nilai tukar keseimbangan (Rp/$) Cif Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/ton) Faktor konversi berat (kg/ton) Cif Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/kg) Biaya transportasi ke pedagang besar (Rp/kg) Biaya distribusi di tingkat petani (Rp/kg) Harga paritas di tingkat petani (Rp/kg)
54.117,62 5.709,409 59.827,03 10.356,17 0,996 10.402,22 622.333.916,7 1.000 622.333,917 1,65 250 622.585,567
Sumber : Pengolahan Data (2010)
119
Lampiran 18. Perhitungan Harga Sosial (Paritas Impor) Garam Tahun 2008 Fob ($/ton) freight & Insurance ($/ton) Cif Indonesia ($/ton) Nilai Tukar (Rp/$) Premium Nilai tukar Nilai tukar keseimbangan (Rp/$) Cif Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/ton) Faktor konversi berat (kg/ton) Cif Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/kg) Biaya transportasi ke pedagang besar (Rp/kg) Biaya distribusi di tingkat petani (Rp/kg) Harga paritas di tingkat petani (Rp/kg)
43,11 6,681 49,79 9.771,67 0,996 9.806,17 488.261,643 1.000 488,262 1,65 250 739,912
Sumber : Pengolahan Data (2010) Lampiran 19. Perhitungan Harga Sosial (Paritas Impor) Garam Tahun 2009 Fob ($/ton) freight & Insurance ($/ton) Cif Indonesia ($/ton) Nilai Tukar (Rp/$) Premium Nilai tukar Nilai tukar keseimbangan (Rp/$) Cif Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/ton) Faktor konversi berat (kg/ton) Cif Indonesia dalam mata uang domestik (Rp/kg) Biaya transportasi ke pedagang besar (Rp/kg) Biaya distribusi di tingkat petani (Rp/kg) Harga paritas di tingkat petani (Rp/kg)
53,52 8,296237905 61,82 10.356,17 0,996 10.402,22 643.026,106 1.000 643,026 1,65 250 894,676
Sumber : Pengolahan Data (2010)
120
Lampiran 20. Gambar Kegiatan Usaha Pembenihan Ikan Patin DFF
a.
c.
e.
Kolam Induk
b.
Pengecekan Kematangan Induk
Penyuntikan Induk Betina
d.
Pengambilan Benih
Memindahkan Benih
f.
Penghitungan Benih
121
Lampiran 20. Lanjutan
g.
i.
Benih yang Sudah Dihitung
Pemberian Oksigen untuk Benih
k.
Induk Ikan Patin
h.
Memasukkan Benih ke Plastik
j.
Artemia Kultur
l.
Benih Ikan Patin
Sumber : Survey Lapangan (2009)
122