4
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Ganggang Merah (Rhodophyta) Ganggang merah memiliki struktur tubuh berupa talus. Struktur talus bervariasi pada ukuran dan kompleksitas. Anggota Bangiophycidae memiliki talus uniseluler,
koloni,
filamen terbuka,
atau
agregasi
filamen.
Sedangkan
Florideophycidae memiliki talus berbentuk filamen tunggal atau penyatuan filamen membentuk struktur
menyerupai jaringan parenkim dengan berbagai
variasi ketebalan, lebar, susunan, dan percabangan (Sze 1993; Coomans & Hommersand 1995; Castro & Hubner 2005). Talus berbentuk silindris atau pita dengan percabangan menyirip, menggarpu, berhadapan, atau berselang-seling (Tjitrosoepomo 1994; Trono & Ganzon-Fortes 1988). Tekstur talus berdaging, halus, kenyal seperti tulang rawan (kartilaginous), dan keras berkapur (coralinous) (Trono & Ganzon-Fortes 1988). Ukuran talus bergantung pada distribusi geografi, talus di daerah beriklim sedang berukuran lebih besar daripada di daerah tropis (Dawson 1966). Beberapa jenis ganggang merah mempunyai struktur talus seperti lembaran (blade) yang ukurannya 1-2 meter (Castro & Hubner 2005; Rohmimuhtarto & Juwana 2001). Banyak jenis ganggang merah membentuk talus lebih kompak dan berukuran lebih besar yang dihasilkan dari perlekatan (agregasi) beberapa filamen menghasilkan struktur pseudoparenkim. Beberapa filamen dilekatkan oleh lendir dengan tingkat penyatuan filamen yang bervariasi (Bold & Wynne 1985). Akan tetapi struktur ini memiliki kelemahan pada kontak sitoplasmik antar sel (Darley 1982; Loban & Harrison 1997). Ganggang merah melekat pada substrat dengan berbagai tipe alat pelekat yang disebut holdfast. Alat pelekat dapat berupa rizoid bersel tunggal atau multiseluler, stolon, tendril, atau alat pelekat seperti mencakram (Bold & Wynne 1985). Perbedaan bentuk alat pelekat merupakan adaptasi terhadap substrat dan perbedaan tingkat pengaruh faktor lingkungan (Trono & Ganzon-Fortes 1988). Ganggang merah memiliki pigmen asesoris yang disebut fikobilin yang terdiri dari fikoeritrin dan fikosianin. Fikoeritrin merupakan pigmen asesoris
5
dominan yang berperan dalam memberikan warna merah pada ganggang ini. Pigmen lain yang terdapat pada sel ganggang merah adalah klorofil a dan d, karoten, lutein, dan zeaxanthin (Trono & Ganzon-Fortes 1988). Ganggang merah tidak memperlihatkan warna merah semua tetapi memperlihatkan warna ungu, kecoklatan, hitam, kuning, dan kehijauan. Variasi warna tersebut terjadi karena fotoreduksi. Jenis yang sama pada suatu populasi dapat memperlihatkan variasi pigmentasi (Bold & Wynne 1985). Pada zona subtidal ganggang merah memperlihatkan warna merah muda-merah karena pigmen fikoeritrin dominan (Dawson 1966).
Reproduksi Ganggang Merah Reproduksi ganggang merah terjadi secara seksual (oogami) dan aseksual (dengan spora). Reproduksi seksual melibatkan sel kelamin jantan yang disebut spermatia dan sel khusus betina yang disebut karpogonia. Spermatia berbentuk bola atau oblong, tidak berflagela dan dihasilkan pada struktur reproduksi jantan yang disebut spermatangia. Spermatangia dihasilkan dalam jumlah besar pada sel korteks atau pada branchlet khusus. Pada Gelidiales, spermatangia terbentuk dalam sori pada bagian apikal talus jantan. Spermatangia pada Polysiphonia terbentuk pada trikoblast, sedangkan pada Coralinaceae terbentuk
pada
konseptakel (Hommersand & Fredericq 1995). Karpogonium dicirikan oleh suatu sel memanjang, relatif membesar pada bagian basal dan memanjang secara distal yang disebut trikogin (Bold & Wynne 1985). Pada sebagian besar ganggang merah karpogonium pendek, sering bercabang-cabang, bersel lateral 3-4, dan secara keseluruhan disebut cabang karpogonial (Lee 1989). Pada Florideophycidae karpogonium berada pada suatu filamen lateral atau terminal yang biasanya berisi sejumlah sel yang spesifik yang disebut filamen karpogonial atau cabang karpogonial (Hommersand & Fredericq 1995) Dari proses fertilisasi karpogonium, baik secara langsung maupun tidak langsung terbentuk suatu tahapan generasi yang disebut karposporofit. Generasi ini berukuran kecil dan mendapatkan nutrisi dari gametofit betina. Suatu ciri khas pada ganggang merah adalah bahwa zigot tetap dipertahankan pada gametofit
6
betina
dan
serangkaian
proses
setelah
terjadi
fertilisasi
menghasilkan
karposporofit (Darley 1982; Bold & Wynne 1985). Pada gametofit betina perkembangan zigot lebih lanjut menghasilkan pembentukan struktur yang disebut sistokarp. Sistokarp terdiri dari karposporofit yang dibungkus oleh jaringan dari gametofit betina yang termodifikasi sebagai pelindung atau pendukung karposporofit (Bold & Wynne 1985; Trono & GanzonFortes 1988; Hommersand & Fredericq 1995). Pada karposporofit terdapat filamen gonimoblast yang mendukung karposporangia, filamen ini berkembang dari karpogonia setelah fertilisasi atau dari sel auxiliary (Hommersand & Fredericq 1995 ). Sistokarp berukuran makroskopis misalnya pada Gracilaria, Eucheuma, Hypnea, dan Gigartina, atau mikroskopis misalnya pada Gelidium (Kadi & Atmadja 1988). Pada talus yang besar sistokarp terlihat berupa bintikbintik gelap dengan diameter 1-2 mm, tertanam dalam talus atau berupa bintil kecil (papila) pada permukaan talus. Pada banyak ganggang merah dan ganggang coklat yang sudah maju, sel reproduktif dapat membentuk struktur reproduktif yang berbeda.
Struktur
reproduktif dapat tersebar atau mengelompok membentuk bagian fertil pada permukaan talus yang disebut sori atau berupa struktur yang berbentuk seperti bantalan kecil pada permukaan talus yang disebut nematecium. Struktur reproduktif dapat juga terdapat pada suatu lubang atau lekukan talus pada suatu cabang khusus disebut konseptakel. Pada beberapa jenis ganggang merah suatu bagian percabangan dapat berubah menjadi struktur fertil yang disebut stichidium (Trono & Ganzon-Fortes 1988). Tetrasporangia ditemukan pada semua famili dari Florideophycidae. Tetraspora umumnya berwarna lebih gelap atau lebih merah kebiruan dibandingkan sel lain di sekitarnya, menjadi indikasi untuk mengetahui organ reproduksi tersebut. Sporangia mengalami 2 atau 3 pembelahan dengan pola pembelahan zonate, tetrahedral, dan cruciate (Bold & Wynne 1985; Guiry 1995) (Gambar 1). Tetrasporangia dengan tipe cruciate ditemukan pada Galaxauraceae, Gelidiaceae, Gracilariaceae, Gigartinaceae, dan Halymeniaceae. Tetrasporangia tipe zonate ditemukan pada Corallinaceae, Hypneaceae, Furcellariaceae, dan Sarcodiaceae.
Sedangkan
pembelahan
tetrahedral
ditemukan
pada
7
Rhodymeniales dan Ceramiales (Guiry 1995). Pada Eucheuma spinosum dan Gracilaria edulis tetrasporangia tersebar pada korteks dan dapat dilihat melalui sayatan
talus,
sedangkan
pada
Pterocladia
capilacea
tetrasporangia
mengelompok di dekat ujung percabangan talus (Atmadja 1989).
Gambar 1 Pola pembelahan pada tetrasporangia (a) cruciate, (b) zonate, (c) tetrahedral (Bold & Wynne 1985) Spermatangia, sistokarp, dan tetrasporangia pada ganggang merah berbeda pada letak dan kenampakannya bergantung pada jenisnya. Pada Gracilaria spermatangia tersusun dalam sori pada konseptakel dangkal. Sistokarp hemisferikal atau bulat, tetrasporangia terletak di bagian bawah lapisan permukaan talus (Gambar 2). Pada Laurencia, spermatangia terdapat pada stichidia yang terletak pada branchlet, sistokarp terlihat mencolok, duduk, dan bergerombol pada branchlet, sedangkan tetrasporangia berbentuk tetrahedral atau oval dan terletak pada branchlet (Reine & Trono 2002).
(c)
(a)
(b)
Gambar 2 Struktur reproduksi pada Gracilaria: (a-b) (c) tetrasporangia (d) sistokarp (Reine & Trono 2002)
(d)
spermatangia,
8
Pada Hypnea, spermatangia terletak di sekitar bagian basal dari branchlet dan membengkak secara tidak mencolok, sistokarp berbentuk hemisferikal, tunggal, atau berkelompok pada cabang talus atau pada branchlet, tetrasporangia zonate, membentuk nematecia pada bagian yang membengkak pada branchlet lateral. Pada Gelidium, spermatangia membentuk bagian kecil pada percabangan talus dari gametofit jantan, sistokarp berupa pembengkakan pada bagian apikal atau dekat apikal branchlet, tetrasporangia cruciate dalam sori pada lapisan korteks dari tetrasporofit (Reine & Trono 2002). Spermatangia pada Eucheuma spinosum dan Gracilaria edulis terletak pada korteks dan membentuk tonjolan pada permukaan talus, sedangkan pada Pterocladia capilacea terletak pada percabangan. Sistokarp tersebar pada permukaan talus Gracilaria edulis dan membentuk pembengkakan pada talus. Pada Pterocladia capilacea sistokarp berupa benjolan dengan lubang kecil (ostiole) pada permukaan talus. Pada Eucheuma spinosum sistokarp membentuk wadah khusus yang terbentuk dari jaringan talus (Atmadja 1989). Ganggang merah memiliki siklus hidup diplobiontik dan memperlihatkan tiga fase pergantian generasi dalam siklus hidupnya yaitu karposporofit, gametofit, dan tetrasporofit (Kadi & Atmadj 1988; Bold & Wynne 1985). Generasi gametofit dan tetrasporofit dapat memiliki struktur yang mirip (isomorfik) atau berbeda (heteromorfik). Siklus hidup heteromorfik misalnya terdapat pada anggota Bangiales dan sebagian Nemaliales. Sedangkan siklus hidup
isomorfik
terdapat
pada
Kalymeniaceae,
Coralinaceae (Bold & Wynne 1985).
Cryptonemiaceae,
dan
Karposporofit bersifat diploid dan
berkembang dari zigot pada gametofit betina. Karposporofit menghasilkan karpospora
yang
akan
berkembang
menjadi
tetrasporofit.
Tetrasporofit
menghasilkan tetraspora yang berkembang menjadi gametofit (Sze 1993). Reproduksi vegetatif pada ganggang merah dapat terjadi melalui fragmentasi talus (Trono & Ganzon-Fortes 1988). Morfogenesis dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan antara lain cahaya, nutrien, dan herbivora. Kualitas cahaya dapat memberi pengaruh pada pola percabangan dan pemanjangan talus (Loban & Harrison 1997).
9
Habitat dan Persebaran Ganggang Merah Ganggang merah mempunyai persebaran geografi yang luas. Kelompok ganggang ini cenderung lebih melimpah di perairan tropik dan subtropik daripada di daerah beriklim sedang, dengan rasio jumlah ganggang merah terhadap ganggang coklat mencapai 4.3 di daerah tropis. Perairan pantai tropik mempunyai kekayaan jenis ganggang merah yang tinggi, sekitar 600-800 jenis ganggang merah dari 200-300 marga ganggang. Beberapa marga mempunyai jumlah jenis yang banyak antara lain Gelidium, Pterocladia, Galaxaura, Liagora, Halymenia, Jania, Amphiroa, dan Laurencia (Luning 1990) . Ganggang merah menempati berbagai tipe habitat mulai dari zona litoral sampai pada kedalaman dengan batas cahaya terendah. Di perairan tropik umumnya terdapat pada zona sublitoral dimana cahaya sangat kurang (Romimohtarto & Juwana 2001; Tjitrosoepomo 1994). Ganggang merah sering lebih melimpah dibandingkan dengan ganggang hijau atau ganggang coklat pada perairan yang lebih dalam (Darley 1982). Jenis-jenis yang menempati zona litoral antara lain dari marga Bostrichia, Jania, Gelidiella, Gelidium, Galaxaura, Laurencia, Hypnea, dan Gracilaria. Sedangkan zona sublitoral ditempati oleh jenis-jenis dari marga Eucheuma, Martensia, Lithothamnion, Mesophyllum dan Porolithon (Luning 1990). Ganggang merah menempel pada berbagai tipe substrat antara lain pada batuan pantai, karang mati, rataan terumbu, substrat berpasir, menempel pada ganggang lain, atau menempel pada tubuh hewan (Romimohtarto & Juwana 2001; Kain & Norton 1995). Sebagian besar ganggang merah tumbuh pada pantai berkarang. Pantai berlumpur umumnya tidak dapat ditempati oleh ganggang merah kecuali beberapa jenis Gracilaria, Bostrichia, dan Catenella yang dapat tumbuh sebagai epifit (Kain & Norton 1995). Pertumbuhan dan persebaran ganggang merah dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan antara lain cahaya, pasang surut, substrat, ombak, suhu, salinitas, unsur hara, musim, kompetisi, dan herbivori (Sze 1993; Kain & Norton 1995; Kadi & Atmadja 1988). Suhu merupakan faktor penting yang menentukan distribusi geografi ganggang. Ganggang tropik mempunyai toleransi terhadap suhu lebih tinggi daripada ganggang di daerah beriklim sedang (Kain & Norton
10
1995; Bird & Benson 1987). Salinitas, unsur hara, cahaya, pasang surut, dan ombak mempengaruhi distribusi lokal ganggang (Sze 1993). Sebagian ganggang merah dapat mendeposit kalsium karbonat (CaCO3) dengan bentuk talus beragam (Castro & Hubner 2005). Ganggang merah yang mengakumulasi kapur tumbuh pada substrat padat pada zona intertidal dan subtidal dan mencapai kepadatan maksimum pada area yang lebih dangkal dan secara fisik terganggu (Loban & Harrison 1997). Ganggang merah yang mengakumulasi kapur (coralin) memiliki talus mengeras, ganggang ini banyak terdapat pada terumbu karang (Romimohtarto & Juwana 2001). Kelompok ganggang merah yang mendeposit kapur termasuk dalam ordo Coralinales dan beberapa anggota Nemaliales.
Pemanfaatan Ganggang Merah Ganggang merah merupakan kelompok ganggang yang mempunyai nilai ekonomi penting. Ganggang ini banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan, obat, dan material penting dalam industri makanan, kosmetik, dan obat-obatan. Di Indonesia pemanfaatan ganggang merah untuk industri dimulai dari industri agaragar yang dihasilkan dari Gelidium, Gelidiella, dan Gracilaria, sedangkan untuk industri karagenan dihasilkan dari Eucheuma (Sulistijo 1996). Untuk memenuhi permintaan produk dari ganggang merah yang semakin meningkat pemakaiannya oleh dunia industri maka pemanfaatan potensi sumberdaya ganggang merah memerlukan perkembangan yang berkelanjutan dan lestari. Ganggang merah yang dikembangkan di Indonesia antara lain Gelidium, Gelidiela, Gracilaria, Eucheuma, dan Hypnea (Atmadja 1996). Pemanfaatan ganggang merah secara tradisional terutama digunakan sebagai bahan pangan seperti sayur, manisan, campuran es, kue, dan obat. Beberapa jenis ganggang merah yang sudah dimanfaatkan secara tradisional di Indonesia antara lain dari marga Porphyra, Acanthophora, Catenella, Eucheuma, Gelidium, dan Gracilaria (Nontji 2007). Kandungan kimia dari ganggang merah yang bermanfaat antara lain karagenan, agar, mineral, protein, dan vitamin. Agar merupakan campuran kompleks polisakarida yang dihasilkan oleh ganggang merah yang dikenal sebagai agarofit, sebagian besar dihasilkan dari anggota Gracilariales dan
11
Gelidiales (Reine & Trono 2002). Agar adalah campuran kompleks polisakarida 1,3-α-1,4 β galaktan yang tersusun atas polimer agarosa dan agaropektin. Agar larut dalam air panas dan dapat membentuk gel pada konsentrasi rendah sampai 0.04% (Angka & Suhartono 2000). Agar memiliki kekuatan gel lebih tinggi daripada karagenan (Rasyid 2004). Agar banyak dipakai dalam industri makanan, farmasi, kosmetik, dan sebagai media tumbuh bakteri (Soreano & Bourret 2003). Pada industri makanan agar dipakai sebagai food aditif, pencegah dehidrasi makanan, agen pengental, dan pengontrol viskositas (Trono & Ganzon-Fortes 1988). Karagenan merupakan senyawa hidrokoloid yang terbentuk pada dinding sel ganggang merah. Senyawa ini adalah polisakarida linear yang tersusun atas unit-unit galaktosa dan anhidrogalaktosa dengan ikatan glikosidik alfa 1,3 dan beta 1,4 secara bergantian dengan variasi dalam jumlah dan posisi sulfat (Angka & Suhartono 2000). Beberapa marga yang menghasilkan karagenan antara lain Achanthopora, Eucheuma, Hypnea, Kappapycus, Chondrus, dan Gigartina (Reine & Trono 2002; Anggadireja et al. 2008). Ada
empat tipe karagenan yaitu
karagenan kappa, karagenan iota, karagenan lamda, dan karagenan beta . Sifat unik dari karagenan ádalah viskositas tinggi dan membentuk gel yang termoreversibel. Karagenan digunakan sebagai pemantap, pengental, pensuspensi, dan pembentuk gel pada makanan. Karagenan juga digunakan pada produk bukan pangan seperti pasta gigi, kosmetik, cat, dan pewarna tekstil (Angka & Suhartono 2000; Reine & Trono 2002)