4
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Asal dan Botani Tanaman Ubikayu Ubikayu berasal dari Brasilia. Ilmuwan yang pertama kali melaporkan hal
ini adalah Johann Baptist Emanuel Pohl, seorang ahli botani asal Austria pada tahun 1827 (Allem, 2002).
Menurut Allem (2002), asal tanaman ubikayu
menyangkut tiga hal, yaitu asal botani (botanical origin), asal geografis (geographical origin) dan asal budidaya (agricultural origin). Asal botani misalnya menyangkut jenis liar tumbuhan ubikayu yang menurunkan tanaman ubikayu yang sekarang dikenal. Asal geografis menyangkut tempat dimana nenek moyang ubikayu berkembang di masa lalu, sedangkan asal budidaya berhubungan dengan tempat dimana budidaya awal tanaman ini dilakukan
oleh
orang-orang
Indian
Amerika
(Amerindian).
Dari
hasil
penelitiannya yang juga didukung hasil penelitian banyak peneliti lain, Allem (2002) menyimpulkan bahwa ubikayu berasal dari jenis liar tumbuhan Manihot flabelifolia. Nenek moyang ubikayu ini selanjutnya diduga berkembang di daerah padang rumput (sabana) Cerrado. Setelah itu domestikasi terjadi di sebagian daerah Amazon, yaitu di hutan-hutan. Lathrap (1970) dalam Allem (2002) memperkirakan bahwa domestikasi dimulai sekitar 5000 – 7000 tahun sebelum Masehi. Perkiraan ini diperkuat dengan temuan-temuan arkeologis di Amazon (Gibbons, 1990 dalam Allem, 2002). Ketika orang-orang Eropa pertama kali tiba di Dunia Baru, tanaman ini telah dibudidayakan di semua daerah tropis Amerika (Pattino, 1964 dalam Allem, 2002). Tanaman ini selanjutnya menyebar ke berbagai penjuru dunia, terutama negara-negara di Asia dan Afrika. Tanaman ubikayu mencapai Afrika sekitar akhir pertengahan abad ke 16 (Ekanayake et al., 1997), sedangkan masuk ke Indonesia kurang jelas tepatnya tahun berapa. Menurut Rumphius, pada abad ke 17 di Maluku telah terdapat tanaman ubikayu, sedangkan Junghuhn berpendapat bahwa sampai tahun 1838 penduduk Indonesia belum mengenal ubikayu sebagai bahan makanan walaupun tumbuhan itu sudah ada di Indonesia.
5
Upaya penanaman ubikayu di Jawa mulai berhasil setelah didatangkan stek dari Paramaribo pada tahun 1858 (Darjanto dan Murjati 1980). Dalam sistematika tumbuhan, ubikayu termasuk ke dalam kelas Dicotyledoneae. Ubikayu berada dalam famili Euphorbiaceae yang mempunyai sekitar 7.200 spesies, beberapa diantaranya adalah tanaman yang mempunyai nilai komersial, seperti karet (Hevea brasiliensis), jarak (Ricinus comunis dan Jatropha curcas), umbiumbian (Manihot spp), dan tanaman hias (Euphorbia spp). Manihot esculenta Crantz mempunyai nama lain Manihot utilissima dan Manihot alpi. Semua Genus Manihot berasal dari Amerika Selatan. Brasilia merupakan pusat asal dan sekaligus sebagai pusat keragaman ubikayu. Manihot mempunyai 100 spesies yang telah diklasifikasikan dan mayoritas ditemukan di daerah yang relatif kering. Klasifikasi tanaman ubikayu adalah sebagai berikut : Kingdom
:
Plantae
Divisi
:
Spermatophyta
Sub divisi
:
Angiospermae
Kelas
:
Dicotyledoneae
Sub kelas
:
Arhichlamydeae
Ordo
:
Euphorbiales
Famili
:
Euphorbiaceae
Genus
:
Manihot
Spesies
:
Manihot utilissima Pohl; Manihot esculenta Crantz sin ;Manihot alpi.
Sejak tahun 1978 Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan telah melepas 10 varietas unggul ubikayu, namun hanya ada 4 varietas yang disarankan untuk digunakan sebagai bahan baku bioetanol, yaitu Adira-4, Malang-6, UJ-3, dan UJ-5. Keempat varietas tersebut merupakan varietas ubikayu pahit. Produksi varietas unggul ubikayu tersebut dapat mencapai 25 – 40 ton/ha dengan umur panen 8 sampai 10 bulan. Disamping itu, di Jawa Barat juga ada yang mengembangkan budidaya ubikayu raksasa yang dikenal dengan nama Darul Hidayah dengan tingkat produktivitas 100 – 150 ton/ha.
6
2.2.
Varietas Unggul Ubikayu Ubikayu dapat dimanfaatkan untuk keperluan pangan, pakan maupun
bahan dasar berbagai industri. Oleh karena itu pemilihan varietas ubikayu harus disesuaikan untuk peruntukannya. Di daerah dimana ubikayu dikonsumsi secara langsung untuk bahan pangan diperlukan varietas ubikayu yang rasanya enak dan pulen dan kandungan HCN rendah. Berdasarkan kandungan HCN ubikayu dibedakan menjadi ubikayu manis/tidak pahit, dengan kandungan HCN < 40 mg/kg umbi segar, dan ubikayu pahit dengan kadar HCN ≥ 50 mg/kg umbi segar. Kandungan HCN yang tinggi dapat menyebabkan keracunan bagi manusia maupun hewan, sehingga tidak dianjurkan untuk konsumsi segar. Untuk bahan tape (peuyem) para pengrajin suka umbi ubikayu yang tidak pahit, rasanya enak dan daging umbi berwarna kekuningan seperti varietas lokal Krentil, Mentega, atau Adira-1. Tetapi untuk industri pangan yang berbasis tepung atau pati ubikayu, diperlukan ubikayu yang umbinya berwarna putih dan mempunyai kadar bahan kering dan pati yang tinggi. Untuk keperluan industri tepung tapioka, umbi dengan kadar HCN tinggi tidak menjadi masalah karena bahan racun tersebut akan hilang selama pemrosesan menjadi tepung dan pati, misalnya UJ-3, UJ-5, MLG-4, MLG-6 atau Adira-4. Hingga tahun 2009, Departemen Pertanian secara resmi baru melepas 10 varietas unggul dan lima di antaranya sesuai untuk pangan (Tabel 1).
7
Tabel 1. Varietas unggul ubikayu yang sesuai untuk pangan beserta karakteristiknya Karakteristik Umur (bln)
Hasil umbi (Ton/ha)
1978
7-10
22
Kadar pati (% bb) 45*
Malang 1
1992
9-10
36,5
32-36*
< 40,0
Malang 2
1992
8-10
31,5
32-36*
< 40,0
Darul Hidayah
1998
8-12
102,1
25-31
< 40,0
Varietas
Tahun dilepas
Adira 1
Kadar HCN (mg/kg) 27,5
Keterangan - Tidak pahit - Sesuai untuk pangan - Agak tahan tungau merah (Tetranichus bimaculatus) - Tahan bakteri hawar daun, penyakit layu Pseudomonas solanacearum, dan Xanthomonas manihotis - Tidak pahit - Sesuai untuk pangan - Toleran tungau merah (Tetranichus bimaculatus) - Toleran bercak daun (Cercospora sp.) -Adaptasi cukup luas - Tidak pahit - Sesuai untuk pangan - Agak peka tungau merah (Tetranichus bimaculatus) - Toleran penyakit bercak daun (Cercospora sp.) - Tidak pahit - Sesuai untuk pangan - Agak peka tungau merah (Tetranichus sp.) - Agak peka busuk jamur (Fusarium sp.)
Sumber : Balai Penelitian Tanaman Kacang Kacangan dan Umbi Umbian Malang, 2010 Selain peruntukannya, pemilihan dan penerimaan suatu varietas ubikayu oleh petani dan pengguna lainnya juga ditentukan oleh umur tanaman, keragaan dan sifat ketahanannya terhadap gangguan hama dan penyakit tanaman. Pada umumnya petani sangat fanatik terhadap varietas lama maupun unggul lokal yang telah dikenal luas oleh masyarakat luas sehingga pasarnya jelas. Dari produk antara berupa tepung dan pati ubikayu dapat dikembangkan berbagai produk industri baik melalui proses dehidrasi, hidrolisis, maupun fermentasi. Sebagai bahan baku industri, jenis ubikayu yang memiliki potensi hasil tinggi, kadar bahan kering dan kadar pati tinggi, dianggap paling sesuai untuk bahan baku industri. Beberapa varietas unggul yang telah dilepas Pemerintah dan sesuai untuk bahan baku industri antara lain : Varietas Adhira-4, MLG-6, UJ-3, UJ-5, MLG-6 yang telah banyak ditanam petani di provinsi Jawa Timur dan Lampung (Tabel 2).
8
Secara umum, jenis ubikayu yang memiliki potensi hasil dan kadar pati tinggi, dianggap paling sesuai untuk bahan baku industri. Sebagai bahan baku industri, kadar HCN yang tinggi tidak menjadi masalah karena sebagian besar HCN akan hilang pada proses pencucian, pemanasan maupun pengeringan. Sifat fisik, seperti ukuran granula pati dan sifat kimia lainnya, seperti kadar amilosa/amilopektin yang berperan dalam proses gelatinisasi dan sifat amilografi, yang meliputi suhu dan waktu gelatinisasi serta viskositas puncak, belum banyak diteliti dalam kaitannya dengan produksi bioetanol. Pati dengan ukuran granula kecil dilaporkan memiliki daya serap air yang lebih baik dan lebih mudah dicerna oleh enzim (BIOTEC, 2003). Sementara rendemen glukosa yang dihasilkan, dipengaruhi oleh tinggi dan panjang rantai amilosa. Semakin panjang rantai amilosa akan dihasilkan rendemen gula yang semakin tinggi karena diduga berkaitan dengan kemudahan enzim α-amilase untuk memecah ikatan lurus 1,4 α glikosidik dibanding ikatan cabang 1,6 α glikosidik pada amilopektin (Richana et al., 2000). Pati dengan kadar amilosa tinggi lebih sesuai karena proporsi partikel pati tidak larutnya (insoluble starch particles) lebih rendah sehingga relatif lebih mudah dihidrolisis baik dengan asam maupun enzim. Oleh karena itu selain kadar pati, kadar gula total juga menentukan kesesuaiannya sebagai bahan baku etanol.
9
Tabel 2. Varietas unggul ubikayu yang sesuai untuk bahan baku industri beserta karakteristiknya Varietas
Tahun dilepas
Umur (bln)
Adira 2
1978
Adira 4
8-12
Hasil umbi (Ton/ha) 22
Kadar pati (% bb) 41
1978
10
35
20-22
UJ-3
2000
8-10
20-35
20-27
UJ-5
2000
9-10
25-38
19-30
Malang 4
2001
9
39,7
25-32
Malang 6
2001
9
36,4
25-32
Karakteristik Kadar HCN Keterangan (mg/kg) 124,0 - Pahit - Sesuai untuk bahan baku industri - Cukup tahan tungau merah (Tetranichus bimaculatus) Tahan penyakit layu Pseudomonas solanacearum 68,0 - Pahit - Sesuai untuk bahan baku industri - Cukup tahan tungau merah (Tetranichus bimaculatus) - Tahan terhadap Pseudomonas solanacearum dan Xanthomonas manihotis > 100,0 - Pahit- Sesuai untuk bahan baku industri- Agak tahan bakteri hawar daun (Cassava Bacterial Blight) > 100,0 - Pahit - Sesuai untuk bahan baku industri Agak tahan CBB (Cassava Bacterial Blight) > 100,0 - Pahit - Sesuai untuk bahan baku industri - Agak tahan tungau merah (Tetranichus sp.) -Adaptif terhadap hara sub-optimal > 100,0 - Pahit - Sesuai untuk bahan baku industri - Agak tahan tungau merah (Tetranichus sp.) -Adaptif terhadap hara sub-optimal
Sumber : Balai Penelitian Tanaman Kacang Kacangan dan Umbi Umbian Malang, 2010 2.3.
Teknik Budidaya dan Syarat Pertumbuhan Ubikayu Ubikayu merupakan salah satu tanaman pangan yang dapat tumbuh dan
berproduksi pada lingkungan dimana tanaman pangan yang lain seperti padi dan jagung tidak dapat tumbuh. Meskipun demikian, untuk dapat tumbuh, berkembang dan menghasilkan umbi dengan baik, ubikayu menghendaki kondisi lingkungan tertentu, baik kondisi lingkungan di atas permukaan tanah (iklim) maupun di bawah permukaan tanah.
2.3.1.
Iklim Ubikayu merupakan tanaman tropis. Wilayah pengembangan ubikayu
berada pada 30o LU dan 30o LS. Namun demikian, untuk dapat tumbuh, berkembang dan berproduksi, tanaman ubikayu menghendaki persyaratan iklim
10
tertentu. Tanaman ubikayu menghendaki suhu antara 18o-35
o
C. Pada suhu di
bawah 10 o C pertumbuhan tanaman ubikayu akan terhambat. Kelembaban udara yang dibutuhkan ubikayu adalah 65% (Suharno et al., 1999). Namun demikian, untuk berproduksi secara maksimum tanaman ubikayu membutuhkan kondisi tertentu, yaitu pada dataran rendah tropis, dengan ketinggian 150 m di atas permukaan laut (dpl), dengan suhu rata-rata antara 25-27
o
C, tetapi beberapa
varietas dapat tumbuh pada ketinggian di atas 1500 m dpl (Anonim, 2003). Tanaman ubikayu dapat tumbuh dengan baik apabila curah hujan cukup, tetapi tanaman ini juga dapat tumbuh pada curah hujan rendah (< 500 mm), ataupun tinggi (5000 mm). Curah hujan optimum untuk ubikayu berkisar antara 760- 1015 mm per tahun. Curah hujan terlalu tinggi mengakibatkan terjadinya serangan jamur dan bakteri pada batang, daun dan umbi apabila drainase kurang baik (Anonim, 2003; Suharno et al., 1999).
2.3.2.
Media Tanam Ubikayu dapat tumbuh di berbagai jenis tanah. Pada daerah di mana
jagung dan padi tumbuh kurang baik, ubikayu masih dapat tumbuh dengan baik dan mampu berproduksi tinggi apabila ditanam dan dipupuk tepat pada waktunya. Sebagian besar pertanaman ubikayu terdapat di daerah dengan jenis tanah Aluvial, Latosol, Podsolik dan sebagian kecil terdapat di daerah dengan jenis tanah Mediteran, Grumusol dan Andosol. Tingkat kemasaman tanah (pH) untuk tanaman ubikayu minimum 5. Tanaman ubikayu memerlukan struktur tanah yang gembur untuk pembentukan dan perkembangan umbi. Pada tanah yang berat, perlu ditambahkan pupuk organik (Wargiono, 1979). Untuk memperbaiki struktur tanah, menekan pertumbuhan gulma, dan menerapkan konservasi tanah untuk memperkecil peluang terjadinya erosi maka harus dilakukan pengolahan tanah. Pengolahan tanah berdasarkan jenis tanah dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : 1. Tanah ringan atau gembur : tanah cukup dibajak atau dicangkul satu kali, kemudian diratakan dan dapat langsung ditanami. 2. Tanah agak berat : tanah dibajak atau dicangkul 1-2 kali, kemudian diratakan dan dibuat bedengan atau guludan, untuk selanjutnya ditanami.
11
3. Tanah berat dan berair : tanah dibajak atau dicangkul sebanyak dua kali atau lebih, kemudian dibuat bedengan atau guludan sekaligus sebagai saluran drainase. Penanaman dilakukan di atas guludan (Wargiono, 1979). Pada lahan miring atau peka terhadap erosi, pengolahan tanah harus dikelola dengan sistem konservasi, yaitu : 1. Tanpa olah tanah. 2. Pengolahan tanah minimal adalah pengolahan tanah secara larik atau individual. Pengolahan tanah ini efektif untuk mengendalikan erosi, tetapi hasil ubikayu pada umumnya rendah. 3. Pengolahan tanah sempurna dengan sistem guludan kontur. Pengolahan tanah sempurna didasarkan pada pencapaian hasil yang tinggi, biaya pengolahan tanah dan pengendalian gulma rendah serta tingkat erosi minimal. Dalam hal ini tanah dibajak dengan traktor 3-7 singkal piring atau secara tradisional (dengan ternak) sebanyak 2 kali atau satu kali yang diikuti dengan pembuatan guludan. Untuk lahan peka erosi, guludan juga berperan sebagai pengendali erosi, sehingga guludan dibuat searah kontur (Wargiono et al., 2006). Tabel 3. Efektivitas pengolahan tanah konservasi dan produksi Pengolahan tanah Olah tanah minimal Cangkul 1 kali Bajak traktor 2 kali Bajak traktor 1 kali + guludan kontur
Hasil ubi segar (Ton/ha) 15,0 14,3 19,0 25,4
Tanah tererosi (Ton/ha/tahun) 7,6 10,3 66,8 30,8
Sumber : Suharno et al., 1999 2.3.3.
Persiapan Bibit Tanaman ubikayu dibudidayakan dengan menggunakan stek batang.
Perkecambahan stek tergantung pada kondisi varietas, umur tanaman, penyimpanan dan lingkungan. Teknik pengambilan stek : 1. Stek diambil dari batang bagian tengah tanaman ubikayu yang berumur 8-12 bulan. 2. Batang dapat digunakan sebagai stek apabila masa penyimpanannya kurang dari 30 hari setelah panen. Pada beberapa kultivar, seperti Rayong 3 dan Rayong 90, masa simpan stek selama 15 hari setelah panen.
12
3. Penyimpanan stek yang baik adalah dengan cara posisi batang tegak, disimpan di bawah naungan. 4. Panjang stek optimum adalah 20-25 cm, dengan jumlah mata tunas paling sedikit 10 mata. 5. Sebelum tanam, stek dapat diperlakukan dengan insektisida dan fungisida untuk mencegah serangan hama dan penyakit (Anonim, 2003). Untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman yang baik, maka stek harus dipilih dari tanaman yang sehat, diameter stek antara 2-3 cm dan umurnya seragam. Pada saat memotong stek, diusahakan kulit batang tidak terkelupas supaya tidak mudah kering dan daya tumbuhnya baik.
2.3.4.
Pola Tanam Ubikayu dapat ditanam secara monokultur maupun tumpangsari. Pola
monokultur umumnya dikembangkan dalam usahatani komersial atau usahatani alternatif pada lahan marjinal, di mana komoditas lain tidak produktif atau usahatani dengan input minimal bagi petani yang modalnya terbatas. Pola tumpangsari diusahakan oleh petani berlahan sempit, baik secara komersial maupun subsisten. Jarak tanam yang digunakan dalam pola monokultur ada beberapa macam, diantaranya adalah : 1. 1 m x 1 m (10.000 tanaman/ha), 2. 1 m x 0,8 m (12.500 tanaman/ha), 3. 1 m x 0,75 m (13.333 tanaman/ha), 4. 1 m x 0,5 m (20.000 tanaman/ha), 5. 0,8 m x 0,7 m (17.850 tanaman/ha), dan 6. 1 m x 0,7 m (14.285 tanaman/ha). Pemilihan jarak tanam ini tergantung dari jenis varietas yang digunakan dan tingkat kesuburan tanah. Untuk tanah-tanah yang subur digunakan jarak tanam 1 m x 1m; 1 m x 0,8 m; 1 m x 0,75 m maupun 1 m x 0,7 m. Sedangkan untuk tanah-tanah miskin digunakan jarak tanam rapat yaitu 1 m x 0,5 m, 0,8 m x 0,7 m.
13
Pola tumpangsari dilakukan dengan mengatur jarak tanam ubikayu sedemikian rupa sehingga ruang diantara barisan ubikayu dapat ditanami dengan tanaman lain (kacang-kacangan, jagung maupun padi gogo). Pengaturan jarak tanam ubikayu diistilahkan dengan double row (baris ganda). Ada beberapa pengaturan baris ganda pada ubikayu, diantaranya adalah : 1.
Jarak tanam baris ganda 2,6 m
Pada baris ganda 2,6 m ini, tanaman ubikayu ditanam dengan jarak tanam 0,6 m x 0,7 m x 2,6 m. Dimana 0,6 m merupakan jarak antar barisan dan 0,7 m merupakan jarak di dalam barisan, sedangkan 2,6 m merupakan jarak antar baris ganda ubikayu. Pada jarak antar baris ganda ubikayu ini dapat ditanami dengan tanaman jagung, padi gogo, kedelai, kacang tanah maupun kacang hijau.
2. Jarak tanam baris ganda 0,5 m x 1 m x 2 m Diantara baris tanaman ubikayu yang berjarak 2 m dapat ditanami dengan tanaman jagung, padi gogo, kedelai, kacang tanah maupun kacang hijau.
14
3. Jarak tanam baris ganda 0,5 m x 0,5 m x 4 m Diantara baris tanaman ubikayu yang berjarak 4 m tersebut dapat ditanami dengan tanaman jagung, padi gogo, kedelai, kacang tanah maupun kacang hijau.
4. Cara penanaman
Waktu tanam pada MH I.
Tanaman kacang-kacangan atau jagung atau padi gogo ditanam dengan populasi 100%.
Tanaman ubikayu ditanam 20 hari setelah tanaman kacang-kacangan atau jagung atau padi gogo ditanam, dengan populasi 90% dari populasi monokultur. Jarak tanam ubikayu (60 x 70) x 260 cm.
Setelah tanaman kacang-kacangan atau jagung atau padi gogo yang ditanam pada MH I di panen, maka tersedia ruang di antara baris ganda ubikayu selebar 260 cm yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman kacangkacangan (kacang tanah, kedelai, kacang hijau).
Penanaman tanaman kacang-kacangan atau jagung atau padi gogo kedua dilakukan pada MH II.
15
Kacang tanah atau kedelai atau kacang hijau ditanam sebanyak lima (5) baris dengan jarak tanam 40 cm x 15 cm atau 35 cm x 20 cm, 1 biji/lubang (kacang tanah) atau 2 biji/lubang (kedelai atau kacang hijau), jarak tanam jagung 75 cm x 20 cm. Populasi sekitar 70% dari monokultur.
Gambar 1. Tumpangsari ubikayu dengan kedelai, kacang tanah, kacang hijau, jagung dan padi gogo (Sumber : Balai Penelitian Tanaman Kacang Kacangan dan Umbi Umbian Malang, 2010).
16
2.3.5.
Pemupukan Waktu tanam ubikayu yang baik untuk lahan tegalan adalah pada awal
musim penghujan (MH I), sedangkan pada lahan sawah tadah hujan adalah setelah panen padi (MH II), karena selama pertumbuhan vegetatif aktif (3-4 bulan pertama) ubikayu membutuhkan air. Untuk pertumbuhan selanjutnya ubikayu tidak terlalu banyak membutuhkan air. Penanaman ubikayu baik pada pola monokultur maupun tumpangsari dapat dilakukan segera setelah bibit dan lahan siap. Pada pola tumpangsari, ubikayu ditumpangsarikan dengan jagung dan tanaman kacang-kacangan seperti dengan kedelai maupun kacang tanah. Pada pola tanam ini, ubikayu ditanam bersamaan atau sehari sesudahnya. Namun sekarang tersedia beberapa teknik budidaya dengan pola tumpangsari, antara lain tanaman kacang-kacangan ditanam 1-2 minggu sebelum atau sesudah tanam ubikayu. Ubikayu merupakan tanaman yang mampu berproduksi tinggi, tetapi juga cepat menguruskan tanah. Untuk mendapatkan hasil yang tinggi, diperlukan penambahan hara yang cukup tinggi juga, tergantung pada tingkat kesuburan tanahnya. Untuk tanah-tanah berat perlu ditambahkan pupuk organik yang ditujukan untuk memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah. Untuk pola tanam monokultur, pupuk yang dianjurkan adalah 200 kg Urea + 100 kg KCl + 100 kg SP-36/ha. Pemupukan dilakukan dua tahap, tahap pertama diberikan pada umur 1 bulan dengan dosis 100 kg Urea + 50 kg KCL + 100 kg SP-36/ha, sedangkan sisanya diberikan pada tahap kedua yaitu pada umur 3 bulan. Untuk pola tanam tumpangsari, dosis pupuk yang dianjurkan berbeda, ubikayu dosis yang digunakan adalah 200 kg Urea/ha, 100 kg SP36/ha, 100 kg KCl/ha, sedangkan jagung dosis yang digunakan adalah 300 kg Urea/ha, 100 kg SP36/ha, 100 kg KCl/ha. Kacang tanah, kedelai, kacang hijau, acuan dosis pemupukan seperti pada budidaya monokultur (50 kg urea, 100 kg SP36, 50 kg KCl per ha). Pemupukan diberikan saat tanam. Untuk lahan masam dapat ditambah dolomit 500 kg/ha. Pemupukan dilakukan dengan cara ditugal pada jarak 5-20 cm dari pangkal batang (Balai Penelitian Tanaman Kacang Kacangan dan Umbi Umbian Malang, 2010).
17
2.3.6.
Hama Dan Penyakit Ubikayu
Uret (Xylenthropus) Ciri : berada dalam akar dari tanaman. Gejala : tanaman mati pada yg usia muda, karena akar batang dan umbi dirusak. Pengendalian : bersihkan sisa-sisa bahan organik pada saat tanam dan atau mencampur sevin pada saat pengolahan lahan. Tungau merah (Tetranychus bimaculatus) Ciri : menyerang pada permukaan bawah daun dengan menghisap cairan daun tersebut. Gejala : daun akan menjadi kering. Pengendalian :menanam varietas toleran dan menyemprotkan air yang banyak. Bercak daun bakteri Penyebab : Xanthomonas manihotis atau Cassava Bacterial Blight/CBG. Gejala : bercak-bercak bersudut pada daun lalu bergerak dan mengakibatkan pada daun kering dan akhirnya mati. Pengendalian :menanam varietas yang tahan, memotong atau memusnahkan bagian tanaman yang sakit, melakukan pergiliran tanaman dan sanitasi kebun Layu bakteri (Pseudomonas solanacearum E.F. Smith) Ciri : hidup di daun, akar dan batang. Gejala : daun yang mendadak jadi layu seperti tersiram air panas. Akar, batang dan umbi langsung membusuk. Pengendalian : melakukan pergiliran tanaman, menanam varietas yang tahan seperti Adira 1, Adira 2 dan Muara, melakukan pencabutan dan pemusnahan tanaman yang sakit berat. Bercak daun coklat (Cercospora heningsii) Penyebab : cendawan yang hidup di dalam daun. Gejala : daun bercakbercak coklat, mengering, lubang-lubang bulat kecil dan jaringan daun mati. Pengendalian : melakukan pelebaran jarak tanam, penanaman varietas yang tahan, pemangkasan pada daun yang sakit serta melakukan sanitasi kebun. Bercak daun konsentris (Phoma phyllostica) Penyebab : cendawan yang hidup pada daun. Gejala : adanya bercak kecil dan titik-titik, terutama pada daun muda. Pengendalian :memperlebar jarak tanam, mengadakan sanitasi kebun dan memangkas bagian tanaman yang sakit.
18
Gulma Sistem penyiangan/pembersihan secara menyeluruh dan gulmanya dibakar/dikubur dalam seperti yang dilakukan umumnya para petani Ubikayu dapat menekan pertumbuhan gulma. Namun demikian, gulma tetap tumbuh di parit/got dan lubang penanaman. Khusus gulma dari golongan teki (Cyperus sp.) dapat di berantas dengan cara manual dengan penyiangan yang dilakukan 2-3 kali permusim tanam. Penyiangan dilakukan sampai akar tanaman tercabut. Secara kimiawi dengan penyemprotan herbisida seperti dari golongan 2,4-D amin dan sulfonil urea. Penyemprotan harus dilakukan dengan hati-hati. Sedangkan jenis gulma lainnya adalah rerumputan yang banyak ditemukan di lubang penanaman maupun dalam got/parit. Jenis gulma rerumputan yang sering dijumpai yaitu jenis rumput belulang (Eleusine indica), tuton (Echinochloa colona), rumput grintingan (Cynodondactilon), rumput pahit (Paspalum distichum), dan rumput sunduk gangsir (digitaria ciliaris). Pembasmian gulma dari golongan rerumputan dilakukan dengan cara manual yaitu penyiangan dan penyemprotan herbisida berspektrum sempit misalnya Rumpas 120 EW dengan konsentrasi 1,0-1,5 ml/liter.
2.3.7.
Pemeliharaan Untuk mendapatkan pertanaman ubikayu yang sehat, baik, seragam dan
berproduksi tinggi, harus dilakukan pemeliharaan, meliputi penyulaman, penyiangan, pembumbuhan dan pemberantasan hama dan penyakit. Penyulaman dilakukan segera setelah diketahui adanya tanaman yang tidak tumbuh, paling lambat 1 minggu setelah tanam. Kelemahan ubukayu adalah pada fase pertumbuhan awal tidak mampu berkompetisi dengan gulma. Periode kritis atau periode tanaman harus bebas gangguan gulma adalah antara 5-10 minggu setelah tanam. Bila pengendalian gulma tidak dilakukan selama periode kritis tersebut, produktivitas dapat turun sampai 75% dibandingkan kondisi bebas gulma (Wargiono, 2007). Oleh karena itu, pengendalian gulma dilakukan pada 2 tahap, yaitu pada umur 4-5 minggu setelah tanam dan 8 minggu setelah tanam. (Anonim, 2007)
19
Pembumbunan dilakukan untuk menggemburkan tanah. Pembumbunan dilakukan pada umur 2-4 bulan (Balai Penelitian Tanaman Kacang Kacangan dan Umbi Umbian Malang, 2010). Pada umur ini tanaman ubikayu mulai melakukan pembentukan umbi, sehingga dibutuhkan tekstur tanah yang gembur untuk untuk perkembangan umbinya. Pemberantasan hama dan penyakit dilakukan apabila terjadi serangan. Hama yang biasa dijumpai pada tanaman ubikayu adalah hama tungau merah yang muncul pada musim kemarau. Pemberantasan terhadap hama ini dilakukan dengan cara fumigasi menggunakan larutan belerang dicampur dengan larutan sabun. Untuk penyakit yang biasa dijumpai adalah Xanthomonas manihotis (jenis bakteri), gejala serangan : daun mengalami bercak-bercak seperti terkena air panas. Pemberantasan dilakukan dengan menggunakan bakterisida dan penyakit bercak daun (Cercospora henningsii) yang sering dijumpai menyerang daun yang sudah tua.
2.3.8.
Panen Panen tergantung dari umur masing-masing varietas. Varietas ubikayu
yang berumur genjah panen dapat dilakukan pada umur 6-8 bulan, sedangkan varietas berumur dalam dilakukan pada umur 9-12 bulan. Namun secara umum, panen dilakukan pada umur antara 8-12 bulan.
2.4.
Potensi Ubikayu di Indonesia Tanaman ubikayu tersebar di seluruh provinsi di Indonesia, namun
penyebarannya terbanyak di pulau Jawa dan Sumatera, masing-masing 50% dan 32% dari total luas panen ubikayu di Indonesia. Di Sumatera terbanyak di Lampung (26,6 %), di Jawa terbanyak di jawa Timur (18,7 %) dan Jawa Tengah (16,7 %). Penyebaran tanaman ubikayu yang lebih rinci disajikan pada Tabel 4.
20
Tabel 4. Sebaran Tanaman Ubikayu di Indonesia Pulau
Provinsi
Sumatera
Nangroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DaerahIstimewaYogyakarta Jawa Timur Banten Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat
Jawa
Kalimantan
Sulawesi
Bali dan Nusa Tenggara
Bali
Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku dan Papua Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat Sumber : Departemen pertanian (2011)
Luas Tanam (%) 0,27 3,35 0,47 0,34 0,26 0,77 0,43 30,37 0,09 0,06 0,00 9,22 14,30 5,24 16,48 0,53 0,79 0,36 0,56 0,45 0,42 0,52 1,89 1,39 0,04 0,23 0,86 0,51 7,96 0,62 0,82 0,13 0,25
Indonesia merupakan negara produsen ubikayu no. 4 terbesar di dunia setelah Nigeria, Brasilia dan Thailand. Luas lahan yang ditanami ubikayu di Indonesia mengalami penurunan sejak tahun 2001 seperti yang tertera dalam data statistik pada Tabel 5, namun produksi umbi ubikayu tetap mengalami peningkatan. Dengan demikian, produktivitas tanaman ubikayu di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun,
Peningkatan ini mungkin
21
disebabkan tersedianya bibit yang lebih baik serta teknik budidaya yang lebih baik juga. Tabel 5. Luas panen, produksi dan produktivitas ubikayu di Indonesia Tahun Luas Panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (ku/ha) 2005 1.213.460 19.321.183 159,00 2006 1.227.459 19.986.640 163,00 2007 1.201.481 19.988.058 166,36 2008 1.204.933 21.756.991 180,57 2009 1.175.666 22.039.145 187,46 2010 1.183.047 23.918.118 202,17 2011 1.184.696 (1) 24.044.025 (1) 202,96 (1) 2012 1.178.101 (4) 23.712.029 (4) 201,27 (4) (1) : angka ramalan I (4) : angka sementara Sumber : Departemen Petanian (2011) Provinsi dengan luas lahan tanaman ubikayu, produksi umbi dan produktivitas ubikayu tertinggi di Indonesia adalah provinsi Lampung. Luas panen, produksi dan produktivitas ubikayu di provinsi ini pada tahun 2008 masing-masing mencapai 316.19 Ha, 7.649.536 ton dan 242,06 kuintal/ha. Data statistik pada Tabel 6 menunjukkan sepuluh provinsi dengan luas lahan tanaman ubikayu terbesar di Indonesia, sedangkan Tabel 7 dan Tabel 8 masing-masing menunjukkan sepuluh provinsi dengan tingkat produksi dan produktivitas tertinggi. Dari data tersebut tampak bahwa tingkat produktivitas tertinggi dicapai oleh provinsi di Sumatera, kemudian di Jawa dan di Sulawesi, sedangkan tingkat produktivitas di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Kalimantan Barat rendah, sehingga walaupun luas panen dan produksinya masuk dalam 10 besar, produktivitasnya tidak masuk ke dalam 10 besar.
22
Tabel 6. Luas Panen Tanaman Ubikayu (Ha) di 10 Provinsi di Tahun 2008 – 2012 Tahun Provinsi 2008 2009 2010 2011(4) Lampung 318.969 309.047 346.217 368.096 Jawa Timur 220.394 207.507 188.158 199.407 Jawa Tengah 191.053 190.851 188.080 173.195 Jawa Barat 109.354 110.827 105.023 103.244 NTT 87.906 89.154 102.460 96.705 DIY 62.543 63.275 62.563 62.414 Sumatera Utara 37.941 38.611 32.402 37.929 Sulawesi Selatan 29.796 26.944 25.010 20.268 Kalimantan Barat 13.677 11.524 11.913 10.783 Sulawesi Tenggara 12.190 12.353 9.556 9.130 (1) : angka ramalan I (4) : angka sementara Sumber : Departemen Petanian (2011)
Indonesia 2012(1) 357.744 194.142 168.501 108.678 93.764 61.769 39.467 22.315 9.303 16.319
Tabel 7. Produksi ubikayu (ton) di 10 provinsi di Indonesia tahun 2008–2012 Tahun Provinsi 2008 2009 2010 2011(4) 2012(1) Lampung 7.721.882 7.569.178 8.637.594 9.193.676 9.199.157 Jawa Timur 3.533.772 3.222.637 3.667.058 4.032.081 3.205.768 Jawa Tengah 3.325.099 3.676.809 3.876.242 3.501.458 3.459.235 Jawa Barat 2.034.854 2.086.187 2.014.402 2.058.785 2.204.542 NTT 928.974 913.053 1.032.538 962.128 903.089 DIY 892.907 1.047.684 1.114.665 867.596 918.907 Sumatera Utara 736.771 1.007.284 905.571 1.091.711 1.202.094 Sulawesi Selatan 504.198 434.862 601.437 370.125 444.069 Kalimantan Barat 193.804 166.584 177.807 141.550 141.915 Sulawesi Tenggara 217.727 226.927 163.350 164.850 300.204 (1) (4) : angka ramalan I : angka sementara Sumber : Departemen Petanian (2011)
23
Tabel 8. Produktivitas ubikayu (kuintal/ha) di 10 provinsi di Indonesia tahun 2008 – 2012 Tahun Provinsi 2008 2009 2010 2011(4) 2012(1) Lampung 242,09 244,92 249,48 249,76 257,14 Jawa Timur 160,34 192,65 194,89 202,20 165,12 Jawa Tengah 174,04 155,30 206,10 202,17 205,29 Jawa Barat 186,08 188,24 191,81 199,41 202,85 NTT 105,68 165,58 100,77 99,49 96,32 DIY 142,77 260,88 178,17 139,01 148,77 Sumatera Utara 194,19 102,41 279,48 287,83 304,58 Sulawesi Selatan 169,22 161,39 240,48 182,62 199,00 Kalimantan Barat 141,70 144,55 149,25 131,27 152,55 Sulawesi Tenggara 178,61 183,70 170,94 180,56 183,96 (1) : angka ramalan I (4) : angka sementara Sumber : Departemen Petanian (2011)
2.5.
Pemanfaatan Ubikayu sebagai Bioetanol Ada beberapa alasan digunakannya ubikayu sebagai bahan baku bioenergi,
khususnya bioetanol, di antaranya adalah ubikayu sudah lama dikenal oleh petani di Indonesia; tanaman ubikayu tersebar di 55 kabupaten dan 33 provinsi; ubikayu merupakan tanaman sumber karbohidrat karena kandungan patinya yang cukup tinggi; harga ubikayu di saat panen raya seringkali sangat rendah sehingga dengan mengolahnya menjadi etanol diharapkan harga ubikayu lebih stabil; ubikayu akan menguatkan security of supply bahan bakar berbasis kemasyarakatan; ubikayu toleran terhadap tanah dengan tingkat kesuburan rendah, mampu berproduksi baik pada lingkungan sub-optimal, dan mempunyai pertumbuhan yang relatif lebih baik pada lingkungan sub-optimal dibandingkan dengan tanaman lain (Prihandana et al., 2007).
Tabel 9. Jenis Tumbuhan Penghasil Energi Produksi Minyak Ekivalen Energi Jenis Tumbuhan (Liter per Ha) (kWh per Ha) kelapa sawit 3.600-4.000 33.900-37.700 jarak pagar 2.100-2.800 19.800-26.400 biji kemiri 1.800-2.700 17.000-25.500 tebu 2.450 16.000 jarak kepyar 1.200-2.000 11.300-18.900 ubikayu 1.020 6.600 Sumber : Martono dan Sasongko, 2007
24
Tabel 10. Konvensi biomasa menjadi bioethanol Biomasa (kg) Kandungan gula Jumlah hasil (Kg) bioethanol (Liter) Ubikayu 1.000 250-300 166,6 Ubi jalar 1.000 150-200 125 Jagung 1.000 600-700 400 Sagu 1.000 120-160 90 Tetes 1.000 500 250 Sumber : Martono dan Sasongko, 2007
Biomasa : Bioethanol 6,5 : 1 8 :1 2,5 : 1 12 : 1 4 :1
Selama ini dikenal ada dua jenis ubikayu, yaitu ubikayu manis dan ubikayu pahit. Kriteria manis dan pahit biasanya berdasarkan kadar asam sianida (HCN) yang terkandung dalam umbi ubikayu. (Darjanto dan Muryati, 1980) membagi ubikayu menjadi tiga golongan sebagai berikut : a. Golongan yang tidak beracun (tidak berbahaya), mengandung HCN 20 - 50 mg per kg umbi. b. Golongan yangberacun sedang, mengandung HCN 50 – 100 mg per kg umbi. c. Golongan yang sangat beracun, mengandung HCN lebih besar dari 100 mg per kg umbi. Menurut (Grace, 1977), kandungan asam sianida semula diperkirakan berhubungan dengan varietas ubikayu, namun kemudian ternyata juga bergantung pada kondisi pertumbuhan, tanah, kelembaban, suhu dan umur tanaman. Komposisi kimia tepung dan pati ubikayu jenis pahit dan manis ternyata hampir sama, kecuali kadar serat dan kadar abu pada tepung ubikayu manis lebih tinggi dari tepung ubikayu pahit (Rattanachon et al., 2004). Selanjutnya (Rattanachon et al., 2004) menerangkan bahwa viskositas tepung dan pati ubikayu tergantung varietasnya, dan tidak ada hubungannya dengan kriteria manis atau pahit. Komposisi kimia ubikayu disajikan pada Tabel 11. Umbi ubikayu dengan kadar pati yang cukup tinggi (31%) merupakan bahan yang potensial sebagai bahan baku penghasil bioetanol.
Pati yang terdapat dalam pati dihidrolisis
menjadi glukosa, selanjutnya glukosa difermentasi menjadi etanol. Secara teoritis 1 g pati menghasilkan 1,11 g glukosa atau 0,567 g etanol. Dengan demikian, dari 1 ton ubikayu basah (kadar air 62,8%) dengan kandungan pati sebesar 31%, secara teoritis dapat dihasilkan gula sebanyak 344 kg atau etanol sebanyak 195
25
kg. Pada Tabel 12 dapat diketahui potensi etanol yang dihasilkan dari empat varietas unggul ubikayu di Indonesia. Varietas tersebut berpotensi menghasilkan 4,35 – 4,70 liter etanol per kg ubikayu segar. Kadar amilosa pati ubikayu berkisar 17 – 18% (Rattanachon et al., 2004). Laporan lain menyebutkan kadar amilosa pati ubikayu sekitar 14 – 24% (Mbougueang et al., 2008). Suhu gelatinisasi tepung ubikayu 85 – 89,1 oC (Owuamanam, 2007), sedangkan suhu gelatinisasi pati ubikayu 59 – 87 oC (Mbougueang, et al., 2008).
Tabel 11. Komposisi kimia umbi ubikayu Komponen Persentase Komponen Air (%) 62,8 Mineral (mg/100g) Energi (kJ 100/g) 58,0 Kalsium Protein (%) 0,53 Kalium Lemak (%) 0,17 Fosfor Pati (%) 31 Magnesium Gula (%) 0,83 Besi Serat (%) 1,48 Abu (%) Sumber : Bradburry and Holloway, 1988 in Westby (2002)
Persentase 20 302 46 30 0,23 0,84
Tabel 12. Komposisi kimia, rasio fermentasi, dan angka konversi menjadi bioetanol 96% dari beberapa varietas ubikayu No.
Varietas
K. Bahan Kering (%)
K. Gula Total (% bb)
K. Pati (% bk)
R. Fermentasi (%)*
1 Adira-4 39,51 40,93 80,31 89,76 2 Malang-6 45,07 39,12 80,46 89,35 3 UJ-3 41,34 36,22 79,57 95,97 4 UJ-5 46,31 43,47 80,24 86,44 Keterangan : * Fermentasi ubikayu segar menjadi bioetanol dengan kadar 7-11% ** Etanol dengan kadar 96% (efisiensi distilasi dianggap 95%) Sumber : Ginting et al. (2006) diacu dalam Prihandana et al. (2007).
Konversi Ubi Bioetanol (kg/l)**
4,45 4,68 4,70 4,35
Prospek ubikayu sebagai bahan baku bioetanol di Indonesia akan lebih jelas terlihat bila dilakukan Analisis Daur Hidup (Life Cycle Assessment) terhadap produksi etanol dari ubikayu di Indonesia. Hasil analisis ini tidak hanya memberikan gambaran yang lengkap mengenai produksi dan penggunaan etanol, namun juga membantu mengidentifikasi beberapa bidang tertentu dimana diperlukan inovasi teknologi atau kebijakan strategis agar alternatif energi ini praktis dan layak. Ada dua parameter utama yang dikaji pada proses produksi etanol sebagai energi alternatif, yaitu energi dan kinerja lingkungan. Berdasarkan
26
Analisis Daur Hidup (Life Cycle Assessment) yang dilakukan di Thailand, produksi etanol dari ubikayu memberikan nilai positif terhadap lingkungan. Penggunaannya
dalam
bentuk
E10
dalam
keseluruhan
daur
hidupnya
menurunkan beberapa beban lingkungan. Penurunan beban lingkungan relatif terhadap bahan bakar konvensional adalah 6,1% untuk penggunaan energi fosil, 6,0% untuk potensi pemanasan global, 6,8% untuk asidifikasi, dan 12,2% untuk pengayaan nutrisi. Jika pada proses produksi etanol juga digunakan biomassa sebagai pengganti bahan bakar fosil, maka keseluruahn daur hidup energi dan kinerja lingkungan akan lebih baik pula.
2.6.
Tanah dan Lahan Tanah adalah bahan mineral yang tidak padat terletak di permukaan bumi,
yang telah dan akan tetap mengalami perlakuan dan dipengaruhi oleh faktorfaktor genetik dan lingkungan yang meliputi bahan induk, iklim, organisme, dan topografi pada suatu periode waktu tertentu (Hanafiah, 2007). Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk di dalamnya adalah akibat-akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun sekarang, seperti reklamasi daerah-daerah pantai, penebangan hutan, dan akibatakibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam. Faktor-faktor sosial dan ekonomi secara murni tidak termasuk dalam konsep lahan ini (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Lahan dalam pengertian yang lebih luas termasuk bagian yang telah dipengaruhi oleh berbagai akivitas flora, fauna, dan manusia baik di masa lalu maupun masa sekarang, seperti lahan rawa dan pasang surut yang telah direklamasi atau tindakan konservasi tanah pada suatu lahan tertentu (Djaenudin et al., 2003). Faktor-faktor sosial dan ekonomi secara murni tidak termasuk dalam konsep lahan.
2.6.1. Pengertian Evaluasi Kesesuaian Lahan Evaluasi kesesuaian lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan, dengan sifat-sifat atau
27
kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Dengan cara ini, maka akan diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian/kemampuan lahan untuk jenis penggunaan lahan tersebut (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001). Evaluasi kesesuaian lahan adalah proses penilaian tampilan atau keragaan (performance) lahan jika digunakan untuk tujuan tertentu, meliputi pelaksanaan dan interpretasi survei dan studi bentuk lahan, tanah, vegetasi, iklim dan aspek lahan lainnya, agar dapat mengidentifikasi dan membuat perbandingan berbagai penggunaan lahan yang mungkin dikembangkan (FAO, 1976). Evaluasi lahan memerlukan sifat-sifat fisik lingkungan suatu wilayah yang dirinci ke dalam kualitas lahan (land qualities), dari setiap kualitas lahan biasanya terdiri atas satu atau lebih karakteristik lahan (land characteristics). Beberapa karakteristik lahan umumnya mempunyai hubungan satu sama lain didalam pengertian kualitas lahan dan akan berpengaruh terhadap jenis penggunaan atau pertumbuhan tanaman dan komoditas lainnya yang berbasis lahan misalnya : peternakan, perikanan, dan kehutanan (Djaenudin et al., 2003). Hasil evaluasi lahan digambarkan dalam bentuk peta sebagai dasar untuk perencanaan tata guna lahan yang rasional, sehingga tanah dapat digunakan secara optimal dan lestari (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001). Hasil evaluasi lahan juga akan memberikan informasi atau arahan penggunaan lahan yang diperlukan, dan akhirnya nilai harapan produksi yang akan diperoleh (Djaenudin et al., 2003). Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya akan menimbulkan kerusakan-kerusakan pada lahan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001). Evaluasi lahan dapat dilakukan dengan pendekatan dua tahap dan pendekatan pararel. Pendekatan dua tahap terdiri atas tahapan pertama adalah evaluasi lahan secara fisik dan tahapan kedua secara ekonomi. Kegiatan evaluasi lahan secara fisik dan ekonomi pada pendekatan paralel dilakukan secara bersamaan (FAO, 1976).
2.6.2. Kaidah Evaluasi Kesesuaian Lahan Kaidah klasifikasi kesesuaian lahan (land suitability rules) adalah aturan yang harus diikuti dalam evaluasi lahan. Aturan tersebut disusun dan ditetapkan menjadi suatu sistem evaluasi lahan. Sistem yang ditetapkan merupakan
28
kesepakatan tentang kaidah yang akan dipakai dalam evaluasi lahan. Kaidahkaidah tersebut dapat dirubah, akan tetapi harus didasarkan pada alas an-alasan yang tepat dan disepakati oleh pakar evaluasi lahan yang dapat berasal dari berbagai disiplin ilmu, seperti : perencana pertanian, ilmu tanah, agronomi, dan lain- lain. Dalam kaidah klasifikasi kesesuaian lahan perlu ditetapkan hal- hal berikut : (1) Jumlah kelas kesesuaian lahan. (2) Pengharkatan masing-masing kelas kesesuaian lahan, jumlah dan jenis parameter yang dinilai. (3) Pengharkatan (rating) terhadap parameter yang dinilai. (4) Kisaran produksi yang diharapkan untuk masing-masing kelas kesesuaian lahan pada tingkat pengelolaan tertentu, serta produksi optimalnya. (5) Sistim dan prosedur dalam evaluasi lahan, asumsiasumsi misal : data, tingkat pengelolaan, dan lain- lain (Djaenudin et al., 1994).
2.6.3. Asumsi-asumsi Dalam Evaluasi Lahan Asumsi-asumsi dalam evaluasi lahan menurut (Djaenudinet al., 2003) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : menyangkut areal proyek; dan menyangkut pelaksanaan evaluasi lahan atau intepretasi serta waktu berlakunya dari hasil evaluasi lahan. Beberapa contoh asumsi yang ditetapkan untuk evaluasi lahan secara kuantitatif fisik, adalah : 1. Data tanah yang digunakan hanya terbatas pada informasi atau data dari satuan lahan atau satuan peta tanah. 2. Reliabilitas data yang tersedia : rendah, sedang, tinggi. 3. Lokasi penelitian atau daerah survei. 4. Kependudukan tidak dipertimbangkan dalam evaluasi. 5. Infrastruktur dan aksesibilitas serta fasilitas pemerintah tidak dipertimbangkan dalam evaluasi. 6. Tingkat pengelolaan atau manajemen dibedakan atas 3 tingkatan, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. 7. Pemilikan tanah tidak dipertimbangkan dalam evaluasi. 8. Evaluasi lahan dilaksanakan secara kualitatif, kuantitatif fisik atau kuantitatif ekonomi.
29
9. Usaha perbaikan lahan untuk mendapatkan kondisi potensial dipertimbangkan dan disesuaikan dengan tingkat pengelolaannya. 10. Aspek ekonomi hanya dipertimbangkan secara garis besar.
2.6.4. Kualitas Lahan Menurut
(Hardjowigeno
dan
Widiatmaka,
2007),
kualitas
lahan
menunjukkan sifat-sifat lahan yang mempunyai pengaruh nyata terhadap kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu, dimana satu jenis kualitas lahan dapat disebabkan oleh beberapa karakteristik lahan. Kualitas lahan adalah sifatsifat pengenal yang bersifat kompleks dari sebidang lahan. Dalam evaluasi lahan sering kualitas lahan tidak digunakan tetapi langsung menggunakan karakteristik lahan, karena keduanya dianggap sama nilainya dalam evaluasi (Driessen, 1997) & PPT, 1983, dalam Djaenudin et al., 2003). Kualitas lahan dapat bersifat positif yaitu dapat memberikan pengaruh yang menguntungkan bagi suatu penggunaan, akan tetapi dapat juga memberikan pengaruh negatif dengan menimbulkan kerugian-kerugian atau dengan kata lain merupakan faktor penghambat atau pembatas terhadap penggunaan lahan tertentu. Kualitas lahan dapat berpengaruh terhadap satu atau lebih dari jenis penggunaan lahannya. Begitu pula sebaliknya penggunaan lahan dipengaruhi oleh kualitas lahan.
2.6.5. Karakteristik Lahan Karakteristik lahan adalah sifat lahan yang dapat diukur atau diestimasi, contohnya kemiringan lereng dan curah hujan. Setiap karakteristik lahan yang digunakan secara langsung dalam evaluasi ada yang sifatnya tunggal dan ada yang sifatnya lebih dari satu karena mempunyai interaksi satu sama lainnya. Dalam interpretasi perlu mempertimbangkan atau membandingkan lahan dengan penggunaannya dalam pengertian kualitas lahan, misalnya saja ketersediaan air sebagai kualitas lahan ditentukan dari bulan kering dan curah hujan rata-rata tahunan, tetapi air yang dapat diserap tanaman tentu tergantung pula pada kualitas lahan lainnya, seperti kondisi drainase atau media perakaran, antara lain tekstur
30
tanah dan kedalaman zone perakaran tanaman yang bersangkutan (Djaenudin et al., 2003). Karakteristik lahan yang merupakan gabungan dari sifat-sifat lahan dan lingkungannya diperoleh dari data yang tertera pada legenda peta tanah dan uraiannya, peta/data iklim dan peta topografi/elevasi. Karakteristik lahan diuraikan pada setiap satuan peta tanah (SPT) dari peta tanah, yang meliputi : bentuk wilayah/lereng, drainase tanah, kedalaman tanah, tekstur tanah (lapisan atas 0-30 cm, dan lapisan bawah 30-50 cm), pH tanah, KTK liat, salinitas, kandungan pirit, banjir/genangan dan singkapan permukaan (singkapan batuan di permukaan tanah). Data iklim terdiri dari curah hujan rata-rata tahunan dan jumlah bulan kering, serta suhu udara diperoleh dari stasiun pengamat iklim. Data iklim juga dapat diperoleh dari peta iklim yang sudah tersedia, misalnya peta pola curah hujan, peta zona agroklimat atau peta isohyet. Peta-peta iklim tersebut biasanya disajikan dalam skala kecil, sehingga perlu lebih cermat dalam penggunaannya untuk pemetaan atau evaluasi lahan skala yang lebih besar, misalnya skala semi detail (1:25.000 - 1:50.000). Suhu udara didapatkan dari stasiun pengamat iklim di lokasi yang akan dievaluasi atau diestimasi dengan Persamaan (Braak, 1928) jika data tidak tersedia (Ritung et al., 2002).
2.6.6. Kesesuaian Lahan Kesesuaian lahan adalah penilaian dan pengelompokan atau proses penilaian atau pengelompokan lahan dalam arti kesesuaian relatif lahan atau kesesuaian absolut lahan bagi suatu penggunaan tertentu. Kesesuaian sebagai kenyataan adaptabilitas atau kemungkinan penyesuaian sebidang lahan bagi suatu macam penggunaan tertentu (Arsyad, 2000). Pengertian kesesuaian lahan (land suitability) berbeda dengan kemampuan lahan (land capability). Kemampuan lahan lebih menekankan kepada kapasitas berbagai penggunaan lahan secara umum yang dapat diusahakan disuatu wilayah. Jadi semakin banyak jenis tanaman yang dapat dikembangkan atau diusahakan di suatu wilayah, maka kemampuan lahan tersebut semakin tinggi (Djaenudin et al., 2003).
31
Menurut kerangka FAO (1976) dalam Djaenudin et al., (2003) dikenal dua macam kesesuaian lahan, yaitu : kesesuaian lahan kualitatif dan kuantitatif. Masing-masing kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai secara aktual maupun potensial, atau kesesuaian lahan potensial dan kesesuaian lahan potensial. Kesesuaian lahan kualitatif adalah kesesuaian lahan yang hanya dinyatakan dalam istilah kualitatif, tanpa perhitungan yang tepat baik biaya atau modal maupun keuntungan. Klasifikasi ini didasarkan hanya pada fisik lahan. Kesesuaian lahan kuantitatif adalah kesesuaian lahan yang didasarkan tidak hanya pada sifat fisik lahan tetapi juga mempertimbangkan aspek ekonomi. Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan yang dilakukan pada kondisi penggunaan lahan sekarang (present land use), tanpa masukan perbaikan. Kesesuaian lahan potensial adalah kesesuaian lahan yang dilakukan pada kondisi setelah diberikan masukan perbaikan. Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dapat dibedakan menurut tingkatannya sebagai berikut : 1. Ordo : Menunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan tertentu. Pada tingkat ordo kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S) dan lahan tergolng tidak sesuai (N). 2. Kelas : Menunjukkan tingkat kesesuaian suatu lahan dalam tingkat ordo. Pada tingkat kelas, lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan kedalam tiga kelas, yaitu :
Kelas S1, (Sangat Sesuai) : Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan.
Kelas S2, (Cukup Sesuai)
: Lahan mempunyai faktor pembatas yang
mempengaruhi produktivitasnya, memerlukan tambahan input, biasanya dapat diatasi petani sendiri.
Kelas S3, (Sesuai Marjinal) : Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat dan berpengaruh terhadap produktivitas, memerlukan tambahan input yang lebih banyak dari Kelas S2, petani tidak mampu mengatasi sendiri.
Lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N) dibedakan kedalam dua kelas, yaitu :
32
Kelas N1, (Tidak Sesuai Saat Ini) : Lahan mempunyai faktor pembatas yang sangat berat tetapi masih mungkin diatasi dengan biaya yang sangat besar.
Kelas N2, (Tidak Sesuai Permanen) : Lahan mempunyai faktor pembatas yang sangat berat atau sulit diatasi sehingga tidak mungkin digunakan bagi suatu penggunaan secara lestari.
3. Subkelas : Menunjukkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang harus dijalankan dalam masing- masing kelas. Kelas kesesuian lahan dibedakan menjadi subkelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan yang menjadi faktor pembatas terberat. Dalam satu subkelas dapat mempunyai lebih dari satu faktor pembatas; untuk itu pembatas yang paling dominan dituliskan paling depan. Kelas kesesuaian lahan yang dihasilkan dapat diperbaiki dan ditingkatkan kelasnya sesuai dengan peranan faktor pembatas. 4. Unit : menunjukkan perbedaan-perbedaan kecil yang diperlukan dalam pengelolaan didalam sub kelas. Satuan-satuan kesesuaian lahan berbeda satu dengan yang lainnya dalam sifat-sifat atau aspek tambahan dan pengelolaan yang diperlukan dan sering merupakan pembedaan detil dari pembataspembatasnya.
2.6.7. Persyaratan Penggunaan Lahan Penggunaan Lahan (Land Use) diartikan sebagai setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil maupun spiritual (Arsyad, 2000). Persyaratan penggunaan lahan adalah sekelompok kualitas lahan yang diperlukan oleh suatu tipe penggunaan lahan agar dapat berproduksi dengan baik (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Persyaratan penggunaan lahan diperlukan untuk memudahkan dalam pelaksanaan evaluasi, persyaratan penggunaan lahan dikaitkan dengan kualitas lahan dan karakteristik lahan. Persyaratan karakteristik lahan masing-masing komoditas pertanian umumnya berbeda, tetapi ada sebagian yang sama sesuai dengan persyaratan tumbuh komoditas tersebut (Djaenudin et al.,2003).
33
2.7.
Metode Penarikan Garis Batas (Boundary Line Methods) Boundary line methods adalah metode penarikan batas, dimana garis
pembungkus diagram sebar menunjukan hubungan antara produksi dan kualitas lahan. Garis tersebut membatasi data aktual lapang, sehingga sangat kecil peluangnya akan ditemukan data di luar garis pembungkus tersebut. Garis batas ini menggambarkan batas yang dapat terjadi pada produksi optimum dengan faktor-faktor pertumbuhan tertentu dan dapat digunakan untuk menetapkan kualitas lahan yang sesuai untuk menetapkan produksi optimun. Diagram sebaran hasil yang direncanakan untuk mengatasi faktor pertumbuhan tanaman umumnya mencapai puncak pada tingkat optimum dari faktor pertumbuhan tertentu, dimana garis pembatas memisahkan data dari situasi nyata dan tidak nyata. Penggambaran seperti ini sangat bermanfaat dalam mendiagnosa kemungkinan perolehan produksi maksimum yang konsisten dengan nilai apapun dari faktor pertumbuhan tertentu yang dapat ditentukan (Walworth et al., 1986).
2.8.
Metode Pembatasan Minimum Keseluruhan sifat fisik yang sesuai dari area lahan untuk tipe penggunaan
lahan diambil dari yang paling membatasi kualitas lahan, yaitu kualitas lahan yang nilainya sangat buruk. Metode ini memiliki keuntungan yaitu sederhana. Hukum Minimum (Law of the minimum) : Jika tingkat kualitas-kualitas lahan tergambar menurut suatu standar satuan pengurangan hasil dan faktor- faktor hasil ini tidak saling berhubungan, maka tepat dengan metoda ini akan diperoleh kelas yang sesuai. Praktek FAO secara umum, S1 sesuai untuk 80-100% dari hasil yang optimum, S2 pada 40-80%, dan S3/N pada 20-40%. Tetapi beberapa faktor fisik tidak mempengaruhi hasil, mereka hanya membuat pengelolaan menjadi lebih sulit. Kerugiannya adalah metoda ini tidak membedakan antara area lahan dengan beberapa pembatasan dan hanya memiliki satu pembatasan, selama pembatasan maksimum sama (FAO, 1976 dalam Rossiter, 1994).