TINJAUAN PUSTAKA Asal-usul dan Botani Pepaya Genus carica merupakan satu dari empat genus yang ada dalam famili Caricaceae. Semua spesies yang ada pada genus carica berasal dari Amerika tropis (Villegas, 1992; Garrett, 1995; Nakasone dan Paull, 1998). Genus carica mempunyai 21 spesies, namun hanya C. papaya L yang memiliki nilai penting secara ekonomi (Nakasone dan Paull, 1998). C. papaya L terbentuk dari persilangan alami yang melibatkan C. peltata Hook. & Arn (Villegas, 1992; Chan, 1995). Pepaya merupakan tanaman herba, batangnya tidak bercabang namun apabila pucuknya dipotong, cabang akan terbentuk. Bentuk batang lurus, bulat berongga di dalam dan dapat mencapai ketinggian hingga 10 m. Daun-daun pepaya tersusun secara spiral, tangkai daunnya panjang hingga mencapai 1 m dan berongga (Villegas, 1992). Pepaya merupakan tanaman polygamous, memiliki bunga jantan, bunga betina dan bunga hermafrodit (Villegas, 1992; Nakasone dan Paull, 1998). Tipe bunga sangat bergantung pada sifat kelamin masing- masing pohon yang ekspresi seksnya dikendalikan oleh gen tunggal denga n tiga alel yaitu M untuk jantan, H untuk hermafrodit dan m untuk betina. Alel M dan H dominan terhadap m, tetapi jika dalam keadaan homozigot dominan bersifat letal, sehingga tanaman jantan dan hermafrodit selalu dalam keadaan heterozigot Mm dan Hm (Storey, 1953; Chandler, 1958). Tipe penyerbukan pada pepaya terdiri dari dua macam yaitu menyerbuk silang dan menyerbuk sendiri, tergantung dari ekspresi seks tanamannya (Villegas, 1992; OGTR, 2003). Literatur lain menyebutkan bahwa varietas pepaya yang memiliki ukuran buah besar umumnya bersifat menyerbuk silang, sedangkan varietas yang termasuk tipe solo dengan ukuran buah yang kecil umumnya bersifat menyerbuk sendiri (Chan, 1995). Pada pepaya tipe solo yang berukuran kecil, inisiasi pembentukan bunga terjadi pada 10 Minggu Sebelum Antesis (MSA). Diferensiasi stamen dimulai pada 8 MSA dan selesai 3 minggu kemudian, sedangkan diferensiasi ovari
dimulai pada 7 MSA dan selesai 3 minggu kemudian. Pendewasaan organ bunga berlangsung pada saat berumur 4-1 MSA (Arkle dan Nakasone, 1984). Bunga jantan dan bunga betina pepaya tipe solo menunjukkan puncak antesis pada pukul 18.00-20.00, sedangkan bunga hermafrodit pada pukul 20.00-22.00 (Mekako dan Nakasone, 1975a).
Program Pemuliaan Pepaya Tujuan umum pemuliaan tanaman pepaya adalah untuk mendapatkan varietas yang lebih baik dari varietas yang sudah ada. Menurut Nakasone dan Paull (1998) karakteristik tanaman pepaya yang diinginkan adalah tanaman yang kuat dengan perawakan pendek dan cepat berbuah, hermafrodit, resisten terhadap serangan hama dan penyakit serta produktivitasnya tinggi. Karakteristik buah yang disukai adalah kulit buah halus dengan daging buah yang tebal, rongga buah bulat dan daya simpannya lama. Program pemuliaan tanaman pepaya di Indonesia menginginkan ideotipe tanaman pepaya yang lebih spesifik, seperti yang telah ditetapkan oleh Balai Penelitian Tanaman Buah, Solok (2003) yaitu yang mempunyai umur generatif = 4 bulan, umur petik buah = 3.5 bulan dari saat berbunga, tidak dijumpai lag fase generatif, ukuran buah sedang antara 0.5-0.85 kg/buah atau ukuran buah sangat besar = 2.85 kg/buah, padatan total terlarut = 13.5 °Brix, vitamin C = 136 mg/100 g, vitamin A = 91.5 RE/100 g, tesktur keras dan daya simpan = 15 hari setelah panen. Pusat Kajian Buah-buahan Tropika (2003) melalui kegiatan RUSNAS buah menambahkan karakteristik yang diinginkan untuk industri papain yaitu yang mempunyai ukuran buah besar, kandungan getah papainnya tinggi, kulit buah halus, daging buah tebal dan bentuk buah lonjong. Menurut Allard (1960), syarat agar suatu program pemuliaan tanaman dapat berhasil adalah tersedianya keragaman genetik dalam populasi. Plasma nutfah pepaya di Indonesia cukup banyak dan dapat digunakan dalam perakitan varietas pepaya unggul baru. Purnomo (2001) melaporkan hasil eksplorasi pepaya di Indonesia oleh Balitbu Solok telah diperoleh 41 genotipe pepaya dan dua spesies liar yaitu C. cauliflora sebagai sumber gen ketahanan terhadap PRV serta C. pubescen sebagai sumber gen warna buah kuning dengan tekstur daging buah
kenyal. Selain itu juga diperoleh lima varietas pepaya hasil introduksi dari Malaysian Agricultural Research and Development Institute (MARDI). Sementara itu, PKBT (2001) melaporkan bahwa hasil eksplorasi pepaya yang telah dilakukan diperoleh 11 genotipe dari Jawa Barat, sembilan genotipe dari Jawa Tengah, tujuh genotipe dari Jawa Timur, tiga genotipe dari Banten dan satu genotipe masingmasing dari Kalimantan Barat, Lampung, Jambi dan Sumatera Barat. Selain itu juga diperoleh empat varietas hasil introduksi. Kegiatan selanjutnya yang harus dilakukan adalah karakterisasi tanaman sehingga tanaman-tanaman dengan sifat yang diinginkan dapat diseleksi. Plasma nutfah yang dimiliki oleh PKBT sebagian besar telah dikarakterisasi. Pusat Kajian Buah-buahan Tropika (2003) melaporkan hasil karakterisasi terhadap 11 genotipe pepaya lokal dan introduksi dimana diperoleh informasi bahwa buah termanis dan kadar vitamin C tertinggi ada pada genotipe IPB 1. Sementara itu, Sujiprihati dan Sulistyo (2004) melaporkan hasil karakterisasi 15 genotipe pepaya dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa genotipe yang berpotensi untuk dijadikan sebagai tetua dengan perawakan pendek adalah Batang Ungu Watulimo, Mojosongo, Turen I dan Turen Talang. Hasil karakterisasi secara molekuler pun telah dilakukan. Galingging (2005) melaporkan bahwa terdapat keragaman genetik secara molekuler dari 20 genotipe pepaya koleksi PKBT-IPB. Broto, Suyanti dan Sjaifullah (1991) melakukan karakterisasi varietas untuk standardisasi mutu buah pepaya. Berdasarkan kegiatan tersebut diperoleh informasi bahwa pepaya Dampit Bogor, Dampit Malang, Jingga dan Paris merupakan pepaya berukuran besar. Pepaya Dampit Malang, Jingga dan Sunrise merupakan sumber vitamin C yang baik, sedangkan Dampit Bogor, Jingga dan Paris baik digunakan untuk bahan baku industri pengolahan karena mempunyai kandungan air yang banyak. Hasil karakterisasi yang dilakukan oleh Prahardini et al. (2001) menunjukkan bahwa varietas Bali memiliki ukuran buah terbesar dan varietas Meksiko memiliki ukuran buah terkecil. Varietas Dampit mempunyai daging buah yang tebal, padatan total terlarut tertinggi dan warna daging buah merah segar. Kegiatan pemuliaan pepaya di Indonesia yang dilakukan oleh BPTP Malang pada tahun 1992 telah berhasil melakukan silang dialel resiprokal enam
tetua. Seleksi dan evaluasi hibrida F1 dilaksanakan pada tahun 1993-1995 di Wajak, Malang. Pada tahun 1997 seleksi dilanjutkan dan tahun 1999 dilepas varietas Sari Rona, hasil seleksi nomor aksesi PSLK-03. Varietas Sari Rona adalah inbrida generasi ketiga dari persilangan varietas Meksiko dan Dampit (Purnomo, 2001). Untuk memperbaiki sifat daya simpan buah, dilakukan transformasi gen reporter (pRQ6) pada pepaya Dampit dan Sari Rona. Evaluasi awal menunjukkan bahwa seleksi kalus kedua varietas pepaya tersebut optimal pada larutan 150 mg/l kanamisin dan jarak optimal penembakan gen pada varietas Dampit adalah 5 cm sedangkan pada varietas Sari Rona adalah 9 cm (Makful et al., 2004) Pemuliaan pepaya di Malaysia dilaksanakan sejak tahun 1970an dengan melakukan seleksi pada varietas lokal seperti Subang, Sitiawan dan Batu Arang. Melalui kegiatan backcross, MARDI telah berhasil melepaskan pepaya varietas Eksotika (Chan, 1991). Eksotika merupakan varie tas pepaya yang dibentuk melalui dua kali backcross dan lima kali selfing menggunakan varietas Sunrise Solo sebagai recurrent parent dan Subang 6 sebagai non-recurrent parent (Chan, 1992). Program pemuliaan pepaya di negara-negara lain banyak difokuskan pada perbaikan sifat ketahanan terhadap penyakit. Salah satu penyakit yang dapat merusak perkebunan pepaya adalah Papaya Ringspot Virus (PRV). Sumber genetik untuk mendapatkan sifat ketahanan ini tidak dijumpai pada spesies C. papaya L., tetapi dapat ditemui pada kerabat liarnya. C. pubescens, C. stipulata, C. candicans dan C. cauliflora dilaporkan memiliki ketahanan terhadap ringspot virus (Mekako dan Nakasone, 1975b). Ketahanan terhadap ringspot virus juga ditemui pada C. quercifolia dan C. pentagona (Manshardt dan Wenslaff, 1989a) Transfer gen suatu sifat yang diinginkan dari spesies-spesies liar tersebut ke dalam C. papaya, masih menggunakan teknik persilangan konvensional. Persilangan interspesifik yang dilakukan oleh Sawant (1958) diperoleh hasil bahwa hanya persilangan antara C. monoica x C. cauliflora yang paling sukses dilakukan diantara kombinasi-kombinasi persilangan yang mungkin dibuat dari C. papaya, C. monoica, C. goudotiana dan C. cauliflora. Kombinasi persilangan
interspesifik yang lain umumnya gagal atau sedikit membentuk buah dengan jumlah biji yang sedikit dan kurang viabel. Manshardt dan Wenslaff (1989a; 1989b) dan Manshardt et al. (1995) mengatasi kegagalan pembentukan buah pada persilangan interspesifik dengan melakukan embrio rescue. Magdalita et al. (1998) kemudian mengembangkan protokol yang efisien dalam persilangan interspesifik antara C. papaya x C. cauliflora. Mekako dan Nakasone (1975b) melaporkan keberhasilan melakukan dua persilangan yang sebelumnya susah untuk didapat, yaitu C. monoica x C. goudotiana dan C. parviflora x C. goudotiana. Biji yang viabel hasil persilangan antara C. papaya x C. cauliflora dilaporkan sebagai hasil persilangan yang resisten terhadap ringspot virus. Manshardt et al. (1995) melaporkan persilangan C. quercifolia x C. pubescens tampak vigorous dan menunjukkan ketahanan terhadap PRV di lapangan. Persilangan interspesifik sekarang difokuskan pada pemanfaatan spesies C. cauliflora sebagai sumber ketahanan terhadap PRV, karena spesies ini merupakan spesies yang memiliki adaptasi terhadap lingkungan yang mirip dengan lingkungan yang dibutuhkan pepaya (Manshardt dan Wenslaff, 1989b). Hasil persilangan spesies ini dengan C. papaya menghasilkan hibrida interspesifik yang dilaporkan resisten terhadap PRV (Mekako dan Nakasone, 1975b; Manshardt dan Wenslaff, 1989a; Magdalita et al., 1997).
Pembentukan Hibrida Terminologi hibrida oleh Allard (1960) digunakan untuk menggambarkan populasi F1 . Populasi F1 disini dapat diperoleh melalui persilangan antar klon, varietas menyerbuk terbuka, galur murni atau populasi lain yang secara genetik berbeda. Hibrida juga dapat berarti produk dari hasil persilangan antara tetua-tetua yang secara genetiknya berbeda. Keberhasilan pembentukan varietas hibrida sampai saat ini telah banyak dilakukan pada jagung. Penggunaan galur murni telah meningkatkan persentase perbaikan sifat dalam pembentukan varietas hibrida tersebut. Oleh karena itu, terminologi hibrida lebih sering ditujukan pada populasi F1 hasil persilangan antara dua galur murni yang berbeda secara genetik.
Shull (1909) merupakan orang pertama yang menyarankan penggunaan galur murni dalam pembentukan F1 hibrida. Galur murni ini memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan varietas menyerbuk terbuka jika dijadikan sebaga i tetua, diantaranya yaitu galur murni lebih homozygot sehingga ketika dua tetua galur murni disilangkan akan menghasilkan hibrida yang heterozigot. Individu yang heterozigot ini akan mengalami pembagian sel, pertumbuhan dan mempunyai proses fisiologi yang lebih baik daripada individu homozigot. Duvick (1999) melaporkan bahwa para pemulia tanaman menemui kesulitan dalam memperbaiki sifat hasil pada hibrida lebih lanjut jika hanya menggunakan hasil selfing satu kali dari jagung menyerbuk terbuka. Galur murni yang didapat dari hasil selfing dua kali pun belum dapat memberikan perbaikan pada hibrida. Menurut Allard (1960) homozigositas pada satu lokus dapat diperoleh setelah dilakukan tujuh generasi selfing. Pada tanaman jagung, hibrida yang dihasilkan melalui persilangan antar galur murni dikenal dengan hibrida konvensional. Selain hibrida konvensional juga terdapat hibrida non-konvensional yaitu pembentukan hibrida yang melibatkan sedikitnya satu tetua non- galur murni. Tetua non-galur murni ini bisa berupa varietas, kultivar, varietas sintetis dan mungkin sebuah famili yang berbeda (Vassal, 2001; CIMMYT, 2003). Varietas hibrida pepaya dibuat untuk lebih dapat beradaptasi, lebih vigorous dan berproduksi tinggi melebihi kultivar lokal yang sudah ada. Varietas F1 hibrida pada pepaya masih jarang ditemui meskipun telah diperoleh informasi adanya heterosis dan perbaikan hasil pada kombinasi persilangan antara varietas pepaya yang berbeda. Beberapa hibrida pepaya yang ada diantaranya Bettina, merupakan hibrida hasil persilangan antara varietas Betty dari Florida dengan pepaya lokal Australia; Hybrid No. 5, hibrida persilangan antara Bettina 100A dengan Petersen 170; Big Bluestem dari Amerika yang merupakan hasil persilangan antara Bluestem dengan Norton; Bluestem Solo atau Blue Solo hasil persilangan antara Big Bluestem dengan Solo (Anonimous, 2005). Di Malaysia terdapat varietas Eksotika II hasil persilangan antara Line 19 dengan Eksotika (Chan, 1992; 1995).
Hibridisasi atau persilangan sering dilakukan untuk memperoleh suatu hibrida. Hibridisasi dapat dilakukan dengan cara melakukan penyerbukan buatan terkontrol. Ada dua alasan umum kenapa dilakukan penyerbukan buatan terkontrol ini, yaitu 1) untuk mencegah penyerbukan silang yang tidak diinginkan dalam pembentukan suatu hibrida dan galur murni, dan 2) penyerbukan buatan terkontrol merupakan kegiatan pokok pada beberapa metode pemuliaan, misalnya pada metode back cross. Menurut Allard (1960) masalah utama dalam melakukan penyerbukan buatan terkontrol adalah penentua n waktu yang tepat untuk menyerbuki stigma reseptif oleh polen fungsional. Hal ini tergantung pada masing- masing spesies tanaman yang digunakan. Oleh karena itu, masing- masing spesies tanaman memerlukan teknik hibridisasi yang berbeda-beda, termasuk didalamnya adalah teknik emaskulasi. Pada pepaya, masalah yang sering ditemui pada penyerbukan buatan adalah rendahnya viabilitas polen. Di Australia, produksi buah pepaya yang berubah-ubah seiring dengan pergantian musim disebabkan oleh beberapa faktor termasuk diantaranya adalah viabilitas polen yang rendah. Kecenderungan secara umum menunjukkan bahwa kuantitas polen berkurang selama musim dingin atau awal musim panas (OGTR, 2003).
Heterosis Menurut Allard (1960) heterosis digambarkan sebagai vigor hibrida dari F1 yang melebihi rata-rata kedua tetuanya. Sebenarnya vigor hibrida menerangkan pertambahan dalam ukuran dan vigor suatu tanaman, sedangkan heterosis digunakan untuk pertambahan maupun pengurangan ukuran dan vigor suatu tanaman. Selain dari istilah he terosis dikenal juga istilah heterobiltiosis yaitu vigor hibrida dari hibrida F1 yang melebihi dari tetua terbaiknya. Shull (1908) pertama kali mendeskripsikan fenomena ini, dimana dikatakan bahwa individu yang heterozygot mengalami pembagian sel, pertumb uhan dan mempunyai proses fisiologis yang lebih baik daripada individu homozygot. East (1936) menambahkan bahwa individu heterozygot yang memiliki dua alel yang berbeda pada satu lokus maka akan menghasilkan dua
enzim berbeda sehingga lebih superior jika dibandingkan dengan individu homozigot yang hanya menghasilkan satu enzim. Gejala heterosis ditemukan pada pembentukan pepaya hibrida. Hasil penelitian Chan (1992; 1995) menunjukkan bahwa gejala heterosis ditemukan pada empat karakter vegetatif yang diamati yaitu diameter batang, tinggi tanaman, panjang petiole dan lebar lamina. Gejala heterosis yang paling nyata terdapat pada karakter diameter batang. Persilangan antara L 19 x Eksotika tetap menunjukkan gejala heterosis pada komponen hasil yang melebihi tetua terbaik pada tiga kali percobaan. Hasil penelitian Dinesh et al. (1992) juga menemukan gejala heterosis pada hasil persilangan pepaya yang menggunakan kultivar Washington, Thailand, Coorg Honey Dew, Pink Flesh Sweet, Sunrise Solo dan Waimanalo. Gejala heterosis ditemukan pada karakter jumlah buah, hasil, bobot buah, volume buah, ketebalan daging, padatan total terlarut, indeks ronga buah dan gula total. Kultivar Pink Flesh Sweet untuk hasil dan kultivar Sunrise Solo dan Waimanalo untuk kualitas buah ditemukan sebagai kombinasi yang baik. Pada persilangan interspesifik yang melibatkan genus Carica, gejala heterosis juga ditemukan. Hasil penelitian Mekako dan Nakasone (1975b) yang menggunakan spesies Carica papaya, C. monoica, C. goudotiana, C. cauliflora, C. parviflora dan C. pennata menemukan gejala heterosis pada hibrida interspesifik yang dihasilkan. Persilangan-persilangan yang menunjukkan gejala heterosis adalah C. cauliflora x C. monoica pada karakter tinggi tanaman, lingkar batang, jumlah buah dan bobot buah dan C. goudotiana x C. monoica pada karakter lingkar batang, jumlah buah dan bobot buah.
Analisis Daya Gabung Daya gabung adalah kemampuan dari suatu tetua galur murni untuk menurunkan sifat-sifat yang diinginkan ke hibrida F1 . Ada dua macam daya gabung yaitu Daya Gabung Umum (DGU) dan Daya Gabung Khusus (DGK). Menurut Falconer (1981) efek DGU dan DGK adalah indikator penting dari nilai potensial
suatu
galur
murni
dalam
kombinasi
hibrida.
Welsh
(1981)
menambahkan bahwa kemampuan berkombinasi umum (DGU) terutama
merupakan hasil dari aksi gen aditif, sedangkan kemampuan berkombinasi spesifik (DGK) merupakan hasil dari gen dominan, epistasis dan aditif. Menurut Griffing (1956) dalam melakukan analisis daya gabung diperlukan tiga set materi genetik yaitu tetua, F1 hasil silangan serta resiprokalnya. Dengan menggunakan ketiga set materi genetik tersebut, Griffing memberikan empat metode dalam analisis daya gabung yaitu Metode 1 yang melibatkan tetua, F1 hasil silangan serta resiprokalnya, Metode 2 melibatkan tetua dan hanya F1 hasil silangannya saja, Metode 3 melibatkan F1 hasil silangan serta resiprokalnya tanpa tetua dan Metode 4 hanya melibatkan F1 hasil silangan saja. Analisis daya gabung umumnya digunakan dalam program pemuliaan tanaman pangan, misalnya pada padi dan jagung. Pada pepaya, metode ini masih jarang
dilakukan.
Subhadrabandhu
dan
Nontaswatsri
(1997)
mencoba
menggunakan metode ini pada pepaya. Dengan memanfaatkan Metode 1 Model 1 menurut Griffing dan menggunakan tiga kultivar pepaya yaitu Khaek Dam, Eksotika #20 serta Tainung #5 diperoleh informasi bahwa Daya Gabung Umum (DGU) ketiga tetua tersebut berbeda nyata pada ke-14 karakter yang diamati yang meliputi fase vegetatif, fase generatif dan kualitas buah. Efek Daya Gabung Khusus (DGK) juga berbeda nyata pada karakter yang diamati sedangkan efek resiprokal hanya berbeda pada bobot buah yang menggambarkan adanya efek maternal pada karakter tersebut. Program pemuliaan pepaya di Indonesia juga pernah memanfaatkan prosedur analisis daya gabung ini. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Malang pada tahun 1992 melakukan silang dialel resiprokal enam tetua. Kegiatan seleksi dan evaluasi hibrida F1 dilaksanakan pada tahun 1993-1995 di Wajak dan pada tahun 1999 dilepas varietas Sari Rona hasil seleksi nomor aksesi PSLK-03. Varietas Sari Rona adalah inbrida generasi ketiga dari persilangan varietas Meksiko x Dampit (Purnomo, 2001). Hasil penelitian Indriyani (2002) dan Indriyani et al. (2002) yang memanfaatkan Metode 4 menurut Griffing dan menggunakan lima genotipe pepaya yaitu genotipe nomor 99-010, 99-014, 99-015, 99-017 dan 99-020 diperoleh informasi bahwa penduga ragam DGU berbeda nyata pada letak buah pertama, umur panen buah pertama dan hasil, sedangkan penduga ragam DGK
berbeda nyata pada saat perkecambahan, persentase perkecambahan dan umur panen buah pertama. Dari penelitian ini diketahui bahwa genotipe 99-015 merupakan tetua penggabung umum yang baik untuk letak buah pertama, umur panen buah pertama dan hasil, sedangkan genotipe 99-020 merupakan tetua penggabung umum yang baik untuk letak buah pertama dan hasil. Hasil penelitian Subhadrabandhu dan Nontaswatsri (1997) menunjukkan bahwa pada karakter umur berbunga, tinggi letak bunga pertama, diameter batang saat berbunga pertama, jumlah node dari permukaan tanah sampai letak buah pertama, bobot buah, panjang buah, diameter bauh, persentase rongga buah, kekerasan buah, tebal buah dan padatan total terlarut dipengaruhi oleh ragam aditif. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Indriyani (2002) dan Indriyani et al. (2002) yang menunjukkan bahwa karakter umur panen buah pertama, letak buah pertama dan hasil dipengaruhi oleh ragam aditif. Nilai ragam aditif yang tinggi artinya nilai persilangan dapat diduga berdasarkan fenotipe induknya tanpa harus menguji keturunan untuk menentukan induk yang diinginkan. Masny et al. (2005) menambahkan jika hal ini terjadi maka tetua yang diinginkan dapat ditentukan dengan melihat DGU- nya.