6
II. KAJIAN PUSTAKA A. Sumber Pustaka 1. Rujukan Konsepsi Penanganan masalah kekerasan terhadap anak merupakan pekerjaan rumah bagi seluruh masyarakat luas yang tiap harinya terus bertambah jumlahnya. Sejauh ini banyak pihak yang telah melakukan berbagai langkah untuk mengatasi masalah ini. Untuk itu, ide mengenai kasus kekerasan anak ini diimplementasikan ke dalam karya seni. Melalui karya seni, diharapkan pesan dari seniman dapat tersampaikan kepada masyarakat luas yaitu untuk lebih peduli pada anak korban tindak kekerasan. Oleh karena itu, dalam proses implementasi tersebut memerlukan peninjauan terkait isu kekerasan anak, yaitu tidak terlepas dari kajian serupa yang pernah diteliti sebelumnya. Salah satu kajian terdahulu yang membahas masalah kekerasan anak dibuat oleh Sigit
Tri
Purnomo
dalam proyek
tugas
akhirnya.
Ia
mengkampanyekan iklan “Stop Kekerasan Terhadap Anak-Anak” melalui media komunikasi audio visual. Fokus utama dalam karya iklan ini adalah tema kekerasan anak yang traumanya terbawa sampai masa tua, di mana tindakan kekerasan yang dialami seorang anak akan mempengaruhi kondisi psikisnya hingga dewasa. Melalui karya iklan ini, diharapkan dapat menyadarkan masyarakat luas untuk berpartisipasi dalam melindungi anak-anak, khususnya menyadarkan orang tua untuk tidak melakukan tindak kekerasan terhadap anak.
7
Gambar 1. Karya iklan layanan masyarakat “Stop Kekerasan Terhadap Anak-Anak” oleh Sigit Tri Purnomo yang dibuat dalam media poster, dimensi 31x42 cm (Sumber: Screenshot Pengantar TA Sigit Tri Purnomo, 2016)
Konsep serupa mengenai sisi lain kehidupan anak-anak juga diangkat oleh Findri Ary Hartanto pada tahun 2009. Ia mengangkat isu tentang kehidupan anak-anak marginal di perkotaan. Perasaannya yang sedih dan prihatin melihat kerasnya kehidupan yang dialami anak-anak tersebut, mendorongnya untuk memvisualisasikannya ke dalam suatu karya seni. Melalui karya yang dibuat, ia mengajak orang lain untuk lebih peduli pada keadaan anak-anak marginal di perkotaan. Karya yang dibuatnya adalah dalam bentuk digital print di atas kertas. Di dalam karyanya menampilkan suasana kehidupan anak yang suram, figur-figur anak dengan simbol-simbol pendukungnya.
8
Gambar 2. Karya Findri Ary Hartanto berjudul “Terpenjara”, ukuran 80x50 cm, digital print di atas kertas, 2008 (Sumber: Screenshot Pengantar TA Findri Ary Hartanto, 2016)
Selain konsep kekerasan yang diangkat sebagai karya seni, terdapat juga penelitian mengenai kekerasan anak lainnya. Salah satunya adalah karya skripsi oleh Yustina Saptarini berjudul “Kekerasan dalam Lembaga Pendidikan Formal (Studi Mengenai Kekerasan oleh Guru Terhadap Siswa Sekolah Dasar di Surakarta). Ia mengangkat topik kekerasan anak yang ada di lingkungan sekolah. Subjek utama dalam tindak kekerasan di sekolah adalah oknum guru (pelaku) dan siswa (korban). Berdasarkan hasil penelitiannya, latar belakang oknum guru melakukan tindak kekerasan dipengaruhi oleh kondisi eksternal dari sistem pendidikan yang ada. Kekerasan jenis ini adalah kekerasan personal, di mana masalah pribadi merupakan pemicu tindak kekerasan yang pada akhirnya dilampiaskan terhadap siswa. Konsep serupa mengenai potret buram kehidupan anak-anak juga diangkat ke dalam suatu karya seni lukis. Banyak perbedaan dari tiga konsep di
9 atas jika dikomparasikan dengan konsep penulis. Jika dibandingkan berdasarkan perwujudan ke dalam karya seni, penggunaan medianya jelas berbeda. Jika penulis mewujudkannya ke dalam karya seni lukis, kedua rujukan tugas akhir tersebut masing-masing menggunakan audio visual dan digital print sebagai medianya. Walaupun mempunyai tujuan yang sama, yaitu menampilkan kehidupan suram anak-anak, masing-masing mempunyai cara sendiri dalam memvisualisasikan tema tersebut. Sedangkan bila dibandingkan dengan rujukan skripsi di atas, konsep kekerasan anak yang disajikan jelas berbeda. Sumber rujukan memfokuskan jenis kekerasan anak yang berada di lingkungan sekolah, latar belakang tindak kekerasan yang dilakukan, dan contoh praktik tindak kekerasan yang terjadi di sekolah. Sementara itu, konsep penulis adalah kekerasan anak secara luas, baik itu subjek tindak kekerasan, faktor-faktor yang mempengaruhi, jenis-jenis tindak kekerasan, serta implementasinya ke dalam suatu karya seni. Perwujudan konsep kekerasan terhadap anak ke dalam karya seni ini merupakan hal yang baru baik secara visual maupun tulisan sebagai konsep pengantarnya. Selain itu, hasil yang disajikan bersifat baru dan berbeda dari konsep visual dan penelitian-penelitian sebelumnya. Dapat dikatakan baru dan berbeda dikarenakan hasil dari penelitian dan perwujudan karya merupakan ide asli dari penulis. Sementara itu, penelitian dan konsep karya serupa hanyalah bersifat sebagai sumber referensi. Sumber yang telah dipaparkan di atas hanya bersifat rujukan dan sebagai pembanding, sehingga dapat diketahui unsur novelti di dalam karya yang dibuat.
10 2. Referensi Teoritik a. Dunia Anak Anak-anak adalah bagian kecil dari suatu keluarga. Keberadaan anak sebagai seseorang yang baru hadir dan paling kecil, masih dianggap sebagai manusia kecil yang lugu dan polos. Oleh karena kepolosan anak itu, tentunya orang tua dan orang-orang di sekitar harus turut menjaga dan mengajarinya agar ia tumbuh dan berkembang dengan baik. Masa kanakkanak adalah masa yang berharga bagi anak untuk tumbuh. Masa ini juga turut menentukan sikap dan perilaku anak kelak ketika dewasa. Oleh karena itu, agar anak mempunyai karakter yang baik kelak, maka sejak dini harus didukung dengan lingkungan yang baik pula. Menurut Hurlock, masa kanak-kanak dimulai setelah melewati masa bayi yang penuh dengan ketergantungan, yakni kira-kira usia dua tahun sampai saat matang secara seksual, kira-kira 13 tahun untuk wanita dan 14 tahun untuk pria. Para pendidik menyebut tahun-tahun awal masa kanakkanak sebagai usia prasekolah untuk membedakannya dari saat di mana dianggap cukup tua, baik secara fisik dan mental, untuk menghadapi tugastugas pada saat mereka mengikuti pendidikan formal (Hurlock, 1999: 108109). Di dalam psikologi perkembangan banyak dibicarakan bahwa dasar kepribadian seseorang terbentuk pada masa anak-anak. Proses-proses perkembangan yang terjadi dalam diri seorang anak ditambah dengan apa yang dialami dan diterima selama masa anak-anaknya secara sedikit demi sedikit memungkinkan ia tumbuh dan berkembang menjadi manusia
11 dewasa. Pada akhir abad ke 17, seorang filsuf Inggris bernama John Locke (1632-1704) merupakan
mengemukakan, faktor
yang
bahwa
paling
pengalaman
menentukan
dan
dalam
pendidikan
perkembangan
kepribadian anak (Gunarsa, 2008: 3-17). b. Anak Rawan Tindak Kekerasan Anak bermasalah sosial biasa disebut anak rawan, tingkat kerawanan anak bisa dapat dipahami sebagai suatu situasi, kondisi, dan tekanantekanan kultur maupun struktur yang menyebabkan mereka belum atau tidak terpenuhi hak-haknya dan sering kali dilanggar hak-haknya. Hal itu menyebabkan menjadikan mereka tersisih dari kehidupan normal dan terganggu proses tumbuh kembangnya secara wajar. Kehidupan mereka sering menjadi korban situasi sosial, tereksploitasi, dan mengalami diskriminasi, serta perlakuan salah dari lingkungannya. Gambaran mengenai persoalan sosial anak antara lain kekerasan terhadap anak, anak jalanan, anak berhadapan dengan hukum, dan masalah sosial lainnya. Anak-anak yang kategori rawan ini biasanya memang tidak kelihatan dan suaranya pun nyaris tidak terdengar. Mereka tersembunyi di kolong jembatan, hidup di rumah petak yang dihimpit gedung bertingkat, ditampung di camp-camp pengungsian, dan berserakan di wilayah pedesaan yang terisolir. Sehingga bila dibandingkan hiruk pikuk persoalan politik, sepertinya persoalan anak rawan sama sekali tidak penting. Padahal di saat yang sama, ketika eneergi dan perhatian elit politik telah terkuras habis untuk berebut kekuasaan, maka tanpa dapat dicegah lagi setiap hari, atau
12 bahkan setiap jam, jumlah anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus terus bertambah (Suyanto, 2013: 2). Sebagai sebuah permasalahan sosial, disadari bahwa dalam menyikapi persoalan anak rawan pemerintah bukan hanya dituntut untuk meningkatkan perlindungan sosial dan santunan sosial seperti beasiswa bagi siswa miskin, pelatihan program kejar paket A dan B bagi buruh anak yang terlanjur DO (drop-out), atau upaya lain yang sifatnya karitatif semata. Lebih dari itu, yang dibutuhkan anak-anak rawan itu sesungguhnya adalah sebuah komitmen yang benar-benar serius, tidak hanya menjadi slogan politik ketika Pemilu berlangsung, yang kemudian dioperasionalkan dalam bentuk program aksi bersama yang konkret dan kontekstual, sesuai dengan prinsipprinsip dasar yang tercantum dalam KHA (konvensi hak anak) (Suyanto, 2013: 6). Pemahaman mengenai anak rawan tindak kekerasan tidak terbatas pada kekerasan yang terjadi dalam keluarga. Bisa saja faktor dari luar keluarga menjadi penyebab terjadinya tindak kekerasan. Faktanya, tindak kekerasan yang terjadi pada anak, kebanyakan dilakukan oleh pelaku yang merupakan orang lain selain keluarga. Untuk itu, orang tua harus lebih berhati-hati pada kemungkinan tindak kekerasan yang terjadi, serta menghindari lingkungan yang rawan kekerasan pula. c. Kekerasan Terhadap Anak Menurut WHO, kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan, atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan
13 besar mengakibatkan memar atau trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. Sedangkan menurut Thomas Santoso dalam bukunya, Teori-Teori Kekerasan, kekerasan sendiri adalah istilah untuk menggambarkan perilaku, baik terbuka maupun tertutup, dan baik yang bersifat menyerang atau bertahan, yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain (Santoso: 2002). Pada awal mulanya istilah tindak kekerasan pada anak (child abuse) berasal dan mulai dikenal dunia kedokteran. Sekitar 1946, Caffey, seorang radiologist, melaporkan kasus cedera yang berupa gejala klinik seperti patah tulang panjang yang majemuk pada anak atau bayi tanpa diketahui sebabnya. Kasus yang ditemukan Caffey ini makin menarik perhatian publik ketika Henry Kempe menulis masalah ini di Journal of the American Medical Association, dan melaporkan bahwa dari 71 rumah sakit yang ia teliti, terjadi 302 kasus tindak kekerasan terhadap anak-anak, di mana 33 anak dilaporkan meninggal akibat penganiayaan yang dialaminya, serta 85 anak mengalami kerusakan otak yang permanen. Kemudian oleh Henry Kempe, kasus penelantaran dan penganiayaan terhadap anak ini disebut Battered Child Syndrome. Di sini yang diartikan sebagai tindak kekerasan terhadap anak tidak hanya luka berat saja, termasuk luka memar atau pembengkakan sekalipun dan diikuti kegagalan anak untuk berkembang baik secara fisik maupun intelektual. Menurut para ahli, tindak kekerasan atau pelanggaran hak-hak anak diklasifikasikan setidaknya dalam empat bentuk:
14 1. Kekerasan fisik Bentuk kekerasan ini adalah yang paling mudah dikenali. Tindakan yang dikategorikan kekerasan fisik yaitu menampar, menendang, memukul/meninju, mencekik, mendorong, menggigit, membenturkan, mengancam dengan benda tajam, dan sebagainya. Biasanya tampak langsung pada fisik korban. 2. Kekerasan psikis Kekerasan jenis ini tidak mudah dikenali. Dampak kekerasan ini akan berpengaruh pada situasi perasaan tidak aman dan nyaman, menurunnya harga diri dan martabat korban. Wujud konkret kekerasan psikis seperti penggunaan kata-kata kasar, penyalahgunaan kepercayaan, mempermalukan orang lain di depan umum, melontarkan ancaman dengan kata-kata, dan sebagainya. Akibat dari adanya perilaku tersebut biasanya korban akan merasa rendah diri, minder, merasa tidak berharga, dan lemah dalam membuat keputusan. 3. Kekerasan seksual Termasuk tindak kekerasan seksual yaitu segala tindakan yang muncul dalam bentuk paksaan atau mengancam untuk melakukan hubungan seksual, melakukan penyiksaan atau bertindak sadis serta meninggalkan seseorang setelah melakukan hubungan seksualitas (termasuk mereka yang masih berusia anak-anak). 4. Kekerasan ekonomi Kekerasan jenis ini sering terjadi dalam lingkungan keluarga. Pada anak-anak, kekerasan ini sering terjadi ketika orang tua memaksa anak di
15 bawah umur untuk dapat memberikan kontribusi ekonomi keluarga, sehingga fenomena penjual koran, pengamen jalanan, pengemis anak, dan lain-lain kian banyak terutama di perkotaan (Suyanto, 2013: 27-30). Fenomena kekerasan anak banyak terjadi di Indonesia. Di wilayah Surakarta sendiri, cukup banyak contoh kasus kekerasan anak yang terjadi. Dikutip dari m.okezone.com, pada tahun 2015 lalu di Wonogiri terdapat kasus penganiayaan oleh ibu terhadap anak kandungnya. Ibu berinisial SR ini telah ditetapkan sebagai tersangka pelaku penganiayaan anak oleh Polres Wonogiri setelah melakukan pemukulan yang mengakibatkan luka lebam di wajah anaknya dan nyaris membuatnya kehilangan penglihatan akibat pukulan di mata. Selain itu terdapat bekas luka di bagian belakang tubuh yang diduga luka cubitan. Tindak kekerasan ini sudah dilakukannya dalam tiga bulan terakhir, alasannya adalah karena korban tidak mau menuruti kata-katanya dan selalu membantah. Selain itu, korban merupakan pelampiasan dari amarah pelaku terhadap suaminya yang dianggap tidak bertanggung jawab. Maraknya kasus kekerasan yang terjadi di Surakarta, banyak dari pemerintah dan lembaga-lembaga perlindungan anak melakukan program penanggulangan kekerasan anak. Dikutip dari majalahkartini.co.id pada September 2015 lalu, Pemkot Surakarta akan mengkampanyekan program “Keluarga Ramah Anak” yang direncanakan diluncurkan pada tahun 2016 ini. Program tersebut didasari pada keprihatinan atas meningkatnya kasus kekerasan anak di keluarga. Program ini disosialisasikan melalui kelurahan dan Posyandu, sehingga diharapkan masyarakat luas, khususnya keluarga,
16 dapat lebih memperhatikan hak-hak anak. Berbagai penyuluhan dilakukan untuk mewujudkan kota di Solo Raya sebagai kota ramah anak dan kota layak anak. d. Seni Lukis Menurut Ki Hajar Dewantara, seni yaitu segala perbuatan manusia yang timbul dan hidup perasaannya dan bersifat indah sehingga dapat menggerakkan jiwa perasaan manusia. Sedangkan pengertian seni menurut Ahdiat K. Miharja yaitu bahwa seni adalah kegiatan rohani manusia yang merefleksikan kenyataan dalam karya berkat bentuk maupun isinya mempunyai daya untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam alam rohani si penerimanya. Berbeda dengan pendapat Sudarso S.P., menurutnya seni adalah hasil karya manusia yang mengkomunikasikan pengalamanpengalaman batinnya, pengalaman batin tersebut disajikan secara indah dan menarik sehingga memberikan rangsangan timbulnya pengalaman batin pula kepada manusia lain yang menghayatinya. Kelahirannya tidak didorong hasrat memenuhi kebutuhan manusia yang pokok, melainkan merupakan usaha
manusia
untuk
melengkapi
dan
menyempurnakan
derajat
kemanusiaan atau untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat spiritual (Mulyadi, 1995: 5-6). Menurut Edy Tri Sulistyo, pengertian umum tentang seni lukis adalah seni lukis merupakan salah satu hasil karya seni rupa dwimatra, di samping seni grafis ilustrasi, desain komunikasi visual, gambar dan sketsa. Seni gambar dan sketsa permasalahanya hampir sama dengan seni lukis, meskipun demikian kedua karya tersebut dapat dirinci pengertiannya dan
17 memiliki kekhususan yang berbeda. Lukisan, kadang kala disebut gambar, karena di dalam lukisan kadang terdapat gambar. Sketsa, juga memiliki permasalahan yang sama dengan lukisan, karena di dalam karya sketsa unsur ekspresi sangat dominan. Perbedaan yang mencolok untuk keduanya sebagai berikut, sketsa pada umumnya mengunakan media tinta di atas kertas dan karenanya hanya terlihat hitam dan putih, sedangkan lukisan umumnya menggunakan cat warna misalnya cat minyak di atas kain kanvas atau cat air di atas kertas. Selain itu di dalam seni lukis tidak terlepas dari komponen seni, antra lain: tema (subject matter), bentuk (form), dan isi (content) (Sulistyo, 2005: 1). 1. Subject Matter Subject matter dalam karya seni adalah suatu persoalan yang diungkapkan dalam suatu karya, karena itu sering kali juga disebut pokok soal atau tema. (Mulyadi, 1995: 15). Sedangkan menurut The Liang Gie dalam buku Garis Besar Estetika mengemukakan bahwa tema adalah suatu dalil atau ide pokok yang hendak dijadikan dasar dari suatu karya seni (Gie, 1976: 68). 2. Bentuk Bentuk ialah satu kesatuan hubungan antara unsur-unsur yang dipilih seniman. Bentuk merupakan hubungan nilai-nilai feeling unsur pendukungnya, atau kesatuan hubungan nilai-nilai feeling garis, warna, tekstur, shape, dan value. Kesatuan itu secara teoritis bersifat konkrit tetapi juga bersifat abstrak. Bersifat konkrit apabila kesatuan hubungan
18 itu ada pada bentuk fisikal karya, sedangkan bersifat abstrak apabila kesatuan hubungan itu ada pada imajinasi (Suradjijo, 1996: 32-36). 3. Isi Isi yaitu kualitas atau arti yang ada dalam suatu karya seni. Isi juga disebut sebagai final statement, mood, atau pengalaman penghayat. Isi merupakan arti yang esensial daripada bentuk, dan seringkali dinyatakan sebagai sejenis emosi, aktivitas intelektual atau sosialisasi yang kita lakukan terhadap suatu karya seni (Mulyadi, 1995: 16) Di dalam seni rupa terdapat elemen seni rupa yang terdiri dari unsurunsur seperti garis, warna, tekstur, ruang, dan volume. Di dalam buku Kritik Seni (Bahari, 98-103), setiap unsurnya dijelaskan sebagaimana berikut. 1. Garis Garis mempunyai dimensi ukuran dan arah tertentu. Garis bisa pendek, panjang, halus, lurus, melengkung, dan sifat lainnya. Garis dapat melahirkan bentuk sekaligus tekstur, nada, nuansa, ruang, dan volume tertentu, sehingga dapat melahirkan karakter khusus atau perwatakan dari seseorang. 2. Bidang Bidang (shape) adalah suatu bentuk yang sekelilingnya dibatasi oleh garis. Secara umum dikenal dalam dua jenis bidang, yaitu bidang geometris dan organis. 3. Warna Warna adalah gelombang cahaya dengan frekuensi yang dapat memengaruhi penglihatan kita. Secara garis besar fungsi warna dapat
19 dibagi menjadi tiga macam. Pertama, dalam ilmu semiotik, warna bisa berfungsi sebagai tanda berdasarkan sifatnya. Kedua, sebagai lambang atau simbol kesepakatan bersama. Ketiga, warna juga bisa dijadikan ikon sesuatu. 4. Tekstur Tekstur adalah kesan halus dan kasarnya suatu permukaan suatu lukisan atau gambar. Tekstur juga merupakan rona visual yang menegaskan karakter suatu benda yang dilukis atau digambar. Tekstur terbagi menjadi tekstur nyata dan semu. 5. Ruang dan Volume Dalam seni lukis, ruang dan volume dimanfaatkan secara ilusif karena tehnik penggarisan yang perspektifis atau adanya tone (nada) dalam pewarnaan yang bertingkat dan berbeda-beda. 6. Cahaya dan Bayang-bayang Citra cahaya dalam karya dua dimensional yaitu ilusi terang yang diakibatkan oleh pembubuhan warna terang pada bagian tertentu dari subyek gambar atau lukisan yang membedakannya dengan warna gelap pada bagian lain secara bergradasi.
B. Sumber Ide Di dalam pengolahan konsep kekerasan terhadap anak, penulis terinspirasi dari beberapa seniman, di antaranya Mark Ryden, Made Supena, dan Seth Globepainter. Pemilihan ketiga seniman sebagai sumber inspirasi didasarkan pada konsep berkarya masing-masing seniman yang sesuai dengan konsep kekerasan terhadap anak. Ketiga seniman ini mempunyai karakteristik yang berbeda dalam
20 menampilkan karya dengan tema dunia anak. Penulis terinspirasi baik dari segi konsep maupun bentuk visual karya. 1. Mark Ryden Mark Ryden adalah seorang pelukis asal Amerika. Ia adalah salah satu seniman yang berperan penting dalam gerakan Lowbrow Art (Pop Surealis). Hasil dari proses kreatifnya terinspirasi dari apapun yang bersifat atau memunculkan hal-hal misteri seperti mainan usang, model anatomi, hewan yang berdempet-dempet, rangka tubuh, dan barang-barang lain yang biasanya ditemukan di pasar barang bekas. Ryden menjalani proses kreatif dengan berbagai fase berbeda. Debutnya di Pasadena pada tahun 1998 menampilkan “daging” sebagai temanya dalam berkarya. Ia mengamati tentang tidak adanya hubungan di dalam budaya kontemporer antara daging yang kita gunakan untuk makan dan hidup, dengan makhluk hidup dari mana daging itu berasal. Menurutnya, daging adalah materi fisik yang membuat manusia hidup. Kita semua menggunakan tubuh kita, layaknya pakaian yang terbuat dari daging. Pada tahun 2007, Ryden mengeksplorasi tentang pengalaman manusia modern mengenai alam. Ia menjelaskan, sebagian manusia menggunakan alam sebagai media spiritual, seperti pohon. Tetapi manusia lain hanya menganggapnya sebagai pohon biasa untuk ditebang dan menjualnya saja. Kemudian pada tahun 2009, karyakaryanya lebih ke arah suasana tenang, sunyi, damai, dan mengarah ke introspeksi diri. Mark Ryden dijadikan sebagai salah satu sumber referensi dalam berkarya. Aspek yang dapat diambil dari proses kreatif Ryden yaitu konsepnya
21 mengenai permasalahan sosial yang terjadi pada manusia, banyak figur anakanak dan simbol-simbol tentang dunia anak yang ditampilkan dalam karyakaryanya. Selain itu, pemilihan warna yang digunakan dalam berkarya, serta tehnik menggambarnya yang sangat halus merupakan sumber referensi dalam berkarya (https://en.wikipedia.org/wiki/Mark_Ryden).
Gambar 3. Karya Mark Ryden “The Magic Circus”, ukuran 40” x 60”, oil on canvas, tahun 2001 (Sumber: markryden.com)
22
Gambar 4. Karya Mark Ryden “Rosies Tea Party”, ukuran 28” x 30”, oil on canvas, tahun 2005 (Sumber: markryden.com)
23
Gambar 5. Karya Mark Ryden “Cloven Bunny”, ukuran 4.25 “x3.5”, tahun 2003, oil on panel (Sumber: markryden.com)
Mark Ryden merupakan salah satu seniman yang menjadi sumber inspirasi penulis. Dari beberapa fase berkarya Mark Ryden, kebanyakan menampilkan dunia anak-anak. Penulis terinspirasi pada bagian karya Mark Ryden, dimana ia memadukan dunia anak-anak yang cenderung ceria, dengan hal-hal yang agak mengerikan seperti mainan usang, boneka yang rusak dan berdarah, dan lainnya. Penulis juga memunculkan paduan tersebut dalam beberapa karya yang dibuat. 2. Made Supena I Made Supena adalah salah satu seniman asal Bali. Konsep karyanya secara keseluruhan adalah menggali persoalan alam dan kehidupan untuk
24 direpresentasikan secara formalistik. Proses kreatifnya adalah menggali persoalan alam dan permasalahan sosial untuk diwujudkan dalam karya seni rupa. Selain melukis, ia juga mengembangkan gagasannya dalam bentuk patung, instalasi, dan performance art. Dari sekian banyak konsep yang diangkat, ia mengangkat tema tindak kekerasan terhadap anak. Konsep tersebut disalurkannya dalam media patung yang ia buat dari tahun 2005 sampai 2010. Karya patungnya ini adalah sebagai bentuk keprihatinannya pada kasus tindak kekerasan pada anak. Sebagian besar wajah patung itu terlihat sedih.
Tema patung ini sebagai representasi
menggantung harapan untuk anak-anak dan generasi muda.
Anak-anak
mempunyai mimpi dan masa depan, tapi di tengah jalan ada riak-riak seperti kasus kekerasan, dan lain sebagainya.
Gambar 6. Karya instalasi patung Made Supena (Sumber: indonesiaartnews.or.id)
25
Gambar 7. Karya Made Supena “Menggantung Harapan”, ukuran 185x200 cm acrylic on canvas, 2008-2010 (Sumber: www.jakartaartawards.com)
Proses mematung terus ia lakukan dengan pengaruh dari kehidupan Bali dan fenomena anak yang bunuh diri atau terbunuh dengan alasan yang sederhana tapi berprinsip, khususnya pada anak-anak tingkat sekolah. Bentuk visual yang ditampilkan seperti tidak punya seragam, sepatu, dan fasilitas lainnya sehingga menyebabkan bunuh diri. Selain itu, sekarang ini banyak anak menjadi korban kekerasan hingga meninggal karena perbuatan orang lain. Hal ini menjadi catatan serius bagi Made Supena, sebagai seniman dan manusia untuk prihatin terhadap masalah ini.
26 3. Seth Globepainter (Julian Malland) Seniman jalanan Perancis Julien Malland atau lebih dikenal dengan nama Seth Globepainter, menjadi dikenal dunia dengan karya muralnya tentang manusia, lebih sering mengenai anak-anak, yang menampilkan warna-warni pelangi. Ia aktif sebagai ahli graffiti pemandangan Paris sejak tahun 1990-an. Berbagai koleksi karya muralnya akhir-akhir ini dibuat di Kanada, Puerto Rico, dan Paris. Seth juga membuka pameran di Itinerrance Gallery, Paris (Sumber: http://www.boredpanda.com/street-art-julien-malland-seth-globepainter/).
Gambar 8. Karya mural Seth Globepainter “Escape”, di Festival Seni Kontemporer Icastica, Arezzo, Italia (Sumber: @seth_globepainter)
27
Gambar 9. Karya Seth “Gemili”, spray on canvas, Roma (Sumber: @seth_globepainter)
Seth adalah seorang seniman besar yang cukup dikenal di dalam dunia street art. Suatu keunikan bahwa ia kerap kali menggunakan media yang besar sebagai kanvasnya, seperti tembok-tembok gedung dan media di jalanan yang lain. Tehnik spray yang digunakannya pun sangat baik. Dari karya- karya yang dibuat Seth, penulis cukup banyak terinspirasi darinya, mulai dari segi visual, maupun beberapa makna karya. Latar belakang penulis memilihnya sebagai salah satu sumber referensi yaitu karena figur yang ditampilkannya biasanya adalah anak-anak, dan biasanya ia mengangkat permasalahan anak yang berada di daerah kunjungannya di setiap belahan dunia. Permasalahan anak-anak yang
28 tertindas, anak-anak terlantar, dan imajinasi anak-anak pun sering ia tampilkan. Selain itu objek-objek dan simbol-simbol kekerasan pun muncul dalam beberapa karyanya.