BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka Kajian terdahulu dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menelusuri penelitian-penelitian yang berkaitan terhadap pengkajian feminis dan objek penelitian peneliti, yaitu novel Belenggu karya Armijn Pane. Penelitian terdahulu antara lain sebagai berikut. Penelitian feminisme sebelunya adalah penelitian yang ditulis oleh Ferdiana Anggraini Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia tahun 2012 yang berjudul Citra Perempuan Papua dalam Novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf (Kajian Feminisme). Penelitian ini memfokuskan kajian pada citra perempuan yang terdapat dalam novel Tanah Tabu. Penelitian ini lebih mendeskripsikan struktur cerita dalam novel Tanah Tabu, seperti alur, tokoh, latar, tema, dan amanat. Kajian difokuskan pada representasi citra perempuan dalam novel tersebut yang mendapat kesimpulan tentang tiga kategori citra perempuan, yaitu citra fisik, citra psikis, dan citra sosial. Penelitian feminisme yang lain adalah penelitian yang ditulis oleh Fitri Yuliastuti Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret tahun 2005 yang berjudul Citra Perempuan dalam Novel Hayuri karya Maria Etty. Penelitian ini mengenai kajian pada citra perempuan yang terdapat dalam novel Hayuri. Penelitian ini lebih mendeskripsikan struktur cerita dalam novel Hayuri, seperti alur, tokoh, latar, tema, dan amanat. Selanjutnya, kajian difokuskan pada representasi citra perempuan dalam novel tersebut yang
mendapat kesimpulan tentang tiga kategori citra perempuan, yaitu citra fisik, citra psikis, dan citra sosial. Skripsi yang ditulis oleh Christina Diah Kumalasari, 2011, Fakultas Ilmu Budaya UGM berjudul Perjuangan Perempuan Melawan Ketidakadilan Gender dalam Novel Ronggeng karya Dewi Linggasari: Analisis Kritik Sastra Feminis. Penelitian ini menggunakan kritik sastra feminis sosialis sebagai teori dasar untuk menganalisis objek kajiannya berupa salah satu novel karya Dewi Linggasari, yaitu novel Ronggeng. Novel Ronggeng karya Dewi Linggasari diasumsikan banyak menampilkan ketidakadilan gender yang dialami oleh tokoh-tokoh perempuan dalam relasi terhadap tokoh laki-laki. Penelitian ini menggunakan kritik sastra feminis sosialis, bertujuan untuk membongkar ketidakadilan gender yang diterima tokoh perempuan dari kungkungan budaya patriarkat. Alasan dipilihnya kritik sastra feminis sosialis untuk menganalisis novel Ronggeng karena tokoh perempuan dalam novel diperlakukan tidak adil atau tersubordinasi dan ditemukannya ide-ide feminis dalam novel tersebut. Melalui identifikasi tokoh, terdapat tokoh-tokoh yang profeminis dan kontra feminis. Penelitian yang lain mengenai novel Belenggu ini juga diteliti oleh Alfian Rokhmansyah, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang pada tahun 2009 menggunakan teori stilistika. Dalam
penelitian ini, lebih
mengedapankan mengenai tanda baca yang digunakan oleh Armijn Pane dalam ia menuliskan Belenggu tersebut. Penelitian berikutnya tentang novel Belenggu dituliskan oleh Muslimin, Universitas Negeri Gorontalo pada tahun 2011 menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Penelitian ini bertujuan untuk (1) menjelaskan tokoh-tokoh dalam cerita novel Belenggu yang ingin mengikuti tradisi modern; (2) menganalisis peran tokoh dalam novel Belenggu yang tertarik pada tradisi yang bertentangan
dengan budaya bangsa yang dipelihara sejak dahulu; dan (3) menemukan tema yang terdapat dalam novel Belenggu. Selain itu, jurnal penelitian yang ditulis oleh Hosniyeh, Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Indonesia dalam NOSI volume 3, nomor 2 berjudul Tokoh Utama dalam Novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan citra tokoh utama perempuan dalam novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany. Sejalan dengan itu, ada tiga pokok yang dibahas dalam penelitian ini yaitu (1) mengetahui citra diri tokoh utama perempuan; (2) mengetahui peran sosial tokoh utama perempuan dalam keluarga; dan (3) mengetahui peran sosial tokoh utama perempuan dalam masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Kegiatan analisis data dimulai dari pembacaan secara kritis terhadap sumber data, identifikasi data, penyajian
data,
dianalisis
menggunakan
teori
feminisme
sosialis,
dan
penyimpulan data. Adapun hasil penelitian tersebut adalah pertama, citra diri tokoh utama perempuan dalam novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany ini menunjukkan bahwa tokoh utama perempuan rela mengorbankan seluruh hidupnya untuk kepentingan perdamaian kedua perkampungan, walaupun secara fisik dan psikis selalu tersiksa, dia tetap menjalankannya demi keharmonisan dan kedamaian kedua perkampungan tersebut. Citra diri dipresentasikan dengan keadaan fisik yang menggambarkan tentang perubahan fisik seorang tokoh cerita sehingga dapat dilihat dari ekspresi dan tingkah laku tokoh dalam alur cerita novel tersebut dan psikis oleh tokoh perempuan utama menggambarkan perasaan dan pikiran yang dialami seperti senang, sedih, dan kerinduan. Citra fisik yang terdiri dari anggota tubuh, sikap dan
kebiasaan tokoh utama perempuan. Citra psikis terdiri dari perasaan dan ingatan dari tokoh utama perempuan. Kedua, peran sosial tokoh utama perempuan dalam keluarga dan dalam masyarakat. Dalam keluarga berperan sebagai istri dan sebagai ibu rumah tangga. Dalam masyarakat, dia selalu aktif dan ingin memajukan tempat dia tinggal, baik dari segi ekonomi, dan pendidikan. Dia juga selalu
memperjuangkan
nasib
para
perempuan,
dan
remaja.
Hal
ini
menggambarkan bahwa citra peran tokoh utama perempuan dapat berperan aktif, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Dia dapat menjalankan kedua perannya tersebut tanpa harus mengabaikan salah satunya. Penelitian selanjutnya berjudul Ketidakadilan Gender Novel Sali Karya Dewi Linggasari yang ditulis oleh Elfa Fithriyana, Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Jember. Penelitian ini difokuskan pada rumusan masalah, yaitu 1) bagaimana keterjalinan unsur-unsur struktural yang terdapat dalam novel Sali karya Dewi Linggasari yang meliputi tema, tokoh dan perwatakan, latar, serta konflik; 2) bagaimana aspek-aspek ketidakadilan gender dalam novel Sali karya Dewi Linggasari meliputi marginalisasi, stereotip, subordinasi, kekerasan, dan beban kerja. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif. Hasil analisis dari penelitian tersebut menunjukkan keadaan atau suasana yang dialami oleh tokoh. Tokoh Liwa mengalami keadaan yang benar-benar berada pada posisi psikis paling rendah. Tema mayor adalah seorang perempuan yang putus asa karena terbelenggu adat menyebabkan dirinya menyerah pada kehidupan. Tema minor adalah bentuk perlawanan kepada adat, kepala keluarga yang tunduk pada adat. Analisis pragmatik yang dititikberatkan pada ketidakadilan gender meliputi: marginalisasi, subordinasi, sterotip,
kekerasan, dan beban kerja. Marginalisasi dialami oleh tokoh Liwa. Marginalisasi juga dialami oleh perempuan-perempuan suku Dani. Subordinasi dilakukan oleh Ibarak kepada Liwa. Subordinasi juga dialami oleh Gayatri yang dianggap lemah. Penilaian negatif diberikan oleh Kugara kepada Lapina. Lapina dianggap sebagai budak setelah dibayar dengan duapuluh ekor babi. Kekerasan meliputi bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk dalam rumah tangga yang dilakukan Kugara terhadap Lapina, tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi di rumah tangga yang dilakukan Ibarak terhadap Liwa. Bentuk penyiksaan yang mengarah kepada organ kelamin tidak terdapat bentuk penyiksaan yang mengarah kepada organ alat kelamin, kekerasan dalam bentuk pelacuran dilakukan Ibarak kepada Liwa, kekerasan dalam bentuk pornografi dilakukan Ibarak kepada Liwa. Penelitian berikutnya adalah penelitian yang ditulis oleh Endah Susanti (Staff Pengajar di SMP Muhammadiyah Malang) dalam Jurnal Artikulasi volume 10, nomor 2 yang berjudul Analisis Ketidakadilan Gender Pada Tokoh Perempuan dalam Novel Kupu-Kupu Malam Karya Achmad Munif. Masalah yang diteliti dalam penelitian ini: 1) bagaimana bentuk ketidakadilan gender berupa kekerasan yang dialami tokoh perempuan dalam novel Kupu-kupu Malam karya Achmad Munif; 2) bagaimana bentuk ketidakadilan gender berupa marginalisasi yang dialami tokoh perempuan dalam novel Kupu-kupu Malam karya Achmad Munif. Kekuasaan perempuan sebagai kekuasaan inferior, memaksa perempuan melakukan yang diminta oleh kaum laki-laki sebagai kaum patriarki. Hasil analisis menunjukkan bahwa Subordinasi dan stereotip membuat perempuan
mendapatkan perlakuan semena-mena karena adanya anggapan bahwa kekuasaan terbesar ada pada kaum laki-laki dan perempuan harus tunduk terhadap laki-laki. Perempuan yang dianggap lemah dan tidak mampu melakukan segala sesuatunya sendiri, membuat perempuan selalu bergantung dan mengakibatkan anggapan bahwa perempuan tidak layak untuk menjadi seorang pemimpin. Asumsi bahwa perempuan bersolek dalam rangka memancing lawan jenisnya. Setiap kasus kekerasan seksual atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan label semakin merendahkan kedudukan perempuan, maka akan semakin diindahkannya kesempatan yang dimiliki perempuan di dalam masyarakat karena merasa dinomorduakan dan tidak dianggap penting. Marginalisasi membuat kedudukan perempuan inferior dan berdampak pada pekerjaan perempuan yang tidak terlalu bagus (baik dari gaji, jaminan kerja, status pekerjaan). Dwi Purwanti (2009), Fakultas Ilmu Budaya UGM dengan penelitiannya yang berjudul Prosa Lirik Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki karya Toeti Heraty. Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh informasi bahwa dalam prosa lirik Calon Arang terdapat ide-ide feminis yang terbentuk karena kehidupan masyarakat patriarkat yang menjadikan laki-laki dan perempuan sebagai oposisi dan relasi, opresi dominasi laki-laki, dan budaya patriarkat yang menyebabkan tindak kekerasan fisik dan psikis terhadap perempuan. Dengan menggunakan kritik sastra feminis Ruthven, dapat disimpulkan bahwa masyarakat patriarkat telah menempatkan perempuan dalam pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Ideologi domestikisasi telah membentuk citra perempuan sebagai penghuni rumah. Simpulan penelitian tersebut dapat diperoleh dari hasil identifikasi karakter tokoh perempuan dan tokoh laki-laki terhadap ide-ide
feminis, bentuk-bentuk opresi terhadap perempuan, dan citra perempuan dalam prosa lirik. Penelitian yang berjudul Analisis Ketidakadilan Gender dalam Novel Namaku Hiroko karya N.H. Dini: Sebuah Kajian Sastra Feminis ditulis oleh Siska, Pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Tadulako. Penelitian ini mengungkap bentuk ketidakadilan gender yang terdapat dalam novel Namaku Hiroko karya N.H. Dini yang ditinjau melalui pendekatan feminisme. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analitis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam novel Namaku Hiroko didapatkan ketidakadilan gender yang termanisfestasikan ke dalam 5 bentuk, yakni (1) marginalisasi: Proses pemiskinan yang terjadi di rumah tangga yang menimpa Natsuko dan ibu oleh ayahnya, (2) streotip: menganggap bahwa perempuan mudah digoda dengan materi (materialistis), dan perempuan yang berbadan gemuk terlihat jelek; (3) subordinasi: kedudukan perempuan yang lebih lebih rendah dari laki-laki yang terjadi dalam sektor rumah tangga yang menimpa majikan Hiroko, dan keluarga Natuko; (4) kekerasan: kekerasan langsung yakni tekanan fisik yang dialami oleh Hiroko berupa pemukulan yang dilakukan oleh suami majikan Hiroko kepada istrinya, pelacuran (prostitution) yang menimpa pelayan di bar, kekerasan terselubung yang menimpa Hiroko yang dilakukan oleh suami majikannya, dan kekerasan tidak langsung yang menimpa para hostes yang dilakukan oleh pelanggan; dan (5) beban ganda: pekerjaan yang ditanggung oleh Hiroko sebagai pembantu, dan Emiko yang berproesi sebagai ibu rumah tangga sekaligus pencari nafkah.
Penelitian yang berjudul Ketidakadilan Gender dalam Novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany: Kajian Kritik Sastra Feminis ditulis oleh Dewi Puspitasari, Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret. Penelitian ini mengungkap bentuk ketidakadilan gender yang terdapat dalam novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany yang ditinjau melalui pendekatan feminisme. Metode yang digunakan adalah metode analisis wacana. Perbedaan beberapa penelitian di atas dengan penelitian ini terletak pada objek material yang digunakan. Penelitian ini menggunakan teori feminis untuk mengidentifikasi dan menganalisis bentuk ketidakadilan gender dan citra perempuan yang terdapat dalam teks karena novel Belenggu belum pernah diteliti berdasarkan citra perempuan. Jadi, penelitian ini mengemukakan hal yang berbeda dengan yang sebelumnya.
B. Landasan Teori Feminis merupakan sebuah gerakan yang berasumsi dan kesadaran bahwa perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta harus ada usaha untuk mengakhiri penindasan dan pengeksploitasian tersebut (Fakih, 2012:79). selanjutnya Aquarini mengatakan feminis dibagi menjadi dua paham. “Yang pertama mengenai perempuan yang dipandang sebagai “betina” atau menurut kodratnya dalam hal menyusui, melahirkan, dan menstruasi. Paham feminis yang berikutnya ialah konstruksi sosial budaya yang diatribusikan kepada perempuan” (2006:22),. Melalui sudut pandang feminis, dapat diasumsikan bahwa karya sastra merupakan sebuah situs budaya yang memuat berbagai macam bentuk
kesenjangan sosial yang terjadi antara laki-laki dan perempuan. Hakikat feminis merupakan gerakan transformasi sosial yang memperjuangkan perempuan dan sebuah gerakan yang berusaha memposisikan hak-hak yang setara bagi perempuan. Tong menjelaskan bahwa “feminis merupakan sebuah gerakan yang berusaha untuk memperjuangkan dan merebut kembali kepentingan serta hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh perempuan karena bias gender yang terjadi pada perempuan diakibatkan dari ideologi patriarkat yang dijunjung tinggi oleh lakilaki” (Tong, 2010:16). Kondisi-kondisi fisik perempuan yang lebih lemah secara alamiah hendaknya tidak digunakan sebagai alasan untuk menempatkan kaum perempuan dalam posisinya yang lebih rendah. Pekerjaan perempuan selalu dikaitkan dengan memelihara, sedangkan laki-laki selalu dikaitkan dengan bekerja. Laki-laki memiliki kekuatan untuk menaklukkan, mengadakan ekspansi, dan bersifat agresif. Perempuan tidak bebas menentukan diri mereka sendiri. Pembagian kerja ini bertumpu pada stereotipe perempuan yang dianggap sebagai makhluk lemah secara fisik dan rasio. Inilah yang di sebut dengan domestifikasi terhadap perempuan. Perbedaan fisik yang diterima sejak lahir kemudian diperkuat dengan hegemoni struktur kebudayaan, adat istiadat, tradisi, pendidikan, dan sebagainya (Ratna, 2009:191). Salah satu masalah yang sering muncul dalam karya sastra adalah subordinasi perempuan. Perempuan dikondisikan dalam posisi lebih rendah dari laki-laki. Kondisi ini membuat perempuan berada dalam posisi tertindas, inferior, tidak memiliki kebebasan atas diri dan hidupnya. Hal itu berkaitan dengan masalah gender yang mempertanyakan tentang pembagian peran serta tanggung
jawab antara laki-laki dan perempuan. Fakih mengatakan “perempuan dikondisikan sebagai
makhluk yang lebih rendah, sedangkan
laki-laki
dikondisikan sebagai makhluk yang kuat. Akibatnya, peran perempuan sering diabaikan dalam kehidupan publik karena hanya cocok dalam peran keluarga saja” (Fakih, 2012:15). Anggapan negatif terhadap perempuan atau pendefinisian perempuan dengan menggunakan kualitas yang dimiliki laki-laki sangat berhubungan dengan konsep gender. Untuk memahami konsep gender, harus dibedakan pengertian antara gender dan seks. Seks merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Hal ini dapat dicontohkan bahwa laki-laki yang memiliki penis dan jalaka1, sedangkan perempuan yang memiliki vagina dan payudara. Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi baik secara sosial maupun kultural (Fakih, 2012:8). Fakih mengatakan ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk, yaitu marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang, dan lebih banyak (burden) serta sosialisasi nilai peran gender (Fakih, 2012:13).
1. Citra Perempuan Pencitraan merupakan kumpulan citra (the collection of images) yang dipergunakan untuk melukiskan objek dalam karya sastra. Pencitraan erat kaitannya dengan sebuah citra karena pencitraan kumpulan dari citra tersebut. Gambaran mengenai perempuan dalam merepresentasikan kehidupannya melalui
1
Dalam bahasa jawa disebut kala menjing.
karya prosa dan fiksi dapat berupa citra perempuan. Penggambaran sosok perempuan dalam sebuah novel itu sendiri dapat menjelaskan kondisi sosial perempuan yang terwakili pada zaman tertentu. Penggambaran perempuan dapat pula disebut dengan citra perempuan (Saptiawan dan Sugihastuti, 2007:236). Paham tentang perempuan sebagai orang lemah lembut, permata, bunga, dan sebaliknya sebagai orang yang cerdas, aktif, dan sejenisnya yang selalu mewarnai sastra. Hampir seluruh karya sastra, baik yang dihasilkan oleh pengarang pria atau perempuan, dominasi pria selalu lebih kuat. Figur pria terus menjadi otoritas sehingga mengasumsikan bahwa perempuan adalah impian. Perempuan selalu sebagai kelas kedua warga kelas, dan tersubordinasi. Atas dasar itu, peneliti sastra ditantang untuk menggali lebih jauh konstruksi gender dalam sastra dari waktu ke waktu. Peneliti perlu menjelaskan keterjajahan perempuan oleh laki-laki dalam berbagai genre sastra. Konsep-konsep tradisional yang selalu memuliakan domestik perempuan, merumahkan, akan menjadi pertimbangan penting dalam penelitian. (Endraswara, 2011:143).
2. Bias Gender Bias gender adalah kebijakan atau kondisi yang memihak atau merugikan salah satu jenis kelamin. Anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara, dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Konsekuensinya, banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangganya, mulai dari membersihkan dan mengepel lantai, memasak, mencuci, mencari air untuk mandi hingga memelihara anak. Fakih menambahkan “di kalangan keluarga
miskin, beban yang sangat berat ini harus ditanggung oleh perempuan tersebut harus bekerja, maka ia memikul beban kerja ganda” (Fakih, 2012:21). Bias gender sering kali diperkuat dengan pandangan masyarakat, menilai pekerjaan dilakukan perempuan itu dinilai lebih rendah. Pekerjaan laki-laki dinilai lebih produktif daripada perempuan. Bagi perempuan telah disosialisasikan untuk menekuni peran domestik karena adanya bias gender. Di lain pihak, kaum lelaki tidak diwajibkan secara kultural untuk menekuni berbagai jenis pekerjaan domestik itu (Fakih, 2012:21). Bagi kaum menengah dan golongan kaya, beban kerja itu dilimpahkan kepada pembantu rumah tangga. Sesungguhnya, mereka ini menjadi korban bias gender di masyarakat. Mereka bekerja lebih lama dan berat, tanpa perlindungan dan kebijakan negara. Selain belum adanya kemauan politik untuk melindungi mereka, hubungan feodalistik2 dan bahkan bersifat perbudakan tersebut memang belum secara transparan dilihat oleh masyarakat luas. Fakih menjelaskan “kesemuanya ini telah memperkuat pelanggengan secara kultural dan struktural beban kerja kaum perempuan” (Fakih, 2012:22). Udasmoro mengatakan bahwa “pada dasarnya perempuan memiliki peranan yang pasif daripada laki-laki yang memiliki nilai lebih dalam segala hal” (2009:33). Dalam tatanan ini, perempuan dijelaskan sebagai sosok “yang tidak diharapkan” oleh laki-laki. Hal ini dilihat dalam penataan lingkungan kerja. Sosok laki-laki selalu mendapatkan tempat yang diinginkannya, misalkan seperti pimpinan, pekerjaan dengan upah yang besar, serta kondisi lingkungan pekerjaan yang amat membantu dia (laki-laki) dalam kehidupannya. Di lain pihak, 2
Berhubungan dengan susunan masyarakat yang dikuasai oleh kaum bangsawan. Sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja.
perempuan kurang mendapatkan apresiasi atas usaha yang dilakukannya. Pekerjaan perempuan dianggap sebagai pekerjaan yang tidak memerlukan tenaga yang lebih dalam bekerja (Udasmoro, 2009:13). Walby menjelaskan bahwa “dalam pekerjaan, perempuan mendapatkan upah lebih sedikit daripada laki-laki karena keterampilannya serta pengalaman kerja mereka lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki” (2014:42).
C. Kerangka Pikir Deskripsi penelitian ini dapat dijelaskan dalam kerangka berpikir sebagai berikut. 1. Pada tahap awal, peneliti menentukan objek material dan objek formal sebagai bahan penelitian. Karya sastra sebagai hasil refleksi manusia dapat menjadi media yang strategis untuk menggambarkan bias gender yang terjadi. Novel Belenggu dapat dipandang sebagai suatu bentuk refleksi perempuan di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Melalui novel ini, pengarang mewakili suara perempuan-perempuan dengan menarasikan kisah hidup Tini, Yah dan juga perempuan lain. 2. Tahap kedua, peneliti mulai menentukan latar belakang masalah dan perumusan masalah. Peneliti menemukan permasalahan mengenai bias gender yang dialami oleh perempuan-perempuan dalam novel Belenggu. Bias gender yang dialami, menggambarkan realitas kehidupan perempuan sebagai jenis kelamin kedua setelah jenis kelamin laki-laki (the second sex).
3. Tahap ketiga adalah menentukan teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan tersebut. Penelitian mengenai bias gender dan citra perempuan yang terdapat dalam novel Belenggu dikaji menggunakan teori kritik sastra feminis. 4. Tahap keempat, peneliti menentukan metode dan teknik analisis data. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis wacana, yaitu mengungkap bagaimana keterkaitan antara wacana dengan kenyataan (realitas). 5. Tahap kelima, analisis permasalahan dengan cara mendeskripsikan bentukbentuk bias gender dan citra perempuan yang terdapatd dalam novel Belenggu. 6. Tahap akhir adalah penarikan kesimpulan, yaitu menyimpulkan hasil analisis permasalahan dari penelitian ini.
Berikut disajikan bagan kerangka pikir. Bagan 1 Kerangka Pikir Novel Belenggu Karya Armijn Pane
Kritik Sastra Feminis
Bias gender dan citra perempuan
Bias gender yang muncul
Citra perempuan yang muncul dalam novel
dalam novel Belenggu
Belenggu
Simpulan