BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
Bab dua ini berisi kajian pustaka, landasan teori dan kerangka pikir. Kajian pustaka merupakan tinjauan studi terdahulu yang berupa hasil penelitian sebelumnya. Landasan teori merupakan kutipan teori-teori yang digunakan pada penelitian ini. Selain itu, terdapat pula kerangka pikir yang berisi penggambaran secara jelas kerangka pikir yang digunakan penulis untuk mengkaji dan memahami permasalahan yang diteliti. A. Kajian Pustaka Penelitian mengenai penggunaan bahasa remaja sudah pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan terlebih dahulu dan berkaitan dengan masalah yang diteliti penulis dalam penelitian ini akan dipaparkan sebagai berikut: Penelitian pertama yakni skripsi Arni Mira Astuti (2010) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadyah Surakarta yang berjudul Penggunaan Variasi Bahasa Remaja dalam Rubrik “Miss Gaul” pada Majalah Gadis. Dari penelitian tersebut menyimpulkan (1) wujud keunikan bahasa remaja dalam rubrik “Miss Gaul” di majalah remaja Gadis dalam bidang morfologi terlihat adanya penggunaan afiks-afiks dialek Jakarta yaitu adanya morfem dengan konstruksi N+KD, KD+-in, N+KD+-in, KD+-an; (2) Wujud Keunikan Pemakaian Diksi dalam rubrik “Miss Gaul” di majalah remaja Gadis 11
12
terlihat adanya (a) penanggalan dan penambahan fonem atau suku kata terdiri dari penanggalan konsonan di awal kata, penanggalan vokal di awal kata, penanggalan konsonan di tengah kata, serta penanggalan dan penambahan fonem
(b)
pemakaian slang; (c) pemakaian bahasa Inggris; (d) pemakaian kosakata dialek Jakarta. Penelitian kedua yakni skripsi Dessy Novianty (2010) Fakultas Sastra, Universitas Sumatra Utara yang berjudul Penggunaan Bahasa Gaul dalam Tabloid Gaul. Penelitian tersebut menyimpulkan penggunaan kosa kata bahasa gaul dalam Tabloid Gaul seperti banget, bareng, bete, cewek, cowok, dan sebagainya. Selain itu, disimpulkan mengenai gejala bahasa terdiri dari (1) penghilangan fonem; (2) penambahan fonem; (3) gejala adaptasi; (4) monoftongisasi; (5) hiperkorek; (6) akronim dan Singkatan. Penelitian ketiga yakni skripsi Sherly Yulita Dewi (2012) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Jember yang berjudul Ragam Bahasa Gaul pada Cerpen dalam Majalah Gaul. Penelitian tersebut menyimpulkan (1) ragam bahasa gaul pada cerpen dalam majalah Gaul edisi Agustus 2011 berupa kata, frasa, dan kalimat; (2) proses pembentukan ragam bahasa gaul secara linguistik meliputi proses fonologis, proses morfologis, proses sintaksis, dan proses leksikal; (3) fungsi komunikatif ragam bahasa gaul meliputi fungsi informatif, fungsi direktif, fungsi ekspresif, fungi komisif, dan fungsi poetik. Penelitian keempat yakni skripsi Feri Yulianta (2011) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadyah Surakarta yang berjudul Karakteristik Bahasa Remaja dalam Rubrik Inbox Majalah Aneka Yes: Suatu Tinjauan Sosiolinguistik. Dari penelitian ini menyimpulkan (1) terdapat campur
13
kode kata benda, campur kode kata kerja, campur kode kata sifat, serta terdapat bentuk alih kode; (2) terdapat istilah-istilah yang menunjukkan energisitas para remaja. Istilah energik dalam penelitian digunakan untuk menunjukkan semangat bagi penulis atau memberikan semangat kepada para pembaca; (3) penggunaan ragam dan jenis bahasa santai yang ditandai dengan adanya penggunaan bentuk slang, pemilihan kata atau diksi yang berupa penanggalan konsonan di awal kata, penanggalan vokal di awal kata, penanggalan vokal di tengah kata, serta penanggalan dan penambahan fonem. Penelitian kelima berupa jurnal ditulis oleh Foriyani Subiyatningsih (2007) Humaniora, Universitas Gajah Mada yang berjudul Karakteristik Bahasa Remaja: Kasus Rubrik Remaja Deteksi dalam Harian Jawa Pos. Penelitian ini menyimpulkan (1) ciri fonologis bahasa remaja ditandai oleh adanya gejala perubahan dan penghilangan bunyi-bunyi bahasa dalam pengucapan kata-kata bahasa Indonesia meliputi adanya perubahan bunyi vokal /a/ menjadi /e/ pepet jika vokal /a/ berada pada silabe akhir tertutup yang diakhiri oleh konsonan /p, t, m, n, s, r, l/ dan perubahan diftong menjadi monoftong. Adanya penghilangan bunyi pada sejumlah kata, baik pada posisi awal maupun tengah, akibat gejala reduksi; (2) ciri morfologis diperlihatkan melalui pemakaian afiks N- yang sangat produktif dan sepadan dengan prefiks me-N dalam bahasa Indonesia, afiks ke-, afiks –in; (3) ciri sintaksis diperlihatkan oleh pemakaian struktur sintaksis baik pada tataran frasa maupun kalimat yang terkena pengaruh bahasa Jawa pada sejumlah konstruksi frasa dan kalimat tertentu. Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian yang dilakukan oleh penulis berbeda dengan penelitian sebelumya. Perbedaan dapat dilihat dari sumber data
14
yang digunakan. Pada penelitian ini sumber data yang digunakan yakni artikel Rubrik Special pada Provoke Magazine Online berupa media massa online yang mengulas permasalahan kehidupan remaja. Penggunaan data yang bersumber dari artikel media online belum pernah dilakukan pada penelitian sebelumnya. Penelitian “Penggunaan Bahasa Remaja pada Provoke Magazine Online” ini diharapkan dapat melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya. Dalam penelitian ini akan dibahas mengenai karakteristik penggunaan bahasa Indonesia pada artikel Rubrik Special dan faktor yang mempengaruhi munculnya bahasa remaja pada artikel Rubrik Special. B. Landasan Teori 1.
Sosiolinguistik a. Penggunaan bahasa yang ada di masyarakat berkaitan dengan sosiolinguistik, hal ini berkaitan dengan status, pendidikan, ekonomi, dan usia pada masyarakat pengguna bahasa. Beberapa rumusan yang berkaitan dengan sosiolinguistik sebagai berikut: 1) Sosiolinguistik
merupakan
ilmu
yag
mempelajari
bahasa
berdasarkan cermin sosial. Cermin sosial yang dimaksud yakni kehidupan nyata yang ada di masyarakat. Chaika berpendapat “sociolinguistics is the study of the ways people use language in social interactions of all kinds. the sociolinguist is concerned with the stuff of everyday life: how people talk with their friends, families, and teacher, as well as to storekeepers, doctors, and enemies” (1994:3).
„sosiolinguistik
adalah
studi
tentang
cara
orang
menggunakan bahasa dalam interaksi sosial dari segala jenis.
15
Sosiolinguis memperhatikan dengan hal-hal yang menyangkut dari kehidupan sehari-hari: bagaimana orang berbicara dengan temanteman mereka, keluarga, dan guru, serta pemilik toko, dokter, dan musuh‟ 2) Holmes merumuskan “sociolinguists study the relationship between language and society. They are interested in explaining why we speak differently in different social contexts, and they are concerned with identifying the social functions of language and the ways it is used to convey social meaning” (1992:1)”. „sosiolinguistik mempelajari hubungan antara bahasa dan masyarakat. Mereka tertarik dalam menjelaskan mengapa kita berbicara berbeda dalam konteks sosial yang berbeda, dan mereka memfokuskan dengan mengidentifikasi fungsi sosial dari bahasa dan cara digunakan untuk menyampaikan makna sosial‟ 3) Sosiolinguistik menganalisis berdasarkan masalah kemasyarakatan kemudian mengaitkan dengan bahasa, tetapi ada pula memulai dari bahasa kemudian mengaitkan dengan gejala-gejala kemasyarakatan. Hal
ini
seperti
yang
diungkapkan
oleh
Hymes
berikut
“sociolinguistics could be taken to refer to use of linguistic data and analysis in other discipline concerned with social life and conversely, to use of social data and analysis in linguistics” (1973:vii). „sosiolinguistik dapat mengacu kepada pemakaian data kebahasaan dan menganalisis ke dalam ilmu-ilmu lain yang menyangkut kehidupan sosial, dan sebaliknya, mengacu kepada data
16
kemasyarakatan dan menganalisis ke dalam linguistik‟. Selain itu, diungkapkan oleh Hymes bahwa “the word could also be taken to refer to correlations between language and societies, and between particular linguistic and social phenomena” (1973:vii). „kata juga bisa diambil untuk mengacu pada hubungan antara bahasa dan masyarakat, dan antara linguistik dan fenomena sosial tertentu‟. 4) Pengguna bahasa dan organisasi sosial sangat menentukan penggunaan bahasa. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Fishman bahwa “the sociology of language examines the interaction between these two aspects of human behavior: the use of language and the social organization of behavior. briefly put, the sociology of language focuses upon the entire gamut of topics related to the social organization of language behaviori” (1972:1). „sosiologi bahasa meneliti interaksi antara kedua aspek perilaku manusia: pengguna bahasa dan organisasi sosial dari perilaku. Secara singkat menempatkan, sosiologi bahasa berfokus pada keseluruhan topik yang terkait dengan organisasi sosial dari perilaku bahasa‟. 5) Dalam
Sumarsono
(2013:2)
Halliday
mendeskripsikan
sosiolinguistik sebagai berikut “deals with the relation between a language and the people who use it”. „Berkaitan dengan pertautan bahasa dengan orang-orang yang memakai bahasa itu‟. Perilaku manusia pemakai bahasa itu mempunyai berbagai aspek seperti jumlah, sikap, adat istiadat, dan budayanya.
17
6) Chaer dan Agustina mengungkapkan bahwa “sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang bersifat interdispliner terhadap ilmu sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur” (2010:4).
b. Interferensi Morfologi Interferensi morfologi merupakan wujud percampuran kosa kata asing yang bercampur dengan bahasa ibu. Percampuran ini akibat adanya kontak dengan bahasa lain. Kontak dengan bahasa asing dapat ditemukan dalam proses pembelajaran berbagai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah, termasuk juga pelajaran bahasa Indonesia. Chaer (2003:65) menyatakan bahwa “Interferensi adalah terbawa masuknya unsur bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan, sehingga tampak adanya penyimpangan kaidah dari bahasa yang sedang digunakan tersebut”. Interferensi memiliki persamaan dengan campur kode yakni dengan adanya pemakaian unsur bahasa lain dalam penggunaannya, namun campur kode dan interferensi tetap memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut diungkapkan Chaer dan Agustina yakni “campur kode mengacu pada digunakannya serpihan-serpihan bahasa lain dalam menggunakan suatu bahasa tertentu; sedangkan interferensi mengacu pada adanya penyimpangan dalam menggunakan suatu bahasa dengan memasukkan sistem bahasa lain, yang bagi golongan puris dianggap sebagai suatu kesalahan” (2010:124). Chaer dan Agustina mengungkapkan
“interferensi dalam bidang
morfologi, antara lain, terdapat dalam pembentukan kata afiks. Afiks-afiks suatu
18
bahasa digunakan untuk membentuk kata dalam bahasa lain” (2010:123). Sebagai contoh seperti interferensi morfologi pada data artikel Rubrik Special berikut Media sosial membuat sebuah kebiasaan baru yakni menilai kehidupan dan pribadi orang lain hanya dengan foto yang di share di instagram atau kata-kata yang ditwit di twitter atau updatean di path. (86/PB/INT/19102015) Dalam hal ini unsur bahasa Inggris bercampur dengan sufiks{-an} yang merupakan sufiks bahasa Indonesia. Unsur bahasa Inggris yang digunakan yakni kosakata update yang memiliki makna memperbaharui sedangkan sufiks {-an} yang
digunakan
menunjukkan
„melakukan
sesuatu‟
yakni
melakukan
pembaharuan di media sosial path.
c. Alih Kode dan Campur Kode Alih kode merupakan peristiwa pergantian bahasa satu ke bahasa lain. Peristiwa alih kode terjadi akibat kontak bahasa dengan bahasa lain. Pada masyarakat dwibahasa peristiwa alih kode sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Hudson mengungkapkan “anyone who speaks more than one language chooses between them according to circumstances" (1996:51). „seseorang yang berbicara lebih dari satu bahasa memilih yang menurut mereka sesuai dengan keadaan‟. Pengguna bahasa yang melakukan alih kode disebabkan oleh beberapa alasan. Alasan tersebut meliputi solidaritas pada pengguna bahasa lain, meningkatkan status, dan menunjukkan kemampuan berbahasa. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Jendra bahwa “there are several reasons why biliguals do code-switching. Among the most obvious factors are namely, quoting someone, marking and emphasizing group identity or solidarity, including or excluding
19
someone from a conversation, raising status, and showing language expertise” (2010:74). „terdapat beberapa alasan mengapa dwibahasa melakukan alih kode. Salah satu faktor yang paling jelas yakni mengutip seseorang, penilaian dan menegaskan identitas kelompok dan solidaritas, masuk dan tidak termasuk seseorang dari sebuah percakapan, meningkatkan status, dan memperlihatkan keahlian berbahasa‟. Ketika peristiwa alih kode terjadi maka pada saat itu terjadi pula peristiwa campur kode. Campur kode merupakan peristiwa percampuran antara suatu kata bahasa dengan kata bahasa lain. Jendra (2010:78) mengungkapkan bahwa “the concept of code mixing is used to refer to a more general form language contact that may include cases of code switching and the other form of contacts which emphasizing the lexical items”. „konsep campur kode digunakan untuk merujuk ke bentuk kontak bahasa yang lebih umum yang mungkin termasuk kasus alih kode dan bentuk lain dari kontak yang menekankan berkaitan dengan leksikal‟. Dalam Chaer dan Agustina (2010:115) Fasold memberikan keterangan untuk membedakan alih kode dan campur kode. “Kalau sesorang mengunakan satu kata atau frasa dari satu bahasa, dia telah melakukan campur kode. Apabila satu klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatika satu bahasa dan klausa berikutnya disusun menurut struktur gramatika bahasa lain maka peristiwa yang terjadi alih kode”. Situasi kebahasaan masyarakat dwibahasa memungkinkan terjadinya campur kode. Campur kode merupakan peristiwa percampuran antara suatu kata bahasa dengan kata bahasa lain. Azhar mengungkapkan “campur kode terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan, mendukung
20
suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya” (2010:16). Azhar membagi campur kode menjadi dua yakni (1) campur kode ke dalam (inner code mixing), yaitu campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya; (2) campur kode ke luar (outer code mixing), yaitu campur kode yang berasal dari bahasa asing (2010:17). Selain itu disebutkan pula wujud campur kode, penyisipan kata, penyisipan frasa, penyisipan klausa, penyisipan ungkapan atau idiom, dan penyisipan bentuk baster (gabungan pembentuk asli dan asing) (Azhar, 2010:17).
2.
Komponen Tutur Penggunaan bahasa berkaitan dengan unsur-unsur di luar bahasa. Unsur di
luar bahasa mempengaruhi penggunaan bahasa anak remaja. Sehubungan dengan pengunaan bahasa remaja, maka muncul faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan bahasa gaul pada anak remaja. Faktor-faktor tersebut dijelaskan melalui komponen tutur yang dirumuskan Hymes dalam Sumarsono (2013:335) yakni komponen yang disingkat menjadi SPEAKING. Kedelapan unsur tersebut sebagai berikut. a.
Situasi, (Latar dan Suasana) Sumarsono mengungkapkan “latar mengacu kepada waktu dan tempat
terjadinya tindak tutur, dan biasanya mengacu kepada keadaan fisik” (2013:327). Selain itu, diungkapkan pula “suasana mengacu kepada „latar psikologis‟, atau batasan budaya tentang suatu kejadian sebagai suatu jenis suasana tertentu” (Sumarsono, 2013:327).
21
b.
Partisipan Partisipan mengacu kepada penutur, pengirim, pendengar, dan penerima.
Keempat partisipan tersebut disebut sebagai pelibat atau partisipan dalam pertuturan atau pengguna bahasa (Sumarsono, 2013:327). c.
End (Maksud dan Hasil) End merupakan maksud dan tujuan dari bahasa yang digunakan. Saat
seseorang menggunakan bahasa maka terdapat beberapa ragam bahasa yang digunakan
sesuai
dengan
maksud
yang
hendak
dicapai.
Sumarsono
mengungkapkan “untuk kepentingan maksud itu para partisipan dan latar disesuaikan” (2013:328). d.
Act sequence (Bentuk dan Isi Pesan) Act Sequence berkaitan dengan persoalan yang dikatakan, menyangkut
topik, dan perubahan topik (Sumarsono, 2013:328). Dari penggunaan suatu bahasa maka pengguna bahasa tahu apa yang sedang dipercakapkan, dan kapan topik percakapan itu berubah (Sumarsono, 2013:328). Oleh karena itu, pesan atau topik yang dibicarakan akan berubah-ubah. Perubahan topik ini bergantung pada alasan melakukan pembicaran terhadap orang lain. e.
Key (Nada dan Cara) Key
mengacu kepada “cara, nada, atau jiwa pada saat suatu bahasa
digunakan” (Sumarsono, 2013:329). Hal ini dapat dilihat melalui cara suatu bahasa disampaikan kepada pengguna bahasa lain. Nada atau cara yang digunakan oleh anak remaja bernuansa santai dan akrab karena bahasa pergaulan anak remaja digunakan dalam suasana informal.
22
f.
Instrumentalities (Saluran dan Bentuk Bahasa) Instrumentalities “mengacu kepada medium penyampaian suatu bahasa,
dapat melalui lisan, tertulis, telegram, telepon, dan sebagainya” (Sumarsono, 2013:330). Pada penelitian ini instrumentalities yang digunakan yakni bahasa tulis. g.
Norms (Norma Interaksi dan Interpretasi) Sumarsono mengungkapkan “norma interaksi berkaitan dengan semua
kaidah yang mengatur penggunaan bahasa bersifat imperatif (memerintah)” (2013:332). Maksud dari pernyataan tersebut yakni perilaku khas dan sopan santun pengguna bahasa dalam suatu kelompok pengguna bahasa. Norma interpretasi mengacu pada penafsiran dari lawan bicara pengguna bahasa. h.
Genre Genre mengacu pada bentuk penyampaian seperti “puisi, mite, dongeng,
peribahasa, teka-teki, cacian, doa, orasi, kuliah, perdagangan, surat edaran, editorial, dan sebagainya” (Sumarsono, 2013:333). Pada penelitian ini genre penggunaan bahasa termasuk kategori artikel pada media online.
3.
Variasi Bahasa a. Chaer mengungkapkan “bahasa bervariasi karena anggota masyarakat penutur bahasa itu sangat beragam, dan bahasa itu sendiri digunakan untuk keperluan yang beragam-ragam pula”. Chaer mengklasifikasikan bahasa yang beragam berdasarkan penuturnya dan penggunaannya (2014:61-62): 1) Berdasarkan penutur, adanya dialek-dialek, baik dialek regional maupun dialek sosial;
23
2) Berdasarkan penggunaannya, mengenal adanya ragam-ragam bahasa seperti ragam jurnalistik, ragam sastra, ragam ilmiah, dan sebagainya. b. Dalam Chaer dan Agustina (2010:70-71) Martin Joos dalam bukunya The Five Clock membagi variasi bahasa atas lima macam ragam. 1) Ragam beku adalah variasi bahasa yang paling formal yang digunakan dalam situasi-situasi khidmat dan upacara-upacara resmi. 2) Ragam resmi atau formal adalah variasi bahasa yang digunakan dalam pidato kenegaraan, rapat dinas, surat-menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran, dan sebagainya. Pola dan kaidah ragam resmi sudah ditetapkan secara mantap sebagai suatu standar. 3) Ragam usaha atau ragam konsultatif adalah ragam yang paling operasional. Wujud ragam ini berada diantara ragam formal dan informal. 4) Ragam santai atau ragam kasual adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi. Ragam santai ini banyak menggunakan bentuk allegro, yakni bentuk kata atau ujaran yang dipendekkan. 5) Ragam akrab atau ragam intim adalah variasi bahasa yang biasa digunakan oleh para penutur yang hubungannya sudah akrab. Ragam ini ditandai dengan penggunaan bahasa yang tidak lengkap, pendekpendek dan dengan artikulasi yang sering kali tidak jelas. c. Dalam Kushartati (2006:2) Purwo mengungkapkan ciri-ciri bahasa tak baku sebagai berikut: 1) Penggunaan bentuk-bentuk fatis seperti dong, deh, sih, nih 2) Penggunaan bentuk pronominal persona seperti gue, gua, (e)lu
24
3) Adanya pemarkah dalam bentuk morfem. Ciri morfologis yang menandai bentuk tak baku: a) Ketiadaan morfem yang seharusnya ada pada ragam baku seperti, morfem {ber-} b) Kehadiran morfem yang lain dari terdapat pada ragam baku, seperti morfem {-in} c) Kehadiran morfem yang sama bentuk dengan yang terdapat pada ragam baku. 4) Adanya bentuk penggal, yang dalam ragam baku berupa bentuk utuh 5) Adanya perubahan bunyi, dalam hal ini adalah perubahan diftong pada bentuk baku menjadi bunyi lain 6) Adanya gabungan antara pemenggalan dan perubahan bunyi 7) Adanya bentuk-bentuk leksikal yang berbeda dengan yang dipakai pada ragam baku. Ada dua bentuk yang ditemukan: a) Bentuk leksikal tak baku yang mempunyai padanan dalam bentuk baku b) Bentuk leksikal yang memiliki makna lebih dari satu dalam ragam baku 8) Letak {-in} yang tidak dapat ditemukan disembarang kata. d. Arifin dan Tasai mengungkapkan perbedaan ragam lisan dan ragam tulis (2000:15) sebagai berikut: 1) Ragam lisan menghendaki adanya orang kedua, teman berbicara yang berada di depan pemicara, sedangkan ragam tulis tidak mengharuskan adanya teman bicara berada di depan.
25
2) Di dalam ragam lisan unsur-unsur fungsi gramatikal seperti subjek, predikat, dan objek tidak selalu dinyatakan. Unsur-unsur itu kadangkadang dapat ditinggalkan. Ragam tulis perlu lebih terang dan lebih lengkap daripada ragam lisan. Fungsi-fungsi gramatikal harus nyata karena ragam tulis tidak mengharuskan orang kedua berada di depan pembicara. 3) Ragam lisan sangat terikat pada kondisi, situasi, ruang dan waktu sedangkan ragam tulis tidak terikat oleh situasi, kondisi, ruang dan waktu. Suatu tulisan dalam sebuah buku oleh seorang penulis Indonesia dapat dipahami oleh orang yang berada di Amerika atau Inggris. 4) Ragam lisan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya dan panjang pendeknya suara, sedangkan ragam tulis dilengkapi dengan tanda baca, huruf besar, dan huruf miring.
4.
Bahasa Prokem Bahasa prokem sudah sejak lama dipergunakan oleh pengguna bahasa.
Akan tetapi, untuk saat ini bahasa prokem bergeser penggunaannya yang berasal dari bahasa preman menjadi bahasa anak remaja. Rahardja dan Chambert mengungkapkan bahasa prokem “mulai dipakai juga oleh anak-anak muda di ibu kota, dan barangkali pada waktu itulah bahasa prokem berkembang dengan cepat oleh karena kaum remaja itu tentu saja lebih banyak dari kaum bandit” (1990:9). Selain itu, disebutkan pula “bahasa prokem berfungsi mengungkapkan rasa solidaritas. Sebagaimana tiap kode dalam bahasa apa pun, bahasa prokem
26
memisahkan yang mengerti dan tidak mengerti. Demikianlah para pemuda menyatakan diri sebagai satu kelompok sosial” (Rahardja dan Chambert, 1990:23). Saat ini definisi bahasa prokem tidak berkaitan dengan definisi linguistik melainkan definisi sosial, hal ini seperti pernyataan Rahardja dan Chambert “definisi bahasa prokem sekarang ini bukan definisi linguistik (sebuah kata dianggap kata prokem menurut sesuai tidaknya dengan satu rumus tertentu), melainkan definisi sosial (prokem adalah bahasa sandi, termasuk macam-macam kode yang berlainan, yang dipakai oleh sebuah golongan masyarakat tertentu)” (1990:11). Rahardja dan Chambert mengungkapkan ciri-ciri bahasa prokem sebagai berikut. a.
Sebagian besar kata prokem dibentuk dengan imbuhan –ok. Setiap kata diambil 3 fonem (gugus konsonan dianggap satu). Contoh preman menjadi (prem), lalu disisipin –ok di belakang fonem (atau gugus fonem) yang pertama, sehingga menjadi pr –ok- em atau prokem (Rahardja dan Chambert, 1990:12) .
b.
Bahasa balik, yakni penukaran kedua konsonan awal dari satu kata bersuku kata dua. Contoh kata kibin menjadi bikin. Selain itu huruf apa saja boleh ditukar. Misalnya dua suku kata bertukar tempat yakni pergi menjadi giper, kata tunggu menjadi gutung. Atau seluruh kata dibaca dari belakang huruf demi huruf seperti contoh kata rupiah menjadi haipur, kata manis menjadi sinam (Rahardja dan Chambert, 1990:13).
27
c.
Pemakaian kata yang huruf awalnya sama dengan huruf awal kata yang dimaksud. Contohnya ialah taksi gelap memiliki arti tante girang karena bukan saja huruf awalnya sama tetapi artinya mengandung kiasan juga (Rahardja dan Chambert, 1990:14).
d.
Pemberian arti baru kepada kata bahasa Indonesia biasa. Contohnya melinjo diartikan peluru, cacing dan rante memiliki arti kalung, bonsai memiliki arti orang kerdil karena persaman rupa, sedangkan kuda dan onta diartikan motor dan hotel diartikan penjara karena persamaan fungsi (Rahardja dan Chambert, 1990:15).
e.
Penggunnan akronim dan singkatan (Rahardja dan Chambert, 1990:15). Akronim dan singkatan berkaitan dengan abreviasi, Kridalaksana (2008:1) mengungkapkan “abreviasi adalah proses penanggalan satu atau beberapa bagian leksem atau kombinasi leksem sehingga terjadi bentuk baru yang berstatus kata”.
f.
Penggunaan bahasa asing. Bahasa remaja meminjam kata dari bahasa asing. Hal ini menarik karena bertentangan dengan bahasa Indonesia, kini semakin banyak menimba kata-kata dari kamus bahasa Inggris. Hal ini berkaitan dengan remaja dan “kultur pop-nya” dan sangat terpengaruh oleh kebudayaan barat (Rahardja dan Chambert, 1990:16).
5.
Monoftongisasi Dalam perkembangan bahasa, selalu terdapat peristiwa perubahan,
terutama perubahan bentuk kata. Pada artikel Rubrik Special banyak ditemukan perubahan kata akibat bahasa remaja menggunakan bahasa informal sehingga
28
melanggar kaidah bahasa baku. Salah satu perubahan bentuk kata yakni monoftongisasi. Monoftongisasi adalah “perubahan suatu diftong (gugus vokal) menjadi monoftong” (Muslich, 2014:108). Sebagai contoh seperti pada data artikel Rubrik Special berikut Sebelum sampe rumah, lo bisa langsung puter balik ke toko yang ngejual tempat makan yang sama persis kayak punya lo. Yah walopun ini bakal nguras uang jajan mingguan lo setidaknya ini bikin lo aman dari omelan nyokap. (04/PB/MT/25112015)
Daripada menuliskan walaupun dalam Rubrik Special Provoke Magazine online menuliskan walopun, dalam hal ini fonem yang hilang yakni diftong /au/ berubah menjadi fonem /o/ sebagai pengganti diftong /au/.
6.
Reduksi Verhar (2001:85) menyebutkan bahwa “dalam semua bahasa di dunia,
penutur-penutur berusaha untuk “menghemat” tenaga dalam pemakaian bahasa dan memperpendek tuturan-tuturannya, sejauh hal itu tidak menghambat komunikasi, dan tidak bertentangan dengan budaya tempat bahasa tersebut dipakai”. Dari pengguna bahasa memperpendek penggunaan bahasa maka timbul gejala reduksi. Muslich mengungkapkan bahwa “gejala reduksi adalah peristiwa pengurangan fonem dalam suatu kata” (2014:106). Gejala reduksi dapat dibedakan atas aferesis, sinkop, dan apokop. a.
Aferesis ialah proses penghilangan fonem pada awal kata (Muslich, 2014:106). Sebagai contoh seperti pada data artikel Rubrik Special berikut Nggak cuma itu, „sesuatu‟ yang dipertukarkan di pacaran adalah kasih sayang. Asik! Nggak keliatan dan nggak terukur tapi terasa. Ntap!
29
(09/PB/RD/13102015) Daripada menuliskan mantap dalam Rubrik Special Provoke Magazine online menuliskan ntap. Dalam hal ini fonem yang hilang yakni dua fonem pada awal kata berupa fonem /m/ dan /a/. b.
Sinkop ialah penghilangan fonem di tengah-tengah kata (Muslich, 2014:107). Contoh sinkop pada data artikel Rubrik Special berikut Faktanya hari kiamat lebih menakutkan dibandingkan hari Senin. Apalagi kalo lo masih banyak dosa, sering boong sama bokap nyokap, suka nyontek dsb nya. Ngeri! (26/PB/RD/25012016) Pada artikel Rubrik Special terdapat penulisan kata boong. Kata boong seharusnya ditulis bohong. Dalam hal ini terjadi penghilangan fonem /h/ pada tengah kata.
c.
Apokop ialah proses penghilangan fonem pada akhir kata (Muslich, 2014:107). Cara ini bisa kamu pake buat kasih kejutan ke pacar yang ultah. Jangan lupa dibungkus kertas kado sama kasi pita ya. (27/PB/RD/06102015) Pada artikel Rubrik Special terdapat penulisan kata kasi. Kata kasi seharusnya ditulis kasih. Dalam hal ini terjadi penghilangan fonem /h/ pada akhir kata.
7.
Afiksasi Afiksasi merupakan pembentukan kata dengan disertai imbuhan pada kata
dasar. Pada artikel Rubrik Special terdapat afiksasi untuk membentuk sebuah kata. Muslich mengungkapkan bahwa
30
“afiksasi merupakan peristiwa pembentukan kata dengan jalan membubuhkan afiks pada bentuk dasar. Bentuk dasar adalah bentuk yang menjadi dasar bagi pembentukan bentuk yang lebih besar. Afiks yang melekat pada bentuk dasar merupakan bentuk kebahasaan terikat yang hanya mempunyai arti gamatikal” (Muslich, 2014:38-41). Chaer mengungkapkan (2014:177-181) jenis-jenis afiks dalam bahasa Indonesia yakni sebagai berikut: a.
Prefiks adalah afiks yang diimbuhkan di muka bentuk dasar. Contoh {me-}, {ber-}, {di-}, {se-}, {ke-}, {ter-}, {pe-}, dan {per-}
b.
Infiks adalah afiks yang diimbuhkan di tengah bentuk dasar. Contoh dalam bahaasa Indonesia {-el-}, {-er-}, {-em-}, dan {-in-}
c.
Sufiks adalah afiks yang diimbuhkan pada posisi akhir bentuk dasar. Contoh {-an}, {-kan}, dan {-i}
d.
Konfiks adalah berupa morfem terbagi, yang bagian pertama berposisi pada awal bentuk dasar, dan bagian yang kedua berposisi pada akhir bentuk dasar. Karena konfiks ini merupakan morfem terbagi, maka kedua bagian dari afiks itu dianggap sebagai satu kesatuan, dan pengimbuhannya dilakukan sekaligus, tidak ada yang lebih dahulu, dan tidak ada yang lebih kemudian. Contoh dalam bahasa Indonesia yakni {per-an}, {ke-an}, {ber-an}, dan {pean}
e.
Interfiks adalah sejenis infiks atau elemen penyambung yang muncul dalam proses peggabungan dua buah unsur. Interfiks tidak dijumpai pada bahasa Indonesia
f.
Transfiks adalah afiks yang berwujud vokal-vokal yang diimbuhkan pada kesluruhan dasar. Transfiks ini tidak dijumpai pada bahasa Indonesia.
31
8.
Media Online Media online merupakan media yang tersaji secara online di situs website
internet. Media online dapat diakses oleh masyarakat kapan dan di mana saja ketika ada internet yang menghubungkan dengan pengguna tersebut. Romli (2012:31) menjelaskan “media online adalah media berbasis telekomunikasi dan multimedia (komputer dan internet). Di dalamnya terdapat portal, website (situs web), radio-online, TV-online, email-online”. Romli (2012:32) membagi jenisjenis media online sebagai berikut: a.
Situs berita berupa “edisi online” dari media cetak surat kabar atau majalah
b.
Sirus berita berupa “edisi online” media penyiaran radio
c.
Situs berita berupa “edisi online” media penyiaran televisi
d.
Situs berita online “murni” yang tidak terkait dengan media cetak atau elektronik
e.
Situs “indeks berita” yang hanya memuat link-link berita dari situs berita lain.
32
C. Kerangka Pikir Sumber Data Artikel Rubrik Special Provoke Magazine Online
Teori Metode Penyediaan Data Metode simak dan teknik catat
D.
Data
E.Kata, frasa, dan kalimat yang mengandung ciri khas bahasa remaja dalam Provoke Magazine Online
Sosiolinguistik Interferensi Morfologi Alih Kode Campur Kode Komponen Tutur Variasi Bahasa Ragam Lisan Bahasa Prokem Monoftongisasi Reduksi Afiksasi Media online
Klasifikasi Data Pemberian nomor urut data, kode rumusan masalah, kategori, dan tanggal terbit.
Metode Analisis Data Karakteristik penggunaan bahasa Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya bahasa remaja dalam artikel Rubrik Special Provoke Magazine Online
Metode Padan
33
Bagan di atas menggambarkan bahwa sumber data dalam penelitian ini adalah Artikel Rubrik Special pada Provoke Magazine Online. Data yang diperoleh dari sumber data dilakukan penyimakan untuk selanjutnya dicatat pada kartu data. Data yang sudah dicatat berupa kata, frasa, dan kalimat mengandung ciri khas bahasa remaja dalam Artikel Rubrik Special pada Provoke Magazine Online. Kata, frasa, dan kalimat mengandung ciri khas bahasa remaja diambil untuk selanjutnya diklasifikasikan dan diberi nomor urut data, kode rumusan masalah, kategori, dan tanggal terbit. Setelah data diklasifikasikan maka data dianalisis berdasarkan metode padan. Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah realisasi karakteristik penggunaan bahasa Indonesia dan faktor yang mempengaruhi munculnya bahasa remaja pada Artikel Rubrik Special. Karakteristik penggunaan bahasa dalam Artikel Rubrik Special akan dianalisis dengan teori sosioinguistik, interferensi morfologi, alih kode dan campur kode, komponen tutur, variasi bahasa, ragam lisan, bahasa prokem, monoftongisasi, reduksi, afiksasi, dan media online.