BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Penelitian Terdahulu Penelitian pertama yang berhubungan dengan penelitian mengenai pelesapan argumen dilakukan Sawardi pada tahun 2011 dengan judul Pivot dan Subjek dalam Kasus Bahasa Jawa. Dalam makalahnya ini, Sawardi membahas mengenai peran pivot yang digunakan untuk mengetahui jenis bahasa Jawa apakah bahasa Jawa memperlakukan S sama dengan A atau S sama dengan O. Jika bahasa Jawa memperlakukan S sama dengan A maka bahasa Jawa termasuk bahasa akusatif sedangkan jika bahasa Jawa memperlakukan S sama dengan O maka bahasa Jawa merupakan bahasa ergatif. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa bahasa Jawa tidak memiliki perilaku S/A pivot atau S/O pivot sehingga bahasa Jawa termasuk bahasa yang tidak memiliki mekanisme pivot. Penelitian kedua yang berkaitan dengan pelesapan argumen adalah penelitian yang dilakukan oleh I Made Netra, Petrus Pita, I Wayan Mandra, dan Paulus Subiyanto dengan judul Sistem Koreferensial Klausa Subordinatif Bahasa Indonesia. Penelitian ini berbentuk makalah dan menjadi salah satu makalah dalam Linguistika tahun 2008. Penelitian ini mengangkat masalah tipologi bahasa Indonesia dengan memperhatikan aliansi gramatikal pada penggabungan dua klausa, apakah bahasa Indonesia termasuk dalam bahasa akusatif yang memperlakukan S sama dengan A atau bahasa ergatif yang memperlakukan S sama dengan O. Pembahasan pada makalah ini terfokus pada bentuk struktur
10
tipologi kalimat subordinatif bahasa Indonesia secara morfologi dan sintaksis, pengidentifikasian perubahan morfologis yang terjadi pada verba sekaligus mempengaruhi argumen, dan perubahan argumen pada kalimat subordinatif bahasa Indonesia. Kesimpulan yang diambil dalam penelitian ini adalah bahasa Indonesia memiliki semua jenis tipologi bahasa yaitu akusatif, aktif, pasif, ergatif, dan antipasif. Selain itu Netra, dkk (2008:152). juga menyatakan bahwa perubahan morfologis verba sebuah klausa dapat mempengaruhi argumen inti klausa lainnya. Penelitian ketiga yang berkaitan dengan pelesapan argumen adalah penelitian yang dilakukan Dendy Sugono dalam desertasinya yang berjudul Pelesapan Subjek dalam Bahasa Indonesia. Sugono membahas mengenai tipe kalimat bahasa Indonesia yang memiliki pelesapan subjek, rumusan kaidah pelesapan subjek, serta menemukan unsur pengendali dan terkendali pada pelesapan subjek bahasa Indonesia. Sugono melakukan penelitiannya pada klausa koordinatif dan subordinatif bahasa Indonesia. Dalam penelitiannya Sugono (1991:284) menyimpulkan bahwa pelesapan subjek dalam bahasa Indonesia lebih banyak dikendalikan oleh frasa nomina subjek daripada frasa nomina objek, pelengkap, atau keterangan. Hal lain yang disimpulkan Sugono adalah pelesapan subjek dapat menimbulkan ketaksaan jika dalam klausa tempat frasa nomina pengendali terdapat frasa nomina lain yang memiliki kesamaan ciri semantik dengan frasa nomina pengendali. Penelitian keempat yang berkaitan dengan pelesapan argumen adalah penelitian yang dilakukan Paina dalam tesisnya yang berjudul Pelesapan Objek dalam Wacana Tulis Bahasa Jawa. Paina membagi pelesapan objek menjadi dua
11
golongan, yaitu pelesapan objek karena kegramatikalannya dan pelesapan objek karena sifat leksikal unsur pengisi fungsi predikat (2001:20). Pelesapan objek ini juga tidak lepas dari unsur yang bersifat koreferensial dengan objek itu sendiri sebagai pengendali pelesapan, baik berupa subjek, objek, pelengkap, maupun keterangan. Dalam penelitian ini Paina menyimpulkan bahwa pelesapan objek bisa terjadi apabila objek dalam sebuah klausa bersifat koreferensial dengan objek klausa yang mengikutinya. Paina juga menyebutkan bahwa pelesapan objek memiliki dua fungsi, yaitu sebagai pembentuk struktur dan fungsi stilistika. Penelitian kelima yang berkaitan dengan pelesapan argumen adalah penelitian yang dilakukan oleh Artawa (1997:108) yang berjudul Keergatifan Sintaksis dalam Bahasa : Bahasa Bali, Sasak, dan Indonesia. Penelitian yang merupakan salah satu makalah di Pellba 10 ini bertujuan untuk mendeskripsikan apakah ketiga bahasa tersebut, yaitu bahasa Bali, bahasa Sasak, dan bahasa Indonesia dapat dikelompokkan menjadi satu tipe bahasa atau masing-masing termasuk tipe yang berbeda dengan mendeskripsikan relasi S, A, dan O pada penggabungan dua klausa. Penelitian ini juga menyinggung tentang perubahan verba pada struktur kalimatnya, namun hanya sebatas pada kemungkinankemungkinan penggabungan klausanya membutuhkan perubahan struktur atau tidak sebagai tanda-tanda keakusatifan maupun keergatifan sebuah bahasa Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa ketiga bahasa tersebut menunjukkan perilaku keergatifan meskipun dengan cara yang berbeda. Penelitian keenam yang berkaitan dengan pelesapan argumen adalah penelitian yang dilakukan oleh Jufrizal dalam kumpulan makalah Linguistika tahun 2008. Penelitian yang berjudul Fenomena Tipologi Gramatikal Bahasa
12
Minangkabau : Akusatif, Ergatif, atau Campur? ini meneliti tentang tipe bahasa Minangkabau dengan memperhatikan sistem aliansi gramatikal yang dimiliki bahasa Minangkabau, apakah S diperlakukan sama dengan A atau S diperlakukan sama dengan O. Dalam penelitian ini Jufrizal (2008:13) menemukan adanya konstruksi zero pada bahasa Minangkabau. Konstruksi zero tersebut merupakan konstruksi pentopikalan yang tidak hanya menyentuh tataran gramatikal, namun sudah menyentuh tataran pragmatik. Penelitian mengenai pelesapan argumen memang lebih banyak ditemukan pada penelitian tipologi bahasa, mengingat pelesapan argumen merupakan salah satu cara untuk menentukan jenis sebuah bahasa. Penelitian mengenai pelesapan argumen selama ini masih terbatas pada penggunaannya untuk menentukan apakah sebuah bahasa berperilaku akusatif maupun ergatif dan belum pernah dibahas secara mendalam. Padahal masih banyak hal-hal yang perlu dibahas pada penelitian pelesapan argumen. Salah satu hal yang menarik dan belum pernah dibahas secara lebih lanjut dalam penelitian pelesapan argumen adalah masalah perubahan struktur klausa yang mempengaruhi pelesapan argumen. Perubahan struktur klausa pada pelesapan argumen ini penting dan menarik untuk dibahas karena mempengaruhi apakah argumen bisa dilesapkan atau tidak. Selain itu pemasifan juga menyebabkan terjadinya pergeseran kedudukan argumen.
B. Landasan Teori Berdasarkan permasalahan yang akan dikaji pada penelitian ini, pada bagian landasan teori akan dijelaskan teori mengenai klausa, perubahan struktur klausa, argumen, pelesapan argumen, dan aliansi gramatikal.
13
1. Pengertian Klausa Klausa merupakan bagian dari kalimat yang paling tidak terdiri dari subjek dan predikat. Chaer menyatakan klausa merupakan “satuan sintaksis berupa runtunan kata-kata berkonstruksi predikatif” (2007:231). Pada kontruksi tersebut ada unsur-unsur berupa kata atau frase yang berfungsi sebagai predikat dan unsur lainnya berfungsi sebagai subjek, objek, dan keterangan. Ramlan menjelaskan klausa sebagai “satuan gramatikal yang terdiri dari subjek dan predikat baik disertai objek, pelengkap, dan keterangan maupun tidak” (1987:89). Hal ini terlihat pada contoh berikut. (1)
Ibu tidak berlari-lari
S
P
(2)
Pemerintah S
akan menyelenggarakan P
(3)
Orang itu selalu berbuat S P
kebaikan PEL
(4)
Aku S
komandan O
sudah menghadap P
pesta seni O
tadi KET (Ramlan, 1987:91-99)
Contoh klausa (1), (2), (3), dan (4) di atas merupakan klausa yang terdiri dari subjek dan predikat, baik disertai objek, pelengkap, dan keterangan maupun tidak. Klausa tidak jauh berbeda dengan kalimat. Perbedaan yang dimiliki klausa dan kalimat hanya terletak pada intonasi akhir atau tanda baca (Alwi, et al., 2003:313). Klausa baru dapat disebut kalimat jika disertai intonasi dan tanda baca. Baik kalimat maupun klausa mempunyai unsur fungsi, kategori, dan peran di dalamnya. Fungsi dalam kalimat atau klausa adalah apa yang dikenal dengan subjek, predikat, objek dan keterangan. Unsur kategori adalah yang sering disebut
14
dengan kelas kata, yaitu nomina, verba, ajektiva, dan numeralia. Unsur terakhir, yaitu unsur peran mengistilahkan pelaku, penderita, dan penerima dalam klausa (Chaer, 2007:207). Ada beberapa jenis pembagian klausa dalam bahasa Indonesia. Jika dilihat dari predikatnya, klausa dibagi menjadi dua, yaitu klausa transitif dan klausa intransitif. Klausa transitif adalah klausa yang verbanya memerlukan objek. Adapun Kridalaksana (2008:246) menjelaskan bahwa “verba atau predikat dalam klausa transitif mengharuskan adanya tujuan”. Verba dalam klausa transitif memerlukan nomina sebagai objek dalam kalimat aktif dan objek itu dapat berfungsi sebagai subjek dalam kalimat pasif (Alwi, et al., 2003:91). Beberapa klausa berikut merupakan contoh klausa transitif. (5)
Ibu sedang membersihkan kamar itu.
(6)
Polisi harus memperlancar arus lalu lintas
(7)
Rakyat pasti mencintai pemimpin yang jujur (Alwi, et al., 2003:91)
Pada contoh klausa (5), (6), dan (7) di atas, ibu, polisi, dan rakyat merupakan fungsi subjek yang kemudian diikuti dengan predikat atau verba membersihkan, memperlancar, dan mencintai. Sesuai dengan tipe klausa transitif, predikat atau verba membersihkan, memperlancar, dan mencintai mengharuskan adanya objek. Maka setelah membersihkan, memperlancar, dan mencintai, harus diikuti objek berupa kamar itu, arus lalu lintas dan pemimpin yang jujur. Kridalaksana (2008:96) menjelaskan arti intransitif sebagai “perbuatan atau verba yang tidak mengharuskan adanya tujuan atau objek”. Alwi, dkk (2003:93), yang menyebut intransitif dengan istilah taktransitif, menjelaskan “verba dalam 15
klausa intransitif tidak memiliki nomina di belakangnya yang dapat berfungsi sebagai subjek dalam kalimat pasif”. Contoh klausa intransitif dapat dilihat sebagai berikut. (8)
Maaf, Pak, Ayah sedang mandi
(9)
Kami harus bekerja keras untuk membangun negara (Alwi, et al., 2003:93)
Penelitian ini akan membahas mengenai penggabungan dua klausa yang akan bersangkutan pada hubungan antara satu klausa dengan klausa lainnya. Untuk menjadi sebuah kalimat, klausa bisa terdiri dari satu klausa saja ataupun lebih. Kalimat yang terdiri dari satu klausa disebut kalimat tunggal sedangkan kalimat yang terdiri dari dua klausa disebut kalimat majemuk. Ada dua cara untuk menghubungkan klausa dalam kalimat majemuk, yaitu dengan koordinasi dan subordinasi. Hubungan koordinasi merupakan hubungan dua klausa atau lebih yang masing-masing klausanya mempunyai kedudukan yang setara dalam struktur konstituen (Alwi, et al., 2003:386). Hubungan antara klausa-klausa dalam hubungan koordinasi tidak bersangkutan satu sama lain secara hierarki karena klausa yang satu bukan konstituen klausa yang lainnya. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut. (10) Ia segera masuk ke kamar lalu berganti pakaian. (11) Dia bukannya sakit, melainkan malas saja. (12) Dia di kawasan industri, hanya saja dia tidak bekerja di sana. (Alwi, et al., 2003:388)
16
Pada contoh penggabungan klausa (10), (11), dan (12), kedua klausa yang digabungkan merupakan klausa utama dan mempunyai kedudukan yang sama sehingga bila dipisah, masing-masing mampu berdiri sendiri. Pada contoh klausa (10) misalnya, klausa pertama ia segera masuk ke kamar bukan merupakan bagian dari klausa kedua ia berganti pakaian, begitu pula sebaliknya. Hubungan antar klausa subordinatif adalah penggabungan dua klausa atau lebih yang salah satu klausanya menjadi bagian dari klausa yang lain (Alwi, et al., 2003:388). Klausa-klausa dalam penggabungan klausa subordinatif tidak mempunyai kedudukan setara dan salah satu klausanya merupakan konstituen dari klausa lainnya. Contoh penggabungan klausa secara subordinatif dapat dilihat dalam kalimat berikut. (13) Partisipasi
masyarakat
terhadap
program
keluarga
berencana
meningkat sesudah mereka menyadari manfaat keluarga kecil. (14) Andaikan saya memperoleh kesempatan, saya akan mengerjakan pekerjaan itu sebaik-baiknya. (15) Meskipun usianya sudah lanjut, semangat belajarnya tidak pernah padam. (Alwi, et al., 2003:390) Pada contoh penggabungan klausa (13), (14), dan (15), salah satu klausa merupakan klausa turunan dari klausa lainnya dan tidak dapat berdiri sendiri bila dipisahkan. Klausa utama yang dapat berdiri sendiri disebut klausa utama sedangkan klausa turunan dari klausa utama disebut klausa subordinatif. Contoh kalimat (15) misalnya, terdiri dari dua klausa yaitu (i) meskipun usianya sudah lanjut dan (ii) semangat belajarnya tidak pernah padam. Klausa (i) tidak dapat 17
berdiri sendiri tanpa klausa (ii). Klausa (i) disebut klausa subordinatif dan klausa (ii) disebut klausa utama. 2. Perubahan struktur klausa a.
Pemasifan Cook membagi klausa menurut hubungan subjek dengan predikatnya menjadi empat yang meliputi : (i) kalimat aktif, yaitu kalimat yang subjeknya merupakan pelaku predikat; (ii) kalimat pasif, yaitu kalimat yang subjeknya menjadi sasaran predikat; (iii) kalimat medial, yaitu kalimat subjeknya adalah pelaku dan penderita predikat; dan (iv) kalimat resiprokal, yaitu kalimat yang predikatnya menyatakan tindakan saling (dalam Sukini, 2010:89). Secara sederhana, pemasifan dapat dijelaskan sebagai proses berubahnya kalimat aktif menjadi kalimat pasif. Proses perubahan kalimat aktif menjadi kalimat pasif dapat dilihat pada kalimat berikut. (16)
(i) Bu Siska memasak kue kering
(ii) Kue kering dimasak (oleh) bu siska. (Sukini, 2010:96) Adapun Dixon (1994:146) memiliki rumusan mengenai proses perubahan klausa aktif menjadi klausa pasif. Rumusan pemasifan tersebut dapat dikutipkan sebagai berikut. a) “applies to an underlying transitif clause and forms a derived intransitif” (diterapkan pada klausa transitif dan membentuk turunan intranstif);
18
b) ―the underlying O NP becomes S of the passive‖ (FN O (frasa nomina objek) menjadi S (subjek yang merupakan satu-satunya argumen inti pada klausa bentuk turunan intransitifnya) pada bentuk pasif); c) ―the underlying A NP goes into a peripheral function, being marked by a non-core case, preposition, etc; this NP can omitted, although there is always the option of including it‖ (FN A (frasa nomina agen) menjadi fungsi periferal, dimarkahi dengan kasus bukan inti, preposisi, dan sebagainya; FN A ini dapat dihilangkan, meski selalu ada pilihan untuk diikutkan (dalam struktur klausanya)); d) ―there is some explicit formal marking of a passive construction (generally, by a verbal affix or else by periphrastic element in the verb phrase – such as English be...-en – although it could be marked elsewhere in the clause)‖ (ada beberapa pemarkah formal yang jelas pada konstruksi pasif (pada umunya dengan verba berafiks atau elemen perifrastik pada frasa verbanya – seerti dalam bahasa Inggris ditandai be...en – walau pemarkah itu bisa pemarkah pada unsur lain dalam klausa). Rumusan pemasifan menurut Dixon tersebut dapat diterapkan pada pemasifan kalimat (16) sebagai berikut. a) Kalimat aktif transitif (16i) membentuk turunan intransitif pada klaimat pasif (16ii).
19
b) Argumen objek kue kering pada kalimat aktif (16i) kue kering menjadi subjek yang merupakan satu-satunya unsur inti pada kalimat pasif (16ii). c) Argumen agen Bu Siska pada kalimat aktif (16i) menjadi fungsi periferal yang dimarkahi oleh hadirnya preposisi oleh pada kalimat pasif (16ii). d) Konstruksi aktif (16i) dimarkahi dengan prefiks me- pada verba memasak dan konstruksi pasif dimarkahi dengan prefiks dipada verba dimasak. b.
Perubahan struktur klausa kausatif Kausatif merupakan konstruksi verba dan afiks yang digunakan untuk mengekspresikan siapa atau apa penyebab sesuatu terjadi (Sawardi, 2011:189). Hubungan sebab akibat penting dalam struktur kausatif karena predikat atau verba pada struktur kausatif memiliki arti “membuat jadi”. Pada bahasa Indonesia, predikat atau verba pada struktur kausatif ditandai dengan afiksasi berupa : (i) akhiran –kan, (ii) akhiran –i, (iii) awalan per-, (iv) imbuhan per—kan, dan (v) imbuhan per—i (Winarti, 2009:3). Struktur kausatif dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu kausatif morfologi, kausatif perifrastik, dan kausatif leksikal. Pada penelitian ini hanya akan dibahas perubahan struktur non-kausatif menjadi struktur kausatif secara morfologi saja. Perubahan kausatif secara morfologi memiliki ciri-ciri tertentu. Perubahan dari struktur bukan kausatif menjadi kausatif secara morfologi ini hanya dapat dilakukan jika struktur sebelum
20
kausatifnya merupakan bentuk dasar atau intransitif (Sawardi, 2015:169). Selain itu perubahan kausatif pada umumnya menyebabkan perubahan valensi pada argumen-argumennya dengan bertambahnya jumlah argumen (Winarti, 2009:65-66). c.
Perubahan struktur aplikatif Aplikatif dideskripsikan sebagai pergeseran argumen dari kasus bukan inti menjadi argumen inti. Sawardi (2002:1) menjelaskan bahwa “aplikatif dalam ilmu sintaksis dipahami sebagai penambahan argumen inti di bawah agen yang dibedakan dengan kausatif yaitu penambahan argumen agen pada suatu proposisi”.Adapun Nurachman menyatakan bahwa pada proses aplikatif, pergeseran argumen yang terjadi meliputi promosi (advancement) dan demosi (demotion) (2002:274). Maksud dari promosi dan demosi di sini adalah naik dan turunnya argumen berdasarkan hierarkinya. Hierarki yang dimaksud adalah sebagai berikut. 1. Subjek 2. Objek langsung 3. Objek tak langsung 4. Oblik
Kenaikan hierarki biasanya terjadi pada oblik atau kasus bukan inti yang bergeser menjadi objek sedangkan penurunan hierarki biasanya terjadi pada objek langsung yang bergeser menjadi objek tidak langsung atau menjadi unsur bukan inti.
21
3. Argumen Verhaar mendeskripsikan argumen sebagai konstituen inti pada sebuah klausa yang biasanya berupa nomina atau frasa nominal (2008:165). Sebelumnya, Verhaar membedakan nomina berdasarkan keintiannya menjadi dua jenis, yaitu konstituen inti atau nuklir dan konstituen luar inti atau periferal (2008:164). Nomina yang berupa periferal biasanya ditandai dengan preposisi, misalnya untuk saya, oleh ayah, dan kepada para wartawan. Pembagian mengenai konstituen inti dan kontituen periferal ini berdasarkan pada konstituen yang hadir karena sifatsifat
khas
dari
verba
yang
menjadi
induk
konstruksinya.
Verhaar
mencontohkannya pada klausa-klausa bahasa Inggris sebagai berikut. Pada contoh klausa (17), preposisi to memiliki hubungan yang erat dengan verba dan merupakan satu kesatuan tapi tidak untuk to pada klausa (18). (17) They will object to this plan. „Mereka akan keberatan dengan rencana ini‟ (18) They will go to the post office. „Mereka akan pergi ke kantor pos.‟ (Verhaar, 2008:165) Konstituen periferal yang erat hubungannya dengan predikat atau verba klausanya dan diperlukan demi keutuhan klausa disebut sebagai komplemen (Verhaar, 2008:165). Komplemen dapat dilihat pada struktur klausa saya tinggal di Jakarta. Klausa saya tinggal bukan merupakan klausa lengkap tanpa hadirnya konstituen di Jakarta. Dixon mendeskripsikan argumen dengan membedakannya berdasarkan partisipan yang dibutuhkan verba pada sebuah klausa. Dixon (1994:6) menyatakan semua bahasa dibedakan antara klausa yang verbanya memiliki satu
22
argumen (klausa intransitif) dan klausa yang verbanya memiliki dua argumen atau lebih. Untuk menandai argumen-argumen tersebut, Dixon menggunakan sistem yang dapat digunakan lintas bahasa sebagai berikut. S – subjek klausa intransitif A – subjek klausa transitif O – objek klausa transitif Satu-satunya argumen pada klausa intransitif dinamakan subjek (S). Biasanya predikat dari klausa intransitif ini tidak memerlukan hadirnya argumen lain, seperti verba melompat, berkedip, berdiri, tumbuh, dan sebagainya. Argumen-argumen pada klausa transitif masing-masing dinamakan agen (A) dan objek (O). Adapun untuk membedakan A dan O pada klausa transitif, Dixon (1994:7) menggunakan dasar kajian peran semantik sebagai berikut. Tipe Semantik
Peran Semantik
Affect : hit, cut, burn
agent, manip, target
Giving : give, lend, pay
donor, gift, recipient
Speaking : talk, tell, order
speaker, addressee, message
Attention : see, hear, watch
perceiver, impression
Dixon menyatakan hampir semua bahasa menunjukkan tanda yang sama dalam menentukan A dan O melalui peran semantik, yaitu agent „agen‟, donor „donor‟, speaker „penutur‟, dan perceiver „yang merasakan‟ diidentifikasi sebagai A dengan pertimbangan peran-peran tersebut paling berkaitan dengan aktivitas yang dikerjakan (1994:8). Partisipan yang membuat potongan pada verba
23
memotong, dipetakan sama dengan partisipan yang memberikan sesuatu pada verba memberi, dan partisipan yang memberitahukan informasi pada verba mengatakan. Pada klausa transitif, partisipan yang tidak diidentifikasikan sebagai A secara otomatis menjadi fungsi O. Pada klausa yang memiliki partisipan lebih dari satu, hanya ada satu partisipan yang mengontrol aktivitas. Pada klausa Mary hit John „Mary memukul John‟ (Dixon, 1994:115), Mary yang mengontrol aktivitas tersebut. Walau ada kemungkinan Mary tidak sengaja memukul John, tapi John tetap tidak bisa menjadi agen yang mengontrol aktivitas. 4. Pelesapan argumen Pelesapan menurut Alwi, dkk adalah penghilangan unsur tertentu dari suatu kalimat atau teks tanpa mengurangi makna kalimatnya (2003:415). Adapun Ramlan mendeskripsikan pelesapan sebagai ”unsur kalimat yang tidak dinyatakan secara tersurat pada kalimat berikutnya tetapi kehadiran unsur itu dapat diperkirakan” (1993:24). Jadi dapat disimpulkan bahwa pelesapan argumen merupakan penghilangan atau tidak dimunculkannya unsur argumen pada sebuah kalimat. Unsur yang hilang pada sebuah pelesapan tidak begitu saja dilesapkan tanpa adanya acuan. Alwi, dkk menyatakan bahwa “unsur-unsur yang dilesapkan dapat ditelusuri balik dari teks secara tepat” dan lebih lanjut menyebut unsur yang sama yang tidak dilesapkan disebut anteseden dari unsur yang lesap (2003:415). Adapun Sugono menyatakan bahwa unsur yang hilang pada sebuah pelesapan memiliki anteseden atau acuan, baik acuan yang ada dalam konteks bahasa maupun yang ada di luar konteks bahasa (1991:13). Hal ini berlaku pula pada pelesapan argumen yang akan dibahas pada penelitian ini. Argumen yang lesap
24
harus memiliki anteseden yang menjadi acuan, terutama acuan yang ada pada konteks bahasanya. Hubungan antara unsur yang lesap dengan antesedennya ini disebut sebagai kekoreferensialan. Pelesapan argumen diperkenalkan oleh Dixon pada tahun 1994 dengan istilah pivot yang digunakan untuk menentukan tipe bahasa, apakah bahasa tersebut termasuk bahasa akusatif atau bahasa ergatif dengan memperhatikan perilaku kekoreferensialan antarargumen pada penggabungan klausa. Adapun Heath menggunakan istilah pivot untuk menerangkan fenomena sintaksis yang menyangkut pengidentifikasian kekoreferensialan dalam kalimat kompleks (dalam Artawa, 1997:113). Disamping istilah pivot, dia juga menggunakan istilah controller. Masing-masing istilah ini dalam bahasa Indonesia disebut terkendali dan pengendali. Frasa nomina yang berfungsi sebagai pengendali dalam klausa inti disebut sebagai controller pengendali dan klausa nominal pada klausa turunan disebut pivot atau terkendali. Dalam bahasa akusatif, seperti bahasa Inggris, pivotnya adalah subjek dalam sebuah klausa, sedangkan dalam bahasa bertipe ergatif seperti bahasa Dyrbal, pivotnya adalah objek. Mengenai
kekoreferensialan
antarargumen,
Dixon
mengemukakan
beberapa kemungkinan argumen yang berkoreferensial pada penggabungan klausa (1994:157-158). Kemungkinan kekoreferensialan argumen tersebut adalah sebagai berikut. Kedua klausa merupakan klausa intransitif a. S1 = S2 Klausa pertama intransitif dan klausa kedua transitif b. S1 = O2
25
c. S1 = A2 Klausa pertama transitif dan klausa kedua intransitif d. O1 = S2 e. A1 = S2 Kedua klausa merupakan klausa transitif dengan satu kekoreferensialan f. O1 = O2 g. A1 = A2 h. O1 = A2 i. A1 = O2 Kedua klausa merupakan klausa transitif dengan dua kekoreferensialan j. O1 = O2 dan A1 = A2 k. O1 = A2 dan A1 = O2 Perilaku kekoreferensialan antarargumen pada penggabungan klausa yang kemudian
salah satunya
dilesapkan dan
digunakan untuk
menentukan
kecenderungan jenis bahasa diilustrasikan secara sederhana oleh Dixon (1994:158) dalam bahasa Inggris sebagai berikut. a.
S1 = S2
: Bill
entered and sat down
b.
S 1 = O2
: Bill
entered and was seen by Fred
c.
S 1 = A2
: Bill
entered and saw Fred
d.
O1 = S2
: Bill
was seen by Fred and laughed
e.
A1 = S2
:
f.
O1 = O2
:
Fred saw Bill and laughed Bill was kicked by Tom and punched by
Bob g.
A1 = A2
: Bob
kicked Jim and punched Bill
h.
O1 = A2
:
Bob was kicked by Tom and punched Bill
i.
A1 = O2
:
Bob punched Bill and was kicked by Tom
j.
O1 = O2 dan A1 = A2
: Fred
punched and kicked Bill
26
k.
O1 = A2 dan A1 = O2
:
Fred punched Bill and was kicked by him
Dari ilustrasi di atas dapat diketahui bahwa terjadi pemasifan pada beberapa kemungkinan kekoreferensialan argumen bahasa Inggris yang cenderung berjenis bahasa akusatif. Pemasifan tersebut terjadi pada kekoreferensialan argumen yang melibatkan argumen O, yaitu pada kekoreferensialan (b), (d), (f), (h), (i), dan (k). Adapun kekoreferensial argumen (a), (c), (e), (g), dan (j) tidak mengalami perubahan struktur klausa. 5.
Tipologi Linguistik dan Aliansi Gramatikal Tipologi dapat diartikan sebagai pengelompokan suatu bahasa berdasarkan
ciri-ciri fonologis, gramatikal, atau leksikal untuk menemukan tipe-tipenya, terlepas dari perkembangan historisnya (Kridalaksana, 2008:123). Adapun tipologi linguistik dapat diartikan pengelompokan suatu bahasa dengan tataran tata bahasanya. Menurut Artawa (1997:108) tujuan pokok dari linguistik tipologi adalah untuk mengklasifikasikan bahasa-bahasa berdasarkan properti struktural bahasa tersebut dan menjawab pertanyaan “seperti apakah bahasa X itu?”. Kajian tipologi linguistik berusaha menetapkan pengelompokan bahasa secara luas berdasarkan unsur gramatikal yang saling berhubungan dalam bahasa tersebut. Dalam perkembangannya, tipologi linguistik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tipologi gramatikal dan tipologi fungsional (Jufrizal, 2008:6). Tipologi fungsional merupakan pengelompokan bahasa yang berdasarkan pada fungsi prakmatis atau fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Tipologi gramatikal merupakan
pengelompokan
bahasa
berdasarkan
sifat
gramatikalnya.
Pengelompokan bahasa dalam tataran sintaksis berhubungan erat dengan aliansi gramatikal. Jufrizal (2008:6) menjelaskan aliansi gramatikal (grammatical 27
alliance) merupakan sistem atau kecenderungan persekutuan gramatikal di dalam atau antar klausa dalam suatu bahasa secara tipologis, apakah persekutuan itu S = A, ≠ O atau S = O, ≠ A, atau Sa = A, So = O atau sitem yang lainnya (Jufrizal menggunakan istilah pasien (P) yang merujuk pada argumen objek (argumen O) pada Dixon). Dixon menyatakan bahwa aliansi gramatikal dapat dibagi menjadi tiga yang selanjutnya menunjukkan tiga tipe bahasa juga, yaitu bahasa yang termasuk tipe akusatif, tipe ergatif, dan bahasa yang termasuk tipe split-s atau s-terpilah (1994:14). Bahasa yang memperlakukan S-nya sama dengan A disebut bahasa bertipe akusatif sedangkan bahasa yang memperlakukan S-nya sama dengan O disebut bahasa ergatif. Adapun tipe bahasa s-terpilah, subjek yang mirip agen (Sa) dan subjek yang mirip objek (So) dimarkahi berbeda Tiga tipe bahasa yang disampaikan Dixon tersebut digambarkan oleh Sawardi (2009:3-5) sebagai berikut. a.
Tipe bahasa akusatif
S
A
- He danced „Dia menari‟ O
- He hit him „Dia memukulnya (dia)‟
Tipe bahasa akusatif adalah tipe bahasa yang memperlakukan S pada klausa intransitifnya sama dengan A pada klausa transitifnya. Hal ini dicontohkan pada bahasa Inggris dengan klausa intransitif he danced dan klausa intransitif he hit him. He yang merupakan S klausa intransitif diperlakukan sama dengan he yang merupakan A
28
klausa transitif. Hal ini berbeda dengan argumen O yang mengambil bentuk him. b.
Tipe bahasa ergatif - ηuma Ayah (ABS) „Ayah kembali‟
S
A
banaga-nyu kembali
- Yabu ηuma-ηgu Ibu(ABS) ayah-ERG NONFUT „Ayah melihat ibu‟
O
bura-n lihat-
Tipe bahasa ergatif adalah tipe bahasa yang memperlakukan S pada klausa intransitifnya sama dengan O pada klausa transitifnya. Hal ini dapat dilihat pada contoh bahasa Dyirbal. Dalam contoh di atas terlihat bahwa S pada klausa intransitifnya, ηuma „ayah‟, diperlakukan sama dengan yabu yang merupakan O pada klausa transitifnya, yaitu dengan tidak dimarkahi. Adapun A pada klausa transitif
ηuma-ηgu
dimarkahi
oleh
hadirnya
–ηgu
yang
membedakannya dari S. c.
Tipe bahasa s-terpilah Sa So
A
O
- Siti Nama Siti
tiba jatuh jatuh
- Siti
n-joget AKT-menari
Nama „Siti menari‟
Tipe bahasa dengan s-terpilah adalah tipe bahasa yang pemarkahan verba intransitifnya terpilah menjadi dua, yaitu subjek yang mirip agen (Sa) dimarkahi secara berbeda dengan subjek yang 29
mirip objek (So). Pada contoh kalimat dalam bahasa Jawa di atas, subjek Siti dengan verba tiba „jatuh‟ memiliki perilaku pasien sehingga verbanya tidak diberi nasal sebagai pemarkah aktif sedangkan subjek Siti dengan verba n-joget „menari‟ memiliki perilaku seperti agen yang mengontrol verbanya dan diberi pemarkah aktif nasal. C. Kerangka Pikir Penelitian menganai pelesapan argumen pada penggabungan klausa ini menggunakan teori Dixon mengenai keakusatifan dan keergatifan dan pivot feeding. Kerangka pikir yang digunakan untuk menganalisis pelesapan pada penggabungan klausa dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut. 1. Pada tahap awal, peneliti menentukan objek penelitian, yaitu pelesapan argumen pada penggabungan klausa. Peneliti melakukan pemahaman terhadap pelesapan argumen pada penggabungan klausa sehingga menemukan permasalahan mengenai perubahan struktur klausa yang mempengaruhi pelesapan argumen pada penggabungan klausa. 2. Setelah melakukan pemahaman yang mendalam, tahap selanjutnya adalah mengaitkan pelesapan argumen pada penggabungan klausa dengan perubahan struktur klausa aktif-pasif, kausatif, dan aplikatif. 3. Tahap selanjutnya adalah menentukan teori yang akan digunakan untuk menganalisis permasalahan mengenai pelesapan argumen pada penggabungan klausa. Penelitian ini menggunakan teori pelesapan argumen yang dikemukakan oleh Dixon.
30
4. Tahap akhir dalam penelitian ini adalah simpulan, yaitu memaparkan hasil analisis mengenai pelesapan argumen pada penggabungan klausa. Bagan 1 Kerangka Pikir
31