13
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
Pada bab dua berisi kajian terdahulu, kajian pustaka, dan kerangka berpikir. Kajian terdahulu berisi tentang penelitian-penelitian terhadap novel Virgin yang pernah dilakukan sebelumnya. Selanjutnya landasan teori, yaitu teoriteori yang digunakan dalam penelitian ini yang meliputi teori struktural, teori sosiologi sastra, dan problem-problem sosial. Pada bagian akhir terdapat bagan kerangka berpikir disertai penjelasannya.
A. Kajian Terdahulu Berdasarkan Universitas
penelusuran
Diponegoro,
penulis,
Universitas
di
Universitas
Negeri
Sebelas
Yogyakarta,
Maret,
Universitas
Muhammadiyah Surakarta, dan Universitas Gajah Mada belum pernah dilakukan penelitian terhadap novel Virgin (Ketika Keperawanan Dipertanyakan) karya Agung Bawantara ini. Penelitian mengenai novel Virgin ini sudah pernah dilakukan beberapa kali oleh mahasiswa di Universitas lain, dan penelitianpenelitian tersebut bermanfaat bagi penulis sebagai studi pustaka dalam penelitian ini. Adapun untuk studi terdahulu dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Elisabeth Tresnawaty (Juni, 2011) dalam skripsinya yang berjudul Makna Keperawanan dalam Novel Virgin (Ketika Keperawanan Dipertanyakan) karya Agung Bawatara: Tinjauan Sosiologi Sastra dari
Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta. Penelitian ini mengkaji makna keperawanan dalam novel
13
14
Virgin karya Agung Bawantara. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan tokoh dan penokohan, sekaligus juga mendeskripsikan makna dan akibat keperawanan dalam novel Virgin karya Agung Bawantara. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan sosiologi sastra yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan kajian penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskripsi, dan metode kualitatif deskriptif. Dari hasil penelitian di atas, tokoh penokohan dibagi menjadi dua, yakni tokoh antagonis yang diperankan oleh tokoh Stela dan Kety, sedangkan tokoh protagonis diperankan oleh Biyan. Makna dan akibat kehilangan keperawanan yang terjadi pada novel Virgin antara lain: pertama, pemaknaan mengenai virginitas di kalangan remaja yang menganut seks bebas memaknai keperawanan merupakan anggota tubuh lainnya, merupakan bagian dari tubuh yang dapat hilang sewaktu-waktu. Kehilangan
keperawanan
juga
merupakan
kegiatan
sehari-hari
yang
menyenangkan. Dengan demikian, kehilangan keperawanan merupakan kegiatan yang seharusnya mendatangkan kepuasan maupun mendapatkan penghasilan lebih. Selain itu, pemaknaan keperawanan merupakan komoditas yang dapat diperjualbelikan. Pada intinya, pemaknaan mengenai keperawanan dalam perkembangan masyarakat modern tidak hanya mengenai sobek atau tidaknya selaput dara, tetapi pemaknaan mengenai virginitas di kalangan remaja yang menganut seks bebas tentu saja berbeda halnya dengan kalangan yang menjunjung tinggi nilai keperawanan. Adapun akibat dari kehilangan keperawanan yang berkaitan dengan diri sendiri, tetapi berkaitan juga dengan masyarakat yang ada di sekitarnya. Salah
15
satu dari akibat kehilangan keperawanan di luar nikah adalah, hamil, penyakit kelamin. Berbeda dengan skripsi Elisabeth Tresnawaty yang mengkaji novel Virgin ini dari segi penokohan dan makna keperawanan saja, penelitian “Problem-problem Sosial Remaja dalam novel Virgin (Ketika Keperawanan Dipertanyakan) Karya Agung Bawantara (Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra)” mengkaji lebih detail dengan menggunakan teori struktural milik Robert Stanton, serta membahas problem-problem sosial remaja yang ada di dalam novel Virgin tersebut. Penulis mengambil pokok permasalahan problem-problem sosial tokoh remaja yang berada di dalam cerita novel dengan cakupan yang lebih luas, tidak hanya dari segi penokohan dan keperawanannya saja, seperti skripsi milik Elisabeth Tresnawaty ini, tetapi lebih mendetail. Detail penganalisisan karena langkah awal adalah mengupas unsur struktural novel dari fakta cerita, tema, dan sarana sastra menurut Robert Stanton, kemudian dilanjutkan dengan pembagian analisis masing-masing problem sosial remaja yang ditemukan di dalam novel Virgin. 2. Alfida Yeni (Desember 2007) dalam skripsinya yang berjudul Analisis Sudut Pandang pada Novel “Virgin” Karya Agung Bawantara dari Universitas Riau. Penulisan skripsi ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan penulis untuk meneliti sudut pandang pada Novel “Virgin” karya Agung Bawantara karena sudut pandang amatlah penting sebab menyangkut masalah seleksi terhadap kejadian-kejadian cerita yang disajikan, menyangkut arah pembaca akan dibawa, juga menyangkut masalah kesadaran tokoh-tokoh yang dipaparkan.
16
Hasil penelitian adalah pengarang sebagai pengamat, pengarang mengamati dan mengisahkan pengamatannya itu. Pengarang lebih banyak mengamati dari luar daripada terlibat dalam cerita. Pengarang dalam novel Virgin cenderung mengamati persoalan yang dihadapi para pelaku dari luar. Perasaan, pikiran, berkembang menurut visi pelaku, tanpa dicampuri pengarang. Pengarang sebagai serba tahu berusaha melaporkan semua segi dari satu peristiwa atau satu rangkaian tindak lanjut. Pengarang berusaha untuk langsung berusaha menuju ke inti dari seluruh gerak dan kegiatan. Pandangannya menyapu seluruh ruangan. Pengarang melaporkan hal-hal yang menarik perhatiannya. Pada pengarang sebagai peninjau lebih memilih salah satu tokoh untuk bercerita tentang pendapatnya atau perasaannya sendiri, tetapi terhadap tokoh lain dia memberitahukan kepada pembaca mengenail hal-hal yang dia lihat dan dia rasa. Berbeda jauh dengan skripsi Alfida Yeni
yang dalam penelitiannya ini
membahas dari segi sudut pandang sebagai pengamat, sebagai serba tahu, penelitian “Problem-problem Sosial Remaja dalam novel Virgin (Ketika Keperawanan Dipertanyakan) Karya Agung Bawantara (Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra)” lebih rinci membahas aspek struktural novel menggunakan teori struktural milik Robert Stanton secara lengkap, serta membahas problemproblem sosial remaja yang ada di dalam novel Virgin tersebut menggunakan teori sosiologi sastra milik Rene Welk dan dibantu dengan teori sosiologi dari Soerjono Soekanto. 3. Kuntoro (2006) mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan
Daerah,
Fakultas
Keguruan
dan
Ilmu
Pendidikan,
Universitas
17
Muhammadiyah Purwokerto dengan judul “Tinjauan Sosiologi Sastra Novel Virgin Karya Agung Bawantara”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan mengenai hubungan kenakalan tokoh remaja yang ada pada novel Virgin. Ada persamaan dengan skripsi milik Kuntoro ini, yaitu mendeskripsikan mengenai bentuk-bentuk kenakalan remaja yang ada pada novel Virgin, tetapi skripsi
“Problem-problem
Sosial
Remaja
dalam
novel
Virgin
(Ketika
Keperawanan Dipertanyakan) Karya Agung Bawantara (Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra)” lebih memusatkan pada problem sosial remaja dalam novel ini, kemudian dikupas makna dari problem sosial tersebut. Dengan menggunakan teori sosiologi sastra dan teori problem-problem sosial dari Soerjono Soekanto, dan teori struktural Robert Stanton yang mengupas unsur-unsur intrinsik novel, penelitian penulis berbeda dengan penelitian milik Kuntoro tersebut.
B. Kajian Pustaka 1. Teori Struktural Penelitian karya sastra terhadap unsur-unsur intrinsik atau struktur karya sastra merupakan tahap awal untuk meneliti suatu karya sastra sebelum memasuki penelitian lebih lanjut. Pendapat Teeuw menyatakan bahwa pendekatan struktural merupakan pendekatan yang bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, sedetail, dan semendalam mungkin berkaitan dan keterpaduan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984:135). Sementara Burhan Nurgiyantoro mengatakan,
18
“analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan berbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan” (1995:37). Pendapat di atas memperkuat penulis untuk mengambil langkah awal dengan menganalisis aspek struktural terlebih dahulu karena disamping mempermudah, memaparkan secara jelas isi dan unsur keterkaitan novel, juga membantu penulis dalam memahami jalan cerita novel, sahingga mempermudah jalan menemukan problem-problem sosial remaja yang dialami oleh tokoh-tokoh terkait. Sebuah struktur karya sastra harus dilihat sebagai suatu totalitas karena sebuah struktur terbentuk dari serangkaian unsur-unsurnya (Sangidu, 2004:16). Sebuah karya sastra memiliki unsur-unsur yang membangun struktur. Dengan demikian, makna totalitas sebuah kesatuan itu hanya dapat dipahami sepenuhnya apabila unsur-unsur pembentuknya terintegrasi ke dalam sebuah struktur. Analisis struktural dalam karya fiksi dapat dilakukan dengan mengkaji unsur-unsur intrinsiknya. Penganalisisan dapat dilakukan dengan melakukan sebuah identifikasi, pengkajian dan pendeskripsian fungsi dan hubungan antara unsur intrinsik fiksi yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2000:37). Unsur intrinsik karya fiksi menurut Robert Stanton yang diterjemahkan oleh Sugihastuti diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: (1) fakta cerita meliputi alur, tokohpenokohan, latar; (2) tema; (3) sarana sastra meliputi sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme, ironi.
19
a. Fakta Cerita Karakter, alur, dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum menjadi satu, semua elemen ini dinamakan „struktur faktual‟ atau „tingkatan faktual‟ cerita.
Struktur faktual bukanlah bagian terpisah dari sebuah cerita.
Struktur faktual adalah cerita yang disorot dari satu sudut pandang (Stanton, 2007:22). Fakta cerita menyangkut beberapa unsur sebagai berikut. 1) Alur Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya. Peristiwa kausal tidak terbatas pada hal-hal yang fisik saja seperti ujaran atau tindakan, tetapi mencakup perubahan sikap karakter, kilasan-kilasan pandangannya, keputusan-keputusannya, dan segala yang menjadi variabel pengubah dalam dirinya (Stanton, 2007:22). Dua elemen dasar yang membangun alur adalah „konflik‟ dan „klimaks‟. Setiap karya fiksi setidak-tidaknya memiliki konflik internal (yang tampak jelas) yang hadir melalui hasrat dua orang karakter atau hasrat seorang karakter dengan lingkungannya. Klimaks cerita adalah saat ketika konflik terasa sangat intens sehingga ending tidak dapat dihindari lagi. Konflik utama selalu bersifat fundamental, membenturkan seperti kejujuran dengan kemunafikan, kenaifan
20
dengan pengalaman, atau individulitas dengan kemauan beradaptasi. Klimaks merupakan
titik
yang
mempertemukan
kekuatan-kekuatan
konflik
dan
menentukan bagaimana oposisi tersebut dapat terselesaikan. (Stanton, 2007:3132). Alur dapat berupa jalan progresif (alur maju) yaitu dari awal, tengah, dan akhir terjadinya peristiwa. Tahap progresif bersifat linier. Yang kedua dapat berupa jalan regresif. Jalan regresif (alur mundur), yaitu bertolak dari akhir cerita, menuju tahap tengah atau puncak dan berakhir pada tahap awal. Tahap regresif bersifat nonlinier. Ada juga teknik pengaluran flash back (sorot balik) yaitu tahapannya dibalik seperti halnya regresif. Dalam menganalisis alur, Muchtar Lubis membedakan tahapan alur menjadi lima bagian. a)
Tahap situation (tahap penyituasian) merupakan tahap pembukaan
cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya. b)
Tahap generating circumstances (tahap pemunculan konflik)
merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. c)
Tahap rising action (tahap peningkatan konflik) merupakan tahap
dimana konflik yang muncul mulai berkembang. Konflik-konflik yang terjadi, baik internal, eksternal, maupun keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-
21
benturan antar kepentingan, masalah dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tidak dapat dihindari. d)
Tahap climax (tahap klimaks). Konflik dan atau pertentangan-
pertentangan yang terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks. e)
Tahap denouement (tahap penyelesaian). Konflik yang telah
mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik tambahan jika ada juga diberi jalan keluar, dan cerita diakhiri (Nurgiyantoro, 2005:149-150). 2) Karakter Istilah „karakter‟ biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita, konteks kedua karakter merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tersebut. Biasanya dalam sebagian cerita dapat ditemukan karakter utama, yaitu karakter yang terkait dengan semua peristiwa yang berlangsung dalam sebuah cerita. Biasanya, peristiwa-peristiwa ini menimbulkan perubahan pada diri sang karakter atau pada sikap terhadap karakter tersebut (Stanton, 2007:33). Dalam penelitian ini, penulis akan membahas analisis karakter pada konteks pertama, yaitu pada tokoh-tokoh atau pada individu-individu yang muncul dalam cerita. Lebih jelasnya, penulis akan membahas tokoh-tokoh penting
22
yang ada di dalam novel Virgin ini, dari tokoh utama hingga tokoh yang mendukung jalannya isi dan konflik cerita. 3) Latar Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-perstiwa yang sedang berlangsung. Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu (hari, bulan, dan tahun), cuaca, atau periode sejarah (Stanton, 2007:35). b. Tema Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan „makna‟ dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Ada banyak cerita yang menggambarkan dan menelaah kejadian atau emosi yang dialami manusia, seperti cinta, derita, rasa takut, kedewasaan, keyakinan, pengkhianatan manusia terhadap diri sendiri atau bahkan yang lainnya. Beberapa cerita bermaksud menghakimi tindakan karakter-karakter di dalamnya dengan memberi atribut baik atau buruk. Cerita-cerita lain memusatkan perhatian pada persoalan moral tanpa bermaksud memberi penilaian dan seolah-olah berkata „inilah hidup‟ (Stanton, 2007:36-37). Cara paling efektif untuk mengenali tema sebuah karya adalah dengan mengamati secara teliti sikap konflik yang ada di dalamnnya. Kedua hal ini berhubungan sangat erat dan konflik utama biasanya mengandung sesuatu yang sangat berguna jika benar-benar dirunut (Stanton, 2007:42).
23
c. Sarana Sastra Sarana sastra merupakan sebuah metode (pengarang) dalam memilih dan menyusun detail cerita agar tercapai pola-pola bermakna. Metode ini agar pembaca dapat melihat berbagai fakta dari kacamata penulis. Sarana-sarana sastra tersebut adalah berikut ini. 1) Judul Biasanya judul selalu relevan terhadap karyanya sehingga keduanya membentuk satu kesatuan. Pendapat tersebut dapat diterima apabila judul mengacu pada karakter utama atau latar tertentu. Akan tetapi, terkadang judul menjadi petunjuk makna cerita yang bersangkutan (Stanton, 2007:51-52). 2) Sudut Pandang Sudut pandang merupakan cara pengarang dalam bercerita. Robert Staton membagi sudut pandang menjadi empat, yaitu: a) Orang pertama-utama: karakter utama bercerita dengan katakatanya sendiri. b) Orang pertama-sampingan: cerita dituturkan oleh satu karakter sampingan. c) Orang ketiga-terbatas: pengarang mengacu pada semua karakter dan
memposisikan
diri
sebagai
orang
ketiga,
tetapi
menggambarkan hal-hal yang dilihat, didengar, diperkirakan oleh satu karakter orang saja.
24
d) Orang ketiga-tidak terbatas: pengarang mengacu pada setiap karakter dan memposisikan sebagai orang ketiga (Stanton, 2007:53-54). 3) Gaya dan Tone Gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Meski dua orang menggunakan alur, karakter, dan latar yang sama, tetapi hasil dari tulisannya dapat berbeda. Perbedaan tersebut secara umum terletak pada bahasa dan menyebar ke segala aspek, seperti kerumitan, ritme, panjang pendek kalimat, kehalusan, humor, kekonkretan, dan banyaknya imajinasi serta metafora. Penggabungan dari berbagai aspek tersebut (dengan kadar tertentu) akan menghasilkan gaya (Stanton, 2007:61). 4) Simbolisme Simbol berwujud detail-detail konkret dan faktual dan memiliki kemampuan untuk memunculkan gagasan dan emosi dalam pikiran pembaca. Dengan hal itu, pengarang membuat maknanya jadi „tampak‟. Dalam fiksi, Simbolisme dapat memunculkan tiga efek tergantung simbol itu digunakan, yaitu (1) sebuah simbol yang muncul pada satu kejadian penting dalam cerita menunjukkan makna peristiwa tersebut; (2) simbol yang ditampilkan berulangulang mengingatkan akan beberapa elemen yang konstan dalam semesta cerita; (3) sebuah simbol yang muncul pada konteks berbeda-beda akan membantu kita menemukan tema (Stanton, 2007:64-65).
25
5) Ironi Secara umum, ironi dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa sesuatu berlawanan dengan hal-hal yang telah diduga sebelumnya. Ada dua jenis ironi dalam dunia fiksi, yaitu (1) „ironi dramatis‟ atau ironi alur dan situasi biasanya muncul melalui kontras diametris antara penampilan dan realitas, antara maksud dan tujuan seorang karakter dalam menyelesaikan sesuatu, atau antara harapan dan yang sebenarnya terjadi; (2) „tone ironis‟ atau „ironi verbal‟ digunakan untuk menyebut cara berekspresi yang mengungkapkan makna secara berkebalikan (Stanton, 2007:71-72).
2. Sosiologi Sastra Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, masyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang sering menjadi bahan sastra adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau masyarakat. Oleh karena itu, karya sastra bukan semata-mata gejala individual, tetapi juga gejala sosial karena tujuan sosiologi sastra adalah untuk mendapatkan gambaran yang lengkap, utuh, dan menyeluruh tentang hubungan timbal balik antara sastrawan, karya sastra, dan masyarakat (Jabrohim, 2001: 169). Persoalan yang terjadi dalam masyarakat merupakan bahan bagi pengarang. Semakin tinggi kepekaan pengarang, semakin tercermin persoalan yang muncul atau terjadi dalam masyarakatnya. Apabila ada pengarang yang kurang
26
memperhatikan aspek-aspek sosial dalam sastranya bukan berarti ia tidak mengangkat
persoalan
masyarakat,
melainkan
keberangkatan
pengarang
menciptakan yang berbeda. Hal ini terjadi karena pengarang mementingkan konsumen yang sifatnya menghibur. Lain halnya dengan pengarang literer, “pengarang yang mementingkan hakikat sastra atau kehidupan” akan lebih menampilkan permasalahan hakikat kehidupan manusia, seperti kegelisahan masyarakat menjadi kegelisahan para pengarangnya. Begitu pula harapanharapan, penderitaan-penderitaan, aspirasi mereka menjadi bagian pula dari pribadi pengarangnya. Hal ini berarti apa yang dilihat oleh pengarang akan diendapkan, diseleksi, dan akhirnya dituangkan dalam sebuah karya sastra. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap karya sastra akan menampilkan persoalan-persoalan yang berkembang dalam masyarakat. Apabila seorang pengarang peka terhadap lingkungannya, semakin besar kemungkinan karya sastra mencerminkan masyarakatnya. Novel sebagai gender sastra mempunyai peran sebagai salah satu wadah mengungkapkan masalah sosial, karena mempunyai sifat imajinatif, lengkap, bulat, dan singkat. Sastra sebagai cermin masyarakat, sebenarnya erat kaitannya dengan kedudukan pengarang sebagai anggota masyarakat sehingga secara langsung atau tidak langsung, daya khayalnya dipengaruhi oleh pengalaman manusiawinya dalam lingkungan hidupnya. Pengarang hidup dan berelasi dengan orang lain di dalam komunitas masyarakatnya, maka tidaklah heran apabila terjadi interaksi dan interelasi antara pengarang dan masyarakat. Gambaran kehidupan yang terpancar dalam novel akan memberikan pengalaman baru bagi masyarakat atau pembaca,
27
karena segala sesuatu yang ada dalam masyarakat tidak sama persis dengan yang ada dalam karya sastra. Melalui penafsirannya, pembaca memperoleh hal-hal baru yang mungkin tidak diperolehnya dalam kehidupan. Penafsiran tersebut melalui suatu pendekatan. Pendekatan yang umum dilakukan terhadap hubungan sastra dan masyarakat adalah mempelajari sastra sebagai dokumen sosial, sebagai potret kenyataan sosial. Memang ada semacam potret sosial yang dapat ditarik dari karya sastra (Wellek dan Warren, 1990: 122). Jadi, dapat disimpulkan bahwa masyarakat merupakan suatu gambaran atau cerminan dari sekian kisah kehidupan sosial yang diendapkan melalui pengalaman batin dan diolah oleh pengarang melalui daya imajinasi hingga menghasilkan sebuah karya sastra yang menarik. Sastra dan realitas sosial masyarakat menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena sastra diproduksi dan distrukturisasi dari berbagai perubahan realitas tersebut. Realitas pada sastra merupakan suatu cara pandang penciptanya dalam melakukan pengingkaran atau penelusuran atas realitas sosial yang melingkupi kehidupannya. Dengan demikian, sastra merupakan potret sosial yang menyajikan kembali realitas masyarakat yang pernah terjadi dengan cara yang khas sesuai dengan penafsiran dan ideologi pengarangnya. Pengarang adalah anggota salah satu masyarakat manusia. Ia hidup dan berelasi dengan orang-orang lain di sekitarnya. Maka tidak mengherankan kalau terjadi interaksi dan interelasi antara pengarang dan masyarakatnya (Sumarjo, 1982: 15).
28
Selalu dapat ditarik sifat relasi antara karya sastra dan masyarakat tempat pengarang hidup. Struktur karya sastra dibentuk dari proses strukturasi nilai-nilai yang terjadi pada realitas masyarakat. Struktur karya sastra lahir dan dibentuk oleh struktur ideologi masyarakat, sedangkan struktur masyarakat juga dipengaruhi oleh struktur karya sastra. Oleh karena hubungan dialektik inilah, maka sosiologi sastra hadir sebagai disiplin ilmu yang berusaha memahami dan menjelaskan fenomena dua struktur tersebut. Tampilnya sosiologi sastra sebagai metode
yang
mengalienasikan
karya
terhadap
struktur
sosial
yang
menghasilkannya, lahirlah teori-teori yang secara konseptual paradigmatis ditujukan dalam analisis sosiologi sastra. Teori sosiologi sastra pada umumnya diadopsi melalui teori-teori Barat yang kemudian disesuaikan dengan kondisi sastra Indonesia. Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari akar kata “sosio” (Yunani) (“socius” berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman)
dan
“logi”
(“logos”
berarti
sabda,
perkataan,
perumpamaan).
Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna, sosio atau socius berarti masyarakat, logi atau logos berarti ilmu. Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan instruksi. Akhiran „tra‟ berarti alat atau sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pelajaran yang
29
baik. Dengan demikian, sosiologi sastra berarti pemahaman totalitas karya yang disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya (Ratna, 2003: 1-2). Damono (1979:2) mengungkapkan mengenai sosiologi sastra, yakni pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Beberapa penulis telah mencoba untuk membuat klasifikasi masalah sosiologi sastra. Wellek dan Warren (1956:84) membuat klasifikasi yang singkatnya sebagai berikut. a. Sosiologi pengarang, yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, idiologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang, b. Sosiologi karya sastra, yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra, yang menjadi pokok telaahan adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikan, c. Sosiologi sastra, yang memasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat. Dari klasifikasi di atas, dapat diperoleh gambaran bahwa sosiologi sastra yang merupakan pendekatan terhadap sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan, beragam dan rumit, yang menyangkut tentang pengarang, karyanya, serta pembacanya. Studi sosiologis didasarkan atas pengertian bahwa setiap fakta kultural lahir dan berkembang dalam kondisi sosiohistoris tertentu. Sistem produksi karya seni, karya sastra khususnya, dihasilkan melalui antarhubungan bermakna, dalam hal ini subjek kreator dengan masyarakat.
30
Analisis sosiologi sastra tidak bermaksud untuk melegitimasikan hakikat fakta ke dalam dunia imajinasi. Analisis sosiologi karya sastra adalah analisis terhadap hubunganhubungan yang dibangun dalam struktur tokoh, latar, dan alur. Ketiga struktur ini menjadi pusat perhatian karena, seperti halnya kehidupan, aspek sosial dalam karya sastra dan kehidupan sehari-hari berpusat pada tiga hal ini, tokoh sebagai representasi manusia, latar sebagai representasi tempat, dan alur sebagai representasi waktu. Analisis sosiologi di sini bukanlah analisis yang memilah dan memotong-motong ketiga unsur tersebut. Akan tetapi, sebaliknya, analisisnya adalah memahami hubungan-hubungan yang terjalin antarstruktur tersebut sebagai langkah awal untuk memahami struktur sosial yang lebih kompleks, yaitu struktur sosial masyarakat yang sesungguhnya (Kurniawan 2012: 107). Tujuan sosiologi sastra adalah meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan. Karya sastra bukan semata-mata gejala individual, tetapi juga gejala sosial (Ratna, 2003: 11). Ratna (2008: 332) mengungkapkan ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan tentang segala sesuatu yang mengakibatkan sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut. a. karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat,
31
b. karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat, c. medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan, d. berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika, e. masyarakat jelas berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut, sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya. Hubungan karya sastra dengan masyarakat baik sebagai negasi dan inovasi maupun afirmasi, jelas merupakan hubungan yang hakiki. Karya sastra mempunyai tugas penting, baik dalam usahanya untuk menjadi pelopor pembaharuan
maupun
memberikan
pengakuan
terhadap
suatu
gejala
kemasyarakatan. Sesuai dengan hakikatnya, sebagai sumber estetika dan etika, karya sastra tidak dapat digunakan secara langsung.
3. Problem-problem Sosial Problem sosial merupakan suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat yang membahayakan kehidupan kelompok sosial, atau menghambat terpenuhinya keinginan pokok warga masyarakat kelompok sosial tersebut, sehingga menyebabkan kepincangan ikatan sosial (Soekanto,
32
1990: 399). Problem sosial merupakan akibat dari interaksi sosial antara individu, antara individu dan kelompok, atau antarkelompok. Interaksi sosial berkisar pada ukuran nilai adat-istiadat, tradisi dan ideologi, yang ditandai dengan suatu proses sosial yang disasosiatif (Soekanto, 1990:398). Problem sosial timbul dari kekurangan-kekurangan dalam diri manusia atau kelompok sosial yang bersumber pada faktor-faktor ekonomis, biologis, biopsikologis, dan kebudayaan. Setiap masyarakat mempunyai norma yang bersangkut paut dengan kesejahteraan kebendaan, kesehatan fisik, kesehatan mental, dan penyesuaian diri individu atau kelompok sosial. Sesuai dengan sumber-sumbernya tersebut, maka masalah sosial dapat diklasifikasikan dalam empat kategori seperti di atas. Problema-problema dari faktor ekonomis antara lain kemiskinan, pengangguran, dan sebagainya. Penyakit, misalnya, bersumber pada faktor biologis. Dari faktor psikologis timbul persoalan seperti penyakit syaraf (neurosis), bunuh diri, disorganisasi jiwa dan seterusnya. Terdapat pula persoalan yang menyangkut perceraian, kejahatan, kenakalan anak-anak, konflik rasial dan keagamaan bersumber pada faktor kebudayaan (Soekanto, 1990:401). Beberapa masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat yaitu, kemiskinan, kejahatan, disorganisasi keluarga, masalah generasi muda dalam masyarakat modern, peperangan, pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat, masalah kependudukan, masalah lingkungan hidup dan masalah birokrasi (Soekanto, 1990: 406-440). Dalam penelitian novel Virgin ini, masalah-masalah sosial yang terjadi di dalamnya adalah kemiskinan, kejahatan, disorganisasi keluarga, masalah generasi
33
muda dalam masyarakat modern, pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat dan masalah lingkungan hidup.
1. Kemiskinan Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan seseorang yang tidak sanggup untuk memelihara dirinya sendiri yang sesuai dengan taraf kehidupan kelompoknya, dan juga tidak mampu untuk memanfaatkan tenaga baik mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Berdasarkan rekaman sejarah, keadaan kaya dan miskin secara berdampingan tidak merupakan problema sosial sampai saatnya perdagangan berkembang dengan pesat dan timbulnya nilai-nilai sosial yang baru. Dengan berkembangnya perdagangan ke seluruh dunia, dan ditetapkannya taraf kehidupan tertentu sebagai suatu kebiasaan masyarakat, kemiskinan muncul sebagai problema sosial. Pada waktu itu, orang perorangan sadar akan kedudukan ekonomisnya sehingga mereka mampu untuk mengatakan apakah dirinya kaya atau miskin. Kemiskinan dianggap sebagai problema sosial, apabila perbedaan kedudukan ekonomis dari warga-warga masyarakat ditentukan secara tegas. Pada masyarakat-masyarakat yang masih sederhana susunan dan organisasinya, mungkin kemiskinan bukan merupakan problema sosial karena mereka menganggap bahwa semuanya telah ditakdirkan sehingga tidak ada usahausaha untuk mengatasinya. Mereka tidak akan terlalu memperhatikan keadaaan tersebut, kecuali apabila mereka betul-betul menderita karenanya. Faktor-faktor yang menyebabkan mereka membenci kemiskinan adalah kesadarannya bahwa
34
mereka telah gagal untuk memperoleh lebih dari yang dimilikinya dan perasaan akan adanya ketidakadilan. Pada masyarakat-masyarakat modern yang kompleks, kemiskinan menjadi suatu problema sosial karena sikap yang membenci kemiskinan tadi. Seseorang bukan merasa miskin karena kurang makan, pakaian, atau perumahan, tetapi karena harta miliknya dianggap tidak cukup untuk memenuhi taraf kehidupan yang ada.
Hal ini terlihat dikota-kota besar di Indonesia, seperti di Jakarta;
seseorang dianggap miskin karena tidak memiliki radio, televisi, atau mobil sehingga lama kelamaan benda sekunder tersebut dijadikan ukuran bagi keadaan sosial-ekonomi seseorang, yaitu mengenai hal dia miskin atau kaya. Dengan demikian, persoalannya mungkin menjadi lain, yaitu tidak adanya pembagian kekayaan yang merata. (Soekanto, 1990:365-366).
2. Kejahatan Sosiologi berpendapat bahwa kejahatan disebabkan karena kondisi-kondisi dan proses-proses sosial lainnya. Analisis terhadap kondisi dan proses tersebut menghasilkan dua kesimpulan, yaitu pertama terdapat hubungan antara variasi angka kejahatan dan variasi organisasi-organisasi sosial pada kejahatan tersebut terjadi (Soekanto, 1990: 408). Kedua, para sosiolog berusaha untuk menentukan proses-proses yang menyebabkan seseorang menjadi penjahat. Analisis ini bersifat sosial psikologis (Soekanto, 1990: 408).
35
Kriminalitas atau kejahatan bukan merupakan peristiwa herediter (bawaan sejak lahir, warisan) juga bukan merupakan warisan biologis. Tingkah laku kriminal itu dapat dilakukan oleh siapapun juga, baik wanita maupun pria; dapat berlangsung pada usia anak, dewasa maupun lanjut umur. Tindakan kejahatan dapat dilakukan secara sadar, yaitu dengan dipikirkan, direncanakan, dan diarahkan. Namun, dapat juga dilakukan setengah sadar misalnya, didorong oleh impuls-impuls yang hebat, paksaan yang sangat kuat, dan obsesi. Kejahatan dapat juga dilakukan secara tidak sadar sama sekali, misalnya karena terpaksa mempertahankan hidup (Kartono, 2005:139). Untuk mengatasi masalah kejahatan, selain tindakan preventif dapat pula diadakan tindakan represif seperti teknik rehabilitasi. Dari pendapat Cressey, ada dua konsepsi mengenai teknik rehabilitasi. Pertama, menciptakan sistem dan program yang bertujuan untuk menghukum orang-orang jahat tersebut. Sistem serta program-program tersebut bersifat reformatif, misalnya hukuman bersyarat, hukuman kurungan serta hukuman penjara. Kedua, lebih ditekankan pada usaha agar penjahat dapat berubah menjadi orang biasa (yang tidak jahat). Dalam hal ini, maka selama menjalani hukuman bersyarat, diusahakan mencari pekerjaan bagi si terhukum dan diberikan konsultasi psikologis. Kepada para narapidana di lembaga-lembaga pemasyarakatan diberikan pendidikan serta latihan-latihan untuk menguasai bidang-bidang tertentu, supaya kelak setelah masa hukuman selesai punya modal untuk mencari pekerjaan di masyarakat (Soekanto, 1990: 409).
36
3. Disorganisasi keluarga Disorganisasi keluarga adalah perpecahan keluarga sebagai suatu unit karena anggota-anggotanya gagal memenuhi kewajiban-kewajibannya yang sesuai dengan peranan sosialnya. Secara sosiologis, bentuk-bentuk disorganisasi keluarga antara lain: (a) Unit keluarga yang tidak lengkap karena hubungan di luar perkawinan. Walaupun dalam hal ini secara yuridis dan sosial belum terbentuk suatu keluarga, tetapi bentuk ini dapat digolongkan sebagai disorganisasi keluarga. Sebab ayah (biologis) gagal dalam mengisi peranan sosialnya dan demikian juga halnya dengan keluarga pihak ayah dan keluarga pihak ibu, (b) Disorganisasi keluarga karena putusnya perkawinan sebab perceraian, perpisahan meja dan tempat tidur, dan sebagainya, (c) Adanya kekurangan dalam keluarga tersebut, yaitu dalam hal komunikasi antara anggota-anggotanya. Goede menamakannya sebagai empty shell family, (d) Krisis keluarga oleh karena salah satu yang bertindak sebagai kepala keluarga di luar kemampuannya sendiri meninggalkan rumah tangga, mungkin karena meninggal dunia, dihukum atau karena peperangan, (e) Krisis keluarga yang disebabkan oleh karena faktor-faktor intern, misalnya karena terganggu keseimbangan jiwa salah seorang anggota keluarga (Soekanto, 1990: 412). Di dalam zaman modern ini, disorganisasi keluarga mungkin terjadi karena konflik peranan sosial atas dasar perbedaan ras, agama, atau faktor sosialekonomis. Ada juga disorganisasi keluarga karena tidak ada keseimbangan dari perubahan-perubahan unsur-unsur warisan sosial (social heritage). Keluarga, menurut pola masyarakat agraris menghadapi persoalan dalam menyongsong
37
modernisasi, khususnya industrialisasi. Ikatan keluarga dalam masyarakat agraris adalah atas dasar faktor kasih sayang dan faktor ekonomis di dalam arti keluarga tersebut merupakan suatu unit yang memproduksi sendiri kebutuhan-kebutuhan primernya. Dengan dimulainya industrialisasi pada suatu masyarakat agraris, peranan keluarga berubah. Biasanya, ayah yang wajib mencari penghasilan, sedangkan seorang ibu, apabila penghasilan ayah tidak mencukupi, turut pula mencari penghasilan tambahan. Yang jelas, pola pendidikan anak-anak mengalami perubahan. Sebagian dari pendidikan anak-anak benar-benar diserahkan kepada lembaga-lembaga pendidikan di luar rumah seperti di sekolah. Pada haikatnya, disorganisasi keluarga pada masyarakat yang sedang dalam keadaan transisi menuju masyarakat yang modern dan kompleks, disebabkan keterlambatan untuk menyesuaikan diri dengan situasi sosial-ekonomis yang baru (Soekanto, 1990: 413). Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang memberikan fondasi primer bagi perkembangan anak, sedang lingkungan sekitar dan sekolah ikut memberikan nuansa pada perkembangan anak. Oleh karena itu, baik-buruknya struktur keluarga dan masyarakat sekitar memberikan pengaruh baik atau buruknya pertumbuhan pribadi anak (Kartono, 1992:57). Kualitas rumah tangga atau kehidupan keluarga jelas memainkan peranan paling besar dalam membentuk kepribadian remaja. Misalnya, rumah tangga yang berantakan disebabkan oleh kematian ayah atau ibu, perceraian antar bapak dengan ibu, hidup terpisah, poligami, ayah mempunyai simpanan istri lain,
38
keluarga yang diliputi konflik keras, semua itu merupakan sumber yang subur untuk memunculkan delikuensi remaja (Kartono, 1992:59). Tempramen orang tua, terutama dari ayah yang agresif meledak-ledak, suka marah dan sewenang-wenang, serta kriminal, akan menyalurkan efek tempramen pula pada diri anak dan merangsang reaksi emosional yang sangat impulsif kepada anak-anaknya (Kartono, 1992:59). Konflik keluarga yang terdapat pada novel Virgin ini dialami oleh ketiga tokoh penting dalam cerita. Persahabatan ketiga remaja perempuan yang penuh dengan kenakalan dan pergaulan bebas, dipicu oleh adanya disharmonisasi keluarga dari masing-masing tokoh.
4. Masalah generasi muda dalam masyarakat modern Masalah generasi muda pada umumnya ditandai oleh dua ciri yang berlawanan. Yakni, keinginan untuk melawan (misalnya, dalam bentuk radikalisme, delikuensi dan sebagainya) dan sikap yang apatis (misalnya, penyesuaian yang membabi buta terhadap ukuran moral generasi tua). Sikap melawan mungkin disertai dengan suatu rasa takut bahwa masyarakat akan hancur karena perbuatan-perbuatan menyimpang, sedangkan sikap apatis biasanya disertai dengan rasa kecewa terhadap masyarakat. Generasi muda biasanya menghadapi masalah sosial dan biologis. Apabila seseorang usia remaja, secara fisik dia telah matang, tetapi untuk dapat dikatakan dewasa dalam arti sosial masih diperlukan faktor-faktor lainnya. Dia perlu belajar banyak mengenal nilai dan norma-norma masyarakatnya (Soekanto, 1990: 413-414).
39
Pada masyarakat yang sedang mengalami masa transisi, generasi muda seolah-olah terjepit antara norma-norma lama dan norma-norma baru (yang kadang belum terbentuk). Generasi tua seolah-olah tidak menyadari bahwa sekarang ukurannya bukan lagi segi usia akan tetapi kemampuan. Akan tetapi persoalannya adalah bahwa generasi muda sama sekali tidak diberi kesempatan untuk membuktikan kemampuannya, setidak-tidaknya demikianlah pendapat mereka. Masa remaja dikatakan sebagai suatu masa yang berbahaya karena pada periode itu, seseorang meninggalkan tahap kehidupan anak-anak, untuk menuju ke tahap selanjutnya yaitu tahap kedewasaan. Masa ini dirasakan sebagai suatu krisis karena belum adanya pegangan karena kepribadiannya sedang mengalami pembentukan. Pada waktu itu, dia memerlukan bimbingan, terutama dari orang tuanya (Soekanto, 1990: 414). Di kota-kota besar Indonesia, misalnya di Jakarta, acapkali generasi muda ini mengalami kekosongan lantaran kebutuhan akan bimbingan langsung dari orang tua tidak ada atau kurang. Hal ini disebabkan oleh keluarga yang mengalami disorganisasi. Pada keluarga-keluarga yang secara ekonomis kurang mampu, keadaan tersebut disebabkan karena orang tua harus mencari nafkah sehingga tidak ada waktu sama sekali untuk mengasuh anak-anaknya. Demonstration effect yang sangat kuat dan seterusnya merupakan masalahmasalah yang terjadi secara sosiologis, masalah tersebut antara lain dapat diuruturutkan sebagai berikut: (a) persoalan sense of value yang kurang ditanamkan oleh orang tua, terutama yang menjadi warga lapisan yang tinggi dalam masyarakat.
40
Anak-anak dari orang-orang yang menduduki lapisan yang tinggi dalam masyarakat biasanya menjadi pusat sorotan dan sumber bagi imitasi untuk anakanak yang berasal dari lapisan yang lebih rendah, (b) timbulnya organisasiorganisasi pemuda dan pemudi informal yang tingkah lakunya tidak disukai oleh masyarakat pada umumnya, (c) timbulnya usaha-usaha generasi muda yang bertujuan untuk mengadakan perubahan-perubahan dalam masyarakat yang disesuaikan dengan nilai-nilai kaum muda. Usaha-usaha tersebut kemudian ditampung di dalam organisasi-organisasi formal yang merupakan tempat dinamika sosial generasi muda mewujudkan diri dengan penuh. Ikut sertanya generasi muda dalam perbagai bidang kehidupan masyarakat merupakan bagian dari suatu gejala (yang lebih luas lagi dari) perasaan tidak puas. Di dalam organisasi-organisasi itulah terwujud cita-cita dan pola kehidupan baru, cita-cita tentang kebebasan dan spontanitas, aspirasi terhadap kepribadian dan lain sebagainya (Soekanto, 1990: 415-416).
5. Pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat Pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat terdiri atas:
a. Pelacuran Pelacuran dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapat upah. Sebab-sebab terjadinya pelacuran haruslah dilihat dari faktor-faktor endogen dan eksogen. Di antara faktor-faktor endogen dapat
41
disebutkan nafsu kelamin yang besar, sifat malas dan keinginan yang besar untuk hidup mewah. Di antara faktor-faktor eksogen yang utama adalah faktor ekonomis, urbanisasi yang tidak teratur, keadaan perumahan yang tidak memenuhi syarat, dan seterusnya. Sebab utama sebenarnya adalah konflik mental, situasi hidup yang tidak menguntungkan pada masa anak-anak dan pola kepribadian yang kurang dewasa, ditambah dengan intelegensia yang rendah tarafnya (Soekanto, 1990: 374-375). Wanita pelacur ialah wanita yang menjual dirinya kepada laki-laki dengan menerima bayaran atas service yang diberikannya (Dirdjosisworo, 1970:112). Adanya
kecenderungan
melacurkan
diri
pada
banyak
wanita
untuk
menghindarkan diri dari kesulitan hidup, dan mendapatkan kesenangan melalui jangka pendek. Kurang pengertian, kurang pendidikan, dan buta huruf, juga menjadi pemicu melakukan pelacuran. Sebab lain dapat juga karena ada nafsunafsu seks yang abnormal, tekanan ekonomi, rasa ingin tahu, aspirasi materi yang tinggi pada diri wanita, ingin hidup bermewah-mewahan, tetapi malas bekerja (Kartono, 2005:245).
b. Delikuensi anak-anak Penulis hanya akan membahas delikuensi anak-anak yang sesuai dengan permasalahan dalam novel Virgin. Delikuensi anak-anak yang terkenal di Indonesia adalah masalah cross boys dan cross girl yang merupakan sebutan bagi anak-anak muda yang tergabung dalam suatu ikatan/organisasi formal atau semi-formal dan yang mempunyai
42
tingkah laku yang kurang/tidak disukai oleh masyarakat pada umumnya. Delikuensi
anak-anak
meliputi
pencurian,
perampokan,
pencopetan,
penganiayaan, pelanggaran susila, penggunaan obat-obat perangsang dan mengendarai kendaraan bermotor tanpa mengindahkan norma lalu lintas, dan pengedaran barang-barang pornografi. Perbuatan tersebut sebagian besar dilakukan oleh anak-anak yang berasal dari dari golongan mampu, tetapi tidak menutup kemungkinan dilakukan oleh anak-anak golongan kurang mampu. Oleh karena itu, perlu juga mengadakan penelitian terhadap delikuensi anak-anak terutama yang berasal dari blighted area, yaitu wilayah kediaman dengan tingkat disorganisasi tinggi (Soekanto, 1990: 417-418). Juvenile Delinquency atau kenakalan remaja adalah perilaku jahat/dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda; merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah-laku yang menyimpang. Anak-anak muda yang delinkuen atau jahat itu disebut pula sebagai anak cacat secara sosial. Mereka menderita cacat mental disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada di tengah masyarakat (Kartono, 1992:7)
c. Alkoholisme Masalah alkoholisme dan pemabuk pada kebanyakan masyarakat pada umumnya tidak berkisar pada apakah alkohol boleh atau dilarang dipergunakan. Persoalan pokoknya adalah pihak yang boleh menggunakannya, tempat terjadinya, dan bentuk kondisinya. Umumnya orang awam berpendapat bahwa
43
alkohol merupakan suatu stimulan, padahal sesungguhnya alkohol merupakan racun protoplasmik yang mempunyai efek depresan pada sistem syaraf. Akibatnya, seseorang pemabuk semakin berkurang kemampuaannya untuk mengendalikan diri, baik secara fisik, psikologis maupun sosial. Namun perlu dicatat bahwa ketergantungan pada alkohol merupakan suatu proses tersendiri yang memakan waktu (Soekanto, 1990:376). Apabila orang mulai tergantung sama sekali pada alkohol itu, maka timbullah hal yang dinamakan alkoholisme. Biasanya untuk mendapatkan rasa kepuasan si korban tidak cukup kalau hanya menghabiskan satu dua botol seharinya. Dalam keadaan pada takaran sudah sangat besar alkohol mudah sekali membinasakan korbannya (Dirdjosisworo, 1970:89). Aspek hukum di Indonesia tampaknya mengikuti aspek sosial. Hanya sayang bahwa kalangan penegak hukum belum pernah menaruh perhatian yang proporsional terhadap masalah ini, seperti misalnya tindakan-tindakan yang dilakukan terhadap pengedar dan pemakai narkotika. Padahal, pengedaran dan penggunaan narkotika jelas merupakan perbuatan yang dilarang. Akan tetapi, alkoholisme belum ada kecenderungan yang serius untuk menganggapnya sebagai proses yang cukup membahayakan masyarakat, apalagi dengan adanya proses modernisasi di saat norma-norma dan nilai-nilai biasanya mengalami kegoyahan. (Soekanto, 1990:380).
44
d. Homoseksualitas Secara sosiologis, homoseksual adalah seseorang yang cenderung mengutamakan orang yang jenis kelaminnya.
6. Masalah lingkungan hidup Apabila seseorang membicarakan lingkungan hidup maka biasanya yang difikirkan adalah hal-hal atau segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik sebagai individu maupun dalam pergaulan hidup. Lingkungan hidup tersebut biasanya dibedakan dalam kategori-kategori sebagai berikut (a) Lingkungan fisik, yakni semua benda mati yang ada di sekeliling manusia, (b) Lingkungan biologis, yaitu segala sesuatu di sekeliling manusia yang berupa organisme yang hidup (di samping manusia itu sendiri), (c) Lingkungan sosial, yang terdiri atas orang-orang baik individual maupun kelompok yang berada di sekitar manusia (Soekanto, 1990: 431-432). Tabel 1. Organisme Hidup
Benda Mati
Bersifat dinamis Dapat
tumbuh
dan
berkembang biak Mampu
mendapatkan
Tidak
tumbuh
dan
berkembang biak dan
menyimpan energi Mempunyai daya reaksi dan mampu bervariasi
Bersifat statis
Tidak
mampu
memperoleh
energi secara aktif, akan tetapi dapat sampai habis
mengeluarkannya
45
Daya reaksi sangat kecil dan tidak mampu bervariasi
Dalam hubungannya dengan organisme hidup lainnya dalam lingkungan hidup, maka hubungan tersebut mungkin terjadi secara sadar atau tidak bahkan tidak disadari. Namun demikian biasanya dibedakan antara lain (a) hubungan simbiosis, yakni hubungan timbal-balik antara organisme-organisme hidup yang berbeda spesisesnya. Bentuk-bentuk hubungan simbiosis adalah parasitisme (satu pihak beruntung sedangkan pihak lain dirugikan), komensalisme (satu pihak mendapat keuntungan sedangkan fihak yang lain tidak dirugikan), mutualisme (terjadi hubungan saling menguntungkan); (b) hubungan sosial yang merupakan hubungan timbal-balik antara organisme-organisme hidup yang sama spesiesnya. Bentuk-bentuknya antara lain: kompetisi dan kooperasi (Soekanto, 1990: 432433). Pencemaran akan terjadi apabila di dalam lingkungan hidup manusia, baik yang bersifat fisik, biologis maupun sosial, terdapat suatu bahan yang merugikan eksistensi manusia. Hal itu disebabkan oleh bahan yang terdapat dalam konsentrasi yang besar, yang pada umumnya merupakan hasil dari aktivitas manusia sendiri. Masalah pencemaran biasanya dibedakan dalam beberapa klasifikasi, seperti, pencemaran udara, pencemaran air, pencemaran tanah, serta pencemaran kebudayaan. Bahan pencemarnya (pollutant) adalah pemcemar fisik, pencemar biologis, pencemar kimiawi, dan pencemar budaya atau sosial (Soekanto, 1990: 435).
46
3. Kenakalan Remaja sebagai Problem Sosial Di dalam pembicaraan mengenai masalah-masalah sosial, tidak jarang dipermasalahkan mengenai remaja dalam masyarakat. Sebab mengenai adanya kecenderungan untuk menyatakan untuk menyatakan bahwa terjadi masalah sosial pada kebanyakan remaja? Mungkin hal ini disebabkan oleh terjadinya kesulitan pada proses interaksi sosial antara remaja dengan mereka yang sudah dewasa. Hal ini dapat ditelaah secara lebih mendalam lagi, apabila ditinjau beberapa ciri remaja, antara lain (1) umumnya mereka berusia antara 11 sampai 19 tahun; (2) di dalam lingkaran kehidupan, masa remaja merupakan masa kehidupan yang boleh dikatakan kritis; (3) secara fisik, remaja biasa mengalami pertumbuhan yang cepat; (4) hormon kelamin mulai bekerja secara optimal, dan ciri-ciri seks sekunder juga mulai tampak; (5) emosi yang labil dan sangat sensitif; (6) kadangkadang menjadi pemurung, merasa dirinya sunyi dan memberontak secara agresif; (7) konsep tentang identitas dirinya yang belum jelas; (8) mudah merasa tidak dihargai (atau merasa rendah diri); (9) ingin diperlakukan dewasa, akan tetapi belum sepenuhnya dapat bertingkah laku sebagai orang dewasa; (10) tingkah laku yang cenderung sembrono menurut ukuran dewasa (Soekanto, 1982: 91). Ciri-ciri tersebut di atas merupakan ciri-ciri yang agak negatif, hal itu sengaja ditonjolkan, oleh karena ciri-ciri demikianlah yang sangat besar kemungkinannya untuk menimbulkan problem sosial. Secara teoritis, hal tersebut dapat diatasi dengan membina rasa harga diri remaja menimbulkan rasa ketergolongan, kemampuan, dan bahwa dirinya adalah orang yang berarti bagi masyarakat. Untuk lebih menelaahnya secara seksama, dengan memperhatikan
47
pelbagai masalah remaja sebagai berikut, hubungan lingkungan sosial dengan remaja; persoalan-persoalan yang menyangkut studi misalnya pengawasan terhadap studi, pemilihan sekolah yang tepat, dan sebagainya; penggunaan waktu terluang yang tidak jarang menuju perbuatan „iseng‟ yang merugikan pihak-pihak lain; masalah penggunaan uang untuk memenuhi kebutuhan sesaat; remaja dengan dengan kehidupan seksualnya; dan masalah identitas remaja. Pemikiran di atas, dapat saja diterapkan pada problem-problem sosial lainnya, sekedar sebagai usaha untuk memahaminya secara sosiologis. Akan tetapi, sebagai langkah selanjutnya perlu juga ditelaah bagaimanakah mengatasi problem-problem sosial tersebut. Dengan mempergunakan pendekatan sosiologis, juga dapat dicari jalan keluarnya sehingga penderitaan masyarakat berkurang. Suatu
masalah
sosial
mungkin
mengakibatkan
terjadinya
kegoncangan
kebudayaan. Kegoncangan akibat kebudayaan akan mengakibatkan pudarnya kewibawaan para pemimpin, semakin jauhnya perbedaan antara kenyataan dan cita-cita, fragmentasi, dan seterusnya (Soekanto, 1982: 92). Pendapat Soerjono Soekanto mengenai kebanyakan sosok remaja yang dianggap sebagai timbulnya problem sosial di atas sangat memperkuat penelitian novel Virgin ini. Secara garis besar, problem-problem sosial yang timbul karena perbuatan anak remaja dapat mengganggu kehidupan bermasyarakat baik di kota maupun di desa. Novel Virgin ini mengisahkan pergaulan bebas remaja di ibu kota Jakarta, tetapi faktanya secara umum pergaulan remaja yang menimbulkan keresahan dan pelanggaran norma juga terjadi di kota kecil, bahkan pelosok desa. Kenakalan remaja dapat membuat masyarakat menjadi tidak aman dan merasa
48
terancam, timbul keresahan atau kekhawatiran akibat merasa tidak tentram hidupnya. Keresahan dan perasaan terancam tersebut pasti terjadi akibat kenakalan-kenakalan yang dilakukan oleh anak remaja pada umumnya, seperti perkelahian, pencurian, penipuan, pergaulan yang terlalu bebas dan tak mengenal tempat juga waktu, judi, minum-minuman keras, penganiayaan, bahkan pembunuhan. Sudah lama masyarakat mengarahkan pikiran mereka pada masa remaja sebagai masalah penting yang mendapat perhatian. Sementara memikirkan masalah remaja itu tentu teropong mereka tidak saja terarah pada anak itu sendiri karena beberapa faktor dari luar itu termasuk lingkungan, atau masyarakat setempat (Tambunan, 1982:23). Pendapat dari Emil H. Tambunan ini benar adanya jika dikaitkan dengan kisah novel Virgin yang penulis akan teliti ini. Teropong permasalahan remaja tidak hanya bersumber pada sosok anak itu sendiri, tetapi juga faktor lain yang sangat mempengaruhi. Dalam novel Virgin ini contohnya, terdapat faktor permasalahan internal, yaitu keluarga, pergaulan di dalam sekolah, dan lingkungan pergaulan di luar sekolah. Faktor-faktor tersebut sangat mendorong tokoh-tokoh-tokoh penting dalam pembentuk cerita novel ini melakukan kenakalan remaja. Kenakalan remaja seperti melepas keperawanan untuk mendapatkan uang adalah bentuk bentuk kenakalan yang serius, terpengaruh oleh lingkungan pergaulan bebas remaja kota Jakarta dan problem sosial yang melatarbekalangi pribadi anak itu sendiri. Kenakalan remaja bukan hanya merupakan perbuatan anak yang melawan hukum semata, tetapi juga termasuk di dalamnya perbuatan yang melanggar
49
norma masyarakat. Perbuatan anak muda yang bersifat hukum dan anti sosial tersebut pada dasarnya tidak disukai oleh masyarakat, disebut juga problem sosial. Jadi, pada dasarnya problem-problem sosial menyangkut nilai sosial dan moral, karena menyangkut tata kelakuan yang immoral, berlawanan dengan hukum dan bersifat merusak. Problem-problem sosial tidak akan mungkin ditelaah tanpa mempertimbangkan ukuran-ukuran masyarakat mengenai hal-hal yang dianggap baik dan yang dianggap buruk (Soekanto, 1990:276). Masalah kenakalan remaja bukanlah masalah yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari masalah-masalah sosial lainnya yang dihadapi oleh masyarakat (Soekanto, 1976:12). Pendapat tersebut sangat memperkuat penelitian problem-problem sosial remaja pada novel Virgin ini sebagai sebuah penelitian penting tentang remaja. Remaja sebagai bagian dari kelompok masyarakat memiliki pengaruh cukup besar terhadap masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat. Masa remaja yang cukup labil membutuhkan perhatian lebih dari keluarga, lingkungan pendidikan serta lingkungan masyarakat di luar sekolah, maka dari itu masalah remaja merupakan bagian dari masalah sosial yang selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat.
C. Kerangka Pikir Dalam penelitian terhadap novel Virgin karya Agung Bawantara ini digunakan pendekatan struktural dan pendekatan sosiologi sastra. Teori yang digunakan penulis adalah dalam pendekatan sosiologi karya sastra. Kerangka pikir yang digunakan untuk menganalisis novel Virgin adalah sebagai berikut.
50
1. Pada tahap awal penulis menentukan objek penelitian, yaitu novel Virgin karya Agung Bawantara. Lalu, dilakukan pembacaan dan pemahaman sungguh-sungguh terhadap novel tersebut sehingga menemukan maksud yang terdapat di dalamnya. 2. Penulis melakukan pembacaan dan pemahaman melalui tahap analisis struktural milik Robert Stanton yang meliputi fakta cerita, tema, dan sarana cerita. Analisis struktural sangat membantu mengalisis konflik dan permasalahan sosial yang terjadi dalam novel. 3. Setelah unsur struktural novel dianalisis, tahap selanjutnya adalah menemukan permasalahan-permasalahan yang akan diteliti, yaitu bentuk kenakalan remaja yang merupakan salah satu wujud problem sosial remaja dalam novel Virgin. 4. Tahap selanjutnya adalah menentukan teori yang akan digunakan, yaitu dengan menggunakan teori sosiologi sastra dan mengacu pada sosiologi karya sastra tersebut. 5. Setelah menemukan teori yang tepat untuk mengupas analisis sosiologi karya sastra, dilakukan analisis problem-problem sosial remaja yang terdapat dalam novel Virgin dengan menggunakan ilmu sosiologi milik Soerjono Soekanto. Selanjutnya, ditemukan beberapa problem sosial remaja dalam novel Virgin, yaitu berupa kejahatan, kemiskinan, disorganisasi keluarga, masalah generasi muda dalam masyarakat modern, pelanggaran terhadap norma masyarakat, dan masalah lingkungan hidup.
51
6. Langkah yang terakhir adalah penarikan simpulan, yang dilakukan setelah diketahui hasil dari analisis problem-problem sosial. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah adanya problem-problem sosial remaja yang terdapat pada novel Virgin karya Agung Bawantara. Pada tahap akhir, penulis menyimpulkan pesan dari novel Virgin dengan didasarkan pada analisis terhadap problem-problem sosial remaja yang berupa kejahatan, kemiskinan, disorganisasi keluarga, masalah generasi muda dalam masyarakat modern, pelanggaran terhadap norma masyarakat, dan masalah lingkungan hidup.
52
BAGAN KERANGKA PIKIR
Novel Virgin (Ketika Keperawanan Dipertanyakan)
Analisis Struktural Robert Stanton
Masalah kenakalan remaja → Problem Sosial Remaja
Teori Sosiologi Sastra → Sosiologi Karya Sastra
Analisis Problem-problem Sosial Remaja dalam Novel Virgin
Kemiskinan
Kejahatan
Disorganisasi keluarga
Masalah generasi muda dalam masyarakat modern
Kesimpulan
Pelanggaran norma masyarakat
Masalah lingkungan hidup dalam novel Virgin