BAB II Kajian Pustaka dan Kerangka Pikir
A. Kajian Pustaka 1. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu memuat hasil-hasil analisis sebelumnya terhadap novel 99 Cahaya di Langit Eropa dan kajian proses kreatif. Adapun hasil-hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dikaji sebagai penentu kualitas keaslian, adalah sebagai berikut. a) Riza Hernita (2014), mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Pendidikan UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, yang berjudul Implikatur Percakapan Pada Novel ‘99 Cahaya Di Langit Eropa’ Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra Serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Peneliti memilih 15 penggalan percakapan yang mempunyai implikatur sebagai implikasi dari pelanggaran maksim percakapan oleh peserta tutur. Beberapa data itu melanggar maksimmaksim seperti maksim cara, kuantitas, kualitas, dan relevansi. Data-data itu dikutip dari percakapan pada novel dan dipilih dari data 1 sampai 15 yang mengandung pelanggaran maksim. Selain itu, Riza Hernita juga mengkaji pengaruh komunikasi siswa-siswa SMA kelas XII semester ganjil dari novel 99 Cahaya di Langit Eropa. Untuk itu Riza Hernita meneliti permasalahan implikasi
13
14
implikatur
terhadap
percakapan-percakapan
tersebut
sebelum
dikaji
penggunaannya pada pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA. b) Muhammad Ahsanul Falah (2014), mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang berjudul Penulisan Novel ’99 Cahaya di Langit Eropa’ oleh Hanum Salsabiela Rais sebagai Media Dakwah. Penelitian dilakukan dengan menganalisis proses penulisan novel 99 Cahaya di Langit Eropa sebagai media dakwah. Novel dianggap sebagai media komunikasi yang paling fleksibel dan efektif dalam menyampaikan pesan-pesan islami. Selain itu, novel ini juga ditulis sebagai penyampai kenangan Hanum Salsabiela Rais selama melakukan perjalanan di Eropa. Kemudian Muhammad Ahsanul Falah juga meninjaunya dari segi proses kreatif untuk dapat menghubungkannya dengan kegiatan dakwah. Proses itu dimulai dari pratulis, penulisan, revisi, penyuntingan, dan publikasi. c) Hidayatur Riyana (2012), mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang berjudul Proses Kreatif Dinda Natasha dalam ‘Dialog Cinta Oase Samudra Biru’: Suatu Pendekatan Ekspresif. Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis proses kreatif Dinda Natasya dalam kumpulan cerita pendek yang berjudul Dialog Cinta Oase Samudera Biru dalam dua hal, yaitu proses kreatif itu sendiri dan proses pengolahan pikiran terhadap realitas objektif menjadi karya sastra. Mengenai proses kreatif Dinda Natasya, Hidayatur Riyana menjelaskan tentang tahapan proses kreatif sesuai dengan yang dikemukakan oleh William Miller. Tahapantahapan itu dimulai dari tahap persiapan, tahap inkubasi, tahap inspirasi, dan tahap
15
penulisan. Sedangkan mengenai proses pengeksplorasian pengalaman Dinda Natasha menjadi karya sastra, Hidayatur Riyana menjelaskan 4 (empat) konkretisasi mengenai persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta dalam buku Dialog Cinta Oase Samudera biru secara ekspresif. Konkretisasikonkretisasi itu antara lain hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan cinta kasih antara remaja, hubungan konflik sosial antara sesama manusia, dan konflik dengan batinnya sendiri. d) Andry Kristian (2006), mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang berjudul Proses Kreatif Riri Riza dalam Penulisan Skenario Film ‘Eliana, Eliana’. Andry Kristian meneliti proses kreatif Riri Riza dalam penulisan skenario film berjudul Eliana, Eliana. Proses kreatif Riri Riza ini ditinjau dari empat tahapan berdasarkan pendapat Vita Breavis yang terdiri dari beberapa hal antara lain tahap berbenihnya bibit cerita, perenungan, penulisan, dan penyempurnaan. Peneliti menjelaskan seluk-beluk kehidupan Riri Riza sebelum menulis skenario film Eliana, Eliana. Bagaimana Riri Riza menuliskan pengalaman hidupnya, teknis pencarian ide, isi karya, hingga penyempurnaan dengan melakukan diskusi bersama Prima Rusdi dan Mira Lesmana selaku tim kreatif. e) Agus Tri Wibowo (2006), mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan skripsi berjudul Proses Kreatif dan Obsesi Ratih Kumala dalam Novel ‘Tabula Rasa’. Permasalahan tentang proses kreatif Ratih Kumala dalam novel Tabula Rasa dideskripsikan dalam dua hal berkaitan dengan permasalahan yang telah dikemukakan. Pertama,
16
tentang proses kreatif Ratih Kumala dalam novel Tabula Rasa, Agus Tri Wibowo menjelaskan tahapan-tahapan proses kreatif Ratih Kumala dalam empat tahapan sesuai dengan pernyataan Vita Breavis. Tahapan-tahapan itu dimulai dari tahap pertumbuhan ide, tahap pemikiran (meditasi), tahap penulisan, dan tahap penyempurnaan. Tahap ide dalam penelitian ini dimulai dari pemikiran pengarang terhadap fenomena lesbian yang dianggap tabu dan tidak mendapat perhatian. Tahap pemikiran yaitu tahap pengendapan ide dan memikirkan struktur cerita dari awal sampai akhir. Tahap penulisan, Ratih Kumala menulis secara spontan menurut keinginannya dalam menulis. Terakhir adalah tahap penyempurnaan, Ratih dalam penelitian ini mencetak naskah yang telah jadi dan dibaca secara berulang, mengoreksi tulisan, kemudian diedit dan diketik dalam komputer. Kedua, tentang obsesi Ratih Kumala. Agus Tri Wibowo menjelaskan tentang obsesi pengarang yang diantaranya ingin dikenal masyarakat Indonesia secara luas, dapat laku di pasaran, dan ingin memberikan suatu persuasi kepada pembaca agar menghargai serta melindungi kaum lesbian sebagai kaum minoritas. 2. Landasan Teori a. Proses Kreatif Secara umum, proses kreatif adalah karya yang dihasilkan dari pemikiran dan gagasan (Supardi, 2004: 9). Proses kreatif seseorang dapat menghasilkan karya yang baru, berbeda dengan orang lain, tergantung teknik peneluran gagasan. Dalam dunia sastra, proses kreatif adalah proses mencipta karya sastra dari awal sampai akhir disertai dengan kemauan dan tekad yang kuat untuk mencipta karya tulis (Pranoto,
17
2011: 6). Klausul ini membuktikan bahwa proses kreatif dapat diterapkan di hampir segala bidang. Namun, untuk menghasilkan kualitas tulisan sastra yang menarik perlu ditekankan dari segi kreativitas. Berbicara tentang proses kreatif, tentunya perlu memahami tentang pengarang sebagai pencipta karya sastra. Pengarang merupakan seorang pencipta yang menuangkan nilai-nilai kebenaran melalui pikirannya. Hal ini tentu dilakukan dengan pengamatan dan kejelian dalam mengamati realita. Sebagaimana jurnalis yang menyampaikan kebenaran menurut apa yang terjadi, pengarang menyampaikan kebenaran menurut apa yang ada dalam pikiran. Aristoteles (Anwar, 2010: 5) menjelaskan proses kreatif sebagai mimesis, yaitu peniruan kenyataan dengan implementasi ide dalam karya sastra (puisi maupun prosa) untuk menggambarkan realita. Hal itu membuktikan, apa yang dihasilkan pengarang dalam karya sastra dapat dijelaskan berdasarkan apa yang dipikirkannya. Hal ini juga berlaku terhadap proses kreatif yang dapat menjabarkan pemahaman tentang inovasi ide pengarang dalam penciptaan karya sastra yang orisinil. Menurut Gie (1992: 1) kegiatan karang-mengarang meliputi rangkaian perbuatan dari mengolah gagasan sampai menyusun kalimat, berbagai pengalaman dan perasaan, serta mempunyai kualitas dari segi bentuk. Kegiatan ini dilakukan dengan teknik-teknik dan pola-pola tertentu. Menulis bisa memberikan nilai yang merupakan suatu keberhasilan yang timbul dari perbuatan, pengalaman, dan karya yang dihasilkan oleh perbuatan seseorang.
18
Nilai-nilai itu antara lain; (1) nilai kecerdasan, (2) nilai kependidikan, (3) nilai kejiwaan, (4) nilai kemasyarakatan, (5) nilai keuangan, dan (6) nilai filosofis. Nilai kecerdasan menghubungkan buah pikiran yang satu dengan yang lain, merencanakan kerangka uraian yang sistematis dan logis, serta menimbang suatu perkataan yang tepat. Nilai pendidikan dalam mengarang tidak lepas dari kesalahan sehingga menyebabkan naskah yang diterbitkan berkali-kali ditolak, hal itu mendidik pengarang untuk menjadi tabah, ulet, dan tekun. Nilai kejiwaan ketika menulis akan menimbulkan kepuasan batin, kegembiraan kalbu, kebanggaan pribadi, dan kepercayaan diri. Nilai kemasyarakatan dapat diperoleh dari penghargaan oleh masyarakat terhadap karya yang dihasilkan. Nilai keuntungan dalam menghasilkan karya yaitu ketika ia mendapat imbalan berupa uang dari lembaga yang menerbitkan karyanya. Nilai filosofis dapat tercermin dari bertahannya pikiran seseorang dalam jangka waktu lama karena kualitas nilai pemikirannya (Gie, 1992: 1-2). Proses kreatif juga memainkan peran penting dalam peneluran ide. Ide dihasilkan dari penemuan ilham pengarang yang harus hidup untuk memperhatikan segala yang ditangkap dengan panca indera (Hadimadja, 1981: 34). Karena ilham berkaitan dengan peneluran ide maka hal itu bisa dikatakan sebagai sarana penyalur hasrat terhadap realita yang dihadapi. Jiwa pengarang dapat bergerak mengikuti irama kehidupan. Apa yang terjadi di lingkungan sekitar pengarang dapat dijadikan sebagai objek tulisan. Kepekaan pengarang akan memunculkan reaksi apabila ilham muncul dengan menggerakkan hasrat pengarang untuk menulis. Senada dengan Atmowiloto (2002: 14), proses datangnya ilham dilalui oleh letikan atau sekelebat mimpi yang
19
bertebaran dalam pikiran. Setelah mendapat letikan tersebut, seseorang bisa menangkap ide penulisan. Sebelum ilham membentuk kepekaan batin, seniman harus memperkaya batinnya dengan menemukan bahan-bahan yang dapat digali dan dicari dalam waktu yang lama. Sebagaimana dikatakan Kasnadi dan Sutedjo (2008: 194), ilham dapat diperoleh dengan pembacaan terhadap karya orang lain, mengamati lingkungan sosial di mana ia berada, mendengar cerita orang, membaca berita, menggabungkan kejadian, berdiskusi, dan mengkritisi fenomena sosial. Setelah ilham tersebut ditampung oleh ide, selanjutnya dapat menjadi gagasan dalam tulisan. Gagasan tersebut berisi berbagai pengalaman yang didapat dan dirasakan pengarang untuk selanjutnya menjadi bank ilham atau kotak penyimpanan yang berisi segala macam ilham. Beberapa langkah dalam mengkaji proses kreatif pengarang antara lain dengan memahami riwayat hidupnya, asal mula pengarang memilih profesi kepengarangan, masalah dan tema yang sering dijadikan pokok kepengarangan, kepuasan pengarang, proses pemunculan ide, maksud-maksud tertentu dalam mengarang, produktivitas dan keberhasilan pengarang, arti dan makna karya yang dihasilkan, kejiwaan pengarang, dan daya kepekaan pengarang (Sugihastuti, 2002: 2). Langkah-langkah ini bertujuan untuk dapat mengetahui seluk-beluk proses kreatif secara matang. Juhl (Sugihastuti, 2002: 3) mengatakan bahwa kualitas sebuah karya sastra akan bertambah apabila arti sebuah karya itu sesuai dengan maksud pengarang. Aturan-aturan kebahasaan ditata sedemikian rupa oleh pengarangnya agar mendapatkan arti dalam karya sastranya. Selain itu, sudah menjadi pandangan umum bahwa pengalaman seseorang dalam
20
kehidupan pribadinya akan membentuk keyakinan dan nilai-nilai hidupnya atau pengetahuan. Terdapat beberapa metode dalam penulisan kreatif novel yang disebut sebagai proses kreatif. Miller (Sumardjo, 2001: 69) membagi proses kreatif dibagi dalam empat tahapan, antara lain sebagai berikut. a. Tahap persiapan (prapenulisan) yaitu ketika pengarang telah memahami apa yang akan ia tulis dan bagaimana menuliskannya. Apa yang akan ditulis adalah munculnya gagasan atau isi tulisan. Kemudian, bagaimana ia menuangkan gagasan tersebut adalah terkait bentuk tulisan. Bentuk tulisan tersebut dapat menjadi syarat teknis penulisan. b. Tahap inkubasi yaitu tahap ketika gagasan yang telah muncul itu disimpan dan dipikir secara matang sampai menemukan waktu yang tepat. Pengarang memroses informasi yang didapat atau dimiliki sedemikian rupa, sehingga mengantarkanya pada pemecahan masalah. c. Tahap inspirasi/iluminasi yaitu ketika pengarang mendapatkan inspirasi berupa gagasan yang datang secara tiba-tiba dan berloncatan dari pikiran. Pada tahap ini, pengarang telah menemukan gagasannya yang ideal sehingga muncul desakan untuk segera menuliskannya dan tidak bisa ditunda. d. Tahap penulisan yaitu ketika gagasan yang telah ditemukan atau sesuai ide pengarang segera dikembangkan dalam tulisan. Tulisan tersebut disusun dengan penentuan unsur-unsur pembentuk cerita seperti tema, alur, tokoh, seting, sudut pandang, amanat, dan ditambah dengan unsur ekstrinsik sebagai pelengkap.
21
e. Tahap evaluasi/revisi yaitu ketika hasil tulisan yang telah melalui proses-proses penciptaan novel dievaluasi, diperiksa kembali, diseleksi, dan disusun sesuai fokus tulisan. Pada tahap ini, pengarang perlu menilai dan memeriksa tulisan berdasarkan pengetahuan dan apresiasi yang dimiliki pengarang. Berdasarkan empat tahapan yang telah disusun, ada pula teknik praktis proses kreatif dari Kasnadi dan Sutedjo (2008: 193-230). Kaitannya dengan proses kreatif dari Miller, dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Tahap prapenulisan berkaitan dengan kejelian dalam menangkap ide (ilham). b. Tahap inkubasi meliputi: (1) pengandungan ide, (2) pengasuhan ide selama dalam pengeraman, (3) pentingnya internalisasi dengan pengendapan dan perenungan terhadap dunia ambang sadar sebagai wilayah kejujuran, dan (4) kemampuan menyeleksi ide (ilham). Penekanan pentingnya hal ini terletak pada pemahaman tentang proses penjalinan cerita, proses pengandungannya sebagai ‘janin’ karya, proses pengasuhan orok (bayi), sampai proses pengentasannya. c. Tahap iluminasi merupakan peristiwa munculnya gagasan seorang pengarang setelah lama ia memikirkannya. Gagasan ini menemukan bentuknya yang ideal setelah menyeleksi ide. d. Tahap Penulisan merupakan sebuah proses ketika gagasan yang disimpan akan dikembangkan dalam bentuk tulisan. Untuk memulai penulisan, pengarang perlu mengikuti beberapa konkret seperti: (1) pengawalan novel secara menarik, (2) pengolahan bahasa yang dapat memikat pembaca, (3) pemilihan gaya bahasa dan diksi yang tepat, (4) pemilihan imaji untuk menghidupkan cerita, (5) pemilihan aliran dan tema yang sesuai, (6) pemilihan sudut pandang, (7) penggunaan seting,
22
(8) penciptaan karakter yang memikat, (9) penentuan awal konflik dan efek tegang dalam sebuah cerita, (10) pemilihan konflik cerita, (11) pengakhiran konflik cerita, (12) penggunaan alur cerita, (13) penciptaan suasana cerita, (14) penulisan akhir cerita, (15) penentuan unsur ekstrinsik cerita, (16) penyisipan pesan, dan (17) pemilihan judul. e. Tahap Evaluasi/Revisi dilakukan dengan memperbaiki hasil tulisan, dari ide hingga penulisan, yang memengaruhi penulisan karya sastra. b. Psikologi Sastra Sebagaimana dikatakan oleh Wiyatmi (2011: 20) bahwa pemahaman terhadap proses kreatif karya sastra dapat dilakukan melalui keadaan jiwa atau batin pengarang. Kondisi batin pengarang ini dapat menjelaskan proses kreatif dalam penciptaan karya sastra dengan mengacu pada daya kepekaan, hasrat, dan perasaan yang lebih mendalam tentang kodrat manusia yang memiliki tingkat sensitivitas rasa, hasrat, dan kepekaan yang tinggi. Pendekatan ekspresif ini yang dapat menjelaskan pengaruh kondisi batin pengarang dalam proses kreatif. Untuk itu perlu pendekatan psikologi sastra sebagai sebuah pendekatan yang dapat menjelaskan kondisi batin pengarang dalam proses kreatif penciptaan karya sastra. Psikologi sastra merupakan kajian interdisipliner antara ilmu psikologi dengan sastra. Secara implisit, psikologi sastra mengkaji kondisi batin manusia yang dilukiskan dalam karya sastra sebagai potret jiwa. Jiwa seseorang dalam karya sastra tidak hanya melingkupi kepribadian pengarang namun juga jiwa orang lain meskipun ia kerap menambah pengalaman sendiri dan sering dialami oleh orang lain (Minderop,
23
2010: 59). Berbagai pengalaman yang menyangkut peristiwa-peristiwa yang dialami seseorang dapat dituliskan kembali. Hal ini membuktikan bahwa karya sastra merupakan implementasi dari batin seseorang. Meneliti kepribadian seseorang diperlukan beberapa langkah. Pertama, perlu mengamati ekspresi pengarang untuk menjelaskan karyanya. Telaah ini dilakukan terhadap eksponen yang menjelaskan kualitas khusus karya sastra menurut kualitas nalar, kehidupan, dan lingkungan si pengarang. Kedua, memahami pengarang atau penulis terlepas dari karyanya dengan cara mengamati biografinya untuk merekonstruksi kehidupannya dan menggunakan karyanya sebagai rekaman kehidupan dan perwatakan. Ketiga, membaca karya yang diteliti untuk menemukan cerminan kepribadian pengarang (Minderop, 2010: 59). Kuatnya pengaruh psikologi dalam karya sastra ditentukan oleh beberapa faktor yang memengaruhi kualitas kejiwaan pengarang. Pertama, suatu karya harus merefleksikan kekuatan, kekaryaan, dan kepakaran penciptanya. Kedua, karya sastra harus mempunyai keistimewaan dalam hal gaya bahasa sebagai ungkapan perasaan dan pikiran. Ketiga, masalah gaya, struktur, dan tema karya sastra harus mencerminkan pikiran dan perasaan individu yang mencangkup pesan utama, peminatan, gelora jiwa, dan sensasi tertentu yang memberi kesinambungan dan koherensi terhadap kepribadian (Minderop, 2010: 61-62). Menurut Wilson (Minderop, 2010: 62) elemen terpenting dalam karya sastra yaitu terdapatnya beberapa masalah yang menyangkut kepribadian pengarang di antaranya daya imajinasi yang mampu menampilkan citra melalui para tokoh, situasi,
24
dan konflik yang dialami para tokoh. Perwatakan tokoh merupakan personifikasi dari kepribadian pengarang sebagai penghubung antara elemen-elemen tersebut dengan cerita dalam karya prosa sebagai hubungan antarelemen yang pernah dialaminya. Namun, tidak semua tokoh selalu berhubungan dengan pengarang karena tidak mendapat bagian dan sedikitnya kemuculan dalam cerita. Apa yang ditulis merupakan hasil refleksi dari keinginan dan hasrat pengarang. Hal-hal yang ada dalam pemikiran pengarang bisa dilukiskan dengan penggunaan bahasa dalam karya sastra. Sebagaimana yang disampaikan Freud (Wellek dan Warren, 1993: 92) bahwa seniman adalah seorang yang ingin lari dari kenyataan ketika ia tidak dapat memenuhi keinginan untuk pemuasan instingnya. Pengarang,
ketika
mendapatkan ilham atas peristiwa yang menurutnya menarik dan terkait dengan halhal yang dirasa mengusik jiwanya, akan mencari cara kreatif yaitu memuaskan keinginan yang merangsang jiwanya. Pemuasan itu dapat mengantarnya menemukan jalan keluar dari dunia fantasi menuju kehidupan nyata. Ditambah lagi, dengan bakatnya yang istimewa, ia dapat membentuk fantasinya menjadi suatu realitas baru dan orang menerimanya sebagai bentuk perenungannya yang bernilai. Kondisi yang menimbulkan kepuasan batin dapat diwujudkan pengarang dengan menulis karya sastra. Apa yang tertuang dalam ide pengarang akan tersampaikan berdasarkan ekspektasinya dalam mempengaruhi pembaca. Saling memengaruhi antara pengarang dengan pembaca dalam kepengarangan tidak hanya sekedar meniru kehidupan tetapi juga membentuknya (Wellek dan Warren, 1993: 120). Pengarang, secara langsung ataupun tidak langsung, mempunyai hubungan dengan masyarakat. Namun agar dapat
25
menyampaikan suatu keinginan kepada masyarakat, pengarang harus membuat sebuah karya yang dapat menghibur sekaligus mampu memberi manfaat. Sebagaimana konsep dulce et utile yang disampaikan Horatius bahwa seni mempunyai fungsi hiburan sekaligus pengetahuan. Freud menambahkan pula dalam konsep delir mimpi. Konsep ini meliputi hasrat-hasrat tersembunyi pengarang dalam mengutarakan keinginan. Mimpi merupakan sebuah aktivitas mental yang selalu dialami seseorang saat tidur (Freud, 2010: 37). Ketika tidur, seseorang akan bermimpi tentang suatu hal yang terimplementasi dari pikiran-pikiran laten. Bahkan seorang pengarang harus merasakan kesenangan dalam tidur dan seperti biasanya ia harus menerima tambahan lintasan mimpi dalam kejiwaannya seperti halusinasi, harapan, khayalan, dan lain-lain (Freud, 2010: 40). Maka dari sini mimpi bisa muncul di mana saja dan kapan saja serta dapat terlintas secara sekilas. Namun pemenuhannya tergantung keinginan seseorang. Ada di antara mereka yang menyimpan mimpi itu setelah muncul dalam benaknya, ada yang ketika muncul begitu saja ia simpan dalam memorinya dan langsung dicatat, serta berbagai cara dalam merespon mimpi. Selanjutnya, teori mimpi Freud diasumsikan oleh Milner (1992: 48) sebagai perwujudan hasrat. Mimpi dapat melukiskan berbagai keinginan pengarang berdasarkan isi mimpi laten. Isi mimpi laten adalah teks asli yang keberadaannya primitif dan harus disusun kembali melalui gambar yang sudah diputarbalikkan oleh mimpi yang manifes. Mimpi manifes adalah gambar-gambar yang kita ingat ketika bangun dan kemudian muncul ke pikiran kita ketika berusaha mengingatnya. Berdasarkan asumsi di atas, mimpi laten dapat dimunculkan oleh mimpi manifet
26
sebagai aplikasi pemenuhan hasrat. Mimpi laten berisi sesuatu yang tersembunyi. Teks-teks yang ada dalam isi pikiran mimpi laten dapat diterjemahkan oleh mimpi manifes. Isi mimpi itu dihasilkan dari mimpi manifes setelah orang itu bangun dan merasakan sesuatu yang berkelebat berupa mimpi yang dialami dalam tidurnya. Maka mimpi dalam analisis Freud dibagi menjadi dua yaitu mimpi manifes dan mimpi laten. Hal itu yang kemudian dibagi Milner ke dalam empat pola perwujudan mimpi yaitu figurasi, kondensasi, pemindahan, dan simbol. Namun, untuk peneluran hasrat secara langsung, digunakanlah figurasi sebagai transformasi pikiran ke dalam gambaran atau teks karena mimpi merupakan cara tertentu melihat hasrat seseorang terwujud. Bertens (2006: 15-16) menyatakan, mimpi adalah ‘via regia’ atau jalan utama yang menghantarkan seseorang kepada ketidaksadaran. Analisis tentang mimpi memerlukan berbagai sebab tentang latar belakangnya yang memengaruhi struktur kejiwaan seseorang. Beberapa alasan itu adalah: (1) persamaan yang ditemukan antara reaksi-reaksi para pasien dalam keadaan hipnosis dengan mimpi biasa, (2) cerita dalam mimpi-mimpi menjadi suatu unsur penting dalam pengobatan psikoanalisis, dan (3) pengalaman tentang mimpi-mimpinya sendiri, sebab analisis tentang hal itu memungkinkan Freud melakukan psikoanalisis terhadap dirinya sendiri. Maka karena mimpi sebagai konflik antara daya-daya psikis, maka masuk akallah kalau Freud menganggap mimpi sebagai perwujudan konflik. Isi mimpi yang ada dalam diri pengarang itu selanjutnya diterjemahkan ke dalam suatu bentuk menurut hasratnya. Mimpi tersebut adalah hasil penggambaran peristiwa dalam bentuk lain yang dapat diterima masyarakat. Menurut Freud terdapat tiga aspek kejiwaan dalam pemenuhannya yaitu id, ego, dan superego (Siswantoro,
27
2005: 38-39). Id yaitu mekanisme pemenuhan hasrat yang harus dipenuhi sesegera mungkin. Kemudian ego yang merupakan prinsip realitas yaitu ketika seseorang mempunyai hasrat maka secara realistis ia akan mencari suatu media untuk perwujudannya. Superego yaitu penyesuaian terhadap nilai-nilai yang dipegang dan dianut seseorang sebagai prinsip hidup. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan, penelitian mengenai proses kreatif dapat ditinjau dari psikologi pengarang untuk memahami konsep tentang mimpi sebagai mekanisme perwujudan hasrat. Mimpi merupakan gejala batin yang ada dalam diri pengarang. Menurut Freud (Milner, 1992: 48), mimpi merupakan perwujudan hasrat seseorang sebagai pelampiasan keinginan untuk mencapai sesuatu tujuan. Proses kreatif dalam psikologi sastra dibagi menjadi empat berdasarkan pemenuhan hasrat antara lain figurasi, kondensasi, pemindahan, dan simbol (Milner, 1992: 27-28). Hal-hal itu dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Figurasi yaitu teknik transformasi pikiran ke dalam gambar atau kata-kata. Gambar ini dihasilkan dari mimpi yang merupakan cara tertentu untuk melihat hasrat kita terwujud. Pikiran-pikiran optatif (bersifat abstrak karena muncul dari hasrat) itu digantikan oleh pikiran yang aktual berdasarkan keinginan pengarang. 2. Kondensasi, yaitu peralihan dari berbagai mimpi yang digabung menjadi satu imaji tunggal. Setiap orang seringkali mengalami kemunculan mimpi yang berkelebat dengan berbagai kondisi. Ada yang kemunculannya banyak namun ada
28
yang sedikit tergantung kepekaan. Seperti seseorang mempunyai banyak cita-cita namun harus mempertimbangkan kesesuaiannya. 3. Pemindahan, yaitu menonjolkan sesuatu yang sama sekali tidak berhubungan dengan pikiran laten. Kemunculan mimpi itu kadang diwujudkan dengan pemaknaan yang berlawanan dari isi pikiran laten. 4. Simbol, yaitu pewujudan mimpi yang berhubungan dengan pikiran tersembunyi melalui hubungan yang bersifat analogis. Objek-objek dalam isi pikiran dihubungkan secara simbolis yaitu pemaknaan mimpi yang tidak secara konkret melainkan ada hubungannya dengan objek terkait. Misalnya tali dihubungkan dengan ular, mawar berhubungan dengan wanita, merah bisa berarti darah, dan lain-lain. Endraswara (2008: 213) membagi sastrawan ke dalam tiga golongan berdasarkan keadaan jiwa yang mendorong lahirnya proses kreatif karya sastra. Golongan-golongan tersebut antara lain: 1. Jiwa sedang iba, yaitu keadaan psikis sastrawan merasa kasihan terhadap fenomena. Hal itu dapat dibuktikan dengan adanya kejadian yang menyayat hati dan menyentuh rasa hingga melahirkan proses kreatif. 2. Jiwa sedang geram, yaitu ketika dalam keadaan marah dan kecewa. Suasana ini dapat dimunculkan dalam karya sastra. Hal ini dapat ditandai dengan adanya katakata yang mengandung kemarahan seperti kata-kata kasar, kata-kata negatif yang mengandung kebencian, dan kata-kata yang mengandung perasaan kecewa terhadap fenomena. Hal ini yang dapat memunculkan proses kreatif pengarang.
29
3. Jiwa merasa kagum, yaitu ketika pengarang merasakan keheranan, penuh tanda tanya, dan rasa keagungan. Pada suasana ini pengarang hendak menyatakan rasa syukur, pantulan imajinatif ke arah profetik, dan sejenisnya. Ketika suasana kejiwaan yang dirasakan demikian, akan menjadi inspirasi kritis bagi pengarang yaitu daya dorong kuat psikis yang mengharuskan sastrawan berekspresi. Proses penciptaan karya sastra yang berkaitan dengan psikologi memainkan peran penting dalam memengaruhi kesadaran individu. Menurut Jung (2005: 159), fokus utama psikologi sastra yang berkaitan dengan ranah kesadaran manusia adalah terdapatnya pandangan hidup, guncangan emosional, pengalaman yang membuat pengarang mendapat gairah untuk mengekspresikan pandangan, dan daya krisis mengenai takdir manusia pada umumnya. Semuanya itu membangun kesadaran manusia dan kesadaran hidup yang dirasakan secara pribadi. Pengalaman manusia seperti guncangan emosi, pengalaman pribadi, dan krisis mengenai nasib hidup umat manusia dapat membentuk pandangan hidupnya dalam mewujudkan proses kreativitas sastranya. Semua proses itu dikendalikan oleh sensor sebagai pengendali mekanisme hasrat. Hal ini menimbulkan apa yang disebut Freud sebagai represi. Keseluruhan proses di atas membentuk pekerjaan mimpi dan membantu menyamarkan hasrat yang tidak dapat terwujud saat sadar. Keadaan psikis dalam keadaan bangun merupakan suatu arus yang mengubah kesan-kesan inderawi menjadi suatu penggerak, dengan memunculkannya ke dalam wilayah sadar. Akan tetapi harus melalui dua zona atau sistem yaitu sistem taksadar dan sistem prasadar. Sistem taksadar yaitu penimbunan jejak-jejak kenangan dari kesan-kesan inderawi sekaligus kekuatan energi yang
30
menjadi sumber hasrat. Untuk menjadikan kekuatan energi itu kuat dan peka, maka sistem itu harus lepas dari sadar. Setelah mencapai zona prasadar, kesan inderawi dapat terpendam di situ karena tidak cukup intens atau mendapat perhatian serta dapat segera menjadi sadar. Sensor hanya membiarkan kesan-kesan inderawi yang tidak membangkitkan resistensi. Hambatan-hambatan sensor bekerja untuk menghalangi hasrat-hasrat tak sadar yang terpendam untuk mewujud dalam berbagai bentuk yang dapat memberi kepuasan batin. Sensor di atas dapat berupa pertimbanganpertimbangan seseorang sebelum menentukan pilihan. Sensor menyebabkan berbagai kejadian yang dialami masa lalu bisa terlupakan. Namun apabila kedua sistem yang peka dan motoris tadi tertidur, gerakannya berubah terbalik yaitu dari progredien (gerakan dari kesan inderawi) menjadi regredien (sadar). Gerakan tersebut dapat menghidupkan kembali kesankesan yang dilupakan, sebagai akibat melemahnya sensor yang masuk ke dalam sadar melalui transposisi tertentu. Penggerak kehidupan psikis secara eksklusif adalah hasrat. Hasrat tersebut dapat terlihat sebagai sadar yang direpresi sehari sebelumnya. Tetapi menurut Freud, dalam taksadar terdapat akar hasrat yang menimbulkan mimpi (Milner, 1992: 29-31). Kesan-kesan inderawi manusia akan bekerja bila sensor dalam dirinya tidak bekerja. Kesan-kesan ini akan tercipta melalui bahasa sebagai ungkapan ekspresi.
31
B. Kerangka Pikir Berdasarkan landasan teori yang telah dikemukakan, dapat dipetakan kerangka pikir untuk dapat memperjelas teknis penelitian. Adapun bagan kerangka pikir adalah sebagai berikut: Proses Kreatif Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra
99 Cahaya di Langit Eropa
Tahap-tahap Proses Kreatif William Miller: 1. 2. 3. 4. 5.
Tahap Persiapan Tahap Inkubasi Tahap Inspirasi/Iluminasi Tahap Penulisan Tahap Verifikasi
Proses Kreatif
Proses Peneluran Hasrat Sigmund Freud: 1. Id 2. Ego 3. Superego
Psikologi Sastra
Kesimpulan