I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004-2009 di Sektor Industri Manufaktur, Pemerintah Pusat memprioritaskan pengembangan agroindustri. Prioritas tersebut bertujuan untuk meningkatkan perekonomian wilayah, khususnya di luar Jawa. Rencana tersebut beralasan karena agroindustri merupakan subsektor industri yang selama ini memberikan kontribusi besar dalam penyerapan tenaga kerja dan ekspor non migas. Pengembangan agroindustri pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah sektor pertanian. Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 telah memberikan pengaruh yang besar terhadap perekonomian Indonesia pada tahun 1998. Krisis ekonomi yang diawali oleh turunnya nilai rupiah terhadap US dollar menyebabkan semakin mahalnya harga barang-barang impor. Hal ini pada gilirannya menyebabkan semakin meningkatnya biaya produksi yang harus ditanggung oleh produsen dalam negeri, yang banyak menggantungkan produksi melalui ketersediaan bahan baku impor. Krisis ekonomi yang berkepanjangan tersebut menyebabkan output menjadi berkurang sehingga mengakibatkan penurunan produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada tahun 1998. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun tersebut mengalami kontraksi sekitar -13.1%, yang mengakibatkan banyak sektor ekonomi terpuruk, terutama industri dan konstruksi. Menurut Departemen Perindustrian (2005), perekonomian Indonesia mulai mengarah pada pemulihan krisis ekonomi yang tercermin dari membaiknya kondisi ekonomi makro dengan indikator terkendalinya inflasi, stabilnya nilai tukar terhadap nilai mata uang asing khususnya dolar Amerika Serikat, rendahnya suku bunga bank dan sebagainya. Sejalan dengan kemajuan itu, sektor industripun mengalami
2 perbaikan kinerja, baik dalam hal pertumbuhan, kontribusi, maupun peranannya. Meskipun ada perbaikan yang cukup berarti, harus diakui bahwa peran sektor industri dalam ekonomi nasional, serta sektor riil lainnya masih lebih rendah dibandingkan dengan kondisi sebelum krisis. Herjanto (2003) menyebutkan bahwa sebelum terjadi krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997, perkembangan jumlah unit usaha, tenaga kerja, nilai produksi, nilai investasi dan nilai ekspor agroindustri menunjukkan peningkatan yang cukup menggembirakan. Dari jumlah unit usaha, pada tahun 1995 tercatat sebanyak 2 068 unit usaha sedangkan pada tahun 1997 telah mencapai 2 416 unit usaha atau naik rata-rata 8.41% pertahun. Penyerapan tenaga kerja juga mengalami peningkatan, apabila pada tahun 1995 sebesar 817 466 orang, pada tahun 1997 telah mencapai 971 896 orang. Perkembangan ekspor juga menunjukkan peningkatan yang tajam. Pada tahun 1995 nilai ekspor tercatat sebesar US$ 1.65 milyar, pada tahun 1997 telah mencapai US$ 2.39 milyar atau mengalami pertumbuhan rata-rata 20.5% pertahun. Saat awal krisis ekonomi pada tahun 1997, agroindustri masih bertahan. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat utilitas rata-rata sekitar 75.3%. Setelah krisis melanda Indonesia, terjadi penurunan tingkat utilitas menjadi sekitar 6.9% pada tahun 1998. Nilai ekspor juga mengalami penurunan, di mana pada tahun 1997 nilai ekspor mencapai US$ 2.39 milyar sedangkan tahun 1998 menjadi US$ 1.96 milyar (turun -17.8%). Meskipun demikian, kontribusi sektor agroindustri terhadap perekonomian masih tetap tinggi. Pada tahun 1998, saat pertumbuhan ekonomi negatif, sektor agroindustri menyumbang Rp 39.87 trilyun pada PDB ekonomi atau sebesar 17.56% dari kontribusi sektor industri pengolahan non-migas. Pada tahun 2000 sumbangan sektor agroindustri terhadap PDB ekonomi mencapai Rp 51.5 trilyun. Kelompok industri berbasis hasil pertanian (skala
3 menengah besar) berjumlah 2 190 unit usaha dengan nilai investasi sebesar Rp 27 trilyun. Nilai produksi mencapai Rp 39.1 trilyun dan total ekspor mencapai US$ 3 milyar. Sedangkan untuk skala kecil menengah berjumlah lebih dari 545 000 unit usaha dengan nilai produksi mencapai Rp 12.5 trilyun dan nilai investasi sebesar Rp 2.97 trilyun, serta total ekspor sebesar US$ 112.5 juta. Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi potensial untuk pengembangan agroindustri di luar Jawa. Besarnya potensi tersebut dapat dilihat dari kontribusi agroindustri terhadap output sektoral dalam perekonomian wilayah Lampung. Berdasarkan Lampiran 1, 2 dan 3 yang merupakan data Tabel InputOutput Provinsi Lampung
Tahun 2000 dan 2005, peringkat terbesar dalam
kontribusi output sektoral adalah sektor-sektor dalam kelompok agroindustri. Sektor-sektor agroindustri tersebut menyumbang sekitar 28% output daerah, dimana persentase ini lebih besar dibandingkan sektor pertanian. Jika dibandingkan dengan sektor produksi primer (perkebunan, padi, perikanan, peternakan dan kehutanan), perolehan output dan nilai tambah pada sektor agroindustri tersebut sangat besar. Sektor agroindustri
memberikan
sumbangan sekitar 50% terhadap ekspor non migas Provinsi Lampung selama tahun 2001-2005 (lihat Lampiran 6 dan 7). Pada tahun 2001 nilai ekspor industri hasil pertanian mencapai US $ 245 812.64 ribu. Nilai ekspor komoditas ini terus bergerak naik hingga mencapai US $ 586 216.46 ribu pada tahun 2005. 1.2. Perumusan Masalah Kebijakan dalam pembangunan industri manufaktur diarahkan untuk menjawab tantangan globalisasi ekonomi dunia serta mampu mengantisipasi perkembangan perubahan lingkungan yang cepat. Persaingan internasional merupakan suatu perspektif baru bagi semua negara, sehingga fokus dari strategi
4 pembangunan industri di masa depan adalah membangun daya saing industri manufaktur yang berkelanjutan di pasar internasional. Untuk membangun daya saing yang berkelanjutan, upaya pemanfaatan seluruh potensi sumber daya yang dimiliki bangsa serta kemampuan untuk memanfaatkan peluang-peluang yang ada di luar maupun di dalam negeri harus dilakukan secara optimal. Oleh karena itu, daya saing yang berkelanjutan tersebut terletak pada upaya menggerakkan dan mengorganisasikan seluruh potensi sumber daya produktif untuk menghasilkan produk inovatif yang lebih murah, lebih baik, dan lebih mudah diperoleh dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan permintaan pasar. Menurut Pandjaitan (2000), dalam rangka untuk meningkatkan daya saing industri, diperlukan pengelompokan industri yang saling berhubungan secara intensif, dan merupakan aglomerasi perusahaan-perusahaan yang membentuk kemitraan. Pentingnya perhatian tentang aglomerasi, berkait dengan sejumlah argumen bahwa aglomerasi muncul karena pelaku ekonomi berupaya mendapatkan penghematan aglomerasi baik karena lokasi perusahaan (localization economies), maupun urbanisasi (urbanization economies) (Kuncoro, 2000). Hal ini sejalan dengan pemikiran O’Sullivan (2000) bahwa kedua macam penghematan ekonomi tersebut
merupakan
konsentrasi
ekonomi
secara
spasial.
Kedua
macam
penghematan ini, yang sering disebut agglomeration economies, secara implisit memperlihatkan hubungan antara industrialisasi dan urbanisasi dalam proses pembangunan. Penghematan akibat lokalisasi terjadi apabila biaya produksi perusahaan pada suatu industri menurun ketika produksi total dari industri tersebut meningkat. Dengan berlokasi di dekat perusahaan lain dalam industri yang sama, suatu perusahaan dapat menikmati beberapa manfaat. Tiga tipe agglomeration economies yaitu internal returns to scale, localization economies, dan urbanization
5 economies (O’Sullivan, 2000; Capello, 2007). Fujita et al. (1999) menyatakan terjadinya aglomerasi didasari oleh pentingnya hasil yang meningkat akibat skala ekonomi, biaya transportasi, serta keterkaitan ke belakang dan ke depan yang besar. Penghematan lokalisasi yang berkaitan dengan perusahaan-perusahaan yang memiliki aktifitas dan berhubungan satu sama lain, telah memunculkan fenomena klaster industri, atau sering disebut industrial clusters atau industrial districts. Klaster industri pada dasarnya merupakan kelompok aktivitas produksi yang amat terkonsentrasi secara spasial dan biasanya berspesialisasi pada hanya satu atau dua industri. Menurut Markusen (1996), aglomerasi industri merupakan kumpulan klaster-klaster industri. Keterkaitan aglomerasi industri dengan kebijaksanaan industri nasional adalah kebijakan persebaran lokasi industri melalui penguatan klaster industri. Kebijakan klaster industri secara formal tercantum dalam Undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas), dinyatakan bahwa dalam rangka konsolidasi pembangunan sektor primer, sekunder dan tersier, termasuk persebaran pembangunan sektor-sektor tersebut dapat ditempuh melalui klaster industri. Klaster industri merupakan bentukan organisasi yang paling sesuai guna menjawab tantangan globalisasi. Kebijakan ini dilanjutkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) Tahun 2004-2009 yang berkaitan dengan sektor industri (Bappenas, 2005). Dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) Tahun 2004-2009, disebutkan bahwa peningkatan daya saing industri manufaktur dilakukan melalui penguatan klaster. Klaster-klaster tersebut tersebut adalah (1) industri makanan dan minuman, (2) industri pengolahan hasil laut, (3) industri tekstil dan produk tekstil, (4) industri alas kaki, (5) industri kelapa sawit, (6) industri barang kayu (termasuk rotan dan
6 bambu), (7) industri karet dan barang karet, (8) industri pulp dan kertas, (9) industri mesin listrik dan peralatan listrik, serta (10) industri petrokimia. Kriteria penentuan klaster adalah berdasarkan peranan industri terhadap (1) penyerapan tenaga kerja, (2) pemenuhan kebutuhan dasar dalam negeri, (3) pengolahan hasil pertanian dan sumberdaya alam, (4) potensi pengembangan ekspor, serta (5) terkait dengan industri masa depan. Menurut Departemen Perindustrian (2005), industri masa depan adalah industri-industri yang mempunyai daya saing tinggi, didasarkan pada besarnya potensi sumberdaya alam, kemampuan atau daya kreasi dan ketrampilan, serta profesionalisme sumberdaya manusia. Industri masa depan sebagai industri yang pengembangannya diprioritaskan pada masa yang akan datang, meliputi: (1) industri berbasis agro, (2) industri alat angkut, serta (3) industri teknologi informasi dan peralatan telekomunikasi (telematika). Pengembangan industri berbasis agro (agroindustri) dilakukan melalui pendekatan klaster. Lokasi pengembangan klaster agroindustri dapat dilihat pada Lampiran 4. Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi potensial untuk pengembangan agroindustri di luar Jawa dan lokasi utama klaster agroindustri. Berdasarkan Lampiran 5 diketahui bahwa agroindustri di Provinsi Lampung memiliki kontribusi yang besar dalam PDRB dan penyerapan tenaga kerja. Dari lampiran tersebut terlihat bahwa agroindustri menyumbang sekitar 12% dari total PDRB Provinsi Lampung dalam kurun waktu tahun 2000-2004 dan menyerap sekitar 75% dari tenaga kerja yang bekerja di lapangan usaha industri dalam kurun waktu tahun 2000-2005.
Berdasarkan kontribusi output dan penyerapan tenaga
kerja, agroindustri berperan sebagai leading sector sehingga pengembangan agroindustri di Provinsi Lampung memiliki arti yang sangat strategis. Salah satu syarat tercapainya transformasi struktural dari pertanian ke industri adalah adanya
7 keterkaitan antara pertanian dan industri yang tangguh. Dengan demikian, penelitian keterkaitan antarsektor agroindustri di Provinsi Lampung diperlukan untuk melihat peran agroindustri sebagai leading sector menuju tercapainya transformasi struktural dari pertanian ke industri. Aglomerasi agroindustri di Provinsi Lampung terjadi karena posisi Provinsi Lampung dekat dengan kawasan Jabotabek sebagai daerah pemasaran, dan dekat dengan sumber bahan baku (lihat Lampiran 8). Oleh karena itu, diperlukan penelitian tentang aglomerasi industri dan peranannya dalam perekonomian Provinsi Lampung. Analisis peranan agroindustri dalam perekonomian wilayah dilakukan agar target agroindustri dalam meningkatkan output, pendapatan dan penyerapan tenaga kerja wilayah memberikan kontribusi yang besar. Dari latar belakang dan gambaran kondisi agroindustri di Provinsi Lampung, maka ada beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana keterkaitan antarsektor agroindustri terhadap sektor-sektor lain dalam perekonomian wilayah? 2. Apakah terjadi konsentrasi spasial dan aglomerasi pada sektor-sektor agroindustri di Provinsi Lampung? 3. Apakah aglomerasi menimbulkan penghematan (agglomeration economies) dalam produksi sektor agroindustri? 4. Kebijakan ekonomi apakah yang berpotensi meningkatkan peran sektor agroindustri dalam perekonomian wilayah? 1.3. Tujuan Penelitian Secara lebih spesifik, tujuan penelitian adalah : 1. Menganalisis keterkaitan sektor agroindustri dalam perekonomian wilayah. 2. Mengidentifikasi terjadinya konsentrasi spasial dan aglomerasi pada sektor agroindustri.
8 3. Menganalisis penghematan aglomerasi (agglomeration economies) dalam sektor agroindustri. 4. Menganalisis dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri dalam perekonomian wilayah. 1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat : 1. Memberikan kontribusi bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengambilan keputusan guna mengoptimalkan peranan agroindustri dalam perekonomian Provinsi Lampung melalui pendekatan aglomerasi, keterkaitan dan kontribusi agroindustri dalam output, pendapatan, dan tenaga kerja. 2. Memperkaya khasanah pengetahuan tentang ekonomi pembangunan, ekonomi pertanian, geografi ekonomi, ekonomi regional, ekonomi publik, dan perencanaan wilayah. 3. Sebagai bahan referensi bagi penelitian lanjutan yang lebih mendalam. 1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ini mengkaji dampak eksternalitas aglomerasi dan peran agroindustri dalam perekonomian wilayah Provinsi Lampung dengan ruang lingkup dan keterbatasan sebagai berikut : 1. Penelitian ini meliputi langkah-langkah berikut: (1) pengkajian struktur ekonomi wilayah, (2) pembaharuan data (updating) Tabel Input-Output Tahun 2000 ke Tahun 2005, (3) pengkajian keterkaitan ke belakang dan ke depan, serta dampak pengganda agroindustri, (4) pengkajian besarnya konsentrasi spasial dan kekuatan aglomerasi, (5) pengkajian faktor-faktor penentu penyebab tumbuhnya penghematan akibat aglomerasi agroindustri (agglomeration economies), (6) pemodelan simulasi/skenario kebijakan, dan (7) perumusan implikasi kebijakan.
9 2. Lingkup wilayah penelitian dibatasi pada tingkat makro wilayah Provinsi Lampung dan tidak menganalisis keterkaitan antar wilayah (inter region). Salah satu alat analisis data yang dipergunakan adalah Model Input-Ouput (I-O) sehingga berlaku asumsi-asumsi yang dipergunakan dalam model tersebut. Asumsi-asumsi tersebut adalah : (1) keseluruhan kegiatan ekonomi dibagi habis menurut klasifikasi tertentu ke dalam sektor dan institusi, (2) jumlah penerimaan dan jumlah pengeluaran dari masing-masing sektor/institusi berimbang (adanya prinsip keseimbangan umum), dan (3) distribusi koefisien antar sektor/berlaku konstan. 3. Asumsi yang digunakan dalam analisis input-output yaitu: (1) keseragaman (homogeneity), yang mensyaratkan bahwa tiap sektor memproduksi suatu output tunggal dengan struktur input tunggal dan tidak ada substitusi otomatis terhadap input dari output sektor yang berbeda-beda, (2) kesebandingan (proportionality), yang menyatakan hubungan antara input dan output di dalam tiap sektor merupakan fungsi liniar, yaitu jumlah tiap jenis input yang diserap oleh sektor tertentu naik atau turun sebanding dengan kenaikan atau penurunan output dari sektor-sektor tersebut, (3) penjumlahan (additivity), yang berarti bahwa efek total dari kegiatan produksi di berbagai sektor merupakan efek masing-masing kegiatan, dan (4) ekses kapasitas atau kapasitas sumberdaya berlebih. Artinya sisi penawaran selalu dapat merespon perubahan sisi permintaan dan penawaran tidak pernah menimbulkan kesenjangan antara keduanya. Konsekuensinya harga-harga tidak pernah berubah atau harga tetap (fixed price) dan bersifat eksogen. 4. Tidak membangun Tabel Input-Output Interregional antar kabupaten/kota ataupun antar provinsi.
10 5. Analisis pengaruh penghematan akibat aglomerasi (agglomeration economies) agroindustri dibatasi pada maanfaatnya bagi produksi atau output industri besar dan sedang karena berhubungan dengan konfigurasi spasial dan keterbatasan data. 6. Analisis konsentrasi spasial dan kekuatan aglomerasi sektor agroindustri dibatasi pada unit spasial kabupaten atau kabupaten yang berdekatan (co-location). 7. Analisis knowledge spillovers dibatasi pada tingkat pendidikan pekerja, sedangkan natural advantage berkaitan dengan bahan baku agroindustri.