I.
A.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Permasalahan
Permasalahan sehubungan dengan kehilangan gigi telah menjadi perhatian umat manusia di seluruh dunia sejak beberapa abad yang lalu, tidak terkecuali di Indonesia. Angka kerusakan gigi yang kemudian diikuti dengan tanggalnya gigi berdasarkan umur berkisar 70% pada usia 10 tahun, 43,9% pada usia 12 tahun, 37,4% pada usia 15 tahun, 51,1% pada usia 18 tahun, 80,1% pada usia 35-44 tahun, dan 96% pada usia 65 tahun ke atas. Prevalensi tersebut dikemukakan berdasarkan survei kesehatan yang dilakukan Departemen Kesehatan Republik Indonesia terhadap penduduk Indonesia pada tahun 2008. PERSENTASE DATA KEHILANGAN GIGI BERDASARKAN USIA 120
100 80 60
40 20 0 10 th
12 th
15 th
18 th
35 th
65 th
Gambar 1. Grafik batang data persentase kehilangan gigi berdasarkan usia
Angka tersebut akan cenderung meningkat seiring dengan pola makan, kesempatan hidup yang lebih panjang, dan tidak seimbangnya tenaga dokter gigi dengan jumlah penduduk Indonesia yang ada (Depkes, 2001). Menurut Konsil Kedokteran Indonesia (KKI, 2016), jumlah dokter gigi sampai dengan Oktober 2009 adalah sekitar 27.283 orang, sementara jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2015
sekitar 254.900.857 (BPS, 2015). Atas dasar temuan tersebut seorang dokter gigi harus melayani sekitar 9.500 orang. Idealnya satu orang dokter gigi melayani sekitar 1000 orang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Glaxo Smith Kline (GSK), terungkap bahwa 14% masyarakat Indonesia adalah pemakai gigi tiruan pada usia 15 tahun ke atas, atau sekitar 35.000.000 orang dari 250.000.000 orang penduduk Indonesia adalah pemakai gigi tiruan (Zantika, 2011). Menurut Burt dan Eklund (2005), Indonesia memiliki angka kehilangan gigi bagi penduduknya yang tergolong tinggi, yaitu sekitar 24%, yang berusia rata-rata 65 tahun ke atas. Kehilangan gigi (ompong) pada seseorang akan berdampak pada: masalah fonetik sehingga pengucapan-pengucapan huruf tidak jelas yang dapat berakibat salah persepsi terhadap ucapan tersebut. Akibat lainnya adalah sistem mastikasi (pengunyahan) yang tidak sempurna yang akan mengakibatkan keadaan gizi seseorang menjadi menurun. Guna memulihkan keadaan tersebut perlu dilakukan pemasangan gigi tiruan, agar supaya sistem mastikasi bisa kembali normal sehingga kinerja alat-alat pencernaan tidak terbebani oleh makanan-makanan yang diterima masih dalam keadaan kurang halus. Pengaruh psikologis akibat kehilangan gigi adalah estetik berupa timbulnya rasa kurang percaya diri dan malu dalam bersosialisai dengan masyarakat di sekitarnya. Atas dasar uraian tersebut, maka penanganan kesehatan gigi, di antaranya penggantian gigi yang hilang atau sering dikenal dengan sebutan perawatan prostodonsia harus mendapatkan perhatian yang cukup serius. Perawatan prostodonsia adalah pemulihan atau perbaikan keseimbangan fungsional seluruh sistem stomatognatik yang meliputi estetik, mastikasi, fonetik, dan penelanan. Menurut James (2000) berbagai upaya telah dilakukan untuk menggantikan gigi yang hilang atau tanggal, salah satunya ialah dengan menanam organ-organ dari
spesies lain jenis (gading, tulang, dan gigi binatang) ke dalam tulang rahang (endosseous). Upaya tersebut berkembang sampai pada munculnya material sintetis yang diinsersikan ke dalam tulang rahang yang lazim disebut sebagai implan gigi. Perkembangan ilmu implan gigi (dental implantology) saat ini mengalami kemajuan yang sangat pesat, dikarenakan jenis gigi tiruan ini mempunyai tingkat kenyamanan yang paling tinggi terutama dalam hal retensinya dibandingkan dengan jenis gigi tiruan lainnya baik sebagai restorasi tunggal/ single restoration maupun stabilisasi gigi tiruan lengkap/ denture stabilisation (Schroeder, 1996). Dalam hal stabilisasi gigi tiruan lengkap, Ching Yu, dkk. (2012) berpendapat bahwa 66% para lanjut usia mengeluhkan bahwa gigi tiruan lengkap yang telah diinsersikan terutama untuk rahang bawah tidak nyaman karena kurang retentif. Margo (2008) berpendapat bahwa salah satu upaya untuk meningkatkan retensi dapat dilakukan dengan pemasangan implan gigi sebagai penyangga pada gigi tiruan yang kurang atau tidak stabil terutama untuk gigi tiruan rahang bawah. Angka keberhasilan insersi implan gigi menunjukkan perkembangan yang signifikan. Journal of Oral & Maxillofacial Implants (JOMI) pada tahun 2004 menunjukkan data tentang keberhasilan pemasangan implan gigi yang mencapai 95,4% setelah 5 tahun insersi dan 92,8% setelah 10 tahun insersi (Lang, 2004). Minat dan perkembangan implan gigi di Indonesia khususnya di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Prof. Soedomo, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yang memiliki Dentofacial Implant Center juga menunjukkan antusias masyarakat untuk melakukan insersi implan gigi. Keadaan ini dapat dilihat dari data yang menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 3 tahun (tahun 2008-2011) telah terpasang sekitar 180 buah implan gigi dari berbagai macam ukuran, dengan jumlah kegagalan sebanyak 21 buah. Data tersebut menunjukkan tingkat keberhasilan
yang mencapai 91,5%, dengan angka kegagalan sebanyak 8,5%. Persentase angka kegagalan tesebut 40% di antaranya dikarenakan kondisi tulang yang belum siap sebagai tempat kedudukan implan gigi/ impant bed dan selebihnya disebabkan kesalahan faktor pasien, operator, dan kondisi kesehatan pasien secara umum (Data Rekam Medik RSGM Prof. Soedomo, Fakultas Kedokteran Gigi, UGM, 2011).
KEBERHASILAN INSERSI IMPLAN GIGI x %
Hari Pengamatan 96
14 hari
28 hari
56 hari
95 0,056
94
%
93
95,4%
92 91 90 89
0,004*
91,5% a
92,8%
0,303
b c 3 th 5 th 10 th
RSGM FKG-UGM
NEGARA MAJU
Gambar 2. Grafik batang data keberhasilan insersi implan gigi
Di Amerika Serikat insersi implan gigi mengalami kenaikan lebih dari 10 kali lipat dalam kurun waktu 18 tahun (1983-2002) dengan lebih dari 700.000 buah implan gigi diinsersikan pada pasien setiap tahunnya (Misch, 2005). Jumlah implan gigi yang terjual di pasaran juga terus mengalami peningkatan. Hal ini dibuktikan dengan terjualnya implan gigi untuk konsumsi masyarakat yang mencapai 150.000.000 USD pada tahun 2002, sementara pada tahun 1983 hanya mencapai 10.000.000 USD (Goff, 2002; Millenium Research Group, 2003). Pasar implan gigi untuk seluruh dunia mencapai 3.400.000.000 USD pada tahun 2008 dan diperkirakan akan mencapai 8.100.000.000 USD pada tahun 2015 (Wintergreen Research, 2011).
OMZET PENJUALAN IMPLAN GIGI DISELURUH DUNIA 8.100.000.000 USD Rp 113 T. 400 M
9.000 8.000 7.000 6.000
3.400.000.000 USD Rp 47 T. 600 M
5.000 4.000 3.000 2.000 1.000
10.000.000 USD Rp 140 M
150.000.000 USD Rp 2 T.100 M
0
Tahun 1983
Tahun 2002
Tahun 2008
Tahun 2015
(Goff, 2002; Milleneium Research, 2003; Wintergreen Research, 2011)
Gambar 3. Grafik batang omzet penjualan implan gigi diseluruh dunia
Kebutuhan yang terus meningkat atas implan gigi ini dikarenakan oleh beberapa faktor, antara lain: kenyamanan di dalam pemakaian implan gigi, meningkatnya jumlah lansia karena adanya kesempatan hidup yang lebih lama, kegagalan dan ketidaknyamanan akibat gigi tiruan jenis lainnya, bentuk anatomi rahang tidak bergigi yang kurang mendukung, penampilan yang kurang memuaskan akibat gigi tiruan lepasan, serta aspek psikologis ingin tampil lebih muda. Selain faktor-faktor tersebut, adanya kepastian bahwa implan gigi dapat mendukung berbagai macam protesa gigi dalam jangka waktu yang lama dan mencegah resorpsi procesus alveolaris pasca pencabutan gigi, serta penggunaan sebagai pilar pada protesa maksilofasial telah menyebabkan peningkatan kebutuhan akan implan tersebut (Misch, 2005). Adanya program pendidikan dokter gigi spesialis (PPDGS) di bidang prostodonsia, bedah mulut, dan periodonsia yang diselenggarakan oleh pusat-pusat pendidikan kedokteran gigi di seluruh Indonesia yang mencantumkan kurikulum ilmu implan gigi baik secara teori maupun praktek juga menyebabkan peningkatan kebutuhan akan penyediaan dan pelayanan implan gigi.
Implan gigi kemudian menjadi sangat populer dikarenakan diketemukannya konsep oseointegrasi oleh Adell dkk. (1981) dan Branemark (1983). Istilah oseointegrasi pada ilmu implan gigi (dental implantology) dapat diartikan sebagai suatu bentuk perlekatan antara jaringan tulang dengan permukaan bagian implan gigi yang tertanam di dalam tulang rahang (substructure) tanpa diselingi oleh jaringan fibrus di antaranya. Proses oseointegrasi memerlukan dukungan peranan biomolekuler dan sel-sel tulang (osteon). Menurut Xu dkk. (2009) dan Omar (2010), fenomena seluler dan molekuler pada proses dan mekanisme oseointegrasi belum diketahui secara jelas. Pada insersi implan gigi, oseointegrasi yang sempurna akan menghasilkan ikatan menyatu/ fusion antara substructure dengan tulang rahang di sekitarnya tanpa ada jaringan fibrus di antaranya. Keadaan tersebut merupakan gambaran kontak langsung antara substructure dengan tulang di sekitarnya yang sering dikenal dengan istilah bone-to-implant contact (BIC). Di dalam prosedur insersi implan gigi diperlukan dukungan dari berbagai disiplin ilmu untuk menjamin terjadinya oseointegrasi dengan sempurna. Dengan demikian, implan gigi mempunyai kemampuan bertahan pada masa yang cukup lama dan lebih kuat tertanam di dalam tulang rahang (Linkow dkk., 1990). Semakin luas oseointegrasi terjadi pada permukaan substructure dengan tulang yang dapat diamati dengan terjadinya BIC, semakin kokoh pula implan gigi tersebut tertanam di dalam tulang rahang. Terjadinya oseointegrasi dapat digunakan di dalam menentukan saat kapan implan gigi dapat digunakan sebagai pendukung bangunan protesa gigi. Artinya, semakin cepat proses oseointegrasi terjadi, semakin cepat pula implan gigi tersebut bisa digunakan sebagai pendukung gigi tiruan sehingga pasien tidak terlalu lama menunggu dalam keadaan tanpa gigi (ompong).
Pada umumnya pemasangan bangunan protesa gigi (denture loading) idealnya dilakukan antara 8 bulan untuk rahang bawah dan 10 bulan untuk rahang atas setelah insersi implan gigi (Ellingsen, 2003). Atas dasar alasan-alasan tersebut, maka munculah teori fibrosseous integration oleh Weiss (Bernard, 1996; Webber, 1998) yang melahirkan konsep immediate loading, artinya bangunan protesa gigi dapat segera dipasang setelah proses insersi implan gigi. Akan tetapi hal ini masih menjadi perdebatan para ilmuwan di bidang ilmu implan gigi dikarenakan belum adanya jaminan bahwa fibrosseous integration sama dengan oseointegrasi (Joos and Mayer, 2006). Terkait dengan jenis implan gigi, secara garis besar ada 3 jenis implan gigi berdasarkan prosedur insersinya yakni: subperiosteal, bicortical/ transmandibular, dan endosseous. Jenis endosseous merupakan jenis yang paling banyak diminati oleh para operator karena cara insersinya yang sederhana dan tidak banyak mencederai jaringan di dalam rongga mulut (Schroeder, 1996). Berdasarkan latar belakang tersebut dan untuk lebih memperjelas peranan tulang dalam mendukung jenis implan endosseous untuk terjadinya oseointegrasi, maka perlu kiranya dilakukan penelitian lintasdisiplin yang meliputi aspek farmakologi, implantologi, dan biomedika, dengan maksud untuk mengatasi permasalahan yang sering timbul pada insersi implan gigi terutama mengenai terjadinya oseointegrasi. Hasil yang diharapkan pada penelitian ini ialah segera terwujudnya percepatan dan perluasan oseointegrasi yang ditandai dengan adanya perlekatan permukaan substructure implan terhadap tulang di sekitarnya (BIC) yang lebih cepat dan lebih luas karena adanya intervensi farmakologis. Adanya sediaan farmakologi yang dapat mempercepat penyembuhan pada perlukaan tulang, diharapkan juga akan berpengaruh pada oseointegrsi dalam hal percepatan dan
perluasannya. Hal ini akan sangat mempengaruhi aspek psikologis dan keadaan gizi seseorang dikarenakan segera dapat dilakukan pemasangan gigi tiruannyna (denture loading). Keadaan rongga mulut yang tidak normal dikarenakan banyaknya gigi yang tanggal, akan mengganggu aktivitas pengunyahan sehingga akan mempengaruhi status gizi serta mempunyai dampak pada kualitas hidup seseorang (Amurwaningsih dkk, 2010). Individu dengan kehilangan gigi baik sebagian maupun seluruhnya akan mengkonsumsi makanan dengan kandungan lemak yang tinggi dari pada jenis buah, sayur dan makanan dengan kandungan serat yang tinggi, keadan ini akan menyebabkan adanya perubahan pola asupan gizi yang akan berpengaruh terhadap status gizi dan kesehatan secara umum (Ibrahim dan Woda, 2002). Penggantian segera gigi yang tanggal akan sangat bermanfaat dalam mengembalikan pola asupan makanan seperti semula sehingga diharapkan tidak akan terjadi perubahan status gizi maupun kesehatan secara umum sesorang (Gunadi dkk. 1901). Dalam bidang farmakologi dikenal adanya risedronate (Ris) yang termasuk golongan bisphosphonate (BPs) yang dapat mencegah resorpsi tulang oleh osteoklas serta mengatur metabolisme tulang (Harris, 1998). Ada 13 macam BPs yang sering dipergunakan dalam kehidupan manusia terutama sebagai pengobatan penyakit tulang. Dari semua jenis BPs tersebut Ris merupakan yang paling baik dikarenakan mempunyai kemampuan selektif dalam hal menghambat resorpsi tulang pada rentang dosis yang lebar (Adachi dkk., 1994; Fleisch, 1998). Bisphosphonate (BPs) merupakan kelompok obat yang dapat menghambat resorpsi tulang dengan pengaruh spesifik berupa hubungan afinitas ikatan antara BPs dengan permukaan tulang pada sisi yang mengalami pemodelan ulang aktif (Mc. Clung, 2001). Penelitian Fleisch (1998) menunjukkan bahwa BPs dapat menurunkan
resorpsi tulang pada pasien penderita tumor osteolisis dan osteoporosis. Keadaan ini juga diperkuat dengan penelitian Mc. Clung (2001) yang melaporkan bahwa terapi BPs dapat meningkatkan densitas atau kepadatan tulang dan mengurangi risiko patah tulang pada pria dan wanita dengan kepadatan tulang yang rendah akibat efek samping pengobatan kortikosteroid. Penelitian-penelitian eksperimental menunjukkan bahwa di tingkat jaringan BPs dapat mencegah resorpsi dan pergantian tulang tanpa menekan
metabolisme
pembentukan
tulang
baru,
dengan
demikian
dapat
meningkatkan proses mineralisasi dan kepadatan tulang (Peters dkk., 2001). Adachi dkk. (1994) menyatakan bahwa Ris merupakan salah satu penghambat resorpsi tulang yang paling baik di antara BPs yang lain. Mortensen (1988) dalam penelitiannya menyatakan bahwa Ris dapat digunakan untuk mencegah pengeroposan tulang pada fase awal post menopause dan keadaan ini terjadi karena adanya peningkatan bone mineral density (BMD) oleh Ris sehingga akan mengurangi risiko terjadinya patah tulang belakang dan patah tulang pada umumnya. Perbedaan respon osteoklas yang ditimbulkan oleh Ris bergantung pada metode pemberian dan dosis Ris yang diberikan (Adachi dkk., 1994). Ris telah banyak dipakai sebagai obat pada pasien osteoporosis dan osteoarthritis baik dengan pemberian secara injeksi maupun per oral (Harris, 1999; Masud, 2009; Kim, 1999; Iwamoto, 2009). Pengaruh BPs jenis Ris sudah diketahui sebagai penghambat laju proliferasi osteoklas, maka diharapkan pengembangan penggunaan Ris dalam perawatan prostodonsia dapat mendukung prognosis yang lebih baik, khususnya pada insersi implan gigi, dengan cara mempercepat dan memperluas oseointegrasi. Hal ini merupakan poin yang perlu diteliti lebih lanjut. Sementara dalam proses regenerasi jaringan tulang, matriks tulang pada jaringan tulang yang terdiri atas dua unsur yaitu unsur organik dan anorganik
memiliki peran utama. Susunan unsur organik pada tulang berupa protein berserat seperti kolagen, elastin, fibrilin, fibronektin, laminin, dan proteoglikan. Di antara seluruh protein yang ada pada jaringan tulang tersebut, kolagen merupakan protein yang keberadaannya paling banyak dan terutama didominasi oleh kolagen tipe-1 (Melis dan Mulder, 2008). Jumlah matriks tulang baru yang disintesis oleh osteoblas aktif merupakan indikator untuk mengetahui kecepatan proses penyembuhan pada kerusakan tulang yang terjadi. Selanjutnya matriks tulang ini akan mengalami proses mineralisasi dan akhirnya menjadi tulang baru untuk menggantikan posisi tulang yang telah hilang. Risedronate secara efektif dapat memperlambat proses kerusakan tulang dengan cara menghambat resorbsi tulang oleh osteoklas dan sebagai stimulan proliferasi osteoblas (Adachi dkk.,1994) sehingga keberadaan osteoblas akan berpengaruh terhadap kepadatan kolagen pada matriks tulang. Peranan Ris sebagai penghambat resorpsi tulang dapat diamati melalui ekspresi osteoklas dengan memanfaatkan enzim metaloprotein yaitu tartrate resistant acid phosphatase (TRAP) yang terdapat pada sitoplasma osteoklas. Enzim ini termasuk golongan asam fosfat yang mempunyai hubungan erat dengan ekspresi sel osteoklas, sehingga pengamatan terhadap ekspresi osteoklas melalui pemanfaatan enzim tersebut akan dapat dipastikan mengenai ada dan tidaknya resorpsi tulang (Honig dkk., 2006; Halleen dkk., 2000; Janckila dkk., 2003). Penurunan jumlah osteoklas pada daerah sekitar perlukaan tulang akan menandai adanya penurunan metabolisme absorpsi tulang yang aktif. Meningkatnya kepadatan kolagen dan menurunnya jumlah osteoklas merupakan penanda untuk mengenali adanya regenerasi tulang yang dapat dideteksi melalui pengamatan secara histologis, meliputi histo rutin/ umum, histo khusus, dan histokimiawi. Sementara perluasan oseointegrasi dapat dideteksi melalui
pengamatan
bone-to-implant
contact
(BIC)
dengan
metode
pengukuran
histomorfometri (Novaes dkk., 2002). Beberapa
pernyataan
dan
data
tersebut
mendorong
perlunya
untuk
dipertimbangkan kemungkinan penggunaan terapi farmakologis BPs jenis Ris pasca insersi implan gigi guna mempercepat dan memperluas oseointegrasi. Beberapa metode pemberian Ris telah diketahui, di antaranya adalah teknik injeksi secara langsung sekitar daerah perlukaan tulang, dengan tujuan untuk memperkecil pengaruh sistemik Ris dalam tubuh. Dalam penelitian ini, pemilihan teknik injeksi langsung yang dilakukan di sekitar daerah subperiosteum model implan terinsersi, dengan harapan akan mempercepat terjadinya proses regenerasi tulang (Ozeki dan Tabata, 2004). B.
Perumusan Masalah
Kehilangan gigi (ompong) harus segera mendapat penanganan berupa penggantian gigi karena akan mengakibatkan kerusakan sistem stomatognasi yang melibatkan gigi, lidah, sendi rahang, dan otot-otot pengunyahan lebih lanjut. Salah satu prosedur penggantian gigi yang dilakukan dengan gigi tiruan ialah insersi implan gigi pada tulang rahang. Prosedur ini memerlukan beberapa faktor pendukung untuk mewujudkan segera terjadinya oseointegrasi antara substructure dengan tulang di sekitarnya, sehingga waktu keadaan tanpa gigi pada pasien dapat dipersingkat. Pemberian sediaan Ris sangat efektif untuk pengobatan gangguan metabolisme tulang dan mampu meningkatkan BMD sebagai pemacu regenerasi tulang (Adachi dkk., 1994). Hal tersebut dapat berpengaruh terhadap aktivitas biomolekuler dan selsel tulang yakni peningkatan kepadatan kolagen serta penghambatan proliferasi osteoklas yang merupakan parameter untuk osteoinduksi maupun osteokoduksi dan
selanjutnya diharapkan akan berpengaruh terhadap oseointegrasi implan gigi jenis endosseous. Beberapa penelitian dengan tujuan untuk mempercepat dan memperluas terjadinya oseointegrasi pada proses insersi implan gigi telah banyak dilakukan, di antaranya dengan melakukan etsa, penyemprotan aluminium oxide, dan pelapisan (coating) hidroksiapatit pada permukaan substructure. Namun demikian, sejauh ini studi-studi menyebutkan bahwa belum satu pun metode yang menunjukkan hasil seperti yang diharapkan (Ustun dkk., 2008; Zarb, 1992; Gottlander dkk, 1991; Krauser, 1989; Weinlander 1991; dan Akagawa dkk, 2009). Pemberian sediaan Ris akan mempengaruhi terjadinya osteoinduksi dan osteokonduksi untuk meningkatkan BMD dan pemodelan ulang tulang, dan dengan demikian diharapkan Ris akan mempunyai peran penting untuk mempercepat dan memperluas terjadinya regenerasi tulang dan oseointegrasi yang dapat dideteksi melalui pengamatan kepadatan kolagen, ekspresi osteoklas, dan BIC. Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan, maka penelitian ini sangat penting dilakukan, untuk menjawab permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimana pengaruh Ris terhadap percepatan oseointegrasi setelah insersi implan gigi jenis endosseous ?
2.
Bagaimana pengaruh Ris terhadap perluasan oseointegrasi setelah insersi implan gigi jenis endosseous?
3.
Bagaimana kepadatan kolagen setelah pemberian Ris
sekitar substructure
setelah insersi implan gigi jenis endosseous? 4.
Bagaimana ekspresi osteoklas setelah pemberian Ris sekitar substructure setelah insersi implan gigi jenis endosseous?
5.
Bagaimanakah
pengaruh
Ris
terhadap
gambaran
komponen
matriks
ekstraseluler jaringan tulang dalam peningkatan oseointegrasi setelah insersi implan gigi jenis endosseous ?
C.
Keaslian Penelitian
Putranto. dkk (2008) pernah melakukan penelitian pada tikus yang terkait dengan pengaruh tiga macam derivat BPs yakni: etidronate, alendronate, dan pamidronate terhadap resorpsi akar gigi selama perawatan ortodonsi dengan hasil menunjukkan adanya penurunan tingkat resorpsi pada akar gigi tersebut. Penelitian lain yang terkait dengan pengaruh pemberian Ris pada tikus secara topikal terhadap resorpsi tulang pada perawatan ortodonsi telah menunjukkan bahwa Ris mampu untuk menstimulasi terjadinya pembentukan tulang baru sehingga gerakan relapse gigi dapat dicegah (Adachi dkk, 1994). Beberapa penelitian terdahulu telah menggunakan BPs jenis Ris yang terbukti dapat menghambat terjadinya resorpsi tulang dan peningkatan BMD dalam pengobatan osteoporosis dan patah tulang (Iwamoto, 2010; Bobba, 2007; Masud, 2009; dan Siris, 2008). Ris secara efektif dapat memperlambat proses kerusakan tulang dengan cara menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas dan mempercepat pembentukan tulang baru oleh osteoblas yang berupa peningkatan jumlah dan ketebalan trabekula (Dalle dkk., 2007). Penelitian-penelitian tersebut cenderung ke arah keterlibatan peran BPs khususnya jenis Ris pada kondisi patologis terutama potensinya dalam menghambat resorpsi tulang (potent blocker of bone resorption).
Pemahaman tentang pengaruh Ris sebagai sediaan yang dapat berpengaruh terhadap metabolisme tulang berupa aktivitas biomolekul jaringan tulang dalam bentuk kepadatan kolagen dan ekspresi osteoklas sebagai parameter dalam proses regenerasi tulang telah diketahui. Sementara pemberian Ris untuk memacu terjadinya oseointegrasi melalui pengamatan BIC sekitar substructure pasca insersi implan gigi jenis endosseous belum pernah diketahui dan dilakukan. Lebih jauh lagi, terkait dengan efektivitas metode pemberian Ris secara injeksi pada subperiosteum jaringan tulang sekitar substructure pasca insersi implan terhadap percepatan dan perluasan terjadinya oseointegrasi serta aktivitas unsur biomolekul pada matriks ekstraseluler jaringan tulang pada area BIC implan jenis endosseous akan merupakan kajian baru dalam penelitian ini.
D.
1.
Tujuan Penelitian.
Tujuan umum Penelitian ini secara umum mengkaji pengaruh pemberian Ris terhadap
oseointegrasi sehubungan dengan insersi implan jenis endosseous.
2.
Tujuan khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk membuktikan efektivitas pengaruh
pemberian Ris di sekitar substructure terhadap percepatan dan perluasan terjadinya oseointegrasi melalui pengamatan BIC, kepadatan kolagen, proliferasi osteoklas serta aktivitas unsur biomolekul matriks ekstraseluler jaringan tulang setelah implan jenis endosseous.
insersi
E.
Manfaat Penelitian
Adanya pengetahuan mengenai aktivitas regenerasi jaringan tulang di sekitar substructure yang diamati dengan parameter BIC, kepadatan kolagen dan ekspresi osteoklas sebagai penanda terjadinya oseointegrasi akan memberikan manfaat berupa: 1.
Manfaat pengetahuan ilmiah
a.
Mengetahui efektivitas terapi farmakologis Ris aplikasi langsung dengan metode injeksi di sekitar substructure terhadap BIC, kepadatan kolagen dan ekspresi osteoklas terhadap oseointegrasi implan gigi jenis endosseous.
b.
Mengetahui pengaruh Ris terhadap aktivitas regenerasi jaringan tulang sekitar substructure pasca insersi implan gigi endoseeous khususnya BIC, kepadatan kolagen dan ekspresi osteoklas dalam mendukung terjadinya oseointegrasi.
c.
Memperjelas peranan Ris terhadap percepatan oseointegrasi implan gigi jenis endosseous.
d.
Memperjelas peranan Ris terhadap perluasan oseointegrasi implan gigi jenis endosseous.
e.
Mengetahui pengaruh Ris terhadap aktivitas unsur-unsur biomolekul pada area BIC.
2.
Manfaat pengetahuan klinis
a.
Memberikan landasan ilmiah terhadap peranan Ris bagi para klinisi dalam bidang implantologi, terutama implantologi gigi terhadap oseointegrasi.
b.
Menyediakan pengetahuan baru peranan Ris dalam mempercepat dan memperluas oseointegrasi pasca insersi implan gigi jenis endosseous.
c.
Menyediakan dasar pertimbangan aplikasi klinis Ris sebagai stimulan untuk oseointegrasi pada insersi implan gigi jenis endosseous sehingga dapat mempersingkat waktu keadaan tidak bergigi pada pasien.
d.
Menjadi dasar atau basis referensi bagi penelitian selanjutnya.