I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Gigi merupakan salah satu komponen penting dalam rongga mulut. Gigi berfungsi sebagai organ mastikasi saat menjalankan fungsinya harus berintegrasi dengan organ lainnya di dalam mulut. Proses mastikasi memiliki peran penting dalam membantu memudahkan pencernaan dan merangsang keluarnya saliva (Suhardjo dan Kusharto, 1992). Selain menjalankan fungsi mastikasi, gigi juga berfungsi sebagai alat fonetik, estetik, dan juga sebagai pelindung jaringan pendukung gigi dibawahnya. Gigi dalam menjalankan fungsi fonetik berperan sebagai salah satu komponen pelengkap untuk berbicara. Fonetik berkaitan erat dengan bunyi bahasa (Zahid dan Omar, 2006). Gigi yang memiliki banyak fungsi dalam kehidupan juga dapat mengalami kerusakan yang berakibat pada kehilangan gigi. Gigi sebagai komponen di dalam rongga mulut dapat mengalami kerusakan sehingga pada akhirnya lepas. Beberapa penyebab kehilangan gigi adalah karena pencabutan gigi akibat kerusakan gigi (gigi berlubang, patah, retak), infeksi pada gigi, dan penyakit periodontal (Rahmadhan, 2010). Kehilangan gigi tidak hanya berpengaruh pada fungsi mekanis tetapi juga pada fungsi estetis. Kehilangan salah satu atau lebih gigi permanen di dalam rongga mulut dapat mengakibatkan penurunan kualitas dalam aktivitas seharihari, misalnya dalam berbicara dan proses makan, serta dapat menurunkan kepercayaan diri dalam interaksi sosial (McMillan dan Wong, 2004). Akibat
1
dari kehilangan gigi terhadap fungsi estetika lebih berpengaruh secara signifikan bagi pasien jika dibandingkan dengan kehilangan fungsi lainnya. Kehilangan gigi pada regio anterior di dalam rongga mulut secara langsung berpengaruh pada kehidupan sosial sehari-hari karena adanya stigma sosial yang berbeda di dalam masyarakat (Carr dan Brown, 2005). Secara umum, urutan kehilangan gigi dimulai dari regio maksila kemudian mandibula, dan dari posterior kemudian ke anterior. Bila dilihat dari frekuensinya, regio gigi yang paling akhir lepas adalah gigi mandibula anterior, terutama gigi kaninus. Dengan adanya kehilangan gigi dapat berpengaruh pada fungsi gigi itu sendiri, baik dalam fungsi mastikasi, estetis, alat fonetik, dan sebagai pelindung jaringan pendukung gigi (Carr dan Brown, 2005). Kehilangan gigi anterior dapat menyebabkan ketidaknyamanan pada pasien. Pasien yang mengalami kondisi ini merasakan trauma tersendiri dalam aspek psikologis dan sosial. Selain itu gigi anterior memiliki fungsi penting dalam hal gerakan fungsional pada rahang bawah (Pawah dkk., 2013). Secara lebih spesifik, kehilangan gigi rahang bawah anterior dapat menyebabkan gangguan pengucapan huruf tertentu. Gangguan pengucapan ini terutama terjadi pada huruf-huruf yang dalam proses pengucapan melibatkan gigi rahang bawah anterior. Beberapa pengucapan huruf yang mengalami gangguan adalah ‘ch’, ‘s’, dan ‘j’. Ketiga huruf ini memerlukan kombinasi pergerakan antara gigi anterior atas dan rahang bawah. Dalam posisi normal, rahang bawah akan secara langsung bergerak mendekati rahang atas hingga pada jarak hampir menyentuh rahang atas yang disebut dengan jarak bicara terdekat (closest
2
3
speaking space. Jika jaraknya terlalu besar maka akan menyebabkan dimensi vertikal oklusal yang terlalu kecil dan berakibat pada pengucapan bunyi ‘s’ yang berdesis (Arora dkk., 2011). Bunyi ‘s’ dihasilkan dari dua posisi lidah yang berbeda sehingga masuk dalam kategori linguodental dan linguopalatal. Pada saat mengucapkan bunyi ‘s’ maka ujung lidah bersentuhan dengan permukaan lingual pada gigi anterior mandibula (Souza dkk., 2004). Ketika puncak pada bagian tengah lidah diarahkan menuju pada daerah alveolus sekitar area palatum rugae dengan sedikit jarak antara lidah dan alveolus maka ketika itu muncul bunyi ‘s’ (O`Grady dkk., 2008). Pembuatan gigi tiruan berfungsi untuk menggantikan fungsi gigi yang hilang. Gigi tiruan terdiri dari gigi tiruan lengkap, gigi tiruan sebagian lepasan (GTSL), dan gigi tiruan cekat (GTC). Sejauh ini, penggunaan GTSL menjadi salah satu pilihan yang banyak digunakan. Hal ini karena penggunaan GTSL masih diterima secara luas untuk menggantikan kehilangan gigi permanen sehingga mampu memulihkan fungsi dan estetika pasien. Meskipun ada pilihan lain yang tersedia seperti GTC, GTSL masih memegang peran utama karena lebih menguntungkan dari segi ekonomis (Jayasingha, 2013). Berdasarkan survei di Amerika Serikat dan Inggris Raya mengindikasikan bahwa sedikitnya 25% dari 1 juta orang yang berumur dibawah 40 tahun telah menggunakan GTSL (Jorge dkk., 2012). GTSL adalah gigi tiruan untuk menggantikan satu atau beberapa gigi yang hilang pada rahang atas atau rahang bawah dan dapat dilepas dan dipasang dengan sendirinya oleh pasien. Turgut (2012) menyatakan bahwa belakangan ini
4
penelitian terkait dengan pengaruh dari GTSL terhadap gangguan pengucapan pada orang dewasa semakin banyak dilakukan misalnya oleh Jindra dkk., (2002) dan Runte dkk., (2002). Kegagalan atau gangguan fonetik dalam pengucapan bunyi huruf sibilan dapat terjadi pada penggunaan GTSL rahang bawah anterior. Silverman menyatakan bahwa huruf-huruf sibilan merupakan huruf-huruf yang paling dominan membawa mandibula pada kondisi ‘closest speaking level’. Huruf-huruf sibilan merupakan huruf-huruf yang berfrekuensi tinggi yang diproduksi melalui aliran udara yang secara langsung meminimalkan pemisahan atau jarak antar insisal, salah satunya adalah bunyi ‘s’ (Runte dkk., 2002). Distorsi bunyi ‘s’ adalah kasus yang paling sering terjadi pada pemakai gigi tiruan (Runte, 2012). Diantara huruf-huruf yang berdesis, huruf ‘s’ merupakan huruf yang paling banyak diteliti dalam ilmu kedokteran gigi karena huruf ‘s’ adalah huruf yang sering digunakan pada percakapan sehari-hari dibanyak bahasa (Nakamura dkk., 2011). Masing-masing individu yang menggunakan gigi tiruan baru harus beradaptasi dengan proses pengucapan atau berbicara dan dimensi vertikal oklusal (Garcia dkk., 2003).
B. Perumusan Masalah Dari latar belakang yang sudah diuraikan maka timbul permasalahan: Bagaimana pengaruh penggunaan gigi tiruan sebagian lepasan rahang bawah anterior terhadap pengucapan bunyi ‘s’.
5
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji pengaruh penggunaan gigi tiruan sebagian lepasan rahang bawah anterior terhadap pengucapan bunyi ‘s’.
D. Keaslian Penelitian
Beberapa penelitian mengenai kaitan antara penggunaan gigi tiruan sebagian lepasan terhadap proses pengucapan bunyi tertentu telah dilakukan, salah satunya berjudul Perbedaan Kejelasan Pengucapan Bunyi ‘s’ antara Anak yang Kehilangan Keempat Mahkota Klinis Gigi-gigi Insisivus Sulung Rahang Atas dengan yang masih Lengkap pada Usia 6 Tahun yang dilakukan oleh Kurniati (2003). Terdapat perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan, subjek yang dipilih dari penelitian ini adalah pasien yang berusia diatas 22 tahun dan akan dilihat bagaimana pengaruh penggunaan gigi tiruan sebagian lepasan rahang bawah anterior terhadap pengucapan bunyi bunyi ‘s’ di Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM) Prof. Soedomo.
E. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1.
Memberi informasi dan edukasi mengenai pengaruh penggunaan gigi tiruan rahang bawah anterior terhadap pengucapan bunyi ‘s’.
6
2.
Memberi kajian mengenai besar nilai frekuensi (Hz) dan amplitudo (dB) pengucapan bunyi ‘s’ pada saat menggunakan dan melepaskan GTSL rahang bawah anterior.