I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pakan merupakan salah satu komponen terpenting dalam proses produksi peternakan ayam dan mewakili sekitar 70% dari seluruh biaya produksi. Upaya untuk menghasilkan pakan berkualitas tinggi merupakan target dari pabrik pakan ternak atau peternak ayam, namun merupakan suatu tantangan yang berat oleh karena sulit untuk menghindari pencemaran mikotoksin pada bahan baku pakan. Pencemaran oleh mikotoksin pada biji-bijian, misalnya jagung, gandum, sorgum, barley, dan kacang-kacangan merupakan masalah global yang dapat mempengaruhi kesehatan dan produktivitas ternak, termasuk ayam. Selama beberapa tahun terakhir ini, terjadi perubahan musim yang tidak menentu akibat dampak pemanasan global, sehingga timbul perubahan pada pola turun hujan, pola tanam dan panen, dan penurunan kualitas produk pertanian, misalnya jagung, gandum, dan biji-bijian lain. Produk-produk tersebut cenderung mempunyai kadar air yang lebih tinggi, lebih rentan terhadap hama, pertumbuhan jamur, dan pencemaran mikotoksin. Mikotoksin telah menarik perhatian para ahli dibidang pangan dan pakan ternak oleh karena beberapa alasan, yaitu: 1). efeknya pada kesehatan manusia, 2). kerugian ekonomis yang sangat besar akibat adanya pencemaran pada pakan dan penurunan produktivitas ternak, dan 3). pengaruh pencemaran mikotoksin pada perdagangan komoditi internasional (Devegowda et al., 1998a).
1
2
Mikotoksin adalah metabolit sekunder yang bersifat toksik, yang dihasilkan oleh kapang tertentu, yang disintesis dan dikeluarkan selama pertumbuhan kapang. Jika kapang mati, maka produksi mikotoksin berhenti, tetapi mikotoksin yang telah terbentuk tidak hilang (Tabbu, 2002). Bahan tersebut mempunyai berat molekul rendah, kapasitas imunogenik rendah (Mallman and Dilkin, 2007), merupakan kontaminan dalam jumlah yang sangat rendah (nanogram sampai mikrogram/gram bahan), tahan temperatur tinggi, stabil dalam waktu panjang selama penyimpanan, dan stabil dalam proses pembuatan pakan (Nahrer, 2012). Sebagian besar mikotoksin telah terbukti menimbulkan pencemaran pada tanaman atau produk pertanian dan selanjutnya pencemaran pada pakan ternak dan produk peternakan, sehingga dapat timbul kerugian ekonomis yang besar sehubungan dengan pengaruhnya pada kesehatan hewan dan manusia, produktivitas ternak, serta perdagangan domestik maupun internasional. Sampai saat ini telah dilaporkan sekitar 400 jenis mikotoksin yang mencemari bahan baku pakan ternak. Meskipun kadar mikotoksin yang ditemukan jarang melampaui batas maksimum yang dipersyaratkan, namun kekawatiran yang timbul terletak pada kemampuan dari bahan-bahan tersebut untuk ditemukan secara bersamaan pada bahan baku yang sama dan adanya efek sinergistik dan aditif yang mungkin timbul (Speijers dan Speijers, 2004). Devegowda dan Murthy (2005) melaporkan, bahwa pada kondisi lapang tidak dapat ditemukan pakan unggas yang sepenuhnya bebas dari pencemaran mikotoksin. Di samping itu, tidak ada pakan unggas yang hanya tercemar oleh satu jenis mikotoksin saja. Efek mikotoksin pada unggas dapat berlipat ganda dibandingkan dengan kadarnya
3
dalam bahan baku pakan atau pakan, yang memberi petunjuk terhadap adanya bahaya yang nyata dan persisten. Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), sekitar 25% dari persediaan biji-bijian dunia telah terkontaminasi oleh mikotoksin (KuiperGoodman, 1998; Cortyl, 2005). Menurut Devegowda dan Murthy (2005), tidak satupun negara di dunia yang terhindar dari kontaminasi mikotoksin pada bahan baku pakan atau bahan pangan. Beberapa faktor penting yang mendukung pembentukan mikotoksin, meliputi temperatur >300 C, kelembaban relatif sekitar 80%-85%, kadar air antara 17%-25%, pH sekitar 4-8, kadar oksigen yang tinggi, musim kemarau panjang, jenis dan kepekaan tanaman, jenis kapang pencemar, kerusakan mekanik akibat mesin giling atau kerusakan akibat insekta pada tanaman, kondisi tanaman pada waktu panen, penggunaan fungisida pada waktu panen, kondisi pengeringan atau penyimpanan, dan penanganan pascapanen yang kurang memadai (Nahrer, 2012). Mikotoksikosis adalah penyakit toksik yang disebabkan oleh mikotoksin yang merupakan metabolit sekunder jenis kapang tertentu, yang mencemari pakan atau bahan baku pakan yang dikonsumsi oleh ternak, termasuk ayam. Sebaliknya, mikosis adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh kapang jenis tertentu. Kontak dengan mikotoksin dapat melalui mulut, saluran pernapasan, atau melalui kulit. Kejadian mikotoksikosis pada ayam erat hubungannya dengan kualitas bahan baku pakan, kualitas pakan, sistem penyimpanan, sistem distribusi, dan sistem pemberian pakan pada ayam.
4
Konsumsi bahan yang mengandung mikotoksin (mikotoksikosis) dapat menimbulkan efek toksik yang bersifat akut sampai kronis yang menimbulkan kerusakan pada sistem imun, saluran pencernaan, pernafasan, kardiovaskular, reproduksi, saraf, endokrin, dan integumentum. Beberapa jenis mikotoksin dapat bersifat karsinogenik, mutagenik, dan teratogenik (Olivier et al., 1987). Beberapa jenis mikotoksin dapat ditemukan pada bahan baku pakan oleh karena setiap biji-bijian (misalnya jagung) dapat dicemari oleh lebih dari satu spesies kapang dan banyak spesies kapang dapat menghasilkan lebih dari satu mikotoksin. Pada sistem perdagangan global, berbagai bahan baku pakan ternak yang berasal dari negara yang berbeda dapat digunakan sebagai bahan baku pakan ayam sehingga dapat terjadi interaksi antar jenis mikotoksin yang berbeda dan kerapkali dapat menghasilkan efek sinergistik atau aditif (Huff et al.,1988a ; Jafed et al., 1993; Huff et al., 1988b). Efek sinergistik mikotoksin pada ayam dapat berbentuk penekanan fungsi sistem kekebalan (imunosupresif) dan efek toksik pada berbagai organ dan/atau jaringan, sehingga dapat timbul hambatan pertumbuhan, gangguan produksi telur, gangguan fertilitas, gangguan daya tetas telur, dan secara keseluruhan gangguan pencapaian kinerja yang optimal (Nahrer, 2012). Beberapa jenis mikotoksin yang menimbulkan kerugian ekonomis yang besar pada industri perunggasan, khususnya ayam adalah aflatoksin (Afla), kelompok trikotesen, terutama deoksinivalenol (DON), deasetoksiskirpenol (DAS) dan T-2 toksin (T-2), zearalenon (ZEN), okratoksin A (OTA), dan fumonisin (FUM) (Nahrer, 2012). Mekanisme toksisitas yang ditimbulkan oleh
5
mikotoksin tidak diketahui secara pasti. Mekanisme toksisitas yang ditimbulkan oleh OTA, T-2 toksin, Afla B1 dapat berbentuk gangguan sintesis protein, DNA, RNA, dan kerusakan pada DNA, sebagian besar mikotoksin dapat menimbulkan peroksidasi lipid, kerusakan struktur dan fungsi membran sel, dan berbagai mikotoksin dapat menginduksi apoptosis (Surai et al., 2008). Sehubungan dengan mekanisme tersebut, maka efek toksik mikotoksin dapat berbentuk imunosupresif, hepatotoksisitas, nefrotoksisitas, neurotoksisitas, dan genotoksisitas (kerusakan pada gen). Pengaruh mikotoksin pada ayam dapat berbentuk hambatan penyerapan asam amino, vitamin larut dalam lemak (vitamin A, D, E, K), dan mineral, terutama Ca dan P. Sehubungan dengan kondisi tersebut, maka dapat timbul berbagai gangguan pertumbuhan, penurunan produksi telur (kuantitas maupun kualitas), penurunan fertilitas, daya tetas telur pada ayam bibit (Tiwari et al., 1989; Khan et al., 1989), dan efek imunosupresif (Tabbu, 2002; Andretta et al., 2011). Pencemaran mikotoksin pada bahan baku pakan, khususnya jagung merupakan masalah yang sulit dihindari di Indonesia. Bahan baku pakan, misalnya jagung yang diimpor ke Indonesia juga tidak luput dari pencemaran oleh mikotoksin (Tangendjaja dkk., 2008). Faktor-faktor yang mendukung pencemaran mikotoksin pada bahan baku pakan ternak adalah 1). kondisi iklim di Indonesia (temperatur dan kelembaban) yang cocok untuk pertumbuhan kapang dan pembentukan mikotoksin, 2). penanganan pasacapanen yang kurang memadai, 3). fasilitas pengeringan, penyimpanan, dan mesin giling yang kurang memadai, 4).
6
kebijakan impor bahan baku, sehingga mikotoksin dapat ditransfer dari negara lain, 5). pencemaran mikotoksin yang bersifat ganda, dan 6). struktur kimia mikotoksin yang sangat stabil. Hasil penelitian kandungan mikotoksin pada jagung dan pakan jadi (complete feed) di Indonesia menunjukan adanya pencemaran multi-mikotoksin, meliputi Afla, DON, ZEN, OTA, FUM (Tangendjaja dkk., 2008). Sumber bahan baku pakan ayam di wilayah Kabupaten Blitar, Jawa Timur, misalnya jagung berasal dari produk lokal, dan juga produk import dari beberapa negara, yaitu Argentina, Brazilia, USA, dan India. Bahan baku lain, misalnya bungkil kedelai (BKK), dried destillers grain with soluble’s (DDGS), corn gluten meal (CGM), meat and bone meal (MBM) juga diimpor dari luar negeri. Bahan baku pakan impor tersebut diangkut dari negara asal (Amerika Serikat, Argentina, Brasilia dan India) dengan kontainer menggunakan kapal laut dan tiba di Surabaya dalam waktu 45-60 hari. Selanjutnya bahan baku pakan tersebut didistribusikan ke peternak di wilayah Blitar, dan biasanya usia bahan baku pakan dapat mencapai 70-75 hari. Waktu transportasi yang lama dan kondisi temperatur dan kelembaban yang tinggi dapat mendukung pertumbuhan kapang dan pembentukan mikotoksin. Disamping itu, cara penyimpanan bahan baku pakan/pakan dan cara pemberian pakan pada ayam yang kurang memadai, misalnya pemberian pakan bentuk basah akibat dicampur dengan air dapat meningkatkan resiko pencemaran oleh mikotoksin. Kandungan mikotoksin jagung lokal kerapkali berfluktuasi sesuai dengan kondisi musim di Indonesia, akibat curah hujan, pola tanam, serta waktu panen yang sering berubah.
7
Sehubungan dengan laporan para peneliti sebelumnya, bahwa bahan baku pakan di Indonesia, meliputi produk lokal maupun impor tidak terbebas dari pencemaran mikotoksin (Tangendjaja dkk., 2008), maka perlu dirancang suatu penelitian tentang jenis dan kadar cemaran mikotoksin pada bahan baku pakan dan pakan jadi (complete feed) yang digunakan di Penataran Farm, dan pengaruh mikotoksin dalam pakan terhadap produksi telur, meliputi kualitas dan kuantitas.
A. Perumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini adalah: 1. Apakah bahan baku pakan ayam petelur di Penataran Farm, wilayah Kabupaten Blitar tercemar oleh mikotoksin? 2. Apakah jenis mikotoksin yang ditemukan pada bahan baku pakan di Penataran Farm, wilayah Kabupaten Blitar? 3. Apakah jenis mikotoksin yang ditemukan pada pakan jadi di Penataran Farm, wilayah Kabupaten Blitar? 4. Apakah pengaruh mikotoksin dalam pakan ayam petelur terhadap produksi telur di Penataran Farm, wilayah Kabupaten Blitar?
B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1. Jenis dan kadar mikotoksin pada bahan baku pakan di Penataran Farm, wilayah Kabupaten Blitar.
8
2. Jenis dan kadar mikotoksin pada bahan baku pakan di Penataran Farm, wilayah Kabupaten Blitar. 3. Pengaruh mikotoksin dalam pakan jadi terhadap produksi telur pada ayam petelur di Penataran Farm, wilayah Kabupaten Blitar.
C. Manfaat Penelitian Jika jenis dan kadar mikotoksin dalam bahan baku pakan dan pakan jadi (complete feed) ayam petelur di Penataran Farm, wilayah Kabupaten Blitar diketahui, maka diharapkan: 1. Dapat memberikan informasi ilmiah kepada peternak tentang mikotoksin dan dampaknya terhadap produksi telur dan kesehatan ayam. 2. Dapat meningkatkan kesadaran dari peternak untuk mencegah timbulnya pencemaran mikotoksin pada bahan baku pakan dan pakan jadi. 3. Dapat dijadikan sebagai salah satu bahan acuan dalam penanggulangan mikotoksikosis pada ayam dan efek ikutan yang ditimbulkan oleh bahan tersebut.
D. Keaslian Penelitian Penelitian tentang pencemaran mikotoksin pada berbagai bahan baku pakan ayam dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan, produktivitas, fertislitas, serta daya tetas telur (hatchability) telah banyak dilakukan di berbagai negara di dunia (Devegowda and Murthy, 2005; Surai et al.,2008; Andretta et al., 2011;Anjun et al., 2012; Nahrer, 2012).
9
Andretta et al. (2011) melaporkan tentang efek mikotoksin terhadap kesehatan, konsumsi pakan, penyerapan nutrien, reproduksi (fertilitas dan daya tetas telur) dan residu dalam daging. Surai et al. (2008) menguraikan tentang mekanisme toksisitas akibat berbagai jenis mikotoksin pada unggas. Devegowda dan Murthy (2005) melaporkan tentang efek sinergistik atau aditif dari multimikotoksin, misalnya aflatoksin dan okratoksin, aflatoksin dan T2 toksin, T2 toksin dan deasetoksiskirpenol (DAS), okratoksin dan sitrinin, DON dan asam fumarat. Nahrer (2012) melaporkan tentang berbagai jenis mikotoksin dan efeknya pada pertumbuhan, produktifitas dan kesehatan berbagai jenis hewan, meliputi babi, unggas, ruminansia dan akuakultur. Penelitian tentang cemaran mikotoksin pada bahan baku pakan dan pakan ternak di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa peneliti (Kurniawan dkk., 2005;Widyastuti, 2006; Tangendjaya et al., 2008). Tangendjaja et al. (2008) melaporkan tentang kontaminasi mikotoksin pada jagung yang digunakan oleh pabrik pakan ternak di Indonesia, pada penelitian tersebut dapat ditemukan adanya aflatoksin, OTA, ZEN, FUM, DON dan T2 toksin. Kurniawan dkk. (2005) melakukan penelitian tentang akumulasi fumonisin B pada biji jagung yang terinfeksi Fusarium moniliforme Sheldon pada suhu dan kadar air yang berbeda. Widyastuti (2006) melakukan penelitian tentang pengaruh mikotoksin terhadap kesehatan ternak dan residunya dalam produk ternak serta pengendaliannya. Sepengetahuan penulis, penelitian tentang cemaran mikotoksin dalam bahan baku pakan dan pakan jadi (complete feed) ayam petelur dan pengaruhnya terhadap produksi telur, meliputi kuantitas dan kualitas serta pengaruhnya pada
10
respon terhadap vaksinasi ND belum pernah dilakukan di Indonesia, khususnya di Penataran Farm, wilayah kabupaten Blitar, Jawa Timur.