I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan kesehatan gigi dan mulut di Indonesia masih perlu mendapat perhatian, terlihat dari laporan Riset Kesehatan Dasar RI 2007 menunjukkan bahwa prevalensi karies di perkotaan sebesar 42,0% dan di pedesaan sebesar 44,3%, sedangkan yang melakukan perawatan di perkotaan hanya sebesar 15,7% dan di pedesaan sebesar 11,4%. Keadaan ini menggambarkan bahwa kesadaran masyarakat baik di perkotaan maupun di perdesaan pada penanggulangan penyakit gigi dan mulut masih rendah dan mungkin kurangnya pengetahuan tentang kesehatan gigi dan mulut sehingga masyarakat rata-rata baru datang berobat dalam keadaan penyakit gigi yang telah lanjut, dimana gigi sudah tidak mungkin untuk ditambal lagi (DepKes RI, 2007). Kesehatan gigi dan mulut tidak hanya sebatas memiliki gigi yang cantik, rapi dan teratur saja, tetapi juga bebas dari seluruh penyakit serta masalah-masalah kesehatan gigi dan mulut termasuk masalah halitosis. Rongga mulut yang sehat memungkinkan seseorang untuk berkomunikasi secara efektif, menikmati berbagai jenis makanan, meningkatkan kualitas hidup, percaya diri dan mempunyai kehidupan sosial yang lebih baik. Adanya halitosis memberikan dampak negatif terhadap semua hal tersebut, bahkan dapat memicu stres (Pintauli, 2008). Menurut Djaya (2000), halitosis dapat menimbulkan kerugian tidak hanya pada penderita, tetapi juga orang lain dan dapat mempengaruhi kehidupan sosial seseorang seperti: rasa malu, 1
menghindari pergaulan sosial dan penurunan rasa percaya diri. Halitosis merupakan suatu masalah yang telah menarik perhatian banyak kalangan, baik kalangan profesi kesehatan khususnya kesehatan gigi maupun kalangan masyarakat pada saat ini. Kejadian ini dapat dilihat dari banyaknya artikel mengenai halitosis di media elektronik. Halitosis disebut juga dengan fetor ex ore, fetor oris, atau oral malodor merupakan istilah umum untuk menunjukkan bau nafas yang tidak sedap, penyebabnya dapat berasal dari mulut atau bukan berasal dari mulut. Beberapa penelitian menujukkan bahwa penyebab halitosis paling banyak berasal dari dalam mulut, yaitu sekitar 80-90%. Halitosis yang berasal bukan dari mulut terjadi hanya sedikit yaitu sekitar 10-20% (Almas dkk., 2003). Penyebab dari dalam rongga mulut biasanya karena perawatan kebersihan mulut yang buruk, karies yang dalam, penyakit periodontal, infeksi rongga mulut, mulut kering (dry mouth), mengkonsumsi rokok, ulserasi mukosa, perikoronitis, sisa makanan dalam mulut serta tongue coating (Cortelli dkk., 2008). Faktor-faktor dari luar rongga mulut yang menjadi penyebab halitosis, antara lain infeksi saluran pernapasan, infeksi gastrointestinal, karsinoma, medikasi serta penyakit sistemik seperti diabetes (Rio dkk., 2007; Vandana and Sridhar, 2008; van den Boek dkk., 2008). Halitosis juga dapat disebabkan oleh konsumsi makanan yang memiliki bau menyengat seperti bawang putih, bawang merah, petai, jengkol, durian, makanan yang berbumbu atau dapat juga disebabkan oleh kebiasaan seperti merokok atau mengkonsumsi alkohol. 2
Prevalensi penderita halitosis di setiap negara berbeda-beda. Penelitian yang dilakukan di Swedia dengan sampel 840 orang, hanya 2% penderita halitosis. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Jepang dengan sampel lebih dari 2600 orang, ditemukan prevalensi halitosis sekitar 20%. Prevalensi penderita halitosis di China mencapai 27,5% dengan sampel sebanyak 2500 orang (Hughes and McNab, 2008). Penelitian yang dilakukan di Amerika menunjukkan bahwa prevalensi penderita halitosis cukup tinggi yaitu mencapai 50% dari jumlah populasi di Amerika (Cortelli dkk., 2008). Menurut American Dental Association (2003), bau mulut merupakan masalah utama setelah karies dan penyakit periodontal yang dikeluhkan oleh masyarakat di Amerika. Menurut Djaya (2000), halitosis bukan merupakan suatu penyakit, melainkan suatu gejala penyakit. Pada beberapa penelitian menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara bertambahnya umur seseorang dengan keparahan halitosis (Hughes and McNab, 2008). Sanz dkk., (2001) juga menyatakan bahwa antara perempuan dan laki-laki memiliki peluang yang sama untuk menderita bau mulut. Penelitian Smyth dkk., (2007) menunjukkan bahwa pengetahuan sangat penting untuk merubah perilaku seseorang dalam meningkatkan kesehatan gigi dan mulutnya melalui program pendidikan kesehatan gigi dan mulut. Pendidikan kesehatan gigi dan mulut tersebut dapat meningkatkan pengetahuan seseorang terhadap faktor resiko terjadinya penyakit gigi dan mulut. Memelihara kebersihan mulut merupakan cara yang efektif untuk menghindari halitosis karena sebagian besar penyebab halitosis berasal dari rongga mulut (Pintauli, 2008). Namun pengetahuan tinggi dan sikap yang 3
baik tentang suatu objek belum menjamin seseorang memiliki perilaku yang baik juga terhadap objek tersebut. Menurut model precede-procede yang dirancang oleh Green dan Kreuter, ada 3 faktor yang berperan menyebabkan terjadinya perubahan perilaku yaitu : faktor predisposisi yang terdiri dari sikap, kepercayaan, pengetahuan. Faktor pemungkin yaitu ketersediaan dana dan sarana, serta faktor penguat yang dapat mempengaruhi seseorang dalam berperilaku seperti orang tua, keluarga, dan petugas keseahatan (Budiharto, 2008). Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
378/MENKES/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Perawat Gigi menyatakan bahwa Perawat Gigi adalah salah satu unsur pemberi pelayanan kesehatan gigi di institusi pelayanan kesehatan seperti Rumah Sakit, Puskesmas dan sarana kesehatan lainnya. Dalam menjalankan profesinya, setiap Perawat Gigi Indonesia wajib memberikan pelayanan yang sebaik mungkin kepada individu dan masyarakat. Perawat gigi diharapkan menjadi ujung tombak pembangunan kesehatan gigi Indonesia, dan sebagai sumber daya manusia kesehatan gigi yang mempunyai peran sentral dalam asuhan kesehatan gigi yang merupakan barisan terdepan dalam aspek promotif dan preventif pelayanan gigi mulut. Masyarakat akan menilai seorang Perawat Gigi tidak hanya berdasarkan kemampuan dalam memberikan pelayanan asuhan kesehatan gigi dan mulut kepada masyarakat, tetapi juga berdasarkan pada penampilan, baik cara berpakaian rapi, rambut tersisir rapi, kuku dipotong pendek serta kebersihan dan kesehatan gigi geligi yang terawat termasuk tidak adanya halitosis. Adanya bau mulut akan mempengaruhi 4
kinerja dan mengurangi rasa percaya diri seorang Perawat Gigi dalam memberikan pelayanan kepada individu atau masyarakat. Mengingat bahwa Perawat Gigi merupakan tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan asuhan kesehatan gigi dan mulut kepada individu dan masyarakat maka sewajarnya sebagai mahasiswa keperawatan gigi harus dapat memelihara penampilannya agar nantinya akan memberikan pelayanan asuhan yang baik dan nyaman bagi pasien. Mahasiswa Keperawatan Gigi juga harus memiliki pengetahuan yang baik mengenai halitosis sehingga mereka dapat memberikan informasi dan pengarahan kepada pasien dalam mencegah atau mengatasi masalah halitosis, mengingat salah satu tugas perawat gigi adalah melakukan promotif dan preventif khususnya dalam bidang kesehatan gigi dan mulut. Penelitian ini penting dilakukan dengan harapan mahasiswa mengetahui seberapa baik pengetahuan mereka mengenai halitosis serta bagaimana sikap dan perilaku mereka dalam mencegah halitosis. Atas dasar yang telah diuraikan sebelumnya, penulis akan meneliti tentang hubungan pengetahuan dengan sikap dan perilaku terhadap halitosis pada mahasiswa Keperawatan Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada. B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang, maka permasalahan yang timbul sebagai berikut: Apakah ada hubungan antara pengetahuan dengan sikap dan perilaku terhadap
5
halitosis pada mahasiswa Keperawatan Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada? C. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai halitosis yang telah dilakukan, yaitu : 1. Priyono (2012) dengan judul “Hubungan antara Bau Mulut dan Kinerja Pekerja yang berhubungan dengan Masyarakat”. Variabel pengaruh pada penelitian tersebut adalah halitosis karyawan. Variabel terpengaruh adalah kinerja karyawan, pengetahuan tentang halitosis dan sikap terhadap halitosis 2. Wijayanti dkk., (2010) dengan judul “Perubahan Parameter Halitosis Setelah Penggunaan Siwak (Salvadora Persica) pada Santri Pondok Pesantren Tapak Sunan Usia 11-13 Tahun”. Variabel pengaruh pada penelitian tersebut adalah penggunaan siwak dan variabel terpengaruh adalah parameter halitosis. Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian sebelumnya terletak pada variabel pengaruh yaitu pengetahuan dan variabel terpengaruh yaitu sikap dan perilaku terhadap halitosis. Pengetahuan, sikap dan perilaku terhadap halitosis diukur menggunakan kuesioner. Penulis melakukan penelitian pada mahasiswa Keperawatan Gigi FKG UGM Yogyakarta.
6
D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adakah hubungan antara pengetahuan dengan sikap dan perilaku terhadap halitosis pada mahasiswa Keperawatan Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada.
E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu : 1. Bagi seluruh mahasiswa Diharapkan dapat lebih pengetahuan mengenai halitosis untuk digunakan dalam mengedukasi kepada masyarakat 2. Bagi peneliti Sebagai dasar penelitian selanjutnya mengenai hubungan pengetahuan dengan sikap dan perilaku terhadap halitosis
7