I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan Material komposit sudah digunakan dibidang kedokteran gigi untuk merestorasi gigi sejak Bowen memperkenalkannya pada awal tahun 1960an (Joshi, 2008). Sejak saat itu, resin komposit menjadi salah satu bahan restorasi yang paling sering digunakan dibidang kedokteran gigi restoratif. Selain segi estetiknya yang baik, kemampuan resin komposit untuk berikatan langsung dengan struktur gigi tanpa harus menghilangkan jaringan yang sehat, menjadikan material ini memiliki banyak kegunaan pada bidang kedokteran gigi pencegahan dan kedokteran gigi konservatif modern (Schneider, 2010). Resin komposit merupakan bahan restorasi yang memiliki banyak kegunaan, antara lain sebagai tumpatan gigi anterior maupun posterior karena proses karies atau karena trauma, occlusal adjustment, sementasi restorasi indirek, bahan bonding braket ortodontik dan transformasi estetik gigi (Schneider, 2010). Resin komposit menjadi bahan tumpatan direk yang paling sering digunakan untuk gigi anterior karena sewarna dengan gigi. Material dasar resin komposit adalah matriks polimer resin dengan tambahan partikel filler. Resin komposit metakrilat pada dasarnya terdiri dari tiga komponen utama yaitu inorganic filler particles, organic resin-matrix, dan coupling agents. Bahan filler biasanya terdiri dari derivat silikon dan partikel seperti kaca, barium, quartz, zirconium, strontium, pyrogenic silicon dioxida dan colloidal silica. Bahan filler pada resin komposit
1
2
berfungsi sebagai penguat dan pendukung dari material resin komposit (Lien, 2010). Sebagian besar penyusun resin komposit adalah bis-GMA. Partikel filler yang sering digunakan adalah barium glass atau silikon dioksida. Resin komposit sebagai bahan restorasi gigi memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihan resin komposit antara lain adalah estetiknya baik, tidak memerlukan pengurangan struktur gigi terlalu banyak, adhesi dengan struktur gigi baik, konduksi thermal rendah, tidak terjadi arus galvanik dan bersifat radiopak. Sebaliknya kelemahan resin komposit antara lain adalah, polymerization shrinkage, lesi karies sekunder, postoperative sensitivity, berkurangnya kekuatan, menyerap air, derajat konversi, kebocoran tepi, dan teknik yang rumit (Summit dkk., 2006). Resin komposit dapat berikatan langsung pada struktur gigi dengan pengaplikasian dentin bonding agent. Dari beberapa generasi dentin bonding agent, generasi IV merupakan sistem adhesi dentin yang paling lengkap. Sistem adhesi ini dibagi menjadi beberapa tahap yaitu, etsa asam pada struktur gigi menggunakan asam fosfat setelah itu pengaplikasian bahan primer yang berisi monomer hidrofilik dan solvent kemudian pengaplikasian bahan bonding yang berisi monomer hidrofobik. Setelah resin komposit mengalami polimerisasi terjadilah interlocking layer antara material resin komposit dan struktur gigi hasil etsa asam (Schneider, 2010). Pada tahun 1990an diperkenalkan sistem adhesi baru yaitu generasi V yang mencampurkan primer dan adhesif dalam satu botol. Keuntungan dari bahan bonding ini adalah lebih sederhana dari generasi IV,
3
retensi mikromekanis yang baik sedangkan kelemahannya adalah jaringan kolagen pada dentin kolaps (Fusayama, 1980). Salah satu resin yang sering digunakan untuk tumpatan posterior adalah resin komposit packable. Resin komposit packable adalah resin komposit yang dikhususkan untuk area yang terkena tekanan oklusal secara langsung. Resin komposit packable diindikasikan sebagai bahan restorasi untuk gigi posterior seperti kelas I, II, maupun VI (MOD) (Wakefield dan Kofford, 2001). Masalah utama dari bahan tumpatan resin komposit adalah pengerutan polimerisasi yang dapat menyebabkan terjadinya beberapa kegagalan sebagai bahan restorasi (Summit dkk., 2006). Hal ini menyebabkan pembentukan celah yang dapat memungkinkan penetrasi dari bakteri atau cairan masuk ke tubulus dentinalis atau disebut juga kebocoran tepi dan menyebabkan sensitivitas pada gigi setelah dilakukan penumpatan. Pengerutan tersebut juga dapat menyebabkan terjadinya sekunder karies (Dimyati et al., 2007). Salah satu faktor yang berpengaruh pada kebocoran tepi adalah faktor konfigurasi atau faktor C. Faktor C merupakan koefisien dari stress polimerisasi yang merupakan rasio antara dinding yang berikatan dan dinding yang tidak berikatan dan berbeda-beda tergantung bentuk kavitasnya. Faktor C yang semakin tinggi akan menyebabkan stress polimerisasi yang tinggi pula dan dapat menyebabkan kebocoran tepi (Nikolaenko, 2004). Kavitas kelas I merupakan kavitas yang dimulai dengan kerusakan pada pit dan fissura yang terdapat pada permukaan oklusal gigi molar dan premolar, permukaan bukal dan lingual/palatal semua gigi di daerah 2/3 ke arah oklusal atau incisal, dan foramen caecum gigi
4
anterior atas. Kavitas kelas I merupakan kavitas dengan faktor C yang terbesar yaitu 5 (Summit dkk., 2006). Fokus dari pengembangan teknologi resin komposit untuk tumpatan posterior pada saat ini adalah penemuan “shrink-free” resin komposit. Penemuan terbaru adalah resin komposit silorane yang memiliki pengerutan yang lebih rendah dari resin komposit biasa yaitu < 1% dan biokompatibilitas yang baik, namun kekuatannya hampir sama bila dibandingkan dengan resin komposit konvensional. Pengerutan yang rendah ini menjadikan silorane memiliki adaptasi marginal yang sangat baik (Devlin, 2006). Silorane merupakan senyawa hybrid dari siloxane dan oxirane yang berpolimerisasi dengan mekanisme ring-opening kation (Lien, 2010). Kombinasi dari dua senyawa kimia tersebut menghasilkan biokompatibilitas, sifat hidrofobik dan derajat penyusutan yang lebih kecil. Berbeda dengan monomer metakrilat yang tersusun linear dan mengalami penyusutan saat berikatan, monomer silorane yang berbentuk cincin saat mengalami polimerisasi akan terbuka dan berikatan satu sama lain. Hal tersebut menyebabkan derajat penyusutan silorane lebih kecil (Joshi, 2008). Sistem adhesi yang digunakan pada resin komposit silorane juga berbeda dengan resin komposit metakrilat. Sistem adhesi resin komposit silorane penggunaannya hampir sama dengan self-etch bonding namun memiliki perbedaan pada resin adhesif yang bersifat hidrofobik yang tersusun oleh lithium aluminium silicate.
5
B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan uraian di atas, timbul suatu permasalahan sebagai berikut : Apakah terdapat perbedaan besarnya kebocoran tepi antara resin komposit silorane dengan resin komposit metakrilat pada restorasi kavitas kelas I. C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan besarnya kebocoran tepi yang terjadi pada bahan tumpatan resin komposit silorane dan resin komposit metakrilat pada restorasi kavitas kelas I. D. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian tentang kebocoran tepi yang pernah dilakukan antara lain adalah : Meiers dkk. (2001) meneliti kebocoran tepi resin komposit packable. Andriani (2010) meneliti kebocoran tepi resin komposit metakrilat dan resin komposit silorane pada kavitas kelas II bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pada dua jenis resin komposit tersebut. Penelitian ini menggunakan bahan tumpatan resin komposit packable dan resin komposit silorane pada kavitas kelas I gigi premolar maksila. E. Manfaat Penelitian Sebagai referensi dokter gigi atau mahasiswa kedokteran gigi untuk memilih bahan restorasi sewarna gigi dengan kebocoran tepi yang rendah.