I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Fenomena yang sering ditemukan di Kedokteran Gigi Anak (KGA) pada anak berkebutuhan khusus (ABK) spesifiknya disabilitas intelektual menyangkut gangguan pertumbuhan dan perkembangan melibatkan gangguan fungsi di samping gangguan estetik (Heijbel et al., 1997; Orelant et al., 1980). Dampak negatif apabila tidak diantisipasi dapat memperparah pertumbuhan dan perkembangan dentokraniofasial anak disabilitas intelektual tersebut. Data sensus penduduk 2010, dari 237 juta penduduk Indonesia jumlah anak berkebutuhan khusus usia sekolah (5-18 tahun) ada 355.859 anak, 74, 6% belum memperoleh layanan. Data klinis di bagian Kedokteran Gigi Anak (KGA) menunjukkan bahwa selama ini kondisi dentokraniofasial anak disabilitas intelektual masih kurang diperhatikan. Banyak faktor penyebabnya, salah satunya karena kurangnya pengetahuan dan ketrampilan dokter gigi dalam menangani perawatan gigi dan mulut anak disabilitas tersebut. Perawatan gigi dan mulut anak disabilitas intelektual lebih komplek dibanding anak normal disebabkan keterbasan mental, fisik dan adaptasi sosial anak (rerata IQ/ intelegence quetient dibawah rerata kurang dari 70)(DSM-5, 2003). Secara fenotip anak disabilitas intelektual ringan sering terlihat seperti anak normal, terdiagnosis setelah pemeriksaan IQ (Lumbantobing, 1997; Hendarto (1991). Disabilitas intelektual kadang-kadang tidak dikenali sampai anak-anak usia pertengahan dimana disabilitas intelektualnya masih dalam taraf ringan (Matilainen et al., 1995). Insiden
1
2
tertinggi pada masa anak sekolah dengan puncak umur 10 sampai 14 tahun (Gustason et al., 1997). Kurangnya pengetahuan dokter gigi tentang dentokraniofasial anak disabilitas intelektual menjadi kendala dalam menanggani masalah gigi dan mulut anak disabilitas tersebut. Di satu sisi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi (IPTEK), Ilmu Kedokteran Gigi Anak (IKGA) pada saat ini semakin maju dan berkembang pesat. Permintaan akan perawatan gigi dan mulut anak semakin meningkat, begitu juga dengan anak disabilitas intelektual. Umumnya masyarakat khususnya orangtua yang mempunyai anak disabilitas intelektual menginginkan peningkatan status kesehatan gigi dan mulut anaknya. Selama ini kondisi dentokraniofasial anak disabilitas intelektual hanya dilihat dari foto wajah dan oklusi saja, tanpa pemeriksaan menyeluruh profil dan komponen dentokraniofasial. Untuk menegakkan diagnosis yang tepat maka perlu diketahui pertumbuhan dentoskeletal. Gambaran secara rinci dan tepat sangat diperlukan, gambaran yang lebih objektif didapatkan dari pengukuran sefalometri. Pertumbuhan dentoskeletal secara sefalometri dikemukan oleh Bjork, yang kemudian dimodifikasi oleh Jarabak (Retno, 2003). Hal tersebut bertujuan untuk menganalisis hubungan dental dan skeletal serta memprediksi arah pertumbuhan. Data menyeluruh diperlukan sebagai acuan dalam perawatan, memprediksi hasil perawatan dan sebagai acuan dalam tumbuh kembang anak berkebutuhan khusus, dan antisipasi untuk generasi yang akan datang. Masa anak-anak merupakan saat penting dalam proses kehidupan manusia karena terjadi proses tumbuh kembang. Pertumbuhan dan perkembangan
3
dentokraniofasial anak disabilitas juga sangat penting, karena akan mempengaruhi kesehatan tubuh secara keseluruhan (Hurlock, 1999). Salah satu aspek yang perlu diperhatikan
pada
anak
disabilitas
intelektual
adalah
pertumbuhan
dentokraniofasial yang meliputi pertumbuhan kepala, wajah, rahang. Pengetahuan tentang gangguan pertumbuhan dan perkembangan dentokraniofasial anak disabilitas intelektual ini penting sebab berkaitan dengan penangganan kesehatan gigi dan mulut anak disabilitas tersebut. Pemantauan periode tumbuh kembang diperlukan untuk mengetahui proses pertumbuhan yang normal termasuk pertumbuhan fasial dan dental, bila terjadi penyimpangan dapat diantisipasi segera. Hal ini dapat diantisipasi apabila klinisi mengerti masalah dan kondisi dentokraniofasial anak disabilitas tersebut (Orelant et al., 1980). Publikasi mengenai penyimpangan dentokraniofasial pada anak disabilitas ini masih kurang. Dua puluh tahun terakhir ini tenaga kesehatan lebih banyak fokus pada masalah gangguan perkembangan, perilaku dan masalah psikososial (New morbidity) (Dhamayanti, 2004).
Kelainan dentokraniofasial selain
menganggu fungsi dan keserasian wajah, berdampak juga terhadap perkembangan kepribadian secara keseluruhan. Wajah yang kurang harmonis dapat berpengaruh terhadap kehidupan sosialnya, seseorang merasa rendah diri kemudian menarik diri dari pergaulan sosialnya. Semakin berat disabilitas intelektual yang diderita seseorang, dampak psikologis juga semakin berat (Orelant et al., 1980). Disabilitas intelektual erat kaitannya dengan gangguan pertumbuhan otak ditandai dengan IQ yang rendah di bawah rerata (kurang dari 70) bermula sebelum usia 18 tahun (DSM-5, 2003). Menurut Hendarto (1991) ukuran kepala
4
dipengaruhi pertumbuhan otak yang berkorelasi signifikan dengan fungsi intelektual. Sidiarto (1991) dalam penelitian secara mikroskopik mendapatkan pengurangan berat sel otak anak disabilitas intelektual 67-76% dibanding anak normal. Pendapat ini disokong oleh penelitian Manjunath (2002) bahwa serebelum dan batang otak anak disabilitas intelektual kurang berkembang. Beberapa peneliti menunjukkan korelasi positif antara IQ dan volume total otak (Andreasen et al., 1993; Ivanovic et al., 2004; McDaniel 2005; Plomin dan Kosslyn 2001; Reiss et al., 1996; Tisserand et al., 2001; Witelson et al., 2006 cit. Yu et al., 2008), dengan menggunakan teknik magnetic resonance imaging (MRI). Schmithorst et al. (2005) menemukan korelasi positif antara skor IQ dengan white matter pada daerah frontal dan occipito-parietal pada populasi anak normal. Penelitian (Yu et al., 2008), struktur otak berhubungan dengan IQ, pada pasien disabilitas intelektual menunjukkan kerusakan yang luas di white matter tract, dan uncinatus fasciculus (UF) yang merupakan dasar saraf penting kecerdasan manusia.
Proses patologis,
dapat mengubah mikrostruktural
lingkungan, seperti ukuran saraf, ruang ekstraseluler dan integritas jaringan, yang selanjutnya mengakibatkan perubahan difusi (Anderson et al., 1996; Sevick et al., 1992; Yu et al., 2007 cit. Yu et al., 2008). Disabilitas intelektual juga erat kaitannya dengan gangguan fungsi pengunyahan dan fungsi oral. Menurut Orelant et al. (1989) anak disabilitas intelektual mempunyai kontribusi terhadap disfungsi oral. Fungsi pengunyahan yang baik dapat menunjang tumbuh kembang yang optimal. Kelainan
5
dentokraniofasial selain mempengaruhi estetika dapat mempengaruhi efisiensi dan efektifitas pengunyahan. Penelitian bentuk kepala pada 68 anak disabilitas intelektual tipe ringan dan sedang umur 6-12 tahun didapatkan odd ratio 2 kali lebih tinggi pada anak disabilitas intelektual sedang dibanding disabilitas intelektual ringan. Rerata umur anak disabilitas intelektual sedang 9.56 ± 1.807 (Elianora et al., 2011). Gangguan pertumbuhan anatomis dapat menyebabkan penyimpangan, bila terjadi gangguan pertumbuhan sutura menyebabkan gangguan pada pertumbuhan dan perkembangan kepala. Pertumbuhan sutura akan memperbesar ukuran kepala pada semua dimensi (Foster, 1999). Pertumbuhan sutura berlangsung aktif pada saat pembesaran utama dari kranium yaitu sekitar umur 7 tahun. Sutura pada garis tengah antara tulang frontal normalnya berosifikasi pada umur 7-8 tahun (Foster, 1999). Penelitian Lemire et al. (1975) cit. Gale et al. (2013) menemukan volume otak maksimal biasanya dicapai antara umur 5 dan 10 tahun. Pertumbuhan kranial dipengaruhi kapsula otak, kapsula otak dipengaruhi pertumbuhan otak. Pertumbuhan kubah tulang kepala (cranial vault) dipicu bagian dalam tulang kepala dan dipengaruhi pertumbuhan otak (Ivanovic et al., 2004). Pertumbuhan kranium mempunyai hubungan yang erat dengan volume otak. Wongsoredjo (1990) cit. Hamilah (1992) menyatakan bahwa pertumbuhan otak menentukan bentuk dan pertumbuhan dasar kranial. Ukuran lingkar kepala dapat dipakai sebagai indikator pertumbuhan otak. Semakin parah tingkat disabilitas intelektualnya maka semakin besar gangguan pada otak, sebab ini mekanisme pertumbuhan tulang kepala masih tetap sebagai subyek berbagai
6
penelitian khususnya pada anak disabilitas intelektual. Pengetahuan mengenai hal ini masih kurang. Ada 3 mekanisme utama pertumbuhan tulang, masing-masing berperan penting pada pertumbuhan neurokranium dan viscerokranium yaitu pertumbuhan kartilaginus, sutura, periosteal dan endosteal (Foster, 1999). Ketiga mekanisme pertumbuhan tulang ini berperan penting pada pembesaran kraniofasial. Pertumbuhan tulang mempunyai potensi untuk mencapai ukuran dan bentuk tertentu asalkan tidak ada gangguan (Foster, 1999). Ketidakselarasan kecepatan pertumbuhan komponen-komponen tulang neurokranium dan viscerokranium dapat mempengaruhi terjadinya kelainan profil dentokraniofasial meliputi kepala, wajah, dan rahang (Kusnoto, 1987). Penentuan profil dentokraniofasial pada anak disabilitas intelektual dan mengidentifikasi penyimpangan komponen dentokraniofasial menurut arah pertumbuhan berdasarkan umur dan jenis kelamin diperlukan, namun pedoman ini secara pasti masih belum ada. Pertumbuhan dentoskeletal akan berpengaruh pada konfigurasi oklusi akhir dan estetik wajah secara keseluruhan (Prahl-Andersen et al., 1995). Ukuran fasial
arah pertumbuhan vertikal selama masa pubertas
pertumbuhannya berbeda pada anak laki-laki dan perempuan. Ukuran fasial pada masa pubertas bervariasi, laki-laki pada usia 12,8 tahun dan perempuan 10,4 tahun. Proffit et al. (2000) menyatakan bahwa pertumbuhan fasial arah anteroposterior pada anak perempuan selesai pada umur 14-15 tahun, sedangkan
7
pada anak laki-laki selesai pada umur 18 tahun. Dalam penelitian ini subyek yang diamati berumur 7-12 tahun. Pada kasus seperti ini maka umur kronologis tidak dapat memberikan informasi yang cukup tentang pertumbuhan seseorang secara tepat, banyak faktor yang mempengaruhinya. Pengaruh paling dominan terhadap pertumbuhan adalah faktor genetik, karena masa pertumbuhan cukup lama memberikan kesempatan lingkungan
untuk
mempengaruhinya.
Menurut
Soetjiningsih,
(2002)
dentokraniofasial bukan faktor herediter saja yang mempengaruhinya, namun merupakan hasil interaksi termasuk lingkungan yang dapat memberikan ciri tersendiri pada setiap anak. Faktor genetik termasuk di dalamnya adalah faktor ras atau keturunan (Proffit et al., 2000; Glinka, 1987), salah satunya suku Jawa yang termasuk dalam subras Deutero-Melayu. Secara umum, ras manusia digolongkan menjadi tiga: Mongoloid, Negroid, Kaukasoid, masing-masing ras memiliki ciri yang berbeda. Orang Indonesia termasuk dalam ras Mongoloid dan Australomelanesid, suku yang terdapat di Yogyakarta adalah suku Jawa, merupakan ras Mongoloid, subras Deutero-Melayu. Pada penelitian ini anak disabilitas intelektual yang diteliti berasal dari suku Jawa merupakan bagian dari sub-ras Deutero-Melayu. Penelitian anak disabilitas intelektual suku Jawa ini belum ada dan publikasi juga belum ada. Pedoman dentokraniofasial pada anak disabilitas intelektual ini masih jarang untuk anak-anak Indonesia. Setiap kelompok etnik mempunyai wajah dengan ciriciri yang khas, serasi pada satu kelompok belum tentu serasi untuk kelompok
8
yang lain (Nesturkh, 1963; Hamnleton, 1964; Peck dan Peck, 1970; Wuerpel, 1973 cit. Glinka, 1990). Pendapat ini disokong oleh pendapat Graber, (1985) dan Foster, (1999). American Psychologic Association (APA) mengatakan terdapat perbedaan ras dalam ukuran tengokrak dan otak (Neisser et al., 1996).. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan wajah ukurannya meningkat didasari struktur skeletal, berperanan penting secara keseluruhan dalam estetik wajah (Bishara et al., 1985 cit. Prahl-Andersen et al., 1995). Banyak metode yang digunakan untuk menilai estetika wajah seseorang seperti Downs, Steiner, Rieket,s, Holdaway, Bjork. Metode modifikasi Bjork digunakan dalam penelitian ini sebab menggabungkan pengukuran Downs, Steiner dan merupakan metode analisis yang sangat kompleks dan lebih sesuai dipakai untuk penelitian dibanding pemakaian klinik. Metode ini banyak digunakan untuk mengevaluasi perubahan bentuk muka skeletal. Penentuan titiktitik sefalometri diperlukan untuk melihat arah pertumbuhan yang berperan. Berdasarkan masalah di atas maka muncul ide untuk meneliti kondisi dentokraniofasial anak disabilitas intelektual tersebut. Dasar pemikirannya adalah gangguan pertumbuhan otak menyebabkan gangguan pertumbuhan tulang kranial. Bentuk otak mengatur struktur dasar tengkorak dan berpengaruh terhadap struktur kepala dan wajah. Pada penelitian membuktikan secara keseluruhan profil dan komponen dentokraniofasial anak disabilitas intelektual serta kemungkinan peran umur dan jenis kelamin mempengaruhinya. Berdasarkan data yang lengkap maka dapat ditentukan pola penyimpangan bentuk kepala pada anak disabilitas
9
intelektual dan pada umur berapa penyimpangan tersebut terjadi. Selama ini pengambilan data secara lengkap masih kurang. Data yang ada hanya bersifat klinis sehingga gambaran menyeluruh mengenai dentokraniofasial pada anak disabilitas intelektual merupakan hasil temuan penting pada penelitian ini dan dapat dijadikan acuan dasar pemberian konseling pada masyarakat serta acuan untuk perawatan gigi anak disabilitas intelektual nantinya. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi acuan dalam ilmu tumbuh kembang pada anak kebutuhan khusus spesifiknya pada anak disabilitas intelektual. Ada dua tahap yang dilakukan pada penelitian ini yang pertama melakukan pengukuran profil dan komponen dentokraniofasial pada anak disabilitas intelektual dan kedua pengukuran yang sama dilakukan pada kelompok kontrol. Analisis model studi dan faktor yang berperan terhadap dentokraniofasial (umur dan jenis kelamin) juga diteliti. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas dapat disusun identifikasi masalah sebagai berikut : 1.Penelitian mengenai dentokraniofasial anak disabilitas intelektual masih kurang. Belum banyak laporan mengenai profil dan komponen dentokraniofasial pada anak disabilitas intelektual dan faktor yang terlibat di dalamnya. Seberapa jauh penyimpangan yang terjadi melibatkan profil dan komponen dentokraniofasial. Penelitian mengenai hal ini masih jarang, terutama pada anak disabilitas intelektual di Indonesia khususnya suku Jawa. 2. Pengukuran sefalometri berdasarkan komponen garis dan sudut serta arah pertumbuhan pada anak disabilitas intelektual penting untuk mengetahui
10
pertumbuhan dentoskeletal lebih objektif dan akurat. Selama ini data yang ada cuma berdasarkan pemeriksaan klinis dan foto wajah saja, pengukuran dan pedomannya belum ada. Data dan informasi ini diperlukan untuk masa yang akan datang terutama dalam ilmu tumbuh kembang pada anak kebutuhan khusus. 3. Data dentokraniofasial anak disabilitas intelektual umur 7-12 tahun belum ada. Peningkatan pelayanan kesehatan gigi anak disabilitas intelektual memerlukan berbagai informasi mengenai kondisi fisik secara umum, bentuk kepala, wajah, rahang dan komponen dentoskeletal serta arah penyimpangannya. Pengetahuan tentang pertumbuhan profil dan komponen dentokraniofasial penting karena dapat membantu sebagai dasar dalam perawatan gigi mulut anak disabilitas intelektual dan pemberian konseling pada masyarakat. Berkaitan dengan perumusan masalah di atas maka dapat disusun pertanyaan penelitian; a. Bagaimanakah perbedaan profil dan komponen dentokraniofasial anak disabilitas intelektual dibanding anak normal umur 7-12 tahun? b. Bagaimanakah hubungan profil dan komponen dentokraniofasial anak disabilitas intelektual umur 7-12 tahun? c. Apakah umur dan jenis kelamin berpengaruh terhadap profil dan komponen dentokraniofasial anak disabilitas intelektual?
11
C. Keaslian Penelitian Berbagai macam analisis kraniofasial dengan sefalometri telah banyak dikemukakan. Berbagai penelitian telah dilakukan terhadap konveksitas wajah jaringan keras ras Kaukasoid, akan tetapi masih sedikit yang melakukannya pada ras Deutro-Melayu. Penilaian secara keseluruhan mengenai profil dan komponen dentokraniofasial serta faktor yang berperan terhadap dentokraniofasial pada anak disabilitas intelektual umur 7-12 tahun belum banyak yang melakukannya terutama untuk suku Jawa. Penelitian mengenai analisis morfologi kraniofasial pernah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya antara lain; Belengeanu et al. 2011 pada anak perempuan sindrom prader willi umur 11 tahun 10 bulan (case report). Sunjay et al. 2010 pada 25 pasien preortodontik dengan subyek sindroma down umur 12-18 tahun untuk melihat morfologi maksila dan mandibula. Khiaram 1977 mengevaluasi dentoskeletal pada 20 anak disabilitas intelektual umur 12-15 tahun di Bombay India. Manjunath 2010 menganalisis indek sefalik pada anak disabilitas intelektual dan anak normal umur 1 - 5 tahun. Penelitian yang dilakukan untuk menentukan perbedaan dan hubungan profil dan komponen dentokraniofasial serta mengidentifikasi penyimpangannya pada anak disabilitas intelektual umur 7-12 tahun. Faktor yang berperan umur dan jenis kelamin juga dilihat menggunakan disain case control. Hasil penelitian ini merupakan temuan gambaran
kondisi dentokraniofasial anak disabilitas
intelektual yang dapat dijadikan acuan untuk perawatan gigi anak disabilitas intelektual dan dasar pemberian konseling pada masyarakat.
12
D. Tujuan Penelitian 1. Menentukan perbedaan profil dan komponen dentokraniofasial anak disabilitas intelektual dan anak normal umur 7-12 tahun. 2. Menentukan hubungan profil dan komponen dentokraniofasial anak disabilitas intelektual umur 7-12 tahun. 3. Menentukan umur dan jenis kelamin kemungkinan berpengaruh terhadap dentokraniofasial anak disabilitas intelektual. E. Manfaat Penelitian 1. Pengembangan Ilmu Pengetahuan Hasil penelitian ini diharapkan dapat : a. Memberikan sumbangan teoritis terutama pada ilmu tumbuh kembang anak kebutuhan khusus. b. Memberikan tambahan informasi pada penelitian-penelitian sebelumnya yang
berhubungan
dengan
tumbuh
kembang
dan
komponen
dentokraniofasial. 2. Institusi Pengembangan Ilmu Kedokteran Gigi Anak (IKGA) terutama dalam perawatan
anak
disabilitas
intelektual
dalam
perencanaan
dan
pengembangan bidang preventif, pengobatan dan kuratif. 3. Masyarakat Dasar pemberian konseling pada masyarakat sehingga penyebab kelainan dentokraniofasial dapat dicegah.