BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penyakit periodontal telah diketahui sebagai penyakit yang paling banyak ditemukan pada rongga mulut manusia, bersamaan dengan karies gigi. Prevalensi penyakit ini ditemukan tinggi pada masyarakat Indonesia, dan terbukti mengalami peningkatan keparahan dari tahun ke tahun. Penyebab utama penyakit periodontal adalah mikroorganisme yang ditemukan pada plak gigi, dan sekitar 12 mikroorganisme dapat diklasifikasikan sebagai periodontal patogen. Bakteri yang berperan
penting
dalam
patogenesis
penyakit
periodontal
antara
lain:
Actinobacillus actinomycetecommitans, Porphyromonas gingivalis, Tannerella forsythensis, dan Prevotella intermedia (Velden dkk., 2006; Situmorang, 2004; Wolf dkk., 2005). Mikroorganisme pada plak gigi memegang peranan penting dalam terjadinya penyakit periodontal. Secara umum, penyakit periodontal lanjut biasanya dihubungkan dengan jumlah bakteri gram negatif anaerob pada plak gigi. Salah satu bakteri yang telah dibuktikan keterlibatannya dalam inisiasi dan perkembangan penyakit periodontal tahap lanjut adalah Porphyromonas gingivalis. Porphyromonas gingivalis ditemukan sebagai komponen utama pada plak subgingiva dan merupakan pengkoloni sukses pada epitel rongga mulut. Bakteri ini menghasilkan faktor virulensi pada jaringan periodontal, antara lain merusak immunoglobulin, complement factor, dan mendegradasi perlekatan epitel 1
2
jaringan periodontal sehingga menimbulkan poket periodontal (Yilmaz, 2008; Newman dkk., 2006). Pada penelitian yang dilakukan oleh Griffen dkk. (1998), P.gingivalis
ditemukan tinggi
pada
kelompok
subyek
yang menderita
periodontitis dan rendah pada kelompok sehat, yang membuktikan keterlibatan bakteri ini dalam kejadian periodontitis. Penyakit periodontal dapat dicegah dan ditanggulangi dengan kontrol plak yang adekuat, seperti menyikat gigi, menggunakan obat kumur, larutan irigasi, maupun pasta gigi yang mengandung substansi antibakteri (Newman dkk., 2006). Antibakteri dapat bersifat alamiah, semi sintetis, atau sintetis. Antibakteri alamiah memiliki kelebihan yaitu tidak berbahaya dan memiliki efek samping yang lebih kecil jika dibandingkan dengan antibakteri semi- sintetis dan sintetis. Variasi yang diproduksi oleh lebah madu adalah yang paling umum digunakan dan dikonsumsi manusia (National Honey Board, 2010). Penggunaan obat - obatan tradisional untuk menangulangi infeksi telah dipraktekkan sejak awal mula kehidupan manusia, dan madu yang diproduksi oleh Apis mellifera merupakan obat tradisional tertua yang diperkirakan penting pada penanggulangan beberapa penyakit pada manusia (Mandal dan Mandal, 2011). Saat ini, madu semakin dipercaya sebagai antibakteri terhadap penyakit gastroenteritis dan infeksi permukaan (Jones, 2001). Aktivitas antibakteri madu berhubungan dengan tingkat osmolaritasnya yang tinggi, keasaman yang rendah, kandungan hidrogen peroksida (H2O2), dan komponen non - peroksida. Agen antibakteri
pada
madu
terutama
adalah
hidrogen
peroksida,
dimana
3
konsentrasinya ditentukan oleh tingkat glukosa oksidase
yang disintesa oleh
lebah dan katalase yang berasal dari serbuk sari bunga (Weston R, 2000; Mavric dkk., 2008). Apis mellifera merupakan jenis lebah madu utama yang dibudidayakan di banyak negara, termasuk Indonesia. Para peternak memilih lebah ini karena daya adaptasinya yang tinggi terhadap berbagai keadaan iklim, menghasilkan banyak madu, dan tidak terlalu agresif (Hidayat, 2006 sit. Gojmerac, 1983). Madu yang dihasilkan jenis lebah ini tidak hanya banyak, namun juga berkualitas karena hanya memiliki kadar air yang rendah yaitu sekitar 17-20% (Hery, 2011). Aktivitas antibakteri madu dilaporkan memiliki efek terhadap sekitar 60 spesies bakteri, termasuk aerob dan anaerob, baik gram positif maupun gram negatif (Aurengzeb dan Azim, 2011). Madu terbukti mempunyai aktivitas terhadap beberapa bakteri, diantaranya Staphylococcus aureus, Salmonella typhi, Escherichia coli, Shigella dysentriae, dan Vibrio cholera (Suryani dan Meida, 2004). Sampai saat ini telah banyak penelitian yang menggunakan madu dari lebah Apis mellifera untuk menguji daya hambat bakteri. Namun, belum dilaporkan adanya peneliti yang menggunakan bakteri Porphyromonas gingivalis sebagai subyek dalam penelitian uji daya hambat madu dari lebah Apis mellifera. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh madu dari lebah Apis mellifera terhadap Porphyromonas gingivalis. Konsentrasi yang digunakan untuk uji daya hambat madu dari lebah Apis mellifera pada penelitian ini adalah 30%, mengacu pada konsentrasi minimum
4
yang digunakan pada penelitian Hariyati (2010), yang menguji aktivitas antibakteri madu randu terhadap Pseudosomonas fluorescens dan Pseudosomonas putida, sebagai pembanding digunakan konsentrasi 20%, 40%, dan 50%.
B. Perumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut di atas, maka diajukan permasalahan, yaitu: apakah terdapat pengaruh madu Apis mellifera terhadap pertumbuhan bakteri Porphyromonas gingivalis penyebab penyakit periodontal secara in vitro?
C. Keaslian penelitian Osho dan Bello (2010) meneliti kemampuan madu dari lebah Apis mellifera sebesar 25% dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Bacillus subtilis. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh madu dari lebah Apis mellifera terhadap pertumbuhan bakteri Porphyromonas gingivalis secara in vitro, dan sejauh yang penulis ketahui, penelitian serupa belum pernah dilaporkan.
D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh madu Apis mellifera terhadap pertumbuhan bakteri Porphyromonas gingivalis penyebab penyakit periodontal secara in vitro.
5
E. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain: 1. Sebagai dasar ilmiah untuk pemanfaatan madu dari lebah Apis mellifera sebagai bahan alternatif sediaan obat kumur/ bahan irigasi dalam penatalaksanaan penyakit periodontal. 2. Memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat mengenai manfaat madu dari lebah Apis mellifera.