I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Salah satu sektor penting dalam pembangunan ekonomi di Indonesia adalah sektor pertanian, meskipun kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus mengalami penurunan. Kontribusi PDB pertanian dalam arti sempit (di luar perikanan dan kehutanan) pada tahun 2014, yaitu sekitar 879,23 triliun rupiah atau 10,26 % dari PDB nasional yang besarnya 8.568,12 triliun rupiah (berdasarkan harga konstan tahun 2010). Selama periode 2010-2014, pertumbuhan PDB pertanian sempit tersebut berkisar antara 3,47 sampai 4,58 % dengan rata-rata sekitar 3,90 %, pada saat yang sama PDB nasional tumbuh sekitar 5,70 % (Tabel 1.1). Dengan adanya ketimpangan pertumbuhan tersebut, maka kontribusi pertanian semakin menurun dari 10,99 % di tahun 2010 menjadi 10,26 % dari total PDB nasional di tahun 2014 (Kementerian Pertanian, 2015). Tabel 1.1. Pertumbuhan PDB pertanian tahun 2010-2014 atas dasar harga konstan tahun 2010 Pertumbuhan(%) Subsektor 2011 2012 2013 2014 Rerata 6,17 6,03 5,58 5,02 5,70 PDB Nasional 1. Pertanian, Peternakan, 3,47 4,58 Perburuan dan Jasa Pertanian -1,00 4,90 1.1. Tanaman Pangan 8,77 -2,21 1.2. Tanaman Hortikultura 4,94 6,95 1.3. Tanaman Perkebunan 4,80 4,97 1.4. Peternakan 1.5. Jasa Pertanian dan 3,83 6,07 Perburuan Sumber: Renstra Kementan tahun 2015 - 2019
3,85
3,71
3,90
1,97 0,67 6,15 5,08
0,24 4,19 5,83 5,44
1,53 2,85 5,97 5,07
5,91
2,58
4,60
Berdasarkan Tabel 1.1 dari lima subsektor pertanian, rerata laju pertumbuhan tanaman hortikultura (yang terdiri dari buah, tanaman hias/florikultura, sayuran, dan tanaman obat) selama lima tahun terakhir lebih tinggi dibandingan dengan tanaman pangan.
Hal ini menunjukkan subsektor hortikultura sangat
potensial dalam menyumbang pembentukan PDB. Peran subsektor hortikultura secara makro juga terlihat dari neraca perdagangan (neraca ekspor-impor) seperti disajikan pada Tabel 1.2.
Laju pertumbuhan volume ekspor hortikultura
menunjukkan nilai positif yaitu sebesar 2,69% per tahun dan laju pertumbuhan volume impor sebesar 6,33% per tahun, sehingga neraca perdagangan hortikultura 1
defisit. Sayuran merupakan komoditas hortikultura yang memiliki nilai defisit perdagangan tertinggi dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar 8,58% per tahun. Hal ini menjadi tantangan, peluang dan kesempatan untuk mengembangkan sayuran di dalam negeri sehingga tidak terjadi peningkatan defisit perdagangan. Tabel 1.2. Volume ekspor impor komoditas hortikultura tahun 2010 - 2014 Komoditas Buah Florikultura
Ekspor (ton)
Rata-rata pertumbuhan selama 5 tahun (%)
2010
2011
2012
2013
2014
196.341
223.011
234.111
197.886
205.519
1,74
4.310
4.891
10.136
4.101
5.851
25,96
Sayuran
138.105
134.021
204.559
128.330
150.356
7,39
Tanaman Obat
13.468
6.123
5.116
27.129
10.752
74,73
352.224
368.046
453.922
357.446
372.478
2,69 Rata-rata pertumbuhan selama 5 tahun (%)
Total
Impor (ton)
Komoditas Buah Florikultura Sayuran Tanaman Obat Total
2010
2011
2012
2013
2014
692.703
832.080
916.350
535.461
711.569
5,39
11.100
13.804
16.070
8.219
5.707
-9,66
844.619
1.164.726
1.259.943
994.784
1.050.988
7,67
2.495
23.492
30.674
7.202
14.851
225,46
1.550.917
2.034.102
2.223.037
1.545.666
1.783.115
Selisih Ekspor - Impor (ton)
Komoditas 2010 Buah
-496.362
Florikultura Sayuran Tanaman Obat Total
2011
2012
-609.069
2013
-682.239
-337.575
2014
6,33 Rata-rata pertumbuhan selama 5 tahun (%)
-506.050
-25,20
-6.790
-8.913
-5.934
-4.118
144
-34,07
-706.514
-1.030.705
-1.055.384
-866.454
-900.632
8,58
10.973
-17.369
-25.558
19.927
-4.099
-127,42
-1.198.693
-1.666.056
-1.769.115
-1.188.220
-1.410.637
7,76
Sumber: BPS dan diolah Pusdatin 2015 Berdasarkan nilai ekonomis dan strategis, komoditas sayuran yang termasuk unggulan nasional adalah bawang merah, cabe besar, cabe rawit, kentang, kol/kubis dan tomat. Selama lima tahun terakhir (tahun 2011 - 2015), pertumbuhan produktivitas keenam jenis komoditas sayuran tersebut cenderung berfluktuasi (Gambar 1.1).
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi fluktuasi
produktivitas tersebut, diantaranya cuaca dan hama penyakit tanaman (HPT). Tren produktivitas sayuran yang berfluktuasi mengindikasikan adanya variasi setiap waktu. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan usahatani sayuran sangat dipengaruhi oleh adanya risiko produksi. 2
Produktivitas (ton ha-1)
25
20 Bawang merah 15
Kentang Kol/Kubis
10
Cabe besar Cabe rawit
5
Tomat
0 2011
2012
2013
2014
2015
Tahun
Gambar 1.1. Tren pertumbuhan produktivitas enam komoditas sayuran di Indonesia tahun 2011-2015 [sumber: Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura, 2016 (diolah)] Keenam jenis sayuran di atas pada umumnya diusahakan secara konvensional dan intensif di dataran tinggi. Sistem konvensional sangat bergantung pada input kimia sintetis seperti pestisida, pupuk dan zat pengatur tumbuh/hormon. Benih dihasilkan dengan penggunaan input kimia yang digunakan untuk budidaya sayuran konvensional (Kawasaki & Fujimoto, 2009). Usahatani sayuran intensif di dataran
tinggi
tanpa
pengelolaan
yang
mempertimbangkan
prinsip-prinsip
berkelanjutan telah terbukti memiliki andil cukup besar terhadap timbulnya masalahmasalah erosi, degradasi kesuburan, dan pencemaran lingkungan (Dumsday et al., 1991; Saran, 1993). Ketergantungan terhadap input buatan dan manipulasi terhadap sumberdaya alam untuk memaksimalkan keuntungan (terutama dalam bentuk natura) telah mulai mengarah pada ketidakstabilan sistem produksi (Waibel & Setboonsarng, 1993). Stabilitas sistem produksi, secara eksternal dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik (misalnya iklim), ekonomis (misalnya harga pasar), dan biologis (misalnya hama penyakit);
sedangkan secara internal, stabilitas sistem
produksi menurun karena berbagai pengaruh, misalnya peningkatan salinitas, kehilangan lapisan atas tanah, kehilangan material organik, dan peningkatan dalam penggunaan pestisida (Adiyoga et al., 2004). Kesadaran akan bahaya yang ditimbulkan oleh pemakaian bahan kimia sintetis dalam pertanian konvensional menjadikan pertanian organik menarik perhatian baik di tingkat produsen maupun konsumen. Pertanian organik 3
sebenarnya sudah sejak lama dikenal, sejak ilmu bercocok tanam dikenal manusia, semuanya dilakukan secara tradisional dan menggunakan bahan-bahan alamiah, sehingga lebih ramah lingkungan. Pertanian organik modern didefinisikan sebagai sistem budidaya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan kimia sintetis (Mayrowani, 2012). Manfaat potensial dari produksi pertanian organik adalah perbaikan kesuburan tanah, kandungan bahan organik dan aktivitas biologis; struktur tanah yang lebih baik dan mengurangi kerentanan terhadap erosi; mengurangi polusi dari pencucian nutrisi dan pestisida; dan meningkatnya keanekaragaman hayati tumbuhan dan hewan (Kasperczyk dan Knickel, 2006). Sistem pertanian organik di Indonesia telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 64/Permentan/OT.140/5/2013 dengan tujuan untuk meningkatkan nilai tambah, kesejahteraan petani, dan peningkatan daya saing. Komoditas organik utama yang dihasilkan Indonesia adalah padi, sayuran, buahbuahan, kopi, coklat, jambu mete, herbal, minyak kelapa, rempah-rempah dan madu. Informasi mengenai luas panen, produksi, dan produktivitas masing-masing komoditas organik di Indonesia masih sangat terbatas karena belum ada data statistik resmi mengenai hal tersebut. Sayuran merupakan komoditas yang banyak diproduksi oleh petani skala kecil yang mayoritas berada di Indonesia. Program pertanian organik tidak dapat sepenuhnya diaplikasikan petani sayuran. Sebagian besar petani sayuran tidak memiliki keyakinan untuk mengubah dari sistem pertanian konvensional ke pertanian organik, mungkin karena kesulitan teknis dan efisiensi produksi yang rendah (Kawasaki & Fujimoto, 2009). Dengan demikian petani baru sampai pada pertanian semi organik yaitu dengan menggunakan pupuk organik untuk membantu memperbaiki struktur tanah disertai dengan penggunaan pupuk kimia untuk membantu pertumbuhan tanaman. Menurut Sutanto (2002) pertanian semi organik merupakan suatu langkah awal untuk kembali ke sistem pertanian organik, hal ini karena perubahan yang ekstrim dari pola pertanian modern yang mengandalkan pupuk kimia menjadi pola pertanian organik yang mengandalkan pupuk biomasa akan berakibat langsung terhadap penurunan hasil produksi yang cukup drastis yang semua itu harus ditanggung langsung oleh pelaku usaha tersebut. Selain itu penghapusan pestisida sebagai pengendali hama dan penyakit yang sulit dihilangkan karena tingginya ketergantungan mayoritas pelaku usaha terhadap pestisida. 4
Meta-analysis yang dilakukan Seufert et al. (2012) yang membandingkan tentang kinerja pertanian organik dan pertanian konvensional di 66 negara, terhadap 34 jenis tanaman, menyimpulkan bahwa produktivitas rata-rata pertanian organik lebih rendah daripada produktivitas pertanian konvensional. Perbedaannya sangat bervariasi tergantung jenis tanaman dan kelompok negara (maju atau berkembang). Secara umum perbedaan produktivitas antara pertanian organik dan pertanian konvensional di negara maju adalah 20%; jika kelompok negara maju digabungkan dengan kelompok negara berkembang perbedaannya menjadi 25%. Produktivitas sayuran organik 33% lebih rendah dibandingkan dengan produktivitas sayuran konvensional. Secara umum, best practices dari kedua sistem pertanian tersebut memberikan perbedaan hasil sebesar 13%, rata-rata produktivitas pertanian organik lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata produktivitas pertanian konvensional. Philpott (2015) mengumpulkan data dari 44 penelitian meliputi 55 jenis tanaman yang tumbuh di lima benua selama 40 tahun dan menemukan bahwa usahatani organik 22 sampai 35 persen
lebih menguntungkan dibandingan
usahatani konvensional karena petani memperoleh harga yang lebih tinggi dengan menjual tanaman organik bersertifikat. Hasil penelitian usahatani organik di Jawa Barat yang dilakukan Herawati et al. (2014) menunjukkan bahwa ada kesulitan dalam membandingkan pendapatan sayuran organik dan sayuran konvensional karena harga sayuran konvensional sangat fluktuatif. Para pengelola perkebunan organik kebanyakan memperkirakan berkebun organik lebih menguntungkan terutama karena adanya harga yang tetap dan pasti, bukan karena produktivitas mereka lebih baik. Penelitian Cavigelli et al. (2009) menyimpulkan bahwa pada tingkat harga premium maka hasil bersih (net return) pertanian organik adalah 2,4 kali lebih tinggi daripada hasil pertanian konvensional; sebaliknya risiko pertanian organik adalah 1,7 lebih rendah dibanding pertanian konvensional. Kelebihan metode bertani organik yang lain adalah, dalam jangka panjang hasil produksinya meningkat dan sebaliknya, biaya produksi menurun. Berdasarkan paparan di atas, sistem pertanian semiorganik mempunyai perbedaan
dengan
sistem
pertanian
konvensional
khususnya
dalam
hal
penggunaan input, sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan teknologi antara usahatani sayuran semiorganik dan konvensional. Penggunaan input oleh petani dalam kegiatan produksi akan berpengaruh terhadap jumlah produksi yang 5
dihasilkan, dan dapat memberikan gambaran mengenai tingkat efisiensi yang dicapai oleh petani (Kumbhakar, 2002; Prayoga 2010; Rahayu 2011; Tiedemann 2012). Efisiensi merupakan alat untuk mengukur kinerja usahatani sayuran semiorganik dan usahatani sayuran konvensional. semiorganik
dapat
dilihat
dari
seberapa
Kinerja usahatani sayuran
besar
usahatani
tersebut
dapat
mengalokasikan input-inputnya secara proporsional untuk menghasilkan produksi yang maksimal dan seberapa besar dapat memberikan keuntungan bagi petani. Tingkat efisiensi yang dicapai petani terkait dengan kemampuan dan perilaku petani dalam menggunakan
input
pada usahataninya.
Ellis
(1988)
mengemukakan bahwa besar-kecilnya alokasi penggunaan input-input produksi dalam usahatani sangat dipengaruhi oleh perilaku petani dalam menghadapi risiko produksi. Moscardi & de Janvry (1977) menentukan tingkat perilaku risk aversion petani dengan menggunakan
variabel
yang
paling berpengaruh nyata dalam
fungsi produksi, koefisien variasi produksi, harga faktor produksi, harga produk, dan tingkat penggunaan faktor produksi. Selanjutnya tingkat perilaku risk aversion petani dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu menyukai risiko/risk preferring (low risk), netral terhadap risiko/risk neutral (intermediate risk) dan enggan terhadap risiko/risk aversion (high risk). 2. Permasalahan Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki potensi dalam usahatani sayuran. Komoditas sayuran yang paling mendominasi di Jawa Tengah adalah bawang merah, kubis, kentang, wortel, cabe besar dan bawang daun. Berdasarkan data BPS Provinsi Jawa Tengah (2016), selama tahun 2012 - 2014 provinsi Jawa Tengah menempati urutan pertama sebagai daerah penghasil komoditas bawang merah, kentang, dan kubis terbesar di Indonesia dengan kontribusi luas panen dan produksi seperti pada Tabel 1.3. Tabel 1.3.
Persentase kontribusi luas panen dan produksi sayuran Jawa Tengah terhadap Indonesia Persentase Kontribusi Jawa Tengah Terhadap Indonesia
Komoditas
2012 Luas
Produksi
Bawang merah 36,00 39,60 Kentang 24,40 23,09 Kubis 28,32 25,56 Sumber: BPS Provinsi Jawa Tengah, 2016
2013
2014
Luas
Produksi
Luas
Produksi
37,11 25,12 29,52
41,50 24,33 26,90
38,30 23,30 28,57
42,09 21,68 24,96
6
Usaha peningkatan produksi hortikultura, khususnya sayuran di Indonesia selama ini masih menggunakan sistem pertanian konvensional, namun dari 35 kabupaten/kota yang ada di Jawa Tengah, ada 10 kabupaten (29%) yang mengusahakan kegiatan usahatani dan pengolahan hasil pertanian secara organik serta telah disertifikasi (Tabel 1.4). Tabel 1.4. Produsen pertanian organik bersertifikasi menurut kabupaten di Jawa Tengah, tahun 2014 No 1.
Kabupaten Batang
Nama Produsen Gapoktan Peni Murni
Lokasi Desa Deles, Kec. Bawang
Komoditas/produk sayuran
2.
Boyolali
Perkumpulan Lestari Mandiri
Regulo
gula kelapa, kopi, cengkeh, kakao, getah manggis, beras, tepung beras, dan bawang merah
3.
Cilacap
Kelompok Tani Karya Tani
Desa Cijeruk, Kec. Gayeuhluhur
gula aren
Asosiasi Petani Manggis Manggu Madu Kelompok Tani Legi Makmur
Desa Matenggeng, Kec. Gayeuhluhur Desa Pegading, Kec. Cipari
manggis
Paguyuban Petani Organik Boja Mandiri Kelompok Tani Makarti Utomo
Kec. Boja
beras
Desa Getas, Kec. Singorojo
kopi wose
4.
Kendal
gula kelapa
5.
Jepara
Kelompok Tani Sidomakmur VII
Desa Tempur, Kec. Keling
kopi tanduk dan kopi biji beras
6.
Karanganyar
Kelompok Tani Mulyo I
Desa Gentungan, Kec. Mojogedang
beras
7.
Magelang
Asosiasi Salak Nglumut
Desa Kradenan, Kec. Srumbung
salak
8.
Semarang
Kelompok Tani Tranggulasi
Desa Batur, Kec. Getasan
sayuran
Kalompok Tani Mardi Santoso
Desa Kopeng, Kec. Getasan
sayuran
Kelompok Tani Bangkit Merbabu
Desa Batur, Kec. Getasan
sayuran
Kelompok Tani AlBarokah
Desa Ketapang, Kec. Susukan
beras
Gapoktan Manik Moyo
Desa Jabungan, Kec. Susukan
beras
Gapoktan Bima Indika
Desa Regunung, Kec. Tengaran
kunyit
Asosiasi Petani Organik Organik Wonogiri
Desa Sukerejo
beras
Desa Sukoharjo, Kec. Tirtomoyo
jahe, kunyit, kunyit putih, kencur, temulawak, laos
9.
Sragen
10.
Wonogiri
Sumber: Statistik Pertanian Organik Indonesia, 2014 (diolah)
7
Berdasarkan Tabel 1.4 Kabupaten Semarang merupakan daerah yang paling banyak memiliki kelompok usahatani organik yang telah disertifikasi dan didominasi oleh sayuran organik. Semakin meningkatnya harga bahan kimia sintesis (seperti pupuk kimia, pestisida kimia) dan kesadaran akan bahaya yang ditimbulkan oleh pemakaian bahan kimia sintetis telah mendorong sebagian petani sayuran di kabupaten Semarang, khususnya di kecamatan Getasan beralih dari pertanian sayuran konvensional ke pertanian sayuran organik, meskipun tidak ada data statistik resmi mengenai produksi pertanian organik di Indonesia, namun perkembangan ekonomi dan tingginya kesadaran akan kesehatan, merupakan pemicu
berkembang
cepatnya
pertumbuhan
permintaan
produk
organik
(Mayrowani, 2012). Berdasarkan penjelasan di atas, petani sayuran di Kabupaten Semarang mengusahakan sayuran secara konvensional dan organik. Sampai saat ini belum ada data statistik yang memilahkan luas panen, produksi dan produktivitas sayuran yang
diusahakan
secara
organik
dan
konvensional.
Data
yang
tersedia
menunjukkan kabupaten Semarang memiliki potensi yang besar dalam usahatani sayuran.
Produksi sayuran di Kabupaten Semarang tersebar hampir di semua
kecamatan, kecuali kecamatan Bancak dan Ungaran Timur (Tabel 1.5). Tabel 1.5. Produksi tanaman sayuran menurut kecamatan di Kabupaten Semarang Tahun 2015 Kecamatan
Produksi Tanaman Sayuran per Komoditi (Kw) Wortel
Tomat
53.044
74.087
124.568
38.160
15.017
10.116
21.047
79.508
4.510
420.057
876
902
43.564
-
23
-
-
7.099
200
52.664
1.250
1.620
340
-
4.085
-
-
580
440
8.315
225
2.745
-
-
135
-
-
-
-
3.105
Suruh
3.690
1.030
-
-
-
-
-
-
-
4.720
6.
Pabelan
1.394
-
-
-
-
-
-
-
-
1.394
7.
Tuntang
937
804
-
-
-
-
-
-
-
1.741
8.
Banyubiru
1.630
542
8.861
160
444
195
932
5.530
-
18.294
9.
Jambu
1.
Getasan
2.
Tengaran
3.
Susukan
4.
Kaliwungu
5.
10. Sumowono
Cabe besar Cabe rawit
Kubis
Buncis
Bwg. Daun Petsai/ Sawi Seledri
Jumlah
248
408
-
-
105
-
-
-
-
761
32.796
6.405
36.754
28.330
28.647
31.098
43.420
62.382
-
269.832
11. Ambarawa
964
835
-
-
2.079
693
286
1.927
300
7.084
12. Bandungan
20.945
3.500
8.400
15.750
19.180
20.088
22.230
30.750
20.492
161.335
13. Bawen
430
105
-
-
465
-
1.717
4.758
1.225
8.700
14. Bringin
299
449
-
-
94
-
-
-
65
907
15. Bancak
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
49
27
-
-
43
-
-
-
-
119
16. Pringapus 17. Bergas
1.000
2.700
-
-
7.830
1.500
35.200
8.100
1.515
57.845
18. Ungaran Barat
101
44
-
-
55
-
-
-
-
200
19. Ungaran Timur
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
119.878
96.203
222.487
82.400
78.202
63.690
124.832
200.634
Total
Sumber: Kabupaten Semarang dalam Angka 2016
8
28.747 1.017.073
Berdasarkan Tabel 1.5 dari 19 kecamatan yang ada di Kabupaten Semarang, Kecamatan Getasan merupakan penghasil sayuran terbesar. Produksi tanaman sayuran per komoditi yang dihasilkan pada tahun 2015 sebesar 420.057 kwintal setara dengan 41 persen dari total produksi kabupaten Semarang. Jenis sayuran yang dominan diproduksi di kabupaten Semarang dan merupakan sayuran khas dataran tinggi adalah kubis, petsai/sawi, bawang daun, cabe besar, cabe rawit, wortel, dan tomat. Pertumbuhan produksi sayuran tersebut selama lima tahun terakhir (2011 – 2015) berfluktuasi. Komoditas sayuran yang menunjukkan tren pertumbuhan menurun selama kurun waktu 2011 – 2015 adalah wortel, tomat dan cabe besar. Petsai/sawi menunjukkan tren yang relatif stabil, sedangkan kubis, bawang daun dan cabe rawit menunjukkan tren yang meningkat seperti ditunjukkan pada Gambar 1.2.
1000000 900000
Produksi (kw)
800000 700000
Wortel
600000
Tomat
500000
Petsai/ Sawi
400000
Kubis
300000
Cabe Rawit
200000
Cabe besar
100000
Bwg. Daun
0 2011
2012
2013
2014
2015
Tahun
Gambar 1.2. Tren pertumbuhan produksi tujuh jenis sayuran dominan di Kabupaten Semarang, tahun 2011 – 2015 Fluktuasi produksi merupakan indikasi risiko produksi, yang dapat disebabkan berbagai hal, antara lain:
perlakuan petani pada kegiatan produksi,
adanya serangan hama dan penyakit, serta cuaca yang tidak menentu. Terjadinya fluktuasi produksi akan berdampak pada pendapatan yang berfluktuasi atau tidak menentu. Permasalahan lainnya yang dialami petani sayuran adalah harga yang berfluktuasi. Harga komoditas yang berfluktuasi merupakan salah satu indikator adanya risiko yang menyebabkan terjadinya kerugian yang harus ditanggung oleh pihak-pihak yang berkepentingan terhadap komoditas tersebut, terutama petani. 9
Fluktuasi harga pada dasarnya terjadi akibat ketidakseimbangan antara jumlah permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar dimana tingkat harga meningkat jika jumlah permintaan melebihi penawaran dan sebaliknya harga akan menurun ketika jumlah penawaran melebihi jumlah permintaan (ceteris paribus). Di tingkat petani, fluktuasi harga dipengaruhi oleh produksi sayuran. Harga akan menurun ketika panen terjadi secara bersamaan untuk masing-masing komoditas karena sebagian besar petani menanam pada waktu yang sama sehingga saat panen jumlah produk melebihi jumlah permintaan yang ada di pasar (excess supply). Sedangkan peningkatan harga sayuran terjadi karena panen untuk masing-masing komoditas relatif rendah sehingga jumlah produk yang ditawarkan sedikit (excess demand. Menurut Ranaweera et al. (1993) salah satu faktor yang diduga berpengaruh cukup signifikan terhadap stabilisasi sistem produksi adalah sistem pertanaman (monokultur vs polikultur atau mono cropping vs multiple cropping). Sistem pertanaman polikultur pada dasarnya merupakan sistem yang biasa digunakan oleh petani sayuran dataran tinggi (Adiyoga et al., 2004). Sistem ini diadopsi oleh banyak petani, terutama berkaitan dengan kesesuaiannya dalam memberikan solusi terhadap kendala sumberdaya yang dihadapi. Sebagian besar petani di dataran tinggi pada umumnya dihadapkan pada kendala keterbatasan lahan garapan dan permodalan. Menurut Steiner (1984) sistem pertanaman berganda (multiple cropping) atau tumpangsari adalah pola pertanaman yang melibatkan penanaman lebih dari satu jenis tanaman pada suatu hamparan lahan. Prinsip esensial yang terkandung di dalamnya adalah penanaman beberapa jenis tanaman secara sekaligus pada sehamparan lahan (intercropping) dan penanaman beberapa jenis tanaman secara bertahap pada sehamparan lahan (sequential cropping). Selanjutnya Perrin (1977) menunjukkan bahwa secara umum sistem pertanaman tumpangsari memiliki tingkat produktivitas lebih tinggi yang tercermin dari lebih tingginya pendapatan kotor per hektar. Profitabilitas sistem pertanaman tumpangsari sangat dipengaruhi oleh pemilihan jenis tanaman serta harga relatif (Horwith 1985). Sementara itu, beberapa penelitian lainnya juga mengindikasikan kemungkinan dicapainya tingkat efisiensi produksi serta pendapatan yang lebih tinggi pada tingkat penggunaan input yang lebih rendah melalui pemanfaatan sistem pertanaman berganda (Brookfield & Padoch 1994; Kirschenman 1989; Newman 1986). Menurut Adiyoga et al. (2004) bagi petani skala kecil, terutama di negara 10
berkembang, atribut penting yang paling menarik dari sistem pertanaman berganda adalah kemampuannya untuk mengurangi risiko. Berdasarkan uraian di atas, dalam mengelola usahatani sayuran baik secara konvensional maupun semi organik, petani dihadapkan pada risiko produksi. Untuk itu, petani perlu mengelola risiko tersebut agar usahanya dapat dijalankan secara berkesinambungan. Menurut Harwood et al. (1999) petani memiliki banyak pilihan dalam mengelola risiko yang dihadapinya antara lain dengan melakukan diversifikasi usaha (enterprise diversification), integrasi vertikal (vertical integration), kontrak produksi (production contract), kontrak pemasaran (marketing contract), perlindungan nilai (hedging), asuransi (insurance). Diversifikasi usaha yang dilakukan petani sayuran di Kabupaten Semarang adalah melakukan penanaman secara tumpangsari. Beberapa hasil penelitian terdahulu tentang risiko memberikan implikasi kebijakan untuk mengatasi risiko produksi dan risiko harga melalui diversifikasi kegiatan usahatani (Fariyanti, 2008); diversifikasi dan rotasi tanaman (Saptana, 2011); melakukan sistem kemitraan (Fauziyah, 2010), diversifikasi dan kemitraan (Herviyani, 2009), pengaturan pola tanam dan kemitraan dengan perusahaan (Amri, 2011).
Telaah terhadap penelitian terdahulu menunjukkan bahwa komoditas
pertanian yang diusahakan secara organik lebih berisiko dibandingkan dengan konvensional (Rahayu, 2011). Dengan demikian praktek usahatani yang dijalankan petani sayuran di Kabupaten Semarang dengan melakukan sistem pertanaman tumpang sari merupakan salah satu strategi mengatasi risiko. Komparasi usahatani sayuran semi organik dan konvensional dilakukan dengan
pertimbangan
adanya
perbedaan
penggunaan
input.
Perbedaan
penggunaan input antara usahatani sayuran semi organik dan konvensional akan berdampak pada perbedaan jumlah produksi dan tingkat efisiensi yang dicapai petani. Selain itu menurut Just & Pope (1979) faktor risiko memainkan peranan yang sangat penting dalam keputusan penggunaan input, yaitu apakah input tertentu yang digunakan dalam usahatani harus ditambah atau dikurangi, sehingga pada akhirnya berpengaruh pada produksi. Dalam analisis risiko perlu juga dilakukan analisis mengenai perilaku petani dalam menghadapi risiko karena pengetahuan akan perilaku tersebut dapat memberikan dasar pemahaman yang baik tentang permasalahan produksi usahatani. Disamping itu mengabaikan keberadaan risiko dan perilaku risiko akan menimbulkan bias terhadap estimasi parameter-parameter produksi, dan efisiensi teknis sehingga akan menimbulkan 11
kesalahan
penafsiran
terhadap
fenomena
terjadinya
penurunan
produksi
(Kumbhakar, 2002). Dengan memperhatikan kondisi usahatani sayuran semi organik dan konvensional
di Kabupaten Semarang, maka terdapat tiga rumusan masalah
penelitian: a. Bagaimana produksi, dan risiko produksi usahatani sayuran semi organik dan konvensional serta faktor-faktor apa yang mempengaruhinya? b. Bagaimana tingkat efisiensi usahatani sayuran semi organik dan konvensional? Faktor-faktor apa yang menjadi sumber-sumber terjadinya inefisiensi? c. Bagaimana perilaku petani sayuran semi organik dan konvensional terhadap risiko produksi serta faktor-faktor apa yang mempengaruhinya? 3. Tujuan Penelitian Sejalan dengan latar belakang dan rumusan masalah penelitian, secara umum penelitian ini akan menelaah produksi, efisiensi dan perilaku petani terhadap risiko produksi pada usahatani sayuran semi organik dan konvensional. Secara khusus tujuan dari penelitian ini adalah untuk: a. Mengetahui produksi dan risiko produksi usahatani sayuran semi organik dan konvensional serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. b. Mengetahui tingkat efisiensi (teknis, alokatif dan ekonomis) usahatani semi organik dan konvensional serta sumber-sumber penyebab terjadinya inefisiensi. c. Mengetahui perilaku petani sayuran semi organik dan konvensional terhadap risiko produksi serta faktor-faktor yang mempengaruhinya 4. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai: a. Masukan dan bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah untuk menetapkan kebijakan-kebijakan yang tepat dalam rangka mendorong dan mendukung peningkatan produksi serta efisiensi usahatani sayuran, khususnya sayuran organik di Kabupaten Semarang. b. Informasi bagi petani tentang perilaku mereka terhadap risiko produksi dan kegiatan-kegiatan yang bisa dilakukan untuk mereduksi inefisiensi teknis sehingga dapat meningkatkan produksi sayuran yang diusahakan.
12
c. Acuan
model
teoritis
mengenai
perilaku
risiko
produksi
petani,
dan
konsekuensinya terhadap alokasi input, produksi dan efisiensi teknis pada usahatani sayuran sehingga bisa menjadi pemikiran bagi penelitian selanjutnya. 5. Keaslian Penelitian Gagasan penelitian ini bersumber dari penelusuran dan telaah terhadap berbagai hasil kajian empiris beberapa peneliti sebelumnya yang telah melakukan penelitian dengan topik produksi, risiko, efisiensi, perilaku terhadap risiko sebagaimana ditampilkan pada Tabel 1.6.
Perbedaan penelitian ini dengan
penelitian terdahulu dapat disarikan sebagai berikut: a. Penelitian ini mengkaji semua jenis sayuran yang ditanam petani
secara
tumpangsari dengan sistem semi organik dan konvensional. Penelitian terdahulu lebih banyak mengkaji risiko dan atau perilaku risiko produksi pada komoditi yang ditanam secara monokultur: padi (Villano et al., 2005, Abdullah, 2007), jagung (Olarinde et al., 2007), rasberry (Roger & Engler, 2008), ikan salmon (Kumbhakar & Tsionas, 2009), ternak sapi (Mosnier et al., 2009), tembakau (Fauziyah, 2010), cabai merah (Saptana, 2011), talas (Qomaria, 2011), padi organik (Rahayu, 2011), kedelai (Tahir, 2011);
kopi arabika (Thamrin, 2013); kapas (Junaedi,
2013); kentang varietas granola dan atlantic (Pujiharto, 2013); kentang (Nurhapsa, 2013), tomat (Heriani et al., 2013), bawang merah (Lawalata, 2013); dua komoditi: kentang dan kubis (Fariyanti, 2008), kubis dan bawang merah (Herviyani, 2009), bawang merah dan putih (Sriyadi, 2009). b. Penelitian ini mengkaji dua sumber risiko, yaitu risiko produksi dan risiko pendapatan. Penelitian terdahulu lebih banyak mengkaji satu sumber risiko, yaitu: risiko produksi (Juarini, 2003: Sriyadi, 2009; Fauziyah, 2010; Qomaria, 2011; Rahayu, 2011; Suwarta, 2011; Tahir, 2011; Thamrin, 2013; Junaedi, 2013); risiko harga (Herviyani, 2009), risiko produksi dan inefisiensi teknis (Villano et al., 2005; Bokusheva & Hockmann, 2006). Penelitian yang mengkaji dua sumber risiko, yaitu risiko produksi dan harga, antara lain: Fariyanti (2008), Mosnier et al. (2009), dan Saptana (2011); risiko produktivitas dan risiko pendapatan (Pujiharto, 2013). c. Penelitian ini mengkaji usahatani tumpangsari sebagai salah satu strategi memperkecil tingkat risiko, karena kegagalan satu jenis tanaman akan dikompensasi oleh keberhasilan panen tanaman lainnya. Penelitian terdahulu berangkat dari kajian usahatani monokultur, sehingga menyarankan untuk mengurangi atau mengatasi risiko, antara lain melakukan diversifikasi tanaman 13
(Juarini, 2003), diversifikasi kegiatan usahatani maupun luar usahatani (Fariyanti, 2008); diversifikasi dan rotasi tanaman (Saptana, 2011); melakukan sistem kemitraan (Fauziyah, 2010), diversifikasi dan kemitraan (Herviyani, 2009), pengaturan pola tanam dan kemitraan dengan perusahaan (Amri, 2011). d. Penelitian ini mengkomparasikan produksi, risiko, efisiensi dan perilaku petani terhadap risiko sayuran semi organik dan konvensional. Penelitian terdahulu hanya mengkaji preferensi risiko petani pada usahatani organik (Rahayu, 2011); efisiensi ekonomi usahatani padi organik dan konvensional (Machmuddin, 2016); produktivitas dan efisiensi padi organik (Prayoga, 2010), efisiensi teknis padi organik (Murniati et al, 2014); efisiensi teknis padi semi organik (Gultom et al, 2014). e. Penelitian ini menggunakan nilai absolute residual (yang diperoleh dari hasil estimasi fungsi produksi rata-rata) untuk mengestimasi pengaruh penggunaan input terhadap risiko.
Penelitian terdahulu menggunakan model multiplicative
heteroscedasticity (Tahir, 2011; Thamrin, 2013; Pujiharto, 2013). Berdasarkan uraian hasil-hasil penelitian terdahulu maka terdapat keaslian dan hal yang baru dari penelitian ini antara lain: (1) Topik: mengkomparasikan produksi, efisiensi dan perilaku risiko produksi petani sayuran semi organik dan konvensional yang dilakukan dengan sistem pertanaman
tumpangsari.
Penelitian
yang
mengkomparasikan
kinerja
komoditas sayuran organik dan konvensional di Indonesia masih sangat terbatas, penelitian lebih banyak dilakukan untuk padi seperti yang dilakukan oleh Abdullah (2007), Rubinos et al. (2007), Rahayu (2011), Lestari (2013), Gultom (2014), Machmuddin (2016). Selain itu,
ditinjau dari sisi penelitian,
keberadaan sistem pertanaman tumpangsari sayuran di dataran tinggi sampai saat ini tampaknya masih belum memperoleh perhatian yang memadai. Berbagai penelitian atau pengkajian cenderung masih memberikan penekanan pada tinjauan terhadap tanaman utama, sehingga pendekatan penelitian yang digunakan pada umumnya lebih berorientasi monokultur. Penelitian ini diarahkan untuk memperoleh data/informasi dasar mencakup karakteristik teknis sistem pertanaman tumpangsari pada komoditas sayuran dataran tinggi, dengan sistem produksi semi organik dan konvensional. (2) Alat Analisis/Model: Penelitian ini menggunakan model fungsi produksi CobbDouglas yang ditransformasi ke bentuk logaritma natural (ln) dan absolute residual (yang diperoleh dari hasil estimasi fungsi produksi rata-rata) untuk 14
mengestimasi fungsi risiko produksi dengan metode Ordinary Least Square (OLS); pengukuran efisiensi dengan fungsi stochastic frontier dan estimasi fungsi produksi serta biaya dengan MLE. Model Moscardi & de Janvry untuk menganalisis perilaku risiko. (3) Lokasi penelitian dan komoditas yang diteliti: dilakukan di salah satu sentra sayuran dataran tinggi yang mengusahakan usahatani sayuran konvensional dan semi organik di Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Semarang. Tabel 1.6. Beberapa judul penelitian terdahulu, aspek yang dikaji dan metode analisis yang terkait dengan produksi, efisiensi, dan perilaku petani terhadap risiko No
Judul
Aspek yang Dikaji
1. Analisis Efisiensi Ekonomi Usahatani Padi Organik dan Konvensional (Machmuddin, 2016).
2.
3.
4.
5.
Metode Analisis
perbandingan penggunaan fungsi produksi Cobb-Douglas input, produksi, analisis stochastic frontier dan fungsi usahatani, efisiensi teknis, biaya frontier. alokatif, ekonomis,identifikasi faktor-faktor penyebab perbedaan efisiensi teknis pada usahatani padi organik dan konvensional Analisis Efisiensi Teknis Faktor-faktor yang Fungsi produksi stochastic frontier Usahatani Padi Semi Organik mempengaruhi produksi dengan MLE di Kecamatan Cigombong, usahatani padi semi organik, Bogor (Gultom, 2014) efisiensi teknis, tingkat pendapatan Efisiensi Teknis Usaha Tani Efisiensi teknis, faktor-faktor fungsi produksi Cobb-Douglas Padi Organik Lahan Sawah yang mempengaruhi efisiensi stochastic frontier Tadah Hujan di Kabupaten teknis dan sumber inefisiensi Tanggamus Provinsi teknis Lampung (Murniati et al., 2014) Efisiensi Produksi, Perilaku tingkat efisiensi produksi fungsi produksi frontier stochastic Petani, dan Daya Saing (efisiensi teknis, efisiensi Moscardi & De Janvry, Usahatani Kapas Rakyat di alokatif dan efisiensi Policy Analysis Matrix (PAM) Sulawesi Selatan (Junaedi, ekonomi), perilaku 2013) petani terhadap risiko usahatani kapas, meramalkan dampak kebijakan kapas nasional terhadap daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) usahatani kapas di Sulawesi Selatan Produktivitas, Pendapatan (1) produktivitas dan risiko uji beda rata-rata, uji beda varian dan Perilaku Petani terhadap produktivitas serta faktordan uji beda nyata terkecil, Model Risiko Usahatani Kentang faktor yang mempengaruhi; perilaku risiko Moscardi & de Varietas Granola dan Atlantic (2) pendapatan dan risiko Janvry di Sentra Produksi Kabupaten pendapatan usahatani serta Banjarnegara (Pujiharto, faktor-faktor yang 2013) mempengaruhinya; dan (3) perilaku petani terhadap risiko usahatani serta faktor-faktor yang mempengaruhinya
15
Tabel 1.6. Lanjutan No Judul 6. Efisiensi Produksi, Perilaku Petani terhadap Risiko dan Keberlanjutan Usahatani Kopi Arabika di Kabupaten Enrekang (Thamrin, 2013)
Aspek yang Dikaji efisiensi teknis, efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi; risiko produksi dan risiko pendapatan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya; perilaku petani terhadap risiko; keberlanjutan usahatani kopi arabika 7. Produktivitas, Efisiensi dan efektifitas pola kemitraan intiRisiko Usaha Ternak Ayam plasma, produktivitas, Broiler Pola Kemitraan Inti efisiensi, pendapatan dan Plasma dan Mandiri di faktor-faktor yang Kabupaten Sleman (Suwarta, mempengaruhinya, risiko 2011)
Metode Analisis fungsi produksi frontier stochastic model risiko Just&Pope; model perilaku risiko Moscardi & De Janvry,
8. Analisis Efisiensi Usahatani dan Risiko Produksi Kedelai di Sulawesi Selatan (Tahir, 2011)
produktivitas, efisiensi teknis dan alokatif, keuntungan, risiko produksi serta faktorfaktor yang mempengaruhinya
fungsi produksi Cobb-Douglas dengan menggunakan teknik Unit Output Price Cobb-Douglas Profit Function (UOP-CDPF)
9. Preferensi Risiko Petani Pada Usahatani Padi Organik di Kabupaten Sragen (Rahayu, 2011)
(1) input-input yang mempengaruhi risiko produksi, (2) preferensi risiko dan faktor-faktor sosial ekonomi yang berpengaruh, dan (3) pengaruh preferensi risiko petani terhadap keputusan melakukan usahatani padi organik (1)faktor-faktor produksi yang mempengaruhi produktivitas dan risiko produksi; (2) efisiensi teknis, alokatif dan ekonomi; (3) faktor produksi yang mempengaruhi inefisiensi teknis dan sumber inefisiensi; (4) perilaku petani dalam menghadapi risiko produktivitas dan harga (1) tingkat risiko pendapatan usahatani, (2) perilaku petani terhadap risiko usahatani,(3) faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku petani terhadap risiko usahatani, (4) penggunaan faktor-faktor produksi yang efisien dengan mempertimbangkan risiko produksi, (5) tingkat efisiensi relatif usahatani, (6) pengaruh perilaku petani terhadap efisiensi relatif usahatani perilaku petani jagung terhadap risiko dan faktorfaktor yang mempengaruhinya
model fungsi Just Pope dan fungsi probit
10. Efisiensi Produksi dan Perilaku Petani Terhadap Risiko Produktivitas Cabai Merah di Provinsi Jawa Tengah (Saptana, 2011)
11. Efisiensi Relatif dan Perilaku Petani Terhadap Risiko Usahatani Bawang Putih dan Bawang Merah di Kabupaten Karanganyar (Sriyadi, 2009)
12. Attitudes Towards Risk Among Maize Farmers in the Dry Savanna Zone of Nigeria: Some Prospective Policies for Improving food production (Olarinde et al., 2007)
16
OLS, koefisien variasi, frontier stochastic, MLE
Cobb-Douglas translog, stochastic frontier, Khumbakar
Analisis koefisien variasi, Fungsi Utilitas Kuadratik, Fungsi Keuntungan Dinamis Model Polynomial derajat tiga
Analisis diskriminan, CobbDouglas (log-linear), Moscardi & de Janvry
Tabel 1.6. Lanjutan No Judul 13. Risiko Harga Kubis dan Bawang Merah di Indonesia (Herviyani, 2009)
Aspek yang Dikaji Metode Analisis menganalisis besarnya risiko model ARCH-GARCH dan harga dan alternatif solusi perhitungan Value at Risk(VAR), yang dilakukan petani untuk analisis kualitatif mengurangi risiko harga kubis dan bawang merah
14. Estimating a Production Function under Production and Output Price Risks: An Application to Beef Cattle in France (Mosnier et al., 2009)
Model produksi dengan risiko output dan harga, estimasi parameter teknologi, preferensi risiko petani
Isik's framework, structural simultaneous-equation model and the Full Information Maximum Likelihood (FIML)
15. Studi komparatif perilaku petani terhadap risiko usahatani padi non organik dan semi organik di Kabupaten Sragen (Abdullah, 2007)
(1)perbedaan biaya produksi, produksi, dan pendapatan pada tiga musim tanam, (2) risiko biaya, risiko produksi, dan risiko pendapatan pada tiga musim tanam, (3) perilaku petani padi non organik dan petani padi semi organik terhadap risiko usahatani, dan (4) faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi perilaku petani padi non organik dan semi organik terhadap risiko usahatani. Risiko produksi dan inefisiensi teknis yang diduga menjadi dua faktor penyebab variasi produksi pertanian di Rusia selama 10 tahun terakhir
Analisis biaya dan pendapatan, analisis koefisien variasi (CV), analisis fungsi utilitas kuadratik, dan analisis regresi linear berganda
16. Production Risk and Technical Inefficiency in Russian Agriculture (Bokusheva and Hockmann, 2006) 17. An Investigation of Production Risk, Risk Preferences and Technical Efficiency: Evidence from Rainfed Lowland Rice Farms in the Philippines (Villano et al., 2005)
Model risiko produksi Just and Pope dan diperluas dengan model inefisiensi teknis Khumbakar
Risiko produksi, perilaku risiko heteroskedastic and stochastic dan efisiensi teknis dengan frontier, Khumbakar menggunakan data panel selama delapan tahun
17