I. PENDAHULUAN 1.I. Latar Belakang Salah satu fakta keberhasilan pembangunan di sektor pertanian pangan adalah dicapainya swasembada beras nasional pada tahun 1984 dengan adanya pemanfaatan teknologi baru seperti benih varietas unggul, pupuk buatan, pengendalian hama dan penyakit tanaman, pembangunan jaringan irigasi, dan penyuluhan pertanian yang memungkinkan produksi padi meningkat dari 2 ton menjadi sekitar 6 ton per hektar (Soepardi, 1996). Tercapainya swasembada beras dipengaruhi pula oleh kebijakan pemerintah berupa penyediaan kredit usahatani, subsidi harga pupuk, dan harga dasar gabah. Namun pemerintah juga melakukan intervensi harga untuk melindungi konsumen dengan kebijakan pengendalian harga beras di bawah harga eceran tertinggi yang diinginkan. Kebijakan harga dasar gabah dan pengendalian harga eceran beras ditunjang dengan sistem pengadaan, penyimpanan dan operasi pasar beras domestik oleh Badan Urusan Logistik (Bulog) yang selama ini berfungsi menjaga kestabilan pasar beras domestik dan memonopoli impor dan ekspor beras. Hingga saat ini masih ada komitmen yang kuat, terutama dari pemerintah, untuk mempertahankan swasembada beras nasional pada masa mendatang. Beberapa ha1 berikut tampaknya dapat menjadi dasar bagi komitmen tersebut. Pertama, dengan dapat dipenuhinya kebutuhan beras dari produksi domestik berarti pengeiuaran devisa untuk impor beras dapat dihemat dan dapat direalokasikan untuk lebih meningkatkan kinerja sektor pertanian atau sektor pendukung lainnya. Data statistik tahunan Biro Pusat Statistik menunjukkan bahwa untuk mengimpor beras sejumlah 2.15 juta ton pada tahun 1996 dikeluarkan devisa sejumlah US $ 766 300 ribu atau sekitar Rp 1.80 triliun. Secara total seiama periode 1985-1996, Indonesia telah mengimpor 5.83 juta ton beras dengan nilai pengeluaran devisa US $ 1.79 atau Rp 3.96 biliun. Penghematan devisa tentu akan lebih besar lagi apabila swasembada beras dapat dipertahankan selama krisis ekonomi ketika nilai tukar mencapai Rp 10 000 Rp 12 000 per satu dollar US.
2 Kedua, kebijakan swasembada beras yang merupakan salah satu kebijakan utama pembangunan p&nian
selama ini dinilai telah berhasil meningkatkan produksi beras dan
pendapatan petarli yang diharapkan dapat terus ditingkatkan pada masa mendatang . Sektor pertanian sendiri, terutama pertanian pangan, masih merupakan lapangan kej a utama bagi masyarakat (Kasryno, 1996). Pada tahun 1993, dari 77.8 juta total tenaga kej a sekitar 35.7 juta orang (45.88 %) bekerja di sektor pertanian, dan dari jumlah itu sekitar 18.3 juta terserap di sub sektor tanaman padi dan palawija (Biro Pusat Statistik, 1994). Selain itu, produksi beras domestik cukup kompetitif sebagai substitusi impor hingga mencapai batas tingkat swasembada, termasuk bagi perdagangan antar wilayah domestik Indonesia (Ellis, 1989; Heytens dan Pearson, 1990; Timmer 1994). Ketiga, kebijakan swasembada beras dikaitkan pula dengan alasan sosial dan politik karena komoditas ini merupakan bahan makanan lebih dari 95 % penduduk Indonesia. Kebijakan itu merupakan kunci bagi pencapaian ketahanan pangan (food secunfy) yaitu tejaminnya ketersediaan bahan pangan pokok bagi rakyat, yang merupakan salah satu tujuan pembangunan nasior:?:! {Kasryno, 1996). Meskipun demikian, konteks ketahanan pangan tidak hanya menyangkut masalah ketersediaan pangan saja, tetapi meliputi pula bagaimana kepemilikan dan akses terhadap pangan itu oleh setiap anggota masyarakat (Pakpahan dan Pasandaran, 1993; Soetrisno; 1993). Beras di Indonesia telah menjadi komoditas politik yang dapat menggoyahkan stabilitas nasional jika ketersediaan atau pasokannya terganggu. Keempat, volume beras yang diperdagangkan antar negara sangat sedikit dibandingkantotal produksinya, sehingga pasar beras dunia dikategorikan sebagai pasar yang tipis (thin market) . Volume perdagangan beras dunia hanya sekitar 15 juta ton (6 %) dari total beras yang diproduksi seluruh negara. Sebagian bear negara produsen befas juga merupakan konsumen beras, sehingga 96 % dari produksi beras rnereka lebih ditujukan untuk memenuhi permintaan domestik, dan hanya 4 % yang diekspor ke pasar dunia (Tsujii,
1995). Indonesia, dengan tingkat konsumsi beras sekitar 29 juta ton, termasuk negara
3 konsurnen terbesar ketga setelah China dan India. Karena itu, apabila Indonesia, China atau India mengalami penurunan produksi beras dan harus mengimpor untuk menutupi defisit produksinya rnasing-masing, maka harga beras dunia akan segera naik dengan drastis. Karena itu sangat riskan bagi lndonesia untuk menggantungkan diri pada impor beras dari pasar dunia yang ketersediaandan harganya sangat fluktuatif. Kenaikan harga keseimbangan beras dunia akibat dari peningkatan impor beras Indonesia tentu akan berefek balik pada peningkatan pengeluaran devisa. Selain itu, sangat mungkin akan munwl pemaksaan politik ( p o ~ c a I e x f ~dari n ) negara pemasok beras apabila pemenuhan permintaan beras domestik sebagai bahan pangan pokok tergantung pada pasar beras dunia, terutama jika impor beras tersebut bersifat bantuan dari negara adikuasa seperti Amerika Serikat dan Jepang. Kelima, hingga kini beras masih dianggap komponen utama penyebab inflasi karena tingkat konsumsinya yang merata dengan jumlah yang terus bertambah dari tahun ke tahun. Proporsi pengeluaran untuk beras dan pangan lainnya dalam total pendapatan sebagian besar masyarakat masih dominan, terlebih iagi pada saat krisis moneter dan ekonomi. ?Aeskipunmenurut Damanhuri (1996) dalam kurun waktu 1980-1994 kontribusi beras pada inflasi sektor pangan relatif kecil, ha1 itu lebih disebabkan oleh kebijakan stabilisasi harga yang dilakukan pemerintah. Dalam periode tersebut sektor pangan menem-pati urutan ketiga penyebab inflasi umum setelah pengeluaran perumahan dan pengeluaran aneka barang dan jasa. Sebaliknya jika harga sarana produksi maupun harga beras dibebaskan menurut mekanisme pasar seperti yang terjadi saat ini, maka kontribusi fluktuasi harga beras terhadap inflasi menjadi sangat berati. Menurut laporan Biro Pusat Statistik, kontribusi kelompok bahan makanan dan makanan jadi, dengan beras sebagai kunci utamanya, menyumbang 63 % angka inflasi bulan Agustus 1998 (Harian Republika, 1 September 1998).
Dengan demikian perlu untuk dipelajari secara kontinyu fenomena yang berkembang pada penawaran dan perrnintaan beras, baik di pasar domestik maupun di pasar dunia, termasuk berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangannya.
4
1.2. Perurnusan Masalah Setelah tercapainya swasembada ,ekonomi beras Indonesia mengalami siklus surplus dan defisit yang berulang. Bahkan defisit produksi beras domestik yang besar pada tahun 1994 telah menimbulkan kekhawatiran yang serius akan dapat dipertahankannya swasembada beras on trend (Timmer, 1997), maupun swasembada absolut. lmpor beras meningkat mencapai sekitar 3 juta ton pada tahun 1995 sebagai akibat dari musim kemarau panjang (Arifin, 1997). Seteiah itu impor beras masih cukup besar karena laju peningkatan produksi beras domestik melambat akibat musim kemarau panjang, serangan organisme pengganggu tumbuhan, dan kenaikan harga masukan sejak terjadinya krisis ekonomi mulai tahun 1997 (faktor-faktor non kebijakan). Laju kenaikan produksi beras selama periode 1984-1996 ratarata hanya sebesar 2.38 % per tahun, sehingga terkejar oleh laju kenaikan perrnintaan konsumen yang mencapai 3.25 % per tahun menurut data statistik tahunan Biro Pusat Statistik dan Bulog. Lambatnya laju peningkatan produksi beras tersebut antara lain karena produktivitas padi secara nasional telah mengalami levelling-of(pelandaian) yang disebabkan oleh inefisiensi penggunaan pupuk TSP dan SP,
di wilayah Jawa (Abbas, 1997), dan
A.
diabaikannya saran kebijakan untuk meningkatkan penyediaan dana danlatau investasi terhadap berbagai aktivitas penting (kredit pertanian, riset, penyuluhan, pemeliharaan dan pembangunan infrastruktur) yang dapat mendorong peningkatan produksi pangan (Sawit, 1998). Sebaliknya pemerintah melakukan kebijakan pengurangan subsidi masukan (pupuk dan pestisida) yang diperkirakan berpengaruh pula terhadap lambatnya peningkatan produksi tersebut, meskipun telah dikompensasi dengan kenaikan harga dasar gabah. Kendala iain bagi peningkatan produksi beras domestik adalah bertambahnya alih fungsi atau konversi +!ahan sawah menjadi kawasan industri, perumahan dan lahan non pertanian yang sebagian terbesar terjadi di Jawa. Suprapto (1994) mengungkapkan bahwa lahan sawah di Jawa mengalami pengurangan luas dari 2 946 ribu hektar pada tahun 1983 menjadi 2 508 ribu hektar tahun 1993, atau secara relatif turun 14.87 %, dan konversi lahan
5 pertanian (sawah dan bukan sawah) di Jawa mencapai 92 % dari total konversi lahan pertanian di Indonesia. Sumaryanto, Pakpahan dan Friyatno (1995) mengungkapkan bahwa laju konversi lahan sawah di Jawa rata-rata 23 141 per tahun. Sedangkan menurut hasil pem'ingan lembaga kerjasarna riset Jepang JlCA yang dikutip Abbas (1997), konversi lahan sawah irigasi di Jawa pada periode 1991-2020 diperkirakan sebesar 20 000 - 25 000 hektar
per tahun dengan kecenderungan yang menaik. Meskipun peningkatan konversi lahan merupakan gejala yang universal sebagairnana terjadi pula pada pembangunan ekonomi negara-negara maju, bagi Indonesia ha1 itu justeru dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan produksi beras. Pulau Jawa (termasuk Bali) merupakan sentra produksi beras dengan tingkat kesuburan lahan yang lebih tinggi dibandingkan kesuburan lahan wilayah lain. Produksi padi di Jawa mencapai 57.67 % dari total produksi nasional dan tingkat produktivitas sekitar 5.14 ton per hektar, sedangkan rata-rata di luar Jawa baru mencapai 3.62 ton per hektar (Biro Pusat Statistik, 1996). Dengan demikian, apabila konversi lahan sawah yang subur di Jawa semakin meningkat maka dikhawatirkan produksi beras nasional akan berkurang secara nyzta dan upaya mempertahankan swasembada beras akan terhambat. Namun proses konversi lahan sawah di Jawa sulit untuk dicegah karena semakin meningkatnya permintaan lahan untuk sektor indusbi dan pemukiman penduduk yang kini telah metambah lahan pertanian yang subur dan sangat produktif. Sementara di sisi lain masih terdapat kontradiksi antara kebijakan pemerintah dalam jangka pendek yang berupaya menyediakan harga beras yang dapat terjangkau oleh masyarakat ('murah') dengan kebijakan jangka panjangnya yang bertujuan meningkatkan diversifikasi pangan. Selain itu diversifikasi konsumsi pangan dari beras ke bahan pangan lain yang setara masih dalam tamf kampanye dan promosi produk pangan non beras yang kurang mendapat perhatian secara luas dari masyarakat (Simatupang, Sudaryanto, Punnroto dan Saptana, 1995; Arifin, 1997), kecuali di wilayah perkotaan yang muiai menunjukkan kecenderungan ke arah diversifikasi konsumsi (Amin, 1997; Erwidodo dan Ariani, 1997).
6 Berdasarkan data ketersediaan beras untuk konsumsi yang ada pada Biro Pusat Statistik dapat diketahui bahwa secara nasional tingkat konsumsi beras rnengalami kenaikan dari 99.14 kilogram per kapita pada tahun 1969 menjadi 152.13 kilogram per kapita pada tahun 1995. Ditunjukkan pula oieh Ewidodo dan Ariani (1997) bahwa tingkat partisipasi rumah tangga dalam rnengkonsumsi beras di wilayah propinsi Maluku dan lrian Jaya mengalami peningkatan, masing masing dari 94.9 % dan 80.6 % pada tahun 1990, menjadi 96.4 % dan 84.1 % pada tahun 1993. Padahal secara tradisional beras bukan rnerupakan makanan pokok masyarakat kedua propinsi tersebut. Kenyataan itu berimplikasi terhadap bertambahnya beban pemerintah bila ingin tetap mempertahankanswasembada beras. Apabila situasi internal yang dinamis tersebut di atas tidak cepat diantisipasi, maka keberlangsungan pemenuhan kebutuhan beras dari produksi domestik (swasembada) sulit untuk dipertahankan. Dalam kaitan itu peranan wilayah luar Jawa dan Bali tampaknya perlu ditingkatkan untuk memasok kebutuhan beras nasional dengan mempertimbangkan beberapa sumber-sumber pertumbuhan produksi. Secara teoritis disatu sisi peningkatan produksi dapat dilakukan dengan menaikkkan produktivitas, areal tanam (ekstensifikasi dan indeks pertanaman), dan menjaga stabililtas hasil dengan selalu waspada secara dini terhadap adanya gangguan produksi (early warning system). Pada sisi yang lain kenaikan produksi dapat dicapai dengan mengurangi kesenjangan hasil di tingkat petani dan penelitian, dan memperkecil penyusutan pada hasil panen dan penanganan pasca panen. Sebagian besar penelitian ekonomi beras terdahulu umumnya memperlakukan produksi beras domestik secara agregatif, dan implikasi kebijakan yang disarankan untuk konteks nasional. Padahal tingkat keragaman faktor fisik lahan (kesuburan dan luas garapannya), teknik produksi, rnanajemen usahatani, dan aksesibilitas antar masing-masing daerah cukup tinggi, sehingga tingkat efisiensi usahatani dan respon produksi terhadap berbagai faktor yang mempengaruhinya juga berbeda seperti yang dibuktikan oleh Rosegrant (1990), Team Fakultas Pertanian IPB (1992) dan Rusastra (1995). Karena itu penerapan
7 program dan kebijakan secara seragam dapat mempunyai dampak yang berbeda terhadap produksi beras dan kesejatlteraan petani di masing-masing daerah. Berdasarkan ha1tersebut disagregasi wilayah produksi rnerupakan langkah yang penting untuk mempelajari perilaku produksi beras Indonesia. Namun baik Rosegrant rnaupun Rusastra tidak menelaah lebih jauh bagairnana dampak dari kenaikan harga dasar dan pengurangan subsidi pupuk terhadap perubahan produksi di masing-masing wiiayah. Sementara Team Fakultas Pertanian IPB rnembahasnya dalam konteks ekonorni tertutup tanpa mengkaji dampaknya lebih lanjut terhadap pasar beras dunia dan efek balik dari pasar dunia tersebut. Ada beberapa ha1 lagi yang dapat rnenjadi alasan bagi penelaahan perilaku produksi beras domestik secara disagregatif. Pertama, mengingat penggunaan pupuk di Jawa telah berlebihan maka wajar apabila pengurangan subsidi pupuk tidak akan berpengaruh nyata pada penurunan produksi beras dan pendapatan petani di wilayah itu seperti dibuktikan oleh Hartoyo (1994). Namun dampaknya di wilayah luar Jawa yang penggunaan pupuknya masih lebih rendah dari wlayah Jawa belum tentu sama. Kedua, pengembangan irigasi di Jawa pada masa rnendatang akan dihadapkan pada persoalan makin menipisnya ketersediaan air akibat meningkatnya perambahan lahan-lahan berlereng di DAS hulu untuk dijadikan areal pertanian atau untuk penggunaan lain (Abbas 1997), sehingga peningkatan investasi irigasi di Jawa diperkirakan sulit untuk menghasilkan benefit bersih yang memadai, bahkan akan menciptakan kerugian apabila konversi lahan tejadi pada lahan irigasi tersebut. Selain itu penggunaan air yang masih tersedia akan berkompetisi dengan sektor pertanian lain dan sektor-sektor non pertanian. Untuk meningkatkan pengembangan areal irigasi di luar Jawa perlu dikaji bagairnana dampak pengembangannya selama ini. Ketiga, lahan di Jawa saat ini rnempunyai biaya korbanan (opporfunity cost) yang tinggi jika akan diperluas untuk usahatani padi. Bahkan terjadinya konversi lahan sawah selama ini antara lain disebabkan oleh faktor tersebut. Dengan demikian penting untuk di
8
pelajari bagaimana peranan intensifikasi usahatani padi di Jawa dalam meningkatkan produksi beras yang dapat dibandingkan dengan darnpak pengembangannya di luar Jawa, rneskipun di luar Jawa rnasih besar peluang untuk rnelakukan ektensifikasi. Dan keernpat, pengurangan areal dan produksi beras di Jawa sebagai akibat peningkatan konversi lahan sawahnya tentu perlu dikornpensasi oleh wilayah luar Jawa untuki dapat mempertahankan laju peningkatan produksi beras nasional. Apabila perilaku produksi beras di luar Jawa di ketahui maka akan dapat dianalisis tingkat kernampuannya untuk rnernberikan kontribusi bagi peningkatan produksi pada masa rnendatang. Saat ini rnuncul beberapa isu yang menjadi perbincangan cukup serius dari para pakar ekonomi dalam berbagai media massa yang relevan dengan upaya rnempercepat peningkatan produksi beras dan kesejahteraan petani. Isu tersebut antara lain adalah saran untuk dihapusnya intervensi pernerintah dalam mensubsidi harga di tingkat konsumen, termasuk dalam pengadaan dan operasi pasar beras dengan alasan telah mengakibatkan tejadinya distorsi pasar yang rnerugikan petani. Sejauh ini belurn ditemukan pula studi yang menganalisis dampak penghapusan secara unilateral (sepihak) intervelqsi pemerintah tersebut terhadap prospek swasembada beras dan keragaan produksi beras masing-masing wilayah. Selanjutnya, terdapat pula perkembangan situasi ekstemal yang juga dinamis yaitu liberalisasi perdagangan dunk yang saat ini sudah mempengaruhi tatanan perekonomian seluruh negara di dunia terrnasuk Indonesia, sebagai konsekuensi dari kesepakatan GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) yang kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan WTO (World Trade Organization). Sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi kesepakatan tersebut, Indonesia harus bertindak konsekuen dalarn menerapkan mekanisrne impor dan ekspor berbagai komoditi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dua setiap negara harus aspek yang relevan sebagai implikasi liberalisasi perdagangan adalah (I) membuka din bagi pasar komoditi, jasa dan modal global, (2) setiap negara hams mengurangi proteksi dan subsidi bagi produsen maupun konsumen dalam negerinya (Kasryno, 1996).
9 Meskipun implikasi tersebut mengandung dimensi kebijakan mu/tjlateral (bersama), namun mulai saat ini perlu dipertimbangkan lndonesia dalam kaitannya dengan komoditas beras. Memang lndonesia masih mendapatkan pengecualian melakukan proteksi pasar beras domestik dengan melakukan impor beras minimum sebesar 70.000 ton per tahun jika dan hanya jika harga domestik lebih tinggi 90 % dari harga dunia, dan akan mengimpor dalam jumlah yang cukup agar harga domestik tidak lebih tinggi 180 % dari harga dunia (Dawe, 1997). Namun pada saat memasuki era perdagangan bebas nanti proteksi tidak dapat seketat itu lagi. Begitu pula beberapa intervensi kebijakan ekonomi beras lainnya yang bersifat protektifseperti subsidi masukan, harga dasar maupun intervensi harga eceran hams dihapus danlatau disesuaikan dengan prinsip-prinsip perdagangan bebas. Meskipun telah ada yang menelaah dampak liberalisasi perdagangan terhadap pasar beras dornestik lndonesia (Rosegrant et a1,1997), namun analisisnya tidak mempertimbangkan efek balik dari respon impor dan ekspor beras negara lain terhadap perilaku impor maupun ekspor beras lndonesia dengan diterapkannya liberalisasi perdagangan beras. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan produksi beras domestik beberapa tahun terakhir ini ternyata tidak dapat mempertahankan posisi swasembada, dan upaya mencapai swasembada beras di masa mendatang dihadapkan pada berbagai kondisi ekonomi dan non ekonomi domestik (intema!), dan kondisi ekonomi dunia (ekstemal) yang berubah secara dinamis. Sehubungan dengan itu yang rnenjadi pertanyaan adalah apakah produksi beras domestik di masa mendatang masih dapat diharapkan untuk mencapai dan mempertahankan swasernbada beras ? Lebih spesifik lagi, bagaimana prospek swasembada dan kontribusi produksi beras masing-masing wilayah apabila kondisi internal dan eksternal yang mempengaruhinya berubah menurut kecenderungannya saja (tanpa aitematif kebijakan) ? Apabila diterapkan altematif kebijakan yang tidak bertentangan dengan perkembangan ekonomi global yang mengarah pada liberalisasi perdagangan, bagaimana dampaknya tehadap masa depan swasembada dan kontribusi produksi beras masing-masing
10 wilayah tersebut ? Bagaimana pula dampak setiap altematif kebijakan terhadap kesejahteraan para pelaku ekonomi beras, apakah lebih baik (betfer-off), lebih buruk (worse-of), atau salah satu lebih baik sedangkan yang lainnya lebih buruk (trade-off) ?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji prospek swasembada beras pada masa mendatang dalam jangka pendek dan jangka panjang menuju era perdagangan bebas. Secara khusus tujuannya adalah untuk : 1. Mengevaluasidan meramalkan masa depan perkembangan penawaran beras dari setiap wilayah produksi di Indonesia, dan interaksinya dengan perkembangan penawaran dan permintaan beras dunia dalam mencapai swasembada beras pada kondisi t a n ~ aaltematif kebijakan unilateral (sepihak) dan mu/tjlateral (bersama dengan negara lain), maupun altematif non kebijakan. 2. Mengkaji dampak altematif kebijakan unilateral dan multilateral serta altematif non kebijakan terhadap perubahan produksi setiap wilayah daiam mencapai swasembada beras yang meliputi areal, produktivitas dan produksi padi, termasuk dampaknya terhadap perubahan pendapatan petani, marjin pemasaran, harga gabah dan harga beras di tiap wilayah, serta impor,'ekspor, pengadaan dan operasi pasar beras nasional.
3. Mengkaji dampak altematif kebijakan unilateral dan multilateral serta altematif non kebijakan terhadap perubahan distribusi pendapatan dan kesejahteraan pelaku ekonomi beras domestik yaitu petani di tiap wilayah, konsumen, lembaga pemasaran dan pemerintah.
1.4. Ruang Lingkup Penelitian Untuk mencapai tujuan penelitian di atas dibangun suatu model yang merefleksikan fenomena ekonomi dan keterkaitan antara penawaran dan permintaan beras Indonesia dalam konteks ekonomi terbuka dan disagregasi wilayah produksi pada sisi penawarannya. Lebih
11 spesifik lagi model tersebut menggambarkan perilaku pasar beras domestik dan dunia yang meliputi komponen-komponen (a) penawaran setiap wilayah produksi,(b) perrnintaan domestik, (c) harga gabah, marjin pemasaran dan harga beras domestik, (d) stok, pengadaan dan operasi pasar beras oleh Bulog, (e) impor dan ekspor beras Indonesia dan negara-negara pengimpor maupun pengekspor utama lainnya, dan (9 harga beras dunia. Karena itu meskipun penelitian ini merupakan kajian dengan ruang lingkup nasional, pada sisi penawaran dilakukan disagregasi wilayah produksi untuk mengetahui variasi penlaku produksi beras masing-masing wilayah.
Disagregasinya menjadi lima wilayah yaitu
wilayah Jawa dan Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan wilayah sisa Indonesia. Empat wilayah terakhir itu diharapkan dapat mengkompensasi kernungkinan penurunan kontribusi produksi beras Jawa dan Bali dalam memenuhi permintaan domestik. Hanya padi sawah yang dipelajari perilaku respon areal dan produksinya kamna jumlah produksi padi sawah rata-rata mencapai sekitar 94 % dari total produksi padi nasional (Biro Pusat Statistik, 1969-1996), sedangkan sisanya 6 % yang merupakan produksi padi ladang hanya ditambahkan kepada produksi padi sawah menghasilkan total produksi padi nasional. Dengan kata lain areal dan produksi padi sawah diperlakukan sebagai peubah endogen, sedangkan produksi padi ladang hanya berupa peubah eksogen. Peran penggunaan bibit unggul dan paket teknologi lainnya dalam persamaan produktivitas di setiap wilayah produksi didekati dengan proporsi areal intensifikasi. Selanjutnya, pengaruh faktor alam terhadap produksi secara eksplisit hanya diwakili oleh peubah curah hujan sedangkan faktor serangan hama dan penyakit tanaman maupun pengendaliannya tidak diakomodasikan dalam bentuk peubah penentu dalam model. Selain itu, tidak dilakukan pemisahan produksi padi menurut varietasnya karena tidak lengkapnya ketersediaan data penggunaan setiap varietas untuk setiap wilayah produksi dalam sen waktu yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Sisi permintaan beras untuk konsumsi hanya ditelaah secara agregat karena selain masalah ketersediaan data, penelitian ini juga tidak bertujuan untuk melihat karakteristiknya
12 di setiap wilayah. Selain itu faktor kelornpok rnasyarakat berdasarkan golongan pendapatan tidak dapat dirnasukkan sebagai salah satu peubah yang akan dilihat pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi beras karena datanya tidak tersedia menurut sen waktu yang dipen'ukan. Selanjutnya karena data beras yang sesungguhnya diminta untuk konsumsi, benih, pakan maupun yang susut juga tidak tersedia, maka dalam penelitian ini digunakan data ketersediaan beras untuk konsumsi (apparent consumption), dan nilai proporsi tertentu dari produksi untuk digunakan sebagai benih, yang susut dan tercecer seperti yang dilakukan dalam studi Amang (1984) dan Meyers et a1 (1987). Posisi petani sebagai produsen sekaligus konsumen beras baik secara bersamaan atau pada waktu yang berbeda (penjual pada saat panen dan pembeli pada saat paceklik) tidak dianalisis dalam penelitian ini, melainkan secara eksplisit hanya dipelajari perilaku petani sebagai produsen beras dan secara implisit perilakunya sebagai konsumen termasuk dalam perilaku konsumen secara keseluruhan yang dianalisis secara agregat nasional seperti telah dijelaskan di atas. Pada blok pasar beras dunia, selain Indonesia, hanya impor beras Malaysia, Iran, China, dan lndia saja yang dibuat persamaan perilakunya (sebagai peubah endogen) dalam model penelitian ini karena dalam statistik beras dunia yang diterbitkan International Rice Research Institute (1995) dapat dilihat bahwa Malaysia clan Iran termasuk gengimpor beras utama di dunia, sementara China dan lndia sebagai negara konsumen utama beras dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia mempunyai potensi impor yang dapat menimbulkan gejolak pada pasar beras dunia. lmpor beras negara Asia lainnya dan negara-negara Afrika, dengan pangsa imporyang cukup besar masing-masing lebih dari 20 %, dan negara-negara sisa dunia diperlakukan sebagai peubah eksogen. Pada sisi lain, ekspor beras Thailand, Pakistan, China, lndia dan Amerika Serikat juga dipelajari perilakunya melalui masing-masing persamaan struktural (peubah endogen), karena negara negara tersebut secara historis merupakan pengekspor beras utama. Ekspor beras dari negara lain yang mulai meningkat
13 beberapa tahun terakhir ini seperti Vietnam dan Australia, dan ekspor negara sisa dunia dimasukkan sebagai peubah eksogen. Dalam peneliian ini juga tidak dilakukan pemisahan komoditas beras beras menurut kualitas atau jenisnya, melainkan dipakai jumlah seluruh beras yang diproduksi, diminta dan diperdagangkan (impor dan ekspor) berdasarkan data yang tersedia. Berkaitan dengan itu unhrk harga-harga beras dan harga gabah di pasar domestik yang dipakai adalah harga-harga untuk kualitas medium dengan asumsi (1) beras berkualitas medium itu dikonsumsi masyarakat dalam proporsinya yang terbesar dibandingkan kualitas lainnya, dan (2) pewbahan harga beras kualitas medium itu menjadi indikator perubahan semua harga beras dan akan diikuti oleh perubahan harga beras kualitas lain dengan arah yang sama. Harga gabah dan harga beras yang dipelajari perilakunya adalah masing-masing harga yang berlaku di tingkat petani dan di tingkat konsumen secara nasional maupun di masing-masing wilayah, jadi merupakan harga yang ditentukan oleh pasar (market determinedprice). Untuk volume perdagangan beras dunia juga tidak dipisahkan menumt kualitas ataupun jenis berasnya, melainkan digunakan jumlah keseluruhan yang diimpor dan yang diekspor oleh masing-masing negara. Selain itu, untuk harga beras di pasar dunia digunakan harga beras Thailand kualitas kadar pecah (broken) 5 % di pelabuhan Bangkok secara FOB (free on board) karena harga beras tersebuti menjadi indikator harga beras dunia yang digunakan oleh behagai lembaga dunia seperti Bank Dunia (World Bank), IMF (Intemastional Monetary Fund), FA0 (Food and Agricultural Organization), dan IRRl (International Rice Research Institute), maupun oleh para peneliti pada berbagai studi perberasan terdahulu. Hal ini dapat dimaklumi mengingat volume ekspor beras Thailand hingga kini masih terbanyak di dunia. Diasumsikan bahwa perubahan harga beras kualitas tersebut berkorelasi tinggi pada arah yang sama dengan perubahan harga beras kualitas atau jenis lainnya baik yang diekspor Thailand maupun yang diekspor negara lain.
14 Faktor kelembagaan yang berperan dalam pencapaian swasembada beras tidak disertakan dalam model secara eksplisit, namun didekati dengan beberapa peubah tertentu. Peubah T digunakan untuk mempertimbangkanrekayasa yang dilakukan pemerintah, seperti arahan kepada petani untuk menanam padi, perbaikan sistem pengelolaan usahatani, dan penerapan program Bimas hingga Supra lnsus melalui kelompok tani dan koperasi unit desa, selain untuk menangkap perubahan teknologi. Kemudian, pada umumnya respon petani terhadap perubahan faktor ekonomi (harga) atau kebijakan pemerintah memerlukan tenggang waktu (lag) lebih dari satu musim akibat adanya hambatan kelembagaan (informasi, pengorganisasian dan lain-lain). Karena faktor kelembagaan itu tidak dapat diukur secara kuantitatif, maka peubah lag endogen yang mencerminkan penyesuaian struktural (strucfural adjustment) digunakan untuk menangkap pengaruh faktor kelembagaan tersebut, selain faktor teknis dan biologis. Bentuk rekayasa lain berupa target produksi beras dan keragaan penyuluhan, didekati dengan peubah lag produktivitas sebagai peubah penjelas dalam setiap persamaan respon areal padi sawah. Kemudian, analisis beberapa alternatif kebijakan domestik, kebijakan pemerintah negara pengekspor dan pengimpor beras utama dunia maupun faktor non kebijakan dilakukan dengan metode simulasi historis untuk mengevaluasi kondisi periode 1984-1996, dan simulasi peramalan untuk mengetahui prospek swasembada beras dalam jangka pendek (1997-2003) dan jangka panjang (1997-2018). Namun aspek kesejahteraan sebagai dampak dari alternatif kebijakan dan non kebijakan hanya dianalisis pada lingkup ekonomi domestik, yaitu terhadap petani, lembaga pemasaran, konsumen dan negara. Dampak terhadap irnpor dan ekspor beras negara lain dan harga dunia hanya dipeiajari persentase perubahannya, sebagaimana terhadap perubahan produksi, konsumsi, harga gabah, harga beras domestik, dan pendapatan dari usahatani padi sawah. Kondisi para petani yang merangkap sebagai konsumen tidak dicakup dalam aspek kesejahteraan yang dihitung dalam penelitian ini, karena diasumsikan petani menjual semua hasil produksi padi, dan membeli beras untuk keperluan konsumsi.