HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL KODE MATA KULIAH : BLOCK BOOK
PLANING GROUP : Dr. Putu Tuny Cakabawa, SH., MHum. I Nengah Suantra, SH., MH. I Dewa Gede Palguna, SH., MHum. I Gede Pasek Eka Wisanjaya, SH., MH. Made Maharta Yasa, SH., MH.. Anak Agung Sri Utari, SH., MH. Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH., MH Anak Agung Gede Duwira Hadi Santosa, SH., MHum. I Made Budi Arsika, SH., LLM. I Gede Putra Ariana, SH., MKn. I Gusti Ngurah Parikesit Widia Tedja, SH., MHum.
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2010
1. IDENTITAS MATA KULIAH Nama Mata Kuliah : Hukum Perjanjian Internasional Team Pengajar : Dr. Putu Tuny Cakabawa, SH., MHum. I Nengah Suantra, SH., MH. I Dewa Gede Palguna, SH., MHum. I Gede Pasek Eka Wisanjaya, SH., MH. Made Maharta Yasa, SH., MH.. Anak Agung Sri Utari, SH., MH. Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH., MH Anak Agung Gede Duwira Hadi Santosa, SH., MHum. I Made Budi Arsika, SH., LLM. I Gede Putra Ariana, SH., MKn. I Gusti Ngurah Parikesit Widia Tedja, SH., MHum. Status Mata Kuliah : Mata Kuliah Wajib Fakultas (Kurikulum 2009) Kode Mata Kuliah : WHI 3220 SKS : 2 2. MANFAAT MATA KULIAH Pada era globalisasi ini dimana batasbatas antarnegara menjadi semakin tidak jelas (borderless), muncul berbagai permasalahan Hukum Internasional, termasuk diantaranya mengenai Hukum Perjanjian Internasional. Mata kuliah ini dikonstruksikan untuk: secara teoritis, bahwa mahasiswa memperoleh pengetahuan mengenai asasasas dan konsepkonsep hukum tentang perjanjian internasional; dan secara praktis, mahasiswa diharapkan agar mampu menganalisis masalahmasalah yang berkaitan dengan pembentukan dan pelaksanaan perjanjian internasional. 3. DESKRIPSI MATA KULIAH Mata kuliah ini mengkaji baik aspek teoritis maupun praktis Hukum Perjanjian Internasional. Secara garis besar, materimateri tersaji yang dibahas adalah: a) Definisi, Sumber Hukum, dan Bahasa dalam Perjanjian Internasional, b) JenisJenis Perjanjian Internasional, c) Proses Pembentukan Perjanjian Internasional dan Mulai Berlakunya Perjanjian Internasional, d) Penataan, Penerapan, Penafsiran, Amandemen dan Modifikasi Perjanjian Internasional, e) Ketidaksahan, Pengakhiran dan Penundaan Bekerjanya suatu Perjanjian Internasional, dan f) Perjanjian Internasional dalam Perspektif Hukum Nasional dan Hukum Regional. 4. TUJUAN MATA KULIAH Melalui partisipasi pada mata kuliah Hukum Perjanjian Internasional ini mahasiswa diharapkan mampu memahami asasasas dan kaidahkaidah Hukum Perjanjian Internasional serta dapat menganalisa berbagai perkembangan dalam Hukum Perjanjian Internasional.
5. PERSYARATAN MENGIKUTI MATA KULIAH HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL Secara formal, mahasiswa yang akan menempuh mata kuliah ini harus telah lulus mata kuliah Hukum Internasional. Secara Substantif, mata kuliah ini mensyaratkan adanya pemahaman dan penguasaan mahasiswa terhadap materimateri dasar Hukum Internasional, diantaranya; konsep Kedaulatan (sovereignty), Sumber Hukum Internasional, Subyek Hukum Internasional, serta Hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional. 6. METODE DAN STRATEGI PROSES PEMBELAJARAN Metode Perkuliahan adalah Problem Based Learning (PBL) dimana pusat pembelajaran ada pada mahasiswa. Metode yang diterapkan adalah “belajar” (learning) bukan “mengajar” (teaching). Strategi pembelajaran : Kombinasi perkuliahan (6 kali pertemuan), tutorial (6 kali pertemuan, satu kali pertemuan untuk Ujian Tengah Semester, dan satu kali pertemuan untuk Ujian Akhir Semester (UAS). Pelaksanaan Perkuliahan dan Tutorial. Dalam Mata kuliah Hukum Perjanjian Internasional ini, perkuliahan direncanakan berlangsung selama 6 kali yaitu pertemuan ke 1,3,5,7,9, dan ke 11. Sedangkan Tutorial direncanakan berlangsung 6 kali pertemuan yaitu: pertemuan ke 2, 4,6,8, 10 dan ke 12. Strategi perkuliahan: Perkuliahan berkaitan dengan pokok bahasan akan dipaparkan dengan alat bantu media berupa papan tulis, power point slide, serta penyiapan bahan bacaan tertentu yang dapat diakses oleh mahasiswa. Sebelum mengikuti perkuliahan mahasiswa sudah mempersiapkan diri (self study) melakukan penelusuran bahan, membaca dan memahami pokok bahasan yang akan dikuliahkan sesuai dengan arahan (guidance) dalam Block Book. Adapun tekhnik perkuliahan adalah pemaparan materi, tanya jawab, dan diskusi (proses pembelajaran dua arah). Strategi Tutorial: · Mahasiswa mengerjakan tugastugas : (Discuccion Task, Study Task dan Problem Task) sebagai bagian dari self study (20 jam perminggu), kemudian berdiskusi di kelas tutorial dan presentasi power point. · Dalam 6 kali tutorial di kelas, mahasiswa diwajibkan: Secara individual menjawab seluruh pertanyaan yang tersedia di Blok Book sebelum pertemuan tutorial dilaksanakan. Secara sukarela (atau dalam kondisi tertentu tutor akan menunjuk secara acak), mahasiswa mempresentasikan jawabanjawaban tersebut di kelas tutorial.
Berdiskusi di kelas selama pelaksanaan tutorial dengan mengemukakan argumenargumen yang dikembangkan dalam jawaban individu mahasiswa terhadap pertanyaanpertanyaan di Blok Book. Secara individual menyusun sebuah paper dengan topiktopik yang akan disampaikan pada perkuliahan/tutorial. Paper ini akan digunakan sebagai komponen utama nilai tugas selain partisipasi dalam tanya jawab/diskusi selama perkuliahan/tutorial. Secara kolektif berpartisipasi pada Role Play. 7. UJIAN DAN PENILAIAN Ujian Ujian dilaksanakan dua kali dalam bentuk tertulis yaitu Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS). TugasTugas (TT) Lihat Strategi Tutorial. Penilaian Penilaian akhir dari proses pembelajaran ini berdasarkan rumus Nilai Akhir (NA) sesuai buku pedoman, yaitu:
NA:
Nilai A B+ B C+ C D+ D E
(UTS+TT) _________ + 2(UAS) 2 ___________________ 3
Range 80100 7079 6569 6064 5559 5054 4049 039
Di luar model penilaian di atas, mata kuliah ini juga memberikan Nilai Partisipasi Kelas (Kolektif) sebagai nilai tambahan untuk Nilai Akhir. Lihat Pertemuan ke6 Tutorial ke 3.
8. MATERI PERKULIAHAN (ORGANISASI PERKULIAHAN) I.
PENDAHULUAN
A. Pengertian B. Sumber Hukum Perjanjian Internasional A. Pemahaman terhadap Art 38 (1) of the Statute of the ICJ B. Vienna Convention on the Law of the Treaties, 1969 C. Vienna Convention on Succession of States in Respect of Treaties, 1978 D. Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organizations or between International Organizations, 1986 E. Pembanding dalam pengaturan nasional RI: UndangUndang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dan UndangUndang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. C. Bahasa dalam Perjanjian Internasional
II.
JENISJENIS PERJANJIAN INTERNASIONAL
A. Perjanjian Internasional dari segi jumlah pesertanya B. Perjanjian Internasional dari segi kaidah hukum yang dilahirkannya 1. Perjanjian khusus atau perjanjian tertutup (Treaty Contract) 2. Perjanjian umum atau terbuka (LawMaking Treaty) C. Perjanjian Internasional dari Segi Prosedur atau Tata Cara Pembentukannya 1. Perjanjian Internasional yang dibentuk melalui dua tahap 2. Perjanjian Internasional yang dibentuk melalui tiga tahap D. Perjanjian Internasional dari segi jangka waktu berlakunya
III.
A. B. C.
D. E.
PROSES PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DAN MULAI BERLAKUNYA PERJANJIAN INTERNASIONAL Kapasitas Subyek HI untuk membuat perjanjian Halhal teknis dalam pembentukan perjanjian (Full Powers, Credentials) Persetujuan untuk terikat dalam suatu Perjanjian Internasional (Penandatanganan, Pertukaran instrumen, Pengesahan/Ratifikasi, Penyetujuan/Approval, Aksesi) Caracara menyatakan persetujuan terikat oleh suatu Reservasi (Pensyaratan)
IV.
A. B. C. D. E.
PENATAAN, PENERAPAN, PENAFSIRAN, AMANDEMEN DAN MODIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL Pacta Sunt Servanda Asas Retroaktif Penafsiran Pihak ketiga dalam perjanjian Amandemen dan Modifikasi
V.
KETIDAKSAHAN, PENGAKHIRAN DAN PENUNDAAN BEKERJANYA SUATU PERJANJIAN INTERNASIONAL
A.
Ketidaksahan Perjanjian Internasional (Kekeliruan, Penipuan, Kecurangan, Paksaan, Jus Cogens) Pengakhiran Penundaan Pengawasan Ketidakmungkinan Pelaksanaan Clause Rebus Sic Stantibus AkibatAkibat dari ketidaksahihan, pengakhiran, dan penundaan bekerjanya perjanjian
B. C. D. E. F.
VI.
A. B. C. D.
PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL DAN HUKUM REGIONAL Pemahaman terhadap aliran Dualisme dan Monisme (Primat HI dan Primat HN) Makna Art 27 of the Vienna Convention 1969 Pengujian Hukum Nasional terhadap Eksistensi Hukum Internasional Pengujian Hukum Regional terhadap Eksistensi Hukum Internasional
9. BAHAN BACAAN Instrumen Internasional 1. Charter of Association of Southeast Asian Nations, 2007 2. Charter of United Nations 3. Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Cooperation among States in Accordance with the Charter of the United Nations (1970). 4. Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between ASEAN and China, 2002 5. ILC Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Act 2001, Part Two. 6. Statute of the International Court of Justice (ICJ) 7. Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969 8. Vienna Convention on Succession of States in Respect of Treaties, 1978 9. Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organizations or between International Organizations 1986
Instrumen Nasional 1. Surat Presiden Republik Indonesia Nomor : 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960 kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat GotongRoyong. 2. UndangUndang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. 3. UndangUndang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Case Law 1. Advisory Opinion of the ICJ concerning Reservation of Genocide Convention, 1951. 2. Decision of the European Court of Justice (ECJ) in Kadi/Yusuf Case 3. Supreme Court of the United States, Case No. 06–984, Jose Ernesto Medellin, Petitioner V. Texas, 2008 4. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 20/PUUV/2007 Perihal Pengujian UndangUndang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi Terhadap UndangUndang Dasar 1945. Buku 1. Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Edisi ke2,Cetakan ke1, PT. Alumni, Bandung, 2005. 2. Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Clarendon Press, Oxford, 1998. 3. I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 1, Cetakan I, Mandar Maju, Bandung, 2002. 4. , Hukum Perjanjian Internasional Bag: 2, Cetakan I, Mandar Maju, Bandung, 2005. 5. Malcolm D. Evans, International Law, Second Edition, Oxford University Press, 2006. 6. Malcolm N. Shaw, International Law, Fifth Edition, Cambridge University Press, Cambridge, 2003 7. Martin Dixon, Textbook on International Law, 6th Edition, Oxford University Press, New York, 2007. 8. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kedua, Cetakan ke1, PT. Alumni, Bandung, 2003. 9. Syahmin AK, Hukum Perjanjian Internasional (Menurut Konvensi Wina 1969), CV. Armico, Bandung, 1985.
10. PERSIAPAN PROSES PERKULIAHAN Sebelum perkuliahan dimulai mahasiswa diwajibkan sudah memiliki block book mata kuliah Perkembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan sudah mempersiapkan materi, sehingga perkuliahan dan tutorial dapat terlaksana dengan lancar
I.
PERTEMUAN KE1 Perkuliahan Ke1 :
Pendahuluan Pokok Bahasan : B. Pengertian C. Sumber Hukum Perjanjian Internasional 1. Pemahaman terhadap Art 38 (1) of the Statute of the ICJ 2. Vienna Convention on the Law of the Treaties, 1969 3. Vienna Convention on Succession of States in Respect of Treaties, 1978 4. Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organizations or between International Organizations, 1986 5. Pembanding dalam pengaturan nasional RI: UndangUndang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dan UndangUndang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. D. Bahasa dalam Perjanjian Internasional
Literatur: 1. The Statute of the International Court of Justice (ICJ) 2. Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969 3. Vienna Convention on Succession of States in Respect of Treaties, 1978 4. Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organizations or between International Organizations 1986 5. UndangUndang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional 6. UndangUndang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. 7. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 20/PUUV/2007 Perihal Pengujian UndangUndang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi Terhadap UndangUndang Dasar 1945. 8. Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Edisi ke2,Cetakan ke1, PT. Alumni, Bandung, 2005, h. 8396. 9. I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 1, Cetakan I, Mandar Maju, Bandung, 2002, h. 4445. 10. Martin Dixon, Textbook on International Law, 6th Edition, Oxford University Press, New York, 2007, p. 5386
II. PERTEMUAN KE2 Tutorial Ke1 : Discussion Task 1. Diskusikan perbedaan antara Hukum Perjanjian Internasional dan Hukum Kontrak Internasional. 2. Diskusikan Perbedaan sistematika Konvensi Wina 1969 dan UU 24 tahun 2000. Tuangkan hasil diskusi tersebut ke dalam matriks. Problem Task 3. Apakah Memorandum of Understanding (MoU) dapat dikategorikan sebagai suatu perjanjian Internasional? Literatur: 1. 2. 3. 4.
Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969 UndangUndang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. UndangUndang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 20/PUUV/2007 Perihal Pengujian UndangUndang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi Terhadap UndangUndang Dasar 1945.
III. PERTEMUAN KE3 Perkuliahan Ke2 :
BentukBentuk Dan JenisJenis Perjanjian Internasional Pokok Bahasan: A. BentukBentuk Perjanjian Internasional 1. Perjanjian Internasional dalam bentuk tertulis 2. Perjanjian Internasional dalam bentuk tidak tertulis B. Perjanjian Internasional dari segi jumlah pesertanya C. Perjanjian Internasional dari segi kaidah hukum yang dilahirkannya 1. Perjanjian khusus atau perjanjian tertutup (Treaty Contract) 2. Perjanjian umum atau terbuka (LawMaking Treaty) D. Perjanjian Internasional dari Segi Prosedur atau Tata Cara Pembentukannya 3. Perjanjian Internasional yang dibentuk melalui dua tahap 4. Perjanjian Internasional yang dibentuk melalui tiga tahap E. Perjanjian Internasional dari segi jangka waktu berlakunya
Literatur: 1. I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 1, Cetakan I, Mandar Maju, Bandung, 2002, h. 3950. 2. Syahmin AK, Hukum Perjanjian Internasional (Menurut Konvensi Wina 1969), CV. Armico, Bandung, 1985, h. 6982.
IV. PERTEMUAN KE4 Tutorial Ke2: FTA CHINAASEAN DISEPAKATI Berdasarkan kesamaan itikad untuk memperluas jangkauan kerjasama ekonomi, Negaranegara ASEAN dan China mengadakan pertemuan tingkat Menteri diselenggarakan di Pnomh Phen, Kamboja. Pertemuan pada tahun 2002 tersebut melahirkan Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between ASEANChina. Mereka sepakat untuk menurunkan tariff perdagangan untuk beberapa sector hingga 0%. Pertanian, tekstil, teknologi informasi, pengembangan sumber daya manusia, dan investasi menjadi substansi dari persetujuan ini. Mereka sepakat untuk menerapkan beberapa ketentuan berbeda di negaranegara ASEAN. Problem Task 1. Dari segi kaidah hukum yang dilahirkan termasuk ke dalam apakah FTA China ASEAN tersebut? 2. Dari segi prosedur atau tatacara pembentukannya, termasuk ke dalam apakah FTA ChinaASEAN tersebut? 3. Sebutkan jangka waktu berlakunya FTA ChinaASEAN tersebut? Literatur: 1. The Charter of Association of Southeast Asian Nations, 2007. 2. Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between ASEAN and China, 2002.
V.
PERTEMUAN KE5 Perkuliahan ke3 :
Proses Pembentukan Perjanjian Internasional Dan Mulai Berlakunya Perjanjian Internasional Pokok Bahasan: A. Kapasitas Subyek HI untuk membuat perjanjian B. Halhal Teknis dalam Pembentukan Perjanjian (Full Powers, Credentials) C. Persetujuan Untuk Terikat Dalam Suatu Perjanjian Internasional (Penandatanganan, Pertukaran Instrumen, Pengesahan/Ratifikasi, Penyetujuan/Approval, Aksesi) D. Caracara Menyatakan Persetujuan untuk Terikat dalam suatu Perjanjian E. Reservasi (Pensyaratan) Literatur: 1. Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969, Part II 2. UndangUndang 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Bab II & III. 3. Surat Presiden Republik Indonesia Nomor : 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960 kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat GotongRoyong. 4. Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Edisi ke2,Cetakan ke1, PT. Alumni, Bandung, 2005, h. 100135. 5. I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 1, Cetakan I, Mandar Maju, Bandung, 2002, h. 1826, h. 93210. 6. Malcolm N. Shaw, International Law, Fifth Edition, Cambridge University Press, Cambridge, 2003, p. 821831. 7. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kedua, Cetakan ke1, PT. Alumni, Bandung, 2003, h. 4554. 8. Advisory Opinion of the ICJ concerning Reservation of Genocide Convention, 1951.
VI. PERTEMUAN KE6 Tutorial ke3
:
Role Play DPR mempertanyakan Perjanjian RI dan Amerika Serikat. Pemerintah RI (eksekutif) memiliki rencana untuk mengadakan latihan militer bersama di wilayah darat Indonesia dengan pihak militer Amerika Serikat (AS) dalam rangka meningkatkan kemampuan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Untuk mematangkan konsep ini, pemerintah bersurat ke komisi I DPR RI untuk mendengar berbagai saran dan masukan. Dalam rapat yang digelar di ruang Komisi I DPR RI yang juga dihadiri oleh berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), diputuskan bahwa kerja sama tersebut dipandang perlu, sehingga direkomendasikan untuk menjajagi kerjasama bilateral dengan AS. Pemerintah RI kemudian membentuk sebuah delegasi yang terdiri dari Wakil Menteri Pertahanan (Wakil Menhan), Direktur Jenderal Kerjasama Amerika Utara dan Eropa Deplu, Kepala Staf Umum TNI (Kasum TNI), Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat (Wakasad) Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk AS di Washington (Dubes RI untuk AS), Atase Pertahanan (Athan) KBRI Washington, serta Kepala Bidang Politik (Kabid Politik) KBRI Washington. Mereka ditugaskan untuk menghadiri, merundingkan, dan menerima hasil akhir daripada kerjasama bilateral tersebut. Seluruh pejabat tersebut dilengkapi Surat Kepercayaan (credentials), sementara khusus bagi Wakil Menteri Pertahanan yang ditunjuk sebagai Ketua Delegasi ditambahkan dengan Surat Kuasa (Full Powers). Melalui fasilitasi oleh Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk AS di Washington dan Atase Pertahanan KBRI Washington, proses perundingan bilateral antara delegasi RI dan AS yang dipimpin langsung oleh Menteri Pertahanan AS kemudian berlangsung di Pentagon selama satu minggu. Dalam perundingan tersbeut akhirnya disepakati adanya suatu kerjasama latihan militer bersama antara kedua negara dengan memfokuskan pada latihan perang gerilya. Secara teknis, latihan militer akan mengambil tempat di Aceh, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Papua dalam kurun waktu 2 tahun penuh. Untuk masingmasing wilayah tersebut, dari pihak militer Indonesia akan dilibatkan masingmasing 1 batalyon infantri (raiders), sementara dari pihak AS akan dilibatkan masingmasing 3 kompi infanftry US Army. Ketika perjanjian ini hendak diratifikasi melalui undangundang, terjadi perdebatan serius di Komisi I DPR RI. Hampir seluruh anggota komisi tersebut menolak untuk meratifikasi perjanjian tersebut dengan alasan latihan militer tersebut mengancam kedaulatan teritorial RI. Salah satu alasan utama adalah terdapatnya klausul yang memungkinkan perluasan kerjasama hingga perlindungan asetaset ekonomi AS di Indonesia, namun harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Berbagai LSM juga melayangkan kritik tajam. Mereka berpandangan bahwa terdapat dua hidden
agenda di balik perjanjian kerjasama ini Pertama, mereka mencurigai AS berupaya mencari titik lemah strategi perang gerilya. Kedua, mereka mengkhawatirkan AS menyiapkan strategi pengamanan terhadap perusahanperusahaan AS di Indonesia khususnya yang bergerak di bidang eksplorasi dan eksploitasi mineral. Kini Pemerintah dalam kondisi dilema. Mereka telah berupaya meyakinkan DPR dengan menjamin bahwa kerja sama tersebut tetap dalam koridor kepentingan nasional dan sama sekali tidak akan membuka ruang bagi intervensi AS terhadap Indonesia. Namun ternyata berbagai argumen yang dilontarkan oleh para anggota DPR dan LSM melalui berbagai media ternyata lebih sukses mengambil opini publik. Kini, proses ratifikasi tersebut ternyata menggulirkan bola panas dalam perpolitikan domestik Indonesia.
Setting Role Play Peran yang dibutuhkan: Presiden RI (1), Wakil Presiden RI (1), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (1), Menteri Luar Negeri (1), Menteri Pertahanan (1), Wakil Menteri Pertahanan, Direktur Jenderal Kerjasama Amerika Utara dan Eropa Deplu (1), Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk AS di Washington (Dubes RI untuk AS), Atase Pertahanan (Athan) KBRI Washington, Kepala Bidang Politik (Kabid Politik) KBRI Washington, Panglima TNI (1), Kepala Staf Umum TNI (1), Kepala Staf TNI AD (1), Wakil Kepala Staf TNI AD (1), Ketua DPR RI (1) Ketua Komisi I DPR RI (1), LSM (3), Menteri Pertahanan AS, Kepala Staf Gabungan (Militer) AS (1), Duta Besar AS Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk RI di Jakarta (Dubes AS untuk RI) 1. Peran tambahan: Anggota DPR RI, Anggota Komisi I DPR RI, Pers, mahasiswa, Ormas. Simulasi
Bagian I : Proses Persiapan Pembuatan Perjanjian Internasional Tahap 1 : Rapat Kabinet terbatas Tempat : Istana Negara Peserta : Presiden RI, Wakil Presiden RI, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Panglima TNI, Kepala Staf TNI AD. Agenda : 1. Pembahasan usulan kerjasama militer bilateral RIAS. 2. Rencana bersurat ke Komisi I DPR RI. Tahap 2 : Rapat Koordinasi Pemerintah dan Komisi I DPR Tempat : Ruang Sidang Komisi I DPR RI Peserta : Ketua Komisi I DPR RI, anggota Komisi I DPR RI, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Panglima TNI, Kepala Staf TNI AD, beberapa LSM. Agenda : 1. Penyampaian rencana kerjasama militer bilateral Pemerintah RIAS
2. Dengar pendapat, saran, dan masukan dari anggota Komisi I DPR RI dan LSM Tahap 3: Rapat Koordinasi MenteriMenteri Bidang Polhukkam Tempat : Kantor Menteri Koordinator Bidang Polhukkam Peserta : Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Panglima TNI, Kepala Staf TNI AD, Wakil Menteri Pertahanan (Wakil Menhan), Direktur Jenderal Kerjasama Amerika Utara dan Eropa Deplu, Kepala Staf Umum TNI (Kasum TNI) serta Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat (Wakasad). Agenda : 1. Pembahasan pendapat, saran, dan masukan pada rapat Koordinasi Pemerintah dan Komisi I DPR RI. 2. Penyampaian hasil Rapat Koordinasi MenteriMenteri Bidang Polhukkam oleh Menlu kepada Duta Besar AS Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk RI di Jakarta. 3. Koordinasi Menteri Luar Negeri dengan Duta Besar RI Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk AS di Washington (via telepon) mengenai lobby agenda dan tempat perundingan kepada Pemerintah AS. 4. Pembentukan Delegasi RI Situasi: AS ternyata menyambut baik usulan Pemerintah RI. Kemudian disepakati bersama bahwa proses perundingan akan dilakukan di Pentagon, AS. Delegasi kemudian berangkat menuju Washington AS. Tahap 4: Rapat koordinasi teknis Persiapan Perundingan Tempat : Kantor KBRI Washington Peserta : Wakil Menhan, Direktur Jenderal Kerjasama Amerika Utara dan Eropa Deplu, Kasum TNI, Wakasad, Dubes RI untuk AS, Athan KBRI Washington, Kabid Politik KBRI Washington. Agenda : 1. Penyampaian perkembangan koordinasi teknis antara KBRI Washington dan Dephan AS oleh Dubes RI untuk AS. 2. Penyampaian hasilhasil kesepakatan rapat koordinasi di Indonesia oleh Ketua Delegasi 3. Diskusi penyamaan persepsi 4. Diskusi strategi diplomasi dalam proses perundingan.
Bagian II: Proses Perundingan Bilateral RIAS Tahap 1: Perundingan, Penandatanganan, dan Penyampaian Hasil ke Publik Tempat : Pentagon, AS Peserta : Wakil Menhan, Direktur Jenderal Kerjasama Amerika Utara dan Eropa Deplu, Kasum TNI, Wakasad, Dubes RI untuk AS, Athan KBRI Washington, Kabid Politik KBRI Washington, Menhan AS, KasGab Militer AS, jajaran staf Dephan AS. Agenda : 1. Perundingan RIAS 2. Penandatanganan Perjanjian Bilateral
3. Konferensi Pers Bersama Catatan : Kalau memungkinkan proses perundingan dilakukan dalam Bahasa Inggris.
Bagian III: Proses Ratifikasi Tahap 1: Rapat Penyampaian hasil Perjanjian RIAS Tempat : Istana Negara Peserta : Presiden RI, Wakil Presiden RI, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Panglima TNI, Kepala Staf TNI AD, Wakil Menhan, Direktur Jenderal Kerjasama Amerika Utara dan Eropa Deplu, Kasum TNI, Wakasad. Agenda : 1. Penyampaian hasil Perjanjian RIAS 2. Tanggapan Presiden dan jajaran mengenai hasil perjanjian 3. Pengiriman surat pembahasan ratifikasi perjanjian kepada Ketua DPR RI Situasi: Ketua DPR RI kemudian mendisposisi surat Presiden RI kepada Komisi I untuk dibahas. Tahap 2: Rapat Pembahasan Komisi I Tempat : Ruang sidang Komisi I Peserta : Ketua Komisi I beserta wakilwakil serta seluruh anggota Komisi I Agenda : Pembahasan Hasil Perjanjian kerjasama Bilateral RIAS oleh seluruh anggota Komisi I Situasi: Dalam rapat tersebut hampir seluruh anggota Komisi I menolak untuk meratifikasi. Selanjutnya mereka mengundang Pemerintah untuk menyampaikan keterangannya atas seluruh proses perundingan hingga dicapainya hasil perjanjian. Tahap 3: Rapat Penyampaian Keterangan Pemerintah kepada Komisi I Tempat : Ruang sidang Komisi I Peserta : Ketua Komisi I beserta wakilwakil serta seluruh anggota Komisi I, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Panglima TNI, Kepala Staf TNI AD, Wakil Menhan, Direktur Jenderal Kerjasama Amerika Utara dan Eropa Deplu, Kasum TNI, Wakasad. Agenda : 1. Penyampaian keterangan pemerintah atas hasil yang dicapai 2. Penyampaian Pendapat Komisi I terhadap keterangan Pemerintah Situasi: Komisi I menyatakan tidak puas terhadap keterangan Pemerintah. Hampir seluruh anggota komisi tersebut menolak untuk meratifikasi perjanjian tersebut. Komisi I kemudian memutuskan untuk melakukan rapat dengar pendapat dari civil society.
Tahap 4: Rapat dengar Pendapat kepada Komisi I Tempat : Ruang sidang Komisi I Peserta : Komisi I beserta wakilwakil serta seluruh anggota Komisi I dan Civil Society (LSM, Mahasiswa, Ormas) Agenda : Dengar pendapat civil society tentang hasil perjanjian RIAS Situasi: Civil society memiliki pendapat yang selaras dengan Komisi I. Mereka menolak dengan tegas perjanjian tersebut diratifikasi. Kini proses Ratifikasi tidak menemui kejelasan yang berarti. Komisi I tidak bersedia untuk membawa proses ini ke sidang Pleno/Paripurna DPR sebelum ada persetujuan yang didukung sekurang kurangnya 50+1 dari anggota Komisi I. Komunikasi antara Pemerintah dan DPR RI dalam proses ini pun terancam dead lock.
Halhal teknis yang perlu disusun dan dipersiapkan secara berkelompok: 1. Credentials 2. Full Powers 3. Agreement between the Republic of Indonesia and the Republic of the United States of America concerning Armed Force Joint Training (2010)
Penyelenggaraan dan Penilaian: 1. Role Play akan diselenggarakan seseuai dengan hari/tanggal tutorial dengan bertempat di ruang Moot Court/Video Conference FH UNUD, Jl. Bali, Denpasar. 2. Waktu pelaksanaan total paling lama 60 menit . 3. Role Play akan diobservasi dan dinilai langsung oleh pengajar Hukum Perjanjian Internasional yang bersangkutan 4. Nilai yang diambil dari Role Play akan dijadikan Nilai Partisipasi Kelas (kolektif) yang akan digunakan sebagai nilai tambahan pada saat pemberian Nilai Akhir seluruh mahasiswa. Nilai Partisipasi Kelas maksimal 1 (satu). Literatur: 1. Vienna Convention on the Law of the Treaties, 1969 2. UndangUndang 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
VII. PERTEMUAN KE7 Perkuliahan Ke4 :
Penataan, Penerapan, Penafsiran, Amandemen Dan Modifikasi Perjanjian Internasional Pokok Bahasan: B. Pacta Sunt Servanda C. Asas Retroaktif D. Penafsiran E. Pihak ketiga dalam perjanjian F. Amandemen dan Modifikasi Literatur: 1. Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969, Part III and IV. 2. UndangUndang 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Bab IV. 3. I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 2, Cetakan I, Mandar Maju, Bandung, 2005, h. 261368. 4. Malcolm N. Shaw, International Law, Fifth Edition, Cambridge University Press, Cambridge, 2003, p. 832844.
VIII. PERTEMUAN KE8 Tutorial ke4: Pengusaha Indonesia Protes Pemberlakuan Fta AseanChina FTA AseanChina yang mulai berlaku 1 Januari 2010 menuai protes dari kalangan pengusaha Indonesia. Mereka mengkhawatirkan keberlangsungan usahanya akibat bebasnya arus barang yang masuk utamanya produk China ke dalam pasar Indonesia. Masih tingginya biaya produksi ditambah rendahnya kualitas sumber daya manusia menjadi alasan utama rendahnya daya saing produk Indonesia. Para pengusaha menuntut pemerintah untuk menunda pemberlakuan FTA. Pemerintah melalui Menteri Perdagangan Mari E. Pangestu menganggap permintaan tersebut sulit untuk dipenuhi, berdasarkan asasasas perjanjian internasional yang ada. Pertanyaan: 1. Solusi apakah yang dapat ditempuh untuk mengatasi permasalahan tersebut bagi pemerintah dan masyarakat?
Literatur: 1. The Charter of Association of Southeast Asian Nations, 2007 2. Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between ASEAN and China, 2002
IX. PERTEMUAN KE9 Perkuliahan Ke 5:
Ketidaksahan, Pengakhiran Dan Penundaan Bekerjanya Suatu Perjanjian Internasional Pokok Bahasan: A. Ketidaksahan Perjanjian Internasional (Kekeliruan, Penipuan, Kecurangan, Paksaan, Jus Cogens) B. Pengakhiran C. Penundaan D. Pengawasan Ketidakmungkinan Pelaksanaan E. Clause Rebus Sic Stantibus F. AkibatAkibat dari ketidaksahihan, pengakhiran, dan penundaan bekerjanya perjanjian Literatur: 1. Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969, Part V. 2. UndangUndang 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Bab VI. 3. Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Edisi ke2,Cetakan ke1, PT. Alumni, Bandung, h.149162. 4. I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 2, Cetakan I, Mandar Maju, Bandung, 2005, h.393487. 5. Malcolm N. Shaw, International Law, Fifth Edition, Cambridge University Press, Cambridge, 2003, p. 845858.
X. PERTEMUAN KE10 Tutorial ke5: Eksistensi Perjanjian Internasional Akibat Pemutusan Hubungan Diplomatik. Kasus Imaginer: “Status Quo Sengketa Diplomatik RIAustralia” Indonesia dan Australia berada dalam hubungan diplomatik yang kurang harmonis. Tindakan pemerintah Australia yang memberikan visa sementara bagi 5 orang WNI yang dianggap melakukan perbuatan makar terhadap negara Indonesia telah seolah menggores kembali luka lama permasalah diplomatik kedua negara. Sebagai reaksi, Pemerintah RI kemudian mempersona non gratakan atase pertahanan Kedubes Australia di Jakarta. Dua hari kemudian, tindakan Pemerintah RI ini dibalas serupa terhadap atase pertahanan Kedubes RI di Canberra. Tanpa berselang lama, Presiden RI kemudian mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Australia. Lebih jauh, Presiden juga menyatakan secara unilateral bahwa segala perjanjian bilateral antara RI dan Australia dinyatakan berakhir. Memperjelas pernyataan Presiden, juru bicara Presiden menyatakan bahwa pemerintah RI tidak mengakui lagi seluruh hak dan kewajban yang ditimbulkan dari perjanjian bilateral antara RI dan Australia. Menteri luar Negeri RI secara teknis kemudian memulangkan Duta Besar RI Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Australia di Canberra beserta seluruh jajaran pejabat diplomatik. Tiga hari setelah pengumuman tersebut, terjadi kerusuhan massal di beberapa kota di Indonesia. Massa menghancurkan bank serta perusahaanperusahaan yang dianggap terkait dengan Australia. Pemerintah Australia dalam situasi dilematis. Di satu sisi, dengan pertimbangan prinsip resiprositas dalam hubungan diplomatik mereka hendak memulangkan kembali seluruh jajaran staf diplomatiknya di Jakarta. Namun di sisi lain, mereka memiliki tanggung jawab untuk melindungi kepentingan nasionalnya di Indonesia. Perdana Menteri Australia kemudian menyampaikan beberapa hal penting: pertama, menyerukan travel warning kepada seluruh warga negara Australia ke Indonesia; kedua, meminta pemerintah Indonesia untuk menjamin perlindungan terhadap kepentingan Australia di Indonesia; ketiga, menghormati tindakan unilateral pemerintah Indonesia untuk melakukan pemutusan hubungan diplomatik dengan Australia berdasarkan atas penghormatan atas Hak Legasi Aktif Indonesia. Sebagai reaksi, Pemerintah Australia akan melakukan hal yang sama, namun akan dilakukan secara bertahap guna melaksanakan fungsi perlindungan kepentingan Australia di Indonesia hingga situasi keamanan di Indonesia lebih kondusif; keempat, menolak dengan tegas pernyataan unilateral Pemerintah RI terhadap pengakhiran segala perjanjian bilateral antara RI dan Australia dinyatakan dan pernyataan Indonesia yang tidak mengakui lagi seluruh hak dan kewajban yang ditimbulkan dari perjanjian perjanjian bilateral tersebut. Pemerintah RI ternyata tidak terlalu menanggapi pernyataan Pemerintah Australia. Seusai rapat kabinet terbatas, Menteri Hukum dan HAM menyatakan bahwa sikap
pemerintah RI masih akan tetap sebagaimana pernyataan Presiden sebelumnya, sampai Pemerintah Australia memulangkan 5 orang WNI tersebut untuk dapat dikenakan proses hukum di Indonesia. Tidak hanya pihak eksekutif, pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI juga menyatakan bahwa berdasarkan hasil rapat antara pimpinan DPR RI beserta seluruh anggota Komisi I DPR RI telah diputuskan adanya peninjauan ulang terhadap seluruh Perjanjian Bilateral RI yang disahkan melalui undangundang dalam waktu dekat. Problem Task: 1. Apakah tindakan pemerintah RI yang mengakhiri secara sepihak seluruh perjanjian bilateral antara RI dan Australia sesuai dengan kaidah Hukum Perjanjian Internasional? 2. Upaya (diplomasi dan hukum) apa yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Australia dalam kasus ini?
Literatur: 1. Vienna Convention on the Law of the Treaties, 1969, Part V and Part VI 2. I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 2, Cetakan I, Mandar Maju, Bandung, 2005, h. 473478.
XI. PERTEMUAN KE11 Perkuliahan ke6:
Perjanjian Internasional Dalam Perspektif Hukum Nasional Dan Hukum Regional Pokok Bahasan A. Pemahaman terhadap aliran Dualisme dan Monisme (Primat HI dan Primat HN) B. Makna Art 27 of the Vienna Convention 1969 C. Pengujian Hukum Nasional terhadap Eksistensi Perjanjian Internasional D. Pengujian Hukum Regional terhadap Eksistensi Perjanjian Internasional Literatur: 1. Charter of the United Nations 2. Vienna Convention on the Law of the Treaties, 1969 Part III. 3. ILC Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Act 2001, Part Two. 4. Decision of the European Court of Justice (ECJ) in Kadi/Yusuf Case. 5. Supreme Court of the United States, Case No. 06–984, Jose Ernesto Medellin, Petitioner V. Texas, 2008. 2. Eileen Denza, The Relationship between International and National Law dalam Malcolm D. Evans, International Law, Second Edition, Oxford University Press, 2006, h. 423448. 3. Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Clarendon Press, Oxford, 1998, p. 3156. 4. I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 2, Cetakan I, Mandar Maju, Bandung, 2005, h.275276. 5. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung, Edisi Kedua, Cetakan ke1, 2003, h. 5594.
XII. PERTEMUAN KE12 Tutorial ke6: Mahkamah Agung Afghanistan Uji UN Charter Kasus Imaginer Afghanistan merupakan negara yang menjadi home base gerakan terorisme. Gerakan ini dituduh melancarkan aksi tidak hanya di internal Afghanistan, namun juga di Pakistan, India, dan bahkan Amerika Serikat. Pihak kepolisian dan militer Afghanistan telah kewalahan untuk mngatasi aksi mereka. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, jumlah pengikut gerakan ini mereka semakin meningkat. Melalui rapat kabinet terbatas, Pemerintah Afghanistan, yang dipimpin oleh penguasa sipil demokratik, memutuskan untuk mengundang keterlibatan masyarakat internasional untuk mengatasi kasus ini. Presiden Afghanistan kemudian bersurat kepada Sekretaris Jendral Perserikatan BangsaBangsa (Sekjen PBB) untuk memohon bantuan PBB terlibat aktif di Afghanistan. Sekjen PBB kemudian meneruskan surat tersebut ke Sidang Umum (SU) PBB untuk dibahas oleh semua negara anggota PBB. Hasilnya, SU PBB memberikan otoritas kepada Dewan Keamanan (DK) PBB untuk mengambil langkahlangkah yang diperlukan seseuai dengan Chapter VII of the UN Charter. Dalam perdebatan yang sangat alot, DK PBB kemudian mengeluarkan sebuah resolusi pengiriman pasukan keamanan multinasional ke Afghanistan. Langkah DK PBB ini pada awalnya disambut dengan baik. Pengiriman pasukan kemananan sejumlah 50.000 personil di tahun pertama dapat mendukung efektivitas pergerakan aparat kepolisian dan militer Afghanistas untuk menggempur sarangsarang teroris hingga ke pelosokpelosok wilayah Afganistan. Namun ketika jumlah pasukan keamanan ini ditingkatkan hingga dua kali lipat pada tahun berikutnya, muncul permasalahan karena jumlah ini lebih besar daripada jumlah keseluruhan personil kepolisian dan militer Afghanistan. Pihak kepolisian dan militer kemudian menyampaikan keberatannya kepada pihak pemerintah (eksekutif) Afghanistan dengan berargumen bahwa PBB sebaiknya memperkuat personil kepolisian dan militer Afghanistan dengan memberikan pelatihanpelatihan dan pendampingan daripada penambahan jumlah pasukan keamanan yang berpotensi untuk terjadinya intervensi terhadap kedaulatan teritorial Afghanistan. Namun pemerintah Afghanistan tetap bersikukuh dengan keputusannya untuk melanjutkan keterlibatan PBB dengan pertimbangan gerakan terorisme masih belum dapat dituntaskan. Ketika isu kudeta mulai terdengar, pihak kepolisian dan militer Afghanistan mengajukan permohonan pendapat hukum Mahkamah Agung (MA) Afghanistan tentang permasalahan ini.
Secara mengejutkan MA afghanistan memberikan pendapat hukum sebagai berikut: 1. Keputusan pemerintah untuk mengundang keterlibatan masyarakat internasional untuk mengatasi kasus ini dapat dibenarkan berdasarkan hukum nasional Afghanistan sepanjang masih sesuai dengan kepentingan nasional terutama di bidang keamanan dan pertahanan. 2. Pengiriman pasukan keamanan PBB dalam jumlah yang lebih besar daripada jumlah total personil kepolisian dan militer Afghanistan dapat dipandang sebagai upaya yang tidak menghormati kedaulatan teritorial Afghanistan. Dalam hal ini, PBB tidak konsisten menerapkan UN Charter. Di satu sisi, misi ini didasarkan pada Chapter VII UN Charter, sementara di sisi lain, pelaksanaan misi ini bertentangan dengan Art 1 (1) dan Art 2 (4) UN Charter serta bertentangan dengan prinsip non intervention sebgaimana tertuang dalam Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Cooperation among States in Accordance with the Charter of the United Nations (1970).
Problem Task 1. Apakah Mahkamah Agung Afghanistan memiliki kompetensi untuk menguji UN Charter dan Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Cooperation among States in Accordance with the Charter of the United Nations (1970)? 2. Apakah Pendapat Hukum Mahkamah Agung Afghanistan tersebut mengikat bagi pemerintah Afganistan dan sekaligus mengikat bagi PBB? 3. Upaya apa yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Afghanistan?
Literatur: 1. 2.
The Charter of the United Nations The Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Cooperation among States in Accordance with the Charter of the United Nations (1970).