HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI IBU, TINGKAT PENGETAHUAN GIZI IBU, POLA KONSUMSI PANGAN, DAN AKTIVITAS FISIK DENGAN STATUS GIZI ANAK DOWN SYNDROME
LUSI ANINDIA RAHMAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Hubungan antara Persepsi Ibu, Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu, Pola Konsumsi Pangan, dan Aktivitas Fisik dengan Status Gizi Anak Down Syndrome adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, November 2016 Lusi Anindia Rahmawati NIM I151130301
RINGKASAN LUSI ANINDIA RAHMAWATI. Hubungan antara Persepsi Ibu, Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu, Pola Konsumsi Pangan, dan Aktivitas Fisik dengan Status Gizi Anak Down Syndrome. Dibimbing oleh SRI ANNA MARLIYATI dan IKEU EKAYANTI. Down Syndrome merupakan kondisi kelainan genetik yang terjadi pada masa pertumbuhan janin (pada kromosom 21/trisomi 21) dengan gejala yang sangat bervariasi. Gejala yang muncul umumnya berupa keterbelakangan mental serta bentuk muka mongoloid. Masalah gizi yang sering terjadi pada anak Down Syndrome adalah kegemukan. Masalah gizi ini harus dicegah agar tidak semakin memperburuk kondisi kesehatan dan membatasi kesempatan mereka untuk berpartisipasi di dalam berbagai kegiatan yang penting untuk perkembangan fisik dan emosionalnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara persepsi ibu terhadap Down Syndrome, tingkat pengetahuan gizi ibu, pola konsumsi pangan, dan aktivitas fisik dengan status gizi anak Down Syndrome. Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1) Mengidentifikasi karakteristik umum anak Down Syndrome beserta keluarganya, 2) Menganalisis persepsi ibu terhadap Down Syndrome dan pengetahuan gizi ibu, 3) Menganalisis pola konsumsi pangan, aktivitas fisik, dan status gizi anak Down Syndrome, 4) Menganalisis hubungan antara persepsi ibu terhadap Down Syndrome dan tingkat pengetahuan gizi ibu dengan status gizi anak Down Syndrome, 5) Menganalisis hubungan antara pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik dengan status gizi anak Down Syndrome, dan 6) Menentukan faktor yang paling berpengaruh terhadap status gizi anak Down Syndrome. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan desain cross sectional study. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April – Juni 2015 di Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Contoh penelitian ini terdiri atas 50 anak-anak Down Syndrome yang berasal dari kelima sekolah luar biasa yang dipilih secara purposive. Kriteria inklusi yang ditetapkan untuk contoh adalah 1) anak berusia 6 – 18 tahun, 2) tidak mempunyai penyakit kronis, 3) tinggal bersama ibu kandungnya dalam satu rumah, dan 4) ibu bersedia ikut berpartisipasi dalam penelitian. Data dikumpulkan dengan wawancara menggunakan kuesioner yang diisi oleh ibu contoh serta penimbangan dan pengukuran langsung terhadap berat dan tinggi badan contoh. Analisis statistik yang digunakan adalah analisis univariat, bivariat, dan multivariat menggunakan Regresi Logistik. Lebih dari separuh contoh dalam penelitian ini berusia ≤ 12 tahun (58.0%), sebagian besar contoh berjenis kelamin laki-laki (66.0%) dan secara keseluruhan berada dalam kelompok retardasi mental sedang (100.0%). Sebagian besar ibu contoh memiliki tingkat pendidikan yang rendah (62.0%), berusia ≥ 44 tahun (52.0%), dan merupakan ibu rumah tangga yang tidak bekerja (52.0%). Selain itu, sebagian besar contoh berasal dari keluarga kecil (64.0%) dan keluarga yang tergolong tidak miskin (58.0%).
Lebih dari separuh ibu contoh (54.0%) memiliki persepsi positif terhadap Down Syndrome. Pengetahuan gizi yang dimiliki sebagian besar ibu contoh masih tergolong sedang (60.0%) dengan rata-rata skor pengetahuan gizi 59.2. Secara umum, pola konsumsi pangan contoh dalam penelitian ini masih kurang seimbang. Sebagian besar contoh mengonsumsi pangan sumber karbohidrat (70.0%) dan protein (52.0%) secara berlebih, sedangkan kelompok pangan lain seperti sayur (100.0%) dan buah (90.0%) memiliki pola konsumsi yang kurang pada hampir keseluruhan contoh. Berdasarkan tingkat kecukupan energi dan zat gizi, sebagian besar contoh memiliki tingkat kecukupan energi, protein, dan karbohidrat berlebih (masing-masing 42.0%, 40.0%, dan 64.0%). Namun, tingkat kecukupan lemak dan serat sebagian besar contoh berada dalam kategori kurang (masing-masing 44.0% dan 100.0%). Keseluruhan contoh (100.0%) dalam penelitian ini memiliki aktivitas fisik yang tergolong ringan (PAL= 1.44). Berdasarkan Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U), 40.0% contoh berstatus gizi gemuk atau obese, 8.0% berstatus gizi kurus atau sangat kurus, dan 52.0% berstatus gizi normal. Variabel independen yang berhubungan dengan status gizi anak Down Syndrome pada penelitian ini adalah asupan protein dan asupan lemak (p<0.05), sedangkan variabel lain seperti persepsi ibu terhadap Down Syndrome, tingkat pengetahuan gizi ibu, frekuensi konsumsi pangan, dan aktivitas fisik tidak berhubungan secara signifikan dengan status gizi anak Down Syndrome (p>0.05). Meskipun demikian, berdasarkan analisis Pearson, persepsi ibu terhadap Down Syndrome diketahui memiliki hubungan yang positif dengan konsumsi pangan sumber karbohidrat dan buah-buahan. Pada penelitian ini, analisis multivariat yang dilakukan terhadap beberapa variabel yang berhubungan dengan status gizi anak Down Syndrome tidak menunjukkan adanya faktor yang paling berpengaruh terhadap status gizi anak Down Syndrome. Kata kunci: Down Syndrome, pengetahuan gizi, persepsi ibu, status gizi
SUMMARY LUSI ANINDIA RAHMAWATI. Correlation between Maternal Perception, Level of Maternal Nutritional Knowledge, Food Consumption, and Physical Activity with The Nutritional Status of Down Syndrome Children. Supervised by SRI ANNA MARLIYATI and IKEU EKAYANTI. Down Syndrome is a genetic disorders that occurs during fetal growth (on chromosome 21/trisomi 21) with various symptoms. The general symptoms are mental retardation and mongoloid face. Nutritional problems that often occur in Down Syndrome children are overweight. This nutritional problem has to be prevented so it will not worse the health condition and limit their chance to participate in various important activities for its physical and emotional growth. This study was aimed to analyze the correlation between maternal perception towards Down Syndrome, level of maternal nutritional knowledge, food consumption, an physical activity with the nutritional status of Down Syndrome children. The spesific objectives of this study were: 1) to identify the general characteristics of Down Syndrome children and their families, 2) to analyze maternal perception towards Down Syndrome and maternal nutritional knowledge, 3) to analyze food consumption, physical activity, and nutritional status of Down Syndrome chidren, 4) to analyze the correlation between maternal perception towards Down Syndrome and level of maternal nutritional knowledge with the nutritional status of Down Syndrome children, 5) to analyze the correlation between food consumption and physical activity with the nutritional status of Down Syndrome children, and 6) to determine the most influential factor on the nutritional status of Down Syndrome chidren. This study is a quantitative descriptive study using cross sectional design. This study was conducted from April to June 2015 in Magetan, East Java. The sample in this study consisted of 50 Down Syndrome children from five Extraordinary School (SLB), purposively selected as well. The inclusion criterias for samples were 1) children aged 6 – 18 years old, 2) had no chronic diseases, 3) lived together with his/her mother, and 4) mother was willing to be involved in this study. Data was collected through interview using structured questionnaire that filled by the mother and weighing and measuring the children weight and height. Data was analyzed using univariate analysis, bivariate analysis, and multivariate analysis (Logistic Regression). More than half of children in this study aged ≤ 12 years old (58.0%), most of the chidren were male (66.0%), anda overall children had moderate mental retardation (100.0%). Most of the mother had low education level (62.0%), aged ≥ 44 years old (52.0%), and was a housewife (52.0%). In addition, most of the children come from small families (64.0%) and unpoor family (58.0%). More than half of mothers had a positive perception towards Down Syndrome (54.0%). Most of mothers had moderate nutritional knowledge (60.0%) with average score 59.2. Generally, the food consumption by the children was unbalanced. Most of the chidren consumed source of carbohydrate (70.0%) and protein (52.0%) in excess, while the other food groups like vegetables (100.0%) and fruit (90.0%)
were less consumed. Based on nutrients adequacy level, most of children had energy, protein, and carbohydrate adequacy level with excess category (42.0%, 40.0%, and 64,0% respectively). However, adequacy level of fat and fiber were mostly categorized as deficient (44.0% and 100.0% respectively). All of the children (100.0%) had low physical activity level (PAL= 1.44). According to zscore of BMI for age, 40.0% chidren in this study were overweight and obese, 8.0% were thin and severely thin, and 52.0% were found to had normal nutritional status. Protein intake and fat intake were significantly correlated with the nutritional status of Down Syndrome children (p<0.05), while other variables such as maternal perception towards Down Syndrome, level of maternal nutritional knowledge, frequency of food consumption, and physical activity were not significantly correlated with the nutritional status of Down Syndrome children (p>0.05). Neverthless, based on pearson analysis, maternal perception towards Down Syndrome had positive correlation with the consumption of fruits and source of carbohydrate. In this research, that was done on some variables showed that there was no the most influential factor on the nutritional status of Down Syndrome children. Keywords: Down Syndrome, maternal perception, nutritional knowledge, nutritional status
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI IBU, TINGKAT PENGETAHUAN GIZI IBU, POLA KONSUMSI PANGAN, DAN AKTIVITAS FISIK DENGAN STATUS GIZI ANAK DOWN SYNDROME
LUSI ANINDIA RAHMAWATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
ii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Siti Madanijah, MS
iv
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Berkenaan dengan tersusunnya tesis ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Dr Ir Sri Anna Marliyati, MSi selaku ketua komisi pembimbing. 2. Dr Ir Ikeu Ekayanti, MKes selaku anggota komisi pembimbing. 3. Prof Dr Ir Siti Madanijah, MS selaku dosen penguji. 4. Prof Dr Ir Ikeu Tanziha, MS selaku Sekretaris Program Pascasarjana. 5. Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN selaku Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Gizi. 6. Dinas Pendidikan Kabupaten Magetan, Jawa Timur yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian di Kabupaten Magetan. 7. Kepala sekolah, guru, dan siswa siswi SLB Panca Bhakti, SDLB Negeri Karangrejo, SLB PGRI Kawedanan, SLB PSM Takeran, dan SLB IDHATI Parang yang telah terlibat dalam penelitian. 8. Suami (Oki Kurniawan Nur Cahyo), kedua orang tua, Wahyudi (Bapak) dan Sumini (Ibu), serta Adek (Sofyan Anindia Putra) yang telah memberikan doa dan dukungan baik moral maupun material. 9. Teman-teman Pascasarjana Gizi Masyarakat IPB angkatan 2013 atas doa, dukungan, semangatnya. 10. Teman-teman yang telah membantu dalam pengambilan data. 11. Pihak-pihak lain yang telah banyak memberi dorongan dan masukan dalam penulisan tesis ini. Diharapkan tesis ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang berkepentingan khususnya bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, November 2016 Lusi Anindia Rahmawati
v
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis 2 TINJAUAN PUSTAKA Down Syndrome (DS) Karakteristik Anak Down Syndrome Status Gizi Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi 3 KERANGKA PEMIKIRAN 4 METODE Desain, Waktu dan Tempat Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data Definisi Operasional 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Karakteristik Anak Karakteristik Keluarga Persepsi Ibu terhadap Down Syndrome Pengetahuan Gizi Ibu Pola Konsumsi Pangan Anak Down Syndrome Asupan Energi, Zat Gizi, dan Serat Anak Down Syndrome Pola Aktivitas Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Anak Down Syndrome 6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
vi vi vi 1 1 2 3 4 4 4 4 6 7 8 11 14 14 14 15 16 22 24 24 25 26 28 30 32 39 41 43 51 51 52 53 61 78
vi
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Variabel, jenis, cara pengumpulan, serta skala data yang digunakan Hasil uji validitas dan reliabilitas item pernyataan persepsi ibu terhadap Down Syndrome Hasil uji validitas dan reliabilitas item pernyataan pengetahuan gizi ibu Pengkategorian pola konsumsi pangan Pengkategorian tingkat kecukupan energi, zat gizi, dan serat Sebaran contoh berdasarkan usia, kategori retardasi mental, dan status gizi Sebaran contoh berdasarkan usia ibu, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, besar keluarga, dan pendapatan keluarga Sebaran ibu contoh berdasarkan jawaban pernyataan terkait persepsi terhadap Down Syndrome Persentase ibu contoh yang menjawab benar pernyataan terkait pengetahuan gizi Rataan frekuensi dan jumlah konsumsi pangan contoh Sebaran contoh berdasarkan pola konsumsi pangan Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi, zat gizi, dan serat Rata-rata alokasi waktu contoh untuk kegiatan sehari-hari Sebaran contoh berdasarkan pola aktivitas Hubungan beberapa variabel dengan status gizi anak Down Syndrome Analisis multivariat variabel yang berhubungan dengan status gizi anak Down Syndrome
15 16 17 19 21 26 27 29 31 33 37 39 42 42 43 50
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5
Pembelahan sel normal (NDSS 2012) Pembelahan sel trisomi 21 (nondisjunction) (NDSS 2012) Kerangka pemikiran Sebaran ibu contoh berdasarkan persepsi terhadap Down Syndrome Sebaran ibu contoh berdasarkan tingkat pengetahuan gizi
5 5 13 30 32
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6
Ethical clearance Formulir pernyataan kesediaan sebagai subjek penelitian Kuesioner Hasil uji regresi logistik beberapa variabel independen dengan status gizi anak Down Syndrome Nilai z-score contoh Formulir assessment akademik
62 63 64 72 73 75
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kecacatan merupakan suatu kondisi yang dapat menurunkan produktivitas. Salah satu kondisi kecacatan yang dikaji dalam Riskesdas adalah Down Syndrome. Menurut Kemenkes (2013), Down Syndrome merupakan kondisi kelainan genetik yang terjadi pada masa pertumbuhan janin (pada kromosom 21/trisomi 21) dengan gejala yang sangat bervariasi. Gejala yang muncul dapat berupa gejala minimal sampai muncul tanda khas berupa keterbelakangan mental dengan tingkat IQ kurang dari 70 serta bentuk muka (Mongoloid) dan garis telapak tangan yang khas (Simian crease). Berdasarkan data Riskesdas, terjadi peningkatan persentase anak Down Syndrome dari 0.12 pada tahun 2010, menjadi 0.13 pada tahun 2013 (Kemenkes 2013). Lebih jauh, data Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2003 menunjukkan bahwa provinsi Jawa Timur memiliki jumlah penyandang retardasi mental terbanyak di Indonesia, yaitu 17 550 orang (BPS 2003 diacu dalam Irwanto et al. 2010). Tingginya jumlah penyandang retardasi mental di Jawa Timur ini memerlukan perhatian khusus, terutama terkait kesehatan mereka agar tidak terjadi kondisi yang lebih buruk. Masalah gizi yang sering terjadi pada anak Down Syndrome adalah kegemukan. Hasil studi Oosterom et al. (2012) menunjukkan anak Down Syndrome lebih berpotensi mengalami overweight dan obese dibandingkan anakanak lainnya. Demikian juga hasil studi Marin dan Graupera (2011) yang juga menunjukkan bahwa sebagian besar anak Down Syndrome memiliki status gizi overweight dan obese. Status gizi lebih yang terjadi pada anak Down Syndrome harus dicegah karena dapat memperburuk kondisi kesehatan. Menurut Lopes et al. (2008), overweight pada anak Down Syndrome merupakan faktor yang menyebabkan berbagai masalah kesehatan, seperti penyakit jantung dan muscular hypotonia. Lebih jauh, menurut Marin dan Graupera (2011), selain menimbulkan masalah kesehatan, kondisi overweight dan obese pada anak Down Syndrome juga akan semakin membatasi kesempatan mereka untuk berpartisipasi di dalam kegiatan sosial, rekreasi, dan olahraga yang penting untuk perkembangan fisik dan emosionalnya. Berbagai studi telah mencoba untuk mencari penyebab dari pertambahan berat badan yang berlebih pada anak Down Syndrome. Salah satunya hasil studi Magge et al. (2008) yang menunjukkan bahwa penyebab kegemukan pada anak Down Syndrome adalah pengaruh tingkat leptin dan proporsi lemak tubuh. Studi lain yang dilakukan oleh Luke et al. (1994) menunjukkan salah satu penyebab kegemukan pada anak Down Syndrome adalah adanya penurunan tingkat resting metabolic rate. Namun hubungan kedua faktor ini dengan kelebihan berat badan yang terjadi pada anak Down Syndrome masih belum dapat dibuktikan dengan jelas. Salah satu faktor yang berperan dalam menentukan status gizi anak Down Syndrome adalah tingkat pengetahuan gizi ibu. Peran ibu dalam perawatan anak Down Syndrome merupakan suatu hal yang sangat penting, terutama dalam hal
2 asupan zat gizi. Menurut Reinehr et al. (2010), seseorang dengan disabilitas memiliki risiko mengalami obesitas yang lebih tinggi karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran tentang gaya hidup sehat. Oleh karena itu, ibu dengan pengetahuan gizi yang baik akan lebih berperan untuk dapat memantau anak Down Syndrome dalam menerapkan gaya hidup sehat dalam kehidupan seharihari. Tumbuh dan berkembangnya anak secara optimal tergantung pada pemberian zat gizi yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan anak. Hasil studi Koniuszy dan Kunowski (2013) menunjukkan bahwa makanan sehari-hari anak Down Syndrome cenderung tidak seimbang dalam hal kandungan energi dan nilai gizi yang mengakibatkan timbulnya gangguan metabolisme. Pengetahuan gizi yang dimiliki oleh ibu tidak hanya berhubungan dengan kuantitas dan kualitas asupan anak, akan tetapi juga berkaitan dengan aktivitas fisik anak. Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan gizi juga mencakup bagaimana cara seseorang untuk hidup sehat, salah satunya adalah dengan aktivitas fisik. Ibu yang memiliki pengetahuan gizi yang baik akan mendorong anak untuk melakukan aktivitas fisik secara rutin agar dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Faktor lain yang juga berperan dalam menentukan status gizi anak Down Syndrome adalah persepsi orangtua. Beberapa studi telah mengkaji pengaruh persepsi orangtua terhadap beberapa variabel seperti penelitian yang dilakukan oleh Burke et al. (2012) yang menunjukkan bahwa, persepsi orangtua sangat berhubungan dengan karakteristik personal anak Down Syndrome. Semakin tinggi penerimaan orangtua yang menganggap anak sebagai anugerah akan meningkatkan kepercayaan diri, keingintahuan, moralitas, dan kontak sosial anak Down Syndrome. Studi lain yang dilakukan oleh Menear (2007) yang mengkaji persepsi orangtua terkait kesehatan dan aktivitas fisik yang dibutuhkan oleh anak Down Syndrome juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan orangtua dan partisipasi anak dalam aktivitas fisik. Lebih lanjut, studi lain yang dilakukan oleh Hapsari (2008) juga menunjukkan bahwa ibu yang memiliki persepsi positif dan menerima keadaan anaknya yang mengalami Down Syndrome akan memiliki komunikasi yang rutin, memberikan perhatian dan kasih sayang, terlibat dalam aktivitas fisik anak, serta memberikan perlindungan pada anak. Penelitian mengenai anak Down Syndrome di Indonesia, khususnya penelitian terkait gizi masih sangat terbatas. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat hubungan antara persepsi ibu terhadap Down Syndrome, tingkat pengetahuan gizi ibu, pola konsumsi pangan, dan aktivitas fisik dengan status gizi anak Down Syndrome. Perumusan Masalah Kegemukan yang terjadi pada anak-anak merupakan masalah kesehatan utama di dunia. Dari tahun ke tahun, prevalensi kegemukan pada anak menunjukkan adanya peningkatan (Bhuiyan et al. 2013). Anak-anak dengan Down Syndrome memiliki risiko yang lebih besar mengalami kegemukan. Hasil studi Reinehr et al. (2010) dan Oosterom et al. (2012) menunjukkan bahwa anak Down Syndrome lebih berpotensi memiliki status gizi overweight dan obese
3 dibandingkan anak-anak normal. Kegemukan yang terjadi pada anak Down Syndrome ini akan memperburuk kondisi fisik maupun mental mereka. Di Indonesia, status gizi anak dengan disabilitas, khususnya Down Syndrome masih belum manjadi perhatian utama. Padahal, selain berisiko mengalami berbagai penyakit kronis akibat kegemukan, status gizi berlebih juga akan membatasi mereka dalam berbagai kegiatan sosial yang penting bagi perkembangan fisik dan emosionalnya (Marin dan Graupera 2011). Berbagai penelitian telah dilakukan di Indonesia maupun di negara lain terkait kegemukan pada anak dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Namun, penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kegemukan pada anak Down Syndrome masih sangat jarang dilakukan. Kegemukan pada anak Down Syndrome berkaitan erat dengan pola asuh yang diterapkan orangtua. Orangtua terutama ibu yang memiliki anak Down Syndrome memiliki beban yang lebih besar dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak normal dan sehat. Beban dan juga adanya tekanan yang mungkin dialami oleh ibu dapat berpengaruh terhadap cara pengasuhan ibu. Selain beban dan adanya tekanan yang dialami oleh ibu, persepsi ibu terhadap anak Down Syndrome sendiri mungkin juga dapat berpengaruh terhadap pola asuh yang selanjutnya tercermin dalam status gizi anak, demikian juga pengetahuan gizi yang dimiliki oleh ibu. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dirumuskan masalah pada penelitian ini adalah peneliti ingin mengetahui bagaimana persepsi ibu terhadap Down Syndrome dan pengetahuan gizi yang dimiliki oleh ibu dari anak Down Syndrome? Dari kedua hal ini, peneliti ingin mengetahui apakah benar persepsi dan pengetahuan gizi ibu akan berpengaruh terhadap pola asuh yang diterapkan oleh ibu. Pola asuh yang diterapkan oleh ibu dapat tercermin dalam pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik anak, sehingga peneliti juga tertarik untuk mengetahui bagaimana pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik dari anak Down Syndrome? Keempat hal ini selanjutnya akan dianalisis untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara persepsi ibu terhadap Down Syndrome, pengetahuan gizi ibu, pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik dengan status gizi dari anak Down Syndrome. Apabila diketahui terdapat hubungan dari masing-masing faktor dengan status gizi anak Down Syndrome, selanjutnya perlu diketahui faktor manakah yang paling dominan dalam menentukan status gizi anak Down Syndrome. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara persepsi ibu terhadap Down Syndrome, tingkat pengetahuan gizi ibu, pola konsumsi pangan, dan aktivitas fisik dengan status gizi anak Down Syndrome. Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi karakteristik umum anak Down Syndrome (umur, jenis kelamin, dan kategori retardasi mental) beserta keluarganya (tingkat
4
2. 3. 4. 5. 6.
pendidikan ibu, usia ibu, pekerjaan ibu, besar keluarga, dan pendapatan keluarga). Menganalisis persepsi ibu terhadap Down Syndrome dan tingkat pengetahuan gizi ibu. Menganalisis pola konsumsi pangan, aktivitas fisik, dan status gizi anak Down Syndrome. Menganalisis hubungan antara persepsi ibu terhadap Down Syndrome dan tingkat pengetahuan gizi ibu dengan status gizi anak Down Syndrome. Menganalisis hubungan antara pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik dengan status gizi anak Down Syndrome. Menentukan faktor yang paling berpengaruh terhadap status gizi anak Down Syndrome. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai beberapa faktor yang berkaitan dengan peningkatan dan penurunan risiko overweight dan obese pada anak Down Syndrome sehingga menjadi masukan dalam usaha pencegahan status gizi berlebih. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pendidik Sekolah Luar Biasa (SLB) agar dapat melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki status gizi anak Down Syndrome. Hipotesis 1. 2. 3. 4.
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Terdapat hubungan antara persepsi ibu terhadap Down Syndrome dengan status gizi anak Down Syndrome. Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan gizi ibu dengan status gizi anak Down Syndrome. Terdapat hubungan antara pola konsumsi pangan anak Down Syndrome dengan status gizi anak Down Syndrome. Terdapat hubungan antara aktivitas fisik anak Down Syndrome dengan status gizi anak Down Syndrome.
2 TINJAUAN PUSTAKA Down Syndrome (DS) Down Syndrome merupakan salah satu kondisi retardasi mental yang diakibatkan adanya kelainan kromosom. Seseorang yang mengalami Down Syndrome memiliki kelebihan kromosom pada kromosom ke 21 dan biasanya disebut trisomi 21 (NFSMI 2006). Berdasarkan data yang ada, kejadian Down Syndrome menimpa satu di antara 1000 - 1100 kelahiran di dunia (WHO 2014).
5 Menurut NDSS (2012), terdapat tiga tipe Down Syndrome, yaitu trisomi 21 (nondisjunction), translokasi, dan mosaicism. Down Syndrome biasanya lebih sering disebabkan karena adanya kesalahan pembelahan sel atau biasa disebut nondisjunction yang menghasilkan 3 kromosom ke-21. Sebanyak 95% kasus Down Syndrome merupakan tipe trisomi 21.
Gambar 1 Pembelahan sel normal (NDSS 2012)
Gambar 2 Pembelahan sel trisomi 21 (nondisjunction) (NDSS 2012) Penyebab terjadinya Down Syndrome masih belum dapat diketahui dengan pasti. Namun, berbagai studi menunjukkan bahwa dengan meningkatnya usia ibu, maka risiko melahirkan anak Down Syndrome juga semakin tinggi. Wanita yang hamil pada usia 35 tahun atau lebih akan berisiko melahirkan anak Down Syndrome dibandingkan wanita yang hamil pada usia yang lebih muda (Allen et al. 2009; Ghosh et al. 2009; Sherman et al. 2007).
6 Karakteristik Anak Down Syndrome Anak Down Syndrome memiliki karakteristik yang dapat diamati pada masa bayi, antara lain mengalami hypotonia otot, wajah cenderung rata, bentuk telinga tidak normal, hiperfleksibilitas sendi, dan lidah yang besar (WHO 2014). Menurut Davidson et al. (2006), orang-orang yang mengalami Down Syndrome akan mengalami retardasi mental sedang hingga berat. Selain itu, mereka juga memiliki tanda fisik yang khas, antara lain postur tubuh yang pendek dan gemuk, mata berbentuk oval dan condong ke atas, lipatan kelopak mata bagian atas memanjang melewati sudut bagian dalam mata, hidung lebar dan datar, telinga berbentuk persegi, lidah besar dan berkerut, tangan pendek dan lebar dengan jarijari yang pendek, serta rambut lurus, tipis dan halus. Menurut AAMD (1983), retardasi mental yang dialami oleh anak Down Syndrome dapat dibagi mejadi empat kelompok, yaitu retardasi mental ringan (IQ 50 – 69), retardasi mental sedang (IQ 35 – 49), retardasi mental berat (IQ 20 – 34), dan retardasi mental sangat berat (IQ < 20). Prosedur yang harus dilakukan untuk menentukan tingkat retardasi adalah : (1) mengenali adanya masalah seperti keterlambatan dalam tahap perkembangan; (2) menentukan adanya defisit perilaku adaptif; (3) membuat keputusan tentang ada atau tidaknya keterlambatan fungsi intelektual; (4) membuat keputusan tentang tingkat keterbelakangan mental sesuai dengan hasil pengukuran fungsi intelektual. Retardasi mental yang terjadi pada anak Down Syndrome dapat mengakibatkan beberapa keterbatasan, antara lain (1) kemampuan kognitif yang kurang; (2) kemampuan bahasa akibat kesulitan artikulasi, suara, dan gagap; (3) keadaan fisik yang seringkali bermasalah dalam hal penglihatan, pendengaran, dan gangguan jantung; (4) keadaan sosial dan emosional yang kurang stabil (Hunt dan Marshall 1994). Anak Down Syndrome seringkali memiliki masalah makan karena lemahnya kemampuan alat pencernaan untuk menghisap dan memotong. Pertumbuhan anak Down Syndrome biasanya lebih lambat dan umumnya memiliki postur tubuh yang lebih pendek dibandingkan anak seusianya. Masalah gizi pada anak Down Syndrome yang sering terjadi ketika usia sekolah adalah overweight (NFSMI 2006). Lebih lanjut, menurut NFSMI (2006), orangtua harus memperhatikan beberapa hal berikut untuk menghindari masalah makan dan overweight pada anak DS, yaitu jumlah kalori yang diberikan, modifikasi tekstur makanan, dan peralatan makan anak. Menurut data WHO (2014), 60 – 80% anak Down Syndrome memiliki pendengaran yang kurang dan 40 – 45% memiliki kelainan jantung bawaan. Selain itu, kelainan lain yang juga sering terjadi pada anak DS antara lain kelainan usus, masalah penglihatan, disfungsi tiroid, dan lain-lain. Namun, hal tersebut tidak menutup kemungkinan bagi seseorang yang mengalami Down Syndrome untuk dapat mencapai kualitas hidup yang optimal. Kualitas hidup yang optimal ini dapat dicapai dengan adanya dukungan dan perawatan orangtua, arahan medis, dan komunitas khusus seperti sekolah luar biasa (WHO 2014).
7 Status Gizi Status gizi adalah keadaan tubuh seseorang sebagai akibat dari konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh (Almatsier 2004). Menurut Supariasa et al. (2001), kekurangan dan kelebihan gizi merupakan masalah penting karena dapat menimbulkan risiko-risiko penyakit tertentu. Kekurangan berat badan dapat meningkatkan risiko penyakit infeksi, sedangkan kelebihan berat badan dapat meningkatkan risiko penyakit degeneratif. Penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Cara pengukuran status gizi yang paling sering digunakan adalah pengukuran antropometri yang merupakan salah satu penilaian status gizi secara langsung (Supariasa et al. 2001). Berdasarkan Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U), status gizi anak usia 5-18 tahun dapat dikategorikan menjadi sangat kurus (<-3 SD), kurus (3 SD sampai dengan <-2 SD), normal (-2 SD sampai dengan 1 SD), gemuk (>1 SD sampai dengan 2 SD), dan obes (>2 SD) (Kemenkes 2011). Anak Down Syndrome merupakan kelompok individu yang berpotensi memiliki status gizi lebih, baik gemuk maupun obes. Berbagai hasil studi menunjukkan bahwa prevalensi overweight dan obese pada anak Down Syndrome cukup tinggi (Marin dan Graupera 2011; Koniuszy et al. 2013; Oosterom et al. 2012). Overweight atau kegemukan merupakan suatu kondisi kelebihan berat tubuh melebihi berat tubuh normal, sedangkan obesitas merupakan kondisi kelebihan berat tubuh akibat tertimbunnya lemak, yaitu untuk pria 20% melebihi berat tubuhnya dan wanita 25% melebihi berat tubuhnya (Rimbawan dan Siagian 2004). Berbagai studi telah menunjukkan tingginya prevalensi anak Down Syndrome yang mengalami kegemukan dan obese. Hasil studi Marin dan Graupera (2011) menunjukkan prevalensi anak Down Syndrome yang mengalami overweight dan obese sebanyak 73.6%, sedangkan studi lain yang dilakukan oleh Oosterom et al. (2012) menunjukkan prevalensi anak Down Syndrome yang mengalami kegemukan adalah dua kali lipat dibandingkan anak normal. Penyebab tingginya risiko kegemukan dan obese pada anak Down Syndrome hingga saat ini masih perlu diteliti lebih jauh. Studi yang telah dilakukan oleh Magge et al. (2008) menunjukkan bahwa anak Down Syndrome memiliki tingkat leptin yang lebih tinggi dibandingkan saudaranya yang normal. Studi ini juga menunjukkan bahwa semakin tinggi persentase lemak tubuh, maka semakin tinggi pula tingkat leptin di kedua kelompok. Namun hubungan yang lebih kuat ditunjukkan pada kelompok Down Syndrome. Hal inilah yang diduga menjadi penyebab kegemukan pada anak Down Syndrome. Meskipun demikian, studi ini belum sepenuhnya dapat diterima karena adanya beberapa kelemahan, antara lain jumlah sampel yang kecil dan tingkat leptin yang tinggi memang umum ditemukan pada orang obese. Studi lain yang dilakukan oleh Luke et al. (1994) menunjukkan bahwa kegemukan pada anak Down Syndrome diduga karena adanya penurunan tingkat resting metabolic rate. Namun, studi lain yang mencoba mengkaji lebih dalam terkait dugaan ini menunjukkan bahwa resting metabolic rate pada anak Down Syndrome memang lebih rendah dibandingkan saudaranya yang normal, namun hal ini tidak berhubungan dengan peningkatan risiko kegemukan pada anak Down Syndrome (Hill et al. 2013).
8 Menurut WHO (2010), obesitas pada masa anak-anak berkaitan dengan kejadian obesitas pada masa dewasa yang dapat menyebabkan berbagai penyakit seperti penyakit jantung, stroke, diabetes, osteoartritis, kanker, dan lain-lain. Kondisi yang lebih buruk dapat terjadi apabila overweight maupun obese ini terjadi pada anak Down Syndrome. Menurut Marin dan Graupera (2011), kondisi Down Syndrome saja sudah cukup menimbulkan diskriminasi di masyarakat. Apalagi bila ditambah dengan obesitas. Selain berisiko mengalami penyakit degeneratif, obesitas juga akan membatasi anak Down Syndrome untuk berpartisipasi di dalam kegiatan sosial, rekreasi, dan olahraga yang penting untuk perkembangan fisik dan emosionalnya. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Status gizi, khususnya gizi lebih yang terjadi pada anak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang paling sering dikaitkan dengan kejadian overweight dan obese adalah pola makan yang kurang tepat dan aktivitas fisik yang kurang (Oosterom et al. 2012; Marin dan Graupera 2011; Menear 2007; Bhuiyan et al. 2013; Firouzi et al. 2014; Ochoa et al. 2007). Namun, selain kedua faktor tersebut, persepsi ibu terhadap Down Syndrome dan tingkat pengetahuan gizi ibu juga dapat berpengaruh terhadap kejadian gizi lebih pada anak Down Syndrome. Pola Konsumsi Pangan Pola konsumsi pangan memiliki peran yang cukup besar terhadap kegemukan dan obesitas. Pola konsumsi pangan yang tinggi kalori dan lemak akan menyebabkan terjadinya keseimbangan energi positif atau terjadi penimbunan energi dalam bentuk lemak (Rimbawan dan Siagian 2004). Lebih lanjut, menurut Rimbawan dan Siagian (2004), telah banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa orang yang mengalami kegemukan lebih sering mengonsumsi makanan berlemak tinggi dibandingkan orang yang memiliki berat tubuh normal. Hal ini didukung oleh hasil studi Koniuszy dan Kunowski (2013) yang menunjukkan bahwa rata-rata makanan yang dikonsumsi anak Down Syndrome memiliki kandungan lemak dan sakarosa yang tinggi serta memiliki nilai indeks glikemik yang melebihi rata-rata. Sebagian besar anak Down Syndrome membutuhkan makanan dengan kandungan energi yang lebih rendah dibandingkan anak-anak lainnya. Hal ini dikarenakan keterbatasan mereka dalam bergerak dan rendahnya muscle tone (NFSMI 2006). Pola konsumsi pangan yang dimiliki oleh anak Down Syndrome tidak lepas dari peran orangtua dalam menerapkan pola asuh. Hasil review dari berbagai studi yang dilakukan oleh Reinehr et al. (2010) mengungkapkan bahwa banyak orangtua dari anak difabel yang cenderung memberikan permen dan makanan manis dengan tujuan untuk menenangkan anak atau karena adanya ketakutan orangtua tidak bisa menyenangkan anak. Hasil review yang dilakukan oleh Reinehr et al. (2010) juga menyebutkan bahwa anak Down Syndrome berisiko untuk mengonsumsi makanan secara
9 berlebih. Hal ini disebabkan adanya kerusakan hipotalamus yang bertanggung jawab terhadap pengaturan berat badan. Aktivitas Fisik Aktivitas fisik adalah gerakan fisik yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya (Almatsier 2004). Menurut WHO (2010), aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi. Aktivitas fisik memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Berbagai studi telah menunjukkan bahwa aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur dapat menurunkan risiko penyakit jantung koroner, stroke, diabetes, hipertensi, kanker, dan depresi. Selain itu, aktivitas fisik yang dilakukan seseorang akan menentukan seberapa besar pengeluaran energi sehingga sangat penting untuk mengontrol keseimbangan energi dan berat badan (WHO 2010). Berbagai studi telah menunjukkan bahwa aktivitas fisik yang kurang merupakan salah satu penyebab kejadian overweight dan obese. Bhuiyan et al. (2013) dan Ochoa et al. (2007) menyatakan bahwa anak yang lebih sering melakukan aktivitas fisik lebih kecil risikonya mengalami kelebihan berat badan. Studi yang dilakukan pada anak Down Syndrome juga menunjukkan bahwa aktivitas fisik merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap kenaikan berat badan (Oosterom et al. 2012). Hal ini didukung oleh berbagai studi lain yang menunjukkan bahwa anak Down Syndrome umumnya memiliki aktivitas fisik yang kurang (Marin dan Graupera 2011; Gomez et al. 2013; Phillips dan Holland 2011; Menear 2007). Sama halnya dengan pola konsumsi. Aktivitas fisik yang dilakukan oleh anak Down Syndrome juga tidak lepas dari peran orangtua dalam menerapkan pola asuh. Menurut Reinehr et al. (2010), kurangnya aktivitas fisik pada anak difabel salah satunya disebabkan karena orangtua yang overprotective dan terlalu mencemaskan anaknya sehingga akan membatasi anak untuk bermain di luar. Berdasarkan rekomendasi WHO (2010), aktivitas fisik untuk anak usia 5 – 17 tahun diantaranya adalah permainan, olahraga, transportasi, rekreasi, pendidikan fisik atau olahraga khusus, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Anak-anak pada kelompok usia ini dianjurkan untuk melakukan aktivitas fisik dengan intensitas sedang sampai berat minimal 60 menit/hari. Persepsi Ibu terhadap Down Syndrome Persepsi adalah proses yang digunakan oleh seorang individu untuk memiliki, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan informasi untuk memaknai sesuatu (Kotler 2000). Persepsi dapat dibedakan menjadi persepsi yang baik atau persepsi positif dan persepsi negatif yang selanjutnya akan mempengaruhi tindakan seseorang secara nyata (Sugihartono et al. 2007). Menurut Toha (2003), persepsi seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal yang terdiri dari perasaan, sikap dan kepribadian individu, prasangka, keinginan atau harapan, perhatian, proses belajar, keadaan fisik, gangguan kejiwaan, nilai dan kebutuhan, serta motivasi. Selain itu, persepsi juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yang terdiri dari latar belakang keluarga,
10 informasi yang diperoleh, pengetahuan dan kebutuhan sekitar, intensitas, ukuran, hal-hal baru dan ketidakasingan suatu objek. Persepsi seseorang dapat berbeda satu sama lain. Persepsi orangtua yang menganggap anak adalah titipan dan memiliki anak dengan keterbelakangan mental bukan suatu musibah akan menimbulkan sikap penerimaan pada kondisi anak (Hendriani et al. 2006). Lebih lanjut, hasil studi Hendriani et al. (2006) yang juga didukung oleh Heward (2003) menunjukkan adanya 3 tahap penyesuaian yang dilakukan orangtua ketika menghadapi kenyataan memiliki anak Down Syndrome, yaitu (1) tahap timbulnya krisis emosional seperti shock, ketidakpercayaan, dan pengingkaran terhadap kondisi yang terjadi pada anaknya; (2) tahap ketika rasa tidak percaya dan pengingkaran yang terjadi diikuti oleh perasaan dan sikap negatif seperti marah, menyesal, menyalahkan diri sendiri, malu, depresi, rendah diri, menolak kehadiran anak, atau overprotective; (3) tahap terakhir pada saat orangtua telah mencapai kesadaran terhadap situasi yang dihadapi serta bersedia menerima kondisi anak yang berbeda. Adanya penerimaan dari orangtua, khususnya ibu dari anak Down Syndrome sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Ibu memegang tanggung jawab dan peranan yang sangat penting dalam perkembangan anak. Agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, anak Down Syndrome membutuhkan perhatian yang besar. Perhatian dapat terwujud apabila didasari semangat kerelaan, yaitu sikap menerima dari ibu karena dengan penerimaan, ibu akan lebih memperhatikan perkembangan kemampuan anak dan memberikan kasih sayang serta perhatian yang besar pada anak (Hurlock 1999). Lebih lanjut, menurut Hurlock (1999), penerimaan juga akan mendatangkan rasa syukur dan tanggung jawab yang lebih besar untuk merawat anak sehingga pola asuh yang baik lebih mudah tercipta. Pengetahuan Gizi Pengetahuan gizi merupakan suatu hasil setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk terbentuknya suatu tindakan (Notoatmodjo 2007). Menurut Sukandar et al. (2009), pengetahuan gizi yang baik dari seorang ibu penting untuk memperbaiki pola makan anak agar dapat memenuhi kecukupan gizinya dengan baik. Dengan pola makan yang tepat, anak akan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Hasil studi Poh et al. (2012) juga menunjukkan bahwa pengetahuan gizi ibu berpengaruh positif pada pola makan anak. Berbagai hasil studi telah menunjukkan adanya hubungan pengetahuan gizi ibu dengan status gizi anak. Studi yang dilakukan oleh Yabanci et al. (2014) menunjukkan bahwa ibu yang memiliki tingkat pengetahuan gizi tinggi cenderung memiliki anak dengan status gizi yang normal. Lebih lanjut, berdasarkan penelitian ini, ibu yang memiliki pengetahuan gizi yang tinggi akan cenderung memberikan sayuran, buah, kacang-kacangan, dan mengurangi minuman manis dan makanan cepat saji untuk anak-anaknya. Orangtua, khususnya ibu berperan dalam menciptakan lingkungan yang baik untuk anak agar dapat mendorong pola makan yang sehat sehingga dapat terhindar dari kelebihan berat badan dan eating disorder (Scaglioni et al. 2008). Banyak orangtua yang secara tidak sengaja mendorong anak-anak memiliki berat
11 badan berlebih akibat dari pemberian makan yang salah (Clark et al. 2007). Berdasarkan hasil studi Sunwoong et al. (2000), semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi ibu, maka asupan total lemak dan kolesterol anak akan semakin menurun, sedangkan asupan serat makanan akan semakin meningkat.
3 KERANGKA PEMIKIRAN Anak Down Syndrome pada umumnya memiliki kemampuan kognitif yang rendah, gangguan dalam kemampuan berbahasa, keadaan fisik yang kurang sempurna, serta keadaan sosial dan emosional yang kurang stabil. Adanya berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh anak Down Syndrome tersebut mengkibatkan ibu memegang peranan penting dalam pengasuhan anak Down Syndrome. Kondisi status gizi berlebih merupakan permasalahan yang paling umum terjadi pada anak Down Syndrome. Menurut Oosterom (2012), faktor yang paling berpengaruh terhadap berat badan anak Down Syndrome adalah aktivitas fisik dan pola konsumsi pangan. Aktivitas fisik dan konsumsi pangan yang terdiri dari jenis dan jumlah makanan pada anak Down Syndrome perlu dipantau oleh orangtua, khususnya ibu untuk menghindari terjadinya status gizi berlebih (overweight dan obese). Aktivitas fisik sangat erat kaitannya dengan status gizi seseorang. Seseorang yang melakukan aktivitas fisik yang memadai akan cenderung memiliki status gizi yang baik. Anak Down Syndrome pada umumnya memiliki gaya hidup yang kurang aktif secara fisik sehingga cenderung mengakibatkan status gizi berlebih (Menear 2007). Lebih lanjut menurut Menear (2007), partisipasi anak Down Syndrome dalam melakukan aktivitas fisik sangat berkaitan dengan adanya dukungan dari orangtua atau pengasuh. Orangtua yang menyadari pentingnya aktivitas fisik bagi kesehatan anak akan mendukung dan mendorong anaknya untuk melakukan aktivitas fisik secara teratur. Pola konsumsi pangan juga memiliki hubungan yang erat dengan status gizi seseorang. Pola konsumsi pangan yang tidak seimbang dan didukung dengan aktivitas fisik yang kurang akan mengakibatkan seseorang mengalami status gizi berlebih (overweight dan obese). Berdasarkan berbagai studi yang telah dilakukan, asupan zat gizi anak Down Syndrome pada umumnya tidak seimbang, yaitu rendah karbohidrat, rendah serat, tinggi protein, dan tinggi lemak (Marin dan Graupera 2011; Koniuszy dan Kunowski 2013). Jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi anak Down Syndrome sendiri sangat tergantung pada pola pemberian makan orangtua, khususnya ibu. Menurut Yilmaz et al. (2013), faktor yang berpengaruh dalam menentukan pola pemberian makan pada anak salah satunya adalah persepsi orangtua terkait status gizi anak. Persepsi adalah proses dimana seseorang menerima, memperhatikan, dan memahami informasi yang diberikan kepadanya. Persepsi bersifat kompleks dan subjektif, tergantung pada subjek yang melaksanakan persepsi tersebut (De Vito 1997). Persepsi ibu yang positif terhadap Down Syndrome akan mendorong ibu untuk lebih menerima keadaan anaknya dan selanjutnya berkaitan erat dengan
12 pola asuh yang diterapkan. Menurut Hapsari (2008), penerimaan akan mendatangkan rasa syukur dan tanggung jawab yang lebih besar sehingga pola asuh dan cinta kasih yang diperlukan anak mudah terbentuk. Menurut Hurlock (1999), mengasuh anak Down Syndrome memerlukan kesabaran dan kerelaan, sehingga harus ada sikap menerima yang akan mendorong ibu untuk memperhatikan perkembangan kemampuan anak, memberikan kasih sayang, serta perhatian yang besar pada anak. Faktor lain yang juga penting diperhatikan dan berperan dalam menentukan status gizi anak Down Syndrome adalah pengetahuan gizi ibu. Ibu yang memiliki pengetahuan gizi yang baik akan dapat memberikan makanan dengan jenis dan jumlah yang memadai sesuai kebutuhan anak serta memotivasi anak untuk senantiasa melakukan aktivitas fisik secara teratur. Pengetahuan gizi ibu dan persepsi ibu terhadap Down Syndrome sendiri juga dipengaruhi oleh karakteristik ibu, misalnya tingkat pendidikan. Ibu yang memiliki wawasan yang luas kemungkinan akan lebih mudah menerima informasi-informasi terkait gizi dan memiliki persepsi yang lebih baik terhadap anak Down Syndrome. Beberapa faktor lain yang juga terkait dengan status gizi anak Down Syndrome diantaranya adalah karakterisitik keluarga yang meliputi besar keluarga, pekerjaan orangtua, dan pendapatan keluarga yang selanjutnya berkaitan dengan besar kecilnya dukungan keluarga baik dari segi moril maupun materiil. Kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 3.
13
Gambar 3 Kerangka pemikiran
14
4 METODE Desain, Waktu dan Tempat Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional study. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Juni 2015 di lima Sekolah Luar Biasa yang terdapat di Kabupaten Magetan, Jawa Timur, yaitu SLB Panca Bhakti, SDLB Negeri Karangrejo, SLB PGRI Kawedanan, SLB PSM Takeran, dan SLB IDHATI Parang. Penentuan lokasi penelitian di Jawa Timur karena berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2003 (BPS 2003 diacu dalam Irwanto et al. 2010), Provinsi Jawa Timur memiliki jumlah penyandang retardasi mental terbanyak di Indonesia, yaitu 17 550 orang. Selain itu, Kabupaten Magetan merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang sedang mengupayakan penyelenggaraan pendidikan inklusif. Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan Etik dari Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia No: 368/UN2.F1/ETIK/2015. Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Contoh yang diambil dalam penelitian ini adalah siswa-siswi Sekolah Luar Biasa di Kabupaten Magetan yang mengalami Down Syndrome beserta ibunya yang telah memenuhi kriteria inklusi. Kriteria inklusi yang ditetapkan antara lain: 1) anak berusia 6 – 18 tahun, 2) tidak mempunyai penyakit kronis, 3) tinggal bersama ibu kandungnya dalam satu rumah, dan 4) ibu bersedia menandatangani formulir persetujuan untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian. Penentuan jumlah contoh minimal yang digunakan dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus (Lemeshow 1997) sebagai berikut : 2
n
Z PQ d2
Keterangan : n = besar contoh α = tingkat kepercayaan 95% (1.96) P = proporsi Down Syndrome di Indonesia (0.13%) (Kemenkes 2013) Q =1–P d = presisi absolut (0.01) Berdasarkan rumus di atas, maka diperoleh perkiraan jumlah contoh sebagai berikut :
n
1.96 2 x0.0013x0.9987 0.012
n
0.00499 49.9 50 0.0001
15 Berdasarkan perhitungan di atas, maka perkiraan jumlah contoh minimal dalam penelitian ini adalah 50 contoh. Penentuan contoh dilakukan secara purposive dengan pertimbangan kesediaan ibu untuk hadir ke sekolah dan mengikuti penelitian. Selama jalannya penelitian, sebanyak 55 ibu bersedia hadir, namun hanya 50 ibu yang memenuhi kriteria inklusi dan dapat menjadi contoh dalam penelitian. Lima orang ibu tidak dapat menjadi contoh penelitian karena memiliki anak Down Syndrome dengan riwayat penyakit kronis seperti kelainan jantung, kelainan pada dubur, dan berusia lebih dari 18 tahun. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer meliputi data karakteristik anak beserta keluarga, persepsi ibu, pengetahuan gizi ibu, pola konsumsi pangan, asupan zat gizi, serta aktivitas fisik. Data sekunder berupa profil lima Sekolah Luar Biasa di Kabupaten Magetan yang menjadi lokasi penelitian yang diperoleh dari Dinas Pendidikan Kabupaten Magetan. Berikut ini disajikan jenis dan cara pengumpulan data pada Tabel 1. Tabel 1 Variabel, jenis, cara pengumpulan, serta skala data yang digunakan No. 1
Variabel Karakteristik Anak
Jenis data Usia Jenis kelamin Kategori retardasi mental Status gizi
2
Karakteristik Keluarga
3
Persepsi ibu terhadap Down Syndrome
4
Pengetahuan gizi ibu
Besarnya pengetahuan dan informasi yang dimiliki oleh ibu mengenai gizi
5
Pola konsumsi pangan
6
Asupan zat gizi
7
Aktivitas fisik
Jenis makanan Frekuensi konsumsi Jumlah yang dikonsumsi dalam kurun waktu 1 bulan Tingkat kecukupan energi, asupan protein, karbohidrat lemak, dan serat Jenis kegiatan Lama kegiatan
Usia ibu Pendidikan Ibu Pekerjaan Ibu Besar keluarga Pendapatan keluarga Cara pandang ibu terhadap anak Down Syndrome
Cara pengumpulan data Wawancara langsung menggunakan kuesioner Pengukuran langsung
Skala data Rasio Nominal Ordinal Ordinal
Wawancara langsung menggunakan kuesioner
Wawancara langsung menggunakan kuesioner yang berisi 10 pertanyaan terkait persepsi ibu Wawancara langsung menggunakan kuesioner yang berisi 10 pertanyaan terkait pengetahuan gizi
Rasio Ordinal Nominal Rasio Rasio Ordinal
Ordinal
Semi-quantitative Food Frequency Questionnaire
Nominal Rasio Rasio
Recall 2x24 jam
Ordinal
Activity Record pada hari libur dan hari masuk
Nominal Rasio
16 Data primer diperoleh melalui pengisian kuesioner oleh ibu dari contoh dan pengukuran langsung. Pertanyaan terkait persepsi ibu diperoleh dari persepsi ibu sejak anak diketahui mengalami Down Syndrome. Data pola konsumsi pangan diperoleh dari semi-quantitative food frequency questionnaire dengan rentang waktu 1 bulan sebelum pengambilan data dilakukan (Menezes et al. 2009), sedangkan data asupan energi, zat gizi, dan serat contoh diperoleh dari data recall 2x24 jam. Recall 2x24 jam dikumpulkan dari konsumsi makan anak pada hari sekolah dan hari libur. Data aktivitas fisik diperoleh dari Activity Record yang dilakukan selama 2 x 24 jam pada hari sekolah dan hari libur (Firouzi et al. 2014). Kuesioner persepsi ibu yang digunakan dalam penelitian ini merupakan modifikasi dari kuesioner persepsi hasil studi Milyawati (2008) dan Burke et al. (2012). Modifikasi yang dilakukan meliputi penyesuaian pernyataan terkait anak Down Syndrome serta penambahan beberapa pernyataan yang diperoleh dari kuesioner Burke et al. (2012). Aspek yang ditambahkan terutama terkait penerimaan orangtua terhadap anak Down Syndrome. Uji validitas dan reliabilitas kuesioner dilakukan terlebih dahulu sebelum kuesioner digunakan. Pengujian validitas kuesioner dilakukan dengan menggunakan korelasi Pearson untuk mencari nilai korelasi antara skor masingmasing variabel dengan skor totalnya. Item pernyataan dianggap valid jika nilai pvalue dari tiap item kurang dari 0.05. Uji reliabilitas kuesioner dilakukan dengan mencari nilai alpha Cronbach. Item pernyataan dikatakan reliabel tinggi jika nilai alpha Cronbach 0.600-0.799 (Priatna 2008). Hasil uji validitas dan reliabilitas item pernyataan persepsi ibu terhadap Down Syndrome disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil uji validitas dan reliabilitas item pernyataan persepsi ibu terhadap Down Syndrome No 1
Pertanyaan/pernyataan
Pada saat pertama kali anak diketahui mengalami Down Syndrome, sempat terpikir lebih baik tidak memiliki anak daripada memiliki anak dengan Down Syndrome 2 Setelah dikaruniai anak dengan Down Syndrome, saya sempat khawatir untuk mempunyai anak lagi 3 Pada awalnya, saya sempat ragu apakah anak Down Syndrome akan dapat menjadi penerus keluarga 4 Sejak awal, saya yakin Anak Down Syndrome bisa mandiri dan melakukan kebutuhan pribadinya sendiri (misal: mandi, makan, dll)** 5 Pada awalnya, saya tidak yakin anak Down Syndrome akan dapat melakukan aktivitas seperti anak normal pada umumnya 6 Pada saat pertama kali anak diketahui mengalami Down Syndrome, saya sempat ragu apakah dia dapat membanggakan keluarga nantinya 7 Pada awalnya, saya sempat beranggapan bahwa keberadaan anak Down Syndrome akan menjadi beban keluarga 8 Pada awalnya, saya sempat takut keberadaan anak Down Syndrome akan dapat mengancam ikatan pernikahan dan keluarga 9 Pada awalnya, saya sempat ragu apakah anak Down Syndrome dapat menjadi sumber keceriaan bagi keluarga 10 Pada saat anak diketahui mengalami Down Syndrome, saya sempat khawatir dengan masa depannya nanti *Nilai alpha cronbach 0.767
Nilai p-value 0.022 0.000 0.000 0.003 0.000 0.000 0.000 0.020 0.028 0.000
Nilai p 0.05
17 Selain kuesioner persepsi ibu terhadap Down Syndrome, uji validitas dan reliabilitas juga dilakukan terhadap item pernyataan terkait pengetahuan gizi. Berikut disajikan hasil uji validitas dan reliabilitas item pernyataan pengetahuan gizi ibu pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil uji validitas dan reliabilitas item pernyataan pengetahuan gizi ibu No
Pertanyaan/pernyataan
1
Kelebihan zat gizi dapat mengakibatkan berbagai penyakit seperti diabetes, hipertensi, jantung, dan stroke 2 Anak harus makan dalam jumlah banyak agar dapat tumbuh dengan baik 3 Ikan segar, telur, daging, dan susu merupakan contoh pangan sumber protein nabati 4 Berolahraga secara teratur tidak perlu dilakukan oleh anak Down Syndrome 5 Mempertahankan berat badan yang normal merupakan salah satu prinsip gizi seimbang 6 Anak tidak perlu lagi makan apabila sudah mengkonsumsi jajan 7 Makanan yang sehat adalah makanan yang bersih, tidak tercemar, dan mahal 8 Zat gizi dikelompokkan menjadi zat gizi mikro dan zat gizi makro 9 Kebiasaan minum air putih 1 liter per hari baik untuk anak 10 Makanan manis, asin, dan berlemak tidak baik untuk kesehatan anak *Nilai alpha cronbach 0.666
Nilai p-value 0.000
Nilai p 0.05
0.000 0.001 0.000 0.164 0.100 0.000 0.071 0.016 0.156
Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Microsoft Office Excel 2007, sedangkan analisis data dilakukan menggunakan SPSS (Statistical Product and Service Solution) 16 for Windows. Proses pengolahan data yang dilakukan meliputi coding, entry, cleaning, dan analisis data. Data yang telah terkumpul terlebih dahulu dikategorikan sebelum dilakukan analisis. Data karakteristik contoh yang dikumpulkan meliputi umur, jenis kelamin, kategori retardasi mental, dan status gizi. Data ini selanjutnya diolah dengan memberikan kategori atau pengelompokan pada masing-masing variabel. Usia contoh dikategorikan menjadi dua, yaitu ≤ 12 tahun dan > 12 tahun. Pengkategorian usia ini didasarkan pada klasifikasi usia menurut Mahan dan Stump (2008) yang mengklasifikasikan usia 13 tahun hingga 18 tahun sebagai periode remaja. Jenis kelamin contoh dikategorikan menjadi laki-laki dan perempuan. Kategori retardasi mental dikelompokkan menjadi dua, yaitu ringan dan sedang (AAMD 1983). Pengkategorian retardasi mental ini didasarkan pada kemampuan anak yang dinilai oleh guru dari masing-masing sekolah luar biasa dengan mengacu pada formulir assessment akademik (Lampiran 6) yang disusun oleh Tim Kelompok Kerja Guru Pendidikan Luar Biasa Kabupaten Magetan (KKG-PLB Kabupaten Magetan) tahun 2009. Status gizi anak dikategorikan berdasarkan Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U) untuk anak umur 5 – 18 tahun, yaitu 1) sangat kurus, jika z-score < -3 SD, 2) kurus, jika z-score antara -3 SD sampai dengan < -2 SD, 3) normal, jika z-score antara -2 SD sampai dengan 1 SD, 4) gemuk, jika z-score > 1 SD sampai dengan 2 SD, dan 5) obese,
18 jika z-score lebih dari 2 SD (Kemenkes 2011). Status gizi selanjutnya dikelompokkan kembali menjadi dua, yaitu 1) normal/ kurus untuk anak yang berstatus gizi sangat kurus, kurus, dan normal, serta 2) gemuk/obese untuk anak yang berstatus gizi gemuk dan obese. Karakteristik keluarga yang meliputi usia ibu, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, besar keluarga, dan pendapatan keluarga juga diolah dengan memberikan kategori pada masing-masing variabel. Usia ibu dikategorikan menjadi dua berdasarkan rata-rata usia ibu, yaitu < 44 tahun dan ≥ 44 tahun. Pendidikan ibu dikategorikan berdasarkan ijazah terakhir yang mereka terima, yaitu 1) SD, 2) SMP, 3) SMA, dan 4) perguruan tinggi. Pada tahapan analisis bivariat, pendidikan ibu dikelompokkan kembali menjadi dua, yaitu 1) tinggi, apabila ijazah terakhir minimal SMA, dan 2) rendah, apabila ijazah terakhir hanya sampai SMP. Pekerjaan ibu dikategorikan menjadi tujuh, yaitu 1) Ibu Rumah Tangga, 2) Pegawai Negeri Sipil, 3) wiraswasta, 4) petani, 5) buruh, dan 6) karyawan swasta. Pada tahapan analisis berikutnya, pekerjaan ibu dikelompokkan kembali menjadi dua, yaitu 1) tidak bekerja, apabila ibu hanya sebagai ibu rumah tangga, dan 2) bekerja, apabila ibu bekerja baik sebagai PNS, wiraswasta, petani, buruh, maupun karyawan swasta. Besar keluarga dikategorikan menjadi tiga, yaitu 1) kecil, jika jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah kurang dari atau sama dengan 4, 2) sedang, jika jumlah anggota keluarga 5 sampai 7 orang, dan 3) besar, jika jumlah anggota keluarga lebih dari atau sama dengan 8 (Hurlock 1999). Pendapatan keluarga dikategorikan miskin apabila pendapatan per kapita per bulan kurang dari Rp 282 796 dan dikatakan tidak miskin apabila pendapatan per kapita per bulan lebih dari atau sama dengan Rp 282 796 (BPS 2014). Pengukuran variabel persepsi ibu terhadap Down Syndrome meliputi 10 pernyataan yang diberikan pada ibu. Terdapat dua jenis pernyataan, yaitu pernyataan positif dan negatif. Pernyataan positif diberi skor 2 jika ibu menjawab setuju, skor 1 jika ibu menjawab kurang setuju, dan 0 jika menjawab tidak setuju, sedangkan untuk pernyataan negatif pemberian skor dilakukan sebaliknya. Keseluruhan skor dari masing-masing jawaban kemudian dijumlahkan dan dibandingkan dengan total skor maksimum dan dikalikan 100. Skor persepsi ibu terhadap Down Syndrome selanjutnya dikategorikan berdasarkan median skor. Persepsi ibu dikategorikan positif apabila jumlah skor ibu lebih besar atau sama dengan median skor, dan dikategorikan negatif apabila jumlah skor ibu kurang dari median skor (Milyawati 2008). Median skor persepsi ibu terhadap Down Syndrome dalam penelitian ini adalah 55 persen. Pengetahuan gizi ibu diukur dengan memberikan skor untuk masingmasing jawaban pernyataan terkait pengetahuan gizi. Skor jawaban benar adalah 1, sedangkan skor untuk jawaban salah adalah 0. Keseluruhan skor jawaban selanjutnya dijumlahkan dan dibandingkan dengan total skor maksimum dan dikalikan 100. Pengetahuan gizi ibu kemudian dikategorikan menjadi tiga, yaitu 1) kurang, apabila skor pengetahuan gizi ibu kurang dari 60%, 2) sedang, apabila skor pengetahuan gizi ibu berkisar antara 60% hingga 80%, dan 3) tinggi, apabila pengetahuan gizi ibu lebih dari 80% (Khomsan 2000). Data pola konsumsi pangan diperoleh dari Semi Quantitative Food Frequency Questionnaiere yang meliputi jenis pangan, frekuensi konsumsi, dan jumlah yang dikonsumsi dalam kurun waktu satu bulan terakhir. Jenis pangan yang digunakan untuk menganalisis pola konsumsi pangan anak Down Syndrome
19 adalah lima jenis bahan pangan yang paling sering dikonsumsi, kecuali untuk kelompok pangan jajanan. Pengolahan data yang dilakukan meliputi konversi data konsumsi pangan yang diperoleh dalam bentuk URT (ukuran rumah tangga) menjadi bentuk gram untuk makanan dan mililiter untuk minuman. Data pola konsumsi selanjutnya dikonversi kembali menjadi jumlah konsumsi per hari dengan membagi 30 untuk makanan yang dikonsumsi setiap bulan dan membagi 7 untuk makanan yang dikonsumsi tiap minggu. Data jumlah konsumsi per hari selanjutnya dikonversi menjadi jumlah konsumsi dalam satuan porsi/hari. Berikut rumus yang digunakan : Konsumsi (porsi/hari) = Jumlah konsumsi per hari (gram/hari) Standar porsi untuk masing-masing jenis bahan pangan (Kemenkes 2014a)
Data jumlah konsumsi dalam satuan porsi/hari ini selanjutnya digunakan sebagai dasar pengkategorian pola konsumsi pangan untuk masing-masing kelompok pangan. Berikut ini disajikan pengkategorian pola konsumsi pangan pada Tabel 4. Tabel 4 Pengkategorian pola konsumsi pangan Variabel pangan
Konsumsi sumber karbohidrat Konsumsi pangan sumber protein Konsumsi sayur Konsumsi buah Konsumsi makanan dan minuman manis Konsumsi jajanan
Kategori Cukup (≤ 4 porsi/hari) Berlebih (> 4 porsi/hari) Cukup (≤ 4 porsi/hari) Berlebih (> 4 porsi/hari) Cukup (≥ 3 porsi/hari) Kurang (< 3 porsi/hari) Cukup (≥ 2 porsi/hari) Kurang (< 2 porsi/hari) Jarang (< 1 porsi/hari) Sering (≥ 1 porsi/hari) Jarang (< 1 kali/hari) Sering (≥ 1 kali/hari)
Sumber Pustaka Kemenkes (2014b) Kemenkes (2014b) Kemenkes (2014b) Kemenkes (2014b) Depkes (2008) -
Data konsumsi pangan selanjutnya dikonversi menjadi jumlah konsumsi per minggu (gram/minggu), demikian juga data frekuensi konsumsi dari masingmasing jenis pangan dikonversi menjadi frekuensi konsumsi dalam seminggu (kali/minggu). Selain menggunakan Semi Quantitative – FFQ, recall 2x24 jam juga digunakan untuk memvalidasi data konsumsi pangan. Recall dilakukan pada 1x24 jam hari sekolah dan 1x24 jam hari libur yang meliputi nama menu makanan, bahan pangan, URT (ukuran rumah tangga), dan berat yang dikonsumsi (gram). Data yang dikumpulkan selama dua hari selanjutnya dirata-ratakan dan dikonversi sehingga diketahui asupan zat gizi contoh dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (2010) dan Tabel Komposisi Pangan Indonesia (2010). Kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi dihitung menggunakan rumus berikut (Hardinsyah dan Briawan 1994): KGij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100)
20 Keterangan : KGij = kandungan zat gizi i dari bahan makanan j dengan berat B gram Bj = berat bahan makanan j yang dikonsumsi (gram) Gij = kandungan zat gizi i dalam 100 gram BDD bahan makanan j BDDj = persen bahan makanan j yang dapat dimakan (%BDD) Data makanan kemasan atau minuman dihitung kandungan gizinya dengan mengonversi dari nutrition fact masing-masing jenis makanan atau minuman. Berikut rumus yang digunakan : Kij = (Bj/Nj) x Gij
Keterangan : Kij = kandungan zat gizi i dari makanan atau minuman j dengan berat B gram atau B ml Bj = berat (gram)/volume (ml) makanan/minuman j yang dikonsumsi Nj = berat (gram)/volume (ml) makanan/minuman j dalam satu takaran saji Gij = kandungan zat gizi i dalam satu takaran saji makanan atau minuman j Kecukupan energi dan zat gizi anak dihitung menggunakan Angka Kecukupan Gizi (AKG) menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) 2013 dengan koreksi berat badan aktual untuk anak dengan status gizi normal, sedangkan anak dengan status gizi kurang dan lebih menggunakan berat badan ideal. Berikut rumus yang digunakan untuk menentukan kecukupan energi atau zat gizi untuk tiap individu: AKG = ΒΒa/ΒΒi x AKGi ΒΒ ΑΚGi
Keterangan : AKG BBa BBi BB AKGi AKGi
: Kecukupan energi atau zat gizi tiap individu : berat badan aktual (anak berstatus gizi normal) : berat badan ideal ((anak berstatus gizi kurang dan lebih) : berat badan berdasarkan kelompok usia pada tabel AKG : Angka kecukupan zat gizi subjek berdasarkan kelompok usia pada tabel AKG
Perhitungan tingkat kecukupan energi dan zat gizi lain, baik protein, lemak, karbohidrat, maupun serat dilakukan dengan membandingkan kandungan zat gizi semua makanan yang dikonsumsi oleh anak dengan angka kecukupan energi atau zat gizi yang telah diperhitungkan sebelumnya. TKGi = Ki x 100% AKG
Keterangan : TKGi : Tingkat kecukupan energi atau zat gizi i (%) Ki : asupan energi dan zat gizi per hari
21 AKG
: Kecukupan energi atau zat gizi tiap individu
Data tingkat kecukupan energi, zat gizi, dan serat selanjutnya dikelompokkan menjadi beberapa kategori. Berikut ini disajikan pengkategorian tingkat kecukupan energi, zat gizi, dan serat pada Tabel 5. Tabel 5 Pengkategorian tingkat kecukupan energi, zat gizi, dan serat Variabel Tingkat kecukupan energi
Tingkat kecukupan protein
Tingkat kecukupan lemak
Tingkat kecukupan karbohidrat Tingkat kecukupan serat
Kategori Defisit (< 90% AKG) Normal (90 – 119% AKG) Lebih (≥ 120% AKG) Defisit (< 90% AKG) Normal (90 – 119% AKG) Lebih (≥ 120% AKG) Defisit (< 25% AKE) Normal (25 – 35% AKE) Lebih (≥ 35% AKE) Defisit (< 45% AKE) Normal (45 – 65% AKE) Lebih (≥ 65% AKE) Kurang (< 25 g) Cukup (≥ 25 g)
Sumber Pustaka Gibson (2005)
Gibson (2005)
Hardinsyah et al. (2014)
Hardinsyah et al. (2014)
Perkeni (2011)
Variabel aktivitas fisik diperoleh dari aktivitas yang dilakukan anak selama 2 x 24 jam, yaitu pada hari sekolah dan hari libur. Masing-masing data selama 24 jam dinyatakan dalam physical activity level (PAL) atau tingkat aktivitas fisik. Selanjutnya, diambil nilai PAL rata-rata dari hari libur dan hari masuk. Nilai PAL rata-rata atau tingkat aktivitas fisik rata-rata kemudian dikategorikan menjadi tiga, yaitu 1) ringan, jika PAL lebih dari atau sama dengan 1.40 dan kurang dari atau sama dengan 1.69, 2) sedang, jika PAL lebih dari atau sama dengan 1.70 dan kurang dari atau sama dengan 1.99, 3) berat, jika PAL lebih dari atau sama dengan 2.00 dan kurang dari atau sama dengan 2.40 (FAO/WHO/UNU 2001). Berikut rumus untuk menentukan PAL menurut FAO/WHO/UNU (2001) : PAL = (PAR x alokasi waktu tiap aktivitas) 24 jam
Keterangan : PAL : Physical Activity Level (tingkat aktivitas fisik) PAR : Physical Activity Ratio (jumlah energi yang dikeluarkan untuk tiap jenis kegiatan per satuan waktu tertentu) Selain tingkat aktivitas fisik, variabel yang berkaitan dengan aktivitas sehari-hari yang menjadi bagian dari penelitian ini adalah durasi menonton tv dan bermain games serta durasi tidur. Kedua variabel ini dikategorikan berdasarkan rata-rata waktu yang digunakan untuk kegiatan tersebut selama hari libur dan hari masuk. Durasi menonton tv dan bermain games dikategorikan menjadi dua, yaitu 1) cukup, jika durasi kurang dari atau sama dengan 5 jam per hari; dan 2) lebih, jika durasi lebih dari 5 jam per hari (Gortmaker et al. 1996). Durasi tidur juga
22 dikategorikan menjadi dua, yaitu 1) cukup, jika durasi tidur per hari lebih dari atau sama dengan 9 jam; dan 2) kurang, jika durasi tidur per hari kurang dari 9 jam (Shi et al. 2010). Data yang telah diolah selanjutnya dianalisis dengan uji statistik sesuai jenis data. Uji statistik deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan masingmasing variabel dengan menggunakan distribusi frekuensi. Selain itu juga dilakukan uji statistik inferensia berupa analisis bivariat. Analisis bivariat yang digunakan adalah uji spearman serta uji Chi-Square yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel dependen dengan salah satu variabel independen. Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui nilai faktor risiko atau Odds Ratio (OR) dari variabel independen terhadap variabel dependen dengan menggunakan model regresi logistik. Analisis regresi logistik dilakukan hanya untuk variabel yang memenuhi tingkat kemaknaan (p) kurang dari 0.05. Definisi Operasional Contoh adalah siswa-siswi sekolah luar biasa di Kabupaten Magetan yang mengalami Down Syndrome, berusia 6 – 18 tahun dan tidak memiliki penyakit kronis, serta tinggal bersama ibu kandung dalam satu rumah. Usia adalah bilangan yang dinyatakan dalam tahun, dihitung dari tahun kelahiran contoh hingga tahun pada saat penelitian berlangsung. Kategori retardasi mental adalah kondisi anak yang didasarkan pada kemampuan intelektual yang dimiliki. Kategori retardasi mental contoh diperoleh dari assessment yang dilakukan oleh guru meliputi kemampuan membaca, menulis dan berhitung, dan selanjutnya diklasifikasikan menjadi ringan dan sedang. Status gizi adalah keadaan gizi seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama yang terlihat pada keadaan fisiologisnya pada saat ini yang dinyatakan dengan Indeks Massa Tubuh menurut umur (IMT/U). Usia ibu adalah bilangan yang dinyatakan dalam tahun, dihitung dari tahun kelahiran ibu hingga tahun pada saat penelitian berlangsung. Pendidikan ibu adalah jenjang pendidikan formal tertinggi yang pernah ditempuh oleh ibu contoh yang telah berhasil ditamatkan. Pekerjaan ibu adalah jenis pekerjaan yang dilakukan oleh ibu contoh untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah dengan sumber perolehan makanan yang sama yang dikategorikan menjadi kecil (≤ 4 orang), sedang (5 – 7 orang), dan besar (≥ 4 orang) Pendapatan keluarga adalah jumlah pendapatan yang diperoleh oleh anggota keluarga setiap bulannya. Persepsi ibu terhadap Down Syndrome adalah suatu cara pandang ibu terhadap anak Down Syndrome yang diukur menggunakan kuesioner yang terdiri dari 10 pernyataan. Kategori pengukuran persepsi ibu terhadap Down Syndrome dibedakan menjadi positif dan negatif berdasarkan median skor.
23 Tingkat pengetahuan gizi ibu adalah tingkat pengetahuan dan informasi yang dimiliki oleh ibu mengenai gizi. Pengetahuan gizi diukur dengan menggunakan kuesioner yang berisi 10 pernyataan terkait gizi. Kategori pengukuran pengetahuan ibu dibedakan menjadi kurang, sedang, dan tinggi (Khomsan 2000). Pola konsumsi pangan anak Down Syndrome adalah kebiasaan makan contoh yang meliputi frekuensi, jenis, dan jumlah makanan yang dikonsumsi rata-rata dalam sebulan terakhir. Asupan zat gizi adalah tingkat kecukupan masing-masing zat gizi yang diperoleh dari perbandingan antara jumlah zat gizi yang dikonsumsi contoh terhadap angka kecukupan zat gizi yang dianjurkan. Aktivitas fisik anak Down Syndrome adalah seluruh jenis dan durasi waktu kegiatan yang melibatkan fisik (tubuh) yang dilakukan oleh anak dan diperoleh dari hasil pengisisan Activity Record. Aktivitas fisik digolongkan menjadi ringan, sedang, dan berat berdasarkan PAL. Durasi menonton tv dan bermain games adalah lamanya waktu yang dihabiskan contoh untuk menonton tv dan bermain games baik dengan media play station, handphone, maupun media lainnya dalam satu hari. Durasi tidur adalah total waktu yang dihabiskan contoh untuk tidur, baik tidur siang maupun malam.
24
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Penelitian berlangsung di lima sekolah luar biasa yang terdapat di Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Lima sekolah tersebut yaitu SLB Panca Bhakti, SLB PGRI Kawedanan, SLB PSM Takeran, SLB IDHATI Parang, dan SDLB Negeri Karangrejo. Kelima sekolah ini telah terakreditasi dengan status akreditasi C untuk SLB Panca Bhakti, B untuk SLB PGRI Kawedanan, A untuk SLB PSM Takeran, C untuk SLB IDHATI Parang, dan B untuk SDLB Negeri Karangrejo. Secara keseluruhan, penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di sekolah luar biasa yang menjadi lokasi penelitian dilakukan pada pagi hari. SLB Panca Bhakti merupakan sekolah luar biasa yang berstatus swasta dan berada di bawah Yayasan Perguruan Islam Pesantren Sabilil Mutaqien. Sekolah berlokasi di Jalan Kalpataru No.5 Magetan. Sekolah ini memiliki siswa dengan jenis ketunaan campuran, baik tunanetra (A), tunarungu (B), tunagrahita ringan (C), tunagrahita sedang (C1), tunadaksa ringan (D), tunadaksa sedang (D1), tunalaras (E), tunaganda (G), maupun autis. Pada tahun 2015, total jumlah siswa tunagrahita ringan dan tunagrahita sedang sebanyak 87 anak yang tersebar di berbagai usia dan jenjang pendidikan. Jenjang pendidikan yang diselenggarakan di sekolah ini meliputi pendidikan Taman Kanak-kanak Luar Biasa (TKLB), pendidikan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), pendidikan Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), dan pendidikan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB). SLB PGRI Kawedanan merupakan sekolah luar biasa yang berstatus swasta dan berada di bawah yayasan YPLP PGRI Dasmer Kabupaten Magetan. Sekolah berlokasi di Desa Karangrejo RT 24, RW 10, Kawedanan, Magetan. Jenis ketunaan yang menjadi cakupan sekolah ini antara lain tunarungu (B), tunagrahita ringan (C), tungrahita sedang (C1), tunadaksa ringan (D), tunaganda (G), dan autis. Jumlah siswa tunagrahita merupakan terbanyak dibandingkan jumlah siswa dengan jenis ketunaan yang lainnya, yaitu 14 anak tunagrahita ringan dan 39 anak tunagrahita sedang. Jenjang pendidikan yang diselenggarakan di sekolah ini meliputi pendidikan Taman Kanak-kanak Luar Biasa (TKLB), pendidikan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), pendidikan Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), dan pendidikan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB). SLB PSM Takeran merupakan sekolah luar biasa yang berstatus swasta dan berada di bawah Yayasan Perguruan Islam Pesantren Sabilil Mutaqien. Sekolah berlokasi di Jalan Raya Takeran, Magetan. Jenis ketunaan yang menjadi cakupan sekolah ini meliputi tunanetra (A), tunarungu (B), tunagrahita ringan (C), tunagrahita sedang (C1), tunadaksa ringan (D), dan tunadaksa sedang (D1). Jumlah siswa tunagrahita ringan di sekolah ini pada tahun 2015 adalah 1 anak, sedangkan tunagrahita sedang sebanyak 33 anak. Sama seperti sekolah luar biasa lainnya yang terdapat di Kabupaten Magetan, sekolah ini juga menyelenggarakan berbagai jenjang pendidikan mulai dari pendidikan Taman Kanak-kanak Luar Biasa (TKLB) hingga pendidikan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB). SLB IDHATI Parang merupakan sekolah luar biasa yang berstatus swasta dan berada di bawah Yayasan Ikhlas Dharma Bhakti (IDHATI). Sekolah berlokasi
25 di Jalan Raya Parang-Magetan, Tamanarum, Magetan. Jenis ketunaan yang menjadi cakupan sekolah ini antara lain tunanetra (A), tunarungu (B), tunagrahita ringan (C), tunagrahita sedang (C1), dan tunadaksa ringan (D). Pada tahun 2015, jumlah siswa tunagrahita ringan di sekolah ini adalah 1 anak, sedangkan tunagrahita sedang sebanyak 42 anak. Jenjang pendidikan yang diselenggarakan di sekolah ini meliputi pendidikan Taman Kanak-kanak Luar Biasa (TKLB), pendidikan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), pendidikan Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), dan pendidikan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB). SDLB Negeri Karangrejo merupakan satu-satunya sekolah luar biasa yang berstatus negeri di Kabupaten Magetan. Sekolah berlokasi di Jalan Raya Maospati-Ngawi, Desa Karangrejo, Magetan. Ketunaan yang menjadi cakupan sekolah ini meliputi tunanetra (A), tunarungu (B), tunagrahita ringan (C), dan tunagrahita sedang (C1). Jumlah siswa tunagrahita ringan di sekolah ini pada tahun 2015 adalah sebanyak 12 anak, sedangkan tunagrahita sedang sebanyak 54 anak. Berbeda dengan SLB lainnya yang terdapat di Kabupaten Magetan, sekolah ini hanya menyelenggarakan jenjang pendidikan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Namun secara umum, tidak ada perbedaan dari kelima sekolah ini baik dalam hal penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar maupun bantuan yang diberikan oleh pemerintah. Karakteristik Anak Karakteristik anak yang dinilai dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin, usia, kategori retardasi mental, dan status gizi. Sebagian besar (66.0%) contoh berjenis kelamin laki-laki dan 34.0% sisanya berjenis kelamin perempuan. Lebih dari separuh (58.0%) contoh berusia kurang dari atau sama dengan 12 tahun. Rata-rata usia contoh adalah 12 tahun dengan usia termuda 8 tahun dan usia tertua adalah 17 tahun. Menurut UU No 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak, seseorang yang belum berusia 18 tahun masih dikategorikan sebagai anak dan memerlukan perlindungan. Unit terkecil yang bertanggungjawab terhadap perlindungan anak adalah keluarga, khususnya orang tua. Oleh karena itu, menurut UU No 35 Tahun 2014, salah satu kewajiban dan tanggung jawab orang tua adalah mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak. Selain bentuk muka (Mongoloid) yang khas, anak Down Syndrome selalu menunjukkan gejala yang khas berupa retardasi mental (Kemenkes 2013). Retardasi mental dibagi menjadi empat kelompok, yaitu retardasi mental ringan, sedang, berat, dan sangat berat (AAMD 1983). Dari keempat kelompok retardasi mental tersebut, hanya kelompok retardasi mental ringan dan sedang yang mampu menerima pendidikan di Sekolah Luar Biasa. Secara keseluruhan (100.0%), contoh dalam penelitian ini berada dalam kelompok retardasi mental sedang. Berdasarkan kemampuannya, retardasi mental ringan digolongkan sebagai kelompok mampu didik (membaca, menulis, dan berhitung), retardasi mental sedang digolongkan sebagai kelompok mampu latih, sedangkan kelompok retardasi mental berat dan sangat berat tergolong kelompok mampu rawat yang tidak dapat menerima pendidikan secara akademis (AAMD 1983).
26 Lebih dari separuh (52.0%) contoh berstatus gizi normal, dan hanya sedikit (8.0%) yang berstatus gizi kurus dan sangat kurus, sedangkan 40.0% sisanya berstatus gizi gemuk dan obese. Persentase anak laki-laki yang memiliki status gizi normal jauh lebih besar dibandingkan anak perempuan, yaitu sebesar 60.6%. Menurut National Food Service Management Insitute (2006), kelebihan berat badan atau overweight merupakan masalah gizi yang sering terjadi pada anak Down Syndrome ketika usia sekolah. Sebaran contoh berdasarkan usia, kategori retardasi mental, dan status gizi disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan usia, kategori retardasi mental, dan status gizi Karakteristik Usia 1. ≤12 tahun 2. >12 tahun Total Kategori Retardasi Mental 1. Ringan 2. Sedang Total Status Gizi 1. Sangat Kurus 2. Kurus 3. Normal 4. Gemuk 5. Obese Total
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan n % n %
n
%
20 13 33
60.6 39.4 100.0
9 8 17
52.9 47.1 100.0
29 21 50
58.0 42.0 100.0
33 0 33
100.0 0.0 100.0
17 0 17
100.0 0.0 100.0
0 50 50
0.0 100.0 100.0
1 0 20 2 10 33
3.0 0.0 60.6 6.1 30.3 100.0
1 2 6 8 0 17
5.9 11.8 35.3 47.1 0.0 100.0
2 2 26 11 9 50
4.0 4.0 52.0 22.0 18.0 100.0
Total
Karakteristik Keluarga Karakteristik keluarga yang dinilai dalam penelitian ini adalah usia ibu, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, besar keluarga, dan pendapatan keluarga. Berikut disajikan sebaran contoh berdasarkan usia ibu, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, besar keluarga, dan pendapatan keluarga pada Tabel 7.
27 Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan usia ibu, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, besar keluarga, dan pendapatan keluarga Karakteristik Usia ibu 1. < 44 tahun 2. ≥ 44 tahun Total Pendidikan ibu 1. SD 2. SMP 3. SMA 4. Perguruan Tinggi Total Pekerjaan ibu 1. Ibu Rumah Tangga 2. PNS 3. Wiraswasta 4. Petani 5. Buruh 6. Karyawan Swasta 7. Lainnya Total Besar Keluarga 1. Kecil (≤ 4 orang) 2. Sedang (5 – 7 orang) 3. Besar ( ≥ 8 orang) Total Rata-rata ± sd Pendapatan keluarga 1. Miskin (< Rp 282 796/kap) 2. Tidak miskin (≥ Rp 282 796/kap) Total Rata-rata ± sd
n
%
24 26 50
48.0 52.0 100.0
14 17 17 2 50
28.0 34.0 34.0 4.0 100.0
26 1 9 12 1 1 0 50
52.0 2.0 18.0 24.0 2.0 2.0 0.0 100.0
32 18 0 50
64.0 36.0 0.0 100.0 4.1 ± 1.04
21 42.0 29 58.0 50 100.0 1 915 000 ± 1 929 080
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh (52.0%) ibu contoh berusia lebih dari atau sama dengan 44 tahun. Usia termuda dari ibu contoh adalah 30 tahun, sedangkan usia tertua 69 tahun. Rata-rata ibu contoh berusia 44 tahun. Menurut Brown et al. (2011), usia 40 tahunan merupakan periode tanggung jawab terhadap keluarga, seperti merawat anak-anak dan remaja. Pada usia ini, seseorang khususnya ibu akan dihadapkan pada tantangan mengatur jadwal kegiatan dan makanan sehari-hari. Pendidikan dalam penelitian ini didasarkan pada jenjang pendidikan formal tertinggi yang telah berhasil ditamatkan oleh ibu contoh. Sebanyak 28.0% ibu contoh telah menamatkan jenjang pendidikan SD, 34.0% menamatkan jenjang pendidikan SMP, 34.0% menamatkan jenjang pendidikan SMA, dan hanya 4.0% sisanya yang berhasil menamatkan jenjang pendidikan di perguruan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar (62.0%) ibu contoh mempunyai tingkat pendidikan yang rendah, yaitu maksimal hanya menamatkan program wajib belajar 9 tahun atau setara dengan SMP. Menurut Galobardes et al. (2006), pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh seseorang melalui pendidikan dapat
28 mempengaruhi fungsi kognitif dan membuat seseorang lebih mudah menerima informasi khususnya terkait kesehatan. Lebih dari separuh (52.0%) ibu contoh adalah ibu rumah tangga yang tidak bekerja dan 48.0% sisanya memiliki pekerjaan yang beragam, antara lain PNS, wiraswasta, petani, buruh, dan karyawan swasta. Pekerjaan ibu berkaitan dengan waktu yang dihabiskan untuk mengurus rumah tangga, khususnya merawat anak. Menurut Nie dan Poza (2014), ibu yang bekerja memiliki sedikit waktu di rumah dan ini akan menyebabkan anak memiliki kebiasaan makan yang tidak sehat dan cenderung melakukan aktivitas sedentary. Sebagian besar (64.0%) contoh berasal dari keluarga dengan kategori keluarga kecil, yaitu keluarga yang jumlah anggotanya tidak lebih dari 4 orang. Sebanyak 36.0% sisanya berasal dari keluarga dengan kategori keluarga sedang, yaitu keluarga yang jumlah anggotanya antara 5 hingga 7 orang. Rata-rata jumlah anggota keluarga contoh dalam penelitian ini adalah 4 orang. Pendapatan keluarga dalam penelitian ini dikategorikan berdasarkan garis kemiskinan di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2014, yaitu Rp 282 796/kap/bulan (BPS 2014). Lebih dari separuh (58.0%) contoh berasal dari keluarga dengan kategori tidak miskin (≥ Rp 282 796/kap/bulan) dan 42.0% sisanya berasal dari keluarga dengan kategori miskin (< Rp 282 796/kap/bulan). Rata-rata besar pendapatan keluarga contoh dalam penelitian ini adalah Rp 1 915 000/bulan. Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan Upah Minimum Kabupaten Magetan pada tahun 2015, yaitu sebesar Rp 1 150 000/bulan (Pergub Jatim Nomor 72 Tahun 2014). Persepsi Ibu terhadap Down Syndrome Setiap individu dapat memiliki persepsi yang berbeda satu sama lain dalam menerima, melihat, dan memahami suatu kejadian atau masalah. Persepsi adalah pengamatan tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Rahmat 2007). Oleh karena itu, setiap ibu contoh akan memiliki persepsi masing-masing dalam menghadapi masalah anak yang menderita Down Syndrome. Pada penelitian ini, persepsi ibu terhadap Down Syndrome ditekankan pada saat pertama kali ibu mengetahui anak menderita Down Syndrome. Hal ini dikarenakan, respon pada saat pertama kali akan lebih beragam dan mendorong terbentuknya persepsi yang berbeda-beda (Sutjihati 2007). Persepsi ibu terhadap Down Syndrome digali melalui 10 pernyataan yang harus dijawab oleh ibu contoh. Berikut disajikan sebaran ibu contoh berdasarkan jawaban pernyataan terkait persepsi terhadap Down Syndrome pada Tabel 8.
29 Tabel 8 Sebaran ibu contoh berdasarkan jawaban pernyataan terkait persepsi terhadap Down Syndrome No 1
2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pernyataan Pada saat pertama kali anak diketahui mengalami Down Syndrome, sempat terpikir lebih baik tidak memiliki anak daripada memiliki anak dengan Down Syndrome Setelah dikaruniai anak dengan Down Syndrome, saya sempat khawatir untuk mempunyai anak lagi Pada awalnya, saya sempat ragu apakah anak Down Syndrome akan dapat menjadi penerus keluarga Sejak awal, saya yakin Anak Down Syndrome bisa mandiri dan melakukan kebutuhan pribadinya sendiri (misal: mandi, makan, dll)* Pada awalnya, saya tidak yakin anak Down Syndrome akan dapat melakukan aktivitas seperti anak normal pada umumnya Pada saat pertama kali anak diketahui mengalami Down Syndrome, saya sempat ragu apakah dia dapat membanggakan keluarga nantinya Pada awalnya, saya sempat beranggapan bahwa keberadaan anak Down Syndrome akan menjadi beban keluarga Pada awalnya, saya sempat takut kehadiran anak Down Syndrome akan dapat mengancam ikatan pernikahan dan keluarga Pada awalnya, saya sempat ragu apakah anak Down Syndrome dapat menjadi sumber keceriaan bagi keluarga Pada saat anak diketahui mengalami Down Syndrome, saya sempat khawatir dengan masa depannya nanti
Tidak Setuju n %
Kurang Setuju n %
n
%
43
86.0
2
4.0
5
10.0
34
68.0
2
4.0
14 28.0
18
36.0
7
14.0
25 50.0
12
24.0
9
18.0
29 58.0
25
50.0
5
10.0
20 40.0
14
28.0
14
28.0
22 44.0
30
60.0
3
6.0
17 34.0
35
70.0
6
12.0
9
26
52.0
12
24.0
12 24.0
12
24.0
5
10.0
33 66.0
Setuju
18.0
Sebagian besar ibu contoh (86.0%) tidak setuju dengan pandangan lebih baik tidak memiliki anak daripada memiliki anak dengan Down Syndrome. Ibu contoh cenderung memiliki pandangan positif terhadap hadirnya anak meskipun dalam kondisi Down Syndrome. Hal ini juga terlihat dari sebagian besar ibu contoh (68.0%) yang menyatakan tidak khawatir untuk mempunyai anak lagi meskipun sebelumnya telah dikaruniai anak Down Syndrome. Hampir separuh ibu contoh (44.0%) sempat ragu bahwa anak Down Syndrome akan dapat membanggakan keluarga. Selain itu, sebagian besar ibu contoh (66.0%) juga memiliki kekhawatiran dengan masa depan anaknya. Hal ini wajar sebagai respon awal orangtua ketika melihat kondisi anak dengan keterbatasan yang dimiliki. Menurut Dukes dan Smith (2009), tidak mudah bagi ibu untuk menghadapi kenyataan bahwa anak mereka mengalami Down Syndrome. Pada awalnya, ibu yang kurang pemahaman terkait Down Syndrome akan bingung dan mengalami beberapa emosi secara bersamaan, seperti kaget, penyangkalan, sedih atau marah, rasa bersalah, takut, dan khawatir. Sebagian besar ibu contoh (70.0%) tidak setuju bahwa kehadiran anak Down Syndrome akan mengancam ikatan pernikahan dan keluarga mereka. Namun, beberapa ibu contoh (18.0%) masih memiliki pandangan bahwa
30 kehadiran anak Down Syndrome dapat mengancam ikatan pernikahan dan keluarga. Lebih lanjut berdasarkan hasil wawancara, beberapa orangtua bahkan terpaksa harus mengakhiri pernikahan mereka dikarenakan konflik yang timbul akibat ketidaksiapan dalam menerima kehadiran anak Down Syndrome. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hendriani et al. (2006) yang menunjukkan bahwa salah satu bentuk perlakuan dari keluarga yang tidak dapat menerima kondisi anak adalah dengan meminimalkan tanggung jawab dalam pengasuhan dan perawatan anak. Persepsi yang dimiliki seseorang bisa dalam bentuk persepsi positif atau negatif. Menurut Rahmat (2007), persepsi positif akan terbentuk apabila seseorang dapat menerima secara rasional dan emosional terhadap suatu objek yang dipersepsikan. Sebaliknya, persepsi negatif terbentuk apabila seseorang cenderung menjauhi, menolak, dan menanggapi secara berlawanan terhadap suatu objek yang dipersepsikan. Berikut disajikan gambar sebaran ibu contoh berdasarkan persepsi terhadap anak Down Syndrome pada Gambar 4.
Rata-rata = 59.7 SD = 24.3
Gambar 4 Sebaran ibu contoh berdasarkan persepsi terhadap Down Syndrome Pada penelitian ini, persepsi ibu contoh dikategorikan menjadi persepsi positif dan negatif berdasarkan median skor. Gambar 4 menunjukkan lebih dari separuh ibu contoh (54.0%) memiliki persepsi positif, sedangkan sisanya (46.0%) memiliki persepsi negatif terhadap anak Down Syndrome. Rata-rata persepsi ibu contoh terhadap anak Down Syndrome pada penelitian ini adalah 59.7 atau tergolong dalam kategori persepsi positif. Ibu yang memiliki persepsi positif cenderung memiliki penerimaan yang baik terhadap hadirnya anak meskipun dalam kondisi Down Syndrome serta tidak menganggap bahwa keberadaan anak Down Syndrome merupakan beban. Sebaliknya dengan ibu yang memiliki persepsi negatif, mereka umumnya memiliki kekhawatiran yang besar terhadap masa depan anak Down Syndrome. Pengetahuan Gizi Ibu Pengetahuan merupakan komponen yang berkaitan erat dengan sikap seseorang terhadap suatu hal. Pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting dalam penentuan sikap yang utuh (Notoatmodjo
31 2007). Pengetahuan gizi yang dimiliki oleh ibu akan menentukan sikap ibu terkait gizi dan kesehatan. Menurut Yabanci et al. (2014), ibu dengan pengetahuan gizi yang tinggi akan memberikan pengaruh yang positif terhadap kebiasaan dan perilaku makan anak. Pengetahuan gizi yang dimiliki oleh ibu akan membantu ibu dalam menyeleksi makanan maupun minuman yang baik untuk anak. Ibu dengan pengetahuan gizi yang tinggi cenderung menghindari pemberian makanan buatan serta lebih memahami pengetahuan tentang gizi dan kesehatan (Yabanci et al. 2014). Pengetahuan gizi yang menjadi fokus pada penelitian ini adalah pengetahuan umum seputar gizi dan kesehatan. Hal ini dikarenakan anak Down Syndrome tidak memiliki kebutuhan khusus terkait makanan, berbeda halnya pada anak autis yang harus menghindari makanan mengandung gluten dan kasein (NFSMI 2006). Pernyataan seputar pengetahuan gizi yang harus dijawab oleh ibu contoh antara lain berkaitan dengan akibat dari kelebihan gizi, contoh pangan sumber protein nabati, prinsip gizi seimbang, definisi makanan sehat, pengelompokan zat gizi, serta kebutuhan anak dalam hal makanan, minuman dan olahraga. Persentase ibu yang menjawab benar pernyataan terkait pengetahuan gizi disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Persentase ibu contoh yang menjawab benar pernyataan terkait pengetahuan gizi
Pernyataan Kelebihan zat gizi dapat mengakibatkan berbagai penyakit seperti diabetes, hipertensi, jantung, dan stroke Anak harus makan beranekaragam makanan dengan proporsi yang seimbang, dalam jumlah yang cukup agar dapat tumbuh dengan baik Ikan segar, telur, daging, dan susu merupakan contoh pangan sumber protein hewani Berolahraga secara teratur perlu dilakukan oleh anak Down Syndrome Mempertahankan berat badan yang normal merupakan salah satu prinsip gizi seimbang Anak tetap perlu makan utama meskipun sudah mengkonsumsi jajan Makanan yang sehat adalah makanan yang bersih, tidak tercemar, dan tidak harus mahal Zat gizi dikelompokkan menjadi zat gizi mikro dan zat gizi makro Kebiasaan minum air putih 2 liter per hari baik untuk anak Makanan manis, asin, dan berlemak tidak baik untuk kesehatan anak
n 36
% 72.0
30
60.0
11
22.0
35 47
70.0 94.0
45 18
90.0 36.0
37 4 33
74.0 8.0 66.0
Tabel 9 menunjukkan bahwa terdapat variasi jawaban terhadap masingmasing pernyataan yang diberikan. Pernyataan yang paling banyak dijawab benar oleh ibu contoh adalah pernyataan terkait salah satu prinsip gizi seimbang, yaitu mempertahankan berat badan yang normal (94.0%). Selain itu, hampir keseluruhan ibu (90.0%) juga telah memahami bahwa anak tidak perlu makan apabila sudah mengkonsumsi jajan merupakan suatu hal yang salah. Dari keseluruhan pernyataan yang diberikan, masih sangat sedikit ibu contoh (8.0%) yang menjawab dengan tepat pernyataan terkait kebiasaan minum air putih. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan tentang air minum yang dimiliki ibu contoh masih sangat kurang. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hardinsyah et al. (2009) yang menunjukkan bahwa hampir separuh
32 remaja dan dewasa baik di dataran rendah maupun dataran tinggi memiliki pengetahuan yang rendah tentang air minum. Pengetahuan yang dimiliki seseorang dapat dikategorikan menjadi kurang (<60.0%), sedang (60.0% – 80.0%), dan tinggi (>80.0%) (Khomsan 2000). Lebih dari separuh (60.0%) ibu contoh memiliki pengetahuan gizi yang sedang dan hanya sedikit sekali (2.0%) ibu contoh yang memiliki pengetahuan gizi yang tinggi. Rata-rata skor pengetahuan gizi ibu contoh dalam penelitian ini adalah 59.2 atau tergolong dalam kategori pengetahuan kurang. Sebagian besar ibu contoh masih memiliki pengetahuan yang kurang terkait kebiasaan minum air putih yang benar. Selain itu, mereka juga kurang memahami definisi makanan sehat dan pangan sumber zat gizi tertentu. Berikut disajikan diagram sebaran ibu contoh berdasarkan pengetahuan gizi pada Gambar 5.
Rata-rata = 59.2 SD = 16.0
Gambar 5 Sebaran ibu contoh berdasarkan tingkat pengetahuan gizi Pola Konsumsi Pangan Anak Down Syndrome Pola konsumsi pangan merupakan gambaran informasi mengenai jenis, frekuensi, dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsi setiap hari oleh seseorang atau merupakan gambaran ciri khas suatu kelompok masyarakat tertentu (Santoso 2004). Pada penelitian ini, pola konsumsi pangan yang dibahas meliputi frekuensi dan jumlah pangan yang paling sering dikonsumsi oleh contoh, serta asupan energi, protein, lemak, karbohidrat, dan serat. Pola konsumsi pangan merupakan salah satu faktor yang membentuk status gizi seseorang. Menurut Khomsan (2004), kejadian status gizi lebih selain disebabkan oleh rendahnya aktivitas fisik dan faktor genetik juga dipengaruhi oleh pola konsumsi pangan. Berikut disajikan rataan frekuensi dan jumlah konsumsi pangan contoh pada Tabel 10.
33 Tabel 10 Rataan frekuensi dan jumlah konsumsi pangan contoh Status Gizi Normal/Kurus Gemuk/Obese Kelompok Frekuensi Jumlah Frekuensi Jumlah Pangan konsumsi konsumsi konsumsi konsumsi (kali/minggu) (gram/hari) (kali/minggu) (gram/hari) Pangan Sumber karbohidrat Nasi 20.3 ± 3.8 445.0 ± 153.9 22.4 ± 6.3 487.5 ± 158.0 Mie 1.6 ± 1.8 15.2 ± 18.5 1.0 ± 1.0 8.8 ± 9.8 Kentang 1.3 ± 1.5 14.9 ± 22.0 1.0 ± 0.9 10.4 ± 11.1 Jagung 0.8 ± 1.1 6.0 ± 10.6 1.5 ± 1.8 12.0 ± 16.3 Roti tawar 1.0 ± 1.7 4.8 ± 7.3 0.8 ± 2.1 4.4 ± 12.2 Pangan Sumber Protein Hewani Ayam 2.6 ± 4.3 18.7 ± 30.8 2.0 ± 3.0 15.3 ± 22.2 Daging sapi 0.1 ± 0.2 0.5 ± 1.4 0.1 ± 0.2 0.6 ± 1.7 Ikan 1.9 ± 1.6 13.5 ± 11.5 2.0 ± 1.6 12.3 ± 10.9 Susu 2.1 ± 3.3 9.1 ± 14.0 1.8 ± 2.8 8.4 ± 12.6 Telur 4.4 ± 3.7 37.0 ± 31.6 5.3 ± 5.1 41.9 ± 40.2 Pangan Sumber Protein Nabati Tempe 10.2 ± 7.8 72.3 ± 70.9 13.4 ± 7.6 112.5 ± 75.3 Tahu 7.0 ± 7.5 74.4 ± 94.7 9.0 ± 8.2 109.1 ± 129.4 Susu Kedelai 0.9 ± 1.6 24.6 ± 47.0 0.8 ± 2.1 24.2 ± 60.8 Kacang hijau 0.4 ± 0.6 0.5 ± 0.9 0.3 ± 0.6 0.5 ± 1.0 Kacang tanah 1.2 ± 3.8 5.4 ± 21.8 0.6 ± 1.5 2.2 ± 4.6 Sayur Bayam 1.2 ± 1.0 5.8 ± 6.1 1.4 ± 1.0 7.0 ± 5.9 Kol 1.7 ± 3.8 3.8 ± 7.5 1.2 ± 1.2 2.5 ± 2.8 Wortel 1.5 ± 1.5 4.2 ± 4.6 1.2 ± 1.2 2.5 ± 2.8 Buncis 1.7 ± 3.8 3.6 ± 7.4 0.9 ± 1.0 1.8 ± 2.0 Sawi 1.1 ± 3.8 2.9 ± 7.3 0.6 ± 0.9 3.4 ± 5.6 Buah Pepaya 0.8 ± 1.4 13.5 ± 23.6 1.4 ± 2.0 15.0 ± 22.3 Jeruk 0.8 ± 0.8 4.7 ± 4.5 0.8 ± 1.6 6.4 ± 13.9 Jambu 1.1 ± 1.7 8.2 ± 12.4 2.0 ± 2.7 14.5 ± 19.2 Pisang 2.0 ± 3.9 20.8 ± 55.7 2.4 ± 2.5 22.2 ± 26.8 Rambutan 1.1 ± 2.1 9.4 ± 22.8 1.1 ± 1.8 9.2 ± 13.6 Makanan dan Minuman Manis Minuman 0.2 ± 0.7 10.5 ± 34.8 0.1 ± 0.2 3.6 ± 9.1 bersoda Teh gelas 1.5 ± 2.6 48.6 ± 75.3 1.0 ± 2,2 35.3 ± 75.8 Donat 0.9 ± 1.5 6.9 ± 12.3 1.0 ± 1.7 6.5 ± 11.3 Coklat 1.0 ± 2.1 1.5 ± 3.0 1.3 ± 2.3 2.3 ± 4.2 Biskuit 2.4 ± 2.9 12.2 ± 16.7 1.3 ± 1.6 10.2 ± 15.7 Jajanan Bakso 1.5 ± 1.8 10.5 ± 13.2 2.1 ± 2.3 12.7 ± 14.5 Cilok 3.3 ± 3.2 20.5 ± 20.4 2.8 ± 3.3 19.9 ± 30.9 Tempura 0.5 ± 1.8 4.0 ± 16.1 0.0 ± 0.0 0.0 ± 0.0 *Signifikan berhubungan (p <0.05)
p
0.540 0.138 0.466 0.101 0.087 0.878 0.866 0.984 0.644 0.721 0.083 0.379 0.253 0.517 0.772 0.928 0.787 0.493 0.996 0.858 0.125 0.141 0.349 0.135 0.926 0.815 0.422 0.823 0.736 0.175 0.161 0.786 0.380
Pangan sumber karbohidrat merupakan pangan yang menyumbang energi terbesar bagi tubuh. Pangan sumber karbohidrat juga biasa disebut makanan pokok. Indonesia memiliki berbagai jenis makanan pokok yang berasal dari berbagai daerah, antara lain beras, jagung, singkong, ubi, talas, garut, sorgum, jewawut, sagu, serta olahannya (Kemenkes 2014b).
34 Berdasarkan Tabel 10, pangan sumber karbohidrat yang paling sering dikonsumsi oleh keseluruhan contoh adalah nasi. Hal ini sangat wajar mengingat nasi masih menjadi menjadi pangan pokok utama dan pertama di Indonesia (Ariani 2006). Rata-rata konsumsi nasi pada kelompok contoh berstatus gizi gemuk/obese lebih besar dibandingkan pada kelompok berstatus gizi normal/kurus. Rata-rata frekuensi konsumsi nasi pada kelompok contoh berstatus gizi gemuk/obese adalah 22.4 ± 6.3 kali/minggu dengan jumlah 487.5 ± 158.0 gram/hari, sedangkan pada kelompok contoh berstatus gizi normal/kurus adalah 20.3 ± 3.8 kali/minggu dengan jumlah 445.0 ± 153.9 gram/hari. Hal serupa juga terlihat pada konsumsi jagung. Rata-rata konsumsi jagung pada kelompok contoh berstatus gizi gemuk/obese juga lebih besar dibandingkan pada kelompok contoh berstatus gizi normal/kurus. Hasil analisis spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi konsumsi kelompok pangan sumber karbohidrat, baik nasi, mie, kentang, jagung, maupun roti tawar dengan status gizi anak Down Syndrome (p>0.05). Hasil ini berbeda dengan studi yang telah dilakukan oleh Firouzi et al. (2014) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara konsumsi karbohidrat dengan indeks massa tubuh (IMT). Pangan hewani merupakan pangan sumber protein yang memiliki asam amino yang lengkap dan mudah dicerna tubuh (Kemenkes 2014b). Berdasarkan Tabel 10, dapat diketahui jenis pangan sumber protein hewani yang paling sering dikonsumsi contoh pada penelitian ini adalah telur dan ayam. Telur dan ayam merupakan sumber protein hewani yang paling sering dikonsumsi contoh karena mudah diperoleh dan harganya cukup terjangkau. Rata-rata frekuensi konsumsi telur pada kelompok contoh berstatus gizi gemuk/obese adalah 5.3 ± 5.1 kali/minggu dengan jumlah 41.9 ± 40.2 gram/hari. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata konsumsi pada kelompok contoh berstatus gizi normal/kurus, yaitu sebesar 4.4 ± 3.7 kali/minggu dengan jumlah konsumsi 37.0 ± 31.6 gram/hari. Hasil yang berbeda ditunjukkan pada pola konsumsi ayam. Ratarata konsumsi ayam justru lebih besar pada kelompok contoh berstatus gizi normal/kurus dibandingkan pada kelompok contoh berstatus gizi gemuk/obese. Rata-rata frekuensi konsumsi ayam pada kelompok contoh berstatus gizi normal/kurus sebesar 2.6 ± 4.3 kali/minggu dengan jumlah 18.7 ± 30.8 gram/hari, sedangkan pada kelompok contoh berstatus gizi gemuk/obese adalah 2.0 ± 3.0 kali/minggu dengan jumlah 15.3 ± 22.2 gram/hari. Hasil analisis spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi konsumsi kelompok pangan hewani, baik ayam, daging sapi, ikan, susu, maupun telur dengan status gizi anak Down Syndrome (p> 0.05). Protein tidak hanya dapat diperoleh dari pangan hewani, namun juga pangan nabati. Pangan sumber protein nabati meliputi kedelai, tahu, tempe, kacang hijau, kacang tanah, kacang merah, dan hasil olahannya (Kemenkes 2014). Pangan sumber protein nabati yang paling sering dikonsumsi contoh pada penelitian ini adalah tempe dan tahu. Berdasarkan Tabel 10 diketahui konsumsi tempe maupun tahu lebih tinggi pada kelompok contoh berstatus gizi gemuk/obese dibandingkan pada kelompok contoh berstatus gizi normal/kurus. Rata-rata frekuensi konsumsi tempe pada kelompok contoh berstatus gizi gemuk/obese sebesar 13.4 ± 7.6 kali/minggu dengan jumlah 112.5 ± 75.3 gram/hari, sedangkan pada kelompok contoh berstatus gizi normal/kurus adalah
35 sebesar 10.2 ± 7.8 kali/minggu dengan jumlah 72.3 ± 70.9 gram/hari. Demikian juga konsumsi tahu, rata-rata frekuensi konsumsi tahu pada kelompok contoh berstatus gizi gemuk/obese sebesar 9.0 ± 8.2 kali/minggu dengan jumlah 109.1 ± 129.4 gram/hari, sedangkan pada kelompok contoh berstatus gizi normal/kurus adalah sebesar 7.0 ± 7.5 kali/minggu dengan jumlah 74.4 ± 94.7 gram/hari. Hasil analisis spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi konsumsi kelompok pangan sumber protein nabati, baik tempe, tahu, susu kedelai, kacang hijau, maupun kacang tanah dengan status gizi anak Down Syndrome (p>0.05). Sayuran dan buah-buahan merupakan pangan sumber vitamin, mineral, dan serat pangan (Kemenkes 2014b). Serat pangan memiliki manfaat yang baik bagi tubuh. Menurut Mahan dan Stump (2008), serat pangan sangat penting untuk anak-anak agar sistem pencernaan dapat bekerja dengan normal dan sehat. Sayuran dan buah-buahan sebaiknya dikonsumsi secara bervariasi sehingga dapat diperoleh beragam sumber vitamin, mineral, dan serat (Kemenkes 2014b). Berdasarkan Tabel 10, dapat diketahui sebagian besar jenis sayuran seperti kol, wortel, buncis, dan sawi lebih banyak dikonsumsi oleh kelompok contoh berstatus gizi normal/kurus dibandingkan kelompok contoh berstatus gizi gemuk/obese. Namun, secara keseluruhan rata-rata konsumsi sayuran pada contoh masih sangat rendah yaitu 2 – 7 gram/hari. Jumlah ini masih jauh dari anjuran konsumsi sayuran bagi anak usia sekolah, yaitu sebesar 200 – 300 gram/hari (Kemenkes 2014b). Hasil analisis spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi konsumsi sayuran, baik bayam, kol, wortel, buncis, dan sawi dengan status gizi anak Down Syndrome (p>0.05). Anjuran konsumsi buah dan sayur pada anak usia sekolah adalah sebesar 300 – 400 gram/hari, dengan komposisi dua-pertiga berasal dari sayuran dan sepertiga sisanya berasal dari buah-buahan (Kemenkes 2014b). Berdasarkan Tabel 10, dapat diketahui jumlah konsumsi buah pada keseluruhan contoh masih sangat jauh dari jumlah yang dianjurkan. Rata-rata jumlah konsumsi buah pada contoh adalah sebesar 5 – 25 gram/hari. Apabila dibandingkan antara kedua kelompok, rata-rata konsumsi buah seperti pepaya, jeruk, jambu dan pisang lebih besar pada kelompok contoh berstatus gizi gemuk/obese dibandingkan pada kelompok contoh berstatus gizi normal/kurus. Meskipun buah baik bagi tubuh, konsumsi buah yang sangat manis harus tetap dibatasi karena mengandung fruktosa dan glukosa yang tinggi dan berisiko meningkatkan kadar gula darah seseorang (Kemenkes 2014b). Hasil analisis spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi konsumsi buah-buahan, baik pepaya, jeruk, jambu, pisang, maupun rambutan dengan status gizi anak Down Syndrome (p>0.05). Pembatasan konsumsi gula merupakan salah satu anjuran dalam pedoman gizi seimbang. Pada anak-anak, konsumsi gula umumnya diperoleh dari makanan dan minuman yang manis. Menurut Mahan dan Stump (2008), konsumsi gula yang berasal dari jus bergula, minuman bersoda, permen, dan coklat cenderung meningkat pada masa anak-anak. Berdasarkan Tabel 10, dapat diketahui jenis makanan manis yang paling sering dikonsumsi oleh contoh adalah biskuit, khususnya biskuit coklat. Rata-rata konsumsi biskuit pada kelompok contoh berstatus gizi normal/kurus adalah sebesar 2.4 ± 2.9 kali/minggu dengan jumlah 12.2 ± 16.7 gram/hari. Hasil ini lebih besar dibandingkan konsumsi pada
36 kelompok contoh berstatus gizi gemuk/obese, yaitu sebesar 1.3 ± 1.6 kali/minggu dengan jumlah 10.2 ± 15.7 gram/hari. Minuman manis yang paling sering dikonsumsi contoh adalah minuman teh kemasan. Hal ini dikarenakan teh kemasan sangat mudah diperoleh di lingkungan sekitar contoh, misalnya di kantin sekolah dan warung-warung. Sama halnya dengan konsumsi biskuit coklat, konsumsi teh kemasan pada kelompok contoh berstatus gizi normal/kurus lebih besar dibandingkan kelompok contoh berstatus gizi gemuk/obese. Hasil analisis spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi konsumsi makanan dan minuman manis, baik minuman bersoda, teh gelas, donat, coklat, maupun biskuit dengan status gizi anak Down Syndrome (p>0.05). Hasil ini berbeda dengan studi yang dilakukan oleh Ochoa et al. (2007) juga menunjukkan bahwa minuman manis dapat meningkatkan risiko kegemukan pada anak. Hubungan antara minuman manis dan obesitas dapat dijelaskan melalui beberapa mekanisme berikut: 1) asupan kalori yang berlebih; 2) kurang mengenyangkan; 3) beban glikemik yang tinggi; dan 4) menggantikan konsumsi susu (Ochoa et al.2007). Perbedaan hasil ini diduga karena contoh yang sering mengonsumsi makanan dan minuman manis akan lebih sering melewatkan waktu makan sehingga menurunkan asupan energi total. Rata-rata asupan energi contoh yang sering mengonsumsi makanan dan minuman manis pada penelitian ini adalah 1878 kkal. Hasil ini lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata asupan energi contoh yang jarang mengonsumsi makanan dan minuman manis, yaitu sebesar 1915 kkal. Anak usia sekolah tidak dapat dipisahkan dari makanan jajanan. Meskipun demikian, perlu adanya pembatasan konsumsi makanan jajanan karena sebagian besar makanan jajanan memiliki kandungan gula, garam, dan lemak yang cukup tinggi (Kemenkes 2014b). Pada studi ini, yang dimaksud jajanan adalah makanan olahan yang penyajiannya cepat atau pada studi lain disebut sebagai fast food. Fast food pada berbagai studi umumnya mencakup sandwich, burger, fried chicken, pizza, hot dog, dan lain-lain. Namun, jenis makanan seperti ini masih belum umum dikonsumsi di Kabupaten Magetan. Oleh karena itu, kelompok jajanan yang diperhatikan dalam penelitian ini lebih kepada jenis makanan olahan cepat saji yang umum dikonsumsi oleh anak-anak, seperti bakso, cilok, dan tempura. Berdasarkan Tabel 10, dapat diketahui jenis jajanan yang paling sering dikonsumsi contoh adalah cilok. Cilok merupakan pangan olahan yang berasal dari campuran tepung terigu dan tepung kanji. Rata-rata konsumsi cilok pada kelompok contoh berstatus gizi normal/kurus adalah sebesar 3.3 ± 3.2 kali/minggu dengan jumlah 20.5 ± 20.4 gram/hari. Hasil ini lebih besar dibandingkan konsumsi pada kelompok contoh berstatus gizi gemuk/obese, yaitu sebesar 2.8 ± 3.3 kali/minggu dengan jumlah 19.9 ± 30.9 gram/hari. Hasil analisis spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi konsumsi jajanan, baik bakso, cilok, maupun tempura dengan status gizi anak Down Syndrome (p>0.05). Hasil ini berbeda dengan berbagai studi sebelumnya yang menunjukkan bahwa konsumsi fast food atau makanan olahan cepat saji dapat meningkatkan risiko kegemukan (Niemeier et al. 2006, Sultana et al. 2015). Pola konsumsi pangan seseorang dapat dikategorikan berdasarkan jumlah konsumsi yang dianjurkan dalam pedoman gizi seimbang. Di dalam pedoman gizi seimbang, porsi makanan dan minuman yang dianjurkan divisualisasikan dalam
37 bentuk tumpeng gizi seimbang (Kemenkes 2014b). Berikut disajikan sebaran contoh berdasarkan pola konsumsi pangan pada Tabel 11. Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan pola konsumsi pangan Kelompok pangan Sumber karbohidrat - Cukup (≤ 4 porsi/hari) - Berlebih ( > 4 porsi/hari) Total Rata-rata ± sd Sumber protein - Cukup (≤ 4 porsi/hari) - Berlebih ( > 4 porsi/hari) Total Rata-rata ± sd Sayur - Cukup (≥ 3 porsi/hari) - Kurang (< 3 porsi/hari) Total Rata-rata ± sd Buah - Cukup (≥ 2 porsi/hari) - Kurang (< 2 porsi/hari) Total Rata-rata ± sd Makanan & minuman manis - Jarang (< 1 porsi/hari) - Sering (≥ 1 porsi/hari) Total Rata-rata ± sd Jajanan - Jarang (< 1 kali/hari) - Sering (≥ 1 kali/hari) Total Rata-rata ± sd
n
%
15 30.0 35 70.0 50 100.0 5.1 ± 1.5 porsi/hari 24 48.0 26 52.0 50 100.0 4.8 ± 2.7 porsi/hari 0 0.0 50 100.0 50 100.0 0.2 ± 0.2 porsi/hari 5 10.0 45 90.0 50 100.0 0.9 ± 1.1 porsi/hari 30 60.0 20 40.0 50 100.0 1.2 ± 1.3 porsi/hari 28 56.0 22 44.0 50 100.0 0.7 ± 0.6 kali/hari
Salah satu pilar gizi seimbang adalah mengonsumsi makanan beragam yang memberikan anjuran seseorang untuk mengonsumsi makanan secara beragam yang terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, sayuran, buah-buahan, dan air serta beranekaragam dalam setiap kelompok pangan. Selain itu, dalam mengonsumsi beranekaragam makanan juga harus dengan proporsi yang seimbang, dalam jumlah yang cukup dan tidak berlebihan (Kemenkes 2014b). Jumlah konsumsi pangan sumber karbohidrat yang dianjurkan menurut tumpeng gizi seimbang adalah 3 – 4 porsi/hari (Kemenkes 2014b). Pada Tabel 11, dapat diketahui sebagian besar contoh (70.0%) mengonsumsi pangan sumber karbohidrat secara berlebih (> 4 porsi/hari). Demikian juga rata-rata konsumsi pangan sumber karbohidrat contoh sebesar 5.1 porsi/hari yang tergolong berlebih. Hasil ini sesuai dengan studi yang dilakukan Grammatikopoulou et al. (2008)
38 yang menunjukkan bahwa anak Down Syndrome cenderung memiliki asupan karbohidrat yang berlebih. Pangan sumber protein, baik nabati maupun hewani menurut tumpeng gizi seimbang dibatasi konsumsinya sebanyak 2 – 4 porsi/hari (Kemenkes 2014b). Tabel 11 menunjukkan lebih dari separuh contoh (52.0%) memiliki konsumsi pangan sumber protein yang tergolong berlebih (> 4 porsi/hari) dan 48.0% sisanya tergolong cukup (≤ 4 porsi/hari). Rata-rata konsumsi pangan sumber protein contoh adalah 4.8 porsi/hari atau tergolong berlebih. Hasil ini sejalan dengan studi yang dilakukan Marin dan Graupera (2011) yang menunjukkan bahwa asupan protein orang Down Syndrome cenderung tinggi. Tumpeng gizi seimbang memberikan anjuran konsumsi sayur sebanyak 3 – 4 porsi/hari. Anjuran ini sangat sulit dicapai oleh anak Down Syndrome karena adanya keterlambatan kemampuan mengunyah dan menelan pada usia pra sekolah sehingga membatasi orang tua dalam memberikan berbagai jenis makanan pada anak, terutama sayuran (NFSMI 2006, Mahan & Stump 2008). Hal ini dapat terlihat pada Tabel 11 yang menunjukkan keseluruhan contoh (100.0) memiliki asupan sayuran yang tergolong kurang (<3 porsi/hari). Rata-rata konsumsi sayuran contoh pada penelitian ini hanya sebesar 0.2 porsi/hari. Selain sayuran, buah juga merupakan sumber berbagai vitamin, mineral, dan serat pangan. Berdasarkan tumpeng gizi seimbang, anjuran konsumsi buah per hari adalah 2 – 3 porsi (Kemenkes 2014b). Tabel 11 menunjukkan sebagian besar contoh (90.0%) mengonsumsi buah kurang dari 2 porsi/hari atau tergolong kurang dan hanya 10.0% sisanya yang mengonsumsi buah dengan kategori cukup (≥ 2 porsi/hari). Sama halnya dengan konsumsi sayuran, rata-rata konsumsi buah contoh pada penelitian ini juga masih sangat rendah yaitu 0.9 porsi/hari. Hasil studi Menezes et al. (2009) menyatakan bahwa seseorang yang mengonsumsi buah kurang dari 1 kali/hari berisiko 1.84 kali lebih tinggi mengalami kegemukan. Makanan dan minuman manis merupakan kelompok pangan yang harus dibatasi karena pengaruhnya yang kurang baik, diantaranya menyebabkan asupan kalori berlebih, tidak mengenyangkan, beban glikemik yang tinggi, dan menggantikan konsumsi susu (Ochoa et al. 2007). Menurut Kemenkes (2008), konsumsi makanan dan minuman manis sebaiknya dibatasi 1 porsi/hari. Berdasarkan Tabel 11, dapat diketahui sebagian besar contoh (60.0%) mengonsumsi makanan dan minuman manis dengan kategori jarang (<1 porsi/hari), sedangkan 40.0% sisanya mengonsumsi sebanyak lebih dari atau sama dengan 1 porsi/hari. Rata-rata konsumsi makanan dan minuman manis contoh tergolong cukup sering, yaitu 1.2 porsi/hari. Hal ini kemungkinan disebabkan orangtua takut menolak keinginan anak, termasuk keinginan untuk mengonsumsi makanan dan minuman manis. Hasil studi Reinehr et al. (2010) menyatakan bahwa orangtua dari anak berkebutuhan khusus (ABK) akan cenderung memberikan permen dan makanan sejenis dengan tujuan untuk menenangkan anak. Konsumsi jajanan ataupun makanan cepat saji saat ini sudah menjadi suatu kebiasaan. Jajanan umumnya dikonsumsi anak usia sekolah pada saat sepulang sekolah dan sore hari (Mahan dan Stump 2008). Namun, konsumsi makanan jajanan ataupun makanan cepat saji harus dibatasi karena dampaknya yang kurang baik bagi kesehatan. Hasil studi Bhuiyan et al. (2013) menunjukkan bahwa kebiasaan konsumsi makanan cepat saji merupakan faktor risiko overweight dan
39 obese pada anak-anak. Pada penelitian ini, konsumsi jajanan dikategorikan sering apabila lebih dari atau sama dengan 1 kali per hari atau dengan kata lain dikonsumsi secara rutin setiap hari. Sebagian besar contoh (56.0%) memiliki kebiasaan konsumsi jajanan dengan kategori jarang (< 1 kali/hari), sedangkan 44.0% sisanya memiliki kebiasaan konsumsi jajanan dengan kategori sering. Asupan Energi, Zat Gizi, dan Serat Anak Down Syndrome Asupan contoh yang diperhatikan dalam penelitian ini meliputi asupan energi, protein, lemak, karbohidrat, dan serat. Masing-masing asupan dikategorikan berdasarkan tingkat kecukupannya. Berikut disajikan sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi, zat gizi, dan serat pada Tabel 12. Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi, zat gizi, dan serat Variabel Energi - Defisit (< 90% AKG) - Normal (90-119% AKG) - Berlebih (≥ 120% AKG) Total Rata-rata ± sd (%) Rata-rata asupan energi ± sd (kkal) Protein - Defisit (< 90% AKG) - Normal (90-119% AKG) - Berlebih (≥ 120% AKG) Total Rata-rata ± sd (%) Rata-rata asupan protein ± sd (gram) Lemak - Defisit (< 25% AKE) - Normal (25 – 35% AKE) - Berlebih (> 35% AKE) Total Rata-rata ± sd (%) Rata-rata asupan lemak ± sd (gram) Karbohidrat - Defisit (< 45% AKE) - Normal (45 – 65% AKE) - Berlebih (> 65% AKE) Total Rata-rata ± sd (%) Rata-rata asupan karbohidrat ± sd (gram) Serat - Kurang (< 25 g) - Cukup (≥ 25 g) Total Rata-rata asupan serat ± sd (gram)
n
%
17 12 21 50
34.0 24.0 42.0 100.0 108.7 ± 32.5 1900 ± 572
20 10 20 50
40.0 20.0 40.0 100.0 109.7 ± 42.6 54 ± 20.3
22 8 20 50
44.0 16.0 40.0 100.0 31.0 ± 13.7 60.7 ± 28.9
4 14 32 50
8.0 28.0 64.0 100.0 96.1 ± 58.7 414.9 ± 243.7
50.0 0 50
100.0 0.0 100.0 6.0 ± 3.5
40 Energi yang diasup oleh tubuh berasal dari makanan maupun minuman. Asupan energi seseorang dalam jangka waktu yang lama akan menentukan status gizinya. Apabila asupan energi melebihi jumlah yang dikeluarkan, maka akan terjadi kelebihan energi yang berpotensi mengakibatkan penimbunan energi dalam tubuh. Timbunan energi selanjutnya akan berubah menjadi jaringan lemak yang dapat memicu terjadinya kegemukan (Kemenkes 2014b). Berdasarkan Tabel 12, dapat diketahui rata-rata asupan energi contoh sebesar 1900 ± 572 kkal. Sebagian besar contoh (42.0%) memiliki tingkat kecukupan energi dengan kategori berlebih ((≥ 120% AKG), 34.0% memiliki tingkat kecukupan energi dengan kategori defisit (< 90% AKG), dan 24.0% sisanya memiliki tingkat kecukupan energi dengan kategori normal (90-119% AKG). Hasil ini tidak sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Koniuszy dan Kunowski (2013) yang menunjukkan bahwa kecukupan energi yang berasal dari menu makanan anak Down Syndrome cenderung rendah. Namun, studi lain yang diacu dalam Samour dan King (2005) menyatakan bahwa anak Down Syndrome cenderung memiliki asupan makanan yang lebih tinggi dari Dietary Reference Intake (DRI). Banyaknya contoh yang memiliki asupan energi dengan kategori berlebih pada penelitian ini kemungkinan disebabkan kurangnya pengetahuan ibu terkait kebutuhan gizi anak, khususnya anak Down Syndrome. Menurut NFSMI (2006) serta Samour dan King (2005), anak Down Syndrome memiliki kebutuhan energi yang lebih rendah dari anakanak pada umumnya. Tingkat kecukupan protein dikatakan normal apabila berada dalam rentang 90.0 – 119.0% dari Angka Kecukupan Gizi (Gibson 2005). Rata-rata asupan protein contoh dalam penelitian ini adalah sebesar 54 ± 20.3 gram. Pada Tabel 12, dapat diketahui contoh yang memiliki tingkat kecukupan protein dengan kategori defisit maupun contoh dengan kategori berlebih persentasenya sama besar, yaitu masing-masing 40.0%. Hanya sebanyak 20.0% contoh yang memiliki tingkat kecukupan protein dengan kategori normal. Asupan protein yang tidak proporsional pada sebagian besar contoh ini juga terlihat pada berbagai studi lain yang dilakukan pada anak Down Syndrome. Hasil studi Marin dan Graupera (2011) menunjukkan bahwa asupan protein pada anak Down Syndrome cenderung tinggi, sedangkan hasil studi Samarkandy et al. (2012) justru menunjukkan asupan protein yang cenderung rendah. Lemak yang berasal dari makanan memiliki manfaat bagi tubuh, antara lain meningkatkan jumlah asupan energi, membantu penyerapan vitamin larut lemak, serta menambah cita rasa hidangan. Konsumsi lemak dan minyak dari makanan sehari-hari sebaiknya dibatasi tidak lebih dari 25% dari kebutuhan energi (Kemenkes 2014b). Menurut Hardinsyah et al. (2014), anjuran proporsi asupan energi yang berasal dari lemak untuk anak usia 4 hingga 18 tahun adalah 25.0 – 35.0%. Berdasarkan Tabel 12, dapat diketahui contoh yang memiliki tingkat kecukupan lemak dengan kategori defisit sebanyak 44.0%, kategori berlebih sebanyak 40.0%, dan hanya 16.0% sisanya yang memiliki tingkat kecukupan lemak dengan kategori normal. Rata-rata asupan lemak contoh dalam penelitian ini adalah 60.7 ± 28.9 gram. Asupan lemak yang tidak proporsional pada sebagian besar contoh ini kemungkinan dapat terjadi karena menu seharihari contoh yang masih kurang seimbang. Hal ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Koniuszy dan Kunowski (2013) yang menyimpulkan bahwa makanan sehari-hari anak Down Syndrome tidak seimbang dalam hal energi dan
41 zat gizi. Lebih lanjut, di dalam studi tersebut juga memperlihatkan bahwa asupan energi yang berasal dari lemak pada anak Down Syndrome tergolong berlebih. Karbohidrat diperlukan tubuh sebagai sumber energi utama. Menurut Hardinsyah et al. (2014), anjuran proporsi asupan energi yang berasal dari karbohidrat untuk anak usia 4 hingga 18 tahun adalah 45.0 – 65.0%. Rata-rata asupan karbohidrat contoh dalam penelitian ini adalah 414.9 ± 243.7 gram. Berdasarkan Tabel 12, dapat diketahui sebagian besar contoh (64.0%) memiliki tingkat kecukupan energi dengan kategori berlebih, 28.0% memiliki tingkat kecukupan energi dengan kategori normal, dan 8.0% sisanya memiliki tingkat kecukupan energi dengan kategori defisit. Hasil ini berbeda dengan berbagai studi yang telah dilakukan sebelumnya yang menunjukkan bahwa sebagian besar anak Down Syndrome memiliki asupan karbohidrat yang rendah (Marin & Graupera 2011, Koniuszy & Kunowski 2013). Namun, studi lain yang dilakukan oleh Grammatikopoulou et al. (2008) menunjukkan hasil yang sejalan dengan hasil penelitian ini, yaitu asupan karbohidrat pada anak Down Syndrome tergolong tinggi. Asupan serat biasanya berasal dari sayuran dan buah-buahan. Menurut Slavin et al. (2005), asupan serat yang tinggi dapat menurunkan risiko obese karena memberikan kontribusi energi yang lebih rendah. Selain itu, serat juga akan meningkatkan rasa kenyang. Jenis serat tertentu juga akan meningkatkan waktu penyerapan, memperlambat penyerapan glukosa, dan memicu peningkatan kadar gula darah secara bertahap. Jumlah asupan serat yang dianjurkan untuk mencegah obesitas dan penyakit non infeksi adalah 25 g/hari (Jarosz dan Bulhak 2008 diacu dalam Koniuszy & Kunowski 2013, Perkeni 2011). Berdasarkan Tabel 12, dapat diketahui keseluruhan contoh (100.0%) memiliki asupan serat dengan kategori kurang. Berbagai studi yang dilakukan pada anak Down Syndrome juga menunjukkan hasil yang seragam, yaitu hampir keseluruhan anak Down Syndrome memiliki asupan serat yang kurang (Marin dan Graupera 2011, Koniuszy & Kunowski 2013, Samarkandy et al. 2012). Rata-rata asupan serat contoh dalam penelitian ini adalah 6.0 gram/hari. Hasil ini tidak berbeda jauh dengan survei nasional yang dilakukan oleh USDA (1997) diacu dalam Mahan & Stump (2008) yang menunjukkan bahwa rata-rata asupan serat anak usia sekolah adalah 13 gram/hari. Menurut Koniuszy & Kunowski (2013), rendahnya asupan serat pada anak Down Syndrome disebabkan kurangnya konsumsi serealia, sayuran, kacangkacangan, biji-bijian, dan buah-buahan. Pola Aktivitas Pola aktivitas yang dibahas dalam penelitian ini meliputi kategori aktivitas fisik, durasi menonton TV dan bermain games, serta durasi tidur. Contoh dalam penelitian ini secara keseluruhan (100.0%) memiliki aktivitas fisik dengan kategori ringan. Rata-rata Physical Activity Level contoh adalah 1.44 ± 0.1. Hasil ini sejalan dengan studi yang dilakukan Marin dan Graupera (2011) serta Phillips dan Holland (2011) yang menunjukkan bahwa anak Down Syndrome memiliki aktivitas fisik yang kurang. Menurut Reinehr et al. (2010), kurangnya aktivitas fisik pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain kurangnya fasilitas untuk ABK di pusat olahraga dan tempat
42 bermain, perilaku orangtua yang cenderung over protective dan mencegah anak untuk bermain di luar rumah, lingkungan sekitar yang kurang aman, serta biaya yang cukup mahal untuk menyediakan peralatan olahraga secara khusus. Berikut disajikan rata-rata alokasi waktu contoh untuk kegiatan sehari-hari pada Tabel 13. Tabel 13 Rata-rata alokasi waktu contoh untuk kegiatan sehari-hari Jenis kegiatan Tidur Beribadah Membersihkan diri Makan (pagi, siang, dan malam) Jalan kaki Naik kendaraan Belajar Membantu orangtua Bermain di luar rumah Bermain di dalam rumah Menonton tv dan bermain games Lainnya Total
Alokasi waktu (jam) 10.2 0.3 1.0 1.2 0.2 0.4 2.8 0.3 0.5 1.8 4.9 0.5 24.0
Berdasarkan Tabel 13 dapat diketahui bahwa selain tidur, alokasi waktu contoh dalam sehari lebih banyak dihabiskan untuk menonton tv (4.9 jam) dan belajar (2.8 jam). Berikut disajikan sebaran contoh berdasarkan pola aktivitas pada Tabel 14. Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan pola aktivitas Variabel Durasi menonton TV dan bermain games - Cukup (≤ 5 jam/hari) - Lebih (> 5 jam/hari) Total Rata-rata ± sd Durasi tidur - Cukup (≥ 9 jam/hari) - Kurang (< 9 jam/hari) Total Rata-rata ± sd
n
%
28 22 50
56.0 44.0 100.0 4.9 ± 2.2
42 8 50
84.0 16.0 100.0 10.2 ± 1.5
Menonton TV dan bermain games merupakan bagian dari kebiasaan gaya hidup sedentary yang tidak baik bagi kesehatan. Berbagai studi menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kebiasaan menonton TV dan bermain games dengan obesitas (Bhuiyan et al. 2013, Ochoa et al. 2007, Gortmaker et al. 2007). Menurut rekomendasi AAP (2003), anak-anak sebaiknya menonton TV atau menggunakan berbagai elektronik tidak lebih dari 2 jam/hari. Hasil studi Gortmaker et al. (1996) menunjukkan bahwa anak yang menonton TV 5 jam/hari berisiko mengalami overweight 4.6 kali lebih tinggi dibandingkan anak yang
43 menonton TV 2 jam/hari. Oleh karena itu, pada penelitian ini durasi menonton TV dan bermain games dikategorikan cukup apabila kurang dari atau sama dengan 5 jam/hari dan dikategorikan lebih apabila lebih dari 5 jam/hari. Berdasarkan Tabel 14, dapat diketahui lebih dari separuh contoh (56.0%) memiliki kategori cukup dan 44.0% memiliki kategori lebih (> 5 jam/hari). Rata-rata durasi menonton tv dan bermain games contoh pada penelitian ini adalah 4.9 jam/hari atau tergolong cukup. Kebiasaan tidur dapat menentukan kualitas hidup seseorang. Beberapa studi menunjukkan adanya hubungan antara lamanya waktu tidur seseorang dengan risiko obese. Menurut studi Firouzi et al. (2014) dan Shi et al. (2010), anak yang memiliki durasi tidur yang kurang berisiko lebih tinggi mengalami kegemukan dibandingkan anak yang memiliki durasi tidur yang normal. Berdasarkan Tabel 14, dapat diketahui sebagian besar contoh (84.0%) memiliki durasi tidur yang cukup (≥ 9 jam/hari) dan 16.0% sisanya memiliki durasi tidur yang kurang (< 9 jam/hari). Rata-rata durasi tidur contoh pada penelitian ini adalah 10.2 jam/hari atau tergolong cukup. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Anak Down Syndrome Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui variabel-variabel yang berkaitan dengan status gizi anak Down Syndrome. Variabel-variabel yang diuji antara lain usia anak, jenis kelamin, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pendapatan keluarga, persepsi ibu terhadap Down Syndrome, pengetahuan gizi ibu, asupan energi, asupan protein, asupan lemak, asupan karbohidrat, asupan serat, durasi menonton tv dan bermain games, serta durasi tidur. Berikut disajikan hubungan beberapa variabel dengan status gizi anak Down Syndrome pada Tabel 15. Tabel 15 Hubungan beberapa variabel dengan status gizi anak Down Syndrome Variabel Usia anak: > 12 tahun (1) ≤ 12 tahun (0) Jenis kelamin : Perempuan (1) Laki-laki (0) Pendidikan ibu : Rendah (1) Tinggi (0) Pekerjaan ibu : Bekerja (1) Tidak bekerja (0) Pendapatan keluarga : Tidak miskin (1) Miskin (0)
Status Gizi Gemuk/obes Normal/kurus (n =20) (n=30) n % n %
OR
P
6 14
28.6 48.3
15 15
71.4 51.7
0.429 0.130 – 1.415
0.160
8 12
47.1 36.4
9 21
52.9 63.6
1.556 0.474 – 5.100
0.465
15 5
48.4 26.3
16 14
51.6 73.7
2.625 0.759 – 9.076
0.122
12 8
50.0 30.8
12 18
50.0 69.2
2.250 0.709 – 7.141
0.166
11 9
37.9 42.9
18 12
62.1 57.1
0.815 0.259 – 2.559
0.726
44 Tabel 15 Hubungan beberapa variabel dengan status gizi anak Down Syndrome (lanjutan) Variabel Persepsi ibu terhadap DS : Negatif (1) Positif (0) Pengetahuan gizi ibu : Rendah (1) Tinggi (0) Asupan energi : ≥ 120% AKG (1) < 120% AKG (0) Asupan protein ≥ 120% AKG (1) < 120% AKG (0) Asupan lemak ≥ 25% AKE (1) < 25% AKE (0) Asupan karbohidrat > 65% AKE (1) ≤ 65% AKE (0) Durasi menonton tv & bermain games : > 5 jam/hari (1) ≤ 5 jam/hari (0) Durasi tidur : < 9 jam/hari (1) ≥ 9 jam/hari (0)
Status Gizi Gemuk/obes Normal/kurus (n =20) (n=30) n % n %
OR
P
10 10
43.5 37.0
13 17
56.5 63.0
1.308 0.420 – 4.071
0.643
8 12
42.1 38.7
11 19
57.9 61.3
1.152 0.360 – 3.683
0.812
11 9
52.4 31.0
10 20
47.6 69.0
2.444 0.764 – 7.820
0.128
12 8
60.0 26.7
8 22
40.0 73.3
4.125 0.018* 1.235–13.782
15 5
53.6 22.7
13 17
46.4 77.3
3.923 0.027* 1.132-13.602
14 6
43.7 33.3
18 12
56.3 66.7
1.556 0.467 – 5.182
0.470
7 13
31.8 46.4
15 15
68.2 53.6
0.538 0.168 – 1.726
0.295
4 16
50.0 38.1
4 26
50.0 61.9
1.625 0.356 – 7.425
0.529
*Signifikan berhubungan (p <0.05)
Tabel 15 menunjukkan hanya variabel asupan protein dan asupan lemak yang berhubungan secara signifikan terhadap status gizi gemuk dan obese pada anak Down Syndrome (p<0.05). Usia, jenis kelamin, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pendapatan keluarga, persepsi ibu terhadap Down Syndrome, pengetahuan gizi ibu, asupan energi, asupan karbohidrat, asupan serat, durasi menonton tv dan bermain games, serta durasi tidur merupakan variabel-variabel yang tidak berhubungan secara signifikan berdasarkan analisis bivariat. Usia anak dalam penelitian ini tidak berhubungan secara signifikan dengan status gizi anak Down Syndrome (p>0.05). Hasil ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Ochoa et al. (2007) dan Bhuiyan et al. (2013) yang menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan status gizi, khususnya status gizi gemuk dan obese. Namun, hal tersebut tidak sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Sartika (2011) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan kejadian obese, dimana anak yang berusia < 10 tahun memiliki risiko 3.8 kali lebih besar mengalami obese dibandingkan anak usia ≥ 10 tahun. Meskipun hasil yang ditunjukkan dalam penelitian ini tidak
45 signifikan, namun terdapat kecenderungan yang sama antara studi yang dilakukan Sartika (2011) dengan penelitian ini, yaitu anak yang berusia lebih muda (≤ 12 tahun) lebih banyak yang mengalami kegemukan atau obese (48.3%) dibandingkan anak yang berusia lebih tua (> 12 tahun), yaitu sebesar 28.6%. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi tubuh yang dialami pada periode remaja. Menurut Brown (2011), peningkatan berat badan pada anak perempuan akan melambat pada awal menstruasi dan akan meningkat pada usia remaja akhir. Demikian juga pada anak laki-laki, peningkatan berat badan yang dialami anak laki-laki pada usia remaja sejalan dengan peningkatan tinggi badan dan akumulasi otot. Secara umum, lemak tubuh pada usia remaja mengalami penurunan rata-rata 12.0%. Beberapa studi telah menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dan status gizi, khususnya overweight dan obese (Sartika 2011, Malik dan Bakir 2006, Sultana et al. 2015). Anak perempuan cenderung memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami kegemukan dibandingkan anak lakilaki. Hubungan jenis kelamin terhadap status gizi ini berkaitan dengan aktivitas fisik yang dilakukan anak. Menurut Philips dan Holand (2011), anak laki-laki cenderung lebih aktif secara fisik dibandingkan anak perempuan. Hal inilah yang selanjutnya berdampak terhadap status gizi anak. Namun,hal tersebut tidak sesuai dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan status gizi anak Down Syndrome (p>0.05). Hal ini sesuai dengan hasil studi Ochoa et al. (2007) dan Bhuiyan et al. (2013). Meskipun demikian, terdapat kecenderungan yang sama dari hasil penelitian ini dengan studi-studi sebelumnya, yaitu anak perempuan berpeluang 1,6 kali lebih tinggi mengalami kegemukan atau obese dibandingkan anak lakilaki. Adanya hubungan yang tidak signifikan antara jenis kelamin dan status gizi anak Down Syndrome dalam penelitian ini diduga disebabkan oleh proporsi jenis kelamin yang tidak seimbang. Selain itu, kemungkinan terdapat faktor lain yang secara langsung mempengaruhi status gizi anak, misalnya aktivitas fisik dan pola makan. Studi yang dilakukan di Brazil dan Iran menunjukkan bahwa pendidikan ibu yang rendah merupakan faktor risiko terjadinya kegemukan pada anak (Glugliano dan Carneiro 2004, Mozaffari dan Nabaei 2007, Baughcum 2000). Namun, hal tersebut tidak sesuai dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu dengan status gizi anak Down Syndrome (p>0.05). Demikian juga studi yang dilakukan Bhuiyan et al. (2013) yang menunjukkan hasil yang sama. Meskipun demikian, berdasarkan Tabel 15 dapat diketahui anak berstatus gizi gemuk atau obese lebih banyak berasal dari ibu dengan pendidikan yang rendah (48.4%) dibandingkan ibu dengan pendidikan yang tinggi (26.3%). Menurut Notoatmodjo (2007b), tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor predisposisi tindakan seseorang. Individu dengan pendidikan yang tinggi akan mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam memperoleh, memproses, dan menginterpretasi informasi (Contento 2011). Kemampuan tersebut akan menghasilkan perubahan pengetahuan dan sikap yang kemudian akan menghasilkan perubahan tindakan. Namun, perubahan tindakan pada orang dewasa lebih sulit terjadi karena pada umumnya mereka sudah mempunyai pengetahuan, sikap, dan tindakan yang sebelumnya sudah tertanam.
46 Oleh karena itu, pengetahuan, sikap, dan tindakan baru yang belum diyakini secara baik akan sulit diterima (Notoatmodjo 2007b). Beberapa studi menunjukkan bahwa anak dari ibu yang bekerja berisiko lebih tinggi mengalami kelebihan berat badan (Anderson et al. 2003, Hawkins et al. 2008). Namun, penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda, yaitu tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pekerjaan ibu dengan status gizi anak Down Syndrome (p>0.05). Meskipun demikian, terdapat kecenderungan hasil yang sama dengan penelitian sebelumnya, yaitu ibu yang bekerja berpeluang meningkatkan kejadian status gizi gemuk atau obese pada anak sebesar 2.3 kali lebih tinggi dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Adanya kecenderungan ini berkaitan dengan pola konsumsi dan aktivitas anak. Menurut Nie dan Poza (2014), ibu yang bekerja memiliki lebih sedikit waktu di rumah dan ini akan menyebabkan anak memiliki kebiasaan makan yang tidak sehat dan cenderung melakukan aktivitas sedentary. Pendapatan keluarga dalam penelitian ini tidak berhubungan signifikan dengan status gizi anak Down Syndrome (p>0.05). Hasil ini sejalan dengan studi yang dilakukan Sultana et al. (2015). Berdasarkan Tabel 15, dapat diketahui meskipun penelitian ini menunjukkan hasil yang tidak signfikan, namun terdapat kecenderungan bahwa anak Down Syndrome yang berasal dari keluarga dengan kategori miskin lebih banyak yang mengalami kegemukan atau obese (42.9%) dibandingkan anak yang berasal dari keluarga dengan kategori tidak miskin (37.9%). Namun, studi lain menunjukkan bahwa sebagian besar anak yang mengalami obese justru berasal dari keluarga dengan status ekonomi yang tinggi (Warraich et al. 2009, Ramachandran et al. 2002). Perbedaan hasil studi ini kemungkinan karena adanya kesamaan akses yang masih terbatas terhadap makanan cepat saji baik pada keluarga miskin maupun tidak miskin. Hal ini dikarenakan restoran cepat saji belum banyak berkembang di Kabupaten Magetan. Selain itu, sebagian besar keluarga lebih memilih untuk memasak sendiri makanan sehari-hari mereka sehingga lebih kecil potensinya untuk mengonsumsi makanan padat energi. Menurut Brown (2011), selain memiliki ibu yang obese, faktor risiko kedua terbesar dari kejadian obese pada anak adalah berasal dari keluarga dengan pendapatan yang rendah. Hal ini terkait rendahnya akses terhadap makanan sehat. Makanan sehat umumnya memiliki harga yang lebih mahal, sedangkan produk olahan biji-bijian, gula, dan lemak umumnya memiliki harga yang lebih murah, lezat, dan mudah diperoleh (Aggarwal et al. 2012, Darmon dan Drewnowski 2015). Keluarga dengan pendapatan yang rendah akan lebih memilih makanan yang murah dan padat energi, misalnya makanan cepat saji seperti mie instan dan bakso pada penelitian ini. Padahal berbagai studi menunjukkan bahwa makanan yang padat energi biasanya memiliki kualitas gizi yang rendah dan memiliki kalori berlebih yang dapat memicu berat badan berlebih (Kant dan Graubard 2005, Perez-Escamilla et al. 2012). Salah satu faktor yang mempengaruhi tindakan seseorang adalah persepsi (Notoatmodjo 2003). Menurut Fishbein dan Ajzen (1975) diacu dalam Wuryaningsih (2008), persepsi merupakan faktor psikologis yang mempunyai peran penting dalam mempengaruhi perilaku seseorang. Pada penelitian ini, perilaku ibu, terutama yang berkaitan dengan pola asuh makan dan aktivitas fisik diduga dipengaruhi oleh persepsi ibu terhadap Down Syndrome. Pola asuh yang diterapkan ibu selanjutnya akan berpengaruh terhadap status gizi anak (Brann dan
47 Skinner 2005). Berdasarkan Tabel 15, dapat diketahui meskipun hasil yang ditunjukkan tidak signifikan, namun terdapat kecenderungan ibu yang memiliki persepsi negatif terhadap Down Syndrome berpeluang meningkatkan kejadian anak mengalami status gizi gemuk atau obese 1.3 kali lebih tinggi dibandingkan ibu yang memiliki persepsi positif. Hasil ini sejalan dengan studi yang dilakukan Hapsari (2008) yang menyatakan bahwa ibu yang memiliki persepsi positif dan menerima keadaan anaknya yang mengalami Down Syndrome akan memberikan perhatian dan kasih sayang, terlibat dalam aktivitas fisik anak, serta memberikan perlindungan. Hubungan yang tidak signfikan dalam penelitian ini diduga karena persepsi yang diukur dalam penelitian ini adalah persepsi ibu pada saat pertama kali mengetahui anak mengalami Down Syndrome. Padahal, persepsi ini kemungkinan sudah berubah seiring berjalannya waktu. Menurut Yilmaz et al. (2013), persepsi orangtua dapat berubah dengan bertambahnya usia. Literatur terkait persepsi ibu dan status gizi anak masih sangat terbatas. Namun, studi yang dilakukan Yilmaz et al.(2013) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi visual ibu terkait status gizi anak dengan pola pemberian makan. Meskipun dalam penelitian ini persepsi ibu terhadap Down Syndrome tidak berhubungan secara signifikan dengan status gizi anak, namun hasil uji bivariat menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara persepsi ibu terhadap Down Syndrome dengan pola konsumsi anak, khususnya pangan sumber karbohidrat dan buah. Berdasarkan hasil analisis pearson, diketahui bahwa semakin baik persepsi ibu terhadap Down Syndrome, maka semakin banyak pangan sumber karbohidrat yang dikonsumsi anak (p= 0.017, r= 0.335). Demikian juga konsumsi buah, semakin baik persepsi ibu terhadap Down Syndrome, maka semakin banyak buah-buahan yang dikonsumsi anak (p= 0.046, r = 0.283). Menurut Notoatmodjo (2003), sebelum seseorang melakukan suatu perilaku (practice) sebelumnya akan didahului oleh terbentuknya sikap (attitude), sedangkan sikap yang terbentuk akan didahului oleh adanya pengetahuan (knowledge) akan suatu hal. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor pengetahuan. Teori ini didukung oleh hasil dari berbagai studi yang menunjukkan bahwa semakin tinggi pengetahuan gizi ibu, maka semakin besar kemungkinan memiliki anak dengan status gizi normal (Yabanci et al 2014, Poh et al. 2012) . Lebih lanjut, menurut Yabanci et al. (2014), ibu yang memiliki pengetahuan gizi tinggi akan lebih lebih banyak memberikan anak-anak mereka sayuran, buah-buahan, biji-bijian, serta mengurangi minuman manis dan fast food. Namun, penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda, yaitu tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan gizi ibu dengan status gizi anak Down Syndrome (p>0.05). Meskipun demikian, terdapat kecenderungan yang sama, yaitu anak yang berstatus gizi gemuk atau obese lebih banyak berasal dari ibu dengan pengetahuan gizi rendah (42.1%) dibandingkan ibu dengan pengetahuan gizi yang tinggi (38.7%). Hasil yang tidak signfikan dalam penelitian ini diduga karena pengetahuan gizi yang dimiliki ibu masih belum cukup kuat untuk menghasilkan terjadinya perubahan perilaku, khususnya terkait pemberian makan. Menurut Depkes (2007), perubahan perilaku pada seseorang dapat terjadi melalui beberapa tahap, yaitu: 1) terjadinya perubahan pengetahuan; 2) adanya respon positif terhadap pesan yang diterima; 3) munculnya niat untuk melaksanakan isi pesan yang diterima; 4) mempraktekkan perilaku baru, dan 5)
48 merasakan manfaatnya dan selanjutnya menginternalisasikannya menjadi kebiasaan. Asupan energi pada penelitian ini tidak berhubungan signifikan dengan status gizi anak Down Syndrome (p>0.05). Beberapa studi lain juga menunjukkan hasil yang sejalan dengan penelitian ini (Firouzi et al. 2014, Hassapidou et al. 2006, Garaulet et al. 2000). Namun demikian, studi lain menunjukkan adanya hubungan antara asupan energi dan status gizi (Del Mar et al. 2015, Sartika 2011). Menurut Malik et al. (2015) dan Nicklas et a. (2003), asupan energi berlebih merupakan faktor risiko dari obesitas. Berdasarkan Tabel 15, dapat diketahui meskipun penelitian ini menunjukkan hasil yang tidak signifikan, namun terdapat kecenderungan yang sama, yaitu asupan energi ≥ 120% AKG berpeluang meningkatkan kejadian status gizi gemuk atau obese 2.4 kali lebih tinggi dibandingkan asupan energi < 120% AKG. Hasil yang tidak signifikan ini diduga karena ibu yang memiliki anak dengan status gizi gemuk atau obese cenderung mengurangi jumlah makanan yang dikonsumsi anak mereka pada saat pengisian food-recall. Hal demikian sangat sering terjadi pada beberapa studi yang mencoba mengkaji hubungan antara asupan makanan dan kegemukan (Johansson et al. 1998, Ochoa et al. 2007). Asupan protein berhubungan secara signifikan dengan status gizi anak Down Syndrome (p<0.05). Anak yang memiliki asupan protein ≥ 120% AKG berpeluang mengalami kegemukan atau obese 4.1 kali lebih tinggi daripada anak yang memiliki asupan protein < 120% AKG. Hal tersebut sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Del-Mar et al. (2015) dan Sultana et al (2015) namun tidak sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Firouzi et al. (2014). Pada penelitian ini, anak Down Syndrome dengan status gizi gemuk atau obese memiliki total asupan protein yang lebih tinggi (protein hewani: 710.8 gram/minggu; protein nabati: 1739.5 gram/minggu) bila dibandingkan anak berstatus normal atau kurus (protein hewani: 663.0 gram/minggu; protein nabati: 1240.7 gram/minggu). Hasil ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Del-Mar et al. (2015). Demikian juga studi yang dilakukan Rolland-Cachera et al. (2004) dan Hermanussen (2008) yang menunjukkan bahwa asupan protein total dan protein hewani yang tinggi berperan dalam peningkatan berat badan dan IMT. Beberapa studi lebih cenderung mengaitkan antara asupan protein hewani dan konsumsi daging dengan status gizi obese (Lin et al. 2015, Wang dan Beydoun 2009). Hal ini dikarenakan asupan protein hewani, khususnya daging dan olahannya memicu tingginya asupan total lemak, lemak jenuh, kalori total, dan menurunkan konsumsi sayur (Nicklas et al. 1995, Leizmann 2005). Beberapa studi menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara asupan lemak dan status gizi (Saker et al. 2011, McGloin et al. 2002, Gillis et al. 2002). Menurut Bray et al. (2004), asupan lemak yang tinggi dapat meningkatkan risiko kegemukan dan obese secara tidak langsung melalui peningkatan densitas energi sehingga mengakibatkan asupan energi berlebih. Penelitian ini menunjukkan hasil yang sama dengan studi sebelumnya, yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara asupan lemak dengan status gizi anak Down Syndrome (p<0.05). Anak yang memiliki asupan lemak ≥ 25% AKE berpeluang mengalami kegemukan atau obese 3.9 kali lebih tinggi daripada anak yang memiliki asupan protein < 25% AKE.
49 Asupan karbohidrat yang tinggi pada seseorang akan meningkatkan risiko kegemukan dan obese (Firouzi et al. 2014, Aryatika 2014). Menurut Van-Dam dan Seidell (2007), asupan karbohidrat yang tinggi akan berkontribusi pada asupan energi total. Asupan energi total yang berlebih secara potensial akan mengakibatkan keseimbangan energi positif, hal inilah yang memicu terjadinya peningkatan berat badan. Namun, penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda, yaitu tidak terdapat hubungan yang signifikan antara asupan karbohidrat dan status gizi (p>0.05). Meskipun demikian, penelitian ini menunjukkan adanya kecenderungan bahwa anak yang memiliki asupan karbohidrat > 65% AKE memiliki peluang 1.6 kali lebih tinggi mengalami status gizi gemuk atau obese bila dibandingkan anak yang memiliki asupan karbohidrat ≤ 65% AKE. Hubungan antara asupan karbohidrat dan kegemukan masih menjadi perdebatan. Beberapa studi justru menunjukkan bahwa asupan karbohidrat yang tinggi akan menurunkan risiko kegemukan dan obesitas (Del-Mar 2015, Hassapidou et al. 2006). Lebih lanjut menurut Bray et al. (2004), hal ini disebabkan kalori yang terkandung dalam 1 gram karbohidrat jauh lebih sedikit dibandingkan kalori yang terdapat dalam 1 gram lemak, selain itu karbohidrat juga cenderung lebih cepat mengenyangkan dibandingkan lemak. Menonton tv dan bermain games merupakan aktivitas sedentary yang memicu terjadinya kegemukan pada anak-anak (Sharlin dan Edelstein 2010, Gortmaker et al. 1996, Bhuiyan et al. 2013, Ochoa et al. 2007). Menurut Robinson (2001), menonton tv berkontribusi terhadap obesitas melalui satu atau lebih mekanisme berikut, yaitu: 1) menggantikan aktivitas fisik; 2) meningkatkan asupan kalori selama menonton televisi; 3) efek langsung dari iklan; dan 4) menurunkan resting metabolism. Namun, penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda, yaitu tidak terdapat hubungan yang signifikan antara durasi menonton tv dan bermain games dengan status gizi anak Down Syndrome (p>0.05). Hasil ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Firouzi et al. (2014). Meskipun hasil yang diperoleh tidak signifikan, kecenderungan yang berbeda dengan literatur justru ditunjukkan dari hasil penelitian ini, yaitu durasi menonton tv dan bermain games lebih dari 5 jam/hari cenderung menghambat kejadian status gizi gemuk atau obese dengan peluang 46% lebih tinggi dibandingkan durasi menonton tv dan bermain games kurang dari atau sama dengan 5 jam/hari. Perbedaan hasil tersebut diduga karena meskipun contoh tidak terlalu sering menonton tv atau bermain games, hal ini tidak dapat diartikan contoh akan lebih sering menghabiskan waktu dengan melakukan aktivitas yang lebih banyak mengeluarkan energi seperti bermain di luar rumah, bermain sepeda, dan lain-lain. Berdasarkan hasil activity record, contoh yang tidak terlalu sering menonton tv dan bermain games lebih banyak menghabiskan waktunya untuk belajar, menggambar, serta bermain di dalam rumah, dan sangat sedikit contoh yang memiliki kebiasaan bermain di luar rumah. Selain itu, hasil wawancara dengan ibu contoh juga menunjukkan bahwa sebagian besar contoh menonton tv dan bermain games tidak sambil makan makanan ringan atau camilan. Berbagai studi telah menunjukkan adanya hubungan antara durasi tidur dan obesitas. Studi yang dilakukan Shi et al. (2010) dan Firouzi et al. (2014) menunjukkan bahwa durasi tidur yang pendek meningkatkan risiko obesitas pada anak. Menurut Taheri et al. (2004), hubungan antara durasi tidur dan obesitas ini dapat dijelaskan melalui beberapa mekanisme biologis berikut, yaitu: 1) tidur
50 merupakan regulator penting dari berbagai fungsi fisiologis seperti keseimbangan energi, nafsu makan, dan pemeliharaan berat badan; serta 2) durasi tidur yang pendek akan mengakibatkan penurunan leptin (satiety hormone) dan peningkatan ghrelin (hunger hormone) yang memicu peningkatan nafsu makan. Namun, penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda, yaitu tidak terdapat hubungan yang signfikan antara durasi tidur dengan status gizi anak (p>0.05). Meskipun demikian, berdasarkan Tabel 15 dapat diketahui terdapat kecenderungan yang sama, yaitu status gizi gemuk atau obese lebih banyak terjadi pada anak yang memiliki durasi tidur kurang dari 9 jam/hari (50.0%) dibandingkan anak yang memiliki durasi tidur lebih dari atau sama dengan 9 jam/hari (38.1%). Perbedaan hasil tersebut diduga karena ada faktor lain yang lebih berpengaruh, misalnya kualitas tidur. Seseorang yang memiliki durasi tidur yang cukup belum tentu memiliki kualitas tidur yang baik. Hal ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Bawazeer et al. (2009) yang menunjukkan bahwa selain durasi tidur, kualitas tidur yang kurang baik juga berhubungan signifikan dengan obesitas pada anak. Variabel-variabel yang berhubungan secara signifikan pada analisis bivariat selanjutnya dilakukan analisis multivariat untuk mengetahui variabel yang paling berpengaruh terhadap status gizi anak Down Syndrome. Berikut disajikan hasil analisis multivariat pada Tabel 16. Tabel 16 Analisis multivariat variabel yang berhubungan dengan status gizi anak Down Syndrome Variabel Asupan protein Asupan lemak
p-value
OR
0.287 0.423
2.500 2.040
95% CI Lower Upper 0.462 13.521 0.356 11.674
Penentuan variabel yang paling berhubungan dapat dilihat dari nilai OR yang paling besar dan signifikan (p<0.05). Namun berdasarkan hasil analisis multivariat tidak terdapat satupun variabel yang berhubungan secara signifikan dengan variabel dependen yang dianalisis, dalam hal ini status gizi anak Down Syndrome. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun berdasarkan hasil analisis bivariat terdapat variabel yang berhubungan secara signifikan dan merupakan faktor risiko kegemukan pada anak Down Syndrome, namun pada saat pengaruh keseluruhan variabel tersebut diuji secara bersamaan, ternyata pengaruh yang dihasilkan tidak signifikan. Hal ini diduga karena adanya interaksi antar variabel yang selanjutnya menyebabkan pengaruh dari masing-masing variabel menjadi tidak signifikan. Selain itu, status gizi merupakan suatu variabel yang cukup kompleks dan dipengaruhi oleh banyak hal, misalnya infeksi penyakit, akses terhadap pelayanan kesehatan, dan variabel lain yang tidak menjadi perhatian dalam penelitian ini. Meskipun asupan protein dan asupan lemak belum merupakan faktor risiko, namun berdasarkan nilai OR dapat terlihat bahwa kedua variabel tersebut telah memiliki kecenderungan untuk meningkatkan peluang kegemukan pada anak Down Syndrome dengan kecederungan asupan protein yang lebih tinggi dibandingkan asupan lemak.
51
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Karakteristik anak dalam penelitian ini antara lain, lebih dari separuh contoh berusia ≤ 12 tahun (58.0%), sebagian besar contoh berjenis kelamin laki-laki (66.0%) dan secara keseluruhan berada dalam kelompok retardasi mental sedang (100.0%). Karakteristik keluarga meliputi tingkat pendidikan ibu yang sebagian besar memiliki tingkat pendidikan yang rendah (62.0%), berusia ≥ 44 tahun (52.0%), dan merupakan ibu rumah tangga yang tidak bekerja (52.0%). Selain itu, sebagian besar contoh berasal dari keluarga kecil (64.0%) dan keluarga yang tergolong tidak miskin (58.0%). Lebih dari separuh ibu contoh (54.0%) memiliki persepsi positif terhadap Down Syndrome. Pengetahuan gizi yang dimiliki sebagian besar ibu contoh masih tergolong sedang (60.0%) dengan rata-rata skor pengetahuan gizi 59.2. Secara umum, pola konsumsi pangan contoh dalam penelitian ini masih kurang seimbang. Sebagian besar contoh mengonsumsi pangan sumber karbohidrat (70.0%) dan protein (52.0%) secara berlebih, sedangkan kelompok pangan lain seperti sayur (100.0%) dan buah (90.0%) memiliki pola konsumsi yang kurang pada hampir keseluruhan contoh. Sebagian besar contoh memiliki pola konsumsi makanan dan minuman manis dengan kategori jarang (60.0%), demikian juga dengan jajanan (56.0%). Berdasarkan tingkat kecukupan energi, zat gizi, dan serat, sebagian besar contoh memiliki tingkat kecukupan energi berlebih (42.0%), tingkat kecukupan protein yang sama besar antara defisit dan berlebih yaitu masing-masing 40.0%, tingkat kecukupan lemak defisit (44.0%), tingkat kecukupan karbohidrat berlebih (64.0%), dan tingkat kecukupan serat kurang (100.0%). Keseluruhan contoh dalam penelitian ini memiliki aktivitas fisik yang tergolong ringan (100.0%). Sebagian besar contoh memiliki durasi menonton tv dan bermain games dengan kategori cukup (56.0%) serta durasi tidur dengan kategori cukup (84.0%). Berdasarkan status gizinya, lebih dari separuh contoh berstatus gizi normal (52.0%), 40.0% berstatus gizi gemuk atau obese, dan 8.0% berstatus gizi kurus atau sangat kurus. Variabel independen yang berhubungan dengan status gizi anak Down Syndrome pada penelitian ini adalah asupan protein dan asupan lemak (p<0.05), sedangkan variabel lain seperti persepsi ibu terhadap Down Syndrome, tingkat pengetahuan gizi ibu, frekuensi konsumsi pangan, dan aktivitas fisik tidak berhubungan secara signifikan dengan status gizi anak Down Syndrome (p>0.05). Meskipun demikian, berdasarkan analisis pearson, persepsi ibu terhadap Down Syndrome diketahui memiliki hubungan yang positif dengan konsumsi pangan sumber karbohidrat dan buah-buahan. Semakin baik persepsi ibu terhadap Down Syndrome, maka semakin banyak pangan sumber karbohidrat dan buah-buahan yang dikonsumsi anak. Pada penelitian ini, analisis multivariat yang dilakukan terhadap beberapa variabel yang berhubungan dengan status gizi anak Down Syndrome tidak menunjukkan adanya faktor yang paling berpengaruh terhadap status gizi anak Down Syndrome.
52 Saran Pemantauan status gizi anak berkebutuhan khusus, khususnya anak Down Syndrome perlu dilakukan secara berkala dan sedini mungkin untuk mencegah terjadinya status gizi lebih. Berdasarkan hasil penelitian ini, asupan protein dan lemak berhubungan dengan status gizi anak Down Syndrome. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk memperbaiki asupan zat gizi anak, antara lain melalui peningkatan pengetahuan gizi ibu khususnya terkait pedoman gizi seimbang agar dapat melakukan penatalaksanaan pola asuh yang baik. Penelitian ini memiliki banyak keterbatasan. Oleh karena itu, untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk mengambil contoh secara acak dari sampel yang cukup besar dan berasal dari karakteristik keluarga yang lebih heterogen.
53
DAFTAR PUSTAKA Aggarwal A, Monsivais P, Drewnowski A. 2012. Nutrient intakes linked to better health outcomes are associated with higher diet costs in the US. PLoS ONE. 7(5): e37533. Allen EG, Freeman SB, Druschel C, Hobbs CA, O’leary LA, Romitti PA, Royle MH, Torfs CP, Sherman SL. 2009. Maternal age and risk for trisomy 21 assessed by the origin of chromosome nondisjunction: a report from the Atlanta and National Down Syndrome Projects. Hum Genet. 125(1):41-52. Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. [AAMD] American Association on Mental Deficiency. 1983. Classification in Mental Retardation. Washington (USA): American Association on Mental Retardation. Anderson PM, Butcher KF, Levine PB. 2003. Maternal employment and overweight children. J Health Econ. 22(3): 477-504.doi: doi:10.1016/S0167-6296(03)00022-5. Ariani M. 2006. Diversifikasi konsumsi pangan di Indonesia: antara harapan dan kenyataan [internet]. [diunduh 2016 Apr 05]. Tersedia pada: http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Mono27-7.pdf Aryatika K. 2014. Faktor risiko obesitas pada pekerja garmen perempuan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur. 2014. Profil kemiskinan di Jawa Timur Maret 2014 [internet]. [diunduh 2015 Jan 12]. Tersedia pada: http://jatim.bps.go.id/?hal=berita_detil&id=46 Baughcum AE, Chamberlin LA, Deeks CM, Powers SW, Whitaker RC. 2000. Maternal perceptions of overweight preschool children. Pediatrics. 106: 1380 – 1386. Bawazeer NM, Al-Daghri NM, Valsamakis G, Al-Rubeaan KA, Sabico SLB, Huang TTK, Mastorakos GP, Kumar S. 2009. Sleep duration and quality associated with obesity among Arab children. Obesity. 17: 2251 – 2253. Bhuiyan Mu, Zaman S, Ahmed T. 2013. Risk factors associated with overweight and obesity among urban school children and adolescent in Bangladesh: a case-control study. BMC Pediatr. 13: 72 – 77. Brann L, Skinner J. 2005. More controlling child-feeding practices are found among parents of boys with an average body mass index compared with parents of boys with a high body mass index. J Am Diet Association. 105: 1411 – 1416. Bray GA, Paeratakul S, Popkin BM. 2004. Dietary fat and obesity: a review of animal, clinical and epidemiological studies. Physiol Behav. 83: 549 – 555. Brown JE, Isaacs JS, Krinke UB, Lechtenberg E, Murtaugh MA, Sharbaugh C, Splett PL, Stang J, Wooldridge NH. 2011. Nutrition Through the Life Cycle. 4th ed. Belmont (USA): Wadsworth. Burke MM, Fisher MH, Hodapp RM. 2012. Relations of parental perceptions to the behavioural characteristics of adolescents with Down Syndrome. Jon Dev Disabil. 18 (2): 50 – 58.
54 Clark HR, Goyder E, Bissell P, Blank L, Peters J. 2007. How do parents’ childfeeding behaviors influence child weight? Implications for childhood obesity policy. J Public Health. 29(2): 132-141. Contento IR. 2011. Nutrition Education: linking research, theory, and practice. USA: Jones & Bartlett. Davidson GC, Neale JM, Kring AM. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta (ID): PT Raja Grafindo Persada. Dahlan MS. 2012. Analisis Multivariat Regresi Logistik. Jakarta (ID): PT Epidemiologi Indonesia. Darmon N, Drewnowski A. 2015. Contribution of food prices and diet cost to socioeconomic disparities in diet quality and health: a systematic review and analysis. Nutr Rev. 73(10): 643-660. Del-Mar BM, Tur JA, Morandi A, Tommasi M, Tomasselli F, Maffeis C. 2015. Protein intake as a risk factor of overweight/obesity in 8-to-12 years old children. Medicine (Baltimore). 94(52): e2408.doi: 10.1097/MD.00000000002408. [Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Model Pelatihan bagi Pelatih PSN DBD dengan Pendekatan Komunikasi Perubahan Perilaku/KPP (Communications for Behavior Impact/COMBI). Jakarta: Depkes RI. ___________________________________________. 2008. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Jakarta (ID): Depkes RI. De Vito. 1997. Human Communication. New York: Harper Collins. Dukes C, Smith M. 2009. Cara Menangani Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta (ID): PT. Indeks. FAO/WHO/UNU. 2001. Human Energy Requirement, Report of a Joint FAO/WHO/ UNU Expert Consultation. Roma. Firouzi S, Poh BK, Ismail MN, Sadeghilar A. 2014. Sleep habits, food intake, and physical activity levels in normal and overweight and obese Malaysian children. Obes Res Clin Pract. 8: 70 – 78. Galobardes B, Shaw M, Lawlor DA, Lynch JW, Smith GD. 2006. Indicators of socioeconomic position. J Epidemiol Commun H. 60:7-12.doi: 10.1136/jech.2004.02353. Garaulet M, Martínez A, Victoria F, Perez-Llamas F, Ortega RM, Zamora S. 2000. Differences in dietary intake and activity level between normalweight and overweight or obese adolescents. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 30(3): 253. Ghosh S, Feingold E, Dey SK. Etiology of Down syndrome: Evidence for consistent association among altered meiotic recombination, nondisjunction, and maternal age across populations. Am J Med Genet A. 149 (7): 14151420. Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment. 2nd Ed. New York: Oxford University Press. Glugliano R, Carneiro EC. 2004. Factors associated with obesity in school children. J Pediatr (Rio J). 80: 17 – 22. Gomez RI, Gomez DM, Gonzalez CMT, Sanchez VC, Ruiz JR, Veiga OL. 2013. Are poor physical fitness and obesity two features of adolescent with Down Syndrome. Nutr Hosp. 28(4): 1348 – 1351.
55 Gortmaker SL, Must A, Sobol AM, Peterson K, Colditz GA, Dietz WH. 1996. Television viewing as a cause of increasing obesity among children in the united states, 1986 – 1990. Arch Pediatr Adolesc Med. 150(4):356-362.doi: 10.1001/archpedi.1996.02170290022003. Grammatikopoulou MG, Manai A, Tsigga M, Fachantidou AT, Tsinopoulou AG, Zakas A. 2008. Nutrient intake and anthropometry in children and adolescents with Down Syndrome-a preliminary study. Dev Neurorehab. 11(4): 260 – 267.doi: 10.1080/17518420802525526. Hapsari SR. 2008. Penerimaan ibu terhadap anaknya yang mengalami Down Syndrome [skripsi]. Semarang (ID): Universitas Katolik Soegijapranata. Hardinsyah, Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Bogor (ID): Departemen GMSK, FAPERTA IPB. Hardinsyah, Riyadi H, Napitupulu V. 2014. Kecukupan energi, protein, lemak dan karbohidrat. Di dalam: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, editor. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan bagi Bangsa Indonesia; 2014, Indonesia. Jakarta (ID): Kemenkes. Hardinsyah, Soenaryo ES, Briawan D, Damayanthi E, Dwiriani CM, Effendi YH, Dewi M, Aries M. 2009. Survey on Drinking Habits and Hydration Status Among Teenagers and Young Adults in Two Different Ecological Areas. Bogor (ID): Perhimpunan Peminat Gizi & Pangan Indonesia (PERGIZI PANGAN INDONESIA), Institut Pertanian Bogor. Hassapidou M, Fotiadou E, Maglara E, Papadopoulou SK. 2006. Energy intake, diet composition, energy expenditure, and body fatness of adolescents in Northern Greece. Obesity. 14(5):855 – 862. Hastono SP. 2006. Modul Analisis Data. Jakarta (ID): Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Hawkins SS, Cole TJ, Law C, The Millennium Cohort Study Child Health Group. 2008. Maternal employment and early childhood overweight: Findings from the UK millennium cohort study. Int J Obes. 32(1): 30-38.doi: 10.1038/sj.ijo.0803682. Hendriani W, Handariyati R, Sakti TM. 2006. Penerimaan keluarga terhadap individu yang mengalami keterbelakangan mental. Insan 8(2): 100 – 111. Hermanussen M. 2008. Nutritional protein intake is associated with body mass index in young adolescents. Georgian Med News. 156(156):84 – 88. Heward WL. 2003. Exceptional Children, An Introduction to Special Education. New Jersey: Merrill, Prentice Hall. Hill DL, Parks EP, Zemel BS, Shults J, Stallings VA, Stettler N. 2013. Resting energy expenditure and adiposity accretion among children with Down Syndrome: a three year prospective study. Eur J Clin Nutr. 67(10): 1087 – 1091.doi:10.1038/ejcn.2013.137. Hunt N, Marshall K. 1994. Exceptional Children and Youth: An Introduction to Special Education. Boston: Houghton Mifflin Company. Hurlock EB. 1999. Perkembangan Anak. Ed ke-2. Jakarta (ID): Erlangga. Irwanto. Kasim ER, Fransiska A, Lusli M, Okta S. 2010. Analisis situasi penyandang disabilitas di Indonesia: sebuah desk–review. Depok (ID): Pusat Kajian Disabilitas, Universitas Indonesia.
56 Johansson L, Solvoll K, Bjorneboe GE, Drevon CA. 1998. Under and overreporting of energy intake related to weight status and lifestyle in a nationwide sample. Am J Clin Nutr . 68: 266 – 274. Kant AK., Graubard BI. 2005. Energy density of diets reported by American adults: association with food group intake, nutrient intake, and body weight. Int J Obesity. 29: 950-956. [Kemenkes] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Laporan hasil riset kesehatan dasar Indonesia Tahun 2007. Jakarta (ID): Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. _____________________________________________. 2011. Keputusan menteri kesehatan republik indonesia tentang standar antropometri penilaian status gizi anak [internet]. [diunduh 2015 Jan 8]. Tersedia pada: http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2011/11/buku-sk antropometri 2010.pdf _______________________________________________. 2013. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Jakarta (ID): Kementerian Kesehatan RI. _______________________________________________. 2014a. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 41 Tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang [internet]. [diunduh 2016 Mar 22]. Tersedia pada: http://www.hukor.depkes.go.id/uploads/produk_hukum/PMK%20 No.%2041%20ttg%20Pedoman%20Gizi%20Seimbang.pdf ________________________________________________. 2014b. Pedoman Gizi Seimbang. Jakarta (ID): Kementerian Kesehatan RI. Kotler P. 2000. Manajemen Pemasaran. New York: Prentice Hall. Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Koniuszy ZG, Kunowski M. 2013. Glycemic Index and Glycemic Load of diets in children and young people with Down Syndrome. Acta Sci. Pol.,Technol. Aliment. 12(2): 181 – 194. Lemeshow S. 1997. Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Lin Y, Mouratidou T, Vereecken C, Kersting M, Bolca S, Moraes ACF, Garcia MC, Moreno LA, Gross MG, Valtuena J, et al. 2015. Dietary animal and plant protein intakes and their association with obesity and cardio-metabolic indicators in European adolescents: The HELENA cross-sectional study. Nutr J. 14(10): 1 – 11. Lopes TS, Ferreira DM, Pereira RA, Veiga GV, Marins VMR. 2008. Assessment of anthropometric indexes of children and adolescent with Down Syndrome. J Pediatr (Rio J). 84 (4): 350 – 356. Luke A, Roizen NJ, Sutton M, Schoeller DA. 1994. Energy expenditure in children with Down Syndrome: correcting metabolic rate for movement. J Pediatr. 125:829–838. Magge SN, O’Neill KL, Shults J, Stallings VA, Stettler N. 2008. Leptin levels among prepubertal children with Down syndrome compared with their siblings. J Pediatr. 152(3):321–326. Mahan LK, Stump SE. 2008. Krause’s Food and Nutrition Therapy. 12th ed. Missouri (USA): Saunders Elsevier.
57 Malik M, Bakir A. Prevalence of overweight and obesity among children in the United Arab Emirates. Obes. Rev. 8(1): 15 – 20. Malik VS, Willett WC, Hu FB. 2012. Global obesity: trends, risk factors, and policy implications. Nat. Rev. Endrocinol. doi:10.1038/nrendo.2012.199. Marin AS, Graupera JMX. 2011. Nutritional status of intellectual diasbled persons with Down Syndrome. Nutr Hosp. 26 (5): 1059 – 1066. McGloin AF, Livingstone MB, Greene LC, Webb SE, Gibson JM, Jebb SA, Cole TJ, Coward WA, Wright A, Prentice AM. 2002. Energy and fat intake in obese and lean children at varying risk of obesity. Int J Obes Relat Metab Disord. 26(2): 200 – 207. doi: 10.1038/sj.ijo.0801883. Menear KS. 2007. Parent’s perceptions of health and physical activity needs of children with Down Syndrome. Downs Syndr Res Pract. 12 (1): 60 – 68. Menezes IHCF, Neutzling MB, Taddei JAAC. 2009. Risk factors for overweight and obesity in adolescents of a Brazilian Univerity: a case-control study. Nutr Hosp. 24(1): 17 – 24. Milyawati L. 2008. Dukungan keluarga, pengetahuan dan persepsi ibu serta hubungannya dengan strategi koping ibu pada anak dengan gangguan Autism Spectrum Disorder (ASD) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Mozaffari H, Nabaei B. 2007. Obesity and related risk factors. Indian J Pediatr. 74: 265 – 267. [NDSS] National Down Syndrome Society. 2012. What is Down Syndrome? [Internet]. [diunduh 2014 Nov 14]. Tersedia pada: http://www.ndss.org/Down-Syndrome/What-Is-Down-Syndrome/ [NFSMI] National Food Service Management Institute. 2006. Handbook for Children with Special Food and Nutrition Needs. Oxford: The University of Mississippi. Nicklas TA, Farris RP, Myers L, Berenson GS. 1995. Impact of meat consumption on nutritional quality and cardiovascular risk factors in young adults: the Bogalusa Heart Study. J Am Diet Assoc. 95:887–892. Nicklas TA, Yang SJ, Baranowski T, Zakeri I, Berenson G. 2003. Eating patterns and obesity in children. The Bogalusa Heart Study. Am J Prev Med. 25(1):916. Niemeier HM, Raynor HA, Lloyd-Richardson EE, Rogers ML, Wing RR. 2006. Fast food consumption and breakfast skipping: predictors of weight gain from adolescence to adulthood in a nationally representative sample. J Adolesc Health. 39: 842 – 849. Notoatmodjo S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta (ID): Rineka Cipta. ___________. 2007a. Kesehatan Masyarakat, Ilmu & Seni. Jakarta (ID): Rineka Cipta. ___________. 2007b. Promosi Kesehatan dan Ilmu Tindakan. Jakarta (ID): Rineka Cipta. Ochoa MC, Aliaga MJM, Gonzalez MAM, Martinez JA, Marti A. 2007. Predictor factors for childhood obesity in a Spanish – case control study. Nutrition. 23: 379 – 384.
58 Oosterom HBMVG, Dommelen PV, Schonbeck Y, Murphy AMO, Wouwe JPV, Buitendijk SE. 2012. Prevalence of overweight in Dutch children with Down Syndrome. Pediatrics. 130 (6): 1520 – 1526. Perez-Escamilla R, Obbagy JE, Altman JM, Essery EV, McGrane MM, Wong P, Spahn JM, Williams CL. 2012. Dietary energy density and body weight in adults and children: a systematic review. J Am Diet Assoc. 112(5): 671-684. [PERKENI] Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta (ID): Perkeni. Phillips AC, Holland AJ. 2011. Assessment of obejectively measured physical activity levels in individuals with intellectual diabilities with and without Down’s Syndrome. PloS ONE. 6(12): e28618. doi: 10.1371/journal.pone.0028618. Poh BK, Kathryn TBL, Wong SN, Winnie CSS, Tee ES. 2012. Nutritional status, dietary intake patterns and nutrition knowledge of children aged 5-6 years attending kindergartens in the Klang Valley, Malaysia. Malays J Nutr. 18(2): 231 – 242. Priatna BA. 2008. Uji coba instrument penelitian [Internet]. [diunduh tanggal 2014 Des 21]. Tersedia pada: http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/ JUR._PEND._MATEMATIKA/196412051990031BAMBANG_AVIP_PRI ATNA/Makalah_November_2008.pdf. Rahmat J. 2007. Psikologi Komunikasi. Bandung (ID): Remaja Rosda Karya. Ramachandran A, Snehalatha C, Vinitha R, Thayyil M, Kumar CK., Sheeba L, Joseph S, Vijay V. 2002. Prevalence of overweight in urban Indian adolescent school children. Diabetes Res Clin Pr. 57(3): 185-190. Reinehr T, Dobe Dobe M, Winkel K, Schaefer A, Hoffmann D. 2010. Obesity in disabled children and adolescents. Dtsch Arztebl Int. 107(15): 268 – 275. Rimbawan, Siagian A. 2004. Indeks Glikemik Pangan: Cara Mudah Memilih Pangan yang Menyehatkan. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Robinson TN. 2001. Television viewing and childhood obesity. Pediatr Clin N Am. 48: 1017–1025. Rolland-Cachera MF, Thibault H, Souberbielle JC, Soulie D, Carbonel P, Deheeger M, Roinsol D, Longueville E, Bellisle F, Serog P. 2004. Massive obesity in adolescents: dietary interventions and behaviours associated with weight regain at 2 y follow-up. Int J Obes Relat Metab Disord. 28(4): 514 – 519. Saker M, Merzouk H, Merzouk SA, Ahmed SB, Narce M. 2011. Predictive factors of obesity and their relationships to dietary intake in schoolchildren in Western Algeria. J Clin Med. 6(2): 90 – 99. Samarkandy MM, Mohamed BA, Al-Hamdan AA. 2012. Nutritional assessment and obesity in Down Syndrome children and their siblings in Saudi Arabia. Saudi Med J. 33(11): 1216 – 1221. Samour PQ, King K. 2005. Handbook of Pediatric Nutrition. 3rd ed. Sudbury (MA): Jones and Bartlett Publishers. Santoso. 2004. Kesehatan dan Gizi Cetakan II. Jakarta (ID): Rineka. Sartika RAD. 2011. Faktor risiko obesitas pada anak 5 – 15 tahun di Indonesia. Makara Kesehatan. 15(1): 37 – 43.
59 Scaglioni S, Salvioni M, Galimberti C. 2008. Influence of parental attitudes in the development of children eating behaviour. Br J Nutr. 99: 22–25. Sharlin J, Edelstein S. 2010. Essentials of Life Cycle Nutrition. USA: Jones and Bartlett Publishers. Sherman SL, Allen EG, Bean LH, Freeman SB. Epidemiology of Down syndrome. Ment Retard Dev Disabil Res Rev.13(3): 221-227. Shi Z, Taylor AW, Gill TK, Tuckerman J, Adams R, Martin J. 2010. Short sleep duration an obesity among Australian children. BMC Public Health. 10:609614.doi: 10.1186/1471-2458-10-609. Slavin JL. 2005. Dietary fiber and body weight. Nutrition. 21:411–418. Sugihartono et al. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta (ID): UNY Press. Sukandar D, Khomsan A, Faisal A, Riyadi H, Mudjadjanto ES. 2009. Pengetahuan, sikap, dan praktik gizi ibu serta status gizi balita yang meningkat setelah intervensi pendidikan gizi dan penyuluhan pemanfaatan lahan pekarangan selama lima bulan [hibah bersaing]. Bogor (ID): Insititut Pertanian Bogor. Sultana S, Saleh F, Ali L. 2015. Childhood obesity in primary school children of middle and upper-middle income group in the Capital City of Bangladesh. Food and Nutrition Sciences. 6: 1185-1192.doi: http://dx.doi.org/10.4236/fns.2015.613124. SunWoong L, ChungJa S, AeJung K, MiHyun K. 2000. A study on nutritional attitude, food behavior and nutritional status according to nutrition knowledge of Korean middle school students. Korean J Community Nutr. 5: 419-431. Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta (ID): EGC. Sutjihati S. 2007. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung (ID): PT. Refika Aditama. Taheri S, Lin L, Austin D, Young T, Mignot E. 2004. Short sleep duration is associated with reduced leptin, elevated ghrelin, and increased body mass index. PLoS Med.1: e62. Toha M. 2003. Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta (ID): PT Raja Grafindo Persada. Van-Dam RM, Seidell JC. 2007. Carbohydrate intake and obesity. Eur J Clin Nutr. 61(1): 75 – 99. doi:10.1038/sj.ejcn.1602939. Waaraich HJ, Javed F, Faraz-ul-Haq M, Khawaja FB, Saleem S. 2009. Prevalence of obesity in school going children of Karachi. PloS ONE. 4(3):e4816.doi:10.1371/journal.pone.0004816 Wang Y, Beydoun MA. 2009. Meat consumption is associated with obesity and central obesity among US adults. Int J Obes (Lond). 33(6): 621- 628.doi: 10.1038/ijo.2009.45. [WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. 2013. Tabel Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2013. Jakarta (ID): LIPI. [WHO] World Health Organization. 2010. Global Recommendations on Physical Activity for Health. Geneva: WHO Press. ____________________________. 2014. Genes and human diseases [Internet]. [diunduh 2014 Nov 14]. Tersedia pada: http://www.who.int/genomics/public/geneticdiseases/en/index1.html Wuryaningsih T. 2008. Hubungan antara pengetahuan dan persepsi dengan perilaku masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah
60 Dengue (PSN DBD) di Kota Kediri [tesis]. Solo (ID): Universitas Sebelas Maret. Yabanci N, Kisac I, Karakus SS. 2014. The effect of mother’s nutritional knowledege on attitudes and behaviors of children about nutrition. Procedia-Social and Behavioral Sciences. 116: 4477-4481.doi: 10.1016/j.sbspro.2014.01.970. Yilmaz R, Erkorkmaz U, Ozcetin M, Karaaslan E. 2013. How does parent’s visual perception of their child’s weight status affect their feeding style ?. Nutr Hosp. 28 (3): 741 – 746.
61
LAMPIRAN
62 Lampiran 1 Ethical clearance
63 Lampiran 2 Formulir pernyataan kesediaan sebagai subjek penelitian Formulir Persetujuan Berpartisipasi (Informed Consent) Hubungan antara Persepsi Ibu, Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu, Pola Konsumsi Pangan, dan Aktivitas Fisik dengan Status Gizi Anak Down Syndrome Setelah membaca dan mendengar penjelasan tentang penelitian dengan judul “Hubungan antara Persepsi Ibu, Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu, Pola Konsumsi Pangan, dan Aktivitas Fisik dengan Status Gizi Anak Down Syndrome” yang akan dilakukan oleh Lusi Anindia Rahmawati, Mahasiswa Program Studi Gizi Masyarakat Sekolah Pasca sarjana Institut Pertanian Bogor, maka saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama Usia Alamat
: ........................................................................... : ........................................................................... : ...........................................................................
Menyatakan bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian ini. Apabila ketika dalam penelitian ini saya dirugikan dalam bentuk apapun karena penelitian ini, saya berhak membatalkan pernyataan persetujuan ini. Magetan,................................. SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 (......................................................) Kampus IPB Darmaga Telp./Fax. (0251) 8621258/8622276
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 Kampus IPB Darmaga Telp./Fax. (0251) 8621258/8622276
64 Lampiran 3 Kuesioner No Responden: / Enumerator:
/ /2015
KUESIONER HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI IBU, TINGKAT PENGETAHUAN GIZI IBU, POLA KONSUMSI PANGAN, DAN AKTIVITAS FISIK DENGAN STATUS GIZI ANAK DOWN SYNDROME
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015
I. KARAKTERISTIK IBU 1.1. Nama ibu 1.2. Tempat/Tanggal lahir 1.3. Usia 1.4. Alamat 1.5. No. Telepon/HP
: : : : :
II. KARAKTERISTIK ANAK 2.1. Nama anak 2.2. Tempat/Tanggal lahir 2.3. BB 2.4. TB 2.5. Status Gizi 2.6. Awal kegemukan 2.7. JenisKelamin 2.8. Status dalam keluarga 2.9. Kategori retardasi 2.10. Riwayat kesehatan
: : : : : : : : anak ke-.........dari......bersaudara : : a. Tidak ada b. Penyakit jantung koroner c. Hipotiroidisme d. Penyakit lain (sebutkan) ............................
65 Lampiran 3 Kuesioner (lanjutan) III. KARAKTERISTIK KELUARGA 3.1. Identitas Keluarga No.
Nama Anggota Keluarga
Hub.dengan KK
Jenis Kelamin
Usia (bln/tahun)
Pendidikan terakhir
Pekerjaan
3.2 Besar pendapatan keluarga : a. Ayah : b. Ibu : c. Lainnya (sebutkan) : IV. PERSEPSI IBU TERHADAP DOWN SYNDROME 4.1. Kapan anak diketahui mengalami Down Syndrome?......................................... 4.2. Apakah Ibu pernah mencari tahu tentang Down Syndrome? (Pernah/Tidak) Kapan ? ............................................................................................................. 4.3. Apakah ibu selalu memperbaharui informasi terkait Down Syndrome? Jika ya, bagaimana cara ibu memperbaharui informasi ? (Seminar/ internet/ dokter/ guru/ lainnya ..................................) 4.4. Petunjuk pengisian: Berilah tanda checlist (√) pada kolom jawaban No.
Pernyataan
1.
Pada saat pertama kali anak diketahui mengalami Down Syndrome, sempat terpikir lebih baik tidak memiliki anak daripada memiliki anak dengan Down Syndrome Setelah dikaruniai anak dengan Down Syndrome, saya sempat khawatir untuk mempunyai anak lagi Pada awalnya, saya sempat ragu apakah anak Down Syndrome akan dapat menjadi penerus keluarga Sejak awal, saya yakin Anak Down Syndrome bisa mandiri dan melakukan kebutuhan pribadinya sendiri (misal: mandi, makan, dll)* Pada awalnya, saya tidak yakin anak Down Syndrome akan dapat melakukan aktivitas seperti anak normal pada umumnya
2. 3. 4.
5.
Tidak Setuju
Jawaban Kurang Setuju
Setuju
66 Lampiran 3 Kuesioner (lanjutan) No.
Pernyataan
6.
Pada saat pertama kali anak diketahui mengalami Down Syndrome, saya sempat ragu apakah dia dapat membanggakan keluarga nantinya Pada awalnya, saya sempat beranggapan bahwa keberadaan anak Down Syndrome akan menjadi beban keluarga Pada awalnya, saya sempat takut keberadaan anak Down Syndrome akan dapat mengancam ikatan pernikahan dan keluarga Pada awalnya, saya sempat ragu apakah anak Down Syndrome dapat menjadi sumber keceriaan bagi keluarga Pada saat anak diketahui mengalami Down Syndrome, saya sempat khawatir dengan masa depannya nanti
7. 8.
9. 10.
Tidak Setuju
Jawaban Kurang Setuju
Setuju
Modifikasi dari Milyawati (2008) dan Burke et al. (2012) V. PENGETAHUAN GIZI IBU Petunjuk pengisian : Berilah tanda checlist (√) pada kolom B bila pernyataan anda anggap benar atau S apabila pernyataan anda anggap salah No Pernyataan 1 Kelebihan zat gizi dapat mengakibatkan berbagai penyakit seperti diabetes, hipertensi, jantung, dan stroke 2 Anak harus makan dalam jumlah banyak agar dapat tumbuh dengan baik 3 Ikan segar, telur, daging, dan susu merupakan contoh pangan sumber protein nabati 4 Berolahraga secara teratur tidak perlu dilakukan oleh anak Down Syndrome 5 Mempertahankan berat badan yang normal merupakan salah satu prinsip gizi seimbang 6 Anak tidak perlu lagi makan apabila sudah mengkonsumsi jajan 7 Makanan yang sehat adalah makanan yang bersih, tidak tercemar, dan mahal 8 Zat gizi dikelompokkan menjadi zat gizi mikro dan zat gizi makro 9 Kebiasaan minum air putih 1 liter per hari baik untuk anak 10 Makanan manis, asin, dan berlemak tidak baik untuk kesehatan anak
B
S
67 Lampiran 3 Kuesioner (lanjutan) VI. POLA KONSUMSI 6.1. Food Frequency Questionnaire Petunjuk pengisian: Isilah dengan berapa kali anak mengonsumsi jenis bahan pangan pada kolom frekuensi dan ukuran satu kali konsumsi pada kolom ukuran Makanan Makanan Pokok a. Nasi b. Mie c. Bihun d. Kentang e. Jagung f. Roti Tawar g. Roti h. Sereal i. Singkong j. Ubi k. Biskuit l. Lauk Hewani a. Ayam b. Daging sapi c. Kambing d. Ikan e. Udang f. Cumi-cumi g. Susu h. Keju i. Telur j. Bebek k. Ikan asin Lauk Nabati a. Tempe b. Tahu c. Susu kedelai d. Kacang hijau e. Kacang kedelai f. Kacang tanah g. Sayur-sayuran a. Bayam b. Kangkung c. Kol d. Wortel e. Daun singkong f. Buncis g. Kacang panjang h. Selda air
>1 kali/hari
1 kali/hari
Frekuensi Konsumsi 3-6 1-2 kali/minggu kali/minggu
≤2 kali/bulan
Tidak pernah
Ukuran
68 Lampiran 3 Kuesioner (lanjutan) Makanan
>1 kali/hari
1 kali/hari
Frekuensi Konsumsi 3-6 1-2 kali/minggu kali/minggu
≤2 kali/bulan
Tidak pernah
i. Terong j. Sawi Buah-buahan a. Pepaya b. Semangka c. Jeruk d. Melon e. Jambu f. Durian g. Duku h. Pisang i. Rambutan j. Salak k. Apel Lain-lain a. Mie ayam b. Bakso c. Fast food (KFC, dll) d. Minuman bersoda e. Soft drink f. Cilok g. Coklat h. Es krim i. Permen j. Burger k. Donat
6.2. Food Recall Petunjuk pengisian: Diisi oleh enumerator sesuai dengan hasil wawancara dengan responden mengenai makanan yang dikonsumsi anak 24 jam sebelumnya. Hari ke-........................(Tanggal: .......................................) Waktu Makan
Makan Pagi (Pukul ..............)
Menu Makanan
Jenis
Bahan Makanan Jumlah URT gram
Ukuran
69 Lampiran 3 Kuesioner (lanjutan) Waktu Makan
Selingan I (Pukul ..............)
Makan Siang (Pukul ..............)
Selingan II (Pukul ..............)
Makan Malam (Pukul ..............)
Menu Makanan
Jenis
Bahan Makanan Jumlah URT gram
70 Lampiran 3 Kuesioner (lanjutan) VII. AKTIVITAS FISIK Petunjuk pengisian : Isilah dengan jenis kegiatan yang dilakukan oleh anak dalam satu hari berikut dengan lamanya anak melakukan masing-masing kegiatan. Isi kolom keterangan dengan informasi pendukung, misalnya untuk aktivitas berangkat sekolah, kolom keterangan diisi dengan jalan kaki/ naik motor. 7.1. Hari ke-........................(Tanggal: .......................................) Waktu
Pagi (Bangun tidur-12.00 WIB)
Siang (12.00-16.00 WIB)
Sore (16.00-19.00 WIB)
Aktivitas Fisik Jenis Aktivitas Durasi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Keterangan
71 Lampiran 3 Kuesioner (lanjutan) Waktu
Malam (19.00 WIB-tidur)
Aktivitas Fisik Jenis Aktivitas Durasi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
- SELESAI –
Keterangan
72 Lampiran 4 Hasil uji regresi logistik beberapa variabel independen dengan status gizi anak Down Syndrome Variables in the Equation
Step 1a
Asupan_P(1) Asupan_L(1) Constant
B .916 .713 -.405
S.E. .861 .890 .456
Wald 1.132 .642 .789
df 1 1 1
a. Variable(s) entered on step 1: Asupan_P, Asupan_L.
Sig. .287 .423 .374
Exp(B) 2.500 2.040 .667
95,0% C.I. for EXP(B) Lower Upper .462 13.521 .356 11.674
73 Lampiran 5 Nilai z-score contoh No
Jenis Kelamin
Tanggal Lahir
BB
TB
z-score
1
L
20/04/2005
24
137
-3,02
2
L
08/10/2005
35
122
2,62
3
L
18/03/2004
35
129
1,56
4
P
12/11/2007
21,5
106
1,64
5
P
23/01/2006
30
127
1,01
6
L
20/06/2003
34
146,5
-0,95
7
L
11/01/2006
27
127
0,31
8
P
04/09/1998
50
140
1,26
9
P
02/06/2005
16
116
-3,44
10
P
14/04/2006
16
112
-2,38
11
L
09/09/2003
46
135
2,4
12
L
08/10/2005
51
138
3,32
13
P
07/03/2005
29
122
1,09
14
L
10/12/2000
76
156
2,74
15
L
28/06/2005
40
127,5
2,77
16
P
06/11/1997
52
138,5
1,55
17
P
15/06/2007
24
114
1,31
18
L
19/01/2006
45
133
3,14
19
P
13/07/2002
31
127
0,2
20
P
19/09/2002
32
139
-0,92
21
L
18/03/2002
48
155
0,65
22
P
19/06/1997
50
146,5
0,62
23
P
28/05/1999
48
145
0,66
24
L
18/05/2002
50
155,5
1,54
25
L
09/07/2003
34
144
-0,58
26
L
04/03/2007
18
116
-1,97
27
L
29/03/2007
19
112
-0,44
28
L
04/09/1998
80
162
2,36
29
L
18/11/1999
92
163,5
3
30
L
04/01/2004
37
129,5
1,81
31
P
28/11/2004
31
123
1,35
32
L
22/04/2002
36
149
-1,11
33
L
08/04/1998
57
163
0,09
34
L
02/10/2003
28
132
-0,69
35
L
09/01/2002
43
153,5
-0,11
36
L
03/03/2004
36
143,5
0,22
37
L
29/09/2005
25
129
-0,83
38
L
14/04/2002
32
134,5
-0,29
39
L
19/04/2002
28
128
-0,6
40
L
20/05/2000
50
165
-0,62
41
P
16/09/1999
35
138
-0,85
74 Lampiran 5 Nilai z-score contoh (lanjutan) No
Jenis Kelamin
Tanggal Lahir
BB
TB
z-score
42
L
43
L
19/07/1998
48
160,5
-1,03
06/07/2004
25,5
122
0,13
44
L
15/02/2005
30
132
0,34
45
L
23/06/2002
33
142
-0,98
46
L
01/04/2004
30,5
126
0,97
47
P
13/11/2003
20,5
124
-2,66
48
P
12/02/2004
31
123
1,11
49
P
25/05/2002
27
134
-1,94
50
L
01/11/2006
20
95
2,63
75 Lampiran 6 Formulir assessment akademik ASSESSMENT AKADEMIK 1.
Pengamatan Membaca Nama anak Kelas Sekolah Pengamat/Guru
No
: : : : Perilaku Membaca
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Membaca dengan mengeja Pemenggalan tidak tepat Pengucapan tidak benar Penghilangan bunyi/kata Mengulang-ulang Terbalik Menambahkan unsur bunyi Mengamati dengan bnyi lain Tidak mengenal kosakata pandang Menerka-nerka kata Tidak mengenal bunyi konsonan Tidak mengenal bunyi vokal Tidak mengenal konsonan/vokal ganda Kemampuan analisis struktural lemah Tidak mampu memanfaatkan konteks
16 17 18 19 20 21 22
Tingkat pemahaman rendah Penguasaan memanfaatkan konteks Kurang mampu mengingat isi bacaan Jawaban tidak terstruktur secara baik Tidak mampu mencari informasi tertentu Tidak mampu membaca sepintas Banyak salah ejaan pada jawaban
23 24 25 26
Lambat dalama membaca Membaca cepat, tetapi banyak salah Membaca sambil berbisik Tidak menguasai abjad
1
Catatan : 1. nomor 1 – 15 adalah jenis kesalahan membaca teknis 2. nomor 16 – 22 adalah kesalahan membaca pemahaman 3. nomor 23 – 26 adalah jenis kesalahan umum
Pengamatan ke 2 3 4
76 Lampiran 6 Formulir assessment akademik (lanjutan) 2.
Pengamatan Kebiasaan Menulis Nama anak Kelas Sekolah Pengamat/Guru
: : : :
No Aspek yang diamati 1 Apakah anak memegang pensil dengan benar, luwes, dan enak 2 Apakah posisi kertas/buku sudah benar 3 Apakah posisi duduk anak sudah benar termasuk jarak antara mata dan kertas 4 Apakah anak tampak tegang, frustrasi atau emosional pada waktu menulis 5 Apakah anak menunjukkan sikap negatif, bosan, atau terganggu pada waktu menulis
3.
Ya
Tidak
Pengamatan Keterampilan Membaca Permulaan Nama anak Kelas Sekolah Pengamat/Guru
: : : :
No
Aspek keterampilan yang diamati
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Memegang alat tulis dengan benar Menggerakkan alat tulis ke atas dan ke bawah Menggerakkan alat tulis ke kiri dan ke kanan Menggerakkan alat tulis melingkar Menyalin huruf Menyalin namanya sendiri dengan huruf balok Menulis namanya sendiri dengan huruf balok Menyalin kata dan kalimat dengan huruf balok Menyalin huruf balok dari jarak jauh Menyalin huruf, kata dan kalimat dengan tulisan bersambung Menyalin tulisan bersambung dari jarak jauh
11
Kadang
Pengamatan ke 1 2 3 4 5
77 Lampiran 6 Formulir assessment akademik (lanjutan) 4.
Analisis Sampel Tulisan Nama anak Kelas Sekolah Pengamat/Guru
: : : :
(ruang untuk menulis)
Rekap Hasil Analisis Tulisan No 1 2 3 4 5 6 7 8
9
Aspek yang dianalisis Bentuk kata Ukuran huruf Letak huruf Proporsi huruf Jarak antar huruf dan antar kata Tebal tipis huruf Tegak atau kemiringan huruf/kata Kecepatan dalam menulis saja (kelas 1 = 25 huruf permenit) (kelas 2 = 30 huruf permenit) (kelas 3 = 38 huruf permenit) (kelas 4 = 45 huruf permenit) (kelas 5 = 60 huruf permenit) (kelas 6 = 74 huruf permenit) (kelas 7 = 83 huruf permenit) (kelas 8 = 95 huruf permenit) (kelas 9 = 105 huruf permenit) Kebersihan dan kerapian tulisan
Jumlah kesalahan
Keterangan
78
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 27 Oktober 1989 di Magetan, Jawa Timur. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara yang merupakan anak dari Bapak Wahyudi dan Ibu Sumini. Pendidikan sarjana strata 1 (S1) ditempuh penulis di Institut Pertanian Bogor pada Departemen Gizi Masyarakat. Penulis lulus sebagai sarjana gizi (S Gz) pada tahun 2013 dengan penelitian berjudul "Pemanfaatan Belut (Monoptherus albus Zuieuw) dalam Pembuatan Bakso”. Pada tahun 2013, penulis diterima di Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat pada Program Pascasarjana IPB. Selain itu, penulis juga merupakan penerima Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN) untuk calon dosen tahun 2013. Selama periode 2012 - 2015, penulis juga bekerja sebagai asisten proyek “Ayo Melek Gizi-Connect” yang merupakan kerjasama PT.Sari Husada dan Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.